OLEH
NUR’AIN WANTU
Titrasi asam basa sering disebut asidi-alkalimetri, sedang untuk titrasi pengukuran lain-
lain sering dipakai akhiran-ometri mengggantikan –imertri. Kata metri berasal dari bahasa
yunani yang berarti ilmu proses seni mengukur. I dan O dalam hubungan mengukur sama
saja, yaitu dengan atau dari (with or off). Akhiran I berasal dari kata latin dan O berasal dari
kata Yunani. Jadi asidimetri dapat diartikan pengukuran jumlah asam ataupun pngukuran
dengan asam (yang diukur dalam jumlah basa atau garam). (Harjadi, W. 1990)
Reaksi penetralan asam basa dapat digunakan untuk menentukan kadar larutan asam
atau larutan basa. Dalam hal ini sejumlah tertentu larutan asam ditetesi dengan larutan basa,
atau sebaliknya sampai mencapai titik ekuivalen (asam dan basa tepat habis bereaksi). Jika
molaritas salah satu larutan (asam atau basa) diketahui, maka molaritas larutan yang satu lagi
dapat ditentukan. (Michael. 1997)
Jika larutan asam ditetesi dengan larutan basa maka pH larutan akan naik, sebaliknya
jika larutan basa ditetesi dengan larutan asam maka pH larutan akan turun. Grafik yang
menyatakan perubahan pH pada penetesan asam dengan basa atau sebaliknya disebut kurva
titrasi. Kurva titrasi berbetuk S, yang pada ttik tengahnya merupakan titik
ekuivalen. (Michael. 1997)
Titrasi asam basa dapat memberikan titik akhir yang cukup tajam dan untuk itu
digunakan pengamatan dengan indikator bil pH pada titik ekuivalen 4-10. Demikian juga titik
akhir titrasi akan tajam pada titirasi asam atau basa lemah, jika penitrasian adalah basa atau
asam kuat dengan perbandingan tetapan disosiasi asam lebih besar dari 10 4 .pH berubah
secara drastis bila volume titrannya. Pada reaksi asam basa, proton ditransfer dari satu
molekul ke molekul lain. Dalam air proton biasanya tersolvasi sebagai H30. Reaksi asam basa
bersifat reversibel. Temperatur mempengaruhi titrasi asam basa, pH dan perubahan warna
indikator tergantung secara tidak langsung pada temperatur. (Khopkar, S.M. 1990)
Pada kedua jenis titrasi diatas, dipergunakan indikator yang sejenis yaitu fenoftalen (PP) dan
metil orange (MO). Hal tersebut dilakukan karena jika menggunakan indikator yang lain,
misalnya TB, MG atau yang lain, maka trayek pHnya sangat jauh dari ekuivalen. (Harjadi,
W. 1990)
1. Asidimetri. Titrasi ini menggunakan larutan standar asam yang digunakan untuk
menentukan basa. Asam yang biasa digunakan adalah HCl, asam cuka, asam oksalat, asam
borat.
2. Alkalimeri. Pada titrasi ini merupakan kebalikan dari asidi-alkalimetri karena larutan yang
digunakan untuk menentukan asam disini adalah basa.
Titirasi asam-basa merupakan cara yang tepat dan mudah untuk menentukan
jumlah senyawa-senyawa yang bersifat asam dan basa. Kebanyakan asam dan basa organik
dan organik dapat dititrasi dalam larutan berair, tetapi sebagian senyawa itu terutama
senyawa organik tidak larut dalam air. Namun demikian umumnya senyawa organik dapat
larut dalam pelarut organik, karena itu senyawa organik itu dapat ditentukan dengan titrasi
asam basa dalam pelarut inert. Untuk menentukan asam digunakan larutan baku asam kaut
misalnya HCl, sedangkan untuk menentuan basa digunakan larutan basa kuat misalnya
NaOH. Titik akhir titrasi biasanya ditetapkan dengan bantuan perubahan indikator asam basa
yang sesuai atau dengan bantuan peralatan seperti potensiometri, spektrofotometer,
konduktometer. (Rivai, H, 1990)
Titrasi asam basa melibatkan asam maupun basa sebagai titer ataupun titrant. Kadar
larutan asam ditentukan dengan menggunakan larutan basa atau sebaliknya. Titrant
ditambahkan titer tetes demi tetes sampai mencapai keadaan ekuivalen ( artinya secara
stoikiometri titrant dan titer tepat habis bereaksi) yang biasanya ditandai dengan berubahnya
warna indikator. Keadaan ini disebut sebagai “titik ekuivalen”, yaitu titik dimana konsentrasi
asam sama dengan konsentrasi basa atau titik dimana jumlah basa yang ditambahkan sama
dengan jumlah asam yang dinetralkan : [H+] = [OH-].
Sedangkan keadaan dimana titrasi dihentikan dengan cara melihat perubahan warna
indikator disebut sebagai “titik akhir titrasi”. Titik akhir titrasi ini mendekati titik ekuivalen,
tapi biasanya titik akhir titrasi melewati titik ekuivalen. Oleh karena itu, titik akhir titrasi
sering disebut juga sebagai titik ekuivalen. (Esdi, 2011)
Pada saat titik ekuivalen maka mol-ekuivalen asam akan sama dengan mol-ekuivalen
basa, maka hal ini dapat ditulis sebagai berikut (Esdi, 2011)
Mol-ekuivalen diperoleh dari hasil perkalian antara normalitas (N) dengan volume, maka
rumus diatas dapat ditulis sebagai berikut:
Normalitas diperoleh dari hasil perkalian antara molaritas (M) dengan jumlah ion H+ pada
asam atau jumlah ion OH- pada basa, sehingga rumus diatas menjadi:
Keterangan:
N=Normalitas
V=Volume
M=Molaritas
n = Jumlah ion H +(pada asam) atau OH- (pada basa).
III.METODOLOGI PERCOBAAN
- Corong kaca
Mencuci bersih buret yang akan digunakan untuk standarisasi dan membilas dengan 5 mL
larutan NaOH. Memutar kran buret untuk mengeluarkan cairan yang tersisa dalam buret,
selanjutnya mengisi buret dengan 5 mL NaOH untuk membasahi dinding buret. Kemudian
larutan dikeluarkan lagi dari buret. Larutan NaOH dimasukkan lagi ke dalam buret sampai
skala tertentu. Mencatat kedudukan volume awal NaOH dalam buret.
Proses standarisasi :
- Mengalirkan larutan NaOH yang ada dalam buret sedikit demi sedikit sampai
terbentuk warna merah muda yang tidak hilang apabila gelas Erlenmeyer digoyang.
- Mengalirkan larutan NaOH yang ada dalam buret sedikit demi sedikit sampai terbentuk
warna merah muda yang tidak hilang apabila gelas erlenmeyer digoyang.
Ulangan Rata-
No Prosedur
I II III rata
Ulangan
No Prosedur Rata-rata
I II III
4.2 Perhitungan
10 . 0,1 = 19,8 . M2
1 = 19,8 . M2
10 . 0,1 = 21 . M2
1 = 21 . M2
21
10 . 0,1 = 18,6 . M2
1 = 18,6 . M2
18,6
10 . 0,1 = 19,8 . M2
1 = 19,8 . M2
19,8
10 . 0,1 = 25,3 . M2
25,3
PEMBAHASAN
Pada percobaan standarisasi NaOH 0,1 M dengan larutan asam oksalat dilakukan dalam tiga
kali ulangan dengan proses :
Setelah itu larutan asam oksalat diletakkan dibawah buret dan ditetesi dengan
larutan NaOH yang ada didalam buret setetes demi setetes, erlemeyer sambil di goyang-
goyang hingga larutan asam oksalat yang semula bening berubah menjadi pink atau ungu.
Apabila larutan asam oksalat sudah berubah warna menjadi pink atau ungu, maka cepat tutup
kran pada buret supaya larutan dalam buret tidak keluar lagi. Langkah selanjutnya
menghitung banyaknya volume NaOH yang terpakai. Pada ulangan I didapatkan volume
NaOH terpakai sebanyak 19,8 mL, catat pada tabel laporan sementara dibagian Ulangan I.
Kemudian hitung Molaritas NaOH sebagai berikut :
10 . 0,1 = 19,8 . M2
1 = 19,8 . M2
19,8
Berikutnya ialah mengulangi langkah-langkah diatas sebanyak dua kali, hingga didapatkan
pada ulangan II volume NaOH terpakai sebanyak 21 mL
10 . 0,1 = 21 . M2
1 = 21 . M2
10 . 0,1 = 18,6 . M2
1 = 18,6 . M2
18,6
Sehingga dapat kita cari rata-rata volume NaOH terpakai dengan cara :
10 . 0,1 = 19,8 . M2
1 = 19,8 . M2
19,8
Percobaan yang kedua ialah standarisasi HCl dengan larutan HCl yang juga
dilakukan dengan tiga kali pengulangan, yang akan dibahas sebagai berikut :
Mula-mula kita cuci gelas ukur yang telah kita pakai untuk mengukur volume asam oksalat
tadi dengan air bersih. Kemudian ukur volume larutan HCl dengan menggunakan gelas ukur
10 mL sebanyak 10 mL dan tuangkan ke Erlenmeyer. Kemudian tetesi larutan HCl dengan
indikator penolphetalein sebanyak 3 tetes menggunakan pipet tetes.
Lalu letakkan erlenmeyer tadi dibawah buret yang berisi larutan NaOH dan tetesi
sedikit demi sedikit sambil erlenmeyer digoyang-goyang. Lakukan hingga larutan HCl yang
mulanya benih hingga berubah menjadi pink/ungu. Apabila larutan HCl sudah berubah warna
menjadi pink/ungu, maka cepat-cepat tutup kran pada buret untuk menghindari larutan NaOH
menetes kembali, lalu didapatkan volume NaOH terpakai sebanyak 25,4 mL. Kemudian
mengulangi pada percobaan tadi sebanyak dua kali hingga didapatkan hasil pada ulangan II
volume NaOH terpakai sebanyak 27 mL dan pada ulangan III didapatkan volume NaOH
terpakai sebanyak 23,5 mL. Kemudian menghitung rata-rata volume NaOH terpakai yaitu :
25,4 mL + 27 mL + 23,5 mL = 25,3 mL
Langkah selanjutnya ialah menghitung Molaritas (M) larutan HCl dengan rumus :
10 . 0,1 = 25,3 . M2
1 = 25,3 . M2
25,3
Perubahan Kimia
Perubahan kimia adalah perubahan dari suatu zat atau materi yang
asap knalpot.
F. PEMBAHASAN
Percobaan pertama, di siapkan gelas kimia yang bersih. Pada gelas kimia di
masukkan air cuka sebyak 50 ml. Kemudia paku di masukkan ke dalam gelas kimia
yang telah berisi larutan cuka. Lalu diamkan selama 20 menit. Kemudian di amati dan
di catat hasil dari percobaan tersebut. Setelah 2 menit berakhir, lalu kita amati
perubahan dari percobaan tersebut. Hasil dari percobaan tersebut yaitu terjadi
perubahan warna dan terjadi perubahan kedaan yaitu dilihat dari keadaan awal dan
keadaan akhir. Perubahannya yaitu pada warna, saat keadaan awal warna dari paku
yaitu masih mengkilap tetapi pada saan keadaan akhir warna paku berubah menjadi
kusam dan adanya karat pada paku tersebut.
Hasil dari percobaan satu dan percobaan kedua yaitu terjadi pengaratan pada
paku. Hal tersebut karena dalam cuka terdapat sifat korosif yang hal tersebut karena di
pengaruhi zat asam. Pada percobaan itu pula yang paling cepat erjadi pengaratan yaitu
pada percobaan yang ke satu, karena paku di celupkan langsung pada cuka tanpa ada
penghalang seperti pada percobaan kedua yang terdapat penghalang sebuah kapas, hal
tersebut dapat memperlambat pengaratan pada paku.
Percobaan ketiga, disiapkan sebuah gelas kimia, cuka, dan serbuk besi yang
akan digunakan. Kemudian dimasukkan larutan cuka sebanyak 50 ml ke dalam gelas
kimia, kemudian di tambahkan serbuk besi pada larutan cuka tersebut. Kemudian di
amati dan di catat hasil pengamatannya. Saat percobaan tersebut di lakukan, terjadi
reaksi antara larutan cuka dan serbuk besi. Pada reaksi tersebut saat keadaan awal
larutan berwarna hitam pekat, tetapi lama kelamaan larutan tersebut timbul reaksi
seperti, timbul gelembung-gelembung gas dan terjadi pengendapan serbuk besi pada
larutan cuka.