Anda di halaman 1dari 5

Teori Dan Isu Pembangunan

Analisis

Nama : Sofiana Dewi


Nim : E1011181130
Makul : Teori Dan Isu Pembangunan

BAB 9

Clustering Untuk Indonesia : Segitiga Pemerintah-Industri-Perguruan Tinggi

Pemerintah adalah organisasi yang memiliki kewenangan untuk membuat dan menerapkan
hukum serta undang-undang di wilayah tertentu. Ada beberapa definisi mengenai sistem
pemerintahan. Sama halnya, terdapat bermacam-macam jenis pemerintahan di dunia. Industri
adalah bidang yang menggunakan keterampilan, dan ketekunan kerja (bahasa Inggris:
industrious) dan penggunaan alat-alat di bidang pengolahan hasil-hasil bumi, dan distribusinya
sebagai dasarnya. Maka industri umumnya dikenal sebagai mata rantai selanjutnya dari usaha-
usaha mencukupi kebutuhan (ekonomi) yang berhubungan dengan bumi, yaitu sesudah
pertanian, perkebunan, dan pertambangan yang berhubungan erat dengan tanah. Kedudukan
industri semakin jauh dari tanah, yang merupakan basis ekonomi, budaya, dan politik.Perguruan
tinggi adalah tahap akhir opsional pada pendidikan formal. Biasanya disampaikan dalam bentuk
universitas, akademi, colleges, seminari, sekolah musik, dan institut teknologi. Peserta didik
perguruan tinggi disebut mahasiswa, sedangkan tenaga pendidiknya disebut dosen.

Perguruan tinggi merupakan institusi yang diharapkan melahirkan Sumber Daya Manusia (SDM)
berkualitas. Keberadaan SDM yang baik bentukan perguruan tinggi secara otomatis akan
meningkatkan kemajuan suatu bangsa, misalnya melalui kiprah mereka di berbagai bidang
industri.

Itu sebabnya, industri perlu memiliki kedekatan dengan perguruan tinggi. Salah satu alasannya,
berbagai riset dan inovasi perguruan tinggi dapat mendorong pembangunan ekonomi Tanah Air.
Pakar administrasi bisnis dari University of Michigan, Dr Gordon Hewitt CBE, FRSE, menilai,
hubungan universitas dengan pihak industri seharusnya terjalin mesra. Kolaborasi antara
sperguruan tinggi dan industri berperan penting dalam mendorong sinergi. Dengan begitu, tujuan
pembangunan ekonomi dapat tercapai.

Di Indonesia berbagai upaya untuk mempererat hubungan antara perguruan tinggi dan
industri telah dilakukan sebagaimana dicontohkan di atas. Tetapi ikhtiar ini tidak selamanya
mulus karena ada beberapa anggapan di balik layar yang berkembang yang bisa menghambat
integrasi ketiganya, sebagaimana disebutkan Bagyo Y. Moeliodihardjo dkk (2012) yaitu,
kurangnya pengertian dan kepercayaan antara perguruan tinggi dan industri. Akademisi tidak
selalu respek pada industri karena terlalu berorientasi duit, kurang idealis, dan terlalu praktis.
Industri pun menganggap perguruan tinggi kini menjadi menara gading, terlalu birokratis,
bekerja lambat, dan banyak penelitian yang malah difokuskan pada penelitian akademik. Industri
pun menganggap banyak akademisi yang tidak mengerti masalah yang dihadapi industri. Jika
problem ini terus menerus dibiarkan akan membuat relasi perguruan tinggi dan industri akan
terganggu dan dampaknya perkembangan ekonomi dan daya saing nasional pun dapat tersendat.

Pada titik ini pemerintah harus mengambil sikap untuk menjembatani kesalahpahaman
ini, dengan membuat pertemuan intensif antara perguruan tinggi dan industri guna menemukan
kerangka berfikir yang sejalan sebelum membicarakan program kemitraan jangka panjang.
Apabila permasalahan konsepis ini sudah terpecahkan, relasi antara perguruan tinggi,
pemerintah, dan industri tak ada aral rintang, sehingga pembangunan sumber daya manusia dan
pengembangan ekonomi nasional pun tertunaikan.

Bergesernya peran perguruan tinggi untuk meningkatkan daya saing nasional dan
mengembangkan ekonomi negara sangat tergantung dengan inovasi. Inovasi industri yang
berguna dan bermanfaat sesuai kebutuhan masyarakat sangat dipengaruhi riset-riset rutin
pergurusan tinggi. Menurut Djoko Santoso (2008), universitas adalah lembaga riset, dengan
demikian dalam siklus industri (membuat produk sesuai kebutuhan pasar), universitas dapat
memerankan dirinya sebagai komponen yang melakukan riset dan pengembangan (produk
tersebut). Sebab untuk membuat lembaga riset memerlukan biaya yang mahal, sementara hampir
semua industri di Indonesia tidak dilengkapi lembaga riset, maka universitas harus menempatkan
dirinya sebagai lembaga riset industri. Di Indonesia kita mengenal kebijakan RAPID (Riset
Andalan Perguruan Tinggi dan Industri).

Pada konteks kasus di Indonesia, analisa Bagyo Y. Moeliodihardjo dkk (2012)


menyimpulkan, tidak adanya kebijakan pemerintah yang koheren dalam relasi perguruan tinggi,
pemerintah, dan industri membuat pola kemitraan universitas dan industri sebagian besar
dikembangkan oleh para profesor secara individu. Berbagai kegiatan pun dilakukan kampus
untuk mengeksplorasi pilihan dalam menjalin hubungan dengan industri seperti:

1. Sejumlah perguruan tinggi telah meningkatkan kontrak kerja sama dan layanan lainnya
dengan berbagai pemerintah daerah dan klien industri. Keinginan untuk menghasilkan
pendapatan lebih menjadi faktor pendukung kerja sama ini.
2. Banyak perguruan tinggi yang mulai mengurus hak paten dengan dukungan pemerintah.
Hal ini sangat berbeda dengan masa lalu, di mana setiap akademisi kampus secara
individu memberikan hak cipta temuannya khusus kepada mitra industri saja.
3. Pada konteks penelitian kolaboratif dan pengembangan,banyak akademisi merasa
kesulitan menemukan mitra industri untuk menjalin kerja sama dan meningkatkan
dukungan finansial dari industri untuk penelitian di perguruan tinggi.
4. Minimnya jaringan akademisi kampus dengan pelaku usaha merupakan masalah penting
yang harus dipecahkan. Merespon persoalan ini beberapa kampus memilih untuk
mengadakan pertemuan antara akademisi perguruan tinggi, pengusaha, dan pemerintah di
beberapa daerah untuk membuka peluang kerja sama.
5. Kolaborasi peran industri untuk pendidikan pun dilakukan seperti meminta pelaku usaha
untuk mengajar mata kuliah kewirausahaan dan perguruan tinggi pun dapat mengirimkan
staf pengajarnya untuk belajar di lingkungan industri.

Di era SBY-Boediono juga ada kementerian riset dan teknologi tetapi hasilnya belum begitu
mengemuka. Salah satu sebabnya mungkin anggaran dana yang masih sedikit dan infrastruktur
riset yang belum mamadai. Menurut Kementerian Riset dan Teknologi, persentase anggaran
untuk kegiatan riset sejauh ini masih didominasi anggaran pemerintah, yaitu 81,1 persen,
sedangkan swasta 14,3 persen dan perguruan tinggi 4,6 persen. Secara keseluruhan, anggaran
riset di Indonesia hanya berkisar 0,08 persen dari produk domestik bruto (PDB). Padahal 
menurut  rekomendasi United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organisation
(UNESCO), rasio anggaran Iptek yang memadai adalah sebesar 2 persen dari PDB.

            Nominal ini masih kalah jauh dengan negara maju yang mengalokasinya 3,5-4 persen
dari GDP (Gross Domestic Product). Singapura 2,72 persen untuk riset, Swedia 3,62 persen,
bahkan Israel mencapai 4,28 persen. Idealnya untuk negara dengan komposisi yang besar seperti
Indonesia, seyogianya mengeluarkan anggaran 3-5 persen dari GDP. Minimnya anggaran riset
dari negara, solusinya bisa dicarikan dari perusahaan swasta, seperti Swedia yang 80 persen dana
risetnya dari swasta. Pada konteks ini, peran pemerintah dalam memberikan dana dan membantu
mencarikan dana ke pihak swasta telah diamanatkan konstitusi dalam UU Pendidikan Tinggi
pasal 86 ayat 1 yang berbunyi “pemerintah memfasilitasi dunia usaha dan dunia industri dengan
aktif memberikan bantuan dana kepada Perguruan Tinggi.”

Berpijak dari persoalan ini, perlu mendorong perusahaan swasta agar tak sekadar
menerima alumni terbaik universitas dan memanfaatkan hasil penelitiannya saja, tapi juga
memberikan bantuan dana beasiswa dan riset yang besar ke PT sehingga terciptalah hubungan
timbal balik antara keduanya. Pekerjaan rumah Jokowi ke depan adalah menaikan anggaran riset
dari negara dan swasta, pengembangan infrastruktur seperti laboratorium dan berbagai media
penelitian, serta melestarikan tradisi ilmiah di kampus.

Dalam menghadapi era revolusi industri 4.0, masyarakat dituntut untuk mampu beradaptasi
dengan kemajuan teknologi yang serba digital, khususnya di bidang pendidikan. Kehadiran
teknologi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang merupakan kunci
untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan akan membawa Indonesia menjadi
bangsa yang unggul.
Namun, dunia saat ini tengah dilanda wabah penyakit yang disebabkan virus corona (Covid-19).
Situasi pandemi ini seketika mengubah sendi kehidupan masyarakat dunia dan menjadi ancaman
bagi sektor kesehatan, sektor perekonomian, sektor pendidikan dan lainnya. Indonesia pun tak
luput dalam tantangan besar penanganan Covid-19 agar tidak semakin menyebar dan menelan
korban jiwa yang lebih besar lagi.

Salah satu sektor yang terdampak pandemi Covid-19 adalah sektor pendidikan yang melibatkan
begitu banyak aktivitas fisik bersifat rutin, seperti pertemuan tatap muka di kelas, proses
pembimbingan akademik, pertemuan formal dalam forum seminar dan lain sebagainya. Namun
demikian, berbagai aktivitas rutin ini terhambat karena untuk meminimalisasi penyebaran Covid-
19, pemerintah telah menerapkan kebijakan physical distancing.

Sebagai pembina industri, Kemenperin berupaya mencari jalan keluar dari masalah yang
dihadapi para pelaku industri selama masa tanggap darurat Covid-19. Upaya itu dilakukan
melalui kebijakan-kebijakan yang kami buat, agar industri manufaktur tetap berkontribusi positif
terahadap perekonomian dan tetap bertahan hingga Covid-19 berakhirSaat ini, sektor dengan
permintaan tinggi meliputi industri alat kesehatan, farmasi, serta makanan dan minuman.
Menurut Menperin, sektor industri tengah melakukan refocusing untuk membantu upaya
pemerintah dalam memperkuat sektor industri kategori high demand dan sesuai dengan arahan
Presiden yang menghendaki kebutuhan tersebut diharapkan dapat dipenuhi oleh industri dalam
negeri. Kemenperin mengimbau industri untuk memiliki Izin Operasional dan Mobilitas
Kegiatan Industri (IOMKI) selama masa tanggap darurat Covid-19 serta Pembatasan Sosial
Berskala Besar (PSBB).

Persyaratan izin tersebut berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 9 tahun
2020 tentang PSBB dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19. Imbauan tersebut
disampaikan melalui Surat Edaran Menperin No.7 tahun 2020 tentang Pedoman Pengajuan
Permohonan Perizinan Pelaksanaan Kegiatan Industri (IOMKI) Dalam Masa Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat Covid-19.

Tentunya semua kegiatan harus mengacu kepada protokol kesehatan yang ditetapkan pemerintah
selama terjadi pandemi Covid-19, imbuhnya.

Sebelumnya, Menperin telah mengeluarkan Surat Edaran No.4 tahun 2020 tentang Pelaksanaan
Operasional Pabrik dalam masa Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19. Surat edaran
tersebut menginstruksikan penerapan protokol kesehatan dalam aktivitas industri. Kami juga
menginstruksikan para pimpinan perusahaan untuk memperhatikan kesehatan dan daya tahan
tubuh pekerja, antara lain dengan memberikan vitamin-vitamin kepada para pekerja, ujar
Menperin.
Ia menegaskan, apabila terdapat industri yang tidak patuh pada peraturan, Kemenperin tidak
segan memberikan sanksi. Kalau sudah mendapatkan pembinaan, masih belum juga
mengindahkan, saya sebagai Menteri Perindustrian tidak akan ragu-ragu untuk mencabut IOMKI
pada perusahaan tersebut, ucap Menperin.

Bagyo Y. Moeliodihardjo. (2012). University, Industry, and Government partnership:


its present and future challenges in Indonesia. Journal Procedia - Social and Behavioral
Sciences
 

Djoko Santoso. (2008). Makalah “Universitas dalam Industri” disampaikan pada Raker
Perindustrian Jawa Timur, Surabaya, 12 Maret 2008

http://helm-mmpt.pasca.ugm.ac.id/home/halaman/helm-4

https://www.agrofarm.co.id/2020/04/strategi-optimalkan-manufaktur-di-tengah-pandemi-covid-19/

Anda mungkin juga menyukai