Makalah Askep Tetanus Generalisat
Makalah Askep Tetanus Generalisat
DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK 5
1. Eli Muflihah
2. Nuranita
3. Siti Maemunah
4. Tuti Sulistyaningrum
Tahun 2021
ASUHAN KEPERWATAN PADA PASIEN TETANUS GENERALISAT
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Penyakit tetanus kebanyakan terdapat pada anak-anak yang belum pernah mendapatkan
imunisasi tetanus (DPT) dan pada umumnya terdapat pada anak dari keluarga yang belum
mengerti pentingnya imunisasi dan pemeliharaan kesehatan seperti kebersihan lingkungan
dan perorangan. Penyakit tetanus adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh toksin
kuman Clostiridium tetani, yang bermanifestasi dengan kejang otot secara paroksismal dan
diikuti kekakuan seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu tampak pada otot masester
dan otot rangka (Muttaqin, 2008, p. 219).
Clostiridium tetani merupakan basil berbentuk batang yang bersifat anaerob, membentuk
spora (tahan panas) gram – positif, mengeluarkan eksotoksin yang bersifat neurotoksin
(yang efeknya mengurangi aktivitas kendali SSP), pathogenesis bersimbiosis dengan
mikroorganisme piogenik (pyogenic) (Batticaca, 2012, p. 126).
Basil ini banyak ditemukan pada kotoran kuda, usus kuda, dan tanah yang dipupuk kotoran
kuda. Penyakit tetanus banyak terdapat pada luka dalam, luka tusuk, luka dengan jaringan
mati (corpus alienum) karena merupakan kondisi yang baik untuk proliferasi kuman
anaerob luka dengan infeksi piogenik dimana bakteri piogenik mengonsumsi eksogen pada
luka sehingga suasana menjadi anaerob yang pening bagi tumbuhnya basil tetanus
(Batticaca, 2012, p. 126).
2. Batasan Masalah
Masalah pada pembahasan ini dibatasi pada konsep teori penyakit dan konsep asuhan
keperawatan klien yang mengalami Tetanus.
3. Rumusan Masalah
Bagaimanakah konsep penyakit tetanus dan konsep asuhan keperawatan tetanus ?
4. Tujuan
a. Tujuan Umum
Setelah proses pembelajaran mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah diharapkan
mahasiswa dapat mengerti dan memahami konsep teori dan asuhan keperawatan pada
klien dengan tetanus dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan.
b. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui konsep penyakit dan konsep asuhan keperawatan tetanus.
BAB II
KONSEP TETANUS
1. Definisi Tetanus
Tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan oleh toksin kuman clostriidium tetani,
dimanifestasikan dengan kejang otot secara proksimal dan diiikuti kekauan otot seluruh
badan. Kekakuan tonus otot ini tampak pada otot maseter dan otot- otot rangka (Batticaca,
2012, p. 126).
Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa disertai
gangguan kesadaran.gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai
dampak eksotoksin (tetanoplasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps ganglion
sambungan sumsum tulang belakang, sambungan neuro muscular (neuro muscular
jungtion) dan saraf autonomy (Nurarif & Kusuma, 2016, p. 286).
Tetanus adalah ganggua neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan
spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suau toksin protein yang kuat yang
dihasilkan oleh Clostridium tetani. Terdapat beberapa bentuk klinis tetanus termasuk di
dalamnya tetanus neonatorum, tetanus generalisata, dan gangguan neurologis local
(Sudoyo, 2009, p. 2911).
Jadi dapat disimpulkan bahwa tetanus adalah kejang bersifat spasme (kaku otot) yang
dimuli pada rahang dan leher yang disebabkan oleh racun yang berbahaya yaitu bakteri
Clostridium tetani yang masuk menyerang saraf tubuh melalui luka kotor.
2. Etiologi
Clostradium tetani merupakan hasil berbentuk batang yang bersifat anaerob, membentuk
spora membentuk spora ( tahan panas ), gram positif, mengeluarkan eksotoksin yang
Basil ini banyak ditemukan pada kotoran kuda, usus kuda, dan tanah yang dipupuk kotoran
kuda. Penyakit tetanus banyak terdapat pada luka dalam, luka tusuk, luka dengan jaringan
mati ( corpus alienum) karena merupakan kondisi yang baik untuk proliferasi kuman
anaerob. Luka dengan infeksi pogenik dimana bakteri piogenik mengonsumsieksogen pada
luka sehingga suasana menjadi anaerob yang penting bagi tumbuhnya basil tetanus
3. Manifestasi Klinis
Periode inkubasi (rentang waku antara trauma dengan gejala pertama) rata-rata 7-10 hari
dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara gejala pertama dengan spasme
pertama) bervariasi antara 1-7 hari. Minggu pertama regiditas, spasme otot. Gangguan
ototnomik biasanya dimulai beberapa hari setelah spasme dan bertahan sampai 1-2 minggu
tetapi kekuatan tetap bertahan lebih lama. Pemulihan bisa memerlukan waktu 4 minggu
(Nurarif & Kusuma, 2016, p. 286).
4. Patofisiologi
Clostridium tetani harus bersimbiosis dengan organisme piogenik. Basil tetanus tetap berada
didaerah luka dan berkembang biak sedangkan eksotoksinnya beredar mengikuti sirkulasi
darah sehnggga terjadi toksemia ( toksemia murni tanpa disertai bakterimia maupun sepsis)
Hipotesis cara kerja toksin, yaitu pertama toksin masuk dan diserap oleh ujung saraf
motorik dan mencapai sel-sel kornu anterior medula spinalis, melalui axis silinder
(kemudian menyebabkan kegiatan motorik seperti kejang). Kedua toksin diangkut oleh
alran darah ke SSP, hal ini dapat dibuktikan dengan pemberian antitoksin tetanus yang
bereaksi dengan baik, ATS bereaksi pada toksin yang hanya ada didarah.
Tetanus biasanya terjadi setelah tubuh terluka dan kebanyakan luka tusukan, luka yang
terkontaminasi oleh clostridium tetani. Kerusakan jaringan menyebabkan menurunnya
potential oksidasi sehingga menyebabkan lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan
clostridium tetani. Tetanus disebabkan oleh neurotoksin Yang kuat yaitu tetanospasmin,
yangdihasilkan sebagai protein protoplasmik oleh bentuk vegetatif c. Tetani pada tempat
infeksi terutama ketika terjadi lisis bakteri . tetanospasmin dapat terikat secara kuat pada
gangliosida dan tempat masuknya yang terpenting kedalam syaraf. Bila jumlah
tetanospasmin cukup besar untuk menyebar melalui pembuluh darah dan limfe
diseluruhtubuh, yang terkena lebih dahulu adalah otot dengan jalur saraf terpendek.
Suntikan tetanospasmin kedalam otak dapat menimbulkan kejang. Tetanospasmin dapat
pula memudahkan kontraksi otot spontan tanpa potensial aksi pada saraf eferen. Aliran
eferen yang tak terkendali akan menyebabkan proses inflamasi dijaringan otak dan
perubahan tingkat kesadaran. Terdapat trias klinis berupa spasme otot, disfungsi otonomik,
rigiditas. Rigiditas menyebabkan epistotonus dan gangguan respirasi dengan menurunnya
kelenturan dinding dada serta menyebabkan penurunan reflek batuk sehingga terjadi
obstruksi jalan nafas (Batticaca, 2012, p. 126)
5. Klasifikasi
Klasifikasi beratnya tetanus adalah sebagai berikut :
1. Derajad 1 (ringan) : trismus (kekuatan otot mengunyah) ringan sampai sedang, spastisitas
general, tanpa gangguan pernapasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia
2. Derajad II (sedang) : trismus sedang, ridigitas yang Nampak jelas, spasme singkat ringan
sampai sedang, gangguan pernapasan sedang RR >30x/menit, disfagia ringan
3. Derajad III (berat) : trismus berat, spastisitas generaisata, spasme reflek berkepanjangan,
RR >40x/menit, serangan apnea, disfagia berat, takikardia >120
4. Derajad IV (sangat berat) : derajad tiga dengan gangguan otomik berat melibatkan
system kardiovaskular. Hipotensi berat dan takikardia terjadi berselingan dengan
hipotensi dan bradikardia, salah satunya dapat menetap komplikasi-komplikasi tetanus
(Nurarif & Kusuma, 2016, p. 287)
5. Komplikasi
Komplikasi tetanus dapat terjadi akibat penyakitnya, seperti laringospasme, atau sebagai
konsekuensi dari terapi sederhana, seperti sedasi yang mengarah pada koma, aspirasi atau
apnea, atau konsekuensi dari perawatan intensif, seperti pneumonia berkaitan dengan
ventilator (Sudoyo, 2009, p. 2916)
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
2. Identitas
Penyakit tetanus kebanyakan terdapat pada anak-anak yang belum pernah mendapatkan
imunisasi tetanus (DPT) dan pada umumnya terdapat pada anak dari keluarga yang belum
mengerti pentingnya imunisasi dan pemeliharaan kesehatan seperti kebersihan lingkungan
dan perorangan (Muttaqin, 2008, p. 219)
Riwayat Psikososial
Psikososial pasien tetanus biasanya timbul ketakutan akan kecacatan, rasa cemas,
rasaketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan
terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh). Karena klien harus menjalani rawat
inap maka apakah keadaan ini memberi dampak pada status ekonomi klien, karena
biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang tidak sedikit (Muttaqin, 2008,
p. 222)
3. Pemeriksaan Fisik
A. Keadaan umum
1. Kesadaran
Kesadaran klien biasaanya composmentis, pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien
tetanus mengalami penurunan pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Apabila
klien sudah mengalami koma maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat
kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk monitoring pemberian asuhan (Muttaqin,
2008, p. 223).
2. Tanda-tanda vital
a. Tekanan darah : biasanya tekanan darah pada pasien tetanusbiasanyanormal
(Muttaqin, 2008, p. 222).
b. Nadi : penurunan denyut nadi terjadi berhubungan denganperfusi jaringan di otak
(Muttaqin, 2008, p. 222)
c. RR : Frekuensi pernappassan pada pasien tetanus
meningkat karena berhubungan dengan peningkatan laju metabolism umum
(Batticaca, 2012, p. 127).
d. Suhu : pada pasien tetanus biasanya peningkatan suhu tubuhlebih dari normal 38-
40°C (Batticaca, 2012, p. 127).
B. Body System
1. Sistem pernapasan
Inspeksi apakah klien terdapat batuk, produksi sputum, sesak napas, penggunaan
otot pernapasan dan peningkatan frekuensi pernapasan yang sering didapatkan pada
klien tetanus yang disertai adanya ketidakefektifan bersihan jalan napas. Palpasi
thorax didapatkan taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi napas
tambahan seperti ronchi pada klien dengan peningkatan produksi secret dan
kemampuan batuk yang menurun (Muttaqin, 2008, p. 223).
2. Sistem kardiovaskuler
Pengkajian pada system kardiovaskular didapatkan syok hipovolemik yang sering
terjadi pada klien tetanus. TD biasanya normal, peningkatan heart rate, adanya
anemis karena hancurnya eritrosit (Muttaqin, Arif, 2012, p. 138).
3. Sistem persarafan
Saraf I. Biasanya pada klien tetanus tidak ada kelainan dan fungsi penciuman
tidak ada kelainan.
Saraf II Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
Saraf III, IV, dan Dengan alasan yang tidak diketahui, klien tetanus
mengeluhmengalami fotofobia atau sensitif yang berlebihan terhadap
cahaya. Respons kejang umum akibat stimulus rangsang cahaya perlu
diperhatikan perawat untuk memberikan intervensi menurunkan
stimulasi cahaya tersebut. Saraf V. Refleks masester meningkat. Mulut-
mencucu seperti mulut ikan (ini adalah gejala khas dari tetanus).
Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris.
Saraf VIII Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka
mulut (trismus).
Saraf XI Didapatkan kaku kuduk. Ketegangan otot rahang dan leher
(mendadak).
Saraf XII Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi. Indra pengecapan normal
Sistem motorik
Kekuatan otot menurun, kontrol keseimbangan dan koordinasi pada tetanus tahap
lanjut mengalami perubahan.
Pemeriksaan refleks
Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau
periosreum derajat refleks pada respons normal
Gerakan involunter
Tidak diremukun adanya tremor, Tic, dan distonia. Pada keadaan tertentu
klien biasanya mengalami kejang umum, terutama pada anak dengan
tetanus disertai peningkatan suhu nibuh yang tinggi. Kejang berhubungan
sekunder akibat area fokal kortikal yang peka.
sistem sensorik
Pcmcriksaan sensorik pada tetanus biasanya didapatkan perasaan raba normal,
perasaan nyeri normal. Perasaan suhu normal, tidak ada perasaan abnormal di
permukaan tubuh. Perasaan proprioseptif normal dan pcrasaan diskriminatif
normal. (Muttaqin, 2008, p. 223).
4. Sistem perkemihan
Penurunan volume haluaran urine berhubungan dengan perfusi dan penurunan curah
jantung ke ginjal. Adanya retensi urine karena kejang umum. Pada klien yang sering
kejang sebaiknya pengeluaran urine dengan menggunakan cateter (Muttaqin, 2008, p.
224).
5. Sistem pencernaan
Mual sampai munttah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung.
Pemenuhan nutrisi pada klien tetanus menurun Karen aanorexia dan adanya kejang,
kaku dinding perut (perut papan) merupakan tanda khas pada tetanus. Adanya spasme
otot menyebabkan kesulitan BAB (Muttaqin, 2008, p. 224)
6. Sistem Integumen
klien mengalami tubuh terluka dan luka tusuk yang dalam nisalnya tertusuk paku,
pecahan kaca, terkena kaleng, atau luka yang menjadi kotor, karena terjatuh di tempat
yang kotor, dan terluka atau kecelakaan dan timbul luka yang tertutup debu atau
kotoran juga luka bakar dan patah tulang terbuka. Adakah porte de entrée seperti luka
gores yang ringan kemudian menjadi bernanah dan gigi berlubang dikorek dengan
benda yang kotor (Muttaqin, 2008, p. 222).
7. Sistem muskuloskeletal
adanya kejang umum sehingga mengganggu mobilitas klien dan menurunkan aktivitas
sehari-hari. Perlu dikaji apabila klien mengalami patah tulang terbuka yang
memungkinkan port de entrée kuman clostridium tetani, sehingga memerlukan
perawatan luka yang optimal. Adanya kejang memberikan resiko pada fraktur
vertebra pada bayi, ketegangan, dan spasme otot pada abdomen (Muttaqin, 2008, p.
224)
8. Sistem Endokrin
fungsi endokrin pada klien tetanus normal (Sudoyo, 2009, p. 2213)
9. Sistem reproduksi
Pasien tetanus dari tingkah laku seksual dan reproduksi normal (Sudoyo, 2009, p.
2215)
4. Pemeriksaan Penunjang
EKG : interval CT memanjang karena segmen ST. bentuk takikardia ventrikuler
(torsaderse pointters)
Pada tetanus kadar serum 5-6 mg/al atau 1,2-1,5 mmol/L atau lebih rendah kadar
fosfat dalam serum meningkat
Sinar X tulang tampak peningkatan denitas foto rontgen pada jarringan subkutan atau
basas ganglia otak menunjukkan klasifikasi (Nurarif & Kusuma, 2016, p. 289)
5. Penatalaksanaan
Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Imunisasi aktif dengan pemberian DPT, booster dose (untuk balita) jika terjadi luka
lagi, dilakukan booster ulang
2. Imunisasi pastif, pemberian ATS profilaksis 1500-4500 UI (dapat bertahan 7-10 hari).
Pemberian imunisasi ini sering menyebabkan syok anafilaksis ehinngga harus dilakukan
skin test terlebih dahulu. Jika pda lokasi skin test tidak terjadi kemerahan, gatal, dan
pembengkakan maka imunisasi dapat diinjeksikan, anak-anak diberikan setengah dosis
(750-1250 UI). HyperTet 250 UI dan dosis untuk anak-anak diberikan setengahnya (12,5
UI) bila tidak tahan ATS
3. Pencegahan pada luka, toiletisasi (pembersihan luka) memakai perhidrol (hydrogen
peroksida –H2O2), debridemen, bilas dengan NaCl, dan jahit
4. Injeksi penisilin (terhadap basil anaerob dan simbiosis) (Batticaca, 2012, p. 128)
6. Pengobatan Tetanus :
Berdasarkan pathogenesis, prinsip terapi ditujukan pada adanya toksin yang beredr di
srikulasi darah dan adanya basil di tempat luka. Adanya stimulus yang diterima saraf aferen
dan adanya serabut motoric yang menimbulkan spasme dan kejang
Obat-obatan :
1. Antibiotika
Diberikan parenteral penniciline 1,2 juta unit / hari selama 10 hari, IM. Sedangkan
tetanus pada anak dapat diberikan peicilin dosis 50.000 unit / KgBB / 12 jam secara IM
diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap peniciline, obat dapat diganti dengan
preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-40 mg/kgBB/24 jam, tetapi dosis tidak melebihi
2 gram dan diberikan dalam dosis terbagi (4 dosis). Antibioika ini hanya bertujuan
membunuh bentuk vegetative dari C. tetani, bukan untuk toksin yang dihasilkannya
2. Antitoksin
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Imunoglobulin (TIG) dengan dosis 3000-
6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM, tidak boleh diberikan secara intravena
karena TIG mengandung anti complementary aggregates of globulin, yang mana ini
dapat mencetuskan reaksi alergi yang serius. Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk
menggunakan tetaus antitoksin, yang berawal dari hewan, dengan dosis 40.000
U, dengan cara pemberiannya adalah : 20.000 U dari antitoksin intravena,
pemberian harus sudah diselesaikan dalam waktu 30-45 menit. Setengah dosis
yang tersisa (20.000 U) diberikan secara IM pada daerah pada sebelah luar.
3. Tetanus Toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama, dilakukan bersamaan dengan
pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang
berbeda. Pemberian dilakukan secara IM. Pemberian TT harus dilakukan sampai
imunisasi dasar terhadap tetanus selesai.
4. Antikonvulsan
Penyebab kematian utama pada tetanus neonatorum adalah kejang klonik yang
hebat, muscular dan laryngeal spasm beserta komplikasinya. Dengan
penggunaan obat-obatan sedasi/muscle relaxans, diharapkan kejang dapat
diatasi (Nurarif & Kusuma, 2016, p. 290).
7. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
Definisi:
Ketidakmampuan membersihkan sekret atau obstruksi jalan napas untuk
mempertahankan jalan napas tetap paten.
Penyebab:
Fisiologis
Spasme jalan napas
Hipersekresi jalan napas
Disfungsi neuromuskuler
Benda asing dalam jalan napas
Adanya jalan napas buatan
Sekresi yang tertahan
Hiperplasia dinding jalan napas
Proses infeksi
Respon alergi
Efek agen farmakologis (mis.anastesi)
Situasional
Merokok aktif
Merokok pasif
Terpajan polutan
Gejala dan tanda mayor
Subjektif
(tidak tersedia)
Objektif
Batuk tidak efektif
Tidak mampu batuk
Sputum berlebihan
Mengi, wheezing dan atau ronkhi kering
Mekonium dijalan napas (pada neonatus)
Gejala dan tanda minor
subjektif
Dispnea
Sulit bicara
Ortopnea
Objektif
Gelisah
Sianosis
Bunyi napas menurun
Frekuensi napas berubah
Pola napas berubah
Kondisi klinis terkait:
Depresi sistem saraf pusat
Cedera kepala
Stroke
Sindrom aspirasi mekonium
Infeksi saluran napas (PPNI, 2016, p. 18
1. Intervensi Keperawatan
Tujuan: Pembersihan jalan napas yang efektif, yang dibuktikan oleh pencegahan
Aspirasi; Status pernapasan: Kepatenan Jalan Napas; dan Status Pernapasan: Ventilasi
tidak terganggu.
Kriteria hasil
1. Batuk efektif
Intervensi (NIC)
Aktivitas keperawatan
5. Faktor yang berhubungan, seperti nyeri, batuk tidak efektif, mucus kental, dan
keletihan
Auskultasi bagian dada anterior dan posterior untuk mengetahui penurunan atau
2. Pantau status oksigen pasien (tingkat SaO 2 dan SvO2) dan status hemodinamik
2. Informasikan kepda pasien dan keluarga tentang larangan merokok didalam ruang
3. Instruksikan kepada pasien tentang batuk dan teknik napas dalam untuk
5. Ajarkan pasien dan keluarga tentang makna perubahan pada sputum, seperti
Aktivitas kolaboratif
pendukung
3. Berikan udara atau oksigen yang telah dihumidifikasi (dilembabkan) sesuai
4. Lakukan atau bantu dalam terapi aerosol, nebulizer ultrasonic, dan peralatan paru
5. Beritahu dokter tentang hasil gas darah yang abnormal (Wilkinson, 2016, p. 29).
2. Defisit nutrisi
Penyebab
Subjektif
Tidak tersedia
Objektif
Subjektif
1. Stroke
2. Parkinson
3. Mobius syndrome
4. Cerebral palsy
5. Luka bakar
6. Kanker
7. Infeksi
8. AIDS
Tujuan: memperlihatkan status nutrisi yang dibuktikan oleh indikator sebagai berikut
(sebutkan 1-5: gangguan ekstrem, berat, sedang, ringan, atau tidak ada
Kriteria hasil:
Pasien akan:
1. mempertahankan berat badan
6. memiliki nilai laboratorium (mis., transferin, albumin, dan elektrolit) dalam batas
1. normal
Intervensi
Aktivitas keperawatan
4. Manajemen nutrisi
3. Manajemen nutrisi
4. Berikan informasi yang tepat tentang kebutuha nutrisi dan bagaimana memenuhinya.
Aktivitas kolaboratif
1. Diskusi dengan ahli gizi dalam menentukan kebutuhan proten yang mengalami ketidak
adekuatan asupan protei atau kehilangan protein (mis, pasien anoreksia nervosa,
pemberian makanan melalui slang, atau nutrisi parenteral total agar asupan kalori
4. Rujuk ke program gizi di komunitas yang tepat, jika pasien tidak dapat membel atau
3. Nyeri akut
Definisi : pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan
aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga
berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan
Penyebab :
3. Agen pencedera fisik (mis. Abses, amputasi, terbakar, terpotong, mengangkat berat,
Subjektif
1. Mengeluh nyeri
Objektif
1. Tampak meringis
3. Sulit tidur
Subjektif
1. (tidak tersedia)
Objektif
5. Menarik diri
7. Diaphoresis
1. Kondisi pembedahan
2. Cedera traumatis
3. Infeksi
5. Glaucoma
Nyeri akut
Tujuan : memperlihatkan pengendalian nyeri, yang dibuktikan oleh indicator sebagai berikut
Kriteria Hasil :
kenyamanan
2. Mempertahankan tingkat nyeri pada ___ atau kurang (dengan skal 0-10)
faktor tersebut
secara tepat
tekanan darah
interpersonal.
Aktifitas Keperawatan :
2. Minta pasien untuk menilai nyeri atau ketidaknyaman pada skala 0-10 (0 = tidak
4. Kaji dampak agama, budaya, kepercayaan, dan lingkungan terhadap nyeri dan
respon pasien
5. Dalam mengkaji nyeri pasien, gunakan kata-kata yang sesuai usia dan tingkat
perkembangan pasien
6. Manajemen nyeri
dan durasi, frekuensi, kualitas, intensitas, atau keparahan nyeri, dan faktor
presipitasinya
Penyuluhan pasien/keluarga :
1. Sertakan dalam instruksi pemulangan pasien obatt khusus yang harus di minum,
aktivitas fisik, pembatasan diet) dan nama orang yang harus dihubungi bila
terapi aktivitas, akupresur, kompres hangat atau dingin, dan masase) sebelum,
atau meningkat dan bersama penggunaan tindakan peredaran nyeri yang lain.
Aktifitas kolaboratif :
1. Kelola nyeri pasca bedah awal dengan pemberian opiate yang terjadwal (mis.
2. Manajemen Nyeri :
laporkan kepada dokter jika tindakan tidak berhasil atau jika keluhan saat ini
lalu.