Anda di halaman 1dari 7

PENTINGNYA PAHAM KESETARAAN GENDER SEBAGAI SOLUSI KASUS

DISKRIMINASI WANITA DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DALAM UPAYA


MEWUJUDKAN SDG’S
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gender merupakan serangkaian karakteristik yang terikat kepada dan membedakan
maskulinitas dan feminitas. Karakteristik tersebut dapat mencakup jenis kelamin dapat laki-
laki, perempuan maupun interseks. Suatu gender memiliki identitasnya sesuai dengan peran
gender tertentu dalam kehidupan masyarakat.
Wanita dalam sejarah penggunaanya sering kali diartikan sebagai tubuh perempuan. Hal
tersebut memunculkan banyak pertentangan dari kaum feminis. Perempuan bukan hanya
dipandang sebagai tubuh saja maupun benda, namun perempuan memiliki harkat dan
martabat yang sama derajatnya dengan laki-laki. Maka dari itu, kesetaraan gender saat ini
menjadi isu yang sangat penting.
Isu kesetaraan gender perlu dipertimbangankan dalam penyusunan program kegiatan. Sebab
isu gender masih cukup mengemuka. Contohnya aktivitas perempuan dalam kegiatan
ekonomi yang masih tertinggal dengan laki-laki. Demikian juga dengan posisi perempuan
dalam lembaga politik yang masih rendah dibanding laki-laki. Di sektor domestik,
perempuan masih memikul beban ganda: mengurus kebutuhan domestik dan harus bekerja
untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Selain itu, masih terjadi kekerasan dalam rumah tangga
dengan perempuan dan anak-anak sebagai korbannya.
Kasus kekerasan terhadap perempuan di Daerah Istimewa Yogyakarta konsisten tinggi dalam
lima tahun terakhir. Rifka Annisa Woman Crisis Center, organisasi yang konsen pada kasus
kekerasan terhadap perempuan, mencatat sejak 2014 hingga 2019, kasus kekerasan berkisar
250 hingga lebih dari 300 setiap tahunnya.  (Defirentia, 2020)
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk mengidentifikasi permasalahan
serta mengutarakan solusi terbaik mengatasi kasus diskriminasi wanita di daerah Yogyakarta
dan menuliskannya dalam gagasan kreatif yang berjudul “Pentingnya Paham Kesetaraan
Gender sebagai Solusi Kasus Diskriminasi Wanita di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam
Upaya Mewujudkan SDG’s”

B. Teori Utama
Telah diketahui melalui Undang-Undang No.7 Tahun 1984 bahwa Indonesia telah
meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Lalu
pada tahun 2000, Presiden RI, Abdurrahman Wahid mengeluarkan instruksi Presiden No.9
Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan. Untuk memperkuat
paying hukum tersebut, maka pada tahun 2006 Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (KPPA) menyusun draft Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang
Pengarusutamaan Gender. Di sisi lain, Pemerintah Indonesia telah menandatangani dikumen
kesepakatan global tentang Suistainable Development Goals (SDGs).
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Kajian Pustaka
a. Pengertian gender
Menurut World Health Organization (WHO) pengertian gender adalah sifat perempuan dan
laki-laki, seperti norma atau hubungan kelompok pria dan wanita, yang dikonstruksi secara
sosial. Sedangkan gender adalah pembedaan peran, atribut, sifat, sikap dan perilaku yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Berikut adalah peran gender yang terbagi
menjadi peran produktif, peran reproduksi serta peran masyarakat.
1. Peran produksi adalah kegiatan yang dilakukan baik oleh laki-laki dan perempuan agar
supaya menghasilkan barang dan layanan untuk diperdagangkan, dipertukarkan atau
memenuhi nafkah bagi keluarga. Sebagai contoh di pertanian, kegiatan produksi termasuk
penanaman, penyiangan, peternakan.
2. Peran Reproduksi adalah aktivitas untuk menjamin reproduksi angkatan kerja. Hal ini
termasuk pembatasan anak, penjarangan anak, perawatan terhadap anggota keluarga
seperti orang tua, anak-anak dan pekerja. Tugas-tugas tersebut umumnya tidak
mendapatkan upah dan kebanyakan dilakukan oleh perempuan.
3. Peran masyarakat adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan di tingkat masyarakat untuk
menjamin ketersediaan dan pengelolaan sumberdaya yang terbatas seperti air, perawatan
kesehatan dan pendidikan. Pekerjaan ini biasanya tidak dibayar dan kebanyakan
dilakukan oleh perempuan.
Kata gender dapat diartikan sebagai peran yang dibentuk oleh masyarakat serta perilaku yang
tertanam lewat proses sosialisasi yang berhubungan dengan jenis kelamin perempuan dan
laki-laki. Ada perbedaan secara biologis antara perempuan dan laki-laki-namun kebudayaan
menafsirkan perbedaan biologis ini menjadi seperangkat tuntutan sosial tentang kepantasan
dalam berperilaku, dan pada gilirannya hak-hak, sumber daya, dan kuasa. Kendati tuntutan
ini bervariasi di setiap masyarakat, tapi terdapat beberapa kemiripan yang mencolok.
Misalnya, hampir semua kelompok masyarakat menyerahkan tanggung jawab perawatan
anak pada perempuan, sedangkan tugas kemiliteran diberikan pada laki-laki. Sebagaimana
halnya ras, etnik, dan kelas, gender adalah sebuah kategori sosial yang sangat menentukan
jalan hidup seseorang dan partisipasinya dalam masyarakat dan ekonomi. Tidak semua
masyarakat mengalami diskriminasi berdasarkan ras atau etnis, namun semua masyarakat
mengalami diskriminasi berdasarkan gender-dalam bentuk kesenjangan dan perbedaan-dalam
tingkatan yang berbeda-beda. Seringkali dibutuhkan waktu cukup lama untuk mengubah
ketidakadilan ini. Suasana ketidakadilan ini terkadang bisa berubah secara drastis karena
kebijakan dan perubahan sosial-ekonomi.
Sedangkan kesetaraan gender sendiri merupakan kesamaan kondisi bagi laki-laki atau
perempuan guna memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu
berpartisipasi dalam kegiatan politik, sosial budaya, pendidikan, serta kesamaan dalam
menikmati hasil pembangunan.
b. Bentuk-bentuk Ketidakadilan Gender
- Beban Ganda (Double Burden)
Mengerjakan tanggung jawab secara berlebihan, yang seharusnya dapat dilakukan
pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan. Contoh : Seorang istri harus
melakukan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci, berbelanja,
mengasuh anak, melayani kebutuhan suami, dsb, sementara istri juga bekerja di
luar rumah. Sedangkan suami hanya bekerja saja tanpa mengerjakan tugas rumah
tangga (yang umumnya dilakukan istri). Tugas-tugas rumah tangga tersebut
sebetulnya bisa juga dikerjakan oleh suami

- Peminggiran (Marginalisasi)
Perempuan tidak dapat berkontribusi dalam suatu aspek atau bidang pekerjaan
tertentu karena stereotype tertentu yang melekat cukup lama pada perempuan
contoh : perempuan adalah individu lemah, terlalu perasa, sensitif, cengeng.Karena
fungsi reproduksi yang dimiliki perempuan, perempuan dianggap akan
menghambat pekerjaan. Contoh : Pekerjaan yang berkaitan dengan pembangunan
(gedung, jalan, dsb) minim kontribusi perempuan karena perempuan dianggap
lemah secara fisik dan psikologi, fungsi reproduksi perempuan dinilai akan
menghambat pekerjaan (ketika perempuan haid, hamil dan menyusui)

- Kekerasan (violence)

-  Terjadi karena perempuan/laki-laki dianggap lemah dan ditundukkan

- Terjadi karena adanya narasi tubuh perempuan sebagai objek seksual   Contoh :

 Kekerasan fisik : dipukul, ditampar

 Kekerasan seksual : dipegang pada bagian tubuh tertentu (tanpa


persetujuan darikorban?)

 Kekerasan psikologis : ucapan menyakitkan, kata-kata kotor, bentakan,


hinaan dan ancaman

- Pelabelan (Stereotype)
Pelabelan yang melekat pada jenis kelamin dan berhubungan dengan fungsi dan
perannya, yang tidak mengandung kebenaran mutlak.
- Diskriminasi
Tindakan pembedaan karena jenis kelamin, suku, agama, ras. Perempuan : Tidak
harus berpendidikan tinggi, Harus bisa memasak. Laki-laki : Harus berpendidikan,
Harus bekerja di luar rumah.

c. Kesetaraan Gender di Indonesia Masih Rendah


Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang
Puspayoga menyebut tingkat kesetaraan gender di Indonesia masih rendah. Hal ini tecermin
dari indeks kesetaraan gender yang dirilis Badan Program Pembangunan PBB (UNDP).
Indonesia berada pada peringkat 103 dari 162 negara, atau terendah ketiga se-ASEAN.
Adapun mengacu data lain, seperti Indeks Pembangunan Gender (IPG) di Indonesia per
2018 berada di angka 90,99. Kemudian, Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) berada pada
angka 72,1.
Menurutnya Bintang , kesetaraan gender berdampak langsung pada target kesetaraan
pembangunan. Ketimpangan gender pun semakin terlihat di masa pandemi covid-19.
Perempuan sebagai kelompok rentan yang seharusnya mendapatkan perlindungan, harus
menghadapi berbagai tantangan. Seperti, beban sebagai pendidik, pencari nafkah, hingga
ancaman kekerasan rumah tangga.

Rumitnya perwujudan kesetaraan gender di Indonesia berkaitan dengan timpangnya akses


partisipasi kontrol, serta kesempatan memperoleh manfaat antara perempuan dan laki-laki.
Salah satunya dipicu nilai patriarki dan konstruksi sosial di masyarakat,” tutur Bintang.
Untuk menanggulangi persoalan ini, pemerintah meminta dukungan dari berbagai unsur
masyarakat. Seperti, organisasi perempuan, dunia usaha, hingga media, untuk membantu
program kesetaraan gender

B. Identifikasi Potensi dan Kebutuhan Lingkungan


Adanya realitas kesenjangan regional dan distribusi spasial atas sumber daya merupakan
dampak dari proses pembangunan yang tidak merata. Pembangunan sarana dan pra sarana
umumnya lebih diutamakan untuk daerah dengan kepadatan penduduk yang tinggi. Sehingga
dapat juga dikatakan bahwa ketimpangan antardaerah erat kaitannya dengan ketimpangan
penyebaran penduduk. Daerah‐daerah yang padat penduduk dan dengan sarana/prasarana
yang memadai akan menjadi pusat kegiatan ekonomi, akibatnya penyebaran kegiatan
ekonomi menjadi tidak merata dan berdampak pada kesenjangan pertumbuhan dan
peningkatan kesejahteraan antardaerah. Perbedaan laju pertumbuhan antardaerah ini akan
menyebabkan terjadinya kesenjangan kemakmuran dan kemajuan antardaerah. Premis dari
agenda pertumbuhan adalah bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan
kunci untuk mengatasi masalah kemiskinan, menurunkan tingkat pertumbuhan penduduk,
melindungi lingkungan dan memperkuat tatanan sipil. Premis ini menjadi sangat ironis
karena di banyak negara pertumbuhan ekonomi tetap saja menyimpan persoalan yang krusial
yang meliputi kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan baik secara sosial maupun
ekonomi. Ketimpangan yang sering terjadi secara sosial ataupun ekonomi ini akan
menciptakan kelompok‐kelompok penduduk yang tidak memiliki kemampuan untuk
mengakses sumberdaya-sumberdaya pembangunan.
Banyak negara sedang berkembang termasuk Indonesia mengalami pertumbuhan yang cukup
tinggi tetapi kemiskinan belum bisa dihilangkan, ketimpangan pendapatan dan tingkat
pengangguran masih relatif tinggi. Hal ini disebabkan karena tingkat pertumbuhan ekonomi
yang tinggi tersebut dicapai dengan penerapan teknologi padat modal atau pertumbuhan
tersebut dihasilkan oleh aktivitas investasi sejumlah kecil investor atau pemilik modal atau
konglomerat. Terjadinya pola kemitraan antara pemerintah daerah dan sektor swasta sangat
diperlukan dalam proses pembangunan daerah. Kemitraan seperti ini akan berdampak positif
terhadap pengelolaan sumberdaya yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan masyarakat
sehingga akan tercipta lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi
serta pada gilirannya akan terjadi pertumbuhan ekonomi dalam wilayah tersebut.
Keberhasilan proses pembangunan dapat dilihat dari beberapa tolok ukur, antara lain
pertumbuhan ekonomi, struktur ekonomi serta semakin kecilnya ketimpangan pendapatan
antarpenduduk, antardaerah dan antarsektor. Tetapi kenyataannya pertumbuhan ekonomi
tidak selalu diikuti dengan pemerataan.

Untuk dapat tumbuh dengan cepat, suatu daerah perlu memiliki satu atau lebih pusat‐pusat
pertumbuhan regional yang memiliki potensi paling kuat. Apabila daerah ini kuat maka akan
terjadi perembetan pertumbuhan bagi daerah‐daerah lemah. Pertumbuhan ini akan berdampak
positif bagi daerah‐daerah di sekitarnya. Diharapkan pertumbuhan yang cepat di pusat
pertumbuhan dapat menetes ke bawah (trickle down effect), yaitu adanya pertumbuhan di
daerah yang kuat akan menyerap potensi kerja atau mungkin daerah yang lemah dapat
menghasilkan produk yang sifatnya komplementer dengan produk yang dihasilkan daerah
kuat. Selain itu, perlu juga ditentukan hubungan pusat dan daerah yang memiliki potensi
paling kuat sehingga dapat memicu pertumbuhan ekonomi di daerah lain yang lemah
(Wiyadi, 2003). Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri atas empat kabupaten, yaitu
kabupaten Sleman, kabupaten Bantul, kabupaten Kulon Progo dan kabupaten Gunung Kidul
serta satu kota, yakni kota Yogyakarta. Dari kelima kabupaten kota tersebut, kabupaten
Kulon Progo merupakan kabupaten paling miskin, karena memiliki pendapatan daerah yang
sangat kecil dibandingkan keempat kabupaten/kota lainnya.
Pertumbuhan Ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dipandang sebagai suatu proses dimana
pendapatan nasional perkapita riil naik dibarengi dengan penurunan ketimpangan pendapatan
dan pemenuhan keinginan masyarakat secara terus menerus dan ber‐ jangka waktu yang
panjang dan dapat dilihat dari lancarnya distribusi atas barang dan jasa (Jhingan, 1999: 7).
Sedangkan menurut Boediono (1985: 1) pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan
output perkapita dalam jangka panjang. Penekanan pada proses karena proses mengandung
unsur dinamis. Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan atau berkembang
apabila tingkat kegiatan ekonomi lebih tinggi daripada apa yang dicapai sebelumnya. Untuk
mempertahankan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang, harus memperhatikan
kebijakan penggunaan sumberdaya agar terhindar dari penggunaan sumberdaya yang tidak
tepat. Para teoritisi ilmu ekonomi pembangunan masa kini masih terus menyempurnakan
makna, hakikat dan konsep pertumbuhan ekonomi. Para teoritisi tersebut menyatakan bahwa
pertumbuhan ekonomi tidak hanya diukur dengan pertambahan PDB dan PDRB saja, tetapi
juga diberi bobot yang bersifat immaterial seperti kenikmatan, kepuasan dan kebahagiaan
dengan rasa aman dan tenteram yang dirasakan masyarakat (Arsyad, 1999: 1). Menurut
pandangan beberapa Ekonom Klasik, yakni Adam Smith, David Ricardo, Thomas Robert
Malthus, dan Jhon Stuart Mill serta Ekonom Neoklasik, yaitu Robert Solow dan Trevor
Swan, bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yaitu (1)
jumlah penduduk, (2) jumlah stok barang modal, (3) luas tanah dan kekayaan alam dan (4)
tingkat teknologi yang digunakan (Sukirno, 1985: 275).
Adanya heterogenitas dan beragamnya karakteristik suatu wilayah menyebabkan adanya
kecenderungan terjadi ketimpangan antardaerah dan antarsektor ekonomi suatu daerah. Besar
kecilnya ketimpangan PDRB perkapita antarkabupaten/kota memberikan gambaran tentang
kondisi dan perkembangan pembangunan di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

C. Rumusan Target Pembangunan


D. Metode Pencapaian Target
E. Penjabaran Rencana Kerja
Langkah-Langkah Mencapai Target
Visualisasi Gagasan

BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai