Anda di halaman 1dari 2

1.

KASUS POSISI

Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1973 ketika dalam
pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan
pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Dengan temuan tersebut
Indonesia merasa berkepentingan untuk mengukuhkan P. Sipadan dan P. Ligitan. Maka dicarilah
dasar hukum dan fakta historis serta bukti lain yang dapat mendukung kepemilikan dua pulau
tersebut.

Pada tahun 1992 kedua negara sepakat menyelesaikan masalah ini secara bilateral yang diawali
dengan pertemuan pejabat tinggi kedua negara. Hasil pertemuan pejabat tinggi menyepakati
perlunya dibentuk Komisi Bersama dan Kelompok Kerja Bersama (Joint Commission/JC & Joint
Working Groups/JWG). Pada pertemuan tgl. 6-7 Oktober 1996 di Kuala Lumpur Presiden Soeharto
dan PM. Mahathir menyetujui rekomendasi wakil khusus dan selanjutnya tgl. 31 Mei 1997 disepakati
“Special Agreement for the Submission to the International Court of Justice the Dispute between
Indonesia & Malaysia concerning the Sovereignty over P. Sipadan and P. Ligitan”. Special
Agreement itu kemudian disampaikan secara resmi ke Mahkamah International (MI) pada 2
Nopember 1998. Dengan itu proses ligitasi P. Sipadan dan P. Ligitan di MI mulai berlangsung. Kedua
negara memiliki kewajiban menyampaikan posisi masing-masing melalui “Written pleading“ kepada
Mahkamah Memorial pada 2 Nopember 1999 diikuti, “Counter Memorial” pada 2 Agustus 2000 dan
“reply” pada 2 Maret 2001. Selanjutnya proses “Oral hearing” dari kedua negara bersengketa pada
3–12 Juni 2002.

2.PUTUSAN HAKIM

MI dalam penyelesaian kasus ini menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau sengketa
pernah menjadi bagian dari wilayah yang diperoleh Malaysia berdasarkan kontrak pengelolaan
privat Sultan Sulu dengan Sen-Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia. Menurut Mahkamah tidak satupun
dokumen hukum atau pembuktian yang diajukan Malaysia berdasarkan dalil penyerahan kedaulatan
secara estafet ini memuat referensi yang secara tegas merujuk kedua pulau sengketa.

MI juga menolak argumentasi Indonesia bahwa kedua pulau sengketa merupakan wilayah berada di
bawah kekuasaan Belanda berdasarkan penafsiran atas pasal IV Konvensi 1891. Penafsiran Indonesia
terhadap garis batas 4° 10′ LU yang memotong P. Sebatik sebagai allocation line dan berlanjut terus
ke arah timur hingga menyentuh kedua pulau sengketa juga tidak dapat di terima Mahkamah.

3.Analisis

Esensi keputusan ini bukanlah seperti yang dinyatakan sementara kalangan yakni bahwa negara
harus memperhatikan lingkungan hidup, pengembangan ekonomi atau bahkan keberadaan orang di
suatu pulau terpencil untuk menunjukkan effective occupation, tetapi yang terpenting adalah
apakah ada suatu pengaturan hukum atau instrumen hukum, regulasi atau kegiatan administratif
lainnya tentang pulau tersebut terlepas dari isi kegiatannya. Keputusan ini juga tidak memberikan
makna hukum terhadap pembangunan resort yang dilakukan oleh Malaysia setelah 1969 dan juga
kegiatan perikanan nelayan Indonesia yang tidak didasarkan atas peraturan perundang-undangan.

Indonesia berdasarkan treaty-based title, yaitu 1891 Convention yang membagi wilayah Belanda


dan Inggris, tetapi Indonesia tidak mencantumkan dua pulau itu dalam UU No. 4/Prp/1960 tentang
Perairan Indonesia, walaupun menurut Konvensi 1891 Sipadan-Ligitan berada di bawah wilayah
Belanda yang dilanjutkan pada Indonesia. Mahkamah lebih memperhatikan Effective Control oleh
Inggris yang diteruskan pada Malaysia, yaitu

1.collection of turtle eggs sbg the most important economic activity in 1914,

2.establishment of a bird sanctuary in 1933,

3.constructed lighthouses in the early 1960s

Anda mungkin juga menyukai