Anda di halaman 1dari 14

BAB III

HUKUM PERJANJIAN DALAM ASPEK HUKUM


(KONTRAK)

A. Pengertian Kontrak

Kontrak sering disebut dengan istilah “Perjanjian” sebagai

terjemahan dari “Agreement” dalam bahasa Inggris atau

“overeenkomst” dalam bahasa Belanda. Namun seiring dengan

berjalannya waktu istilah yang sepadan dengan Kontrak yaitu

istilah “Transaksi” yang merupakan istilah bahasa Inggris

“transaction”. Istilah Kontrak sekarang merupakan istilah yang

modern paling umum digunakan dalam dunia bisnis, dan hukum

yang mengatur tentang kontrak disebut “Hukum Kontrak”.

Yang dimaksud dengan Kontrak :

Adalah suatu kesepakatan yang diperjanjikan (promissory

agreement) diantara 2 (dua) atau lebih pihak yang dapat


menimbulkan, memodifikasi atau menghilangkan hubungan

hukum.

            Ada pula yang memberikan pengertian pada Kontrak

seagai perjanjian atau serangkaian perjanjian dimana hukum

memberikan ganti rugi terhadap wanprestasi dari kontrak

tersebut, dan oleh hukum pelaksanaan dari kontrak tersebut

dianggap merupakan tugas yang harus dilaksanakan.

Dasar Hukum utama dari Kontrk terdapat dalam KUH Perdata.

Selain KUH Perdata, Sumber Hukum Kontrak adalah :

1. Peraturan perundang-undangan yang lainnya yang mengatur

jenis kontrak tertentu atau mengatur aspek tertentu dari

kontrak;

2. Yurisprrudensi, yaitu putusan-putusan hakim yang

memutuskan perkara berkenaan dengan kontrak;


3. Perjanjian Internasional, baik bersifat bilateral atau

multilateral, yang mengatur tentang aspek bisnis

internasional;

4. Kebiasaan-kebiasaan bisnis yang berlaku dalam praktek

sehari-hari,

5. Doktrin atau pendapat ahli yang telah dianut secara meluas;

6. Hukum adat didaerah tertentu sepanjang menyangkut

tentang kontrak-kontrak tradisional di pedesaan.

B. Kontrak dan Perikatan

Suatu perikatan timbul karena undang-undang maupun

karena kontrak atau perjanjian. Karena itu kontrak merupakan

perikatan.

Contoh perikatan berdasarkan undang-undang :

1. Perikatan yang menimbulkan kewajiban-kewajiban tertentu

diantara penghuni pekarangan yang saling berdampingan;


2. Perikatan menimbulkan kewajiban mendidik dan

memelihara anak;

3. Perikatan karena adanya perbuatan melewat hukum (onrecht

matigedaad);

4. Perikatan yang timbul karena perbuatan sukarela

(zaakwaarneming), sehingga perbuatan sukarela tersebut

harus dituntaskan;

5. Perikatan yang timbul dari perikatan wajar (naturlijke

verbintenisen)

C. Asas-Asas Kontrak

Asas hukum dalam suatu kontrak adalah :

1. Asas kontrak sebagai hukum mengatur;

Hukum mengatur adalah peraturan-peraturan hukum yang

berlaku bagi subjek hukum, misalnya para pihak dalam suatu

kontrak.
2. Asas sebagai Kebebasan Berkontrak;

Asas kebebasan berkontrak merupakan konsekuensi dari asas

berkontrak sebagai hukum mengatur; maksudnya bahwa para

pihak dalam suatu kontrak pada prinsipnya bebas untuk

membuat atau tidak membuat kontrak, demikian juga kebebasan

untuk mengatur kontrak tersebut. Asas kebebasan berkontrak

dibatasi oleh rambu-rambu;

1. Harus memenuhi syarat sebagai suatu kontrak

2. Tidak dilarang undang-undang

3. Tidak bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku

4. Harus dilaksanakan dengan itikad baik

5. Asas pacta sunt servanda;

Istilah “pacta sunt servanda” berarti janji itu mengikat,

perjanjian adalah undang-undang bagi para pihak. Mengikat

secara penuh atas kontrak yang dibuat para pihak tersebut


kekuatannya dianggap sama dengan kekuatan mengikat dari

suatu undang-undang.

4. Asas Konsensual;

Asas konsensual dari suatu kontrak adalah apabila suatu kontrak

telah dibuat maka telah dianggap sah dan mengikat secara

penuh, bahkan pada prinsipnya persayaratan tertulis pun tidak

disyaratkan hukum kecuali untuk beberapajenis kontrak tertentu

yang telah disyaratkan tertulis.

Syarat tertulis tersebut biasanya digunakan dalam :

1. Kontrak perdamaian

2. Kontrak pertanggungan

3. Kontrak penghibahan

4. Kontrak jual beli tanah

5. Asas Obligatoir
Asas obligatoir adalah suatu asas yang menentukan jika suatu

kontrak telah dibuat maka para pihak telah terikat, tetapi

keterikatannya itu hanya sebatas timbulnya hak dan kewajiban

saja; sedangkan prestasi belum dapat dituntut karena kontrak

kebendaan belum terjadi.Hukum Kontrak Indonesia

menggunakan asas ini karena kontrak Indonesia bersumber dari

KUH Perdata.

D. Syarat-Syarat Sahnya Kontrak

Persyaratan sahnya suatu kontrak meliputi :

1. Syarat sah yang objektif berdasarkan Pasal 1320 KUH

Perdata,

Unsurnya adalah :

 Perihal tertentu, dan

 Kausa yang halal.


2. Syarat sah yang subjektif berdasarkan Pasal 1320 KUH

Perdata,

Unsurnya adalah :

 Adanya kesepakatan kehendak dan

 Wewenang untuk berbuat

Kesepakatan kehendak dalam hal ini ada jika tidak terjadi unsur

paksaan (dwang, duress), penipuan (bedrog, fraud), dan

kesilapan (dwaling, mistake).

3. Syarat sah yang umum diluar Pasal 1320 KUH Perdata,

Beberapa syarat dalam hal ini adalah :

 Kontrak harus dilaksanakan dengan itikad baik

 Kontrak tidak boleh bertentangan dengan kebiasaan yang

berlaku

 Kontrak harus dilakukan berdasarkan asas kepatu han

 Kontrak tidak boleh melanggar kepentingan umum


4. Syarat sah yang Khusus,

 Syarat tertulis untuk kontrak – kontrak tertentu

 Syarat akta notaris untuk kontrak – kontrak tertentu

 Syarat akta pejabat tertentu (Selain notaris) untuk kontrak-

kontrak tertentu

 Syarat ijin dari pejabat yag berwenang untuk suatu kontrak

tertentu

E. Wanprestasi dan Perbuatan Melanggar Hukum

 Wanprestasi

Pengertian wanprestasi (breach of contract) adalah tidak

dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya

yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu

seperti yang disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.

Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap

timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang

melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi sehingga


oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu pihak pun yang

dirugikan karena wanprestasi tersebut.

Tindakan wanprestasi ini dapat terjadi karena :

– Kesengajaan;

– Kelalaian;

– Tanpa kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian)

Kecuali tidak dilaksanakan kontrak tersebut karena alasan-

alasan force majeure, yang umumnya memang membebaskan

pihak yang tidak memenuhi prestasi (untuk sementara atau

selama-lamanya).

 Perbuatan Melanggar Hukum (PMH)

PMH bisa terjadi di ranah hukum pidana, maupun hukum

perdata. Dalam tulisan ini yang dimaksud PMH adalah yang

dalam ranah hukum perdata. Menurut Munir Fuady (Fuady :

2002, hal. 3) Perbuatan Melawan Hukum adalah sebagai suatu

kumpulan dari prinsip-prinsip hukum yang bertujuan untuk

mengontrol atau mengatur perilaku bahaya, untuk memberikan


tanggung jawab atas suatu kerugian yang terbit dari interaksi

sosial, dan untuk menyediakan ganti rugi terhadap korban

dengan suatu gugatan yang tepat. PMH diatur dalam Pasal 1365

KUHPer, berbunyi “Tiap perbuatan yang melanggar hukum

dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang

yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk

menggantikan kerugian tersebut ”. Dahulu perbuatan melawan

hukum hanya terbatas pada perbuatan yang melanggar undang-

undang tertulis saja. Namun sejak tahun 1919, Hoge

Raad Belanda dalam perkara Lindenbaum v Cohen memperluas

penafsiran perbuatan melawan hukum sehingga perbuatan

melawan hukum tidak lagi terbatas pada perbuatan yang

melanggar undang-undang tapi juga mencakup salah satu

perbuatan sebagai berikut (Fuady : 2013, hal.6):

1. Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain

2. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya

sendiri
3. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan;

4. Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau

keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik.

Berdasarkan hal-hal di atas, dapat dipahami unsur-unsur

Perbuatan Melawan Hukum sebagai berikut (ibid, hal 10.):

1. Adanya suatu perbuatan;

2. Perbuatan tersebut melawan hukum;

3. Adanya kesalahan pihak pelaku;

4. Adanya kerugian bagi korban;

5. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian.

F. Perbedaan Wanprestasi dan Perbuatan Melanggar

Hukum

M.A. Moegni Djojodirdjo dalam bukunya yang berjudul

“Perbuatan Melawan Hukum”, berpendapat bahwa amat penting

untuk mempertimbangkan apakah seseorang akan mengajukan


tuntutan ganti rugi karena wanprestasi atau karena perbuatan

melawan hukum.

Menurut Moegni, akan ada perbedaan dalam pembebanan

pembuktian, perhitungan kerugian, dan bentuk ganti ruginya

antara tuntutan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum.

Dalam suatu gugatan perbuatan melawan hukum, penggugat

harus membuktikan semua unsur-unsur perbuatan melawan

hukum selain harus mampu membuktikan adanya kesalahan

yang diperbuat debitur. Sedangkan dalam gugatan wanprestasi,

penggugat cukup menunjukkan adanya wanprestasi atau adanya

perjanjian yang dilanggar.

Kemudian dalam suatu gugatan perbuatan melawan hukum,

penggugat dapat menuntut pengembalian pada keadaan semula

(restitutio in integrum). Namun, tuntutan tersebut tidak diajukan

apabila gugatan yang diajukan dasarnya adalah wanprestasi.


*Perbedaan Wanprestasi dan Perbuatan Melanggar Hukum

(PMH)

Anda mungkin juga menyukai