Anda di halaman 1dari 36

BAB I

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS

Nama : Tn. S
Usia : 82 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Timokerep Desa ngajaran, tuntang
Pekerjaan :-
Tanggal masuk RS : 9 September 2021
No. RM : 21-22-468145

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Sulit BAK sejak ± 1 bulan yang lalu.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poli RSUD Kota Salatiga dengan keluhan sulit
BAK, keluhan dirasakan sejak ± 1 bulan yang lalu dan memberat hingga
sekarang. pasien mengaku merasa susah untuk memulai BAK, terkadang
harus disertai degan mengedan untuk BAK, pancaran urin semakin lama
dirasa semakin melemah dan kadang pasien mengalami kencing tiba-tiba
berhenti.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengeluhkan keluhan serupa sebelumnya.
Pasien mengaku memiliki hipertensi namun tidak rutin minum obat,
riwayat diabetes melitus, asma, penyakit jantung, penyakit paru-paru,
penyakit ginjal, riwayat alergi makanan dan obat disangkal oleh pasien.
Pasien belum pernah menjalani operasi sebelumnya.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang memiliki keluhan serupa. Riwayat
diabetes melitus, hipertensi, penyakit jantung, penyakit paru, penyakit

1
ginjal, asma, riwayat alergi makanan dan obat dalam keluarga pasien
disangkal.
5. Riwayat Kebiasaan
Pasien sudah tidak merokok lagi. Dalam sehari-harinya, pasien
mengaku makan teratur yaitu 3x sehari. Kebiasaan meminum alkohol dan
obat-obatan terlarang disangkal oleh pasien.
6. Riwayat Sosial dan Ekonomi
Pasien sudah tidak bekerja. Pembiayaan perawatan pasien di rumah
sakit menggunakan asuransi kesehatan BPJS.

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Kesan Umum : Tampak sakit ringan
2. Kesadaran : E4V5M6, Compos mentis
3. Vital sign
Tekanan Darah : 163/59 mmHg
Nadi : 107 x/menit
Frekuensi Nafas : 20 x/menit
Suhu : 36,9oC
4. SpO2 : 99%

2
5. Head to toe

Kepala & Leher


Bentuk wajah simetris, konjungtiva anemis (-/-),
Inspeksi
sklera ikterik (-/-), pupil isokor (3/3)
Pembesaran Limfonodi (-), pembesaran tiroid (-),
Palpasi
nyeri tekan (-)
Thorax (Cor)
Inspeksi Pulsasi tidak terlihat
Palpasi Ictus cordis teraba pada SIC V linea midclavicula
sinistra
Perkusi Batas kanan : SIC II linea parasternlis dextra
Batas kiri : SIC II linea mid clavicula sinistra
Batas bawah : SIC V linea midclavicula sinistra
Auskultasi Suara S1 dan S2 terdengar regular, murmur (-),
gallop (-)
Tabel 1.1 Pemeriksaan Fisik
Thorax (Pulmo)
Inspeksi Pelebaran vena (-), retraksi dinding dada (-), barrel
chest (-)
Palpasi Pengembangan dada simetris, taktil fremitus baik
Perkusi Sonor seluruh lapang paru
Auskultasi Suara dasar vesikular (+/+), ronki (-/-), wheezing (-)
Abdomen
Inspeksi Datar, pelebaran vena (-), spider nevi (-)
Auskultasi Peristaltik usus (+) 7 x/menit
Perkusi Timpani seluruh lapang paru, nyeri tekan (-)
Palpasi Nyeri tekan (+) suprapubik, hepar dan lien tidak
teraba

3
Ekstremitas (Superior, Inferior, Dextra, Sinistra)
Inspeksi Edema (-)
Palpasi Pitting non pitting edema (-), akral hangat (+)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
Tabel 1.2 Hasil Pemeriksaan Penunjang
Hasil Nilai Rujukan Satuan
Hematologi
Leukosit 11,12 3,80 – 10,60 ribu/ul
Eritrosit 4,96 4,4 – 5,9 juta/ul
Hemoglobin 14,3 13,2 – 17,3 g/dl
Hematokrit 41,2 33,0 – 45,0 vol%
MCV 83,1 80 – 100 fl
MCH 28,8 26,0 – 34,0 pg
MCHC 34,7 32,0 – 36,0 g/dl
Trombosit 323 150 - 440 ribu/ul
Hitung Jenis
Eosinofil % 2,2 1,0 – 3,0 %
Basofil % 0,4 0–1 %
Limfosit % 13,4 25 – 40 %
Monosit % 6,0 2–8 %
Netrofil % 78,0 50-70 %
GDS 94 <140 mg/dl
Serologi
HbsAg (Rapid) Negatif Negatif
HIV Negatif Negatif
E. ASSESSMENT PRA ANESTESI
Diagnosis Pra Bedah : Benign Prostatic Hiperplasia
Jenis Pembedahan : Transurethral resection of the prostate
Klasifikasi Status Fisik : ASA II

4
Teknik Anestesi : Regional Anestesi Spinal Menggunakan Jarum
Spinal no. 26
F. TATALAKSANA
Terapi operatif Transurethral resection of the prostate dengan anestesi
spinal pada pasien ASA II.

G. TINDAKAN ANESTESI
1. Persiapan Operasi
a. Persetujuan operasi / informed consent tertulis (+).
b. Tidak terdapat gigi goyang dan pemakaian gigi palsu.
c. Puasa 6-8 jam sebelum anestesi.
d. Leher tidak kaku dan pendek.
e. IV line terpasang dengan infus RL 500 cc, mengalir lancar.
2. Induksi
a. Bipuvakain 0,5% 20 mg
3. Maintenance
a. Oksigen (O2) 3 lpm
b. Ondancentron 4 mg/IV
c. Torasic 30 mg/IV
4. Monitoring
a. Tanda vital setiap 5 menit
b. Pemberian cairan
c. Monitoring SpO2 selama prosedur operasi

H. PELAKSANAAN ANESTESI
1. Pukul 08.45– 09.00
a. Pasien dibawa ke meja operasi dan diposisikan duduk membungkuk
b. Pasien diberikan preload cairan Hest 500 ml
c. Menentukan tempat tusukan untuk dilakukan tindakan anestesi yaitu
pada L4-L5

5
d. Mensterilisasi tempat penusukan dengan povidon iodine dan alkohol
serta menyemprotkan ethyl chloride untuk mencegah rasa sakit area
penusukan.
e. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit ke arah atas,
kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum
tersebut. Setelah resistensi menghilang, mandrin jarum spinal dicabut
kemudian likuor keluar dan pasang spuit tanpa jarum yang berisi obat
anestesi. Masukkan obat secara perlahan yang diselingi aspirasi sedikit
untuk memastikan posisi jarum tetap dalam tempatnya
f. Pasien diposisikan tidur berbaring dengan bantal
g. Memasang monitor tekanan darah dan oksimetri pulse serta selang
oksigen dengan O2 3 liter/menit.
h. Mengukur tanda vital : Tekanan darah 140/70 mmHg, Nadi 67
kali/menit
i. Injeksikan ondancentron 4 mg secara iv
2. Pukul 09.00 (Operasi dimulai)
a. Tekanan darah : 165/80 mmHg
b. Nadi : 69 x/menit
c. SpO2 : 100%
d. Pemberian cairan asering 15 tpm
3. Pukul 09.00 - 09.20 (Operasi berjalan)

Pukul Tekanan darah Nadi SpO2


09.00 165/80 mmHg 69 x/menit 100%
09.20 162/75 mmHg 71 x/menit 100%
09.25 167/78 mmHg 73 x/menit 100%

4. Pukul 09.25 (Operasi selesai)


a. Tekanan darah : 167/78 mmHg
b. Nadi : 73 x/menit
c. SpO2 : 100%
d. Injeksi obat torasic 30 mg secara iv
5. Post operasi

6
a. Pasien sampai di ruang Recovery pukul 09.25 WIB
b. Pernafasan : spontan
c. Tekanan darah : 162/76 mmHg
d. Nadi : 82 x/menit
e. SpO2 : 100%
6. Penilaian pemulihan pasca anestesi spinal menurut Bromage Score
2 : Tidak mampu fleksi lutut
7. Pasien pindah ke ruang perawatan pukul 09.50 WIB

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANESTESI PADA GERIATRI


1. Definisi Geriatri
Geriatri atau lanjut usia adalah ilmu yang mempelajari tentang
aspek-aspek klinis dan penyakit yang berakitan dengan orang tua.
Dikatakan pasien geriatri apabila :
a. Keterbatasan fungsi tubuh yang berhubungan dengan makin
meningkatnya usia
b. Adanya akumulasi dari penyakit-penyakit degeneratif
c. Lanjut usia secara psikososial yang dinyatakan krisis bila :
a) Ketergantungan pada orang lain
b) Mengisolasi diri atau menarik diri dari kegiatan kemasyarakatan
karena berbagai sebab
d. Hal-hal yang dapat menimbulkan gangguan keseimbangan
(homeostasis) yang progresif (Darmojo, 2015).
Batasan lanjut usia menurut WHO
a. Middle age (45-59 th)
b. Elderly (60-70 th)
c. Old/lansia (75-90 th)
d. Very Old/sangat tua (> 90 th) (Darmojo, 2015).
2. Anestesi pada Geriarti
a. Evaluasi dan Manajemen Preoperatif
Terdapat dua prinsip yang harus diingat pada saat melakukan
evaluasi pre-operatif pasien geriatri :
1) Pasien harus selalu dianggap mempunyai risiko tinggi
menderita penyakit yang berhubungan dengan penuaan.
Penyakit- penyakit biasa pada pasien dengan usia lanjut
mempunyai pengaruh yang besar terhadap penanganan anestesi
dan memerlukan perawatan khusus serta diagnosis. Penyakit
kardiovaskuler dan diabetes umumnya sering ditemukan

8
pada populasi ini. Komplikasi pulmoner mempunyai
insidens sebesar 5,5% dan merupakan penyebab morbiditas
ketiga tertinggi pada pasien usia lanjut yang akan menjalani
pembedahan non cardiac (Miller, 2015).
2) Harus dilakukan pemeriksaan derajat fungsional sistem organ
yang spesifik dan pasien secara keseluruhan sebelum
pembedahan. Pemeriksaan laboratorium dan diagnostik,
riwayat, pemeriksaan fisik, dan determinasi kapasitas
fungsional harus dilakukan untuk mengevaluasi fisiologis
pasien. Pemeriksaan laboratorium harus disesuaikan dengan
riwayat pasien, pemeriksaan fisik, dan prosedur pembedahan
yang akan dilakukan, dan bukan hanya berdasarkan atas usia
pasien saja (Miller, 2015).
b. Evaluasi Praoperatif
Penilaian pra operasi memainkan bagian penting dalam
mengurangi komplikasi pasca operasi. Pemahaman tentang status
fisik pasien akan memberikan panduan terhadap penilaian jenis
penyakit komorbid dan tingkat keparahannya, jenis monitoring yang
diperlukan, optimasi pra operasi dan prediksi akan timbulnya
komplikasi pasca operasi. Pemahaman riwayat penyakit yang
mendetail, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan
penilaian risiko tindakan pembedahan harus difokuskan selama
evaluasi pra operasi (Kanonidou Z, 2007).
1) Informed Consent
Pasien, anggota keluarga atau wali pasien harus
diberitahu tentang intervensi bedah dan kemungkinan
komplikasi yang dapat timbul. Kapasitas putusan merupakan
prasyarat untuk suatu informed consent yang sesuai dengan
hukum dan moral. Pasien usia lanjut mungkin tidak sepenuhnya
memahami intervensi yang direncanakan, sehingga kerabat
terdekat harus terlibat untuk memperoleh informed consent

9
yang terperinci. Status mental dan kognitif pasien harus
dipertimbangkan dan didokumentasikan (Soenarto, 2012).
2) Riwayat Penyakit dan Status Gizi
Riwayat kondisi medis lengkap dan operasi sebelumnya
harus dicatat karena pasien usia lanjut biasanya sedang
menjalani banyak terapi obat-obatan. Defisiensi nutrisi yang
sering dialami oleh pada usia lanjut harus dinilai secara akurat.
Hitung darah lengkap yang menunjukkan anemia, kadar
albumin serum yang kurang dari 3.2g/dl dan kolesterol kurang
dari 160mg/dl telah terbukti sebagai penanda
risiko outcome pasca operasi yang merugikan. Indeks massa
tubuh yang kurang dari 20 kg/m2 pada pasien usia lanjut
mungkin mengarahkan peningkatan morbiditas karena
penyembuhan luka yang tertunda, sehingga suplemen gizi pra
operatif harus dipertimbangkan.
3) Pemeriksaan fisik
Meskipun pasien usia lanjut memiliki riwayat medis
yang panjang, mereka biasanya tidak memberikan rincian
penyakit mereka, ini merupakan konsekuensi yang tidak dapat
dihindari akibat usia tua. Pemeriksaan fisik harus mencakup
informasi yang mendetail tentang status hidrasi, gizi, tekanan
darah, nadi dan kondisi sistemik (Kumra, 2018).
Penilaian status mental pra operasi sangat penting
karena biasanya mencerminkan status kognitif pasca operasi.
Demensia pra operasi merupakan prediktor yang penting
dari outcome bedah yang buruk (Kumra, 2018).
4) Pemeriksaan Penunjang Pra operasi
Pasien usia lanjut harus menjalani berbagai tes yang
akan membantu menentukan parameter kesehatan pasien,
bahkan pada mereka yang sehat dan termasuk diantaranya:
a) Hitung darah lengkap: Hb, jumlah limfosit

10
b) Urem, kreatinin dan elektrolit akan memberikan informasi
tentang fungsi ginjal karena akan mengalami perubahan
secara bertahap dengan pertambahan usia. Bersihan
kreatinin merupakan indeks penting.
c) Gula darah dan kolesterol harus diperiksa karena tingginya
insiden diabetes mellitus dan ateroskleorsis.
d) Kadar albumin dan fungsi pembekuan darah
e) Pemeriksaa elektrokardiogram (EKG) harus dilakukan pada
semua pasien yang berusia di atas 60 tahun, terlepas dari
ada riwayat penyakit jantung atau tidak.
f) Rontgen dada dan tes fungsi paru pada pasien dengan
penyakit paru obstruktif kronis.
g) Pemeriksaan jantung (Kumra, 2018).
c. Manajemen perioperatif
Tidak ada istilah "terlalu tua" untuk tindakan operasi. Pada
umumnya hal yang harus dipikirkan adalah bahwa komorbiditas
meningkat dengan pertambahan usia lebih penting dari usia pasien
itu sendiri. Penelitian Forrest terhadap 17.201 pasien menunjukkan
bahwa, risiko outcome yang berat menurun dari 3% menjadi 2%
dari umur 20-an ke umur 40-an, namun meningkat secara linear
setelahnya (dari 2% pada umur 40-an sampai 6% pada umur 80-an)
(Kumra, 2018).
Penyakit yang umumnya ditemukan pada usia lanjut
memiliki dampak yang signifikan terhadap tindakan anestesi dan
memerlukan perawatan khusus, sehinggan Penting untuk
menentukan status fisik pasien dan memperkirakan cadangan
fisiologis dalam evaluasi preanestesi. Jika kondisi dapat
dioptimalkan sebelum operasi, maka operasi dapat dilakukan tanpa
penundaan. Penundaan operasi yang lama dapat meningkatkan
morbiditas. Diabetes mellitus dan penyakit kardiovaskular adalah
penyakit yang paling sering dialami oleh pasien geriatri. Komplikasi
paru adalah salah satu penyebab utama morbiditas pascabedah pada

11
pasien usia lanjut. Untuk pasien ini diperlukan optimasi paru-paru.
Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
laboratorium dan diagnostik sangat penting. Masalah yang yang
harus selalu dipikirkan pada pasien geriatri adalah kemungkinan
terjadinya depresi, malnutrisi, imobilitas dan dehidrasi. Sehingga
penting untuk menentukan status kognitif seorang pasien usia lanjut.
Defisit kognitif berkaitan dengan outcome yang buruk dan
morbiditas perioperatif yang lebih tinggi. Namun masih
kontroversial apakah anestesi umum dapat mempercepat
perkembangan demensia senilis (Miller, 2015).
Walaupun masih terdapat banyak pertanyaan, bukti-bukti
yang ada menunjukkan bahwa risiko kardiovaskuler dapat
dicegah dengan mencari ada tidaknya β-blockade perioperatif
pada pasien dengan penyakit arteri koroner yang diketahui,
terutama bila muncul beberapa minggu terakhir sebelum operasi.
Pada pasien usia lanjut yang menggunakan terapi β-blocker jangka
panjang, tampaknya β-blocker long-acting akan lebih efektif
dibandingkan dengan β-blocker short-acting dalam mengurangi
resiko infark miokard perioperatif. Protokol yang menyertakan
pemberian β-blocker pada pagi hari sebelum operasi dilakukan dan
diteruskan selama operasi berhubungan dengan peningkatan
insidens stroke dan semua penyebab mortalitas (Miller, 2015).
d. Manajemen Intraoperatif
Manajemen intraoperatif diarahkan untuk membatasi stres
akibat pembedahan dan menghindari kejadian yang lebih
memperburuk cadangan fisiologis pasien. Tidak ada teknik universal
khusus yang disetujui untuk pasien usia lanjut tetapi beberapa
intervensi dapat meningkatkan outcome (Burnett, 2014).
1) Induksi Anestesi
Pada pasien usia lanjut, preoksigenasi agresif yang setara
untuk anestesi inhalasi menurun secara linear dengan
pertambahan usia, oleh karena itu dosis obat yang mempengaruhi

12
SSP perlu dikurangi untuk mengantisipasi efek sinergi obat.
Penggunaan bersama propofol, midazolam, opioid dapat
meningkatkan kedalaman anestesi. Hipotensi adalah kejadian
yang umum didapatkan sehingga dosis obat-obatan ini harus
dititrasi. Dipilih obat yang bekerja singkat. Stimulasi intubasi
trakea tidak memberikan efek hipotensi pada pasien usia lanjut
(Burnett, 2014).
Efek puncak obat mengalami penundaan, diantaranya:
midazolam 5 menit, fentanil 6-8 menit, dan propofol 10 menit.
Untuk meminimalkan kedalaman dan durasi hipotensi, dosis
propofol tanpa suplementasi opioid disesuaikan dengan cara
dikurangi 1,0-1,5 mg / kg lean body weight (LBW)dan 0.5-
1.0mg/kg jika diberikan opioid secara bersamaan khususnya jika
disertai juga dengan pemberian ketamin dosis rendah dan
midazolam (Burnett, 2014).
Penggunaan profilaksis aspirasi dan rapid sequence
intubation (RSI) harus dilakukan secara rutin, khususnya pada
pasien dengan diabetes mellitus atau penyakit refluks dan
prosedur darurat. Antisipasi pemanjangan durasi obat
neuromuskuler yang bersifat organ based klirens. Seiring
pertambahan usia, obat-obatan intermediate acting bekerja lebih
lama (kecuali atrakurium dan cisatrakurium), dapat menurunkan
suhu tubuh, menyebabkan diabetes dan obesitas (jika dosisnya
dihitung berdasarkan berat badan total) dan peningkatan blok
neuromuskuler. Dosis antikolinesterase inhibitor juga harus
dikurangi dan pasien dipantau dengan ketat di unit perawatan
pasca-anestesi (PACU) untuk tanda-tanda rekurarisasi (Burnett,
2014).
Obat-obatan non-steroid anti-inflammatory drug (NSAID)
untuk menghilangkan rasa sakit pasca operasi harus diberikan
dengan dosis dikurangi untuk menghindari komplikasi seperti
gastritis, gagal ginjal akut. NSAID harus dihindari pada pasien

13
usia lanjut dengan gangguan fungsi ginjal preoperatif
(peningkatan kadar urea / kreatinin) atau jika pasien mengalami
hipovolemia.
2) Anestesi Umum atau Regional
Anestesi regional mungkin memiliki beberapa keunggulan
dibandingkan anestesi umum, termasuk jarang menimbulkan
tromboemboli, gangguan kesadaran dan pernafasan pasca-bedah.
Anestesi dengan blok tungkai dan pleksus ideal untuk operasi
perifer. Hernia dan katarak umumnya dilakukan dengan anestesi
lokal. Hipotensi lebih sering ditemukan pada pasien usia lanjut
yang menjalani anestesi spinal / epidural karena terjadi gangguan
fungsi otonom dan penurunan penyesuaian arteri (Burnett,
2014).
Pada pasien dengan penyakit jantung berat yang
memerlukan kontrol tekanan darah ketat, anestesi umum
mungkin lebih baik. Tinjauan Cochrane terhadap 17 penelitian
anestesi untuk operasi fraktur tulang pinggul (melibatkan lebih
dari 2.800 pasien) membandingkan anestesi umum dan regional.
Penulis menyimpulkan bahwa anestesi regional dapat
mengurangi mortalitas pada satu bulan pasca operasi, tetapi baik
anestesi regional dan umum menghasilkan outcome yang sama
untuk mortalitas jangka panjang (Shafer, 2013).
Pertimbangan tindakan anestesi regional pada pasien
geriatri diantaranya: Peningkatan kepekaan terhadap anestesi
lokal, risiko mati rasa, nerve palsy, komplikasi neuralgia,
pemanjangan durasi blok, blok tingkat tinggi, hipotensi dan
bradikardi. Terdapat penurunan dramatis dalam hal kebutuhan
sedasi dengan blok neuraxial (Burnett, 2014).
Anestesi regional blok dapat mempertahankan status gizi
dan normothermia. Teknik ini ini juga dapat mengurangi
sensitisasi sentral sehingga mengurangi kebutuhan analgesik
opioid pasca operasi dan meningkatkan outcome pada paru-paru,

14
jantung dan ginjal sekaligus mengurangi insiden komplikasi
tromboemboli. Tinjauan oleh Rodgers dkk menyimpulkan bahwa
terdapat penurunan mortalitas dalam 30 hari dan throbosis vein
thrombosis (DVT) pada kelompok anestesi regional (Burnett,
2014).
3) Hipotermia
Pembedahan umumnya dapat menyebabkan hipotermia
karena faktor lingkungan dan tindakan anestesi yang
menginduksi inhibisi mekanisme termoregulator normal. Pasien
usia lanjut lebih beresiko untuk mengalami hipotermia karena
anestesi yang mengubah mekanisme termoregulator dan tingkat
metabolisme basal yang rendah. Hipotermia intraoperatif dapat
menjadi faktor risiko jantung independen untuk penyakit jantung
pasca operasi pada usia lanjut. Oleh karena itu, pada pasien usia
lanjut harus dilakukan upaya untuk mencegah kehilangan panas.
Langkah-langkah untuk mencegah hipotermia adalah:
pembersihan pasca operasi dengan cairan yang hangat,
menggunakan sistem pemanasan, menghangatkan cairan IV,
menjaga suhu lingkungan tetap hangat, menutupi pasien dengan
selimut sebelum dan setelah operasi (Burnett, 2014).
e. Manajemen cairan
Mengelola volume intravaskular yang tepat sangat penting
dengan menghindari kelebihan dan kekurangan pemberian cairan.
Karena adanya peningkatan afterload, penurunan respon inotropik
atau chronotoropic serta gangguan respon vasokonstriksi
menyebabkan pasien usia lanjut sangat tergantung pada preload yang
memadai. Pasien usia lanjut juga rentan terhadap dehidrasi karena
penyakit, penggunaan diuretik, puasa pra operasi dan penurunan
respon haus. Asupan cairan oral hingga 2 - 3 jam sebelum operasi,
dan terapi pemeliharaan cairan yang cukup serta menghindari terapi
diuretik sebelum operasi dapat menghindarkan kejadian hipotensi
mendadak segera setelah induksi anestesia. Hidrasi yang berlebihan

15
juga harus dihindari pada usia lanjut dengan ganggaun jantung
karena mereka lebih rentan untuk terjadinya kegagalan sistolik,
perfusi organ yang jelek dan penurunan GFR (Burnett, 2014).
Penting pula untuk melakukan pemantauan kateter vena
sentralis atau arteri pulmonalis intraoperatif untuk mengukur volume
darah sentral khusus pada pasien usia lanjut yang cenderung
memiliki penurunan volume darah dalam jumlah besar atau
pergeseran cairan. Penting untuk menaga tekanan vena sentral pada
kisaran 8 - 10 mmHg dan tekanan arteri pulmonalis14 - 18 mm Hg
untuk mempertahankan output jantung yang memadai (Burnett,
2014).
f. Manajemen pasca operasi
1) Manajemen jalan napas
Perubahan fungsi faring, refleks batuk, dapat diperburuk
oleh efek dari anestesi, instrumentasi faring dan operasi yang
dapat meningkatkan kemungkinan aspirasi pascaoperasi pada
usia lanjut. Pembalikan efek blok neuromuskuler, penggunaan
pipa nasogastrik, mengembalikan refleks faring dan laring,
motilitas gastrointestinal dan ambulasi dini dengan konversi
intake oral setelah operasi dapat meminimalkan insiden aspirasi
pasca operasi (Darmojo, 2015).
2) Terapi oksigen
Dianjurkan untuk memberikan terapi oksigen pasca-
operasi untuk semua pasien usia lanjut, terutama setelah
pembedahan abdomen atau dada, penyakit kardiovaskuler atau
pernapasan, kondisi kehilangan darah yang signifikan, atau bila
telah diberikan analgetik opioid. Nasal kanul sering ditoleransi
lebih baik daripada masker (Darmojo, 2015).
3) Perawatan intensif
Jika pasien sangat tergantung pada perawatan tingkat
tinggi atau tersedia fasilitas perawatan intensif, hal ini dapat
meningkatkan outcome jangka panjang dari pasien usia lanjut,

16
khususnya mereka yang menjalani operasi darurat (Darmojo,
2015).

4) Manajemen Nyeri
Manajemen nyeri akut sangat penting pada pasien bedah
berusia lanjut, dimana nyeri pasca operasi dapat menghasilkan
efek yang berbahaya. Kontrol nyeri yang kurang optimal dapat
meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada usia lanjut karena
komorbiditas terkait seperti penyakit jantung iskemik, penurunan
cadangan ventilasi, perubahan metabolisme (Darmojo, 2015).
Pertimbangkan pemberian analgetik sederhana seperti
parasetamol, dan NSAID dengan hati-hati. Titrasi morfin IV
menggunakan protokol usia lanjut (> 70 tahun) yang sama
dengan pasien yang lebih muda tampaknya aman. Dua sampai
tiga miligram morfin IV setiap 5 menit untuk skor analog visual
lebih dari 30 dilaporkan dapat memberikan kontrol nyeri yang
memadai. Opioid kerja singkat seperti fentanil atau sufentanil
dan satrategi manajemen nyeri intensif dengan bolus intermiten
atau patient controlled analgesia (PCA) secara parenteral atau
dengan blok neuraxial dilaporkan paling bermanfaat untuk pasien
usia lanjut beresiko tinggi atau pasien usia lanjut dengan risiko
rendah yang menjalani operasi berisiko tinggi dengan
mengurangi respon stres terhadap pembedahan dan ambulasi dini
(Darmojo, 2015).
5) Pertimbangan lainnya
Fisioterapi dini dan kontinyu serta mobilisasi dapat
membantu pemulihan pasca-operasi dan dapat mengurangi lama
perawatan di rumah sakit secara signifikan. Pertimbangkan
profilaksis deep vein thrombosis (DVT) dimana pasien usia
lanjut adalah kelompok berisiko tinggi, terutama mereka dengan
fraktur kolum femoris atau mereka yang tirah baring selama
beberapa hari. Cari kemungkinan munculnya komplikasi

17
pascaoperasi. Komplikasi yang paling sering termasuk infeksi
(terutama luka, dada, saluran kemih), DVT dan emboli paru.
Dapat pula timbul delirium dan mungkin disebabkan oleh sepsis,
dehidrasi, overhidrasi, ureum dan elektrolit yang abnormal,
hipoksia, sindrom putus alkohol / obat atau gangguan kognitif /
demensia (Darmojo, 2015).
g. Komplikasi Pasca Operasi
1) Disfungsi Kognitif Postoperatif
Perubahan jangka pendek dalam kinerja tes kognitif
selama hari pertama sampai beberapa minggu setelah operasi
telah dicatat dengan baik dan biasanya mencakup beberapa
kognitif seperti, perhatian, memori, dan kecepatan psikomotorik.
Penurunan kognitif awal setelah pembedahan sebagian besar
akan membaik dalam waktu 3 bulan. Pembedahan jantung
berhubungan dengan 36% insidens terjadinya penurunan kognitif
dalam waktu 6 minggu setelah operasi. Insidens disfungsi
kognitif setelah pembedahan non-jantung pada pasien dengan
usia lebih dari 65 tahun adalah 26% pada minggu pertama dan
10% pada bulan ketiga. Risiko-risiko terjadinya penurunan
kognitif postoperatif adalah usia, tingkat pendidikan yang
rendah, gangguan kognitif preoperatif, depresi, dan prosedur
pembedahan. Disfungsi kognitif jangka pendek setelah
pembedahan dapat disebabkan karena berbagai etiologi,
termasuk mikroemboli (terutama pada pembedahan jantung),
hipoperfusi, respons inflamasi sistemik (bypass
kardiopulmoner), anestesia, depresi, dan faktor- faktor genetik
(Darmojo, 2015).
Ada tidaknya kontribusi anestesi terhadap disfungsi
kognitif postoperatif jangka panjang masih kontroversi dan
memerlukan penelitian yang intensif. Pada prosedur non-
cardiac, anestesia mempunyai pengaruh yang paling ringan
terhadap terjadinya penurunan kognitif jangka panjang,

18
walaupun efek ini mungkin akan meningkat sejalan denga
bertambahnya usia. Penurunan kognitif post-operatif setelah
pembedahan non-cardiac akan kembali nor mal pada
kebanyakan kasus, tetapi bisa juga menetap pada kurang lebih
1% pasien (Darmojo, 2015).

B. BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA (BPH)


1. Definisi
BPH adalah tumor jinak yang sebagian besar terjadi pada pria, dan
timbulnya berkaitan dengan usia. Prevelensi histologi BPH pada studi
bedah meningkat dari 20% pada pria usia 41-50 tahun, 50% pada pria
usia 51-60 tahun dan lebih dari 90% pada pria usia lebih dari 80 tahun
(Joseph C, 2011). Meskipun upaya penelitian intensif di 5 dasawarsa
terakhir untuk menjelaskan etiologi yang mendasari pertumbuhan prostat
pada pria, sebab dan akibatnya belum dapat ditetapkan (Louis R, 2012).
2. Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab
terjadinya BPH, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat
kaitannya dengan peningkatan kadar dihydrotestosterone (DHT) dan
proses penuaan. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab
timbulnya hyperplasia prostat (Purnomo, 2011).
a. Teori dihydrotestosterone (DHT)
Pertumbuhan kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon
testosteron. Dimana pada kelenjar prostat, hormon ini akan diubah
menjadi metabolit aktif dihydrotestosterone (DHT) dengan bantuan
enzim 5α – reduktase. DHT inilah yang secara langsung memicu m-
RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein
growth factor yang memacu pertumbuhan kelenjar prostat (Purnomo,
2011).

19
gambar 1 Perubahan testosterone menjadi dihidrotetosteron oleh enzim 5α -reduktase

Pada berbagai penelitian, aktivitas enzim 5α – reduktase dan


jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini
menyebabkan sel-sel prostat menjadi lebih sensitif terhadap DHT
sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan
prostat normal (Purnomo, 2011).
b. Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron
Pada pria dengan usia yang semakin tua, kadar tetosteron
makin menurun, sedangkan kadar estrogen relatif tetap, sehingga
perbandingan estrogen dan testosterone relative meningkat. Estrogen
di dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel-sel
kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitivitas sel-sel prostat
terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah
reseptor androgen dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat
(apoptosis). Akibatnya, dengan testosteron yang menurun
merangsang terbentuknya sel-sel baru, tetapi sel-sel prostat yang
telah ada memiliki usia yang lebih panjang sehingga massa prostat
menjadi lebih besar (Purnomo, 2011).
c. Interaksi stroma-epitel
Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan
pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh
sel-sel stroma melalui suatu mediator (growth factor). Setelah sel
stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma
mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel

20
stroma itu sendiri, yang menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel
epitel maupun stroma (Purnomo, 2011).
d. Berkurangnya kematian sel prostat
Apoptosis sel pada sel prostat adalah mekanisme fisiologi
homeostatis kelenjar prostat. Pada jaringan nomal, terdapat
keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan kematian sel.
Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang apoptosis menyebabkan
jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan makin meningkat sehingga
mengakibatkan pertambahan massa prostat. Diduga hormon
androgen berperan dalam menghambat proses kematian sel karena
setelah dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas kematian sel
kelenjar prostat (Purnomo, 2011).
e. Teori sel stem
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis,
selalu dibentuk sel-sel baru. Dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel
stem, yaitu sel yang mempunyai kemampuan berproliferasi sangat
ekstensif. Kehidupan sel ini bergantung pada hormon androgen,
dimana jika kadarnya menurun (misalnya pada kastrasi),
menyebabkan terjadinya apoptosis. Sehingga terjadinya proliferasi
sel-sel pada BPH diduga sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem
sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel
epitel (Purnomo, 2011).
3. Faktor Resiko
Laki-laki yang memiliki usia ≥ 50 tahun memiliki risiko sebesar
6,24 (95% CI : 1,71-22,99) kali lebih besar disbanding dengan laki-laki
yang berusia < 50 tahun. Perubahan karena pengaruh usia tua
menurunkan kemampuan buli-buli dalam mempertahankan aliran urine
pada proses adaptasi oleh adanya obstruksi karena pembesaran prostat,
sehingga menimbulkan gejala (Platz E dalam Saputra, 2016). Sesuai
dengan pertambahan usia, kadar testosteron mulai menurun secara
perlahan pada usia 30 tahun dan turun lebih cepat pada usia 60 tahun
keatas (Zucchetto dalam Saputra, 2016).

21
Risiko BPH pada laki-laki dengan riwayat keluarga yang pernah
menderita BPH sebesar 5,28 (95% CI : 1,78-15,69) kali lebih besar
dibandingkan dengan yang tidak mempunyai riwayat keluarga yang
pernah menderita BPH. Hasil penelitian ini sesuai dengan beberapa
penelitian sebelumnya, hal ini menunjukkan adanya asosiasi kausal dari
aspek konsistensi. Seseorang akan memiliki risiko terkena BPH lebih
besar bila pada anggota keluarganya ada yang menderita BPH atau
kanker Prostat. Dimana dalam riwayat keluarga ini terdapat mutasi dalam
gen yang menyebabkan fungsi gen sebagai gen penekan tumor
mengalami gangguan sehingga sel akan berproliferasi secara terus
menerus tanpa adanya batas kendali. Hal ini memenuhi aspek biologic
plausibility dari asosiasi kausal (Neuhouser D dalam Saputra, 2016).
Frekuensi yang rendah dalam mengkonsumsi makanan berserat
memiliki risiko yang lebih besar untuk terkena BPH. 5,35 (95% CI :
1,91-14,99) lebih besar dibandingkan dengan yang mengkonsumsi
makanan berserat dengan frekuensi tinggi. Mekanisme pencegahan
dengan diet makanan berserat terjadi akibat dari waktu transit makanan
yang dicernakan cukup lama di usus besar sehingga akan mencegah
proses inisiasi atau mutasi materi genetik di dalam inti sel. Pada sayuran
juga didapatkan mekanisme yang multifaktor dimana di dalamnya
dijumpai bahan atau substansi anti karsinogen seperti karoteniod,
selenium dan tocopherol. Dengan diet makanan berserat atau karoten
diharapkan mengurangi pengaruh bahan-bahan dari luar dan akan
memberikan lingkungan yang akan menekan berkembangnya sel-sel
abnormal (Neuhouser D dalam Saputra, 2016). Kebiasaan merokok
menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki kebiasaan merokok
mempunyai risiko BPH 3,95 (95% CI : 1,34-11,56) lebih besar
dibandingkan dengan yang tidak memiliki kebiasaan merokok. Nikotin
dan konitin (produk pemecahan nikotin) pada rokok meningkatkan
aktifitas enzim perusak androgen, sehingga menyebabkan penurunan
kadar testosteron (Platz E dalam Saputra, 2016).

22
4. Patofisiologi
Pembesaran prostat menyebabkan terjadinya penyempitan lumen

uretra pars prostatika dan menghambat aliran urine sehingga

menyebabkan tingginya tekanan intravesika. Untuk dapat mengeluarkan

urine, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat untuk melawan tekanan,

menyebabkan terjadinya perubahan anatomi buli-buli, yakni: hipertropi

otot destrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel

bulibuli. Perubahan struktur pada buli-buli tersebut dirasakan sebagai

keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinary Tract

Symptoms (LUTS) (Purnomo, 2011).

Tekanan intravesika yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli-

buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua

muara ureter ini menimbulkan aliran balik dari buli-buli ke ureter atau

terjadinya refluks vesikoureter. Jika berlangsung terus akan

mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis bahkan jatuh ke dalam gagal

ginjal (Purnomo, 2011).

5. Manifestasi Klinis
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
Manifestasi klinis timbul akibat peningkatan intrauretra yang
pada akhirnya dapat menyebabkan sumbatan aliran urin secara
bertahap. Meskipun manifestasi dan beratnya penyakit bervariasi,
tetapi ada beberapa hal yang menyebabkan penderita datang berobat,
yakni adanya LUTS (Lower Urinary Tract Syndrome).
1) Gejala iritatif (storage), terdiri dari :
a) Frekuensi : sering BAK >8 kali/24 jam
b) Urgensi : keinginan BAK yang mendesak/ tergesa - gesa
untuk buang air kecil.

23
c) Nokturia : terbangun di malam hari untuk BAK (lebih dari 1
kali).
d) Disuria : nyeri saat buang air keciil.

2) Gejala obstruksi (Voiding), antara lain :


a) Hesitansi : menunggu lama pada awal BAK.
b) Intermitensi : BAK terputus - putus.
c) Pancaran miksi melemah
d) Straining : harus mengedan saat BAK.
e) Retensi urin
f) Inkontinensia karena overflow
g) Post micturition
Miksi tidak puas (Incomplete emptying : residual volume
>100ml) menetes setelah miksi (Terminal dribbling)
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas.
Keluhan dapat berupa gejala obstruksi antara lain, nyeri pinggang,
benjolan di pinggang (hidronefrosis) dan demam (infeksi, urosepsis)
(Purnomo, 2011)
3. Gejala diluar saluran kemih.
Tidak jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya
hernia inguinalis atau hemoroid, yang timbul karena sering mengejan
pada saat berkemih sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan
intraabdominal (Purnomo, 2011).
6. Diagnosis
a. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan buli-buli yang
penuh dan teraba massa kistik si daerah supra simpisis akibat
retensio urine. Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal
Examination (DRE) merupakan pemeriksaan fisik yang penting pada
BPH, karena dapat menilai tonus sfingter ani, pembesaran atau
ukuran prostat dan kecurigaan adanya keganasan seperti nodul atau
perabaan yang keras. Pada pemeriksaan ini dinilai besarnya prostat,

24
konsistensi, cekungan tengah, simetri, indurasi, krepitasi dan ada
tidaknya nodul (Purnomo, 2011).
Colok dubur pada BPH menunjukkan konsistensi prostat
kenyal, seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris,
dan tidak didapatkan nodul. Sedangkan pada karsinoma prostat,
konsistensi prostat keras dan teraba nodul, dan mungkin antara lobus
prostat tidak simetri (Purnomo, 2011).
b. Pemeriksaan laboratorium
Sedimen urine diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya
proses infeksi atau inflamasi pada saluran kemih. Obstruksi uretra
menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga menganggu faal
ginjal karena adanya penyulit seperti hidronefrosis menyebabkan
infeksi dan batu saluran kemih. Pemeriksaan kultur urine berguna
untuk mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan sekaligus
menentukan sensitivitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang
diujikan. Pemeriksaan sitologi urine digunakan untuk pemeriksaan
sitopatologi sel-sel urotelium yang terlepas dan terbawa oleh urine
(Purnomo, 2011).
c. Pencitraan
Foto polos perut berguna untuk mencari adanya batu opak di
saluran kemih, batu/kalkulosa prostat atau menunjukkan bayangan
buli-buli yang penuh terisi urin, yang merupakan tanda retensio
urine. Pemeriksaan IVP dapat menerangkan adanya :
 Kelainan ginjal atau ureter (hidroureter atau hidronefrosis)
 Memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan
dengan indentasi prostat (pendesakan buli-buli oleh kelenjar
prostat) atau ureter bagian distal yang berbentuk seperti mata
kail (hooked fish)
 Penyulit yang terjadi pada buli-buli, yakni: trabekulasi,
divertikel, atau sakulasi buli-buli
7. Penatalaksanaan
1) Observasi

25
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Pasien
dianjurkan untuk mengurangi minum setelah makan malam yang
ditujukan agar tidak terjadi nokturia, menghindari obat-obat
dekongestan (parasimpatolitik), mengurangi minum kopi dan tidak
diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Pasien
dianjurkan untuk menghindari mengangkat barang yang berat agar
perdarahan dapat dicegah. Ajurkan pasien agar sering mengosongkan
kandung kemih (jangan menahan kencing terlalu lama) untuk
menghindari distensi kandung kemih dan hipertrofi kandung kemih.
Secara periodik pasien dianjurkan untuk melakukan control keluhan,
pemeriksaan laboratorium, sisa kencing dan pemeriksaan colok dubur
(Purnomo, 2011).
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat menurut Purnomo (2011) dapat
diperkirakan dengan mengukur residual urin dan pancaran urin:
a. Residual urin, yaitu jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin dapat
diukur dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi atau
ditentukan dengan pemeriksaan USG setelah miksi.
b. Pancaran urin (flow rate), dapat dihitung dengan cara menghitung
jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik)
atau dengan alat urofometri yang menyajikan gambaran grafik
pancaran urin.
2) Terapi medikamentosa
Menurut Baradero dkk (2007) tujuan dari obat-obat yang diberikan
pada penderita BPH adalah :
a. Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot
berelaksasi untuk mengurangi tekanan pada uretra.
b. Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan
golongan alfa blocker (penghambat alfa adrenergenik).
c. Mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar hormone
testosterone/ dehidrotestosteron (DHT).

26
Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada pasien BPH,
menurut Purnomo (2011) diantaranya : penghambat adrenergenik
alfa, penghambat enzin 5 alfa reduktase, fitofarmaka.
a) Penghambat adrenergenik alfa
Obat-obat yang sering dipakai adalah prazosin,
doxazosin,terazosin,afluzosin atau yang lebih selektif alfa 1a
(Tamsulosin). Dosis dimulai 1mg/hari sedangkan dosis
tamsulosin adalah 0,2-0,4 mg/hari. Penggunaaan antagonis
alfa 1 adrenergenik karena secara selektif dapat mengurangi
obstruksi pada buli-buli tanpa merusak kontraktilitas
detrusor. Obat ini menghambat reseptor-reseptor yang banyak
ditemukan pada otot polos di trigonum, leher vesika, prostat,
dan kapsul prostat sehingga terjadi relakasi didaerah prostat.
Obat-obat golongan ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan
laju pancaran urin. Hal ini akan menurunkan tekanan pada
uretra pars prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan
gejala-gejala berkurang. Biasanya pasien mulai merasakan
berkurangnya keluhan dalam 1-2 minggu setelah ia mulai
memakai obat. Efek samping yang mungkin timbul adalah
pusing, sumbatan di hidung dan lemah. Ada obat-obat yang
menyebabkan ekasaserbasi retensi urin maka perlu dihindari
seperti antikolinergenik, antidepresan, transquilizer,
dekongestan, obatobat ini mempunyai efek pada otot
kandung kemih dan sfingter uretra.
b) Penghambat enzim 5 alfa reduktase
Obat yang dipakai adalah finasteride (proscar) dengan dosis
1x5 mg/hari. Obat golongan ini dapat menghambat
pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar akan
mengecil. Namun obat ini bekerja lebih lambat dari golongan
alfa bloker dan manfaatnya hanya jelas pada prostat yang
besar. Efektifitasnya masih diperdebatkan karena obat ini
baru menunjukkan perbaikan sedikit/ 28 % dari keluhan

27
pasien setelah 6-12 bulan pengobatan bila dilakukan terus
menerus, hal ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan
pancaran miksi. Efek samping dari obat ini diantaranya
adalah libido, impoten dan gangguan ejakulasi.
c) Fitofarmaka/fitoterapi
Penggunaan fitoterapi yang ada di Indonesia antara lain
eviprostat. Substansinya misalnya pygeum africanum, saw
palmetto, serenoa repeus dll. Afeknya diharapkan terjadi
setelah pemberian selama 1- 2 bulan dapat memperkecil
volum prostat.
3) Terapi bedah
Pembedahan adalah tindakan pilihan, keputusan untuk dilakukan
pembedahan didasarkan pada beratnya obstruksi, adanya ISK, retensio
urin berulang, hematuri, tanda penurunan fungsi ginjal, ada batu
saluran kemih dan perubahan fisiologi pada prostat. Waktu
penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung pada beratnya
gejala dan komplikasi. Menurut Smeltzer dan Bare (2015) intervensi
bedah yang dapat dilakukan meliputi : pembedahan terbuka dan
pembedahan endourologi.
A. Pembedahan terbuka, beberapa teknik operasi prostatektomi
terbuka yang biasa digunakan adalah :
a) Prostatektomi suprapubik
Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi
abdomen. Insisi dibuat dikedalam kandung kemih, dan kelenjar
prostat diangat dari atas. Teknik demikian dapat digunakan
untuk kelenjar dengan segala ukuran, dan komplikasi yang
mungkin terjadi ialah pasien akan kehilangan darah yang cukup
banyak dibanding dengan metode lain, kerugian lain yang dapat
terjadi adalah insisi abdomen akan disertai bahaya dari semua
prosedur bedah abdomen mayor.
b) Prostatektomi perineal

28
Adalah suatu tindakan dengan mengangkat kelenjar melalui
suatu insisi dalam perineum. Teknik ini lebih praktis dan sangat
berguan untuk biopsy terbuka. Pada periode pasca operasi luka
bedah mudah terkontaminasi karena insisi dilakukan dekat
dnegan rectum. Komplikasi yang mungkin terjadi dari tindakan
ini adalah inkontinensia, impotensi dan cedera rectal.
c) Prostatektomi retropubik
Adalah tindakan lain yang dapat dilakukan, dengan cara insisi
abdomen rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus
pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih.
Teknik ini sangat tepat untuk kelenjar prostat yang terletak
tinggi dalam pubis. Meskipun jumlah darah yang hilang lebih
dapat dikontrol dan letak pembedahan lebih mudah dilihat, akan
tetapi infeksi dapat terjadi diruang retropubik.

gambar 2 Terapi Bedah

B. Pembedahan endourologi, pembedahan endourologi transurethral


dapat dilakukan dengan memakai tenaga elektrik diantaranya:
a) Transurethral Prostatic Resection (TURP)
Merupakan tindakan operasi yang paling banyak dilakukan,
reseksi kelenjar prostat dilakukan dengan transuretra
menggunakan cairan irigan (pembilas) agar daerah yang akan
dioperasi tidak tertutup darah. Indikasi TURP ialah gejala-

29
gejala sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 90 gr.
Tindakan ini dilaksanakan apabila pembesaran prostat terjadi
dalam lobus medial yang langsung mengelilingi uretra. Setelah
TURP yang memakai kateter threeway. Irigasi kandung kemih
secara terus menerus dilaksanakan untuk mencegah
pembekuan darah. Manfaat pembedahan TURP antara lain
tidak meninggalkan atau bekas sayatan serta waktu operasi dan
waktu tinggal dirumah sakit lebih singkat.Komplikasi TURP
adalah rasa tidak enak pada kandung kemih, spasme kandung
kemih yang terus menerus, adanya perdarahan, infeksi,
fertilitas (Baradero dkk, 2007)

b) Transurethral Incision of the Prostate (TUIP)

Adalah prosedur lain dalam menangani BPH. Tindakan ini


dilakukan apabila volume prostat tidak terlalu besar atau
prostat fibrotic. Indikasi dari penggunan TUIP adalah keluhan
sedang atau berat, dengan volume prostat normal/kecil (30
gram atau kurang). Teknik yang dilakukan adalah dengan
memasukan instrument kedalam uretra. Satu atau dua buah
insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat untuk mengurangi
tekanan prostat pada uretra dan mengurangi konstriksi uretral.
Komplikasi dari TUIP adalah pasien bisa mengalami ejakulasi
retrograde (0-37%) (Smeltzer dan Bare, 2015).
c) Terapi invasive minimal
Menurut Purnomo (2011) terapai invasive minimal
dilakukan pada pasien dengan resiko tinggi terhadap tindakan
pembedahan. Terapi invasive minimal diantaranya
Transurethral Microvawe Thermotherapy (TUMT),
Transuretral Ballon Dilatation (TUBD), Transuretral Needle
Ablation/Ablasi jarum Transuretra (TUNA), Pemasangan stent
uretra atau prostatcatt.

30
 Transurethral Microvawe Thermotherapy (TUMT), jenis
pengobatan ini hanya dapat dilakukan di beberapa rumah
sakit besar. Dilakukan dengan cara pemanasan prostat
menggunakan gelombang mikro yang disalurkan ke
kelenjar prostat melalui transducer yang diletakkan di
uretra pars prostatika, yang diharapkan jaringan prostat
menjadi lembek. Alat yang dipakai antara lain prostat.
 Transuretral Ballon Dilatation (TUBD), pada tehnik ini
dilakukan dilatasi (pelebaran) saluran kemih yang berada
di prostat dengan menggunakan balon yang dimasukkan
melalui kateter. Teknik ini efektif pada pasien dengan
prostat kecil, kurang dari 40 cm3. Meskipun dapat
menghasilkan perbaikan gejala sumbatan, namun efek ini
hanya sementar, sehingga cara ini sekarang jarang
digunakan.
 Transuretral Needle Ablation (TUNA), pada teknik ini
memakai energy dari frekuensi radio yang menimbulkan
panas mencapai 100 derajat selsius, sehingga
menyebabkan nekrosis jaringan prostat. Pasien yang
menjalani TUNA sering kali mengeluh hematuri, disuria,
dan kadang-kadang terjadi retensi urine (Purnomo, 2011).
 Pemasangan stent uretra atau prostatcatth yang dipasang
pada uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi karena
pembesaran prostat, selain itu supaya uretra prostatika
selalu terbuka, sehingga urin leluasa melewati lumen
uretra prostatika. Pemasangan alat ini ditujukan bagi
pasien yang tidak mungkin menjalani operasi karena
resiko pembedahan yang cukup tinggi.
1) Komplikasi
Menurut Sjamsuhidajat dan De Jong (2005) komplikasi BPH adalah :
a. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi
b. Infeksi saluran kemih

31
c. Involusi kontraksi kandung kemih
d. Refluk kandung kemih
e. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus
berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi
menampung urin yang akan mengakibatkan tekanan intravesika
meningkat.
f. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi.
g. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat
terbentuk batu endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah
keluhan iritasi. Batu tersebut dapat pula menibulkan sistitis, dan bila
terjadi refluks dapat mengakibatkan pielonefritis.
h. Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada
waktu miksi pasien harus mengedan.

32
BAB III
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

A. Pembahasan
Pasien Tn. S usia 82 tahun datang ke Poli RSUD Kota Salatiga dengan
keluhan sulit BAK, keluhan dirasakan sejak ± 1 bulan yang lalu dan
memberat hingga sekarang. pasien mengaku merasa susah untuk memulai
BAK, terkadang harus disertai degan mengedan untuk BAK, pancaran urin
semakin lama dirasa semakin melemah dan kadang pasien mengalami
kencing tiba-tiba berhenti. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah
163/59 mmHg, nadi 107 x/menit, frekuensi nafas 20 x/menit, suhu 36,9 oC,
dan SpO2 99%. Pemeriksaan kepala, leher, thoraks, abdomen, dan ekstremitas
dalam batas normal. Oleh karena itu, diagnosis pre operatif pasien adalah
Benign Prostat Hyperplasi. Klasifikasi kebugaran fisik pasien berdasarkan
The American Society of Anasthesiology yaitu ASA II.
Penatalaksanaan operatif pada pasien tersebut yaitu Transurethral
Prostatic Resection (TURP). TURP adalah reseksi kelenjar prostat dilakukan
dengan transuretra menggunakan cairan irigan (pembilas) agar daerah yang
akan dioperasi tidak tertutup darah. Tindakan pembedahan tersebut
dilaksanakan dengan dilakukannya pemberian anestesi regional berupa
anastesi spinal. Dikarenakan TURP merupakan tindakan bedah pada daerah
prostat yang merupakan salah satu indikasi tindakan anestesi spinal.
Sebelum dilakukan operasi, persiapan pra operasi pada pasien yaitu
berupa informed consent dan pemasangan iv line. Kemudian pasien masuk ke
ruang operasi dan diposisikan duduk dengan kepala membungkuk. Kemudian
diberikan cairan preload berupa Hest 500 cc. Setelah itu melakukan induksi
obat anestesi spinal berupa bupivakain 0,5% 20 mg pada regio L4-L5 dan
pasien dibaringkan dengan bantal serta dipasang monitor tekanan darah dan
oksimeter. Pasien juga dipakaikan nasal kanul dan diberikan oksigen 3 liter
permenit. Monitoring tanda-tanda vital dilakukan setiap 5 menit dan
diberikan cairan rumatan berupa cairan kristaloid. Obat anestesi yang
digunakan adalah ondansetron 4 mg dan ketorolac trometamol 30 mg

33
dimasukkan secara injeksi intravena. Ondansetron diindikasikan untuk mual
dan muntah yang diinduksi obat kemoterapi dan radioterapi sitotoksik, dosis
untuk dewasa pencegahan mual dan muntah pasca operasi.
Operasi selesai pukul 09.25 WIB dengan hasil pengukuran tekanan
darah 169/76 mmHg, nadi 783 x/menit, SpO2 100%. Kemudian pasien
dipindahkan ke Recovery Room dan dilakukan perawatan post operasi sampai
Bromage Score berjumlah 2, lalu pindah ke kamar rawat inap.
B. Kesimpulan
Pada kasus, pasien didiagnosa benign prostat hyperplasia dan dilakukan
tindakan operatif TURP. Pelaksanaan operasi dilakukan dengan teknik
anestesi spinal yaitu pemberian obat anastesi lokal ke dalam ruang
subarakhnoid. Sebelum dioperasi, dipasang jalur intravena pada pasien dan
pemberian cairan preload berupa Hest 500 cc. Pemberian obat anestesi
meliputi induksi dan maintenance.
Operasi dilakukan oleh dokter spesialis urologi selama kurang lebih 25
menit dengan monitoring tanda-tanda vital dan saturasi oksigen pada pasien
setiap 5 menit selama operasi berlangsung. Selesai operasi, pasien memasuki
periode bangun dan pemulihan, pasien dibawa ke ruang pemulihan untuk tetap
dimonitoring tanda-tanda vital dan saturasi oksigen sampai dapat dinyatakan
keluar dari ruang pemulihan.

34
DAFTAR PUSTAKA

Baradero, M dan Dayrit, M. 2007. Seri Asuhan Keperawatan Pasien Gangguan


Sistem Reproduksi & Seksualitas. Jakarta: EGC
Burnett. Mary. 2014. Anasthesia for The Eldery. Available at :
http://www.unmc.edu/media/intmed/geriatrics/lectures/anesthesia_for_the
_elderly.htm. Accessed on 9 March 2020
Darmojo B. 2015. Geriatri Ed. 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Joseph C. Presti, Jr, MD, Christopher J. Kane, MD, Katsuto Shinohara, MD, &
Peter R. Carroll M. Smith’s General Urology. Neoplasms of the Prostate
Gland. 17th ed.; 2011.

Kanonidou Z, Karystianou G. Anesthesia for the elderly. Hippokratia. 2007


Oct;11(4):175-7. PMID: 19582189; PMCID: PMC2552979. Accessed on
19 September 2021

Kumra VP. Issues in geriatric anaesthesia. SAARC J. Anesthesia. New Delhi,


2018. Hal:39 – 49
Louis R. Kavoussi, MD M, Andrew C. Novick M, Alan W. Partin, MD P, Craig A.
Peters, MD, FACS F, eds. Campbell-Walsh Urology. Benign Prostatic
Hyperplasia. 10th ed.; 2012.

Miller R. 2015. Miller’s Anesthesia 2 Ed. 7. Pennsylvania: Elsevier Churcill


Livingston
Neuhouser D. Steroid hormones and hormone-related genetic and lifestyle
characteristics as risk factors for benign prostatic hyperplasia. Rev
Epidemiol Lit Urol. 64(2):201-211.

Platz E, Dkk. Alcohol Consumption, Cigarette Smoking, and Risk of Benignm


Prostatic Hyperplasia. Am J Epidemiol. 149(2):106-115.

Purnomo. Dasar-Dasar Urologi. edisi kedu. Jakarta: CV. Sagung Seto; 2011.

Shafer SL. 2013. The Pharmacology of Anesthetic Drugs In Elderly Patient.


Journal of Anesthesiology. England: Departemen of Anesthesiology
Smeltzer, S. C. Bare, B. G. Hinkle, J. L & Cheever, K. H. 2015. Brunner &
Suddarth's Textbook Of Medical Surgical Nursing. 11th Edition.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

35
Syamsuhidayat, R.,& Jong. 2016. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3.Jakarta: EGC

Zucchetto A, Dkk. History of weight and obesity through life and risk of benign
prostatic hyperplasia. Int J Obes. 2005;29:798-803.

36

Anda mungkin juga menyukai