Anda di halaman 1dari 28

Diskusi Topik

PENYAKIT JANTUNG REUMATIK

Oleh :

Rahel Karolina Lumban T, S.Ked NIM: 2008435801


Tengku Amir Ramadhan, S.Ked NIM: 2008437726
Khairannisa, S.Ked NIM: 2008434528
Anggun Justika Rofiqoh, S.Ked NIM: 2008434552

Pembimbing :
dr. Rosmalina, SpJP-FIHA

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ARIFIN ACHMAD
PEKANBARU
2021
PENYAKIT JANTUNG REUMATIK

1. Defnisi

Penyakit jantung reumatik adalah gejala sisa berupa cacat pada katup jantung

akibat demam reumatik sebelumnya. Demam reumatik adalah sindrom klinis yang

menyertai faringitis oleh kuman ß-Steptokokus hemolitikus grup A. 1,2 Penyakit

jantung rematik terjadi akibat dari kerusakan katup yang disebabkan oleh respon imun

yang abnormal terhadap infeksi Streptococcus pyogenes, yang diklasifikasikan

sebagai streptokokus grup A yang menyebabkan demam rematik akut. Penyakit

jantung rematik banyak terjadi di negara berkembang, seringkali menyerang anak-

anak dan dewasa muda.3

Penyakit jantung rematik berawal dari adanya demam rematik akut. Demam

ini terjadi sekitar tiga minggu setelah faringitis streptokokus grup A yang dapat

mempengaruhi persendian, kulit, otak, dan jantung.4,5 Setelah beberapa episode

demam rematik, terjadi fibrosis yang progresif dari katup jantung, sehingga dapat

menyebabkan penyakit jantung rematik. Jika penyakit katup jantung ini tetap tidak

diobati, maka dapat berujung kepada gagal jantung hingga kematian.4

2. Epidemiologi

. Penyakit jantung rematik (PJR) adalah salah satu bentuk paling kritis dari

penyakit jantung didapat pada anak-anak dan dewasa muda. Secara global, setidaknya

terdapat 15,6 juta orang dengan Penyakit Jantung Rematik, sekitar 1,9 juta lainnya

dengan riwayat Demam Rematik Akut yang tidak sampai menjadi karditis dan masih

memerlukan perawatan pencegahan. Angka kasus baru mencapai 420.000 kasus

setiap tahunnya dan angka kematian akibat Penyakit Jantung Rematik mencapai

230.000 kasus setiap tahunnya.6 Insidensi demam reumatik di negara maju relatif
rendah dibandingkan dengan di negara berkembang. Di Amerika Serikat, insidens

demam reumatik adalah 0,6 per 100.000 penduduk pada kelompok usia 5-19 tahun. 1

Untuk negara berkembang, telah menyumbang sekitar 15 sampai 20 persen dari

semua pasien dengan gagal jantung di negara-negara endemik. Angka kejadian yang

tinggi di negara berkembang berhubungan dengan sosial ekonomi yang rendah,

pelayanan kesehatan yang kurang memadai, infeksi tenggorok yang tidak diobati atau

penanganan yang lambat, lingkungan yang padat, industrialisasi, dan urbanisasi.7

Insiden penyakit jantung rematik tertinggi di Oseania, Afrika sub-Sahara

tengah, dan Asia Selatan. Pada tahun 2015 tercatat telah terjadi sebanyak 3,4 kasus

per 100.000 penduduk di negara nonendemis dan 444 kasus per 100.000 penduduk di

negara endemik yang terkena penyakit jantung rematik.8 Terjdapat sebuah tinjauan

sistematis dan meta-analisis yang telah menghitung prevalensi kejaidian penyakit

jantung rematik tanpa adanya gejala klinis yang muncul yaitu terjadi pada 21,1 per

1000 orang, sedangkan yang memiliki manisfestasi klinis yaitu 2,7 per 1000 orang. 9

Hal ini menunjukkan bahwa penyakit jantung rematik tanpa gejala klinis kira-kira

tujuh sampai delapan kali lebih banyak dari pada yang memiliki gejala klinis.

Prevalensi jantung rematik di Indonesia sebesar 0,3 hingga 0,8% dengan rentang usia

5 hingga 15 tahun. Penyakit jantung reumatik memiliki mortalitas yang tinggi sebesar

1 hingga 10% di dunia. Penyakit jantung rematik menyebabkan kelainan katup

jantung yang menetap terutama katup mitral sebesar 75%, katup aorta sebesar 25%,

jarang mengenai katup trikuspid dan tidak pernah menyerang katup pulmonal.10

3. Faktor Risiko

Faktor risiko dari demam rematik dan penyakit jantung rematik adalah usia,

jenis kelamin, dan berbagai faktor lingkunngan juga berperan.11 Dalam hal usia,

demam rematik secara luas dapat mengenai anak-anak antara usia 5-14 tahun dan
dalam beberapa kasus dapat mengenai anak yang usianya dibawah itu.12,13 Pada

penyakit jantung rematik puncak prevalensinya lebih sering terjadi pada usia 20-30

tahunan meskipun penyakit ini secara luas juga mengenai anak-anak dan remaja.11

Demam rematik secara merata mengenai laki-laki maupun perempuan dengan

proporsi yang seimbang, namun penyakit jantung rematik lebih sering terjadi pada

perempuan. Masih belum jelas mekanismenya tetapi hal ini bisa disebabkan oleh

adanya kerentanan yang lebih besar untuk terjadinya respons autoimun setelah infeksi

Streptococcus Pyogenes. Selain itu penyakit jantung rematik sering muncul selama

kehamilan, hal ini berhubungan dengan beban kerja jantung yang lebih tinggi selama

kehamilan.13

Pada faktor lingkungan mempengaruhi prevalensi demam rematik, seperti

kondisi lingkungan rumah yang ramai dapat memudahkan penyebaran infeksi oleh

Streptococcus Pyogenes ini. Selain itu telah terbukti bahwa demam rematik dan

penyakit jantung rematik banyak terjadi di daerah pedesaan dan daerah terpencil

maupun daerah perkotaan yang kumuh. Status ekonomi yang rendah dan akses ke

fasilitas kesehatan yang terbatas juga menjadi faktor risiko. 11 Faktor nutrisi yang tidak

cukup pada masa kanak-kanak juga berpengaruh dan meningkatkan kerentanan

terkena penyakit ini.14

4. Patofisiologi

Penyakit jantung rematik merupakan hasil dari respon imun abnormal

terhadap infeksi streptokokus piogen yang diklasifikasikan ebafai streptokokus grup

A yang menyebabkan demam rematik akut. Demam rematik akut terjadi sekirat 3

minggu setelah faringitis yang diakibatkan streptokokus tipe A dan dapat berdampak

pada kulit, sendi, otak, dan jantung. Setelah beberapa episode dari demam rematik,

akan terjadi fibrosis katup jantung secara progresif, yang dapat berujung pada
penyakit katup jantung rematik. Jika hal ini tidak ditangani, maka gagal jantung atau

kematian dapat terjadi. Patofisiologi pastinya masih belum diketahui. Karditis

reumatik dikarakteristikkandengan timbulnya nodul Aschoff dan plak MacCallum.

Badan Aschoff terlihat dalam nodul dalam jantung yang terdampak demam rematik.

Ini merupakan hasil dari proses inflamasi terhadap otot jantung. Plak MacCallum

terlihat di katup dan subendokardium pada atrium kiri.15

Gambar 5.1. Patofisiologi dari penyakit jantung rematik

Pada perjalanan demam rematik untuk bisa muncul pada seseorang, pertama

harus terjadi infeksi faring yang disebabkan S.pyogenes pada penjamu. Aktifasi dari

sistem imun bawaan dimulai dari infeksi faring yang menyebabkan dikenalkannya

antigen S.pyogenes terhadap sel T dan sel B. sel T CD4+ teraktivasi dan memproduksi

antibody IgG dan IgM spesifik oleh sel B terjadi kemudian. Perlukaan jaringan terjadi

diakibatkan mekanisme mediasi imun yang diinisiasi mealui proses mimikri

molekuler.16 Kesamaan struktur antara agen infeksius dan protein pada manusia

menjadikan aktivasi sialgn dari antibody dan/atau sel T secara langsung terhadap

protein pada manusia. Pada demam rematik akut, respon imun reaktif yang

bersilangan ini menghasilkan kondisi klinis berupa demam rematik, termasuk

diantaranya karditis, yang disebaka oleh berikatannya antibody dan infiltrasi sel T,
transien arthritis, yang disebakan oleh pembentukan kompleks imun, chorea, yang

disebabkan oleh perikatan antibody terhadap kanglia basalis, dan manifestasi pada

kulit yang terjadi sebagai bentuk dari reaksi hipersensitivitas yang tertunda.17

Gambar 5.2. Ringkasan pathogenesis demam rematik akut yang disebabkan

oleh streptokokus grup A13

Molecular mimikri merupaan suatu prses yang berperan penting dalam

terjadinya kaditis pada pasien, dikarenakan terjaninya stimulasi terhadap respon imun

reaktif silang baik pada tahap selmaupun humoral. Struktur protein alfa heliks yang

ditemukan pada protein M dan N-acetyl-beta-D-glucosamine (yang merupakan

antigen karbohidrat dari S.pyogenes) berbagi epitope dengan myosin, dan antibody

terhadap antigen-antigen ini bereaksi silang dengan jaringan manusia. Antibody

monoclonal bergenerasi dari tinsilar atau limfosit darah tepi pasien terinfeksi menuju

myosin secara ealsi silang. Antibodi monoclonal bekerja langung terhadap myosin

dan terjadinya reaksi terisolasi N-acetyl-beta-D-glucosamine terhadap endotel katup

jantung manusia dengan demam rematik.

Sel T yang berada intralesi dari jantung manusia bereaksi terhadap jaringan

jantung, termasuk myosin dan protein yang mempekerjakan katup. Sel T autoreaktif
muncul untuk memainkan peran penting dalam proses inflamasi dan membentuk

granul pada katup pasien. perlengketan molekul sel vascular 1 diregulasikan pada

permukaan endotel katup jantung sebagai hasil dari perikatan antibody reaksi silang.

Hal ni menyebabkan perlengketan sel T CD4+ ke endotel, dengan infiltrasi dari sel-

sel ini ke dalam katup jantung. Sel T menginisiasi respon imun TH1 secara dominan

dengan melepas interferon gamma. Inflamasi menyebabkan timbulnya vaskularisasi

baru, yang memungkinkan meningkatnya kebutuhan sel T.13

Mimikri molekul merupakan suatu kondisi yang berperan dalam pembentukan

karditis karena merangsang baik respon imun realtif island selular maupun humoral.

Struktur protein alfa heliks yang ditemukan dalam protein M dan N-acetyl-beta-D-

glucosamine (karbohidrat pada antigen S. pyogenes) memiliki epitope yang sma

dengan myosin, dan antibody untuk kedua antigen ini bereaksi silang terhadap

jaringan manusia.18 Antibodi monoklonal bergenerasi dari tonsilar atau limfosit darah

perifer pada pasien yang teinfeksi S,pyogenes secara reaksi silang dengan myosin.

Antibody monoclonal secara langsung terhadap myosin dan N-acetyl-beta-D-

glucosamine bereaksi secara terisolasi terhadap endotel katup manusia dengan demam

rematik.19 Sel T intralesi pada jantung manusia akan bereaksi terhadap jaringan

jantung termasuk terhadap myosin dan protein yang memperkerjakan katup jantung.

Sel T secara autoreaktif akan muncul untuk memainkan peran penting dalam

inflamasi dan pembentukan granul pada katup jantung. Molekul adhesi sel vascular 1

dapat menjadi penghubung antara sistem imun humoral dan seluler pada permukaan

katup. Molekul adhesi sel vascular 1 akan beregulasi pada permukaan endotel katup

jantung sebagai hasil dari perikatan dari antibody yang bereaksi silang. Hal ini

memungkinkan terjadinya perlengketan sel T CD4+ terhadap endothelium, dengan

infiltrasi ikutan dari sel-sel ini ke dalam katup jantung. Sel T menginisiasi respon TH1
secara dominan dengan melepaskan interferon gamma. Inflamasi ini menyebabkan

neovaskularisasi, yag memungkinkan lebih banyak dibutuhkan sel T. penyebaran

epitope bisa terjadi di katup, dimana sel T akan respon terhadap protein-protein

jantung lain seperti vimentin dan tropomyosin dan menjadikan terbentuknya kesi

bergranul pada endocardium yang biasa dikenal sebagai Aschoff bodies.20

Gambar 5.3. Pathogenesis karditis pada pasien dengan demam rematik akut (VCAM1
(Vascular cell adhesion molecule 1)

Gambar 5.4. Gambaran anatomi katup pada pasien penyakit jantung rematik
Gambar 5.5. Gambaran histologi pada pasien penyakit jantung rematik

5. Diagnosis
Kriteria yang digunakan untuk diagnosis demam rematik didasarkan pada
kriteria Jones, dimana bila terdapat 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor ditambah 2
kriteria minor dan bukti infeksi Streptococcus beta hemolitikus grup A.21
KRITERIA JONES
Kriteria Mayor Kriteria Minor
1. Karditis 1. Klinis :
- Demam
- Poliatralgia
2. Poliarthritis migrans 2. Laboratorium:
Reaktan fase akut :
- LED meningkat (≥60mm) dalam 1
jam pertama
- CRP ≥3,0 mg/dL
- Leukositosis
3. Syndenham Chorea 3. EKG : PR interval memanjang
4. Erythema marginatum
5. Subcutaneous nodul
Bukti adanya infeksi streptokokus grup A beta hemolyticus dalam 45 hari
sebelumnya, antara lain:
1. Peningkatan titer ASTO >333 unit untuk anak-anak dan >250 untuk dewasa
atau peningkatan antibodi streptokokkus yang lain pada hari ke 45
2. Kultur tenggorok positif
3. Rapid antigen terhadap streptokokkus grup A
4. Riwayat demam skarletina

Kriteria Jones telah direvisi untuk meningkatkan sensitifitas dalam penegakan


diagnosis penyakit jantung rematik oleh WHO pada tahun 2003, dimana WHO
merekomendasikan untuk melanjutkan penggunaan kriteria Jones yang diperbaharui
(tahun 1992) untuk demam rematik serangan pertama dan serangan rekuren demam
rematik pada pasien yang diketahui tidak mengalami penyakit jantung rematik.1
Kategori diagnostik Kriteria
Demam Reumatik serangan Dua mayor atau satu mayor dan dua minor
pertama ditambah dengan bukti infeksi Streptococcus
beta hemolyticus group A sebelumnya

Demam Reumatik serangan Dua mayor atau satu mayor dan dua minor
berulang tanpa PJR ditambah dengan bukti infeksi Streptococcus
beta hemolyticus group A sebelumnya
Demam Reumatik serangan Dua minor ditambah dengan bukti infeksi
berulang dengan PJR Streptococcus beta hemolyticus group A
sebelumnya
Korea Rematik Tidak diperlukan kriteria mayor lainnya atau
bukti infeksi Streptococcus group A beta
hemolyticus
PJR (stenosis mitral murni atau Tidak diperlukan kriteria lainnya untuk
kombinasi dengan insufisiensi mendiagnosis sebagai PJR
mitral dan/atau gangguan katup
aorta)

Pada revisi kriteria Jones terbaru tahun 2015, manifestasi klinis


diklasifikasikan tidak hanya berdasarkan gejala mayor dan minor saja, namun juga
berdasarkan populasi risiko rendah atau populasi risiko sedang-tinggi. 22,23 Populasi
risiko rendah yakni populasi dengan prevalensi ≤ 1 per 1000 populasi per tahun pada
seluruh usia, atau ≤ 2 per 100.000 anak usia sekolah.24 Pada seluruh populasi,
diagnosis demam rematik pertama ditegakkan bila ditemukan 2 kriteria mayor atau 1
kriteria mayor + 2 kriteria minor. Pada pasien yang mengalami kekambuhan,
diagnosis ditegakkan bila ditemukan 2 kriteria mayor atau 1 mayor + 2 minor atau 3
minor.22,23,25
Pada kriteria Jones revisi terbaru terdapat beberapa perubahan antara lain
diperlukannya pemeriksaan ekokardiografi pada kriteria mayor, konsep karditis
subklinis dan pembagian golongan risiko rendah, sedang-tinggi pada pasien demam
rematik. Pembagian kelompok risiko juga dapat digunakan untuk data epidemiologi.
Selain itu, tujuan kriteria diagnosis lama hanya untuk diagnosis episode pertama
demam rematik sedangkan pada revisi kriteria Jones terbaru kekambuhan penyakit
dapat didiagnosis menggunakan tiga kriteria minor.23,25
Penambahan kriteria poliartralgia atau monoartritis, serta penanda inflamasi
dan parameter demam membuat kriteria Jones lebih akurat dan mendeteksi penyakit
lebih awal. Diagnosis lebih awal diharapkan dapat mengatasi gejala fase akut dan
mencegah gejala sisa penyakit jantung rematik laten. Penerapan ekokardiografi pada
kriteria demam rematik sangat bermanfaat untuk mendiagnosis dan memantau
perubahan katup jantung, terutama pada kasus karditis subklinis. Ekokardiografi
dianjurkan pada skrining awal pasien karditis subklinik. Di samping itu,
ekokardiografi berperan sebagai alat diagnostik dan memantau kerusakan katup serta
sekuel kelainan katup yang dapat menentukan prognosis. Ekokardiografi telah
disarankan sebagai alat skrining oleh WHO pada tahun 2004 di negara-negara dengan
prevalensi tinggi. Modalitas alat pemeriksaan ini ditambahkan pada kriteria Jones
terbaru karena saat ini ekokardiografi sudah lebih luas digunakan.22,25
Diagnosis penyakit jantung rematik dapat ditegakkan setelah diagnosis demam
rematik dikonfirmasi. Maka perlu diperhatikan hal-hal berikut ini dalam anamnesis
dan pemeriksaan fisik serta penunjang, yaitu:26,27,28
A. Anamnesis
a. Riwayat infeksi tenggorokan sebelumnya?
b. Apakah ada keluhan nyeri menelan sebelumnya?
c. Apakah disertai gejala batuk dan mata merah?
d. Adakah keluhan demam?
e. Adakah nyeri tekan pada kelenjar leher?
 Karditis
a. Adakah sesak? Apakah sesak dipengaruhi aktivitas?
b. Dipsnoe on effort?
c. Adakah sesak pada malam hari?
d. Paroxysmal Nocturnal Dyspnea?
e. Adakah sesak yang terjadi pada posisi berbaring dan hilang pada posisi
duduk?
f. Orthopnea?
g. Adakah nyeri dada? Bagaimanakah sifat nyeri?
h. Adakah pembengkakan (edema)?
 Poliartritis
a. Apakah ada bengkak yang terjadi tiba-tiba pada sendi-sendi besar (lutut,
pergelangan kaki atau tangan, paha,lengan, siku dan bahu) sebelumnya?
b. Apakah bengkak pada sendi simetris dan berpindah?
c. Apakah bengkak tersebut disertai nyeri?
 Korea
a. Adakah gerakan-gerakan yang tidak disadari?
b. Adakah kelemahan otot?
c. Adakah ketidakstabilan emosi?
 Erythema marginatum
a. Adakah bercak kemerahan yang tidak gatal?
b. Apakah bercaknya seakan-akan menjauhi pusat lingkaran?
c. Apakah bercak berpindah-pindah?
 Nodul Subkutan
a. Adakah teraba massa padat?
b. Apakah massa tersebut tidak terasa nyeri, mudah digerakkan dari kulit di
atasnya?
B. Pemeriksaan Fisik
 Karditis
Karditis ditemukan pada 40% pasien dengan gejala klinis berupa peningkatan
nadi, gagal jantung kongestif dan suara gesekan perikarditis (pericardial friction
rubs).25
Pada pemeriksaan fisik auskultasi jantung, dapat ditemukan adanya mumur
sistolic akibat regurgitasi mitral dan atau diikuti dengan mumur diastolic akibat
adanya regurgitasi aorta. Murmur biasanya holosistolik, dimulai saat bunyi jantung
pertama, meliputi seluruh fase sistole, punktum maksimum di apeks menjalar ke
lateral kiri aksila dan ke punggung. Intensitas murmur biasanya sedang sampai tinggi.
Ciri khasnya adalah intensitas murmur sama mulai dari awal sampai akhir.29
Pada katup yang terjadi defek, setelah bunyi jantung I (penutupan katup mitral)
tekanan left ventrikel lebih tinggi dari left atrium sehingga terjadi regurgitasi dari LV
ke LA, regurgitasi ini terdengar sebagai bising pan-sistolik. Mid-diastolik murmur
adalah bising diastolic terdengar segera setelah katup mitral terbuka di mana arah
mengalirnya dari atrium kiri ke ventrikel kiri melewati katup sempit pada keadaan
tekanan atrium tinggi sehingga terjadi turbulensi dan terdengar sebagai mid-diastolic
murmur berfrekuensi rendah dan kasar, dengan punktum maksimum di apeks.29,30
Opening snap (OS) adalah katup mitral yang terbuka saat akhir isovolumetrik.
Apabila daun katup kaku tetapi masih mampu menahan tekanan atrium kiri yang
tinggi, maka akan menyebabkan pembukaan mendadak dan berbunyi yang dinamakan
opening snap. Pada keadaan normal pembukaan katup mitral tidak berbunyi, tetapi
jika katup tidak mobile karena terlalu kaku, OS tidak ada. Bunyi jantung tambahan/S3
biasa terjadi pada MI, terdengar sesudah pembukaan katup mitral pada apeks dan
frekuensinya rendah. S3 terjadi akibat fase pengisian cepat pada ventrikel kiri dengan
tekanan meningkat.hal yang sama terjadi pada ventrikel kanan dengan trikuspid
insufisiensi. Dapat juga ditemukan tanda- tanda Congestive Heart Failure (CHF).29,30
Pada pemeriksaan penunjang rontgen thoraks dan ekokardiografi dapat ditemukan
kardiomegali.32
a b
Gambar 2. (a) Stenosis katup mitral yang dilihat dari atrium kiri, terlihat
penebalan dan kalsifikasi dari katup. (b) Valvulitis dari katup aorta, terlihat katup
sedikit menebal dan terdapat vegetasi kecil “veruka
 Poliarthritis
Poliarthritis adalah manifestasi klinis yang paling umum, muncul pada 60-80%
pasien. Resiko arthritis adalah 75% pada serangan pertama dan meningkat seiring
peningkatan usia. Poliarthritis umumnya menyerang sendi utama perifer seperti lutut,
tumit, siku dan pergelangan tangan, jarang pada sendi kecil dan tulang rangka. Sendi
yang terkena akan merah, hangat dan membengkak.26,27,28
Pada pemeriksaan fisik daerah sendi, pada inspeksi akan terlihat bengkak dan
merah pada sendi, dan pada palpasi akan teraba hangat.29,30

Gambar 3. Poliarthritis
 Korea
Chorea atau korea, dicirikan dengan gerakan tidak sadar, terutama pada wajah
dan ekstremitas, kelemahan otot serta gangguan wicara dan berjalan. Pada anak-anak
dengan chorea, dapat diikuti dengan gangguan psikologis berupa kecenderungan
obsessif-kompulsif, ketidakstabilan emosi dan hiperaktif.29,30
Pada pemeriksaan fisik, pada inspeksi dapat terlihat gerakan yang tidak disadari.
Pada palpasi ditemukan kelemahan otot berupa ketidak mampuan memegang/
menggapai tangan.29,30

Gambar 4. Korea

 Erythema marginatum
Erythema marginatum adalah keadaan berupa bercak-bercak merah muda dengan
bagian tengahnya pucat sedangkan tepinya berbatas tegas, berbentuk bulat atau
bergelombang, tanpa indurasi dan tidak gatal. Tempatnya berpindah-pindah di kulit
dada dan bagian dalam lengan atas dan paha, tetapi tidak pernah terdapat dikulit
muka.29,30
Pada pemeriksaan fisik, saat inspeksi perlu diperhatikan ada atau tidaknya
kemerahan yang ditengahnya pucat, makular, serpiginous patter. Pada palpasi
perhatikan pula apakah kemerahan akan menghilang pada penekanan.29,30

Gambar 5. Erythema marginatum

 Nodul Subkutan
Nodul subkutan terletak dibawah kulit, keras, tidak terasa sakit dan berukuran
antara 3-10 mm. Nodul subkutan umumnya terdapat di bagian ekstensor persendian
terutama sendi siku, lutut, pergelangan tangan dan kaki, daerah suboksipital dan diatas
prosessus spinosus vertebralis torakalis dan lumbalis.29
Pada pemeriksaan fisik, saat inspeksi perhatikan ada/ tidaknya massa. Pada saat
palpasi perhatikan pula apakah massa tersebut nyeri atau tidak, mudah digerakan dari
dasarnya atau tidak.29

Gambar 6. Nodul Subkutan

C. Pemeriksaan penunjang30,33
a. Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium darah dapat ditemukan peningkatan LED dan
CRP pada DR. Kedua tes ini memiliki sensitivitas yang tinggi untuk namun
spesifisitas rendah untuk DR.
b. EKG: pemanjangan PR interval
Pada EKG, sinus takikardi paling sering menyertai PJR. Atrioventricular
(AV) block derajat pertama (perpanjangan PR interval) ditemukan pada pasien
PJR, hal ini mungkin dikaitkan dengan inflamasi pada miokard terlokalisasi yang
melibatkan nodus AV atau vaskulitis pada arteri nodus AV. Nilai normal PR
interval berdasarkan usia; 3-12 tahun: 0,16 ms, 12-16 tahun: 0,18 ms dan ≥ 17
tahun: 0,2 ms. Saat DR akut disertai dengan perikarditis, akan ditemukan ST
elevasi di lead II, III , aVF dan V4-V6.
c. Imaging: foto toraks terdapat kardiomegali karena karditis
d. Peningkatan ASTO atau antibodi streptokokus lainnya
Gambaran klinis DR dimulai pada saat kadar antibodi antistreptokokus
mencapai puncaknya. Dengan demikian pemeriksaan ini berguna untuk
memastikan infeksi GABHS sebelumnya. Titer antibodi harus diperiksa dengan
inteval 2 minggu untuk mendeteksi titer yang meningkat.
Antibodi antistreptokokus ekstraseluler yang umum diperiksa adalah
antistreptolisin O (ASTO), antideoxyribonuclease B (anti-DNAse B),
antihyaluronidase, anti-streptokinase, antistreptokokal esterase dan anti-
nicotinamide adenine dinucleotide (anti-NAD).12 Titer ASTO positif bila
besarnya 210 Todd pada orang dewasa dan 320 Todd pada anak-anak, sedangkan
titer pada anti-DNAse B 120 Todd untuk orang dewasa dan 240 Todd untuk
anak-anak. Antibodi ini dapat terdeteksi pada minggu ke 2-3 setelah fase akut
DR atau 4-5 minggu setelah terinfeksi GABHS.
e. Kultur tenggorok
Teknik pengambilan sampel yang tepat untuk kultur tenggorokan termasuk
swab adalah pada kedua tonsil dan orofaring bagian posterior. Sampel
ditumbuhkan pada media agar untuk menunjukkan adanya infeksi GABHS.
Namun biasanya temuan kultur tenggorokan untuk GABHS negatif pada saat
gejala DR atau PJR muncul.
f. Tes antigen cepat untuk streptokokus grup A
RADT dapat meendeteksi cepat antigen streptokokus A serta diagnosis dini
untuk faringitis. RADT memiliki spesifisitas lebih dari 95% tetapi sensitivitasnya
hanya 60-90%, untuk memastikan perlu diperlu diperiksa swab tenggorok.
g. Histopatologi
Pada endokardium, lesi yang terkena terutama adalah katup-katup jantung
dengan 50%-nya mengenai katup mitral. Pada keadaan DR akut, katup yang
terkena akan mengalami kemerahan, edema dan menebal dengan vegetasi
trombotik berukuran kecil dan seragam yang disebut verruceae. Jika hal ini
berlanjut dan menjadi kronik, makan katup yang terkena akan mengalami proses
peradangan dan neovaskularisasi yang sering ditemukan. Secara kronis DR
menyebabkan fusi komisura, fibrotik, penebalan katup dan kalsifikasi. Temuan
histopatologi makroskopik pada perikardium, perikarditis fibrinosa atau “bread
and butter appearance”.
Gambar 7. Gambaran Makroskopi Katup Mitral

Gambar 8. Gambaran Makroskopi Katup Aorta


Lesi yang patognomonik DR adalah badan Aschoff sebagai diagnostik
histopatologik. Badan Aschoff ini sering ditemukan juga pada saat tidak ada
tanda-tanda kelainan jantung, dan dapat bertahan lama setelah tanda-tanda
gambaran klinis menghilang atau masih ada keaktifan laten.14 Badan Aschoff
(fokus inflamasi perivaskular kolagen eosinofilik yang memiliki area nekrosis di
bagian sentral dan dikelilingi oleh lomfosit, sel plasma dan makrofag) ditemukan
di perikardium, daerah perivaskular miokardium dan endokardium.
Nodul subkutan secara histologis menyerupai nodul Aschoff. Tampilan
badan Aschoff adalah granulomatosa dengan fokus fibrinoid sentral dan akhirnya
digantikan oleh nodul jaringan parut. Sel Antischkow adalah makrofag yang
memiliki inti garis bergelombang dan disebut “caterpiller cell”.
Gambar 9. Badan Aschoff dan sel Anitschkow

6. Penatalaksanaan

a. Non Farmakologi

Terapi non farmakologi pada penyakit jantung rematik yaitu tirah baring yang

dilanjutkan dengan mobilisasi sebagai berikut:29

Tabel 1. Waktu tirah baring hingga dilanjutkan dengan mobilisasi bertahap29

b. Farmakologi

1. Eradikasi

Antibiotik yang dapat diberikan untuk kuman streptococcus β- haemolytic

group A sebagai pencegahan primer terdiri dari:11

- Benzatin penisilin G

 BB < 30 kg: 600.000 U IM, satu kali pemberian

 BB 30-45 kg: 900.000 U oral selama 10 hari

 BB > 45 kg: 1.200.000 U oral selama 10 hari

- Phenoxymethil Penicilin (Penicilin V) selama 10 hari

 Dewasa dan remaja: 750 - 1000 mg/hari dibagi 2 - 4 dosis


 Anak: 500 – 750 mg/hari dibagi 2 – 3 dosis

- Amoxicilin: 25 – 50 mg/KgBB/hari dibagi 3 dosis (dosis maksimal 750-1000

mg/hari) selama 10 hari

Apabila alergi terhadap penicilin, maka dapat diberikan:

- Chepalosporin spectrum sempit (cephalexin, cefadroxil) per-oral dengan

dosis bervariasi selama 10 hari

- Clindamycin 20 mg/KgBB/hari per-oral dibagi 3 dosis (maksimal 1.8

gram/hari) selama 10 hari;

- Azitromycin 12 mg/KgBB per-oral sekali sehari (maksimal 500 mg)

selama 5 hari

- Clarithromycin 15 mg/KgBB/hari per-oral dibagi dalam 2 dosis

(maksimal 500 mg) selama 10 hari.

Pemeriksaan kultur dapat diulang 2-7 hari pasca selesai pemberian

antibiotik.

2. Anti radang untuk karditis dan poliarthitis migrans

- Prednison: 2 mg/KgBB/hari (maksimal 80 mg/hari) selama 2 minggu,

kemudian disapih 20-25% tiap minggu atau

- Salisilat: 100 mg/KgBB dibagi 4-5 dosis (maksimal 6 g/hari) selama 2

minggu, kemudian 60-70 mg/KgBB/hari selama 3-6 minggu.34

3. Gagal jantung

 Tempat perawatan:29

 Gagal jantung berat dirawat di ruang rawat intensif

 Gagal jantung sedang dirawat di ruang intermediate

 Gagal jantung ringan dirawat di ruang rawat biasa

 Lama perawatan dan mobilisasi tergantung kondisi jantung


 Restriksi cairan dan diet rendah garam

 Obat-obatan anti gagal jantung diuretik, ACE-I +/- digoxin

 Bila terdapat efusi perikard yang berakibat tamponade maka perlu

dilakukan punksi perikard

4. Chorea

Chorea dapat hilang sendiri setelah tirah baring dan eradikasi kuman
streptococcus β- haemolytic group A. Pengobatan simptomatik dapat diberikan
clorpromazin, diazepam atau haloperidol.29

5. Terapi Pencegahan Sekunder35


Terapi pencegahan sekunder dilakukan apabila sudah terbukti terdapat
penyakit jantung rematik pada pasien demam rematik akut. Adapun terapi yang
direkomendasikan adalah sebagai berikut.

Tabel. Terapi Pencegahan Sekunder35


6. Terapi Pembedahan

Indikasi pembedahan pada orang dewasa maupun anak-anak dapat dilakukan

apabila terdapat beberapa kondisi sebagai berikut:35

• Mitral regurgitasi pada orang dewasa


Tabel 3. Indikasi Operasi Katup Akibat Mitral Regurgitasi Pada Orang
Dewasa35

• Mitral regurgitasi pada anak

Tabel 4. Indikasi Operasi Katup Akibat Mitral Regurgitasi Pada Anak35

• Mitral stenosis pada dewasa dan anak

Tabel 5. Indikasi Operasi Katup Akibat Mitral Stenosis Pada Dewasa


dan Anak35

• Aorta regurgitasi pada dewasa

Tabel 6. Indikasi Operasi Katup Akibat Aorta Regurgitasi Pada Dewasa35


• Aorta regurgitasi pada anak

Tabel 7. Indikasi Operasi Katup Akibat Aorta Regurgitasi Anak23

7. Komplikasi
Penyakit jantung rematik umumnya bersifat laten sampai komplikasi jantung

berkembang di akhir masa dewasa. Komplikasi yang dapat terjadi bila tidak

ditatalaksana dengan tepat adalah endokarditis infektif, peristiwa emboli, gagal

jantung, hipertensi pulmonal, dan fibrilasi atrium.2

8. Prognosis

Pasien dengan riwayat demam rematik berisiko tinggi mengalami

kekambuhan. Resiko kekambuhan tertinggi dalam kurun waktu 5 tahun sejak episode

awal. Semakin muda umur pasien saat demam rematik terjadi, kecenderungan

kambuh semakin besar. Kekambuhan demam rematik secara umum mirip dengan

serangan awal, namun risiko karditis dan kerusakan katup lebih besar. Manifestasi

demam rematik pada 80% kasus mereda dalam 12 minggu. Insiden penyakit jantung

rematik setelah 10 tahun adalah sebesar 34% pada pasien dengan tanpa serangan

demam reumatik berulang, tetapi pada pasien dengan serangan demam rematik yang

berulang kejadian RHD meningkat menjadi 60%.36

9. Pencegahan

Karena penyakit jantung rematik merupakan akibat dari demam rematik,

strategi penting adalah untuk mencegah demam rematik terjadi. Pengobatan radang

tenggorokan dengan antibiotik yang tepat akan mencegah demam rematik. Setelah

seorang pasien telah diidentifikasi telah mengalami demam rematik, penting untuk

mencegah infeksi streptokokus tambahan karena hal ini dapat menyebabkan episode

lebih lanjut dari demam rematik dan kerusakan tambahan pada katup jantung.

Strategi untuk mencegah infeksi streptokokus tambahan adalah dengan

mengobati pasien dengan antibiotik dalam jangka waktu yang lama. Pengobatan

antibiotik yang paling efektif dalam mencegah infeksi lebih lanjut adalah penisilin
benzathine G, yang diberikan oleh injeksi intramuskular setiap 3-4 minggu selama

bertahun-tahun.

Untuk negara-negara di mana penyakit jantung rematik adalah endemik,

strategi utama untuk pencegahan, pengendalian dan eliminasi meliputi: meningkatkan

standar hidup; memperluas akses ke perawatan yang tepat; memastikan pasokan

antibiotik yang terjamin kualitasnya secara konsisten untuk pencegahan primer dan

sekunder; dan perencanaan, pengembangan dan penerapan program yang layak untuk

pencegahan dan pengendalian penyakit jantung rematik, didukung oleh pemantauan

dan pengawasan yang memadai.37


DAFTAR PUSTAKA

1. WHO Technical Report Series. Rheumatic fever and rheumatic heart disease.
Geneva: WHO; 2004.
2. Dass C, Kanmanthareddy A. Rheumatic Heart Disease. [Updated 2020 Nov
21]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021
Jan-.Availablefrom:https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538286/?
report=classic
3. Seckeler MD, Hoke TR. The worldwide epidemiology of acute rheumatic
fever and rheumatic heart disease. Clin Epidemiol. 2011 Feb 22;3:67-84.
4. Marijon E, Mirabel M, Celermajer DS, Jouven X. Rheumatic heart
disease. Lancet. 2012 Mar 10;379(9819):953-964.
5. Liu M, Lu L, Sun R, Zheng Y, Zhang P. Rheumatic Heart Disease: Causes,
Symptoms, and Treatments. Cell Biochem Biophys. 2015 Jul;72(3):861-3.
6. Heart Foundation of New Zealand. New Zealand Guidelines for Rheumatic
Fever: Diagnosis, Management and Secondary Prevention of Acute Rheumatic
Fever and Rheumatic Heart Disease. New Zealand: 2014.
7. Rahmawaty NK, Iskandar B, Albar H, Daud D. Faktor Risiko Serangan
Berulang Demam Rematik/Penyakit Jantung Rematik. Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo.Makassar: 2012

8. Watkins DA, Johnson CO, Colquhoun SM, Karthikeyan G, Beaton A,


Bukhman G, et al. Global, Regional, and National Burden of Rheumatic Heart
Disease, 1990-2015. N Engl J Med. 2017 Aug 24;377(8):713-722.
9. Rothenbühler M, O'Sullivan CJ, Stortecky S, Stefanini GG, Spitzer E, Estill J,
et al. Active surveillance for rheumatic heart disease in endemic regions: a
systematic review and meta-analysis of prevalence among children and
adolescents. Lancet Glob Health. 2014 Dec;2(12):e717-26.
10. Julius WD. Penyakit Jantung Reumatik. J Medula Unila. 2016;4(3):138–44.
11. Lawrence J. G., Carapetis J. R., Griffiths K., Edwards K., Condon J. R. Acute
rheumatic fever and rheumatic heart disease: incidence and progression in the
Northern Territory of Australia, 1997 to 2010. Circulation. 2013;128(5):492–
501.
12. Parnaby M. G., Carapetis J. R. Rheumatic fever in indigenous Australian
children. Journal of Paediatrics and Child Health. 2010;46(9):527–533.
13. Carapetis J. R., Beaton A., Cunningham M. W., Guilherme L., Karthikeyan
G., Mayosi B. M., et al. Acute rheumatic fever and rheumatic heart
disease. Nature Reviews Disease Primers. 2016;2:15084.
14. Steer A. C., Carapetis J. R., Nolan T. M., Shann F. Systematic review of
rheumatic heart disease prevalence in children in developing countries: the
role of environmental factors. Journal of Paediatrics and Child
Health. 2002;38(3):229–234.
15. Dass C, Kanmanthareddy A. Rheumatic Heart Disease. In: StatPearls.
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021.
16. Guilherme L., Kalil J., Cunningham M. Molecular mimicry in the autoimmune
pathogenesis of rheumatic heart disease. Autoimmunity. 2006;39(1):31–39
17. Cunningham M. W. Pathogenesis of group A streptococcal infections. Clinical
Microbiology Reviews. 2000;13(3):470–511.
18. Galvin J. E., Hemric M. E., Cunningham M. W. Cytotoxic mAb from
rheumatic carditis recognizes heart valves and laminin. The Journal of Clinical
Investigation. 2000;106(2):217–224. 
19. Cunningham M. W., McCormack J. M., Talaber L. R., Harley J. B., Ayoub E.
M., Muneer R. S., et al. Human monoclonal antibodies reactive with antigens
of the group A Streptococcus and human heart. Journal of
Immunology. 1988;141(8):2760–2766.
20. Roberts S., Kosanke S., Terrence Dunn S., Jankelow D., Duran C. M.,
Cunningham M. W. Pathogenic mechanisms in rheumatic carditis: focus on
valvular endothelium. The Journal of Infectious Diseases. 2001;183(3):507–
511.
21. Meador RJ. What are the Jones diagnostic criteria for acute rheumatic fever?.
Medscape. 2020 Available from:
https://www.medscape.com/answers/333103-186317/what-are-the-jones-
diagnostic-criteria-for-acute-rheumatic-fever-arf
22. Szczygielska I, Hernik E, Kolodziejczyk B, Gazda A, Maslinska M, Gietka P.
Rheumatic fever – New diagnostic criteria. Reumatologia. 2018; 56, 1:37-41.
23. Pereira BADF, Belo AR, Silva NAD. Rheumatic fever: Update on the Jones
criteria according to the American Heart Association review – 2015. Rev Bras
Reumatol 2017;5 7(4):364–8.
24. Madiyono B, Sukardi R, Kuswiyanto R B. Demam reumatik dan penyakit
jantung reumatik pada anak. Dalam: Management of pediatric heart disease
for practitioners: from early detection to intervention. Jakarta: Departemen
Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM; 2009.h.95-114.
25. Gewitz MH, Baltimore RS, Tani LY. Revision of the Jones criteria for the
diagnosis of acute rheumatic fever in the era of doppler echocardiography. A
scientific statement from theAmerican Heart Association. Circulation.
2015;131:1806–12.

26. Massel BF, Fyler DC, Roy SB. The clinical picture of rheumatic fever:
diagnosis, immediate prognosis, course and therapeutic implications. Am J
Cardio 1989; 63:577-84.
27. Burke AP. Pathology of rheumatuc heart disease. Emedicine medscape. 2015.
Available from: https://emedicine.medscape.com/article/1962779-overview
28. Marijon E, Celermajer DS, Tafflet M, Jani DN, Ferreira B, et al. Rheumatic
heart disease screening by echocardiography: the inadequacy of world health
organization criteria for optimizing the diagnosis of subclinical diasease. AHA
J. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/ 19667239.
29. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Panduan Praktik
Klinis (PPK) dan Clinical Pathway (CP) Penyakit Jantung dan Pembuluh
Darah. 2016. 211-21
30. Chin TK. Pediatric Rheumatic Heart Disease. Medscape [Article on the
internet] Updated 2017. [cited on 7 March 2018] Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/891897-overview#showall
31. Sudoyyo AW, Setiyohadi B, Alwi I Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Interna Publishing:Jakarta.2009
32. The cardiac society of Australia and New Zealand. Diagnosis, management
and secondary prevention of acute rheumatic fever and rheumatic heart
disease:2014 update. 2014
33. Harimurti GM. Demam Rematik. Dalam : Rilantono LI, Baraas F, Karo SK,
Roebiono PS. Buku Ajar Kardiologi. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta: 2002.
34. Karthikeyan, G., & Guilherme, L. (2018). Acute rheumatic fever. The Lancet,
392(10142), 161–174. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(18)30999-1
35. New Zealand Guidelines for Rheumatic Fever. Diagnosis, Management and
Secondary Prevention of Acute Rheumatic Fever and Rheumatic Heart
Disease: 2014
36. Premana PM. Penyakit Jantung Rematik. Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana: 2018
37. WHO. Rheumatic Heart Disease. 2020.

Anda mungkin juga menyukai