XI MIPA 4 (27)
Rabu, 25 Agustus 2021
LATAR BELAKANG
Perang Jawa juga terkenal dengan sebutan perang diponegoro. Perang melawan
penjajahan di Jawa Tengah dan Timur yang berlangsung antara tahun 1825 sampai dengan
1830. Perjuangan ini ditujukan pada kekuasaan asing, yaitu penguasa Hindia Belanda yang
selalu ikut campur dalam urusan pemerintah Yogyakarta, yang menjadi pemimpin
peperangan adalah putra Sultan Hamengku Buwono III dari selirnya yang bernama Pangeran
Diponegoro.
Munculnya Yogyakarta sebagai suatu kekuasaan baru merupakan hasil perjanjian Gianti
(1755) antara Raja Mataram dengan pihak VOC. Hubungan yang berlangsung antara
kekuasaan kerajaan Mataram di Jawa Tengah dengan kekuasaan VOC, membawa akibat
makin merosotnya kekuasaan bumiputra tersebut. Daerah-daerah pantai wilayah negara
berangsur-angsur dianeksasi oleh Belanda, seperti: Krawang, Semarang (1677), Cirebon,
Rembang, Jepara, Surabaya, Pasuruan, dan Madura(1743). Oleh karenanya pusat negara
makin dipisahkan dari pantai. Kerajaan Mataram kembali ke dalam kegiatan agraris dan
mulai melepaskan tradisi perdagangan-pelayaran. Kekuasaan raja yang kuat seperti pada
masa Sultan Agung (1623-1645), sejak masa pemerintahan penggantinya (Amangkurat I,
1645-1677), terus-menerus berkurang. Sebaliknya wilayah kekuasaan kompeni Belanda
semakin luas, sedangkan di bidang politik pengaruhnya pada Mataram juga semakin besar.
Makin sempitnya wilayah Mataram dan berkurangnya kekuasaan raja membawa akibat
makin sempitnya orientasi politik penguasa kerajaan. Selain di bidang politik, di bidang
ekonomi pun pengaruh Belanda cukup besar. Makin meluasnya pengaruh Belanda dalam
urusan tata pemerintahan Mataram, sebenarnya tidak terlepas dari faktor intern dalam negara
Mataram sendiri, yaitu adanya gejala pertentangan antar-bangsawan.
Terpecahnya wilayah negara setelah Perjanjian Gianti pada tahun 1755 menjadi
Surakarta dan Yogyakarta, kemudian pada tahun 1757 dengan perjanjian Salatiga ditambah
dengan munculnya kekuasaan Mangkunegara dan akhirnya pada tahun 1813 dengan
munculnya kekuasaan Pakualam, lebih mempermudah pihak Belanda untuk mengawasi dan
mempengaruhi negara-negara yang terpecah-pecah itu. Dengan demikian sejak tahun 1755
nama kerajaan Mataram sudah tidak ada lagi.
Pada awalnya, perang ini hanya bersumber dari persoalan intern keraton. Pada Juli,
1825, Patih Danureja IV yang merupakan antek Belanda yang setia, telah memerintah para
pejabat Kesultanan Yogyakarta untuk membuat jalan. Pembuatan jalan tersebut ternyata
menembus tanah milik Diponegoro, yang juga masih kerabat Kesultanan Yogyakarta, dan
neneknya di Tegalrejo. Bahkan, tanpa sepengetahuannya, pembuatan jalan tersebut sampai
menggusur pemakaman milik keluarga Diponegoro. Hal ini jelas mendapat perlawanan keras
dari Diponegoro.
Untuk itu, Diponegoro kemudian memerintahkan pegawai-pegawainya untuk
mencabut semua tonggak yang dipancangkan sebagai tanda pembuatan jalan Patih Danureja
IV. Tidak hanya itu, Diponegoro juga mengemukakan protes keras dan menuntut supaya
Patih Danureja IV dipecat dari jabatannya. Tetapi, A.H. Smisaert, selaku Residen Belanda di
Yogyakarta, menolak dan menekan sultan untuk tetap mempertahankan Patih Danureja IV.
Suasana tegang inilah yang menjadi pemicu meletusnya Perang Jawa.