Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an merupakan pokok asasi bagi syariat Islam dan sebagai

sumber hukum yang paling utama dalam masalah pokok-pokok syariat dan

cabang-cabangnya.1 Allah menerangkan kaidah-kaidah syaria’at dan hukum-

hukumnya yang tidak berubah-ubah karena perubahan masa dan tempat,

mencakup segenap manusia yang tidak terbatas untuk suatu golongan atau

bangsa saja. Berbagai aspek kehidupan manusia diatur di dalamnya; baik

mengenai urusan akhirat maupun urusan dunia. Di dalam penjelasannya

terkadang bersifat mujmal dan terkadang berifat mufashshal.2 Di antara aspek

yang disinggung di dalamnya ialah syura (musyawarah).

Syura sudah dikenal oleh masyarakat Arab jahiliyah sejak sebelum

bi’tsah Rasulullah saw. Pada saat itu, mereka mempunyai sebuah forum

musyawarah yang diselenggarakan di rumah Qusay ibn Kilab yang disebut

Dar al-Nadwah, yang dihadiri para pembesar dan orang-orang yang dianggap

sebagai orang yang bijak dan berpengaruh. Dalam forum tersebut dibicarakan

1
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-
Qur’an dan Tafsir, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 147.
2
Ibid., hlm. 114.

1
2

pelbagai persoalan yang ada di dalam masyarakat waktu itu, termasuk

masalah pemilihan pemimpin.3

Setelah masa kenabian, syura juga menjadi suatu kebutuhan yang

sangat urgen. Bahkan musyawarah merupakan perintah dari Allah kepada

Rasulullah dan para sahabatnya. Allah berfirman, “…Wa syaawirhum fil

amri….”4 Dalam ayat ini, Rasulullah saw. diperintahkan untuk

bermusyawarah dengan para sahabatnya agar mereka senantiasa mengikuti

jejak beliau untuk bermusyawarah dan agar musyawarah menjadi sunnah bagi

umatnya.5

Pengertian syura dewasa ini seringkali dikaitkan dengan sistem

demokrasi dan parlementer. Dawam Rahardjo, dalam ensiklopedi al-Qur’an

memandang bahwa syura merupakan suatu forum, di mana setiap orang

mempunyai kemungkinan untuk terlibat dalam urun rembug, tukar pikiran,

membentuk pendapat dan memecahkan suatu persoalan bersama atau

musyawarah, baik masalah-masalah yang menyangkut kepentingan maupun

nasib anggota masyarakat yang bersangkutan. Menurutnya juga, penafsiran

terhadap istilah syura atau musyawarah nampaknya mengalami

perkembangan dari waktu ke waktu. Bahkan pengertian dan persepsi tentang

kata yang syarat makna ini mengalami evolusi. Evolusi itu terjadi sesuai

dengan perkembangan pemikiran, ruang, dan waktu. Pada saat ini, pengertian

musyawarah dikaitkan dengan beberapa teori politik modern, seperti sistem

3
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia Al-Qur’an; Tafsir Al Qur’an Berdasarkan
Konsep-Konsep Kunci (Jakarta: Paramadina, 2002), hlm. 445-446.
4
QS. Ali Imran [3]: 159.
5
Muhammad Ridha, Sirah Nabawiyah, terj. Anshori Umar Sitanggal, (Bandung:
Irsyad Baitus Salam, 2004), hlm. 911.
3

republik, demokrasi, parlemen, sistem perwakilan, senat, formatur, dan

berbagai konsep yang berkaitan dengan sistem pemerintahan dari rakyat, oleh

rakyat, dan untuk rakyat.6

Maskuri bahkan menyimpulkan bahwa semua intelektual Muslim

Indonesia menerima sistem demokrasi dan bahkan mendukungnya sebagai

sistem yang harus dipraktikkan dalam masyarakat Islam. Menurutnya pula,

dukungan mereka terhadap demokrasi ini didasarkan pada dua alasan.

Pertama, nilai-nilai demokrasi ini sejalan dengan nilai-nilai Islam kehidupan

sosial, terutama prinsip musyawarah (QS. Al Baqarah (3): 159 dan Asy-Syura

(42): 38), kedua, sistem demokrasi ini merupakan cara yang tepat untuk

mengartikulasikan aspirasi Islam, karena umat Islam adalah mayoritas di

Indonesia, sedangkan pengertian demokrasi sendiri mengandung pengertian

pemerintahan mayoritas (majority rule).7

Sementara di sisi lain, Zaim Saidi memandang bahwa demokrasi

dianggap hanya sebagai alat pengorganisasian masyarakat tiranik (menindas)

yang berlangsung melalui satu mesin kekuasaan modern yang dirancang

dalam struktur negara fiskal.8 Bahkan ia lebih tegas lagi mengatakan bahwa

bentuk demokrasi yang sebenarnya yang sesuai dengan makna demos dan

kratos (kekuasaan oleh rakyat) hanya berlaku pada zaman Yunani Kuno

dahulu kala, yang berada pada konteks tertentu—negara kota dengan jumlah

6
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia Ensiklopedia Al-Qur’an…., op. cit., hlm. 440.
7
Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual
Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993) (Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana, 1999), hlm. 307-308.
8
Zaim Saidi, Ilusi Demokrasi: Kritik dan Otokritik Islam, (Jakarta: Penerbit
Republika, 2007), hlm. 4.
4

penduduk terbatas. Di sini tidak mengenal perwakilan rakyat karena semua

penduduk terlibat langsung dalam mengambil keputusan. Adapun dalam

demokrasi modern, para wakil rakyat bersikap accountable atas semua

keputusan politiknya, dan selalunya mengatasnamakan rakyat dalam setiap

keputusannya untuk menghindari tanggung jawab.9

Sebagaimana halnya, Abu Al A’la Al Maududi menolak pendapat

bahwa demokrasi merupakan padanan kata dari syura dengan memandang

beberapa sisi. Di antaranya ialah bahwa dalam demokrasi, semua rakyat dapat

menyuarakan pendapat mereka sebebas-bebasnya, sementara di dalam Islam

bahwa kebebasan manusia dibatasi oleh Allah SWT. Oleh karena itu,

menyamakan demokrasi dengan syura merupakan bentuk kesyirikan oleh

sebab menyekutukan kekuasaan Allah. Menurut pendapat itu pula, demokrasi

Barat jelas tidak hanya tidak sesuai dengan Islam, bahkan bertentangan

dengan nilai-nilai ajaran Islam.10

Senada dengan Al-Maududi, Talbi berpendapat bahwa mustahil bagi

kita untuk menyamakan syura dengan demokrasi dalam keadaan

bagaimanapun. Di antara sebabnya ialah bahwa demokrasi ditegakkan

berdasarkan suara terbanyak, sedangkan syura, apabila dianalisis akan

berbeda karena syura lebih mengedepankan urun rembug.11

9
Ibid., hlm. 7.
10
Abu al-A’la al Maududi, Hukum dan konstitusi; Sistem Politik Islam, terj. Asep
Hikmah (Bandung, Mizan, 1993), hlm. 158-161.
11
John Cooper, Ronald Nettler, Mohammed Mahmoud, Islam and Modernity;
Muslim Intelectuals Respond. Terj. Islam dan Kemodenan; Pandangan Intelektual Islam
(Kuala Lumpur: Institut Terjemahan Negara Malaysia Berhad, 2009), hlm. 142.
5

Sukron Kamil menyimpulkan di dalam bukunya, Islam dan

Demokrasi; Telaah Konseptual dan Historis, bahwa dalam pemikiran tentang

demokrasi, ada tiga kelompok pemikiran, yaitu kelompok yang menolak,

yang menyetujui prinsip-prinsipnya tetapi mengakui adanya perbedaan, dan

yang menerima sepenuhnya. Menurutnya, orang-orang yang menolak

demokrasi beralasan bahwa prinsip persamaan demokrasi dalam

kenyataannya tidak mungkin, Islam adalah jalan hidup yang telah sempurna

dan tidak perlu adanya legislasi dari yang lain; Tuhan berdaulat penuh, baik

sunnatullah maupun hukum-hukum wahyunya; syura tidak sama dengan

demokrasi; demokrasi adalah berasal dari Barat dan hanya merupakan alat

Barat semata. Di antara yang menolak ialah Syaikh Fadhallah Nuri, Sayyid

Quthb, al Sya’rawi, Ali Benhadji, dan Thabathabai. Selanjutnya, pemikiran

yang kedua melihat masih ada persamaan antara Islam dan Demokrasi

dikarenakan adanya kemiripan-kemiripan, di antaranya ialah prinsip

persamaan, keadilan, musyawarah, dan akuntabilitas. Hanya saja bedanya

ialah terletak pada kedaulatan. Di dalam demokrasi, kedaulatan adalah mutlak

di tangan rakyat, sementara di dalam Islam dibatasi dengan hukum-hukum

Allah (syariah). Berbeda lagi dengan kelompok yang ketiga yang menyatakan

bahwa ajaran Islam dengan paham demokrasi bisa dipadukan. Bahkan,

menurut kelompok ini bahwa demokrasi sebenarnya dicanangkan pertama

kali oleh Islam.12

12
Sukron Kamil, Islam dan Demokrasi; Telaah konseptual dan historis. (Jakarta:
Gaya Media Pratama, cet. 1), hlm. 195-196.
6

Sementara jika kita melihat istilah syura sendiri, di dalam ayat-ayat

Al-Qur’an terdapat term yang mempunyai akar kata syûrâ terdapat dalam tiga

tempat, yaitu; QS. al-Baqarah (2): 233 yang di dalamnya terdapat term

tasyâwur; QS. Ali Imrân (3): 159 yang di dalamnya terdapat term syâwir; dan

QS. al-Syûra (42): 38 yang di dalamnya terdapat term syûra.13 Adapun kata di

dalam Al-Qur’an yang artinya identik dengan syura di antaranya ialah QS.

Al-Qaṣaṣ (28): 20 yang di dalamnya terdapat kata ya`tamirûna yang berarti

mereka sedang berunding, dan QS. (65): al-Ṭalâq: 6 yang di dalamnya

terdapat kata i`tamirû yang berarti bermusyawarahlah kalian. Oleh karena itu,

untuk mengkaji lebih mendalam mengenai syura maka sangatlah penting

meneliti term syûrâ yang terdapat di dalam al-Qur’an.

Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab dan bahkan susunan

bahasanya pun tidak dapat ditandingi oleh orang-orang Arab sekali pun,

namun dalam hal ini kita tetap perlu memahami uslub-uslub Arab dalam

meng-istinbath-kan hukum dari Al-Qur’an.14 Perdebatan mengenai syura pun

disebabkan karena tidak ada kesepakatan mengenai definisi syura15. Oleh

sebab itu, penting untuk mengembalikan terminologi syura kepada uslub

dalam bahasa Arab.

Oleh sebab itu, kajian ini akan lebih spesifik membahas tentang

konsep syura menurut pandangan Hamka dan Quraish Shihab khususnya di

13
Azharuddin Sahil, Indeks Al-Qur’an: Panduan Mudah Mencari Ayat dan Kata
Dalam Al Qur’an, (Jakarta: Mizan Pustaka. Cet. I, 2007), hlm. 553.
14
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, op. cit., hlm. 148.
15
Taufiq Asy-Syawi, Syura Bukan Demokrasi, (Jakarta: Gema Insani Press, cet. 1,
1997), hlm. 15.
7

dalam Tafsir al-Azhar dan Tafsir al-Mishbah. Kajian ini menjadi menarik

karena keduanya adalah penafsir kontemporer yang produktif dalam

membicarakan diskursus Al-Qur’an melalui buku tafsir mereka dan gagasan

mereka cukup banyak mewarnai aliran-aliran pemikiran di Indonesia.

Kajian ini akan menelaah mengenai pemikiran kedua tokoh tersebut,

yang nantinya akan dikaji bagaimana pendapat mereka tentang konsep syura,

apakah ada persamaan atau perbedaan persepsi antara keduanya, sekaligus

relevansinya dengan sistem pemerintahan saat ini.

B. Rumusan Masalah

Untuk lebih fokus terhadap pembahasan pada penelitian ini yang telah

diuraikan pada latar belakang, maka perlu adanya batasan masalah pada ayat-

ayat syura dalam tafsir al-Azhar dan tafsir al-Mishbah. Term syûrâ terdapat

dalam tiga tempat. Penelitian ini akan difokuskan pada tiga ayat tersebut,

yaitu; QS. al-Baqarah (2): 233, QS. Ali Imrân (3): 159, dan QS. al-Syûra

(42): 38.

Agar lebih terfokus, maka permasalahan yang akan dibahas

diformulasikan dalam beberapa bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana penafsiran Hamka dan M. Quraish Shihab tentang ayat-ayat

syura dalam tafsir al-Azhar dan al-Mishbah?

2. Apa persamaan dan perbedaan penafsiran tentang ayat-ayat syura versi

Hamka dan versi Quraish Shihab dalam kedua tafsirnya?

3. Bagaimana relevansi penerapan syura di Indonesia?


8

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Sehubungan dengan rumusan masalah tersebut, maka penelitian ini

mempunyai tujuan untuk:

1. Menelaah penafsiran Hamka dalam tafsir al-Azhar dan penafsiran Quraish

Shihab dalam tafsir al-Mishbah mengenai ayat-ayat syura.

2. Mengetahui persamaan dan perbedaan dengan mengomparasikan kedua

penafsiran tersebut.

3. Mengetahui relevansi penafsiran keduanya dalam penerapan syura di

Indonesia.

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat akademik, untuk memperkaya khazanah keilmuan tentang

pemahaman syura, khususnya pemikiran Hamka dan M. Quraish Shihab

dalam tafsir al-Azhar dan tafsir al-Mishbah. Serta bisa dijadikan bahan

perbandingan penelitian yang berkenaan dengan pemikiran tokoh dalam

hal syura.

2. Manfaat Praktis, untuk memberikan konstribusi pemikiran serta bahan

rujukan bagi peneliti selanjutnya dan masyarakat sosial untuk

menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang berkenaan dengan

syura.

D. Telaah Pustaka

Setelah melakukan pemeriksaan pustaka, ditemukan penelitian-

penelitian terdahulu yang terkait dengan syura dalam bentuk tesis, papper,
9

buku, dan artikel. Di antaranya ialah hasil penelitian M. Syafi’i Anwar yang

diterbitkan dalam buku berjudul Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia; Sebuah

Kajian Politik Tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru. Buku ini merupakan

tesis MA pada Program Studi Ilmu Politik Pasca Sarjana Universitas

Indonesia. Buku ini menyinggung kajian tentang syura menurut Syafi’i

Ma’arif, bahwa pada dasarnya, syura merupakan gagasan politik utama dalam

Islam. Menurutnya, jika konsep syura ditransformasikan dalam kehidupan

modern sekarang maka sistem politik demokrasi adalah lebih dekat dengan

cita-cita politik Qur’ani, sekalipun ia tidak selalu identik dengan praktik

demokrasi Barat. Dengan berpijak pada pendapat Muhammad Iqbal dan

Fazlur Rahman, Syafi’i merasa yakin dan menerima sistem politik demokrasi.

Dia juga tidak mempersoalkan bentuk demokrasi yang bagaimanakah yang

diterapkan, asalkan betul-betul bisa menjalankan prinsip syura. Buku ini juga

mengupas pemikiran Dawam Raharjo mengenai demokrasi. Dawam tidak

terlalu mempersoalkan aspek-aspek normatif dari hubungan Islam dan

demokrasi. Ia melihat bahwa demokrasi merupakan sistem yang terbuka dan

bersifat universal sehingga tidak perlu mengaitkannya dengan klaim-klaim

ideologis.16 Buku ini tidak menyinggung pemikiran Hamka ataupun M.

Quraish Shihab. Adapun penelitian yang akan dilaksanakan nanti akan

mengungkap pemikiran Hamka ataupun M. Quraish Shihab.

Tesis hasil penelitian Muhammad Damami berjudul Tasawuf Positif

dalam Pemikiran Hamka. Tesis ini mengetengahkan beberapa pengalaman


16
M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia; Sebuah Kajian Politik
Tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1995), hlm. 223-
226.
10

politik Hamka dalam dalam beberapa organisasi politik yang tentunya

memberikan pengaruh terhadap pemikiran politiknya.17 Adapun penelitian

yang akan dilaksanakan nanti justru akan membahas bagaimana konsep syura

menurut Hamka dan tentunya juga menurut M. Quraish Shihab.

Tesis karya Mukhlis berjudul Corak Pemikiran Hamka Tentang

Pluralitas Agama (Rekonstruksi dari Tafsir Al-Azhar) menyimpulkan bahwa

mainstream pemikiran Hamka yang tertuang dalam tafsir Al-Azhar inklusif

dengan kecenderungan ke arah pluralis. Tesis ini tidak menyentuh sama

sekali mengenai penafsiran syura.18 Berbeda dengan penelitian yang akan

dilakukan yang akan mengupas mengenai syura.

Buku yang membahas tentang syura ialah buku karya Munawir

Sjadzali berjudul Islam dan Tata negara; Ajaran Sejarah dan Pemikiran.

Dalam buku ini, ia mengupas kesejarahan konsep syura dalam Islam yang

pada akhirnya menemukan beberapa unsur yang bisa dijadikan landasan

pemerintahan, di antaranya ialah kedudukan manusia, musyawarah (syura),

ketaatan kepada pemimpin, keadilan, persamaan, dan hubungan antar umat.19

Buku Politik Bermoral Agama: Tafsir Politik Hamka, karya Ahmad

Hakim dan M. Thalhah, dikupas mengenai pokok-pokok pemikiran Hamka

tentang politik yang dibagi menjadi lima pemikiran yang dikaitkan dengan

sistem ketatanegaraan yang ada di Indonesia, yaitu: 1) Syura, 2) Negara dan

17
Muhammad Damami, Tasawuf Positif, dalam Pemikiran Hamka (Yogyakarta:
Fajar Pustaka Baru, 2000).
18
Mukhlis, Corak Pemikiran Hamka Tentang Pluralitas Agama, Rekonstruksi dari
Tafsir Al-Azhar (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga)
19
Muawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran Sejarah dan Pemikiran (Jakarta:
UII Press, 1993).
11

kepala negara, 3) Agama dan Negara, 4) Hubungan Internasional, 5) Politik

Bermoral.20

Buku berjudul Syura Bukan Demokrasi karya Taufiq asy-Syawi cukup

menarik untuk dikaji. Pandangannya sangat berbeda dengan para pemikir

yang menerima demokrasi sebagai padanan kata bagi syura. Di dalam buku

tersebut dikaji secara mendalam mengenai syura, mulai dari sisi bahasa

sampai dengan penerapan syura sebagai sebuah konsep pemerintahan di

dalam Islam. Pada akhir pembahasan, disimpulkan bahwa syura tidak bisa

disamakan dengan demokrasi.21

Penelitian lain selain judul-judul di atas ialah penelitian dalam bentuk

skripsi22, tetapi sejauh ini tidak ditemukan pembahasan mengenai studi

komparatif pemikiran Hamka dan M. Quraish Shihab tentang syura.

20
Ahmad Hakim, M. Thalhah, Politik Bermoral Agama: Tafsir Politik Hamka
(Yogyakarta UII Press, 2005).
21
Taufiq Asy-Syawi, Syura Bukan Demokrasi, (Jakarta: Gema Insani Press, cet. 1,
1997).
22
Hasil Penelitian dalam bentuk skripsi di antaranya ialah hasil penelitian Achmad
Syahrul, Penafsiran Hamka Tentang Syura Dalam Tafsir Al-Azhar (Yogyakarta: UIN Sunan
Kalijaga, 2009), menyimpulkan bahwa syura merupakan dasar pemerintahan dalam
pembangunan masyarakat dan Negara Islam, walaupun dalam pemikirannya –menurut
Syahrul– Hamka tidak menginginkan negara Islam. Syura juga merupakan sifat sekaligus
dasar sebuah masyarakat muslim. Hamka memandang bahwa aplikasi syura harus
memperhitungkan konteks, yaitu keadaan tempat dan keadaan zaman. Disimpulkan juga
bahwa pelaksanaan syura di dalam Islam mempunyai kesinkronan dengan sistem
permusyawaratan yang berlaku di Indonesia.
Anang Masduki, Konsep Musyawarah Dalam Surat Ali Imran Ayat 19 Menurut
Tafsir Al Mishbah (Yogyakarta: Skripsi, Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga), menyimpulkan
bahwa konsep musyawarah sebagaimana terdapat dalam surah Ali Imran: 159 merupkan
konsep musyawarah dalam bentuk ideal yang perlu diterapkan dalam kehidupan
bermasyarakat dan berorganisasi. Konsep musyawarah yang ditawarkan oleh Quraish Shihab
adalah kekonsistenannya untuk selalu mengaitkan dengan kondisi sosial kemasyarakatan di
mana masyarakat tersebut tinggal sehingga teks Al-Qur’an selalu sesuai dengan tuntutan
zaman dan menjadi solusi bagi masyarakat.
Irkham Khumaidi, Studi Komparatif Penafsiran Muhammad ‘Abied al-Jabiri dan
Muhammad Syahrur tentang Syura (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2006), menyimpulkan
bahwa al-Jabiri menolak sepenuhnya bahwa syura sama dengan demokrasi, akan tetapi ia
menerima dan mendukung demokrasi untuk diterapkan di negara Arab-Islam. Sama halnya
12

Oleh karena itu, dirasa perlu meneliti penafsiran tentang syura oleh

kedua tokoh mufassir kontemporer tersebut antara persamaan dan

perbedaannya di dalam karya mereka yang terkenal, tafsir Al-Azhar dan tafsir

Al-Mishbah, termasuk di dalamnya ialah penerapan syura dalam kehidupan

bernegara.

E. Kerangka Teoretik

Untuk mengkaji permasalahan yang ada, teori yang digunakan

merupakan teori yang berada dalam ranah normatif agama. Teori tersebut

diambil dari tafsir-tafsir yang sudah diakui oleh kaum Muslim secara luas,

yaitu Tafsir al-Qurṭubi, Tafsir Ibn Kaṡir, Tafsir Jalâlain, Tafsir al-Marâghî,

dan Tafsir Fî Ẓilâli Al-Qur’ân.

Sukron Kamil menyimpulkan di dalam bukunya, Islam dan

Demokrasi; Telaah Konseptual dan Historis, bahwa dalam pemikiran tentang

demokrasi, ada tiga kelompok pemikiran, yaitu kelompok yang menolak,

yang menyetujui prinsip-prinsipnya tetapi mengakui adanya perbedaan, dan

yang menerima sepenuhnya. Menurutnya, orang-orang yang menolak

demokrasi beralasan bahwa prinsip persamaan demokrasi dalam

dengan al-Jabiri, Syahrur juga menerima konsep demokrasi, akan tetapi penerimaannya itu
cenderung kepada kebutuhan kebebasan manusia dan HAM dan ia juga berpendapat bahwa
demokrasi merupakan teknis pelaksanaan syura dalam konteks hari ini.
Endrizal, Syura dan Demokrasi dalam Pemikiran Politik Muhammad ‘Abid Al Jabiri
(Yogyakarta: Skripsi, Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga), bahwa Al Jabiri memberikan
pembedaan antara demokrasi dan syura. Demokrasi dalam pandangan Al Jabiri merupakan
suatu sistem politik, ekonomi, dan sosial yang dibangun atas beberapa pilar: Hak Asasi
manusia berupa kebebasan dan persamaan serta derivasi dari keduanya. Adanya berbagai
lembaga negara yang eksistensinya terdiri dari lembaga-lembaga poitik dan sipil yang
melampaui individu-individu. Adanya perputaran kekuasaan (di lembaga-lembaga negara)
antar berbagai kekuatan politik atas dasar suara mayoritas dan tetap menjaga hak-hak
minoritas.
13

kenyataannya tidak mungkin, Islam adalah jalan hidup yang telah sempurna

dan tidak perlu adanya legislasi dari yang lain; Tuhan berdaulat penuh, baik

sunnatullah maupun hukum-hukum wahyunya; syura tidak sama dengan

demokrasi; demokrasi adalah berasal dari Barat dan hanya merupakan alat

Barat semata. Di antara yang menolak ialah Syaikh Faḍallah Nuri, Sayyid

Quṭb, asy-Sya’rawi, Ali Benhadji, dan Ṭabaṭaba’i.

Pemikiran yang kedua melihat masih ada persamaan antara Islam dan

Demokrasi dikarenakan adanya kemiripan-kemiripan, di antaranya ialah

prinsip persamaan, keadilan, musyawarah, dan akuntabilitas. Hanya saja

bedanya ialah terletak pada kedaulatan. Di dalam demokrasi, kedaulatan

adalah mutlak di tangan rakyat, sementara di dalam Islam dibatasi dengan

hukum-hukum Allah (syariah).

Kelompok yang ketiga menyatakan bahwa ajaran Islam dengan paham

demokrasi bisa dipadukan. Bahkan, menurut kelompok ini bahwa demokrasi

sebenarnya dicanangkan pertama kali oleh Islam.23 Penelitian ini akan

melihat klasifikasi pandangan Hamka dan Quraish Shihab terhadap syura

sebagaimana klasifikasi di atas.

Adapun agar kerangka teori yang akan memberikan frame alur

pemikiran di dalam penelitian ini dapat dipahami dengan mudah, akan kami

tuangkan melalui diagram sebagai berikut:

23
Sukron Kamil, Islam dan Demokrasi; Telaah konseptual dan historis. (Jakarta:
Gaya Media Pratama, cet. 1), hlm. 195-196.
14

Prinsip
Ii Syura Dalam Islam Prinsip Demokrasi

Penerapan Syura dalam Sistem Politik

Sejarah Peradaban Islam Di Indonesia

Pandangan Hamka Pandangan Quraish Shihab

Tafsir al-Azhar Tafsir al-Mishbah

 Persamaan dan Perbedaan Pandangan

 Relevansi Penerapan Syura dalam Sistem

Politik di Indonesia

Kontribusi

Hasil Penelitian

F. Metode Penelitian

Metode penelitian ini di dalam operasionalisasinya berpedoman pada

beberapa hal berikut:


15

1. Paradigma Penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif

yang menitikberatkan pada proses dengan metode analisis interpretatif

dan analisis komparatif.

2. Jenis Penelitian. Jenis penelitian ini jika dilihat berdasarkan ruang

lingkupnya maka penelitian ini merupakan penelitian agama, jika dilihat

berdasarkan tempatnya maka penelitian ini merupakan penelitian

kepustakaan (library research), dan jika ditinjau dari tipe penelitian

maka penelitian ini termasuk penelitian deskriptif, yaitu mendeskripsikan

secara detail atas fenomena yang ada dengan memberikan penilaian

terhadap fenomena tersebut sesuai dengan sudut pandang yang

digunakan.24 Yaitu dengan cara menghimpun sejumlah ayat dari

berbagai surat yang sama-sama membicarakan satu masalah

tertentu.25 Penelitian ini akan mendalami pemikiran Hamka dan M.

Quraish Shihab terhadap ayat-ayat syura di dalam buku tafsir karya

mereka, al-Azhar dan al-Mishbah.

3. Pendekatan. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan yang akan

melibatkan dua pendekatan. Yaitu pendekatan filosofi yang meneliti

pemikiran Hamka dan M. Quraish Shihab khususnya pandangan mereka

terhadap syura dalam Islam. Pendekatan politik untuk melihat bagaimana

aplikasi syura dalam sistem pemerintahan Islam.

24
Sudarno Shobron, dkk. Pedoman Penulisan Tesis (Surakarta: Sekolah Pascasarjana
UMS, 2014), hlm. 11-12.
25
Abd. Al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu’iy: Suatu Pengantar, terj. Suryan
A. Jamrah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994, hlm. 36.
16

4. Sumber Data dan Subyek Penelitian. Semua bahan yang digunakan

mengacu kepada literatur kepustakaan. Sumber data primer (primary

sources) dari penelitian ini ialah Tafsir al-Azhar karya Hamka dan Tafsir

al-Mishbah karya M. Quraish Shihab, sedangkan sumber data sekunder

(secondary sources) ialah semua data kepustakaan yang bisa digunakan

untuk mendukung dalam pembahasan.

5. Pengumpulan Data. Teknik pengumpulan data yang digunakan di dalam

penelitian ini ialah teknik dokumentasi. Menurut Pohan, telaah dokumen

adalah cara pengumpulan informasi yang didapatkan dari dokumen,

yakni peninggalan tertulis, arsip-arsip, akta ijazah, rapor, peraturan

perundang-undangan, buku harian, surat-surat pribadi, catatan biografi,

dan lain-lain yang memiliki keterkaitan dengan masalah yang diteliti.26

Adapun dokumen yang digunakan di dalam penelitian ini ialah buku-

buku karya Hamka dan M. Quraish Shihab dan buku-buku atau

penelitian-penelitian yang membahas mengenai kedua tokoh tersebut.

Menurut Guba dan Lincoln, dokumen merupakan sumber data yang

stabil, kaya, dan mendorong. Selain itu, sumber data dapat digunakan

sebagai bukti untuk suatu pengujian, bersifat alamiah, sesuai dengan

konteks, dan mudah diperoleh.27

6. Validitas Data. Data-data yang diperoleh berupa buku-buku referensi

merupakan data yang bersifat informatif /narasi. Oleh karena itu, uji

validitas yang digunakan ialah Derajat Kepercayaan (Credibility) dengan


26
Andi Prastowo, Metode Penelitian Kualitatif Dalam Perspektif Rancangan Penelitian
(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), cet. 2, hlm. 226.
27
Ibid., hlm. 227.
17

menggunakan teknik triangulasi, sebagai teknik pemeriksaan keabsahan

data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk

keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.28

Teknik triangulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan

melalui sumber lain dengan cara dibanding-bandingkan.29 Teknik

triangulasi digunakan untuk menjaga keajegan pengamat dan agar

pengamat dapat membandingkan data hasil dokumentasi untuk mencapai

derajat kepercayaan.30

7. Analisis Data. Metode analisis dalam penelitian ini ialah analisis

interpretatif, yang akan menguraikan objek penelitian secara teratur

sehingga bisa memberikan pemahaman terhadap sebuah pemikiran.31

Selanjutnya juga digunakan analisis komparatif untuk membandingkan

kedua penafsiran tersebut.

G. Sistematika Penulisan

Untuk lebih mudah dalam memahami alur penalitian dan teraturnya

penalaran dalam penulisan, maka pembahasan dalam penelitian ini dibagi

menjadi tiga bagian utama yaitu pendahuluan, isi, dan penutup yang

kemudian dibagi menjadi beberapa bab dan sub bab.

28
Lexy J.Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2004), hlm. 178.
29
Patton dalam Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja
Rosda Karya, 1999), Cet. Ke 11, hlm. 179.
30
Sudarno Shobron, dkk. Op. Cit., hlm. 20.
31
Anton Bekker dan Ahmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta:
Kanisius, 1999), hlm. 65.
18

Bab pertama ialah pendahuluan yang memuat latar belakang masalah,

lalu dilanjutkan dengan rumusan masalah yang menjadi inti pembahasan

dalam penelitian ini. Berikutnya dijelaskan mengenai tujuan dan kegunaan

penelitian, baik secara akademis maupun praktis. Terakhir dijelaskan

mengenai kerangka teoritis, pendekatan, dan metode penelitian yang

digunakan berikut sistematika pembahasan.

Bab kedua berisi tentang gambaran umum syura yang mencakup

definisi syura, penafsiran syura di dalam Al-Qur’an, serta mendeskripsikan

praktiknya dalam sejarah Islam.

Bab ketiga berisi biografi Hamka dan M. Quraish Shihab yang

memuat riwayat hidup, pemikiran, dan karya-karya mereka.

Bab keempat membahas karakteristik Tafsir Al-Azhar dan Al-

Mishbah serta konsep Syura menurut Hamka dan Quraish Shihab yang akan

diuraikan secara deskriptif.

Bab kelima berisi analisis penafsiran Hamka dan M. Quraish Shihab

dalam Tafsir Al-Azhar dan Tafsir Al-Mishbah, perbandingan beserta

interpretasinya, dan relevansi kedua penafsiran tersebut terhadap sistem

ketatanegaraan di Indonesia.

Bab keenam merupakan bab penutup, yang memuat kesimpulan dan

saran-saran. Kesimpulan dalam penelitian ini diharapkan dapat menjadi

kontribusi bagi lurusnya pemikiran di tengah carut marutnya pemikiran umat

dewasa ini, serta bisa memberikan saran-saran bagi penelitian selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai