Anda di halaman 1dari 6

MELVERN ADREVA RAMIRO DAMITA (010002000131)k

1. Bahwa pada kasus ini AS dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya alias


memiliki kemampuan bertanggung jawab. Kemampuan bertanggung jawab sendiri
menurut Moeljatno adalah seseorang yang dapat mempertanggungjawabkan
perbuatannya apabila:
a. Memiliki kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang baik dan yang
buruk; sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum; (faktor
psikis/kesehatan akal).
b. Memiliki kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan
tentang baik dan buruknya perbuatan tadi. (faktor batiniah/kehendak).
Bahwa pada kasus ini, AS memiliki kemampuan untuk membedakan antara
perbuatan baik dan buruk dirinya (sesuai dengan hukum dan yang melawan
hukum) aliat sehat secara akal. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan kecerdikan
pelaku (AS) dalam merencanakan penganiayaan yang akan dilakukannya kepada
korban (GX) dengan berpura-pura meminta alamat korban pada YK dengan alasan
memiliki teman dekat rumah GX.
Kemudian AS juga memiliki kemampuan untuk menentukan kehendaknya
menurut keinsyafan tentang baik dan buruk perbuatannya dan bukan merupakan
kehendak atau paksaan dari siapapun. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan motif
dari penganiayaan yang dilakukan pelaku terhadap korban yang membuatnya
cemburu karena akrab dengan pihak yang membuatnya jatuh hati. Sehingga atas
dasar kecemburuan tersebut, pelaku memutuskan untuk menganiaya korban
dengan melakukan perencanaan terlebih dahulu sebelumnya. Keputusan yang
didasari kecemburuan tersebut berasal dari hati korban, sehingga korban
melakukan tindak pidana atas kehendaknya sendiri tanpa paksaan dari pihak
manapun.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa AS memiliki kemampuan
bertanggung jawab sehingga harus dijerat oleh pasal 353 ayat 1 KUHP tentang
penganiayaan berencana dan tidak bisa menggunakan pasal 44 KUHP sebagai
pasal penghapus pidananya.
Unsur-unsur deliknya yang diuraikan dalam pasal 353 ayat 1 KUHP tentang
Penganiayaan Berencana:
1. Unsur Penganiayaan

Pengertian penganiayaan pada KUHP penjelasan menurut R. Soesilo dalam


bukunya adalah tidak dijelaskan di dalam undang-undang. Namun menurut
yurisprudensi, penganiayaan adalah sengaja menyebabkan perasaan tidak enak
(penderitaan), rasa sakit (pijn), atau luka. Menurut Alinea ke 4 dari pasal ini,
masuk pula ke dalam pengertian penganiayaan ialah merusak kesehatan orang.
Dalam kasus ini, AS atas kehendaknya memukul GX lalu menghantam
lengannya dengan sepotong kayu yang mengakibatkan luka dan patah pada
tangan GX (penderitaan, rasa sakit atau luka, rusaknya kesehatan) sehingga
terpenuhinya unsur penganiayaan oleh AS terhdap GX.
2. Unsur Dengan Direncanakan Terlebih Dahulu
Sedangkan yang dimaksud dengan direncanakan pada KUHP penjelasan,
menurut R. soesilo dalam bukunya, yang diamksud dengan direncanakan adalah
timbulnya maksud untuk melakukan perbuatan tersebut dalam pelaksanaannya
terdapat tempo waktu bagi pelaku untuk memikirkan cara melakukan, alat yang
digunakan serta penyelesaiannya.
Dalam kasus ini, AS menyusun rencananya dengan cara berpura-pura
meminta alamat GX pada YK dengan alasan memiliki teman dekat rumah GX,
yang pada realitanya AS meminta alamat GX untuk melancarkan penganiayaan
terhadapnya. Selain itu, AS membawa sepotong kayu dalam tasnya yang sudah
dipersiapkan terlebih dahulu sebelum melakukan penganiayaan sehingga
terpenuhinya unsur Dengan Direncanakan Terlebih Dahulu.

2. a. Kasus ini membutuhkan ajaran kausalitas karena penganiayaan merupakan delik


materil, yaitu delik yang menitikberatkan pada akibat. Selain karena jenisnya
yang termasuk delik materil, hubungan antara AS, PL, YK, DF, OS, dan GX
berkaitan dengan motif terjadinya tindak pidana.
b. Menurut ajaran kausalitas yang saya tahu yaitu:
1. Teori ekuivalensi/condition sine quanon yang bersifat mutlak, yang dimana

teori ini menyatakan bahwa semua sebab adalah setiap syarat yang tidak
dapat dihilangkan untuk timbulnya akibat. apabila salah satu syarat tidak
dipenuhi maka akibatnya akan berbeda sehingga berdasarkan teori ini,
pelaku yang dapat dimintakan pertanggungjawaban adalah AS, PL,YK,
QE,OS, DF (semuanya kecuali korban).

2. Teori individualisasi, yaitu teori yang mengurutkan peristiwa konkret yang


terjadi dan kemudian dipilih mana sebab yang paling menentukan dari
peristiwa tersebut, sedangkan faktor lainnya hanya merupakan syarat
belaka. Sehingga berdasarkan teori ini, pelaku yang dapat dimintakan
pertanggungjawaban adalah AS.
3. Dalam hal ini diperbolehkan sebagaimana yang diatur dalam pasal 14a KUHP
mengenai pidana bersyarat. Untuk melaksanakan pidana bersyarat ini harus
memenuhi sepuluh syarat berikut yaitu:
1. Pidana bersyarat hanya bisa dijatuhkan terhadap pidana penjara atau pidana
kurungan paling lama satu tahun dan tidak bisa diberikan terhadap pidana
kurungan pengganti
2. Teripidana yang dijatuhi pidana bersyarat dalam putusan hakim dapat
memerintahkan bahwa pidana tidak perlu dijalani, kecuali di kemudian hari ada
putusan hakim yang menentukan lain disebabkan karena terpidana melakukan
tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah
tersebut diatas habis, atau selama masa percobaan terpidana tidak memenuhi
syarat khusus yang mungkin ditentukan dalam perintah itu.
3. Masa percobaan bagi kejahatan Dalam pasal 492 KUHP terkait pelanggaran
keamanan umum bagi orang tua atau barang dan kesehatan, pasal 504,505,506
KUHP tentang pelanggaran ketertiban umum, dan pasal 536 tentang
pelanggaran kesusilaan. Paling lama tiga tahun dan bagi pelanggaran lainnya
paling lama dua tahun.
4. Masa percobaan dimulai pada saat putusan berkekuatan hukum tetap dan
telah diberitahukan kepada terpidana menurut cara yang ditentukan dalam
undang-undang.
5. Masa percobaan tidak dihitung selama terpidana ditahan secara sah.
6. Jika terpidana dijatuhi pidana denda, selain menetapkan syarat umum bahwa
terpidana tidak akan melakukan tidak pidana, hakim dapat menerapkan syarat
khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu yang lebih singkat daripada
masa percobaannya harus mengganti segala kerugian yang ditimbulkan oleh
tindak pidana tadi.
7. Untuk mengawasi pelaksanaannya pemidanaan bersyarat agar syarat-
syarat tersebut, baik syarat umum maupun khusus terpenuhi, Hakim
memerintahkan pejabat yang berwenang untuk itu. Dalam hal ini pejabat yang
berwenang adalah Jaksa.
8. Jika terpidana yang dijatuhi pidana Bersyarat melanggar syarat-syarat yang
telah ditentukan maka Hakim yang memutus perkara dalam tingkat pertama
dapat memerintahkan supaya pidananya dijalankan atau memerintahkan
supaya atas namanya diberi peringatan pada terpidana.
9. Jika terpidana selama masa percobaan melakukan perbuatan pidana maka
terpidana selain menjalani pidana terdahulu juga menjalani pidana yang
baru lakukan dalam masa percobaan.
10. Setelah masa percobaan habis perintah supaya pidana dijalankan tidak dapat

diberikan lagi kecuali jika Sebelum masa percobaan habis terpidana dituntut
karena itu kemudian berakhir dengan pemidanaan jalankan karena melakukan
tindak pidana tadi.

4. Dalam kasus ini, BN tidak dapat mengajukan pidana bersyarat melainkan dapat
mengajukan pelepasan bersyarat sebagaimana yang diatur dalam pasal 15 KUHP
tentang pelepasan bersyarat.
Syarat pelepasan pidana yang dijelaskan dalam buku Eddy O.S. yaitu:
1. Narapidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana penjara yang
dijatuhkan kepadanya dan sekurang-kurangnya harus sembilan bulan,
2. Jika memberikan pelepasan bersyarat, ditentukannya masa percobaan serta
syarat-syarat yang harus dipenuhi.
3. Lama masa percobaan sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belum
dijalani, ditambah satu tahun.

5. a. DF melanggar Pasal 351 ayat 3 tentang Penganiayaan yang Mengakibatkan


Kematian.
b. Tidak ada, karena dalam kasus ini tidak terdapat keadaan darurat atau serangan
apapun terhadap dirinya maupun orang lain yang mengharuskan pelaku untuk
melakukan tindak pidana tersebut sehingga tidak ada alasan penghapus pidana.

6. Dalam kasus ini, satu-satunya perintah jabatan (dari pengawas atau atasan) yang

diberikan kepada AN adalah mengirim dua container terhadap pakaian yang telah
selesai ke perusahaan X. Oleh karena itu keputusan AN untuk memasukkan hasil
uang pengiriman ke dalam kas pribadi (menggelapkan) alih-alih menyetorkannya
kepada perusahaan merupakan kehendak AN sendiri dan bukan merupakan
perintah jabatan. Selain itu, memasukkan uang pengiriman ke dalam kas pribadi
adalah bukan merupakan itikad baik sehingga dalam hal ini AN tidak dapat
memakai pasal 51 KUHP ayat 1 (alasan pembenar) maupun ayat 2 (alasan
pemaaf) sebagai pasal penghapus pidananya dan harus diadili sesuai dengan

ketentuan pasal 372 tentang penggelapan.

Anda mungkin juga menyukai