Anda di halaman 1dari 25

EKOLOGI PERAIRAN

”Potensi Mikroalga Haematococcus Pluvialis Sebagai Bahan


Baku Industri Perikanan Masa Depan”

DOSEN PENGAJAR:
Dr. Ir. Eddiwan M. Sc

DISUSUN OLEH:

AULIA SAFITRI
2104110087

ILMU KELAUTAN-B

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN
UNIVERSITAS RIAU
2021
2

KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur marilah kita panjatkan kepada kehadirat Allah SWT. yang telah
memberikan kesehatan jasmani dan rohani sehingga kita masih bisa menikmati
indahnya alam ciptaan-Nya. Sholawat beserta salam tetap kita curahkan kepada
junjungan alam baginda Habibillah Muhammad SAW. Yang telah membawa kebenaran
ke muka bumi ini dengan mengajarkan agama sempurna yaitu agama Islam dengan
perilaku dan sifat yang begitu indah yang patut kita contoh dan amalkan.

Saya disini merasa sengat bersyukur karena telah menyelelesaikan Ringkasan


Jurnal yang diberi judul Potensi Mikroalga Haematococcus Pluvialis Sebagai Bahan
Baku Industri Perikanan Masa Depan dengan baik sebagai tugas mata kuliah Ekologi
Perairan. Dalam pengerjaan Ringkasan Jurnal ini ini saya sudah melakukan yang
terbaik dalam menyusun dan merangkum materi dari mulai pengenalan secara umum
apa itu Mikroalga Haematococcus Pluvialis ke Hubungan Sebagai Bahan Baku Industri
Perikanan Masa Depan.

Saya dengan tulus mengucapkan terimakasih kepada Guru saya yang mana di sini
sebagai Dosen Pengajar lalu yang paling utama rasa syukur saya kepada Allah SWT.
karena telah memperlancar urusan saya dalam mengerjakan ringkasan jurnal ini
sehingga dapat terselesaikan. Dan saya juga memahami jika ringkasan jurnal ini jauh
dari kata sempurna karena memang tiada yang sempurna di dunia yang fana ini oleh
karena itu makalah ini masih memiliki banyak kekurangan, maka kritik maupun saran
akan sangat berarti bagi saya guna memperbaiki karya-karya saya di lain waktu.

Pekanbaru, 16 November 2021

Penulis
3

DAFTAR ISI

SAMPUL

KATA PENGANTAR..............................................................................................2

DAFTAR ISI............................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................4

1.1 Latar Belakang.............................................................................................4


1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................5
1.3 Tujuan.........................................................................................................6
1.4 Manfaat........................................................................................................6

BAB II PEMBAHASAN......................................................................................7

1.1 Gambaran Umum.....................................................................7

1.2 Fungsi Mikroalga Haematococcus Pluvialis..............................15


1.3 Produk Perikanan.......................................................................................18

BAB IV PENUTUP..............................................................................................21

A. Kesimpulan..................................................................................................21
B. Saran............................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................23
4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ekologi secara Etimologis, berasal dari Bahasa Yunani yakni oikos
dan logos. Oikos berarti rumah atau habitat dan logos berarti ilmu
pengetahuan. Maka dapat diartikan jika ekologi ialah cabang ilmu
pengetahuan yang mempelajari rumah atau habitat. Dengan pengertian
tersebut dapat kita simpulkan bahwa ekologi ini adalah Ekologi adalah
ilmu pengetahuan yang mempelajari hubungan timbal balik antara
organisme hidup (tumbuhan dan binatang) dan lingkungannya. Ekologi
ini juga adalah ilmu yang memiliki berbagai cabang jenis ilmu lain
karena ilmu ini berkaitan dengan ilmu pengetahuan alam dan ilmu
social, seperti mengutip penjelasan dari Haeckel pada tahun 1869 juga
mengemukakan definisi Ekologi sebagai “suatu keseluruhan
pengetahuan berkaitan dengan hubungan total antara organisme
danlingkungannya yang bersifat organik (biotik) maupun anorganik
(abiotik)”.

Ekologi perairan sendiri adalah ilmu yang mempelajari hubungan


timbal balik yang terjadi di lingkungan perairan antara organisme
(tumbuhan dan hewan) dan lingkungannya. Mungkin kita pernah
bertanya apa sih pentingnya ilmu ekologi perairan ini, ilmu ekologi ini
5

sangat pemting karena memiliki cakupan yang bisa mempengaruhi


kehidupan manusia, karena memberikan kontribusi keilmuan mengenai
pemahaman hubungan antara lingkungan dengan biota perairan
sebagai satu kesatuan sistem yang tidak dapat dipisahkan. Interaksi
antar biota dalam jaring makanan dan lingkungannya memiliki
keterkaitan antara satu dengan lainnya. Jika salah satu jaring makanan
terputus maka akan mempengaruhi siklus tranport energi. Begitu pula
jika, kondisi lingkungan tidak memadai maka biota perairan akan
terganggu dan mempengaruhi keberadaannya. Ekosistem dengan
kualitas yang baik adalah ekosistem yang memiliki kesetimbangan
energi dan kondisi lingkungan yang memenuhi syarat keberadaan suatu
biota di perairan tertentu. Oleh karena itu habitat tempat dimana
organisme perairan tinggal, penting untuk dikaji lebih jauh, karena itu
juga akan berpengaruh baik ke ekosistem laut kita maupun pada
kehidupan.

1.2 Rumusan Masalah

Dalam makalah ini, masalah yang akan dibahas adalah :


1) Apa yang terdapat dalam Mikroalga Haematococcus Pluvialis?
2) Bagaimana Potensi Mikroalga Haematococcus Pluvialis
Sebagai Bahan Baku Industri Perikanan Masa Depan?
6

1.3 Tujuan

Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah :

1) Untuk mengkaji Potensi Mikroalga Haematococcus Pluvialis

2) Menguraikan Potensi Mikroalga Haematococcus Pluvialis Sebagai


Bahan Baku Industri Perikanan Masa Depan

1.4 Manfaat

Adapun manfaat yang dapat kita peroleh dari pembuatan makalah ini yaitu
dapat menambah pemahaman kita mengenai Potensi Mikroalga
Haematococcus Pluvialis mulai dari pengertian, tujuan dan Potensi
Mikroalga Haematococcus Pluvialis, selain itu dapat memberikan
pengetahuan kepada kita Potensi Mikroalga Haematococcus Pluvialis
Sebagai Bahan Baku Industri Perikanan Masa Depan.
7

BAB III

PEMBAHASAN

1.1 Gambaran Umum

Mikroalga adalah produsen primer penting dalam ekosistem yang


diturunkan dari nenek moyang yang sama dengan tanaman darat, dan
berkontribusi besar bagian dari produksi primer laut melalui fotosintesis
Mereka beragam dan berlimpah, sampai saat ini, di sana adalah ~ 200–
800 ribu spesies mikroalga yang diidentifikasi di seluruh dunia,dari daratan
hingga lautan, dari sumber air panas hingga kutub Es. Banyak mikroalga
digunakan untuk makanan, pakan ternak, nutraceutical dan senyawa
farmasi,biodesalinasi proses, bioremediasi logam berat. Produksi biomassa
mikroalga dan bahan kimia kilang dapat mengimbangi beban sistem
pertanian yang ada, karenanya meningkatkan keberlanjutan masyarakat.
Banyak spesies mikroalga mengakumulasi nutrisi penting, seperti
karotenoid dan asam lemak tak jenuh ganda rantai panjang, yang banyak
digunakan sebagai suplementasi makanan.
Mikroalga hijau terdiri lebih dari 7000 spesies yang tumbuh di berbagai
habitat. Haematococcus pluvialis merupakan alga hijau uniseluler yang
tergolong dalam kelas Chlorophyceae, ordo Volvocales, famili
Haematococcaceae (Lorenz, 1999). H. pluvialis dapat mengakumulasi
astaxantin hingga sebesar 4% dari berat kering, paling tinggi di antara
semua organisme yang dapat memproduksi astaxantin (Zhang et al., 2016;
8

Butler et al., 2017). Dengan demikian H. pluvialis dikenal sebagai


organisme penghasil utama astaxantin yang merupakan produk komersial.
Haematococcus pluvialis ( H. pluvialis ) adalah mikroalga Chlorophyta
air tawar biflagellata uniseluler yang terdistribusi di seluruh dunia. Spesies
ini terkenal karena kemampuannya untuk mengakumulasi sejumlah besar
astaxanthin antioksidan kuat (hingga 2-3% pada berat kering) di bawah
kondisi stres. Dapat dicatat bahwa organisme penghasil komersial utama
dari astaxanthin adalah H . pluvialis [9,27]. Photoautotrophic, heterotrophic
dan mixotrophic (berdasarkan kondisi pertumbuhan), kolam raceway indoor
atau terbuka atau fotobioreaktor tertutup digunakan untuk budidaya H.
pluvialis [28-33].
Sel H. pluvialis berwarna hijau dan vegetatif di bawah kondisi
lingkungan yang sesuai (intensitas cahaya rendah dan nutrisi yang cukup).
Namun, H. pluvialis menunjukkan penurunan dramatis dalam tingkat
proliferasi sel dan peningkatan sel cyst di bawah tekanan intensitas cahaya
tinggi. Akumulasi karotenoid sekunder terjadi pada sel-sel cyst di bawah
kondisi lingkungan yang tidak sesuai seperti intensitas cahaya tinggi,
kekurangan nutrisi, penambahan garam dan stres oksidatif. Morfologi sel
H. pluvialis dalam siklus hidupnya dapat dilihat pada Gambar 1
9

Parameter budidaya seperti konsentrasi inokulum akan


menentukan produktivitas biomassa. Selain itu, dalam tahap haematocyst
kandungan karotenoid total meningkat dan pola karakteristik karotenoid
utama tahap vegetatif digantikan oleh karotenoid sekunder. Rasio
karotenoid terhadap klorofil adalah sekitar 0,2 pada tahap hijau dan
meningkat pada tahap merah mencapai sekitar 2–9 (Shah et al., 2016).
Oleh karena itu, untuk menguji hipotesis tersebut, pada penelitian ini diuji
rasio kadar karotenoid terhadap klorofil yang juga dapat menunjukkan
keberadaan astaxantin.

Kultur fotoautotrofik H. pluvialis adalah terutama dilakukan di kolam


raceway terbuka atau fotobioreaktor tertutup. Fotobioreaktor tipikal yang
digunakan untuk budidaya termasuk tabung, kolom gelembung dan
fotobioreaktor pengangkutan udara. Strategi kultivasi dua tahap umumnya
diadopsi untuk produksi komersial. 
Langkah pertama melibatkan menumbuhkan biomassa hijau alga dari
tahap motil dalam sistem tertutup (photobioreactors) atau sistem terbuka
(seperti kolam raceways) dan tahap kedua melibatkan produksi
astaxanthin- mengandung produksi aplanospora dengan kekurangan nitrat
dan fosfat, dan peningkatan suhu dan cahaya intensitas [34]. Akumulasi
astaxanthin dipengaruhi oleh factor lingkungan seperti cahaya, suhu, pH,
konsentrasi garam dan tekanan nutrisi.
Komposisi seluler H. pluvialis bervariasi terutama antara tahap
budidaya “hijau” dan “merah” Pemanenan dilakukan dengan menggunakan
kombinasi pengendapan pasif dan sentrifugasi atau flotasi berikutnya dan
10

sentrifugasi. Biomassa yang dipanen didehidrasi dengan pengeringan


matahari, penyemprotan, pembekuan, liofilisasi atau cryodesiccation.
Pengeringan semprot telah dianggap sebagai metode yang paling tepat
untuk mengeringkan H. produk pluvialis. Berbagai macam teknik telah
dikembangkan untuk mengganggu sel H. pluvialis dan memulihkan
metabolit intraseluler. 
Metode gangguan sel paling populer untuk meningkatkan pemulihan
astaxanthin dari  H. pluvialis pada skala komersial melibatkan proses
mekanis (misalnya expeller-pressing dan bead milling).
Selama pengepresan (pulverization) sel-sel H. pluvialis diperas di
bawah tekanan tinggi untuk memecahkan yang tebal dinding
sporollenin. Setelah dinding sel rusak , biomassa H.pluvialis harus diproses
dengan cepat dalam beberapa jam untuk menghindari
pembusukan. Astaxanthin diekstraksi dari biomassa yang sepenuhnya
kering dan rusak dengan menggunakan pelarut, asam, dapat dimakan
minyak, karbon dioksida superkritis (SC-CO 2 ), bantuan gelombang mikro,
bantuan enzim atau dimetil eter cair (DME) metode. Namun, ekstraksi
pelarut dan karbon dioksida superkritis (SC-CO 2 ) metode ekstraksi yang
popular karena efisiensi dan kompatibilitasnya .
H. pluvialis dapat mengakumulasi hingga 5% DW astaxanthin dan
dianggap sebagai yang terbaik alami sumber pigmen karotenoid bernilai
tinggi ini.
Karena biaya produksi yang tinggi, astaxanthin sintetis mendominasi pasar
komersial saat ini (~ produksi tahunan 130 ton dengan nilai US$200 juta).

H. pluvialis sedang digunakan dalam industri bioteknologi untuk


memproduksi astaxanthin, dan hasil biomassa tahunannya dapat mencapai
11

~ 300 ton ( Torres - Tiji dkk., 2020 ). Astaxanthin terakumulasi sebagai


karotenoid sekunder dan disimpan dalam badan lipid dalam bentuk mono-
ester atau diester dalam stadium merah H. pluvialis (Aflalo et al.,
2007 ). Astaxanthin dalam H. pluvialis dapat mencapai 5% dari biomassa
kering ( Wan et al., 2014a) dan meringankan dampak molekul oksigen
reaktif, melindungi sel dari stres. Meskipun banyak karya telah
menggambarkan produksi, ekstraksi dan pemurnian astaxanthin dari H.
pluvialis ( Onorato & Rosch ,2020 ), dan kemajuan pengobatan untuk
produk bernilai tinggi ( Costa et al. ,2020 ), jaringan metabolisme yang
mendasari untuk biosintesis astaxanthin masih belum jelas. Menjelaskan
prinsip-prinsip molekul astaxanthin biosintesis berpotensi meningkatkan
kelayakan industry astaxanthin. Dalam ulasan ini, kami merangkum strategi
yang diadopsi untuk industry produksi astaxanthin, dengan fokus pada jalur
sintesis biologis cara astaxanthin dari H. pluvialis . Kami juga membahas
kelayakan mengembangkan strategi industri untuk produksi bersama
astaxanthin dan lipid bernilai tinggi dari H. pluvialis
Sel mikroalga hijau Haematococcus pluvialis diinduksi untuk
mengakumulasi pigmen ketokarotenoid, astaxanthin. Induksi ini dicapai
dengan penerapan kondisi lingkungan berikut: intensitas cahaya (170//mol
m~ 2 s~'), kelaparan fosfat dan cekaman garam (NaCl 0,8%). Kondisi ini
memperlambat pertumbuhan sel yang dicerminkan oleh penurunan tingkat
pembelahan sel, tetapi menyebabkan peningkatan kandungan astaxanthin
per sel. Akumulasi astaksan-nitrogen tipis yang dibutuhkan dan dikaitkan
dengan perubahan tahap sel dari biflagellate sel hijau vegetatif menjadi sel
non-motil dan sel istirahat besar. Disarankan bahwa lingkungan atau
tekanan nutrisi, yang mengganggu pembelahan sel, memicu akumulasi
12

astaxanthin. Memang ketika inhibitor spesifik pembelahan sel diterapkan,


akumulasi besar astaksan-tipis terjadi.

Pada tahap ini peran akumulasi astaxanthin adalah tidak jelas. Pada


alga hijau lainnya, seperti Dunaliella bar dawil, akumulasi pigmen ^-karoten
dalam hal ini pro-melindungi peralatan fotosintesis dari radiasi tinggi.

Ini mungkin tidak terjadi di Haematococcus karena alasan berikut:


1) Astaxanthin di H. pluvialis terlokalisasi di sitoplasma dan tidak di
kloroplas (Santos dan Mes- quita 1984), tidak seperti ^-karoten di D.
bardawil yang terletak di ruang intertilakoid kloroplas (Ben- Amotz
dkk. 1989).
2) Sedangkan sel D. bardawil "merah" terus tumbuh, mengembangkan
oksigen dan membelah (Ben-Amotz et al. 1989),Sel H. pluvialis sekali
terkena kondisi yang mengarah ke produksi astaxanthin kehilangan
hampir semua fotosintesisnya. aktivitas tematik (data tidak
ditampilkan) dan berubah menjadi total bentuk sel yang berbeda,
kemungkinan besar bentuk istirahat (kista).
3) Berbeda dengan D. bardawil yang merupakan foto wajib autotrof, H.
pluvialis dapat tumbuh di bawah kondisi heterotrofik dalam gelap,
memanfaatkan asetat sebagai sumber karbon. Jika dalam kondisi ini
pertumbuhan sel terganggu (nitrogen keterbatasan), budaya akan
berubah menjadi merah (Droop, 1955). Data yang disajikan dalam
karya ini menggambarkan fenomena, di mana karotenogenesis
dalam fotosintesis sel terkait dengan perubahan perkembangan. 

Ganggang uniseluler hijau air tawar Haematococcus


pluvialis (Chlorophyceae) telah dipelajari secara mendalam karena
13

kemampuannya untuk mengakumulasi pigmen oranye-merah astaxanthin


(3,3 0 -dihidroksi-b , b-karoten-4,4 0 -dion) dan karotenoid terkait lainnya
dan esternya (Grung dkk., 1992; Yuan dan Chen, 1998).
 Karotenoid ini adalah sumber utama warna merah atau kuning dari sirip,
kulit dan daging ikan trout pelangi liar serta jenis ikan salmonid lainnya
(Marusich dan Bauerfeind,1981).

Dalam beberapa tahun terakhir mikroalga H. pluvialis telah dianggap


sebagai kemungkinan alami sumber pigmen ini (Sommer et al., 1991).
Akumulasi astaxanthin oleh mikroalga ini kembali terkait dengan
pembentukan palmella dan aplanospora tahapan siklus hidup mikroalga
(Elliot, 1934), biasanya disebabkan oleh kondisi stress. Berbagai penelitian
telah dilakukan pada nutrisi persyaratan kondisi ent dan kultur dari hemato-
kokus .
 Namun, masalah utama kelaparan nitrogen adalah penurunan
tingkat pertumbuhan. NS pengaruh konsentrasi nitrat
pada pertumbuhan Haematococcus tingkat dan produksi karotenoid di
seluruh budaya diuji untuk menentukan kondisi optimum untuk kultur
massal dan produksi astaxanthin. Studi sebelumnya tentang nutrisi H.
pluvialis telah menunjukkan bahwa asetat tampaknya menjadi karbon
penting sumber, meningkatkan pertumbuhan dan karotenogenesis
(Borowitzka et al., 1991; Kobayashi et al., 1993).
Astaxanthin 3S,3S berasal dari mikroalga adalah bentuk astaxanthin
yang lebih disukai sebagai aditif pakan dalam akuakultur, karena
memberikan tingkat pigmentasi pada ikan rainbow trout daripada sintetis
astaxanthin (Barbosa et al., 1999). Apalagi, ada kon-cerns tentang
keamanan menggunakan astaxanthin sintetis untuk konsumsi manusia
14

langsung, membuat astaxanthin alami pilihan yang lebih disukai (Li et al.,
2011).
Di antara berbagai sumber alami, mikroalga hijau Haematococcus
pluvialis , juga disebut sebagai Haematococcuscus lacustris , diakui
sebagai produsen yang paling menjanjikan dari astaxanthin karena
kemampuannya untuk tumbuh dengan cepat dan terakumulasi sejumlah
besar astaxanthin (hingga 4% berat kering) di bawah berbagai kondisi
stres, seperti cahaya tinggi, stres garam, ion stres, dan kekurangan nutrisi
(Boussiba,2000; Lietal.,2008; Lemoine & Schoefs, 2010).
Biosintesis astaxanthin pada H. pluvialis biasanya sekutu disertai
dengan transformasi alga dari bentuk vegetatif hijau menjadi kista merah
(Droop, 1954). Respon seluler dan molekuler H. pluvialis terhadap stres
diusulkan untuk menghasilkan, setidaknya sebagian, dari perbedaan
ekspresi gen penting (Hershkovits et al., 1997; Li et al.,2010). Baru-baru
ini, gen yang mengkode banyak enzim diperlukan untuk biosintesis
karotenoid dan astaksan- tipis telah diidentifikasi dan dikarakterisasi
pada H. pluvialis ,menjadikannya sistem model yang ideal untuk
memahamiulation dan peran fisiologis biosintesis karotenoid sebagai
mekanisme pertahanan molekuler terhadap stres. Dalam bab ini-ter, biologi
sel dan fisiologis dan biokimia karakteristik H. pluvialis ditinjau, dengan
penekanansis tentang jalur dan peran karotenogenesis dalam respon
terhadap stres. Status saat ini dan perspektif masa depan pengembangan
teknologi untuk peningkatan produksi Biomassa Haematococcus
yang kaya astaxanthin disediakan.

Empat jenis sel dibedakan dalam siklus hidup: H. pluvialis :


makrozooid (atau zoospora), mikrozooid, palmella, dan hematokista (atau
15

aplanospora) (Elliot, 1934).Makrozooid berbentuk bola, elips, atau buah pir


sel vegetatif dengan dua flagela dan kloro-berbentuk cangkir plastik.
Jenis sel ini mendominasi di bawah pertumbuhan yang
menguntungkan kondisi (Gbr. 20.1a). Ketika lingkungan atau budaya
kondisi menjadi tidak menguntungkan, makrozooid kehilangan flagela dan
berkembang menjadi bentuk “palmella” nonmotil (Gbr. 20.1b), diikuti
dengan pembentukan aplanospora, yang merupakan spora aseksual
nonmotil dengan sel tebal dan kaku dinding (Gbr. 20.1c). Gamet H.
pluvialis diketahui sebagai microzooids, muncul sebagai sel kecil
( < 10 μ m) dengan motilitas berkecepatan tinggi setelah dilepaskan dari
gametocysts. Zoospora berflagel mewakili tumbuhan yang tumbuh cepat
sel etatif yang dapat membelah menjadi dua hingga delapan sel anak oleh
mitosis. Setelah penghentian pembelahan sel karena lingkungan
stres ronmental, sel H. pluvialis berubah menjadi sisanya enesis dapat
terjadi pada aplanospora, menghasilkan hingga 64 gamet, meskipun
konjugat dari gamet belum dilaporkan (Triki et al., 1997).

1.2 Fungsi Mikroalga Haematococcus Pluvialis

Astaxanthin digunakan dalam suplemen gizi biasanya campuran isomer


konfigurasional diproduksi oleh Haematococcus pluvialis, mikroalga
uniseluler. Astaxanthin dapat diproduksi dalam bentuk alam dalam skala
besar. Produksi awal astaxanthin dari Haematococcus pluvialis
menggunakan sistem kultur tertutup selama 5-7 hari, siklus "memerah",
dilakukan di kolam kultur terbuka. Pada setiap tahap produksi, kultur
diawasi secara ketat oleh pemeriksaan mikroskopis untuk memastikan
mereka tetap bebas dari kontaminasi. Setelah siklus memerah, kultur
16

Haematococcus pluvialis dipanen, dicuci dan dikeringkan. Langkah terakhir


untuk produksi astaxanthin adalah ekstraksi kering biomassa
Haematococcus pluvialis menggunakan karbon dioksida superkritis untuk
menghasilkan oleoresin dimurnikan, yang bebas dari kontaminasi.

Astaxanthin adalah pigmen karotenoid, dengan struktur molekul yang


mirip dengan β-karoten. Astaxanthin memiliki aktivitas antioksidan, seperti
halnya senyawa karotenoid yang lain. Astaxanthin menunjukkan aktivitas
antioksidan yang lebih kuat dibandingkan β-karoten dalam menetralisir
keganasan radikal bebas sebagai penyebab penuaan dini dan pencetus
aneka penyakit degeneratif seperti kanker dan penyakit jantung
Astaxanthin alami memiliki keunggulan dibandingkan astaxanthin sintetik.
Astaxanthin alami terdapat dalam bentuk mono- dan di- ester dari asam
lemak, sementara astaxanthin sintetik memiliki gugus hidroksil bebas.
Dalam penggunaannya, bentuk ester memiliki kestabilan yang lebih tinggi
dibandingkan bentuk bebas, karena lebih terlindungi terhadap oksidasi.
Secara alami astaxanthin dapat ditemukan pada algae, berbagai jenis
makanan yang biasa dikonsumsi seperti jenis udang udangan dan kepiting.
Berikut beberapa sumber serta kandungan astaxantin dari berbagai bahan
(Martin, 2001)

Astaxanthin adalah salah satu antioksidan golongan carotenoid


xantophyll yang larut dalam lemak. Secara alami astaxanthin dapat
ditemukan pada algae, berbagai jenis makanan yang biasa dikonsumsi
seperti jenis udang udangan dan kepiting. Di alam karotenoid ini dihasilkan
oleh tumbuhan dan alga renik, sedangkan hewan tidak dapat mensintesis
senyawa ini untuk itu harus didapat dari tumbuhan atau alga renik dengan
cara mengkonsumsinya. Salah satu alga renik yang dikenal memiliki
17

kandungan astaxanthin tinggi adalahlah Haematococus pluvialis ( Lyons


dan O’Brien, 2002)

Mikroalga memiliki berbagai aplikasi industri. Aplikasinya untuk produksi


biofuel dan air limbah pemurnian telah banyak dilaporkan.

Mikroalga juga dapat digunakan untuk aplikasi industri lainnya seperti:


sebagai produk pangan dan farmasi yang bernilai tinggi, nutraceuticals
(bahan gizi), pangan kesehatan bagi manusia, pangan dan aditif pakan
ternak, polisakarida, kosmetik, bioremediasi, antioksidan, pewarna,
makanan untuk budidaya atau produksi bioplastik.
Biomassa mikroalga juga digunakan sebagai bahan baku industri co-
firing untuk menghasilkan daya karena memiliki nilai kalor yang tinggi
dibandingkan dengan bahan baku biomassa lainnya.

Astaxanthin dari Haematococcus digunakan dalam budidaya untuk


mewarnai otot ikan (misalnya: ikan salmon otot). Gudang pigmen di H.
pluvialis memiliki aktivitas biologis yang kuat termasuk antioksidan
kapasitas, pencegahan ulkus, imunomodulasi, dan pencegahan
kanker. Sifat antioksidan astaxanthin menghambat produksi senyawa
inflamasi, melindungi terhadap stres oksidatif, degradasi protein dan
macula degenerasi. Pada manusia, -karoten diubah menjadi vitamin A,
yang memungkinkan sistem kekebalan berfungsi efisien.

H. pluvialisis digunakan untuk menghasilkan sejumlah besar antioksidan


kuat astaxanthin.
H.pluvialis juga digunakan sebagai:

a) bahan pewarna untuk bahan makanan (misalnya produksi jus jeruk),


18

b) lutein, zeaxantin dan canthaxantin digunakan untuk pewarnaan kulit


ayam atau untuk keperluan farmasi,

c) phycobiliproteins dan fikoeritrin sudah digunakan dalam makanan dan


kosmetik dan

d) fikosianin digunakan sebagai pewarna dalam industri makanan (es


krim, permen, minuman dan bahan makanan diet), industri kosmetik dan
industri farmasi. Ini banyak digunakan di laboratorium penelitian klinis
dan imunologi karena penyerapan molekulnya yang efektif dan
fluoresensi yang tinggi kemampuan dan fotostabilitas.

Haematococcus umumnya digunakan dalam kosmetik. Ekstrak ini


mikroalga ditambahkan dalam krim regenerasi untuk lotion wajah dan
tubuh. Mereka juga digunakan dalam krim pelindung matahari, sampo dan
masker rambut.

1.3 Produk Perikanan Mikroalga Haematococcus Pluvialis

Mikroalga lain yang dapat menghasilkan pigmen adalah H. pluvialis,


biflagelata dengan sel berbentuk bola, elips, atau berbentuk buah pir. H.
pluvialis merupakan salah satu alga yang mensintesis dan
mengakumulasi astaxantin konsentrasi tinggi di alam, 1000-3000 kali
lipat lebih tinggi dibandingkan fillet salmon, dan sekarang telah
dibudidayakan pada skala industri. Akumulasi astaxantin terjadi akibat
respon terhadap tekanan lingkungan terutama intensitas cahaya yang
tinggi, kurangnya udara, nitrogen, terbatasnya fosfat dan kadar garam.
H. pluvialis mengandung astaxantin sebanyak 1,5-3% berat kering
19

dalam kondisi stres. Kandungan karotenoid H. pluvialis sekitar 70%


berupa monoesters astaxantin, 10% diester astaxantin, 5% astaxantin
bebas, dan 15% sisanya terdiri dari campuran b karoten, kantaxantin,
lutein dan karotenoid lainnya. Meskipun lebih dari 95% dari pasar
mengkonsumsi astaxantin sintetik, namun permintaan konsumen untuk
produk-produk alami telah mendukung produksi astaxantin alami dari
Haematococcus (Cysewski dan Lorenz, 2004).

untuk optimalisasi produksi astaxantin dari Haematococcus yaitu


dengan menggunakan fotobioreaktor tertutup dengan cahaya buatan
atau kombinasi antara foto alga bireaktor tertutup dan kultur kolam
terbuka (Dufosee, 2009).
Astaxantin adalah pigmen karotenoid golongan xantofil yang dikenal
sebagai antioksidan biologis yang baik. Astaxantin bisa ditemukan pada
mikroalga yang hidup di perairan seluruh dunia, serta pada hewan laut
seperti salmon segar, udang, dan lobster (Guerin et al., 2003; Suseela
dan Toppo, 2006).
Astaxantin digunakan sebagai sumber pigmentasi yang memberikan
warna merah muda pada organisme-organisme tersebut. Dalam ber
bagai penelitian, astaxantin telah terbukti menunjukkan efek
pemadaman yang kuat terhadap singlet oksigen, kemudian melepaskan
energi dalam bentuk panas, dan menetralkan radikal bebas yang
selanjutnya mencegah dan menghentikan reaksi oksidasi (Guerin et al.,
2003).
Aktivitas astaxantin diyakini merupakan mekanisme utama dari aktivitas
perlindungan ter hadap fotooksidasi oleh sinar UV, inflamasi, kanker,
penuaan dan penyakit yang terkait dengan usia, peningkatan respon
20

sistem imun, fungsi hati dan jantung, kesehatan mata, per sendian dan
prostat (Guerin et al. 2003). Astaxantin dapat dihasilkan secara
bioteknologi oleh sejumlah mikroorganisme, dan yang paling baik
adalah oleh Haematococcus pluvialis (Chlorophyceae). yang
mengakumulasi astaxantin sebagai respon terhadap kondisi stres
lingkungan seperti radiasi, suhu dan salinitas yang tinggi (Wang et al.,
2003).

Mikroalga Hematococcus Pluvialis digunakan dalam produksi


pangan, pakan, bahan kimia, kosmetik dan produk farmasi. Makroalgae
diproduksi terutama di Negara-negara Asia seperti Cina, Filipina, Korea
Utara dan Selatan. Jepang dan Indonesia. Namun, Amerika Serikat,
Kanada dan negara-negara Eropa seperti Perancis, Jerman dan Belanda
berusaha untuk mem bangun budidaya makroalgae skala besar Di
Amerika, be- Abd El-Baky berapa sistem budidaya skala besar dirancang
dan diuji untuk Enhancemen diaplikasikan di laut terbuka (Chynoweth,
2002).
21

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil ringkasan jurnal penelitian ini dapat disimpulkan bahwa


Haematococcus pluvialis merupakan sumber penting untuk
astaxanthin. Pekerjaan mutakhir pada akumulasi astaxanthin terutama
focus dalam memilih strategi budidaya yang optimal untuk
mengkoordinasikan biomassa dan metabolit sekunder, menambang jalur
biosintetik yang akurat dan jaringan, dan rekayasa genetika gen kunci yang
terkait dengan astaxanthin biosintesis. Lipid juga merupakan produk
bernilai tinggi dalam mikroalga, dan akumulasi telah terbukti berkorelasi
dengan astaxanthin akumulasi. Dalam ulasan ini, kami mengusulkan
produksi bersama dari astaxanthin dan lipid, menunjukkan kelayakannya
dan mendaftarkan beberapa strategi. Berdasarkan karya saat ini,
eksplorasi yang lebih belum pernah terjadi sebelumnya dari
Haematococcus pluvialis sebagai biodiesel dan bioproduk layak untuk lebih
diskusi mendalam.

Di antara semua hewan dan tumbuhan, hanya mikroalga


Haematococcus Pluvialis yang dapat menghasilkan metabolit berbeda
yang dapat digunakan untuk memanen serangkaian produk bernilai
tinggi. Sekitar 30.000 spesies mikroalga telah diidentifikasi; beberapa ratus
diselidiki untuk komposisi kimia dan metabolit, dan hanya sedikit yang
dibudidayakan dalam skala industri untuk diproduksi produk
komersial. Mikroalga menawarkan peluang unik untuk menghasilkan
biofuel, makanan, pakan, kosmetik, pupuk hayati, bioplastik dan
22

farmasi. Namun untuk memanfaatkan potensi penuh manfaat bioteknologi,


studi lebih lanjut adalah: dibutuhkan karena masih banyak spesies
mikroalga yang belum tereksploitasi. Produk mikroalga utama adalah
biofuel, pakan ternak dan bahan baku untuk pembakaran bersama untuk
menghasilkan panas. NS produk mikroalga primer tidak akan layak secara
ekonomi kecuali produk sampingan bernilai tinggi dianggap sebagai
kemasan. Pemanfaatan produk sampingan mikroalga bernilai tinggi
termasuk karoten, astaxanthin, DHA, EPA, bioaktif dan pigmen fungsional,
pewarna alami, polisakarida, antioksidan dan ekstrak alga menawarkan
karbon netral dan pilihan produksi yang ekonomis. Perawatan perlu
dilakukan selama ekstraksi bahan dari: mikroalga berdasarkan nilai
ekonomi dan urutannya untuk meminimalkan pembusukan bahan lain dan
residu. 

B. Saran
Dengan disusunnya hasil ringkasan jurnal penelitian ini bahwa Saya
mengharapkan pembaca dapat mengetahui dan memahami upaya
pelestarian lingkungan serta dapat memberikan kritik dan sarannya agar
makalah ini dapat menjadi lebih baik dari sebelumnya. Demikian saran
yang dapat penulis sampaikan semoga dapat membawa manfaat bagi
semua pembaca.
23

DAFTAR PUSTAKA:

1. Ambati RR, Moi PS, Ravi S, Aswathanarayana RG. Astaxanthin: sumber,


ekstraksi, stabilitas, aktivitas biologis dan komersialnya aplikasi--review. Mar
Narkoba 2014; 12:128-152
2. Ben-Amotz, A., Arad, S. dan Richmond, A. (1988) Luar ruangan budidaya
mikroalga laut Isochrysis galbana di tempat terbuka reaktor. Budidaya 72: 247-
253
3. Borowitzka, MA, Huisman, JM, Osborn, A., 1991. Budaya alga hijau penghasil
astaxanthin Haematococcus pluvialis . 1. Efek nutrisi pada pertumbuhan dan
jenis sel. J. Aplikasi phycol. 3,295–304.
4. Cysewski GR, Lorenz RT. 2004. Industrial Production Of а Microalgal Cell-
mass and Secondary Products-Species of E High Potential: Haematococcus.
Dalam Richmond A. 2004. Handbook of Microalgal Culture Biotechnol and
Appl Phycology. Blackwell Publishing.
5. Dufosse L 2009. Microbial and Microalgal Carotenoids as Colourants and
Supplements. Dalam Britton G 2009.Carotenoids (5) Nutrition and Health
Birkhauser Verlag. Switzerland
6. Dufosse L, Galaup P, Yaron A, Arad SM, Blanc P, Murthy KNC, Ravishankar
GA. Mikroorganisme dan mikroalga sebagai sumber pigmen untuk
penggunaan makanan: keanehan ilmiah atau kenyataan industri? Tren
Makanan Sci. teknologi. 2005; 16:389–406.
7. Garcia-Malea, MC, Acien, FG, Del Rio, E., Fernandez,JM, Ceron, MC,
Guerrero, MG & Molina-Grima, E. (2009) Produksi astaxanthin
oleh Haematococcus pluv-alis : mengambil sistem satu langkah di luar
ruangan. Bioteknologi. Bio-ind. 102: 651–657
24

8. Gauthier, MR, Senhorinho, GNA, Scott, JA, 2020. Mikroalga bawah


environmenta l stres sebagai sumber antioksidan. Alga Res 52.
9. Guerin M. Huntley ME. Olaizola M. 2003. Haematococcus astaxanthin:
applications for human health and nutrition. Trends in Biotechnol 21: 210-216.
DOI: 10.1016/S0167 7799(03)00078-7.
10. Haematococcus lacustris (Girod.) Rostafinski
(Volvocales). SAYA.Beberapa aspek karotenogenesis. Sitologia 49: 215-228
11. Kidd, P., 2011. Astaxanthin, cell membrane nutrient with diverse clinical
benefits and anti-aging potential. Altern Med Rev, 16(4), pp.355- 64.
12. Kusumawati, Daniar, Ketut Mahardika, dan Ketut Maha Setiawati.
(2019). “Aplikasi Astaxanthin Dari Haematococcus Pada Benih Kerapu
Sunu (Plectropomus Leopardus) Terhadap Total Karotenoid Dan Profil
Darah.” Media Akuakultur. 14, no. 2: 113.
13. Liang S, Lie X, Chen F, Chen Z. Aktivitas R dan D makanan kesehatan
mikroalga saat ini di Cina. Hidrobiologi 2004; 512:45-48
14. Lorenz RT. 1999. A technical review of Haematococcus algae.
NatuRose Technical Bulletin #060. 12 pp.
15. Lyons, Nicole M., Obrien, Nora. M. 2002. Modulatory effect of an Algal
Extract Containing Astaxanthin on UVA-Irradiated Cells in Culture. Journal of
dermatological Science,Vol 30: p. 73-84.
16. Paniagua-Michel JdeJ, Morales-Guerrero E, Soto JO. Bioteknologi
mikroalga: biofuel dan bioproduk. Dalam: Kim SK, editor. PeloncatBuku
Pegangan Bioteknologi Kelautan. Pegas Berlin Heidelberg : Pegas; 2015. H.
1355-1370.
17. Shah MMR, Liang Y, Cheng JJ, Daroch M. 2016. Astaxanthin-
producing green microalgae Haematococcus pluvialis: from single cell to
high value commercial products. Frontiers in Plant Science 7:531. 28 pp.
25

18. Suseela MR, Toppo K. 2006. Haematococcus pluvialis - A green alga,


richest natural source of astaxanthin. Current Science 90: 1602-1603.
19. Triki, A., Maillard, P. & Gudin, C. (1997) Gametogen-sis di Haematococcus
pluvialis Flotow (Volvocales, Chloro-fita). Fikologi 36: 190-194
20. Varfolomeev SD, Wasserman LA. Mikroalga sebagai sumber biofuel,
makanan, pakan ternak dan obat-obatan. Biokimia dan Mikrobiologi Terapan
2011; 47: 789-807
21. Wang B. Zarka A. Trebst A. Boussiba S. 2003. Astaxanthin accumulation
in Haematococcus pluvialis (chlorophyceae) as an active photoprotective
process under high irradiance. J Phycol 39 1116-1124. DOI: 10.1111/ 0022-
3646 2003 03-043.x
22. Zhang Z, Wang B, Hu Q, Sommerfeld M, Li Y, Han D. 2016. A new
paradigm for producing astaxanthin from unicellular green alga
Haematococcus pluvialis. Biotechnology and Bioengineering
113(10):2088-2099

Anda mungkin juga menyukai