Anda di halaman 1dari 18

BIOETIK

Mata Kuliah: Etika dan Hukum Kesehatan

Disusun oleh:
Janu Dimas Saputra 2010713086
Dona Putri Ariningrum 2010713087
Muhammad Sulthan Fadhil 2010713088
AndiniRizkiYanti 2010713089

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONALVETERAN JAKARTA
2021
6. ASPEK PROFESIONALISME KESEHATAN

Profesionalisme adalah sesuatu yang menjadi kebiasaan atau behavior yang


dapat ditunjukkan dan diamati dengan jelas berdasarkan pengetahuan
(knowledge), kemampuan (skills) dan perilaku (attitude). Dengan
mengedepankan dan mendahulukan perilaku profesionalisme yaitu dengan
menunjukkan perbuatan, perkataan dan penampilan akan membangun
kepercayaan (trust) dari klien atau pasien (Winasari, 2017)

Profesionalisme secara umum menurut Suardhika memiliki 3 aspek utama


yang harus dimiliki yaitu standar kepatuhan (compliance), optimum dan etika.

a. Standar kepatuhan (Compliance)

Pada dasarnya untuk disebut sebagai profesional, seseorang perlu


memenuhi standar tertentu. Standar tersebut dapat dikategorikan
berupa pendidikan formal seperti program pendidikan sarjana atau
mengikuti kursus suatu profesi. Bila suatu profesi semakin tertata
dengan baik maka standar yang diterapkan akan semakin
rumit/kompleks. Standar tidak hanya terkait dengan sertifikasi akan
tetapi juga terkait dengan kompetensi atau kemampuan. Bila seseorang
sudah memenuhi standar atau persyaratan dan tunduk kepada aturan
dari sebuah profesi maka seseorang tersebut sudah dapat dikatakan
memenuhi standar kepatuhan (Suardhika, 2018).

b. Optimum

Optimum dalam hal ini adalah mengacu pada sikap semangat dan
sikap selalu berusaha untuk mengembangkan potensi diri dan
memberikan hasil yang terbaik dalam menjalani suatu profesi.
Optimum juga dapat disebut sebagai dedikasi. Dedikasi terhadap
profesi yang dijalani dapat ditunjukkan dengan adanya keinginan
untuk selalu mengaktualisasi diri dengan tidak hanya mengikuti
pendidikan maupun sertifikasi yang disyaratkan akan tetapi juga
dengan memperbaharui pengetahuan dan wawasan. Selain
mengembangkan kompetensi diri, aspek optimum atau dedikasi juga
dapat ditunjukkan dengan memberikan hasil yang terbaik dari
pekerjaan atau profesi yang dijalani (Suardhika, 2018).

c. Etika (Ethics)

Aspek yang ketiga adalah etika. Profesionalisme sebagai sebuah


pergerakan yang etis, tidak dapat didekati secara setengah-setengah
akan tetapi harus dilakukan secara penuh. Etika profesional dibangun
dari berbagai pandangan dan nilai seperti kinerja optimal, kejujuran
atau transparansi, keadilan dan lain sebagainya. Etika dalam
profesionalisme berguna sebagai alat yang digunakan untuk menekan
pihak lain baik profesi atau penyedia jasa ketika terdapat harapan klien
yang tidak terpenuhi. Seseorang yang tidak melakukan pekerjaan
dengan optimal maka menurut etika orang tersebut bisa dikatakan
tidak profesional (Suardhika, 2018).

Perilaku profesional sangat penting untuk dimiliki oleh setiap tenaga kesehatan
dalam menjalankan profesinya, sebab dalam menjalani profesinya sebagai tenaga
kesehatan, seseorang tenaga kesehatan pasti berhubungan dengan pelayanan
kesehatan yang mana hal ini menyangkut kepada kehidupan manusia dan setiap
tindakan yang dipilih atau diambil oleh tenaga kesehatan tersebut tentunya akan
berdampak terhadap diri sendiri, pasien, kolega se-profesi, terhadap tuhan dan
terhadap pusat/tempat pelayanan kesehatan baik rumah sakit atau puskesmas
(Winasari, 2017).

Adapun untuk bisa dikatakan sebagai tenaga kesehatan yang profesional maka
seorang nakes perlu memenuhi aspek dan harus memiliki unsur profesionalisme
yang harus dimiliki. Adapun aspek/unsur profesionalisme yang harus dimiliki
seorang tenaga kesehatan diantaranya adalah altruisme, akuntabilitas, keunggulan,
tugas dan kewajiban, kehormatan dan integritas serta rasa saling menghormati
orang lain.
a. Altruisme (Altruism)

Altruisme merupakan sikap atau upaya untuk mementingkan atau


mendahulukan kepentingan bersama atau kepentingan orang lain
terlebih dahulu dibanding kepentingan pribadi. Altruisme merupakan
salah satu aspek profesionalisme yang menunjukkan sikap seorang
tenaga kesehatan atau profesi kesehatan dengan mengutamakan dan
menempatkan kepentingan pasiennya diatas kepentingan pribadinya
dan juga berinisiatif dalam memberikan pertolongan sesegera mungkin
(Putri et al., 2015, 3).

b. Akuntabilitas (Accountability)

Aspek profesionalisme kedua yaitu akuntabilitas, merupakan suatu


prinsip dan komitmen dari profesi kesehatan atau tenaga kesehatan
dimana setiap orang dalam suatu profesi memberikan
pertanggungjawaban, jujur/transparan, memperoleh kepercayaan
penuh dan memenuhi persyaratan/kompetensi tertentu untuk menjalani
profesi sesuai dengan persyaratan atau standar kepatuhan dan kode etik
profesi (Putri et al., 2015, 3).

c. Keunggulan (Excellence)

Keunggulan merupakan aspek profesionalisme yang tidak hanya


berarti memiliki kemampuan yang unggul daripada orang lain akan
tetapi juga memiliki keinginan untuk terus belajar dan meningkatkan
skil dan ilmu terus menerus yang dilakukan sepanjang usia. Contoh
daripada aspek keunggulan seperti membaca buku dan mengikuti
seminar atau pelatihan (Putri et al., 2015, 4).

d. Tugas dan Kewajiban (Duty)

Tugas dan kewajiban merupakan sesuatu yang dibebankan kepada


seseorang atau diamanahkan kepada seseorang agar orang tersebut
mau melakukannya yang didasarkan kepada kesadaran dari seseorang
sebagai sebuah sikap profesional. Dalam hal aspek profesionalisme
kesehatan berarti memberi pelayanan sesuai dengan kapasitas dan
standar profesi merujuk kepada mengetahui apakah ia kemampuan
untuk menangani dan juga memahami hak yang dimiliki pasien agar
tidak melakukan hal melebihi batas wajar yang berada diluar kapasitas
profesi (Putri et al., 2015, 4).

e. Kehormatan dan Integritas (Honor and Integrity)

Kehormatan dan integritas merupakan upaya yang dipengaruhi adanya


sikap kewibawaan, kejujuran dan keadilan untuk menjaga atau
merahasiakan sesuatu yang dapat berpotensi menjatuhkan harga diri
pribadi ataupun orang lain. Dalam aspek profesionalisme kesehatan
merujuk kepada membaktikan tugas dan kewajiban seperti berlaku adil
dan jujur ketika melakukan praktik profesi dan menjaga kerahasiaan
dan kehormatan klien (Putri et al., 2015, 5).

f. Menghormati orang lain (Respect to Others)

Menghormati orang lain merupakan sikap meninggikan orang lain


dengan adanya rasa patuh dan rasa hormat, menghormati juga
memiliki arti memberikan kebebasan orang lain untuk menentukan dan
melakukan hak dan kewajibannya. Dalam aspek profesionalisme
kesehatan menghormati orang lain dapat dilakukan dengan
menghormati pasien dan keluarga pasien, menghormati rekan
sejawat/kolega dan menghormati masyarakat (Putri et al., 2015, 5).

7. STANDAR KESELAMATAN PASIEN


Standarmenurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring berarti
ukuran tertentu yang dipakai sebagai patokan (Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa, 2016). Kemudian, keselamatan pasien diartikan
sebagai suatu sistem yang membuat asuhan pasien lebih aman, meliputi
asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan risiko pasien, pelaporan dan
analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya,
serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan
mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan yang seharusnya diambil (Menteri Kesehatan
Republik Indonesia, 2018).Karena pengertian tersebut keselamatan pasien
telah dijadikan sebagai prioritas utama karena berkaitan dengan isu mutu
dan citra dari rumah sakit, belum lagi keselamatan pasien ini juga telah
jadi semangat tersendiri dalam pelayanan rumah sakit yang ada di seluruh
dunia (Mudayana & Juniarti, 2018). Berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2017 Tentang
Keselamatan Pasien, menjelaskan bahwa standar keselamatan pasien ialah
sebagai berikut(Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2017):
a. Hak pasien
Standar dari hak pasien adalah pasien dan keluarga berhak
mengetahui terkait rencana, hasil pelayanan, serta insiden yang
mungkin terjadi. Untuk memenuhi tiga standar ini, terdapat tiga
kriteria yang harus dipenuhi. Yang pertama, adanya dokter
penanggung jawab pelayanan. Yang kedua, penanggung jawab tersebut
wajib membuat rencana pelayanan, serta yang ketiga ialah dokter
penanggung jawab tersebut wajib dalam memberikan penjelasan
terhadap pasien dan keluarganya.
b. Pendidikan bagi pasien dan keluarga
Standar untuk poin ini adalah fasilitas pelayanan kesehatan
(fasyankes) harus dan wajib mendidik pasien serta keluarganya tentang
tanggung jawab dan kewajibannya sebagai pasien. Kriteria untuk hal
ini ialah fasilitas pelayanan kesehatan harus memiliki sistem dalam
mendidik pasien dan keluarganya terkait dengan kewajiban dan
tanggung jawabnya tersebut.
c. Keselamatan pasien dalam kesinambungan pelayanan
Standar untuk poin ini ialah fasyankes dapat menjamin
keselamatan pasien dalam pelayanan dan koordinasi antar tenaga serta
unit pelayanan yang ada. ada empat kriteria yang ditentukan untuk
memenuhi standar ini, yang pertama adalah adanya koordinasi
pelayanan yang baik mulai dari pasien masuk hingga keluar dari
fasyankes tersebut. Selanjutnya ada koordinasi pelayanan yang
disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan sumber daya yang ada. yang
ketiga adalah adanya koordinasi pelayanan mencakup komunikasi ke
keluarga pasien, pelayanan keperawatan, pelayanan sosial, konsultasi
dan rujukan, pelayanan kesehatan primer dan tindak lanjut. Lalu yang
terakhir adalah adanya komunikasi dan perpindahan informasi antar
profesi kesehatan untuk menghindari adanya koordinasi tanpa
hambatan.
d. Penggunaan metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi
dan peningkatan keselamatan pasien
Fasyankes wajib mendesain proses yang baru atau memperbaiki
proses yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui
pengumpulan data, menganalisis insiden, dan meningkatkan kinerja
dengan melakukan perubahan untuk keselamatan pasien. Kriterianya
sendiri terdiri atas fasyankes harus memiliki perancangan atau desain
yang baik, lalu fasyankes harus melakukan pengumpulan data kinerja,
melakukan evaluasi secara intensif untuk tiap insiden yang terjadi, dan
menggunakan setiap data dan informasi yang ada untuk menentukan
perubahan sistem yang diperlukan.
e. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
Standardisasi untuk poin terdapat 4 standar. Pertama, pemimpin
mendukung, mendorong, dan menjamin penerapan program
keselamatan pasien secara terintegrasi. Kedua, pimpinan mendorong
program proaktif identifikasi risiko keselamatan pasien dan menekan
insiden. Ketiga, pemimpin menumbuhkan koordinasi dan komunikasi
mulai dari unit hingga individu dalam pengambilan keputusan.
Keempat, pimpinan mampu mengalokasikan sumber daya untuk
mengukur, mengkaji, dan meningkatkan fasyankes serta keselamatan
pasien. Yang kelima atau yang terakhir adalah pimpinan mengukur dan
mengkaji efektivitas kontribusi dalam peningkatan fasyankes dan
keselamatan pasien.
f. Pendidikan bagi staf tentang keselamatan pasien
Standar untuk hal ini ada dua, yaitu fasyankes memiliki proses
pendidikan, pelatihan, dan orientasi jabatan. Serta yang kedua adalah
fasyankes menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang
berkelanjutan. Kriteria untuk mencapai standar tersebut adalah
memiliki program dan fasilitas pelatihan bagi staf baru,
mengintegrasikan topik keselamatan disetiap kegiatan pelatihan, dan
menyelenggarakan pelatihan kerja sama kelompok untuk pendekatan
interdisipliner dan kolaboratif.
g. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan
pasien
Standarisasi untuk poin ke tujuh yang pertama ialah fasyankes
memiliki rencana dan gambaran proses manajemen informasi
keselamatan pasien untuk kebutuhan internal dan eksternal. Kedua,
adanya transmisi data serta informasi yang tepat waktu dan akurat.
Kriteria untuk memenuhinya terdapat dua poin juga, yaitu pertama
disediakannya anggaran untuk rencana dan desain proses manajemen
untuk mendapatkan data dan info terkait keselamatan pasien. Lalu
yang kedua ialah adanya mekanisme identifikasi masalah dan kendala
komunikasi.
8. MALPRAKTIK DAN HUKUM KESEHATAN
Malpraktik terdiri atas dua kata yang berasal dari dua bahasa yang
berbeda, yaitu ma/mal dari bahasa Yunani dan praktik berasal dari bahasa
Indonesia. Mal berarti buruk, sedangkan praktik menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia berarti perbuatan menerapkan teori atau pelaksanaan
pekerjaan. Dengan dua pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan
bahwa malpraktik berarti melaksanakan pekerjaan yang buruk hasil atau
kualitasnya (Harahap, 2017). Berdasarkan buku ini juga diketahui bahwa
malpraktik merupakan tindakan yang tidak profesional atau kecacatan
yang tidak dapat diterima yang diukur dengan ukuran yang terdapat
tingkat keterampilan sesuai dengan derajat ilmiah yang umumnya
dipraktikan oleh anggota keprofesian(Harahap, 2017).
Berdasarkan hukum yang ada di Indonesia, istilah malpaktik
hingga 2010 belum ada, melainkan lebih dikenal dengan kesalahan atau
kelalaian dokter. Untuk menetapkan malpraktik dapat dilihat dari adanya
kesalahan profesional yang dapat diketahui dengan beberapa kriteria, yang
pertama ialah adanya kewajiban dokter menyelenggarakan pelayanan
kedokteran bagi pasiennya tetapi justru menimbulkan kerugian pada orang
lain atau pasien, maksud disini ialah seorang dokter melakukan tindakan
hanya untuk upaya yang akan dilaksanakan saja bukan untuk hasil akhir
atau kesembuhan. Kedua, adanya pelanggaran kewajiban dokter terhadap
pasiennya, contohnya ialah tidak melakukan tindakan medis atau
pelayanan kedokteran yang sesuai dengan standar profesi yang ada, atau
tidak meminta persetujuan pasien sebelum melakukan tindakan medis.
Ketiga, munculnya kerugian karena terjadi kesalahan profesional bukan
krena risiko atau efek dari tindakan medis (Heryanto, 2010).
Hukum kesehatan adalah suatu ilmu pengetahuan yang mengkaji
terkait bagaimana sebuah penegakan aturan hukum terhadap akibat
pelaksanaan dari tindakan medis yang dilakukan oleh pihak profesional di
bidang kesehatan yang dapat dijadikan sebagai dasaran bagi kepastian
tindakan hukum di dunia kesehatan. Hukum kesehatan jauh lebih luas
daripada hukum kedokteran, bahkan hukum kesehatan juga meliputi
hukum kedokteran dalam objek pemeliharaan kesehatan dan disiplin ilmu
hukum (Takdir, 2018).
Hukum kesehatan bukan suatu hukum yang terdapat dalam bentuk
peraturan khusus, melainkan tersebar di berbagai peraturan perundang-
undangan seperti di hukum pidana, hukum perdata, dan hukum
administrasi. Hukum kesehatan sendiri meliputi hukum kedokteran/medis,
hukum keperawatan, hukum rumah sakit, hukum pencemaran lingkungan,
hukum limbah, hukum polusi, hukum peralatan yang menggunakan X-Ray
(kobalt, nuklir, dll), hukum kesehatan dan keselamatan kerja, serta
berbagai hukum atau peraturan yang berkaitan langsung maupun tidak
langsung dengan hal yang memengaruhi kesehatan manusia (Takdir,
2018).
Tujuan dari hukum kesehatan sendiri berbanding lurus atau sejalan
dengan tujuan dari hukum itu sendiri, yaitu melindungi, serta menjaga
ketertiban dan ketenteraman masyarakat. Di dalam dunia pelayanan
kesehatan sebenarnya terdapat dua kelompok orang yang menginginkan
adanya kepastian hukum yaitu yang pertama kelompok penerima layanan
kesehatan yang biasa dikenal dengan pasien dan kelompok yang kedua
adalah kelompok pemberi layanan yang terdiri atas tenaga kesehatan.
Karena adanya kepastian hukum, kedua kelompok ini akan merasa aman
terlindungi oleh hukum (Takdir, 2018).

9. KEWARGANEGARAAN BERDASARKAN PANCASILA DAN


AGAMA
a. Kewarganegaraan
Kewarganegaraan adalah konsep yang
digunakandalammewakiliduafungsipemahaman, yaknifungsi hokum
dan sosial (Meer, 2010 dalamMeinarno dan Mashoedi, 2016).
Fungsihukummencakuphakberpartisipasi dan demokrasi,
sementarafungsisosialmencakupkeseimbanganantarahak dan
kewajibandalamkependudukan).
Kewarganegaraansecaraumumterdapat pada UUD 1945 yang
secarakhususdapatdilihatdalampasal 28 D.
b. Pancasila
Pancasila merupakan lima nilai ideology nasional yang
dijadikanacuandalambertingkahlaku oleh bangsa Indonesia. Nilai di
dalam Pancasila adalah (1) Ketuhanan Yang MahaEsa (2)
Kemanusiaan yang adil dan beradab (3) Persatuan Indonesia (4)
Kerakyatan yang dipimpin oleh
khidmatkebijaksanaandalampermusyawaratanperwakilan, dan (5)
Keadilansosialbagiseluruhbangsa Indonesia.
a) Agama
Agama memilikibanyak arti. Agama diambildaribahasaSansekerta
yang artinyacara, jalan, dan gama. Namun, menurut R.R. Marett
(dalamIswiyanto, 2020) agama lebihdarisekadarpikiran, tetapi juga
mencakupperasaan dan kemauan,
dapatdimanifestasikanmenurutsegiemosionalmeskiidenyakabur. Arti
lainnya agama adalahbentukketunfukanataupenyerahandiri pada
sesuatu yang lebihtinggidaripadamanusia yang
dapatdipercayaiuntukmengatur dan mengendalikanalam dan
jalankehidupanmanusia (J.G. Frazer dalamIswiyanto, 2020).
b) Kewarganegaraanberdasarkan Pancasila
Pancasila merupakanfondasikehidupanberbangsa dan bernegara.
Nilainilai Pancasila menjadiaspekpentingbagisetiapwarga negara
dalambertingkahlaku. Diharapkandenganadanyapenghayatanterhadap
Pancasila, warga negara dapatmemahamikewajiban dan
haknyasebagaiimplementasikewarganegaraan.
Hubungankewarganegaraandengansila Pancasila yang
pertamamengacu pada keyakinanterhadapTuhan Yang
MahaEsasertamelaksanakanperintah dan menjauhilarangan-Nya
tanpamengganggukehidupan agama lain. Pada silakedua,
hubunganantarakewarganegaraandenganPancasuladilihatdarikeselarasa
nkeinginandasarmanusiadengantetapmelakukanhal-halbaik dan
tidakmerugikan orang lain. Silaketiga Pancasila
menghubungkankewarganegaraandenganmenguatkannilai patriotism
dan nasionalismeseinggaterbentuk rasa memiliki dan
berkarsakuatuntukmenjagakeutuhanbangsa Indonesia.
Partisipasiaktifmasyarakatdalamkegiatanbermasyarakatmerupakanbent
ukkewarganegaraandalam Pancasila silakeempat. Terakhir pada
silakelima,
kewarganegaraandapatdiwujudkandalampemberianbantuansosialbagisi
apapun yang membutuhkan.
c) Kewarganegaraanberdasarkan Agama
Indonesia menjaminsetiapwarganyauntukmemilikikepercayaan.
Hal initertuangdalamPasal 29 Ayat 2 UUD 1945 yang
berbunyi"Negara menjaminkemerdekaantiap-
tiappendudukuntukmemelukagamanya masing-masing dan
untukberibadatmenurutagamanya dan kepercayaannyaitu”. Agama
juga mengajarkanpemeluknyauntukbertingkahlakubaik dan
menjagapersatuan dan kesatuan. Dalamkehidupanberbangsa dan
bernegara, setiapwarga negara perlumenjagakedamaian. Oleh
karenaitu, kewarganegaraan juga perluberlandaskan agama agar
tujuan-tujuanbaikdari agama yang selarasdengantujuanbangsa
Indonesia dapattercapai.
d) Nilai ReligiusdalamPraktikKlinis
Beauchamp dan Childress
menyajikanempatprinsipdasarberbasisnilaiunttukmembimbing
professional kesehatan, yaituotonomi, pantangmelukai, pengabdian,
dan keadilan. Namun, dalambudayasekuler,
kerapkalipasienberharapdoktertidakmengikutsertakannilaireligiusitasda
lamkonsultasi. Berdasarkanpenelitianpsikiatri Universitas Airlangga,
dokter yang lebih religious
cenderungjarangmerujukpasiendenganpenyakit mental
kefasilitaskesehatan,
tetapilebihmungkinuntukmenerimapendetaataupemuka agama lain
dalamperawatannya. Pada saatini, para dokter di negara
majudiperbolehkanmempraktikkanpengobatan yang
sesuaidengankepercayaanpribadidengansyaratharusmenjunjungnorma
dan etikaprofesimerekatermasukmenghormatikeputusanpasiennya.
e) Pancasila dalamProfesiKedokteran
Saatini, nilai Pancasila dianggapsudahjauh dan
krisisdarikegiatanprodesidokter,
seperticontohnyapendidikankhususadvokattidakmemuatnilai Pancasila
dalampembelajarannya. Padahalsudahseharusnyanilai Pancasila
dihadirkandalampembelajaranprofesidokter agar
mampumemberikanpelayananmedissepenuhhatitanpamembeda-
bedakanpasiendariaspeksosialmaupunekonomi.
SKENARIO 3
Rofess etika dan penyelesaian hukum dalam praktek kedokteran dan kesehatan
Kasus Malpraktek
Kasus dugaan malpraktek tersebut terjadi pada tanggal 10 April 2010 lalu
di RSUP Kandou Malalayang. Korban Siska Makatey, warga Desa Tateli Weru,
meninggal dunia saat bersalin akibat terjadinya pembesaran bilik kanan jantung.
Diduga, pembesaran bilik kanan jantung korban terjadi karena pengaruh infus dan
obat yang diberikan. Siska Makatey sudah menyadari memang dari awal ketika
pergi ke dokter bahwa dua pilihannya kembali sembuh atau keadaannya akan
bertambah buruk. Sayangnya opsi kedua ternyata lebih berpihak untuknya.
Malangnya tidak tahu apakah dokter memang sudah melakukan yang terbaik
ataukah mungkin sebaliknya. Tetapi dalam hal ini siapapun berhak memberikan
pendapat atas fenomena yang sudah terjadi. Kasus dugaan malpraktek yang terjadi
atas Siska Makatey pada tanggal 10 April 2010 lalu di RSUP Kandou
Malalayang. Korban warga Desa Tateli Weru, meninggal dunia saat bersalin
akibat terjadinya pembesaran bilik kanan jantung. Masih dalam posisi dugaan
bahwa diduga pembesaran bilik kanan jantung korban terjadi karena pengaruh
infus dan obat yang diberikan. Atas hal tersebut JPU menuntut ketiga terdakwa
dengan hukuman 10 bulan penjara karena melakukan kelalaian dan kesalahan
sehingga berakibat korban meninggal dunia.
a. Sanksi – sanksi
- SANKSI PIDANA
 Dalam Kitab-Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
kelalaian yang mengakibatkan celaka atau bahkan
hilangnya nyawa orang lain. Pasal 359 KUHP misalnya
menyebutkan, “Barangsiapa karena kealpaannya
menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama
satu tahun”. Sedangkan kelalaian yang mengakibatkan
terancamnya keselamatan jiwa seseorang dapat diancam
dengan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
360 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) :
‘Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain
mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu
tahun’.
 Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain
luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau
halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian
selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara
paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama
enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.
- SANKSI PERDATA
Tindakan malpraktik juga dapat berimplikasi pada
gugatan perdata oleh seseorang (pasien) terhadap dokter
yang dengan sengaja (dolus) telah menimbulkan kerugian
kepada pihak korban, sehingga mewajibkan pihak yang
menimbulkan kerugian (dokter) untuk mengganti kerugian
yang dialami kepada korban, sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata): “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang
membawa kerugian pada seorang lain, mewajibkan orang
yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut.”
Sedangkan kerugian yang diakibatkan oleh
kelalaian (culpa) diatur oleh Pasal 1366 KUHPdt yang
berbunyi: “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk
kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk
kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-
hatinya.”
KUH Perdata 1370 : Dalam hal pembunuhan
(menyebabkan matinya orang lain) dengan sengaja atau
kurang hati-hatinya seseorang, maka suami dan istri yang
ditinggalkan, anak atau orang tua korban yang biasanya
mendapat nafkah dari pekerjaan korban, mempunyai hak
untuk menuntut suatu ganti rugi, yang harus dinilai menurut
kedudukannya dan kekayaan kedua belah pihak serta
menurut keadaan. •
- SANKSI ADMINISTRASI
Undang-Undang RI No. 29 Tahun 2004
 Pasal 66
 Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya
dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam
menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara
tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia.
 2) Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat:
o Identitas pengadu
o Nama dan alamat tempat praktik dokter atau
dokter gigi dan waktu tindakan dilakukan.
o Alasan pengaduan.
 Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat1 dan ayat 2
tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan
adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang
berwenang dan atau menggugat kerugian perdata
kepengadilan.
 Pasal 69
 Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia mengikat dokter, dokter gigi dan Konsil
Kedokteran Indonesia.
 Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berupa
dinyatakan tidak bersalah atau pemberian sanksi disiplin.
 Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dapat
berupa:
o Pemberian peringatan tertulis.
o Rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau
surat izin praktik.
o Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di
institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi.
o Kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan
malpraktik yang mengakibatkan terancamnya
keselamatan jiwa dan atau hilangnya nyawa orang
lain maka pencabutan hak menjalankan pencaharian
(pencabutan izin praktik) dapat dilakukan sebagai
sanksi administrasi.
- PUTUSAN PENGADILAN

Tiga dokter yang diduga melakukan malpraktek terhadap


korban Siska Makatey diputus bebas oleh Majelis Hakim
Pengadilan Negeri (PN) Manado, Jumat (23/9)
Majelis Hakim PN Manado dalam putusannya menyatakan
bahwa Dewa Ayu Sasiary Prawani, Hendry Simanjuntak, dan
Hendy Siagian tidak terbukti secara sah dan meyakinkan
melakukan malpraktek seperti yang didakwakan oleh Jaksa
Penuntut Umum (JPU) Theodorus Rumampuk dan Maryanti Lesar.
Majelis Hakim dalam pertimbangan hukum menyebutkan
bahwa JPU tidak dapat membuktikan dalil dakwaan resiko
terburuk akibat operasi.
Ketiga terdakwa juga tidak ditemukan melakukan
kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan operasi terhadap
korban alm. Siska Makatey. Menurut Majelis Hakim, baik
dakwaan primair maupun dakwaan subsidair yang diajukan JPU
terhadap ketiga terdakwa tidak dapat dibuktikan, karena itu ketiga
terdakwa harus dibebaskan.Selain itu, dakwaan subsidair dan
dakwaan alternatif juga tidak dapat dibuktikan sehingga para
terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan hukum.

Referensi:
Putri, E. S. I., Afandi, D., & Fidiawati, W. A. (2015, Februari). Perilaku Profesional Tenaga

Kesehatan Pada Pelayanan Kesehatan Primer Puskesmas Pelalawan Kabupaten Pelalawan

Tahun 2013. Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Riau, 1(Aspek

Profesionalisme Kesehatan), 9. https://media.neliti.com/media/publications/183945-ID-

perilaku-profesional-tenaga-kesehatan-pa.pdf

Suardhika, G. (2018, Februari 21). Aspek Profesionalisme. Aspek Profesionalisme: Training

Softskills. Retrieved September 20, 2021, from https://gsuardhika.com/2018/02/21/aspek-

profesionalisme-2-optimum/

Winasari, K. (2017, Juli 7). Profesional Behavior. Scribd. Retrieved September 20, 2021, from

https://id.scribd.com/document/353150810/Profesional-Behavior

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. (2016). Kamus Besar Bahasa Indonesia.

2021.

Harahap, R. A. (2017). Etika Dan Hukum Kesehatan. In Euthanasia.

Heryanto, B. (2010). Malpraktik Dokter Dalam Perspektif Hukum. Jurnal Dinamika

Hukum, 10(2), 183–191. https://doi.org/10.20884/1.jdh.2010.10.2.151

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2017). PERATURAN MENTERI KESEHATAN

REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2017.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2018). PERATURAN MENTERI KESEHATAN

REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018.

http://ieeeauthorcenter.ieee.org/wp-content/uploads/IEEE-Reference-Guide.pdf

%0Ahttp://wwwlib.murdoch.edu.au/find/citation/ieee.html%0Ahttps://doi.org/

10.1016/j.cie.2019.07.022%0Ahttps://github.com/ethereum/wiki/wiki/White-

Paper%0Ahttps://tore.tuhh.de/hand
Mudayana, A. A., & Juniarti, N. H. (2018). Penerapan Standar Keselamatan Pasien di

Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Jurnal Kesehatan

Poltekkes Ternate, 11(2), 93–108.

Takdir. (2018). Pengantar Hukum Kesehatan. In D. Ilham (Ed.), Lembaga Penerbit

Kampus IAIN Palopo.

Meinarno, E. A., &Mashoedi, S. F. (2016). PembuktianKekuatanHubungan Antara Nilai-


Nilai Pancasila DenganKewarganegaraan. JurnalIlmiah Pendidikan Pancasila
Dan Kewarganegaraan, 1(1), 12–22.
https://doi.org/10.17977/um019v1i12016p012

Profil. Kedokteran - Universitas Airlangga. (2019, March 28). Retrieved September 14,
2021, from https://fk.unair.ac.id/nilai-religius-dalam-praktik-klinis-dapatkah-
dipisahkan/

Buamona, H. (2017). Pancasila Sebagai Nilai Dasar ProfesiDokter. Jurnal Hukum


Novelty, 8(1), 122. https://doi.org/10.26555/novelty.v8i1.a6562

https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_dir/
03b7efe3b657eb67d4d28815d4e5cabb.pdf

Anda mungkin juga menyukai