Senyum Terakhir
Dengan nafas yang terengah-engah setelah mengendarai sepeda. Aku terhenti saat ku
melihat dia, aku tak tau siapa dia. Wajahnya cukup cantik dan manis, aku singgah membeli
segelas air untuk melepaskan dahaga yang melanda tenggorokanku.
Setelah beristirahat aku langsung mengayuh pedal sepeda untuk pulang ke rumah.
Sesampai dirumah, kedua orang tuaku sedang pergi ke sebuah tempat yang aku tidak tau.
Aku segera pergi mandi karena badanku sudah bermandi keringat. Setelah mandi aku
memakai pakaian dan menuju taman yang tak jauh dari kompleks rumahku. Aku kaget si dia
juga sedang berada ditaman. Tanpa pikir panjang aku langsung menghapirinya.
“Hai…..”, kataku.
Dengan senyum aku menyapanya. Tapi dia tidak merespon dan tetap saja membaca sebuah
novel. Sekali lagi aku mengulangi sapaanku.
Dia langsung berdiri lalu meletakkan bukunya di atas kursi dan memberi tahu namanya.
Langkah demi langkah mengawali perkenalanku dengan si dia yaitu Tamara. Kami berjalan
mengeliling taman, dari pada hanya terdiam lebih baik aku memulai pembicaran. Aku
menanyakan banyak hal kepadanya. Dan kami selalu menyelingi pembicaraan kami dengan
candaan yang cukup untuk mengocok perut hingga sakit.
Sekarang sang mentari akan kembali ke peraduannya. Kami berjalan pulang bersama karena
arah rumah kami searah. Tamara berada di depan kompleks sedangkan rumahku ada di
lorong kedua sebeleh kanan di kompleks tempat tinggalku. Sesampai di depan rumah
Tamara kami berhenti dan menyempatkan diri untuk bercanda sebentar.
Suara teriakan Ibunya yang memanggil membuat kami berdua kaget.
“Tamara… Tamara… ayo cepat masuk, udah hampir malam nih!, teriak ibunya.
“Ya bu.. tunggu!, Zhaky aku duluan yah?”, katanya dengan senyum.
“Iya...”, kataku sembari membalas tersenyumnya.
“Kamu juga cepetan pulang, nanti di cariin sama Ibu kamu”.
“Ok… aku pulang yah.. dadah..!, sambil berjalan dan melambaikan tangan.
Di perjalanan, aku hanya bisa berkata “baru kali ini aku bisa cepat berkenalan dengan
seorang gadis, apalagi gadis seperti Tamara”. Kini aku berjalan di antara jalan yang sepi
dengan sedikit penerangan dari lampu jalan yang mulai redup dan di kerumuni serangga.
***
Keesokan paginya aku bertemu dengan Tamara, ternyata aku sama sekolah dengan dia,
kemarin aku lupa nanya sih. Aku langsung berlari menghapirinya.
“Tamara… Tamara…. tunggu aku!”, kataku sambil berlari.
“Masih pagi-pagi kok dah keringatan kayak gini?, ini usap keringatmu!”, katanya sembari
menyodorkan sapu tangannya.
“Iya nih, kamunya tuh. Kamu jalannya cepat amat” .
“Iya maaf”, kataya sambil tersenyum.
“Ayo buruan entar pintu gerbang di tutup”.
Sesampai di sekolah aku langsung ke kelas dan ternyata Tamara juga sekelas dengan aku.
Dia duduk di sampingku, karena Dino teman aku baru pindah sekolah dua hari yang lalu.
Tamara naik dan memperkenalkan dirinya ke teman-teman kelasku.
“Hai perkenalkan namaku Tamara Adelia, panggil aja aku Tamara. Aku baru pindah dari
Makassar kemarin, semoga kita semua bisa menjadi teman yang akrab”.
“Ok….”, Teriak semua temanku.
Kini kami semakin dekat. Kami selalu bersama, kami duduk di depan kelas sembari bercerita
tentang tugas sekolah.
2
“Karena aku suka aja dengan pelajaran itu, kalau kamu sukanya pelajaran apa?”.
“Aku paling suka dengan pelajaran bahasa Indonesia, yah pelajaran sastra”.
“Kenapa kamu suka pelajaran itu?, tanyaku.
“Seperti kamu tadi, aku suka aja dengan pelajaran itu. Aku sudah buat beberapa cerpen,
mau baca?”, kataku sambil menyodorkan beberapa cerpen karyaku.
“Ini buatan kamu?, aku gak percaya”.
“Iyalah, ini buatan aku. Kamu baca yah dan berikan saran, ok?”.
“Ok…”, katanya sambil tersenyum.
***
Tak lama kemudian, kami pun pulang. Aku bersama Tamara dan temanku yang lain berjalan
menuju pintu gerbang, menertawai hal yang tak patut ditertawai. Di perjalanan pulang
Tamara berteriak, “Auuuuhh sakit, Zhaky bantu aku berdiri!” pintanya sambil meneteskan
air matanya. kaki Tamara tersandung batu, dan kelihatannya kaki Tamara Terkilir.
“Sudah jangan nangis donk, pasti kamu akan sembuh kok”, kataku menyemangati.
“Iya Zhaky, tapi kaki aku sakit banget. Bantu aku berdiri donk!”, pintanya
“Auuuuhh…. Sakit!!”, katanya sambil merintih kesakitan.
“Sini biar aku gendong deh, gak apakan?” .
“Betul mau gendong aku, aku berat loh!”, katanya sambil tersenyum.
“sakit-sakit gini sempat aja ngelawak, sini naik cepat”.
“hehehe…. Aku beratkan?”, tanyanya, sambil tertawa.
“Gak kok..”, kataku sambil tersenyum.
Sesampai di depan rumah Tamara, Ibunya yang sedang membaca koran kaget saat melihat
kedatanganku yang menggendong Tamara.
Sehabis menggendong Tamara punggungku rasanya ingin copot, benar juga kata Tamara
badannya berat. Tapi, tidak apalah dari pada sahabat aku Tamara gak pulang ke rumah.
3
Sesampai dirumah aku langsung melepas pakaian dan makan siang. Sesudah itu aku
langsung tidur karena aku lelah banget udah gendong Tamara.
***
Keesokan paginya aku menunggu Tamara di depan rumahnya. Saat melihat dia keluar
rumah, dia sudah bisa berjalan dengan baik. Aku kaget dan bengong melihatnya.
“Woii kamu kenapa bengong kayak gitu?”, tanyanya sambil mencubit pipiku.
“Akh gak apa kok!, eh kok cepat amat sembuhnya?”.
“Iyaa nih, semalam aku dibawa ke tukang urut, rasanya sakit amat waktu di urut”.
“Baguslah, daripada berjalan dengan pincang”, kataku sambil tersenyum.
Tak sabar menunggu saat itu, aku menceritakan sedikit tentang pantai Bira kepada Tamara.
Kami tidak memerhatikan penjelasan guru, akibat cerita kami yang semakin mengasyikkan.
Tak lama kemudian bel istirahat pun berbunyi. Rasanya aku tidak ingin berpisah dengan
Tamara walau sekejap saja. Tapi, mungkin itu cuman perasaanku saja. Kami berkeliling
sekolah mencari hal-hal yang baru dan melupakan apa yang aku banyangkan tadi.
Tidak lama kemudian, bel kembali berbunyi kami berlari ke kelas. Kami berlari sambil
tertawa dengan senangnya. Rasanya hal ini adalah hal yang terindah bagiku. Sesampai di
kelas kami duduk dan menunggu guru. Tak lama kemudian, guru yang mengajar pun datang.
Aku merasa agak tidak enak badan. Tamara iseng mencubit pipiku dan Tamara kaget.
“Zhaky kamu gak apa-apa, kan?” tanyanya dengan khawatir.
“Aku gak apa-apa kok”, kataku dengan nada yang pelan.
“Kamu sakit dan aku harus antar kamu pulang!”, katanya sambil berjalan menuju guruku.
“Pak, Zhaky sakit”, katanya.
“Baiklah bawa dia pulang, kamu mau mengantarnya?” tanya pak guru.
“Iya pak aku bisa kok”, katanya.
4
Tamara meminta izin mengantar aku pulang. Sambil memegang jemari-jemariku dan
sesekali memegang keningku. Tamara selalu bertanya tentang keadaanku. Tapi, aku hanya
bisa menjawabnya dengan kalimat, “Aku baik-baik saja kok, gak usah khawatir”.
Sesampai di rumah aku langsung di bawa Tamara ke kamarku sembari ibu mengomel-
ngomeliku.
Aku melihat senyuman indah dari Tamara saat akan keluar dari kamarku.
***
Keesokan paginya, rasanya badanku udah sehat. Aku bergegas menyiapkan barang yang
akan ku bawa. Aku mandi dan sesudah itu berpakaian rapi dan langsung menuju rumah
Tamara.
Tapi, Tamara sudah berangkat duluan. Aku langsung ke sekolah. Sampai di sekolah aku
melihat Tamara dan langsung menghampirinya.
Tak berapa lama kemudian, bus yang akan mengantar kami ke pantai Bira pun datang. Aku
duduk di belakang bersama anak lelaki lainnya. Tamara berada di depan bersama teman
wanitanya. Di perjalanan rasa gelisahku semakin tak menentu. Aku memiliki pirasat buruk
dan naas tak berselang beberapa lama mobil yang aku tumpangi kecelakaan.
Aku merasa kepalaku sakit, saat ku pegang kepalaku mengeluarkan darah yang banyak. Tapi,
yang ada di pikiranku sekarang adalah Tamara. Aku langsung berteriak dengan nada yang
lemah. “Tamara.. kamu gak apa-apa, kan?”. Aku tak mendengar suaranya. Aku melihat
teman-temanku terluka dan mengeluarkan banyak darah. Saat aku ke tempat duduk
Tamara, aku melihat kepala Tamara mengeluarkan banyak darah. Rasa sakit yang aku rasa
membuat aku pingsan.
“Zhaky, Zhaky, bangun nak, ibu di sini”, kata ibuku sambil menangis.
Mendengar suara itu, aku terbangun. Aku sekarang berada di rumah sakit, aku kaget dan
berteriak.
5
“Dimana Tamara Bu? Tamara baik-baik sajakan Bu?”.
Aku terduduk di ranjang dan dipeluk ibu sambil menangis dengan keras dan berkata,
Aku terdiam dan mengingat saat aku sakit, dia memberiku senyuman yang kuanggap indah
itu dan menjadi senyuman terakhir darinya.