Anda di halaman 1dari 18

BAB PERTAMA

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sampai hari ini studi mengenai pemikiran al-Ghazali tidaklah pernah surut. Fakta ini
pada gilirannya dapat mengurangi suara-suara pejoratif yang ditujukan kepadanya dimana
hampir satu abad dituduh sebagai orang di balik kemunduran tradisi intelektual Islam sejak
kemunculan “Averroism” milik Ernest Renan.1 al-Ghazali dianggap menyangkal hubungan
sebab akibat (kausalitas) yang ia tujukan sebagai penolakan terhadap pemikiran yang
dikembangkan oleh mazhab Paripatetik (masyaiyah).2 Munculnya Tahafut al-Falasifah
akhirnya dilihat sebagai pukulan mematikan terhadap rasionalitas, bahkan kondisi ini menjadi
lebih menyedihkan karena menurutnya ada ide-ide tertentu yang jika seseorang
memegangnya, dapat dianggap sebagai kafir dan tindakan membunuhnya adalah sesuatu
yang wajib.3

Pemikiran al-Ghazali merupakan sintesis antara tradisi Kalam dan Falsafah, sehingga
kita tidak bisa mengatakan dia adalah pendukung salah satu dari keduanya, tetapi keduanya
dipandang saling melengkapi.4 Demikian karena al-Ghazali tetap memberi ruang pada
1
Frank Griffel, "The Western Reception of al-Ghazali's Cosmology from the Middle Ages to the 21st Century"
“in Divan disiplinlerarası çalışmalar dergisi, (2011/1), p. 37; Pervez Hoodbhoy, Islam and Science: Religious
Orthodoxy and the Battle for Rationality (London: Zed Books Ltd., 1991), p. 105; Seyyed Hossein Nasr, Science
and Civilization in Islam, preface by Giorgio De Santillana, (Chicago: Kazi Publication, 2001), p. X; Henry Corbin,
Avicenna and the Visionary Recital, (Irving Texas: Spring Publications, 1980), 13; David Deming, Science and
Technology in World History, Vol. 2: Early Christianity, the Rise of Islam and the Middle Ages, (North Carolina:
McFarland & Company, 2010), 106.
2
Majid Fakhry, Islamic Occasionalism, and Its Critique by Averroes and Aquinas, (London: Georg Allen & Unwin,
1958); Edward Omar Moad, “Prolegomena to an Occasionalist Metaphysics”, Ph.D Dissertation, (Columbia:
University of Missouri, 2004); Harry Austryn Wolfson, The Philosophy of Kalam, (Cambridge: Harvard University
Press, 1976), p. 544-551; Oliver Leaman, An Introduction to Classical Islamic Philosophy, (Cambridge:
Cambridge University Press: 2002), p. 94-107.
3
Frank Griffel, Toleration and Exclusion: al Shafi’i and al-Ghazali on the treatment of Apostases, in Bulletin of
the School of Oriental and African Studies, 64 (2001), 339-354; “‘… and the killing of someone who upholds
these convictions is obligatory!’ Religious Law and the Assumed Disappearance of Philosophy in Islam.” In:
Andreas Speer und Guy Guldentops (Eds.), Miscellanea Mediaevalia 39: Das Gesetz, Berlin and Boston: de
Gruyter, 2014, 201–226.
4
Jon Mcginnis, “Occasiocalism, Natural Causation and Science in al-Ghazali” in James E. Montgomerry (ed),
Arabic Theology, Arabic Philosophy: From the Many to the One : Essays in Celebration of Richard M. Frank ,
(Leuven: Peeters, 2006), h. 439-461; Hamid Fahmy Zarkasyi, al-Ghazali's Concept of Causality: with Reference
to His Interpretations of Reality and Knowledge, (Kuala Lumpur: IIUM, 2010); Macksood Aftab, “Historicizing
Ghazali's Critique of Ibn Sina and Its Influence on Islamic Science”, Master Theses, (Cambridge: Harvard
University, 2014); Hans Daiber, “God versus Causality: al-Ghazali’s Solution and its Historical Background”, in
Georges Tamer (ed), Islam and Rationality: The Impact of al-Ghazali, Papers Collected on His 900th
Anniversary, (Leiden: Brill, 2015), h. 1-23; Frank Griffel, al-Ghazali’s Philosophical Theology, (New York: Oxford
keyakinan ash’ariyah bahwa segala proses alam adalah hasil dari kehendak Tuhan,
disamping itu ia pun tidak keluar dari standar kausalitas para falasifah bahwa ada hukum
dalam alam semesta dimana segala sesuatu terjadi melalui proses sebab akibat secara teratur.
Baginya makhluk hanyalah memiliki kekuatan pasif baik itu sebagai subjek yang berbuat atau
objek yang aktifitas itu dilakukan padanya, dengan demikian makhluk membutuhkan sesuatu
diluar dirinya untuk beraktualiasasi. Kekuatan api untuk membakar memang adalah sebab
dari terbakarnya kapas, tapi kekuatan tadi hanyalah sekedar pasif yang kemudian
diaktualisasikan oleh Tuhan. Disamping itu, pandangan ini juga membolehkan pengetahuan
mengenai ilmu yang pasti terhadap kejadian alam sehingga tidak seperti yang dituduhkan
oleh Ibn Rusyd, hanya saja kepastian dalam kausalitas al-Ghazali bukan diartikan secara
mekanis, tapi yang memberi ruang akan kehendak Tuhan yang pada saat yang sama tidak
merusak hubungan kausal yang ada.5

al-Ghazali menganut paham atomisme yang menyatakan bahwa alam semesta pada
hakikatnya adalah susunan partikel-partikel yang bisa dibagi menjadi sesuatu terkecil (juz’
alladzi la yatajazza’) yang terdiri dari dua elemen yaitu atom (jauhar) dan aksiden (‘arad).
Atom adalah substansi yang tidak berdimensi, sedangkan suatu aksiden tidaklah bisa eksis
dalam aksiden lainnya. Aksiden hanya dapat eksis dalam atom ketika atom-atom ini
berkumpul yang kemudian menjadi tubuh (jism), hingga ia memiliki panjang, lebar dan
kedalaman. Atom-atom tidaklah dapat bertahan dalam dua momen waktu (la yabqa
zamanain), sehingga dalam setiap momen waktu ia ada dan musnah. Ketika Tuhan ingin
memusnahkannya maka Dia akan menghentikan penciptaannya dan tidak memperhaharuinya
lagi.6

Alam semesta pada hakikatnya bukanlah sesuatu atau benda (things), tapi kejadian
atau penampakan (hawadits) yang terjadi dalam ruang dan waktu. Atomisme memberikan
konsequensi bahwa alam semesta sebagai kejadian dikarakteristikkan mempunyai empat
posisi koordinat. Tiga darinya yaitu panjang, lebar dan kedalaman adalah sebagai ruang yang

University, 2009).
5
Jon Mcginnis, “Occasiocalism, Natural Causation and Science in al-Ghazali, h. 461; Hamid Fahmy Zarkasyi,
“Epistemological Implication of al Ghazali’s Account of Causality” in Intellectual Discourse, 26:1 (2018), h. 62.
6
Kojiro Nakamura, “Was Ghazali an Ashʿarite?” in: Memoirs of the Research Department of the Toyo Bunko 51
(1993), h. 12-14; Oliver Leaman, “Ghazali and the Asharites”, in Asian Philosophy, vol. 6, no. 1, 1996, h. 4-7;
Richard M. Frank, “Bodies and Atoms: The Asharite Analysis”, in Islamic Theology and Philosophy, ed. Michael
E. Marmura (Albany: State University of New York Press, 1984). Taufik Ibrahim K., “Ancient Heritage in Kalam
Philosophy”, in Values in Islamic Culture and the Experience of History, ed. N. S. Kirabaev (Washington, DC:
Council for Research in Values and Philosophy, 2002), h. 99–134; Alnoor Dhanani, “Atomism in Islamic
Thought”, in Encyclopaedia of the History of Science, Technology, and Medicine in Non-Western Cultures , ed.
Helaine Selin (Springer: Dordrecht, 2016), h. 794-798.

2
terlekat dalam atom (al-jawhar al-fard) atau agregat dari atom-atom yaitu tubuh (jism),
sehingga disini atom ini dianggap mengisi tempat (mutahayyiz); sedangkan koordinat yang
terakhir adalah waktu, dimana kualitas, properti, sifat atau aksiden secara sesaat menempati
atom atau agregatnya yaitu tubuh. Maka, baik ruang dan waktu keduanya bukanlah substansi
atau aksiden, bahwa keduanya hanyalah dianggap sebagai sebagai relasional saja.7

Menariknya, konsep kausalitas perspektif al-Ghazali banyak didukung oleh berbagai


kesimpulan kosmologi kontemporer saat ini. Diantaranya dalam teori yang dinamakan
dengan Quantum Gravity, yaitu teori yang dihasilkan dari penyatukan antara teori Relativitas
Umum Einstein dan Fisika Kuantum. Di satu sisi teori Relativitas Einstein adalah mengenai
ruang, waktu dan gravitasi, sedangkan Fisika Kuantum adalah mengenai segala sesuatu lain
yang ada di alam, termasuk partikel-partikel elementer, nucleus, atom dan kimia. Munculnya
dua teori tersebut pada awal-awal abad dua puluh telah menandai jatuhnya mekanika
Newton. Problem mengenai penyatuan kedua teori inilah yang menjadi problem utama fisika
dalam memasuki abad dua puluh satu ini.8 Hingga, semenjak pertengahan 1980-an kemajuan
signifikan mulai dibuat, yang menemukan titik baliknya pada penemuan yang tidak hanya
satu tetapi dua pendekatan: String Theory dan Loop Quantum Gravity.9

Berbeda dengan String Theory yang menyelisihi prinsip relativitas umum, hasil utama
dari Loop Quantum Gravity (LQG) dianggap konsisten dengan teori Einstein tersebut. 10
Dalam LQD ruang dilihat tidak kontinu tetapi ia terdiri dari butiran atau atom ruang (atom of
space). Teori ini mendeskripsikan atom ruang tersebut dalam bentuk matematika, dan
memberikan persamaan atau equasi yang menentukan evolusinya. Disebut 'loop', atau cincin
karena mereka terhubung satu sama lain dan membentuk jaringan hubungan yang menjalin
tekstur ruang. Hal ini memberikan konsequensi bahwa tidak ada yang dinamakan dengan
7
A. I Sabra, “The Simple Ontology of Kalam Atomism”, in Early Science and Medicine, 14 (2009), h. 71; Osman
Bakar, “The Atomistic Conception of Nature in Asharite Theology”, in The History and Philosophy of Islamic
Science (Cambridge: Islamic Texts Society, 1999), 91; M.B. Altaie, Daqiq al-Kalam: A Basis for an Islamic
Philosophy of Science, Cambridge Muslim College Papers, No. 4. h. 5-6; God, Nature and the Cause: Essays on
Islam and Science, (USA: Kalam Research and Media, 2016, h. 16-18.
8
Carlo Rovelli, Reality is Not What it Seems: The Journey to Quantum Gravity (UK: Penguin, 2016); Lee Smolin,
Three Roads to Quantum Gravity (UK: Basic Books, 2001).
9
Lee Smolin, “Quantum Gravity Faces Reality”, Physics Today, (November 2006), 44; Jim Al-Khalili, The World
According to Physics (Princeton: Princeton and Oxford University Press, 2020), h. xiii; Jim Baggot, Quantum
Space, Loop Quantum Gravity and The Search for the Structure of Space, Time and The Universe (Oxford:
Oxford University Press, 2018), h. xii.
10
Smolin menyatakan bahwa kesalahan utama teori tersebut adalah mengabaikan prinsip utama dari
relativitas umum bahwa ruang waktu adalah hubungan-hubungan sistem yang berevolusi (an evolving system
of relationships). String teori tetap mempertahankan prinsip mekanika klasik yaitu background dependent,
sehingga seperti halnya partikel yang bergerak dalam geometri ruang-waktu absolut, namun ia adalah dawai
(string). Lee Smolin, Three Roads to Quantum Gravity, p. 149.

3
ruang yang absolute, atom-atom ini tidak berada di ruang karena sebenarnya mereka sendiri
adalah ruang. Ruang diciptakan dengan menghubungkan potongan gravitasi individu
(Graviton) tersebut. Alam semesta bukanlah dianggap sebagai kumpulan objek-objek,
melainkan tentang hubungan-hubungan yang interaktif.11

Lebih jauh, konsekuensi kedua dari teori inilah yang paling ekstrim. Sama seperti
gagasan tentang ruang kontinu yang berisi benda-benda lenyap, demikian pula gagasan
tentang 'waktu' yang absolut pun hilang. Dalam teori LQG, persamaan yang mendeskripsikan
butir ruang dan materi tidak lagi mengandung variabel 'waktu'. Hal ini tidak berarti bahwa
segala sesuatu dianggap diam dan tidak berubah, sebaliknya perubahan ada di mana-mana,
hanya saja proses-proses elementer tidak dapat diatur dalam rangkaian umum yang 'instan'.
Pada skala terkecil butiran ruang (grain of space), dinamika alam semesta ibarat tidak
berlangsung mengikuti irama pentungan seorang konduktor orkestra tunggal, pada satu
tempo, namun setiap proses berkerja secara independen dari entitas lainnya, dengan ritme
sendiri-sendiri. Sehingga, perjalanan waktu bersifat internal bagi alam semesta dunia, ia lahir
dari hubungan antara peristiwa kuantum yang membentuk dunia dan merupakan sumber
waktu itu sendiri.12

Dunia yang dijelaskan oleh teori LQD dengan demikian semakin jauh dari dunia
dalam fisika yang selama ini dikenal. Tidak ada lagi ruang yang 'berisi' dunia, dan tidak ada
lagi waktu 'di mana' peristiwa terjadi. Hanya ada proses dasar di mana kuanta ruang dan
materi terus berinteraksi satu sama lain. Ilusi ruang dan waktu yang terus berlanjut di dalam
alam adalah penglihatan kabur dari proses-proses dasar yang begitu banyak ini. Bagi para
saintis yang mendukung teori ini, memikirkan dunia sebagai kumpulan peristiwa, proses,
adalah cara yang memungkinkan untuk lebih memahami, dan mendeskripsikan mengenai
hakikat realitas fisik ini. Bahkan, ia adalah satu-satunya cara yang kompatibel dengan teori
relativitas sebagaimana yang dijelaskan Einstein. Sehingga, dunia sebenarnya bukanlah
kumpulan benda, ia adalah kumpulan peristiwa. Unit-unit dasar yang digunakan untuk
memahami dunia tidak terletak di beberapa titik tertentu di dalam ruang. Realitas fisik tidak
hanya ada di suatu tempat (in a where) tetapi juga di suatu saat (in a when). Mereka tidak

11
Carlo Rovelli, Seven Brief Lessons on Physics, (UK: Penguin Random House, 2014), h. 34-35; George Johnson,
“How the Universe Built? Grain by Grain”, https://faculty.washington.edu/smcohen/320/GrainySpace.html.;
Lee Smolin, “Loop Quantum Gravity”, www.edge.org.”; “Atoms of Space and Time”, Scientific American, Vol.
290, Issue 1, (January, 2004), 66-75.
12
Carlo Rovelli, Seven Brief Lessons on Physics, h. 35.

4
hanya dibatasi secara spasial tetapi juga dibatasi oleh waktu: mereka adalah peristiwa
(events).13

Berdasarkan dari apa yang telah diulas di atas, penelitian ini akan mencoba
menjelaskan relevansi dari teori kausalitas dalam perspektif al-Ghazali dengan kosmologi
kontemporer secara kritis dan analitis. Terutama penulis akan mencoba menelusuri beberapa
teori yang dianggap mendukung tesis utama kausalitas al-Ghazali yaitu yang bisa ditemukan
dalam LQD dan beberapa teori lainnya. Hal ini bukan bermaksud cocokologi, bahwa
sebagaimana yang akan dibuktikan terdapat beberapa aspek yang saling mendukung
disamping pelbagai perbedaan-perbedaan yang ada.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu teori kausalitas al-Ghazali?
2. Bagaimana relevansi kausalitas al-Ghazali dengan kosmologi kontemporer?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui teori kausalitas al-Ghazali.


2. Untuk menemukan relevansi kausalitas al-Ghazali dengan kosmologi kontemporer.

D. Manfaat Penelitian

Secara teoritis, signikansi dari tulisan ini adalah sebagai langkah awal dalam
mereformulasikan warisan intelektual Islam dalam menghadapi tantangan worldview Barat
yang telah banyak merasuki berbagai disiplin ilmu modern. Projek ini begitu penting karena
dalam konteks dialog peradaban, ia membutuhkan proses canggih dalam bentuk approsiasi
dan asimilasi yang dalam konteks tertentu juga disebut Islamisasi. Karena itu mustahil
peradaban Islam dapat berkembang tanpa melakukan sintesis kreatif tadi, yaitu disamping ia
memanfaatkan berbagai kemajuan zamannya, namun ia harus tetap dapat menegaskan
identitas asalnya.14

13
Carlo Rovelli, The Order of Time, (New York: Riverhead Books, 2018), h. 62; Lee Smolin, Three Roads to
Quantum Gravity, h. 49-66.
14
Lebih jauh mengenai bagaimana projek dan trajektori Islamisasi lihat, Wan Mohd Nor Wan Daud, The
Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas: An Exposition of the Original

5
Selanjutnya, diantara signikansi lain dari studi ini adalah untuk memperkenalkan
pendekatan worldview Islam dengan karakteristik tauhidiknya dalam melakukan suatu
penelitian. Pendekatan ini dirasa mendesak karena akhir-akhir ini banyak muncul berbagai
pendekatan parsial dan dikotomis yang dikenalkan oleh para cendekiawan Barat. Meski tidak
dipungkiri banyak ilmu yang dikembangkan dan teknologi yang dihasilkan dari metodologi
mereka, namun pada kenyataannya disisi lain ia justru menjadi penyebab munculnya berbagai
fenomena pragmatisme, liberalisme dan ateisme yang telah menjadi penyakit akut dan
nestapa tragis masyarakat modern.

Adapun secara praktis tulisan ini diharapkan dapat menjadi sumbangan dalam
mengembangkan fisika dan kosmologi modern yang telah banyak terinfiltrasi dengan paham
ateisme dan saintisme yang membahayakan komunitas beragama dan secara khususnya
Islam.

E. Survey Literatur

Isu mengenai kosmologi al-Ghazali telah banyak menyita perhatian para


cendekiawan. Terutama mengenai problem kausalitasnya, puluhan makalah dan disertasi
telah terhasilkan di berbagai tempat dan dalam berbagai bahasa. Namun, sebagaimana tujuan
utama dari penelitian ini yaitu untuk menelusuri kausalitas al-Ghazali dan kemudian
menemukan relevansinya dengan kosmologi modern. Maka, hanya ada beberapa karya saja
yang telah membahasnya.

Pertama adalah tulisan karya K. Harding berjudul “Causality Then and Now: al-
Ghazali and Quantum Theory” yang diterbitkan pada tahun 1993.15 Dalam makalah ini K.

Conception of Islamization (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998); “Dewesternization and Islamization: Their Epistemic
Framework and Final Purpose.” In Critical Perspectives on Literature and Culture in the New World Order. Ed.
Noritah Omar, Washima Che Dan, et al. Newcastle: Cambridge Scholars Publishing, 2010. 2–25; Adi Setia
“Three Meanings of Islamic Science: Toward Operationalizing the Islamization of Science.” Islam & Science 5,
no. 1 (Summer 2007) : 23–52; “Kalam Jadid, Islamization and The Worldview of Islam: Operationalizing The
Neo Ghazalian, Attasian Vision” in Journal of Islam and Science Vol. 10 (Summer 2012) No. 1, p. 25-73; “ The
Theologico-Scientific Research Program of the Mutakallimun: Intellectual Historical Context and Contemporary
Concerns with Special Reference to Fakhr al-Din al-Razi”, Islam and Science, vol. 3 (Winter 2005), no. 2, p. 127-
151; Nidhal Guessoum, Kalam’s Necessary Engagement with Modern Science (Dubai: KRM, 2011); M. Afifi al-
Akiti and H.A. Hellyer, “The Negotiation of Modernity through Tradition in Contemporary Muslim Intellectual
Discourse: The Neo-Ghazalian, Attasian Perspective” in Knowledge, Language, Thought and the Civilization of
Islam: Essays in Honor of Syed Muhammad Naquib al-Attas. Ed. Wan Mohd Nor Wan Daud and Muhammad
Zaini Uthman (Kuala Lumpur: UTM, 2010), p. 119-134.

15
K. Harding, "Causality Then and Now: al-Ghazali and Quantum Theory" in the American Journal of Islamic
Social Sciences, 10:2, p. 165-177.

6
Harding secara singkat mencoba menelusuri kesamaan antara teori kausalitas al Ghazali yang
muncul pada abad kesebelas dengan teori kuantum yang baru menyusul pada abad kedua
puluh, terutama teori yang dikembangkan menurut interpretasi Copenhagen. Harding
menyimpulkan kedua teori ini sama-sama mengajukan gambaran dunia yang berbeda
sebagaimana yang biasa dialami sehari-hari. Suatu objek sebenarnya tidaklah memiliki
eksistensi independen, karena itu penampakan suatu benda adalah menipu, karena tidak
sesuai dengan hakikatnya, dalam konteks ini jika menurut al Ghazali dependensi sesuatu
bergantung pada Tuhan, sedangkan dalam interpretasi Copenhagen ia bergantung pada sang
pengamat.

Menyusul satu dekade kemudian sebuah tesis master dihasilkan di McGill Canada
yang berjudul “al-Ghazali and Quantum Physics: A Comparative Analysis of the Seventeenth
Discussion of Tahafut al Falasifa and Quantum Theory”, oleh Umit Yoksuloglu Devji.16
Sebagaimana judul yang ada, dalam tesisnya Umit berusaha membandingkan antara teori
(Kausalitas) al Ghazali yang secara khusus penulis batasi dalam diskusi ke tujuh belas dalam
Tahafut al Falasifah dan teori kuantum milik sains modern. Berbanding dengan K. Harding
yang hanya membahas interpretasi Copenhagen saja, Umit secara detail mengulas berbagai
macam interpretasi yang ada dalam fisika kuantum yang hampir menghabiskan setengah
bagian dari tesis tersebut. Dalam kesimpulannya yang hampir sama dengan Harding, Umit
menyatakan bahwa kedua teori tadi sama-sama menolak kausalitas inheren yang mengatur
alam, juga batas ketidakmampuan observasi manusia dalam memahami realitas objektif, yang
kemudian, memberikan konsekuensi untuk mengevaluasi kembali konsep probabilitas yang
ada.

Tulisan selanjutnya adalah karya Mehdi Golshani berjudul “Quantum Theory,


Causality and Islamic Thought”. Disini Golshani menjelaskan bahwa kausalitas adalah salah
satu postulat penting dalam apa yang ia sebut filsafat Islam, karena itu ia menerima konsep
ini secara positif sebagaimana ide mengenai kausalitas sekunder sesuai dengan berbagai
interpretasi ayat-ayat al-Qur’an. Sebaliknya golongan Ash’ariyah menolak prinsip ini bahwa
kausalitas tidaklah pasti. Dengan perkembangan fisika kuantum, maka ia membangkitkan
kembali kontroversi lama mengenai kausalitas dalam pemikiran Islam, dimana baginya
hampir sebagian besar fisikawan muslim menerima penafsiran kopenhagen yang dalam
kasusnya memiliki beberapa kemiripan. Namun, Golshani pun menganggap bahwa banyak

16
Umit Yoksuloglu Devji, “Al-Ghazali and Quantum Physics: A Comparative Analysis of the Seventeenth
Discussion of Tahafut al Falasifa and Quantum Theory", Master Theses, (Canada: McGill University, 2003).

7
dari filsuf muslim yang menerima konsep kausalitas sebagaimana posisi Einstein yang
menolak penafsiran ortodok dari fisika kuantum tersebut.17

Selanjutnya adalah tulisan karya Basil Altaie seorang fisikawan ahli kalam dalam
salah satu bab bukunya yang berjudul “God, Nature and the Cause: Essays in Islam and
Science”. Dalam tulisannya Altaie mengajukan alternatifnya dalam menengahi problem
interpretasi fisika kuantum dengan konsep “Continuous Re-Creation” seraya merujuk pada
konsep tajaddud al-‘Arad para mutakallimun. Baginya ketidakpastian yang muncul dalam
fisika kuantum saat diamati seperti posisi, kecepatan, energi dan waktu adalah simultan
dengan ide penciptaan terus-menerus, dimana asumsi penciptaan kembali sifat-sifat bawaan
dari entitas-entitas membolehkan adanya hubungan kausal yang tidak pasti yang pada
gilirannnya pada sisi lain juga membolehkan adanya kausalitas dalam alam. Lebih jauh,
baginya penafsiran ini juga dapat memecahkan paradok pada quantum measurement,
demikian karena baik subjetivitas sang pengamat atau runtuhnya fungsi gelombang adalah
dianggap sebagai hasil langsung dari penciptaan kembali tersebut.18

Tulisan lainnya adalah karya Ahmed Mekin Kandemir yang berjudul panjang,
“Debates on Causality in Islamic Kalam and Modern Physics: A Comparison Between the
Theory of Ṭabʽ and the Soft-Deterministic Interpretations of Quantum Theory”. Menurutnya
pembacaan baru atas fisika kuantum dengan teori-teori fisika mutakallimun adalah
memungkinkan. Terutama merujuk pada konsep atom (Jawhar) dari kalangan Ash’ariyah dan
konsep latensi (Kumun) yang diusung oleh al-Nazzam dari golongan Mu’tazilah. Dalam
pembacaannya, elektron adalah seperti jawhar yang tidak memiliki kualitas yaitu yang dalam
kasusnya posisi dan kecepatan, namun ia hanyalah gelombang. Karena itu ia tidak
mempunyai dimensi dan eksistensi nyata sampai fungsi gelombang tadi runtuh hingga
memiliki posisi dan kecepatan. Berangkat darisini kemudian ia menariknya pada asumsi
bahwa semua kemungkinan yang terdapat pada fungsi gelombang dapat dideskripsikan
sebagai kemungkinan-kemungkinan epistemologis yang tersembunyi (kumun) di dalam
materi, saat elektron tersebut mengaktulisasi dan muncul (zuhur), maka ia menjadi cahaya.

17
Mehdi Golshani, “Quantum Theory, Causality and Islamic Thought”, in The Routledge Companion to Science
and Religion, ed. James W. Haag, Gregory R. Peterson, and Michael L. Spezio (London: Routledge, 2012), p.
188.
18
Basil Altaie, God, Nature, and the Cause: Essays in Islam and Science (USA: Kalam&Research Media, 2016), p.
82-83; “Re-Creation: A Possible Interpretation of Quantum Indeterminism”. ArXiv:0907.3419v2 [Quant-Ph] 23
Jul 2009, 1-18.

8
Dalam skenario ini maka peran tuhan adalah pada jatuhnya fungsi gelombang dan sebab dari
elektron dan sang pengamat untuk ada saat pengamatan dilakukan.19

Berdasarkan yang telah dijelaskan diatas, sejauh pengamatan penulis maka tidak ada
karya lain yang mencoba mencari relevansi kausalitas al-Ghazali selain dari fisika kuantum
dalam diskursus kosmologi kontemporer, dimana meskipun ada namun konsep yang
dibangun adalah bukan dari pemikiran al-Ghazali sendiri, dimana ia masih dianggap menolak
kausalitas. Dalam konteks ini, tulisan ini akan mencoba mengambil bagian tersebut, terutama
yang dilakukan dengan mengevaluasi framework dari teori kausalitas al-Ghazali dan
beberapa teori dalam kosmologi kontemporer untuk kemudian dicari celah dan potensi dari
keduanya untuk dipertemukan sehingga menghasilkan konsep kausalitas yang sesuai dengan
worldview Islam dan sains modern. Karena itu juga, melihat fokus tulisan ini adalah
mengenai framework yaitu yang merupakan ranah spekulatif, maka ia tidak akan menyentuh
ranah praksis yang berhubungan dengan rumus-rumus ekuasi matematis.

F. Landasan Teoritis

Landasan teori yang akan digunakan dalam studi ini adalah teori kosmologi dan
metafisika al-Attas. Secara khusus penulis akan menggunakan pemikiran al-Attas untuk
menganalisis relevansi kausalitas al-Ghazali dalam kosmologi kontemporer. Hal ini sesuai
dengan fungsi dan tujuan dari kosmologi Islam sendiri, yaitu sebagai penghubung antara
sains alam dan sistem metafisika Islam dan kunci pemahaman akan alam semesta dan posisi
manusia di dalamnya. Karena itu, manfaat utama dari mempelajarinya tidak hanya dapat
memperjelas beragam aspek dari sains dan filsafat Islam, namun bagaimana seharusnya
perilaku seorang intelektual muslim yang mengakar dengan tradisinya terhadap setiap sains
asing yang memberikan gambaran lain dari realitas kosmik.20 Alasan lain diantaranya adalah
karena pemikiran al-Attas dianggap mewakili sintesis besar dari tradisi Falsafah, Kalam dan
Tasawwuf dalam sejarah Islam21 yang ia kembangkan termasuk dalam konsep kosmologinya.
19
Ahmed Mekin Kandemir yang berjudul panjang, “Debates on Causality in Islamic Kalam and Modern Physics:
A Comparison Between the Theory of Ṭabʽ and the Soft-Deterministic Interpretations of Quantum Theory”,
bilimname XLI, 2020/1, p. 714-715
20
Seyyed Hossein Nasr, “Cosmology” in Science and Technology in Islam, A. Y. al-Hassan (ed), (Lebanon:
UNESCO Publishing, 2001), Vol.1, p. 403-404.
21
Adi Setia, “Al-Attas’ Philosophy of Science: An Extended Outline”, Islam & Science, Vol. 1 (December 2003)
No. 2, p. 170.

9
Dari sini pemikiran al-Attas dianggap dapat membendung berbagai debat yang telah meliputi
wacana pemikiran Islam selama berabad-abad, dimana setiap pemikiran berusaha
menawarkan alternatifnya masing-masing.

Dalam membangun filsafat sainsnya, yang termasuk di dalamnya kosmologi, Al-Attas


menggunakan visi ontologi dan metafisika tentang wujud tertinggi sebagaimana yang
ditegaskan dalam pengalaman intuitif langsung para sufi.22 Dia menekankan bahwa
metafisika ini bukanlah sekedar abstraksi spekulatif dalam tataran konseptual saja, tetapi ia
adalah hakikat (haqiqah) realitas yang dialami langsung pada level kesadaran supra-rasional
atau trans-empiris. Pada tataran inilah yaitu yang merupakan tataran ihsan, pemikiran rasional
menyatu dengan pengalaman empiris sehingga ilmu disebut dengan penyatuan (tauhid). 23
Dalam tataran ini juga pandangan mengenai struktur realitas dan kognisi manusia pada
tingkat pengalaman menemukan validitasnya dalam konteks yang lebih besar yaitu pada
tingkat realitas yang lebih tinggi dalam kesadaran manusia.24

Realitas mutlak dapat disimpulkan secara logis melalui mediasi pengalaman inderawi
dan akal diskursif, yakni sebagaimana yang dilakukan oleh para mutakallimun dan falasifah.
Namun pengalaman langsung para sufi lah yang dapat memberikan secara penuh kejelasan
dan keyakinan akan realitas tersebut dalam hati. Demikian karena deskripsi realitas mutlak
oleh sufi bukanlah dari hasil abstraksi tidak langsung, namun ia adalah visi langsung
sehingga ia adalah deskpripsi paling otentik dan akurat.25 Inilah kenapa bagi al-Attas, wahdat
al-wujud mewakili sistem metafisik sejati yang mencakup domain ontologis, kosmologis, dan
psikologis dalam visi Islam tentang realitas dan kebenaran. 26 Disamping itu, al Attas juga

22
Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Positive Aspects of Tasawwuf: Preliminary Thoughts on an Islamic
Philosophy of Science, (Kuala Lumpur: Islamic Academy of Science, 1981), p. 13
23
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), p. 162.
24
Al-Attas, The Positive Aspects of Tasawwuf, p. 12-13.
25
Syed Muhammad Naquib al-Attas, A Commentary on the Hujjat al-Siddiq of Nur al-Din al-Raniri: being an
exposition of the salient points of distinction between the positions of the theologians, the philosophers, the
Sufis and the pseudo-Sufis on the ontological relationship between God and the world and related questions
(Kuala Lumpur: Ministry of Culture, 1986), p. 295-300.
26
Al-Attas, The Positive Aspects of Tasawwuf, p. 2. Al-Attas tentu sadar akan status kontroversial konsep ini,
karena itu ia pun menekankan sebenarnya banyak dari para pengkritik wahdah al-wujud ini yang telah luput
akan berbagai poin penting dari metafisika sufi tersebut, sehingga mereka salah mengapresiasi dan memahami
konsep ini. Diantaranya poin-poin tersebut adalah, 1. Fundamentality of existence as oppose to that of
essence, 2. The reality of existence is not static like its effect in the mind as a concept, 3. The dynamism of
reality of existence in terms of expansion and contraction that evolves itself in ambituous gradations into
various of ontological expression, 4. Essence in its own level of existence is unknown and unknowable, 5. The
Name and Attributes have a double nature, one identical with the Essence and the other distinct from the
Essence and from each other, and the archetypal realities take their rise from this latter aspect of their nature,
6. The archetypal realities and their involvement in the forms of empirical things each has a dual nature
characterized by complementary opposites, reflecting their source of origin in the Names and Attributes, 7.

10
mengakui akan konseptualisasi Ashariyah tentang teori atomisme dan okasionalisme tentang
penciptaan yang terus-menerus dalam menjelaskan ketergantungan ontik alam ini pada Sang
Pencipta, yang baginya secara tidak langsung juga menyiratkan wahdat al-wujud.27 Jika sufi
mempunyai konsep tajdid al-khalq bi al-anfas, maka mutakallimun punya tajdid al a’rad.28
Disini al-Attas sepakat dengan al-Raniri bahwa sejatinya perbedaan antara para sufi dengan
mutakallimun dalam memahami realitas hanyalah perbedaan ekspresi saja, bukan makna.
Hanya saja al Attas menandai lebih jauh bahwa pandangan mutakallimun tersebut hanya
berlaku sejauh pada level pengalaman biasa, yaitu saat seseorang menjadi esensialis dalam
mempersepsikan realitas sesuai dengan tabiat pikiran.29

Dalam menjelaskan hubungan ontologis antara Tuhan dan dunia, al-Attas mengikuti
Ibn al-Arabi yang telah mengartikulasikan secara sistematis pengalaman intuitif para sufi. Ibn
al-Arabi memahami hubungan ini dalam istilah 'penurunan' ontologis (tanazzul) dari
keberadaan Mutlak dalam lima tahap non-temporal dan non-spasial, yang terakhir adalah
dunia empiris, hal-hal yang nyata.The Divine Oneness (al-wahidiyyah). The Names and
Attributes (al-asma’ wa’l-sifat). The Permanent Archtypes (al-a’yan al-thabitah). The
Exterior Archtypes (al-a’yan al-kharijiyyah). The World of Sense and Sensible Experience
(alam al-shahadah).30 “Kebalikan dari penurunan ontologis ini adalah 'pendakian' (taraqqi)
dari hal-hal di dunia empiris kembali ke sumber keberadaan mereka. Tidak ada urutan waktu
yang terlibat dalam proses dinamis ini, karena ia adalah proses abadi yang menggambarkan
tatanan Wujud Mutlak dan Keberadaan.31 Kata 'naik' dan 'turun' di sini harus dipahami dalam
pengertian metaforis sebagai merujuk pada“ berbagai cara di mana Dia memanifestasikan
diri-Nya kepada kita dalam perjalanan pengetahuan kita tentang Dia.32

The fana’ and baqa’ structure of the intuition of existence has a dual stage level of cognitive experience
characterized by a partial experience at the first stage and a complete experience at the second stage which
involves both the physchological and the ontological realms of existence, 8. The true vision of the Ultimate
reality accessible to man is based upon the second of the two stages, which affirm both God as the Reality as
well as realities other than God, 9. As the Holy Quran contains established and ambiguous meanings, so does
the book of nature, 10. Religion is likewise constituted by established (the shari’ah) and ambiguous (the
haqiqah) aspects of the same reality and truth, and that the reality of the latter is based upon the established
truth of the former. Al-Attas, A Commentary on the Hujjat al-Siddiq, p. 455-456.
27
Al-Attas, A Commentary on the Hujjat al-Siddiq, p. 295.
28
Al-Attas, A Commentary on the Hujjat al-Siddiq, p. 341.
29
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the
Fundamental Elements of the Worldview of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), p. 319.
30
Al-Attas, The Positive Aspects of Tasawwuf, p. 10-11; Prolegomena to the Metaphysics of Islam, p. 274-80; A
Commentary on the Hujjat al-Siddiq, p. 155-76; The Mysticism of Hamzah Fansuri, (Kuala Lumpur: University of
Malaya Press, 1970), p. 67.
31
Al-Attas, The Positive Aspects of Tasawwuf, p. 11.
32
Al Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri, p. 73.

11
Berangkat dari sistem metafisika sufi diatas, al-Attas mengembangkan pemikiran
kosmologinya, yaitu yang berkaitan tentang status, struktur dan proses realitas fenomenal.
Dalam kosmologi ini, alam sebagai dunia ciptaan dipandang sebagai analogi bagi al-Qur’an
yang diwahyukan dan tidak diciptakan. Dasar dari analogi ini adalah bahwa keduanya pada
dasarnya adalah sistem tanda yang terintegrasi dan konsisten dengan dirinya sendiri yang
memberitahu manusia tentang Penciptanya.33 Oleh karena itu, dunia luar alam dan dunia
internal jiwa manusia menyediakan jalan pengalaman “otonom” yang dengannya setiap
manusia rasional dapat dibawa untuk menegaskan kebenaran pesan dari Wahyu. Dengan kata
lain, kebenaran Wahyu dapat diverifikasi dalam pengalaman, yang maknanya pada gilirannya
diinformasikan oleh akal budi.34

Dalam visi kosmologis ini, alam dipelajari bukan untuk kepentingannya sendiri, tetapi
berdasarkan makna atau kebenaran yang melampauinya. Seperti sebuah kata yang ada
dimaknai berdasarkan makna transenden yang dimilikinya dan bukan karena dirinya sendiri.
Sebagaimana kata-kata dalam sebuah buku, segala sesuatu di alam semesta tidak memiliki
realitas independen baik secara esensial maupun eksistensial. 35 Mereka mengacu pada selain
diri mereka sendiri, dan bahwa 'yang lain' adalah kebenaran yang mereka maksud. Oleh
karena itu studi ilmiah modern tentang hal-hal, tentang 'hukum alam', seolah-olah mereka
"yang terakhir dan subsisten," adalah studi " tanpa tujuan nyata, "dan studi semacam itu
menjadi" penyimpangan dari kebenaran "dan validitasnya dipertanyakan. 36 Dengan melihat
alam semesta secara independen dan subsisten, sains modern pada kenyataannya
mengabaikan yang real untuk yang tampak, dan dengan demikian kehilangan keseluruhan
poin studinya.

Pada gilirannya, konsepsi tentang sifat sejati realitas fenomenal ini memiliki
konsekuensi logis tentang sifat kausalitas atau sifat hubungan yang diperoleh antara benda
dan peristiwa dalam ruang dan waktu. Sebagaimana objek-objek yang ada dalam alam tidak
mempunyai independensi, maka ruang dan waktu yang menjadi latar belakang terjadinya
peristiwa juga memudar. Sebagaimana yang jelas dalam analogi kata, bahwa hubungan nyata
antara kata-kata individu terpisah yang menyusun sebuah buku pada hakikatnya adalah
konseptual dan relasional yang berdasarkan konten semantik dan bentuk sintaksisnya, bukan
33
Al-Attas, A Commentary on the Hujjat al-Siddiq, p. 460.
34
Adi Setia, “Al-Attas’ Philosophy of Science: An Extended Outline”, p. 179.
35
Dalam istilah Nursi ia tidak memiliki makna nominal, referensi diri (ma’na ismi) tetapi hanya relasional atau
makna referensial lain (ma’na harfi), Sukran Vahide, “The Book of The Universe: Its Place and Development in
Bediuzzaman’s Thought”, Tsaqafah, Vol. 10, No. 1, Mei 2014, p. 135.
36
Al-Attas, The Positive Aspects of Tasawwuf, p. 6; Prolegomena to the Metaphysics of Islam, p. 133-34.

12
fisiknya baik yang berdasarkan skrip yang terlihat dan suara yang terdengar. Kata-kata ini
memproyeksikan sistem makna yang koheren yang tidak tertanam dalam kata-kata itu sendiri
tetapi dalam pikiran penulis atau pembicara yang secara objektif mengungkapkan pemikiran
kreatifnya.37

Sama seperti kata-kata yang hanya mengambil bagian dari realitas simbolis yang
mewujudkan pemikiran kreatif pembicara pada tingkat realitas verbal, demikian pula, alam
pada akhirnya hanya merupakan bentuk simbolik yang mewujudkan kreativitas ilahi pada
tingkat realitas yang masuk akal yang fenomenal.38 Sehingga, bukan kausalitas dalam kata
pada kata atau peristiwa kepada peristiwa, yang memunculkan makna dan keteraturanya
sendiri, namun ada pada setiap saat yang mengekspresikan diri yaitu pembicara cerdas
kepada kata, atau agen cerdas kepada peristiwa yang menjadi peredaran kausalitasnya.
Sehingga sebab disini harus dipahami dalam pengertian al-Ghazali yakni sebagai sebab
dalam pengertian khusus yang disebabkan oleh agen yang berkehendak.39

Sama seperti sebuah buku atau kalimat yang terdiri dari kata-kata dan huruf yang
berbeda, demikian pula dalam konsep kausalitas ini, alam terdiri dari peristiwa, proses dan
hubungan yang diskrit dan tidak berkesinambungan yang pada kenyataannya hanyalah
manifestasi yang terus-menerus diperbarui dari realitas spiritual yang mendasari dan menetap
dari keberadaan yang menyertai dan mengecualikannya. Bentuk-bentuk alam yang majemuk
dan beragam “mengambil bagian dalam keberadaan simbolis karena senantiasa
diartikulasikan oleh firman Allah yang kreatif,”.40 Singkatnya, alam adalah simbol yang
melaluinya realitas yang lebih tinggi dan lebih bertahan daripada itu termanifestasi, atau
dalam istilah al-Raniri, dunia fenomenal adalah teater perwujudan dari wujud hakiki sang
Maha Kuasa.41

Sebagai konsekuensi, hal-hal di dunia ini tidak independen dan, hidup dengan
sendirinya, yang esensinya mengatur dirinya sendiri dan bertahan dalam ruang dan waktu
yang absolut, melainkan segala sesuatu binasa saat muncul dan terus-menerus diciptakan
kembali oleh Sang Pencipta,42 karenanya tidak adanya hubungan yang niscaya antara sebab
dan akibat.43 Sebab dan akibat hanyalah diciptakan bersama dan berkorelasi dalam suatu
37
Adi Setia, ”Al-Attas’ Philosophy of Science”, p. 181
38
Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, p. 113; The Positive Aspects of Tasawwuf, p. 6-8.
39
Al-Attas, The Mysticism of Hamzah Fansuri, p. 101-2.
40
Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, p. 133.
41
Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, p. 139; The Positive Aspects of Tasawwuf, p. 11.
42
Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, p. 142; A Commentary on the Hujjat al-Siddiq, p. 256.
43
Al-Attas, A Commentary on the Hujjat al-Siddiq, p.p. 296.

13
tatanan atau sistem integral di mana sebab-sebab hanyalah kondisi untuk akibat. Pada
gilirannya tatanan atau sistem integral ini kemudian dipersepsikan melalui penyelidikan
ilmiah dalam kerangka urutan prioritas dan posterioritas spasial linier tertentu yang mengatur
hal-hal dan peristiwa di alam, beberapa di antaranya ditempatkan sebagai penyebab atau
anteseden bagi yang lain, dan sebagai konsequen atau efeknya, hingga menjadi suatu pola
dan keteraturan alam yang disebut sebagai 'hukum alam', padahal pada kenyataannya ia
adalah cerminan dari “cara penciptaan” Tuhan. Tatanan ini memiliki stabilitas dan
kontinuitas tertentu karena Tuhan tidak mengubah cara penciptaan-Nya. Tuhan menciptakan
sebab dan akibat dan menghubungkan mereka bersama-sama dalam "jaringan peristiwa dan
hubungan yang menyatu" yang dinamis. 44

Maka, pada hakikatnya hukum dan keteraturan kosmologis tidak melekat sebagai
sifat-sifat yang niscaya darinya, tetapi merupakan sifat-sifat yang dirancang untuk dan
dipaksakan padanya oleh tuhan dari Kehendak dan KekuasaanNya.45 Dalam konteks inilah
menurut al Attas kontribusi filosofis dan signifikansi kalam atomisme harus dihargai. 46 Yaitu
sebagai upaya dasar untuk menunjukkan secara rasional yang kebergantungan dan
kontingensi dari setiap otonomi ontik pada setiap bagian proses alam yang berseberangan
dengan kausalitas naturalistik darwinian yang melihat segala sesuatu sebagai perubahan,
perkembangan dari latensi materi abadinya, alam semesta akhirnya dianggap abadi yang
berevolusi menurut sistem hukumnya sendiri.47

G. Metode Penelitian

Secara metode dan prosedur tulisan ini berjenis kajian literatur yang akan diarahkan
pada kajian kualitatif dengan menggunakan pendekatan interdisipliner. Yaitu pendekatan
integratif yang bertujuan untuk memecahkan suatu masalah dengan meninjau konsep-konsep
atau teori-teori relevan tertentu yang berkaitan. Sehingga secara tidak langsung hal ini juga
mengarahkan pada lahirnya pemahaman baru pada disiplin-disiplin yang telah ada baik itu

44
Adi Setia, ”Al-Attas’ Philosophy of Science”, p. 183-184.
45
Adi Setia, “Taskhir Fine-Tuning, Intelligent Design and The Scientific Appretiation of Nature”, Islam & Science,
Vol. 2 (Summer 2004) No. 1, p. 31.
46
Al-Attas, A Commentary on the Hujjat al-Siddiq, p. 210-3; Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational
Philosophy and Practise of Syed Muhammad Naquib al-Attas: An Exposition of the Original Concept of
Islamization, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), p. 322.
47
Al-Attas, A Commentary on the Hujjat al-Siddiq, p. 460-461; Prolegomena to the Metaphysics of Islam, p. 115.

14
sosial humaniora atau sains alam.48 Secara khusus kajian ini menggunakan pendekatan
interdisipliner karena ia bukan bermaksud untuk membandingkan antara pemikiran al-
Ghazali dan kosmologi kontemporer, namun untuk mempertemukan keduanya, bahkan
menggabungkannya. Hal ini sebenarnya juga berkaitan dengan landasan teori yang digunakan
yaitu worldview, yang bersifat melampaui batas-batas kultural suatu pemahaman. 49 Adapun
untuk membangun argumen yang kuat dan memperoleh informasi yang akurat penulis akan
menggunakan berbagai rujukan baik itu primer atau sekunder yang dinilai autoritatif.

H. Sistematika Penulisan

Pada bab pertama sebagai pembukaan tulisan ini terdiri dari berbagai sub bab yaitu
latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, survey
literatur, framework teoritis, metode penelitian dan sistematika penelitian. Selanjutnya pada
bab kedua tulisan ini akan menjelaskan mengenai beberapa konsep teknis yang berhubungan
dengan dua teori utama yang akan dibandingkan yang ditujukan untuk melacak garis besar
dari latar belakang keduanya, sehingga pembahasan bisa semakin jelas dan fokus pada bab
selanjutnya. Adapun pada bab ketiga, penulis akan menjelaskan secara detail kedua teori
tersebut yang berangkat dari beberapa konsep-konsep tertentu yang dianggap signifikan
untuk dibandingkan. Yang terakhir yaitu bab empat sebagai penutup ia berisi kesimpulan dan
saran.

48
Joe Moran, Interdisciplinarity (London: Routledge, 2002), p. 182; John T. Graham, The Social Thought of
Ortega Y. Gasset: A Systematic Synthesis in Postmodernism and Interdisciplinarity (Columbia, University of
Missouri Press, 2001), p. 391-445; Andrew Barry and Georgina Born (Ed.), Interdisciplinarity: Reconfigurations
of the Social and Natural Sciences (New York: Routledge, 2013).
49
Ninian Smart, Worldviews: Crosscultural Explorations of Human Beliefs (New York: Charles Scribner’s Son,
1983); Nicole Note, etc. (Ed.), Worldviews and Cultures Philosophical Reflections from an Intercultural
Perspective (Belgium: Springer, 2009); M.R. Matthews (Ed.), Science, Worldviews and Education (Netherlands:
Springer, 2009). Dari sudut pandang ini maka demarkasi antara sains alam dan kemanusiaan hanyalah relatif
saja, sekedar untuk kenyamanan organisasional, sedangkan pada akhirnya semua sains adalah sains manusia ,
karenya hanya manusia yang dapat berkutat dalam studi sistematis dengan alam dan budaya. Adi Setia, “Vision
in Action: Operationalising the Islamisation of Science and Technology”, in Mohammad Hashim Kamali, Osman
Bakar, etc, (Ed.), Islamic Perspectives on Science and Technology: Selected Conference Papers (Singapore:
Springer, 2016), p. 132.

15
OUTLINE PENELITIAN

Bab 1 : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


B. Rumusan Masalah

16
C. Tujuan Penelitian
D. Kegunaan Penelitian
E. Survey Literatur
F. Framework Teoritis
G. Metode Penelitian
H. Sistematika Penelitian

Bab 2 : KOSMOLOGI KONTEMPORER DAN ISLAM: TINJAUAN HISTORIS DAN


ANALITIS

A. Contemporary Cosmology: Between Scientific and Speculative


B. Fundamental Structure of Reality in Contemporary Physics and Cosmology
1. From Finite Cosmos to Expanding Universe
2. The World in Classical Physics
3. The World in Quantum Physics
4. The Ambition for the Theory of Everything
5. Loop Quantum Gravity
6. Singularity and Big Bounce
7. Scientism, Naturalism and Atheism
C. Fundamental Principles of Islamic Cosmology
D. Al-Ghazali’s Cosmological Thought

Bab 3 : RELEVANSI KAUSALITAS AL-GHAZALI DALAM KOSMOLOGI


KONTEMPORER

A. Al-Ghazali’s Theory of Causality: Its Historical Background and Underlying


Assumptions
1. Debates over al-Ghazali’s Causality in Modern Era
2. Al-Ghazali and Ash’arite Kalam Traditon
3. Al-Ghazali’s Motive behind His Critique of Philosophy
4. Divine Agency and the Reality of the Created Being in al-Ghazali’s Causality
5. Al-Ghazali’s Critique of Causality
B. Al-Ghazali and Religion-Science Debates: A Contemporary Relevance of His
Thought on Causality
1. Methodological Issues in Religion and Science Debates
2. Al-Ghazali’s Causality and Modern Cosmology

17
A. Reality is Events not Things: al-Ghazali and Loop Quantum Gravity
B. The Size of the Universe : al-Ghazali and Expanding Universe
C. Indeterminism of the World : al-Ghazali and Quantum Physics
D. Divine Causality in Modern Discourses
E. An Occasionalist’s and Mystic’s Methodical Engagement with Scientific
Methodology

Bab 4: PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran dan Masukan

18

Anda mungkin juga menyukai