Anda di halaman 1dari 8

TUGAS INDIVIDU

BAHASA INDONESIA

OLEH:

NAMA: PUJI PERMATA SARI

NPM: C1A021018

PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS BENGKULU
1. PENGERTIAN EJAAN

Ejaan ialah penggambaran bunyi bahasa dengan kaidah tulis-menulis yang


distandardisasikan. Lazimnya, ejaan mempunyai tiga aspek, yakni aspek fonologis yang
menyangkut penggambaran fonem dengan huruf dan penyusunan abjad. Aspek morfologi
yang menyangkut penggambaran satuan-satuan morfemis dan aspek sintaksis yang
menyangkut penanda ujaran tanda baca (Haryatmo Sri, 2009).

Ejaan ialah penggambaran bunyi bahasa dengan kaidah tulis-menulis yang


distandardisasikan. Lazimnya, ejaan mempunyai tiga aspek, yakni aspek fonologis yang
menyangkut penggambaran fonem dengan huruf dan penyusunan abjad.

Dalam buku Konsep Dasar Bahasa Indonesia (2019) karya Yunus Abidin, ejaan
merupakan aturan yang melambangkan bunyi bahasa menjadi bentuk huruf, kata serta
kalimat. Ejaan juga bisa diartikan sebagai kumpulan peraturan penulisan huruf, kata serta
penggunaan tanda baca. Mengutip dari buku Esai Penerapan Ejaan Bahasa Indonesia (2020)
karya Widya Fitriantiwi, yang dimaksud ejaan adalah kaidah yang harus dipatuhi oleh
pemakai bahasa supaya keteraturan dan keseragaman dalam penulisan bahasa dapat tercapai.

2. EJAAN VAN OPHUIJSEN

Ejaan Van Ophuijsen atau Ejaan Lama merupakan macam ejaan yang pernah dipakai


untuk bahasa Indonesia. Ejaan ini dipakai untuk menuliskan kata-kata Melayu menurut model
yang dipahami oleh orang Belanda, yaitu menggunakan huruf Latin dan bunyi yang
menyerupai dengan tuturan Belanda, selang lain:

 huruf 'j' untuk menuliskan bunyi 'y', seperti pada kata jang, pajah, sajang.

 huruf 'oe' untuk menuliskan bunyi 'u', seperti pada kata-


kata goeroe, itoe, oemoer (kecuali diftong 'au' tetap ditulis 'au').

 tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan bunyi hamzah,
seperti pada kata-kata ma'moer, ‘akal, ta’, pa’, dinamaï.
Huruf hidup yang diberi titik dua diatasnya seperti ä, ë, ï dan ö, menandai bahwa huruf
tersebut dibaca sebagai satu suku kata, bukan diftong, sama seperti ejaan Bahasa Belanda
hingga masa ini.

1) Sejarah Singkat

Pada tahun 1901 disiapkan pembakuan ejaan bahasa Indonesia yang pertama kali


oleh Prof. Charles van Ophuijsen dibantu oleh Engku Nawawi gelar Sutan Makmur dan Moh.
Taib Sultan Ibrahim. Hasil pembakuan mereka yang dikenal dengan Ejaan Van
Ophuijsen ditulis dalam sebuah buku. Dalam kitab itu dimuat sistem ejaan Latin untuk bahasa
Melayu di Indonesia.

Van Ophuijsen merupakan seorang pandai bahasa berkebangsaan Belanda. Ia pernah


berlaku inspektur sekolah di maktab perguruan Bukittinggi, Sumatera Barat, selanjutnya
menjadi profesor bahasa Melayu di Universitas Leiden, Belanda. Setelah menerbitkan Kitab
Logat Melajoe, van Ophuijsen selanjutnya menerbitkan Maleische Spraakkunst (1910). Buku
ini selanjutnya diartikan oleh T.W. Kamil dengan judul Atur Bahasa Melayu dan menjadi
panduan untuk pemakai bahasa Melayu di Indonesia.

Ejaan ini akhir-akhirnya digantikan oleh Ejaan Republik pada 17 Maret 1947.

2) Pro-Kontra Ejaan van Ophuysen

Layaknya pro dan kontra, ada yang sepakat dan menolak, hal itu terjadi pada karya
Ophuijsen ini. Meskipun jasa Ophuijsen ini begitu besar, ada juga yang menudingnya sebagai
arsitek yang telah menggusur varian bahasa Melayu lain. Joss Wibisono, sejarawan,
menyalahkan Ophuijsen sebagai pihak yang menjadikan derajat bahasa Melayu Riau (Riouw
Maleisch) lebih tinggi daripada Melayu pasar (laag Maleis) yang memang digunakan secara
meluas oleh khalayak di Nusantara dulu. Bagi Joss, Melayu Riau itu mitos, dan hanya
ditemui di karya sastra (yang nanti setelah dibakukan oleh Belanda kemudian disebarluaskan
melalui novel-novel terbitan Balai Pustaka).

3. EJAAN SOEWANDI

Ejaan ini disebut sebagai Ejaan Soewandi karena diresmikan tanggal 17 Maret 1947 oleh
Menteri, Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan saat itu, yaitu Raden Soeawandi,
menggantikan ejaan Ophuijsen. Sebenarnya nama resminya adalah ejaan Republik, namun
lebih dikenal dengan ejaan Soewandi.

1) Faktor Pemicu Hadirnya Ejaan Soewandi

Menteri yang sebenarnya ahli hukum dan merupakan notaris pertama bumiputera ini
punya alasan mencanangkan ejaan ini. Faktor kebangsaan Indonesia yang sudah merdeka dan
ingin mengikis citra Belanda yang diwakili oleh ejaan Ophuijsen membuat pentingnya
adanya perubahan ejaan di bahasa kita. Apalagi, saat itu Londo sedang sirik-siriknya melihat
pencapaian kemerdekaan mantan negara jajahannya ini hingga datang lagi ke Indonesia
dengan memboncengi sekutu (tahun 1947). Semakin jelek deh impresi Belanda yang
terwakilkan dalam ejaan Ophuijsen.

2) Ciri-ciri Ejaan Soewandi

 Huruf oe diganti dengan u pada kata-kata dulu, aku, Sukarni, republik (doeloe, akoe,


dan repoeblik)

Perubahan ejaan ini mendapat pertentangan dari orang-orang yang namanya


menggunakan ejaan oe. Sebagian tetap mempertahankan menggunakan ejaan Ophuijsen
untuk nama mereka meskipun ejaan Republik sudah diberlakukan.

 Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2 seperti pada mobil2, ber-jalan2, ke-barat2-an.

 Awalan di- dan kata depan di keduanya ditulis serangan dengan kata yang
menyertainya.

 Penghapusan tanda diakritis atau pembeda antara huruf vokal tengah / yang
disebut schwa oleh para linguis atau e ‘pepet’ disamakan dengan e ‘taling’.

4. EJAAN MELINDO

Sejak Kongres bahasa tahun 1954 di Medan dan dihadiri oleh delegasi Malaysia,
maka mulailah ada keinginan di antara dua penutur Bahasa Melayu ini untuk menyatukan
ejaan. Keinginan ini semakin kuat sejak Malaysia merdeka tahun 1957 dan kita pun
menandatangani kesepakatan untuk membicarakan ejaan bersama tahun 1959-nya.
Sayangnya, karena situasi politik kita yang sedang memanas, akhirnya ditangguhkan dulu
pembahasannya. Hal lain yang membuat ejaan ini kurang cocok adalah perubahan huruf-
huruf yang dianggap aneh. Misalnya, kata “menyapu” akan ditulis “meɳapu”; “syair” ditulis
“Ŝyair”; “ngopi” menjadi “ɳopi”; atau “koboi” ditulis “koboy”. Mungkin aneh karena belum
biasa dan harus menyesuaikan diri lagi. Tapi, akhirnya, usulan yang mustahil dilaksanakan
ini dengan cepat ditinggalkan.

Ejaan Melindo adalah sistem ejaan Latin yang termuat dalam Pengumuman Bersama


Edjaan Bahasa Melaju-Indonesia (Melindo) (1959) sebagai hasil usaha penyatuan sistem
ejaan dengan huruf Latin di Indonesia dan Persekutuan Tanah Melayu. Keputusan ini
dilaksanakan dalam Kontrak Persahabatan Indonesia dan Malaysia pada tahun 1959. Sistem
ini tidak pernah sampai dilaksanakan.

Hal yang lain ialah bahwa di dalam Ejaan Melindo gabungan konsonan tj, seperti pada
istilah tjinta, di atas namakan dengan c terjadi cinta, juga gabungan konsonan nj seperti
njonja, di atas namakan dengan huruf nc, yang sama sekali masih baru. (Dalam Ejaan
Pembaharuan kedua gabungan konsonan itu di atas namakan dengan ts dan ń.)

Konsep ejaan ini dikenal pada akhir tahun 1959. Perkembangan politik yang kurang baik
selama tahun-tahun berikutnya menjadikan ejaan ini urung digunakan.

5. EJAAN BAHASA INDONESIA YANG DISEMPURNAKAN

a. Ciri-ciri EYD

Jika biasanya Djajalah Indonesia!, maka sesuai EYD diubah menjadi Jayalah Indonesia!.
Perubahan ejaan dj menjadi j pun tak terhindarkan. Jika dalam teks proklamasi 1945 dulu
masih tertulis “Djakarta, hari 17……”, maka diubah menjadi “Jakarta, hari 17…..”.

Untuk sebagian orang tetap mengeja namanya jika mengandung ejaan dj.


Misalnya, Djojobojo alih-alih Joyoboyo; Selain itu, ejaan nj juga diubah menjadi ny,
sehingga penulisan njonja menjadi nyonya; Hal ini juga berlaku untuk ejaan kata ch dan
menyesuaikan diri menjadi kh. Kalau dulu achirnya, sekarang menjadi akhirnya.

 Perubahan Huruf

 Huruf-huruf di bawah ini, yang sebelumnya sudah terdapat dalam Ejaan Soewandi
sebagai unsur pinjaman abjad asing, diresmikan pemakaiannya. Contohnya, maaf,
fakir

 Huruf-huruf q dan x yang lazim digunakan dalam ilmu eksakta tetap dipakai.

 Penulisan di- atau ke- sebagai awalan dan di atau ke sebagai kata depan dibedakan,
yaitu di- atau ke- sebagai awalan ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya,
sedangkan di atau ke sebagai kata depan ditulis terpisah dengan kata yang
mengikutinya.

 Kata ulang ditulis penuh dengan huruf, tidak boleh digunakan angka 2. Contoh: anak-
anak, meloncat-loncat, berjalan-jalan.

Secara umum, hal-hal yang diatur dalam EYD adalah:

1. Penulisan huruf, termasuk huruf kapital dan huruf miring.

2. Penulisan kata.

3. Penulisan tanda baca.

4. Penulisan singkatan dan akronim.

5. Penulisan angka dan lambang bilangan.

6. Penulisan unsur serapan.


b. Pro-Kontra EYD

Pemberlakuan EyD bukan tanpa kritik, bagi pengritik zaman Orba, EyD dianggap sebagai
produk Soeharto yang “sukses” mengatur cara pikir masyarakatnya. Ketika aturan berbahasa
sudah seragam dan terstandar, pemerintah akan mudah mengatur masyarakatnya. Itulah yang
menyebabkan indonesianis, Benedict Anderson, yang sangat anti-Soeharto menjadi oposisi
EYD.

Salah satu bentuk perlawanannya, ia tuangkan melalui tulisan bergaya ejaan Suwandi.
Menurutnya, pemberlakuan EYD adalah bentuk ketakutan Soeharto terhadap pengaruh
Soekarno kala itu. Memang, sejak Soeharto berkuasa, ada kecenderungan segala bentuk ke-
Soekarno-an dihilangkan. Ada juga sebagian pengamat sejarah politik yang menduga, bahwa
dengan membiasakan masyarakat Indonesia baca-tulis dengan ejaan yang baru tanpa dj, tj,
cha atau nj akan membuat masyarakat malas membaca tulisan-tulisan era sebelum Orde Baru.

6. PEDOMAN UMUM EJAAN BAHASA INDONESIA

Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) yang menjadi
pedoman penggunaan bahasa indonesia sejak tahun 1972 kini sudah resmi tidak berlaku.
EYD sudah diperbaharui menjadi Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI),
terhitung sejak diberlakukannya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia Nomor 50 Tahun 2015 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia.

Tujuan atau alasan dari berubahnya Pedoman EYD menjadi PUEBI adalah pertama
karena adanya kemajuan teknologi seiring kemajuan zaman dan kedua untuk memantapkan
fungsi dari bahasa Indonesia itu sendiri. Beberapa hal yang menjadi isi dalam PUEBI
meliputi, penggunaan huruf, penggunaan kata, penggunaan tanda baca, serta penggunaan kata
serapan. 

Tidak banyak perbedaan Ejaan Bahasa Indonesia dengan Ejaan yang Disempurnakan.


EBI hanya menambahkan aturan untuk huruf vokal diftong dan penggunaan huruf tebal. Pada
EYD, huruf diftong hanya tiga yaitu ai, au, oi, sedangkan pada EBI, huruf diftong ditambah
satu yaitu ei (misalnya pada kata geiser dan survei). Untuk penggunaan huruf tebal, dalam
EYD, fungsi huruf tebal ada tiga, yaitu menuliskan judul buku, bab, dan semacamnya,
mengkhususkan huruf, serta menulis lema atau sublema dalam kamus. Dalam EBI, fungsi
ketiga dihapus.

7. PERATURAN-PERATURAN TENTANG PENGGUNAAN BAHASA


INDONESIA

Peraturan penggunaan Bahasa Indonesia telah diatur dalam Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 63 tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia yang ditetapkan pada
tanggal 30 September 2019 di Jakarta oleh Presiden Joko Widodo. Perpres 63 tahun 2019
tentang Penggunaan Bahasa Indonesia mulai berlaku pada tanggal diundangkannya yaitu
pada tanggal 30 September 2019 di Jakarta oleh Menkumham Yasonna H. Laoly. Perpres 63
tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia ditempatkan dalam Lembaran Necara
Replitslik Indonesia Tahun 2019 Nomor 180. Agar setiap orang mengetahuinya.

1. Penggunaan Bahasa Indonesia harus memenuhi kriteria Bahasa Indonesia yang baik
dan benar.

2. Bahasa Indonesia yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Bahasa
Indonesia yang digunakan sesuai dengan konteks berbahasa dan selaras dengan nilai
sosial masyarakat.

3. Bahasa Indonesia yang benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Bahasa
Indonesia yang digunakan sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia.

4. Kaidah Bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi kaidah tata
bahasa, kaidah ejaan, dan kaidah pembentukan istilah.

5. Ketentuan mengenai kaidah Bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
diatur dengan Peraturan Menteri.

Anda mungkin juga menyukai