Anda di halaman 1dari 139

KONSEPSI SYURA DALAM POLITIK ISLAM

(Studi Perbandingan Antara Syura Dan Demokrasi)

RENDI FORTUNA
100906104

DEPARTEMEN ILMU POLITIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015

Universitas Sumatera Utara


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU POLITIK

RENDI FORTUNA (100906104)

PERBANDINGAN PRINSIP SYURA DENGAN PRINSIP DEMOKRASI.


Rincian isi skripsi, 123 halaman, 29 buku, 8 jurnal, 2 situs internet. (kisaran buku
dari tahun 1972 - 2013).

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa saja perbandingan dari


prinsip syura dengan prinsip demokrasi. Sejak lama mengenai hubungan Islam
dengan demokrasi menjadi persoalan yang menarik untuk dikaji oleh beberapa
pemikir politik. Muncul beberapa pendapat mengenai hal ini, apakah Islam sejalan
dengan demokrasi ataukah malah bertolak belakang? Anggapan bahwa sistem
pemerintahan Islam saling berhubungan dengan sistem demokrasi muncul karena
pada pemerintahan Islam terdapat konsep syura yang dianggap identik dengan
konsep demokrasi.
Syura atau musyawarah, khususnya antara penguasa dan rakyat merupakan
salah satu prinsip dasar politik Islam dari kelima prinsip lainnya, yaitu prinsip
keadilan, prinsip kebebasan, prinsip persamaan dan prinsip pertanggungjawaban.
Dimana musyawarah juga digunakan dalam demokrasi karena di dalam
demokrasi, pemimpin tidak dapat memutuskan suatu keputusan secara sepihak
dan harus melibatkan rakyat karena dalam demokrasi, rakyat memiliki kekuasaan
tertinggi. Sehingga, dalam hal ini penulis ingin mengetahui bagaimana persamaan
dan perbedaan antara syura dalam politik Islam dengan demokrasi dalam politik
barat khususnya dilihat dari prinsip-prinsipnya.
Pada penelitian ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data library
research atau penelitian kepustakaan. Pengumpulan data dengan penelitian
kepustakaan dilakukan dengan cara mengumpulkan informasi sebanyak mungkin
yang berkaitan dengan konsep syura dan konsep demokrasi juga bagaimana
perbandingan prinsip antara keduanya dari berbagai literatur seperti buku-buku,
jurnal dan situs internet.

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
perbandingan antara prinsip syura dengan prinsip demokrasi dapat dilihat
berdasarkan persamaan dan perbedaannya. Persamaan konsep syura dengan
konsep demokrasi adalah keduanya mengakui dan menghargai setiap hak individu
untuk dapat mengemukakan pendapat dimana keduanya juga memiliki prinsip
persamaan, kebebasan dan keadilan didalam melakukan musyawarah. Sedangkan
perbedaan syura dan demokrasi yang paling utama adalah syura hanya merupakan
salah satu metode pengambilan pendapat dalam sistem pemerintahan Islam.
Sedangkan demokrasi dianggap sebagai suatu pandangan hidup (the way of life)
dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang, dan sistem
pemerintahan dalam politik barat. Secara prinsip, keduanya diperbandingkan
berdasarkan makna dari prinsip persamaan, keadilan dan kebebasannya yang
dimiliki masing-masing konsep. Berdasarkan penelitian ini, penulis menyarankan
agar dalam melakukan musyawarah (1). Haruslah selalu mengutamakan
kepentingan negara dan masyarakat. (2). Peserta tidak boleh memaksakan
kehendaknya kepada orang lain, setiap pendapat yang diutarakan haruslah
didengarkan dan dipertimbangkan. (3). Seharusnya didalam musyawarah, tidak
dikenal istilah menang ataupun kalah, sehingga setiap peserta musyawarah dapat
saling menghormati dan menghargai pendapat atau pemikiran orang lain.

Universitas Sumatera Utara


UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA
FACULTY OF SOCIAL SCIENCE AND POLITICAL SCIENCE
DEPARTMENT OF POLITICAL SCIENCE

RENDI FORTUNA (100906104)

COMPARISON BETWEEN THE PRINCIPLE OF SHURA AND THE


PRINCIPLE OF DEMOCRACY.
Contents: 123 pages, 29 books, journals , 2 internet sites. (publication from 1972
- 2013).

ABSTRACT

This research aims to find out what the comparison of the principle of shura
with democratic principles. Since a long time about the relationship between
Islam and democracy be an interesting issue to be studied by several political
thinkers. Appeared some opinions on this matter, whether Islam incompatible
with democracy or even contradictory? The presumption that the Islamic system
of government interacts with the democratic system arises because the Islamic
government there is the concept of shura is considered resemble with the concept
of democracy.
Shura, or deliberation, in particular between the leader and the people is one
of the basic principles of political Islam other than the five principles, namely the
principle of fairness, the principle of freedom, the principle of equality and the
principle of accountability. Where deliberation is also used in a democracy
because in a democracy, leaders can not decide on a decision unilaterally and
must involve the people because in a democracy, people have the ultimate power.
With the result that, in this case I want to know how the similarities and
differences between the political shura in Islam with democracy in western
politics in terms of the principles.
The research used data collection techniques of research library. Data
collection with library research conducted by collecting as much information as
possible as many to the concept of shura and the concept of democracy as well as

Universitas Sumatera Utara


how the comparison between the two principles of literature such as books,
journals and Internet sites.
Based on the research conducted, it can be concluded that the comparison
between the principle of shura with democratic principles can be seen based on
the similarities and differences. Equation concept of shura with the concept of
democracy is both recognize and respect every individual's right to be able to
express an opinion where they also have the principle of equality, freedom and
justice in the conduct of deliberation. While the difference, shura and democracy
main thing is shura is only one method of making an opinion in Islamic system of
government. While democracy is considered as a way of life and a set of
provisions for the whole of the constitution, laws, and political system of
government in the west. In principle, both are compared based on the meaning of
the principle of equality, justice and liberty are held each concept. Based on this
study, the authors suggested that in conducting deliberations (1). Must always put
the interests of the state and society. (2). Participants should not impose their will
on others, any opinion expressed shall be heard and considered. (3). Supposedly
in the deliberation, the unknown term win or lose, so that each participant can
deliberation of mutual respect and appreciate other people's opinions or thoughts.

Universitas Sumatera Utara


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan dan diperbanyak oleh:


Nama : Rendi Fortuna
NIM : 100906104
Departemen : Ilmu Politik
Judul : Konsepsi Syura Dalam Politik Islam (Studi Perbandingan Antara
Syura dan Demokrasi)

Menyetujui:
Ketua Departemen Ilmu Politik,

Dra. T. Irmayani, M.Si.


NIP. 196806301994032001

Dosen Pembimbing,

(Indra Fauzan S.HI., M.Soc.Sc.)


NIP. 198102182008121002

Mengetahui:
Dekan FISIP USU,

(Prof. Badaruddin, M.Si)


NIP.196805251992031002

Universitas Sumatera Utara


Karya ini dipersembahkan untuk

Ibunda saya tercinta Masnun Harahap dan Ayahanda Zulkarnaen

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan yang

maha esa, karena atas berkah dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi

yang berjudul “Konsepsi Syura Dalam Politik Islam (Studi Perbandingan

Antara Syura dan Demokrasi” ini. Dimana penulisan skripsi ini dilakukan

dalam rangka untuk memenuhi salah satu syarat perampungan final studi untuk

mencapai gelar sebagai sarjana Ilmu Politik.

Tulisan ini saya sadari sangat jauh dari sempurna. Tanpa bantuan dari

banyak pihak tentunya akan menyita lebih banyak tenaga, waktu, biaya dan akan

sulit terselesaikan. Oleh karena itu, saya ingin mengucapkan banyak terimakasih

kepada para pihak yang telah membantu untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.

Terimakasih sebesar-besarnya saya tujukan Terkhusus kepada Pembimbing utama

dalam kehidupan saya yang sekaligus sebagai inspirasi dalam kehidupan saya

yaitu kedua orang tua saya, Ibu Masnun Harahap dan Bapak Zulkarnaen serta

kepada kedua Kakak saya, Evi Nora dan Angri Mutia atas segala doa, motivasi

dan dukungan selama ini kepada saya untuk menyelesaikan studi saya dengan

sebaik-baiknya.

Terima kasih kepada Ibu Dra. T. Irmayani, M.Si, selaku Ketua Departemen

Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Bapak Indra Fauzan S.HI., M.Soc.Sc., selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang

Universitas Sumatera Utara


telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing dan memberikan

masukan yang sangat berarti kepada saya untuk penyelesaian skripsi ini. Seluruh

Bapak/Ibu Dosen Pengajar Departemen Ilmu Politik yang telah memberikan ilmu

pengetahuan dan bimbingannya kepada saya selama berkuliah di Departemen

Ilmu Politik. Juga kepada Staff Administrasi Departemen Ilmu Politik yaitu Kak

Emma, Bang Burhan atas segala bantuannya.

Tak lupa kepada seluruh kawan-kawan Ilmu Politik angkatan 2010.

Khususnya kepada Fransabda Ginting, Ruth Sarah Hulu, Khairunnisa Simbolon,

Albert Franklyn Hutur Simanungkalit, Samuel Nicholas Siburian, dan Frank

Danyl Simbolon, terimakasih atas perkawanan kita dan cerita-cerita lucu kita

setiap harinya, sukses untuk kita semua. Juga kepada senior-senior Ilmu Politik

atas waktu diskusinya dan segala masukannya. Juga terkhusus kepada Sarah

Sausan selaku teman, sahabat dan adik. Terimakasih atas semua motivasi,

masukan, hiburan, bantuan, dan waktunya untuk selalu menemani saya dalam

penyelesaian skripsi ini. Juga semua yang telah membantu yang tidak dapat

penulis tuliskan satu persatu. Terimakasih sebanyak-sebanyaknya, semoga

kebaikan semua mendapatkan balasan kebaikan pula dari Tuhan Yang Maha Esa.

Akhir kata, saya memohon maaf yang sebesar-besarnya jika selama

penulisan skripsi ini terdapat terdapat kesalahan kata atau perbuatan yang

menyinggung beberapa pihak. Saya berharap, Allah SWT membalas semua

Universitas Sumatera Utara


kebaikan para pihak yang telah membantu dan semoga skripsi ini membawa

manfaat bagi ilmu pengetahuan. Amin.

Medan, 25 Juni 2015

Penulis

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ........................................................................ 12

B. Perumusan Masalah .............................................................................. 18

C. Batasan Masalah .................................................................................... 18

D. Tujuan Penelitian .................................................................................. 18

E. Manfaat Penelitian ................................................................................ 19

F. Kerangka Teori ...................................................................................... 19

F.1. Politik Dalam Islam ........................................................................ 19

F.2. Prinsip Politik Islam ............................................................. .......... 27

F.3. Demokrasi ...................................................................................... 29

G. Metode Penelitian .................................................................................. 33

H. Sistematika Penulisan ........................................................................... 36

BAB II KONSEP SYURA DAN KONSEP DEMOKRASI

A. Konsep Syura ......................................................................................... 38

A.1. Pengertian Syura ............................................................................ 38

A.2. Etika Musyawarah ......................................................................... 52

A.3. Sejarah Syura ................................................................................. 55

A.4. Prinsip-Prinsip Syura .................................................................... 78

B. Konsep Demokrasi ................................................................................ 79

10

Universitas Sumatera Utara


B.1. Pengertian Demokrasi .................................................................... 79

B.2. Sejarah Demokrasi ......................................................................... 86

B.3. Prinsip-Prinsip Demokrasi ............................................................. 93

BAB III PERBANDINGAN PRINSIP SYURA DENGAN PRINSIP

DEMOKRASI

A. Analisis Perbandingan Prinsip Syura dan Prinsip Demokrasi .............. 95

A.1. Prinsip-Prinsip Syura .................................................................... 95

A.2. Prinsip-Prinsip Demokrasi ............................................................ 107

B. Perbandingan Prinsip Syura dengan Prinsip Demokrasi ....................... 107

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................ 131

B. Saran ...................................................................................................... 134

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 136

11

Universitas Sumatera Utara


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hubungan Islam dan demokrasi merupakan persoalan yang menarik dikaji

baik dari segi prinsip maupun praktik. Dari segi prinsip, meskipun rata-rata umat

Islam menerima demokrasi, ada segelintir dari mereka yang bergelut dengan

dilema apakah demokrasi cocok atau sejalan dengan Islam. Diantaranya terdapat

beberapa kalangan yang menolak demokrasi karena dianggap asing dengan Islam.

Adnan Ali Ridha al-Annahwy, misalnya, secara tegas mengatakan

demokrasi adalah produk manusia di bumi kafir dan kerusakan (Yunani).

Demokrasi, menurutnya, tidak ada hubungan dengan Allah, tidak ada hubungan

dengan iman, akidah, dan agama. 1 Terdapat juga pendapat yang menolak negara

Islam (khilafah) dan membenarkan demokrasi, seperti pendapat Munawir Syadzali

dalam bukunya Islam dan Tata Negara yang menyatakan bahwa warisan sistem

politik Islam didasarkan pada pengalaman kekhalifahan dengan tidak ada standar

yang baku. Sejak masa Nabi, al-Khulafa‘ al-Rasyidun sampai Turki Usmani,

bahkan negara-negara Islam pascakolonialisme pun menunjukkan beragam sistem

ketatanegaraannya. Keragaman ini menunjukkan adanya keterlibatan budaya lokal

dalam perumusan dan pemilihan sistem kenegaraan yang dipilih. Pengalaman

1
Adnan ‘Ali Ridha Al-Annahwy, 1990, Syura Bukan Demokrasi, Kuala Lumpur: Polygraphic Press Sdn,
Bhd, hal. 30.

12

Universitas Sumatera Utara


Nabi memimpin negara Madinah, seperti terlihat dalam Piagam Madinah,

misalnya, tidak menyebutkan Islam sebagai dasar negara. Pemberlakuan khazanah

politik Islam tersebut dalam kondisi sekarang ini, khususnya untuk konteks

Indonesia akan menghadapi problem, lebih-lebih perkembangan sekarang ini

menuntut demokratisasi dalam berbagai bidang, termasuk politik, oleh karena itu

mengharuskan untuk mengkaji ulang (reaktualisasi atau kontekstualisasi) atas

warisan Islam tentang politik tersebut. Karena bisa dipastikan, penerapan tentang

warisan sistem politik Islam tidak akan visible untuk diberlakukan di era sekarang

ini. 2 Sehingga, tidak ada suatu keharusan memperjuangkan Islam sebagai dasar

Negara untuk dilakukan oleh orang Islam yang terjun ke dunia politik. 3

Sebagian lagi berpendapat bahwa demokrasi itu sesuai dengan Islam, seperti

yang diungkapkan oleh Fazlur Rahman bahwa negara dalam Islam adalah

berbentuk republik demokrasi dengan berkedaulatan rakyat. Menurutnya, sistem

demokrasi ini sesuai dengan Islam, realistis, dan akan menyenangkan masyarakat

jika diterapkan. 4

Islam sendiri disebutkan memiliki konsep ideal dalam sistem pemerintahan.

Dalam Islam, pemerintahan memiliki peran yang sangat penting. Yakni

mendeklarasikan Allah SWT sebagai tujuan akhir hidup manusia. Itulah salah satu

alasan mengapa Islam tidak ingin tujuan mutlaknya diganti dengan tujuan yang

2
Munawir Sjadzali, 1990, Islam dan Tata Negara, Jakarta: Universitas Indonesia, hal. 188.
3
Ibid., hal.235.
4
M. Hasbi Ammirudin, 2000, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman,Yogyakarta: UII Press, Hal.
153.

13

Universitas Sumatera Utara


relatif (terbatas). Beberapa pemikir orientalis barat, seperti Dr. V. Fitzgerald
5
mengungkapkan bahwa:

“Islam bukanlah semata agama (a religion), namun juga merupakan sebuah


sistem politik (a political `system). Meski pun pada dekade-dekade terakhir
ada beberapa kalangan dari umat Islam yang mengklaim sebagai kalangan
modernis, yang berusaha memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh gagasan
pemikiran Islam dibangun di atas fundamen bahwa kedua sisi itu saling
bergandengan dengan selaras dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.”

Konsep yang dibangun oleh Islam, dimana oleh beberapa kalangan sering

disebut mirip dengan demokrasi adalah konsep syura (musyawarah). Dimana

konsep ini menekankan pentingnya melakukan perundingan untuk menghasilkan

kesepakatan dalam memecahkan sebuah persoalan. Dalam bahasa Arab kata syura

berasal dari kata kerja syawara yang berarti menjelaskan, menyatakan atau

mengajukan dan mengambil sesuatu. Bentuk- bentuk lain yang berasal dari kata

syawara adalah tasyawara, artinya berunding, saling bertukar pendapat; syawir,

yang artinya meminta pendapat atau musyawarah. 6 Jadi, syura atau musyawarah

adalah saling menjelaskan dan merundingkan atau saling meminta dan menukar

pendapat mengenai suatu perkara.

Dalam al-Qur’an, ada dua ayat yang menyebutkan secara jelas mengenai

musyawarah, dan setiap satu dari dua ayat tersebut mempunyai petunjuk masing-

masing. Dua ayat yang menerangkan tentang musyawarah tersebut antara lain:

Al-Quran, Surat Ali – Imran, ayat 159:

5
Dr. M. Dhiauddin Rais, 2001, Teori Politik Islam, Jakarta: Gema Insani Press, hal. 5.
6
M. Hasbi Amiruddin. 2000. Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman. Yogyakarta: UII Press.hal. 18.

14

Universitas Sumatera Utara


“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah
mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarah-lah dengan
mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan
tekad, maka bertawakkal-lah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya“. (Q.S. Ali-Imran: 159). 7

Al – Quran , Surat Asy – Syura, ayat 38:

“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan


mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah
antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami
berikan kepada mereka”. (Q.S. Asy-Syura: 38). 8

7
Surah Ali Imran, Ayat 159. http://quran.com/3. diakses pada tanggal 28 Februari 2015, pukul 17.02 WIB.
8
Surah Asy-Syura, Ayat 38. Ibid.

15

Universitas Sumatera Utara


Ayat-ayat diatas mengandung pengertian bahwa Al-Quran memberikan

landasan bagi Syura sebagai suatu prinsip hukum umum, meskipun rincian teknis

pelaksanaannya tidak disebutkan. Para ahli hukum Islam umumnya berpegang

pendapat bahwa syura berlaku baik pada masalah agama maupun kenegaraan jika

masalah tersebut tidak ditemukan perintah yang jelas dalam Al-Quran dan As-

Sunnah. 9 Berbagai masalah yang dibahas para ulama mengenai syura mencakup

tiga hal, yaitu: Pertama, berkenaan dengan orang yang dikenai syura. Kedua,

dalam hal apa saja syura dilaksanakan. Ketiga, dengan siapa sebaiknya syura di

lakukan. 10

Disamping merupakan bentuk perintah dari Allah SWT, syura pada

hakikatnya juga dimaksudkan untuk mewujudkan sebuah tatanan masyarakat yang

berkeadilan dengan tujuan bersama. Dengan musyawarah, setiap orang yang ikut

bermusyawarah akan berusaha mengemukakan pendapat yang baik, sehingga

diperoleh pendapat yang dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi. 11

Hal inilah yang membuat munculnya anggapan bahwa syura merupakan

cerminan dari sistem demokrasi dimana sistem ini memiliki prinsip bahwa rakyat

dapat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok mengenai

kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijaksanaan pemerintah, karena

9
Muhammad Hasyim Kamali (Terj. Eva Y Nukman dan Fathiyah Basri), 1996, Kebebasan Berpendapat
Dalam Islam. Bandung: Mizan, Hal. 64.
10
M. Quraish Shihab, 1996, Wawasan Alquran: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung:
Mizan, Hal. 173.
11
Ibid.

16

Universitas Sumatera Utara


kebijaksanaan tersebut menentukan kehidupan rakyat. Karena negara demokrasi

adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat,

atau jika ditinjau dari sudut organisasi, ia berarti suatu pengorganisasian negara

yang dilakukan oleh rakyat sendiri atau atas persetujuan rakyat karena kedaulatan

berada di tangan rakyat. 12

Diskursus mengenai kemiripan antara syura dan demokrasi masih terus

berlangsung di kalangan pemikir Islam. Terdapat beberapa pendapat mengenai

syura dan demokrasi. Pertama, menyatakan bahwa syura dan demokrasi adalah

sama, bahkan demokrasi terinspirasi oleh Islam sehingga mengambil demokrasi

sewajib syura. Kedua, beranggapan bahwa syura dan demokrasi tidaklah sama

bahkan keduanya dianggap tidak memiliki kemiripan. Dengan demikian,

mempraktikan demokrasi menjadi haram hukumnya. Ketiga, berpendapat bahwa

syura dan demokrasi tidaklah sama tetapi terdapat kemiripan di dalamnya

sehingga mengambil demokrasi diperbolehkan sepanjang esensinya bersumber

dari nilai-nilai Islam. 13

Berdasarkan pemikiran tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk

melakukan penelitian mengenai bagaimana konsep syura dalam Islam. Membahas

mengenai permasalahan konsep syura dalam politik Islam menurut pandangan

penulis cukup menarik untuk diteliti agar dapat mengetahui apa saja

12
Moh. Mahfud MD, 2000, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia: Studi tentang Interaksi Politik dan
Kehidupan Ketatanegaraan, Universitas Michigan: Rineka Cipta, hal. 1-2.
13
Eggi Sudjana. 1998. “Ham, Demokrasi dan Lingkungan Hidup”. Bogor: Yayasan Asy-Syahidiyah. hal. 61.

17

Universitas Sumatera Utara


sesungguhnya perbedaan dan persamaan antara prinsip syura dengan prinsip

demokrasi.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka rumusan

masalah yang akan menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini adalah

1. Bagaimana perbandingan konsep Syura dan konsep Demokrasi?

2. Bagaimana perbandingan prinsip syura dengan prinsip demokrasi?

C. Batasan Masalah

Batasan masalah ialah usaha untuk menetapkan batasan dari masalah

penelitian yang akan diteliti. Hal ini berguna untuk mengidentifikasikan faktor

mana saja yang termasuk dalam ruang lingkup masalah penelitian, dan faktor

mana saja yang tidak termasuk dalam ruang lingkup masalah penelitian. 14 Maka

batasan masalah pada penelitian ini yaitu hanya membahas prinsip syura dalam

pembahasan politik Islam dan diperbandingkan dengan prinsip demokrasi.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian adalah pernyataan mengenai apa yang hendak kita

capai. 15 Tujuan dari penelitian ini adalah:

14
Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, 2009, Metodologi Penelitian Sosial Jakarta: PT. Bumi
Aksara, hal. 24.
15
Suharsimi Arikunto, 1993, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta : Rineka Cipta, hal. 29.

18

Universitas Sumatera Utara


1. Untuk mengetahui bagaimana konsep syura dan konsep demokrasi.

2. Untuk mengetahui perbandingan antara prinsip syura dengan prinsip

demokrasi.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dalam penelitian ini adalah:

1. Secara akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah

wawasan berpikir dan khasanah ilmu politik khususnya ilmu yang

terkait dengan politik agama, yaitu politik Islam.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

manfaat sebagai masukan dalam pelaksanaan sistem pemerintahan di

Indonesia.

3. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana untuk

mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh selama perkuliahan.

F. Kerangka Teori

F.1. Politik dalam Islam

Menurut pemikir Islam, seperti Hasan Al-Banna, Politik adalah

upaya memikirkan persoalan internal (mengurus persoalan pemerintah,

menjelaskan fungsi-fungsinya, merinci kewajiban dan hak-haknya,

melakukan pengawasan kepada terhadap penguasa untuk kemudian

19

Universitas Sumatera Utara


dipatuhi jika mereka melakukan kebaikan dan dikritik jika mereka

melakukan kekeliruan), dan persoalan eksternal umat/rakyat (memelihara

kemerdekaan dan kebebasan bangsa, mengantarkan mencapai tujuan

yang akan menempatkan kedudukan ditengah-tengah bangsa lain, serta

membebaskan dari penindasan dan intervensi pihak lain dalam urusan-

urusanya) memberikan perhatian kepadanya, dan bekerja demi kebaikan

seluruhnya (kemaslahatan umat). 16

Sedangkan Imam Syafi’i memberikan definisi bahwa politik adalah

hal-hal yang bersesuain dengan syara’. Pengertian ini di jelaskan oleh

Ibnu Agil, bahwa politik adalah hal-hal praktis yang lebih mendekati

kemaslahatan bagi manusia dan lebih jauh dari kerusakan meskipun tidak

digariskan oleh Rasulullah SAW atau dibawa oleh wahyu Allah SWT.17

Politik dalam pengertian permasalahan-permasalahn komunitas telah

diisyaratkan oleh Allah dan diperintahkan serta menjadi bagian tugas

kerasulan, sebagaimana firman Allah SWT:

“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan


membawa bukti-bukti yang nyata yang telah kami turunkan
bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia
dapat melaksanakan keadilan”. (Al-Hadid,:25). 18

16
Ruslan Utsman Abdul Mu’iz, 2000, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin; Studi Analisis Evaluatif
terhadap Proses Pendidikan Politik (Ikhwan) untuk Para Anggota Khususnya dan Seluruh Masyarakat Mesir
Umumnya dari Tahun 1982 hingga 1954, Solo: Era Intermedia, hal. 71.
17
Salim Ali Al-Bahnasawi, 1996, Wawasan Sistem Politik Islam, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, hal. 24.
18
“Al-Quran”, Surah Al-hadid, ayat 25.

20

Universitas Sumatera Utara


Keadilan menjadi tugas para Rasul Allah SWT itu tidak akan

terwujud tanpa dengan penerapan syariah-Nya dengan diturunkannya Al-

Quran serta dijelaskan dengan Sunnah Nabawiyah (apa yang

diperintahkan dan dilarang Nabi SAW, dan apa yang dianjurkannya baik

perkataan, perbuatan yang tidak dibicarakan oleh Al-Quran) dalam

rincian aturan hukum-hukumnya. Oleh sebab syariah mencakup segala

aspek kehidupan. 19

Politik di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah. Di

dalam buku-buku para ulama salafush shalih (pengikut madzhab

salafiyah yakni megajarkan Islam secara murni tanpa tambahan) dikenal

istilah siyasah syar’iyyah yaitu politik yang menggunakan syariah

sebagai pangkal tolak dan sandarannya. Dalam kamus Arab Al-Muhith,

siyasah berakar dari kata sâsa-yasûsu dalam kalimat Sasa addawaba

yasusuha siyasatan yang berarti Qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha

(mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila dikatakan sasa al

amra artinya dabbarahu (mengurusi/mengatur perkara). Jadi, asal makna

siyasah (politik) tersebut diterapkan pada pengurusan dan pelatihan

gembalaan. Lalu, kata tersebut digunakan dalam pengaturan urusan-

urusan manusia; dan pelaku pengurusan urusan-urusan manusia tersebut

dinamai politikus (siyasiyun). Dalam realitas bahasa Arab dikatakan

19
Salim Ali Al-Bahnasawi, Op.Cit.,hal. 24.

21

Universitas Sumatera Utara


bahwa ulil amri mengurusi (yasûsu) urusan rakyat, mengaturnya, dan

menjaganya. Begitu pula dalam perkataan orang Arab dikatakan:

“Bagaimana mungkin rakyatnya terpelihara (masûsah) bila


pemeliharanya ngengat (sûsah)”, artinya bagaimana mungkin
kondisi rakyat akan baik bila pemimpinnya rusak seperti ngengat
yang menghancurkan kayu”

Dengan demikian, politik merupakan pemeliharaan (ri’ayah),

perbaikan (ishlah), pelurusan (taqwim), pemberian arah petunjuk

(irsyad), dan pendidikan (ta`dib).20 As-siyasah juga diartikan sebagai

kewajiban menangani sesuatu yang mendatangkan kemaslahatan. 21

Dalam fikih siyasah disebutkan bahwa garis besar fikih siyasah meliputi :

1. Siyasah Dusturiyyah (tata negara dalam islam).

2. Siyasah Dauliyyah (politik yang mengatur hubungan antara satu

negara islam dengan negara islam lain atau dengan negara sekuler

lainya).

3. Siyasah Maaliyyah (sistem ekonomi negara).

Terdapat beberapa prinsip dalam politik Islam, yaitu: 22

20
Politik Islam, http://id.wikipedia.org/wiki/Politik_Islam. Diakses pada tanggal 07 Maret 2015, pukul 20.31
WIB.
21
Yusuf Al-Qardhawy, 1999, Pedoman Bernegara Dalam Perspektif Islam, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, hal.
35.
22
Muhammad S. El. Wa, Sistem Politik dalam Pemerintahan Islam, terj. Anshori Thayib, PT. Surabaya :
Bina Ilmu, 1983, hlm. 114

22

Universitas Sumatera Utara


a. Prinsip Musyawarah.

Dalam hal ini musyawarah merupakan prinsip pertama dalam tata aturan

politik Islam yang amat penting, artinya penentuan kebijaksanaan

pemerintah dalam sistem pemerintahan Islam haruslah berdasarkan atas

kesepakatan musyawarah, kalau kita kembali pada aturan , maka prinsip

ini sesuai dengan ayat Al-Qur’an dalam surat Al-Imran ayat 159.

“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu,


kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakallah kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang bertawakal kepada Allah” (Q.S. Al-Imran: 159). 23

Jadi, musyawarah merupakan ketetapan dasar yang amat menjadi prinsip

dalam sistem politik Islam, umat Islam harus tetap bermusyawarah dalam

segala masalah dan situasi yang bagaimanapun juga. Rasulullah sendiri

sering bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam segala urusan, hal

ini mengandung arti bahwa setiap pemimpin pemerintahan (penguasa,

pejabat, atau imam) harus selalu bermusyawarah dengan pengikut atau

dengan umatnya, sebab musyawarah merupakan media pertemuan

sebagai pendapat dan keinginan dari kelompok orang-orang yang

mempunyai kepentingan akan hasil keputusan itu. Dengan musyawarah

itu pula semua pihak ikut terlibat dalam menyelesaikan persoalan,

23
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta : Yayasan Penyelenggara/Penterjemah al
Qur’an, 1988, hlm. 103

23

Universitas Sumatera Utara


dengan demikian hasil musyawarah itupun akan diikuti mereka, karena

merasa ikut menentukan dalam keputusan itu, sudah tentu materi

musyawarah itu terbatas pada hal-hal yang sifatnya bukan merupakan

perintah Allah yang sudah dijelaskan dalam wahyu-Nya.

b. Prinsip Keadilan

Kata ini sering digunakan dalam al-Qur’an dan telah dimanfaatkan secara

terus menerus untuk membangun teori kenegaraan Islam. Prinsip

keadilan banyak sekali ayat al-Qur’an memerintahkan berbuat adil dalam

segala aspek kehidupan manusia seperti firman Allah dalam surat an

Nahl ayat 90:Artinya :

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat


kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang
dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia
memberi pelajaran kepadamu, agar kamu dapat mengambil
pelajaran.” (Q.S. an Nahl : 90) 24

Ayat di atas memerintahkan umat Islam untuk berbuat adil,

sebaliknya melarang mengancam dengan sanksi hukum bagi orang-orang

yang berbuat sewenang-wenang, jadi kedudukan prinsip keadilan dalam

sistem pemerintahan Islam harus menjadi alat pengukur dari nilai-nilai

dasar atau nilai-nilai sosial masyarakat yang tanpa dibatasi kurun waktu.

Kewajiban berlaku adil dan menjauhi perbuatan dzalim, mempunyai

24
Ibid., hlm. 145

24

Universitas Sumatera Utara


tingkatan yang amat tinggi dalam struktur kehidupan manusia dalam

segala aspeknya. Adil menjadi prinsip politik Islam dikenakan pada

penguasa untuk melaksanakan pemerintahannya dan bagi warganya harus

pula adil dalam memenuhi kewajiban dan memperoleh keadilannya, hak

dan kewajiban harus dilaksanakan dengan seimbang.

c. Prinsip Kebebasan

Adalah merupakan nilai yang juga amat diperhatikan oleh Islam, yang

dimaksud di sini bukan kebebasan bagi warganya untuk dapat melakukan

kewajiban sebagai warga negara, tetapi kebebasan di sini mengandung

makna yang lebih positif, yaitu kebebasan bagi warga negara untuk

memilih sesuatu yang lebih baik, maksud kebebasan berfikir untuk

menentukam mana yang baik dan mana yang buruk, sehingga proses

berfikir ini dapat melakukan perbuatan yang baik sesuai dengan hasil

pemikirannya, kebebasan berfikir dan kebebasan berbuat ini pernah

diberikan oleh Allah kepada Adam dan Hawa untuk mengikuti petunjuk

atau tidak mengikuti petunjuk yang diberikan oleh Allah sebagaimana

firman-Nya :

Berkata (Allah): Turunlah kamu berdua dari surga bersamasama


sebagaimana kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain, maka
jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa yang

25

Universitas Sumatera Utara


mengikuti petunjuk dari-Ku ia tidak akan sesat dan tidak akan
celaka (Q.S. Toha: 123). 25

Jadi maksud ayat tersebut di atas adalah kebebasan yang mempunyai

akibat yang berbeda, barangsiapa yang memilih melakukan sesuatu

perbuatan yang buruk, maka iapun akan dibalasa dengan keburukan

sesuai dengan apa yang telah mereka lakukan.

d. Prinsip Persamaan

Prinsip ini berarti bahwa “setiap individu dalam masyarakat mempunyai

hak yang sama, juga mempunyai persamaan mendapat kebebasan,

tanggung jawab, tugas-tugas kemasyarakatan tanpa diskriminasi rasial,

asal-usul, bahasa dan keyakinan (credo)”. Dengan prinsip ini sebenarnya

tidak ada rakyat yang diperintah secara sewenang-wenang, dan tidak ada

penguasa yang memperbudak rakyatnya karena ini merupakan kewajiban

yang harus dilaksanakan oleh penguasa, Allah menciptakan manusia laki-

laki dan perempuan dengan berbagai bangsa dan suku bukanlah untuk

membuat jarak antara mereka, bahkan diantara mereka diharapkan untuk

saling kenal mengenal dan tukar pengalaman, bahkan yang membedakan

diantara mereka hanyalah karena taqwanya.

e. Prinsip Pertanggungjawaban

25
Ibid., hlm. 491

26

Universitas Sumatera Utara


Dari Pemimpin Pemerintah tentang Kebijakan yang diambilnya. Jika

seorang pemimpin pemerintahan melakukan hal yang cenderung merusak

atau menuruti kehendak sendiri maka umat berhak memperingatkannya

agar tidak meneruskan perbuatannya itu, sebab pemimpin tersebut berarti

telah meninggalkan kewajibannya untuk menegakkan kebenarannya dan

menjauhi perbuatan yang munkar. Jika pemimpin tersebut tidak

mengabaikan peringatan, maka umat berhak mengambil tanggung jawab

sebagai pemimpin pemerintahan, karena penguasa di dunia ini

merupakan khalifah yang menjalankan amanat Allah, maka tindakan

penyalahgunaan jabatan seperti berjalan di atas jalan yang dilaknat Allah,

menindas rakyat, melanggar perintah al Qur’an dan as Sunnah, maka

pemimpin tersebut berhak diturunkan dari jabatannya.

F.2. Konsep Syura

Menurut bahasa, kata syura berasal dari bahasa Arab yang diambil

dari “syaawara”, bermakna “lil musyarakah”, artinya saling memberi

pendapat, saran, atau pandangan. 26 Menurut Abu Ali al-Tabarsi, syura

merupakan permusyawaratan untuk mendapatkan kebenaran. Al-

Asfahani pula mendefinisikan syura sebagai merumuskan pendapat

melalui pembicaraan (permusyawaratan). Sementara Ibn al-Arabi

26
A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwwir Arab-Indonesia Terlengkap, Yogyakarta: Al-
Munawwir, 1984, hal.802.

27

Universitas Sumatera Utara


memberikan pengertian syura sebagai musyawarah untuk mencari

kebenaran atau nasihat dalam mencari kepastian. 27

Syura merupakan konsep politik yang tidak mengharuskan

pengambilan keputusan terikat dengannya. Terdapat majelis syura pun

sekedar bersifat konsultatif, karenanya menjadi relatif dan tidak mengikat

sesuai keinginan penguasa. Kewajiban seorang penguasa hanya dalam

hal melaksanakan musyawarah, bukan mengambil pendapat mereka.

Tanggung jawab terdapat keputusan yang diambilpun dipikul penguasa

untuk melaksanakan hasil keputusan. Selain itu, syura tidak mengenal

perolehan pendapat mayoritas dan tidak memberi batas mengenai

kuantitas. Syura juga tidak mengenal rumusan yang baku. Adakalanya

pemimpin (penguasa) mengambil sebagian pendapat majelis syura,

keseluruhan atau satu pendapat dari sekian banyak pendapat yang

diketengahkan majelis syura. 28

Tetapi karakteristik ketetapan yang berlaku setelah jelas bagi

mayoritas bahwa dialah yang paling dekat kepada kebenaran dan

keadilan setelah diadakan dialog dan tukar pendapat bebas adalah bahwa

keteapan itu hanya merupakan ketetapan yang nisbi, tidak tetap. Artinya,

pendapat-pendapat yang telah dikemukakan dan didiskusikan tidak

dihilangkan secara total, bahkan ada kemungkinan diangkat kembali pada

27
Mohd. Izani Mohd Zain, Islam dan Demokrasi: Cabaran Politik Muslim Kontemporari
di Malaysia, Kuala Lumpur: Universiti Malaya, 2005, hal. 19.
28
Zada dan Arofah, Diskursus Politik Islam, Jakarta: LSIP, 2004, hal. 29-30.

28

Universitas Sumatera Utara


kesempatan lain, tempat lain, masyarakat lain, ataupun karena ada

kondisi-kondisi yang berlainan. Ini merupakan perkara yang dibolehkan

dalam Islam. 29

Ciri-ciri atau karakter syura sebagaimana telah disebutkan diatas,

bahwa syura dalam Islam merupakan sebuah bentuk pengambilan

keputusan yang bersifat tidak mengikat, tidak didasari pada sebuah

keputusan yang diambil berdasarkan suara mayoritas dan tidak terbatas

pada kuantitas saja serta syura tidak mengenal rumusan baku, sehingga

keputusan yang diambil bisa diterima oleh sebuah pihak yang

bermusyawarah. Akan tetapi, keputusan yang diambil dalam syura

adalah sebuah ketetapan yang paling mendekati kebenaran, walaupun

tidak menutup kemungkinan ide atau gagasan yang tidak menjadi

ketetapan pada syura di lain waktu bisa digunakan tergantung pada

situasi dan kondisi, karena dalam hukum Islam, hal itu dibolehkan.

F.3. Konsep Demokrasi

Istilah demokrasi berasal dari dua kata, yaitu “demos” yang

bermaksud rakyat dan “kratia” yang bermaksud pemerintah. Demokrasi

dapat dirumuskan sebagai pemerintahan yang diuruskan oleh rakyat

dalam sesuatu masyarakat. 30 Demokrasi menurut R.M. Maclver adalah

29
As-Syawi, Op.Cit., hal. 107-108.
30
K. Ramanathan, Asas Sains Politik, Kuala Lumpur: Fajar Bakti Sdn. Bhd., 1989, hal.

29

Universitas Sumatera Utara


rakyat tidak memerintah tetapi mengawal pemerintah dengan cara

menunjuk perasaan secara terus menerus melalui pemilihan umum.

Sementara J.W. Garner berpendapat bahwa demokrasi berarti

pemerintahan yang mirip kepada perwakilan. Pegawai-pegawai serta

agen-agen pemerintahan dipilih oleh pemilih dalam pemilihan umum

secara langsung. Mereka yang dipilih pula bertanggung jawab

melaksanakan tugas-tugas seperti yang dikehendaki oleh pemilih. 31

Demokrasi corak modern tercipta pada abad ke-19 dan ke-20. Ia

dapat dianggap sebagai satu fenomena modern. Malah pengalaman corak

pemerintahan demokrasi dianggap sebagai syarat dasar sebelum sebuah

negara itu dapat dianggap sebagai negara. Di antara faktor- faktor yang

menyebabkan perkembangannya ialah teknologi yang mengubah corak

ekonomi dan kehidupan sosial, pergerakan agama (reformation), dan

penyalahgunaan kuasa oleh pemerintahan tradisional. 32

Sebuah negara bisa disebut sebagai negara demokratis jika

memenuhi syarat-syarat berikut: 33

1. Bentuk pemerintahan harus didukung oleh konsensus umum.

2. Peraturan-peraturan serta dasar-dasar umum dibuat oleh wakil-wakil

rakyat yang dipilih melalui pemilihan.

22.
31
Ibid.,hal. 24.
32
Ibid.
33
Ibid.,hal. 25.

30

Universitas Sumatera Utara


3. Pimpinan negara dan ketua pemerintahan dipilih secara langsung atau

tidak langsung melalui proses pemilihan umum. Beliau seharusnya

bertanggung jawab kepada badan perundangan yang dikuasai oleh

wakil-wakil rakyat.

4. Hak memilih secara langsung diberikan kepada rakyat atas dasar

kesederajatan.

5. Jabatan-jabatan serta tugas-tugas pemerintahan dipegang oleh pegawai

yang dilantik berdasarkan kelayakan daripada semua golongan rakyat.

6. Kedaulatan didefinisikan sebagai “menangani dan menjalankan suatu

kehendak atau aspirasi tertentu”. Dalam sistem demokrasi kedaulatan

berada di tangan rakyat. Hal ini berarti rakyat sebagai sumber aspirasi

(hukum) dan berhak menangani serta menjalankan aspirasi tersebut.

Walaupun sistem ini mengakui rakyat berhak dan mempunyai kuasa

terhadap pemerintahan, adalah tidak logic dan masuk akal jika jumlah

mereka yang besar itu dibolehkan mengurus negara dan bersidang

dalam satu waktu tertentu. Di sini penting adanya suatu perwakilan.

7. Kebebasan berbicara (freedom of speech), dengan jalan mana warga

negara dapat menyatakan pendapat-pendapat mereka secara terbuka

mengenai persoalan-persoalan publik tanpa dihantui rasa takut, baik

pendapat yang berupa kritik maupun dukungan terhadap pemerintah.

Dalam sistem yang demokratis, adalah penting bagi para pejabat

31

Universitas Sumatera Utara


pemerintah untuk mengetahui bagaimana pendapat rakyat tentang

kebijakan-kebijakan yang mereka ambil dan keputusan-keputusan

yang mereka buat. Dalam sistem demokrasi, kebebasan adalah faktor

utama untuk memberi kesempatan kepada masyarakat untuk

mengekspresikan kehendaknya (apa pun bentuknya) secara terbuka

dan tanpa batasan atau tekanan.

8. Sistem pemilihan yang bebas (free elections) , di mana rakyat secara

teratur, menurut prosedur-prosedur konstitusional yang benar,

memilih orang-orang yang mereka percayai untuk menangani urusan-

urusan pemerintahan. Sistem pemilihan itu semua tingkat perwakilan,

dari anggota dewan hingga kepemimpinan (presidency) negara.

9. Pengakuan terhadap pemerintahan mayoritas (majority rule) dan hak-

hak minoritas (minority rights): Dalam sistem yang demokratis,

keputusan-keputusan yang dibuat oleh mayoritas didasarkan pada

keyakinan umum bahwa keputusan mayoritas lebih memungkinkan

suatu kebenaran daripada keputusan minoritas. Akan tetapi, keputusan

mayoritas tidak juga berarti memberikan kebebasan pada mereka

untuk bertindak sesuka hati. Yang melekat dalam prinsip yang

demokratis adalah komitmen bahwa hak-hak warga negara yang

fundamental tidak boleh dilanggar, misalnya kebebasan berbicara,

32

Universitas Sumatera Utara


kebebasan pers, kebebasan berorganisasi dan berkumpul, dan

kebebasan untuk beribadah.

10. Partai-partai politik dalam sistem yang demokratis memainkan

peranan penting. Dengan partai politik, sebagai alat, rakyat dengan

bebas bersatu pikiran menurut dasar keyakinan mereka tentang

bagaimana caranya meraih penghidupan yang layak bagi diri,

keluarga, dan keturunan mereka sendiri.

11. Pemisahan antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dengan

pemisahan ini, proses check dan balance di antara ketiga lembaga

pemerintahan tersebut akan mampu mencegah terjadinya praktik-

praktik eksploitatif yang potensial.

12. Otoritas konstitusional (constitutional authority) adalah otoritas

tertinggi bagi validitas setiap undang-undang dan aturan pelaksana apa

pun. Otoritas konstitusional berarti supremasi aturan hukum (rule of

law) , bukan aturan-aturan individual, dalam setiap upaya pemecahan

berbagai masalah publik.

G. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari

peraturan-peraturan yang terdapat dalam suatu penelitian. Ditinjau dari sudut

filsafat, metodologi penelitian merupakan epistemologi penelitian, yaitu yang

33

Universitas Sumatera Utara


menyangkut bagaimana kita mengadakan penelitian. 34 Metode penelitian dalam

penelitan ini adalah:

1. Jenis Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif

kualitatif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk

menggambarkan secara cermat karakteristik dari fakta-fakta (individu, kelompok

atau keadaan), dan untuk menentukan frekuensi sesuatu yang terjadi. Penelitian

jenis ini dimaksudkan untuk memberikan deskripsi yang seteliti mungkin tentang

manusia atau suatu keadaan. 35 Jenis penelitian ini digunakan karena dalam

penelitian ini, peneliti ingin menggambarkan atau mendeskripsikan mengenai

prinsip syura dalam Islam dan perbandingannya dengan prinsip demokrasi

berdasarkan sumber-sumber pustaka.

2. Jenis dan Sumber Data

Jenis dan sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini dijabarkan

sebagai berikut :

a. Jenis Data

Jenis Data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data yang bersifat

kualitatif. Data kualitatif adalah data yang tidak berupa angka-angka,

34
Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, 2009, Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta: Bumi Aksara,
hal. 41.
35
Ibid,. hal. 58

34

Universitas Sumatera Utara


melainkan dalam bentuk deskripsi berupa berbagai keterangan

menyangkut hal-hal yang bertalian dengan materi penelitian ini.

b. Sumber Data

Sumber data yang di pakai dalam penelitian ini bersumber dari data primer

dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini yaitu berasal dari

buku-buku, sedangkan data sekunder, yaitu berasal dari jurnal, internet

serta artikel dan lain-lain yang berkaitan dengan penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang relevan, akurat, dan mampu menjawab

permasalahan secara objektif, maka digunakan beberapa teknik yang sesuai

dengan sifat dan jenis data yang ada. Penelitian ini dilakukan melalui penelitian

kepustakaan (library research). Dengan mengumpulkan informasi sebanyak

mungkin yang berkaitan dengan judul penelitian dan juga permasalahan penelitian

dari berbagai literatur, seperti buku, jurnal, situs internet dan bentuk literatur

lainnya yang terkait.

4. Teknik Analisis Data

Dalam menganalisis data pada penelitian ini, penulis menggunakan teknik

analisis data kualitatif dengan studi komparatif. Metode kualitatif dapat

didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang

berupa ucapan, tulisan dan perilaku yang diamati. Teknik analisa data dalam

35

Universitas Sumatera Utara


penelitian ini dimulai dari proses pengumpulan data kemudian data yang telah

dikumpulkan dianalisis dengan variable-variabel dan diperbandingkan antara

variabel. Kemudian dari hasil analisis data tersebut, dibuatlah suatu kesimpulan

dari jawaban permasalahan dalam penelitian ini.

H. Sistematika Penulisan

BAB I: PENDAHULUAN

Dalam bab pertama, penulis membagi pembahasan ke dalam latar belakang

masalah, perumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II: KONSEP SYURA DAN KONSEP DEMOKRASI

Dalam bab kedua, penulis akan menjelaskan mengenai bagaimana konsep syura

dalam politik Islam. Seperti, definisi syura dan praktik syura dalam sejarah

pemerintahan Islam serta konsep mengenai sistem demokrasi.

BAB III: PERBANDINGAN PRINSIP SYURA DAN PRINSIP

DEMOKRASI

Dalam bab ketiga, penulis akan menganalisis mengenai perbandingan antara

prinsip syura dan prinsip demokrasi.

36

Universitas Sumatera Utara


BAB IV: PENUTUP

Bab keempat merupakan bab terakhir dari penulisan. Adapun isi dari bab ini

adalah kesimpulan atas hasil analisis data dalam penelitian.

37

Universitas Sumatera Utara


BAB II
KONSEP SYURA DAN KONSEP DEMOKRASI

A. Konsep Syura
A.1. Pengertian Syura

Kata Syura merupakan bentuk mashdar, dari kata kerja Syawara yusyawiru

yang artinya menampakkan dan menawarkan atau mengambil sesuatu. 36 Syura

yang diambil dari akar kata syawara menurut M. Quraish Shihab bermakna

“mengeluarkan madu dari sarang lebah”. 37 Makna ini kemudian berkembang

sehingga mengandung arti mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau

dikeluarkan dari yang lain termasuk pendapat dan pemikiran, hal ini karena

musytasyir atau orang yang mengajak bermusyawarah seakan-akan mengambil

pendapat dari orang lain. 38

Secara etimologi kata syura mempunyai arti nasihat, konsultasi,

perundingan, pikiran dan konsideran permufakatan. 39 Sedangkan secara

terminologis berarti majelis yang dibentuk untuk mendengarkan saran dan ide,

bagaimana mestinya dan terorganisir dalam urusan negara. Berikut definisi syura

menurut beberapa ulama, antara lain:

36
Ibn Zakariah, Abu al-Husein ibn Faris. Mu’jam Maqayis al-Lughat, Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi,
1972, Jilid III, hal. 226.
37
Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudlu’i atas berbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan,
1996, hal. 469.
38
Ibn Zakariah, Abu al-Husein ibn Faris, Op.Cit., hal. 542.
39
Al-Mandzur, Jamal al-Din Ibn., Lisan al-‘Arab, VII Kairo: Al-Babi Al-Halabi, 1969, hal. 407.

38

Universitas Sumatera Utara


1. Abd al-Rahman Abd Al-Khaliq mendefinisikan syura sebagai berikut,

syura adalah eksplorasi pendapat orang-orang berpengalaman untuk

mencapai sesuatu yang paling dekat dengan kebenaran. 40 Definisi ini

tampak mengungkapkan pengertian syura dari aspek usaha jajak

pendapat bersumber pengalaman partisipan.

2. Abd al-Hamid Ismail al-Anshari, mengatakan bahwa syura adalah

eksplorasi pendapat umat atau orang-orang yang mewakili mereka,

tentang persoalan-persoalan yang umum dan berkaitan dengan

kemaslahatan umum pula. 41 Dari definisi ini dapat dipahami bahwa

umat mempunyai hak untuk diminta pendapatnya dalam memilih

pemerintah yang diinginkannya, dan hak untuk diminta pendapatnya

dalam memecahkan atau menyelesaikan permasalahan-permasalahan

yang penting, dengan demikian umat mempunyai hak mengawasi,

megkritik, meluruskan, dan mengemukakan mosi kepada penguasa.

3. Ibn al-Arabi mengatakan, bahwa syura adalah pertemuan guna

membahas permasalahan, masing-masing mereka saling

bermusyawarah dan mengemukakan pendapat yang dimilikinya. 42

4. Mahmud Muhammad Baballi mengemukakan bahwa, syura adalah

tukar-menukar pendapat guna memperoleh yang paling mendekati

40
Abd Al-Rahman Abd al-Khaliq, Al-Syura fi Zhilli Nidzam al-Hukm al-Islami, Kuwait:Al-Dar al-Salafiyah,
1975, hal. 14.
41
Abd Al-Hamid Ismail al-Anshari, Al-Syura wa Atsaruha fi al-Dimuqratiyah, Kairo : al-Maktabah al-
Salafiyah, 1981, hal. 4.
42
Ibn. Al-Arabi, Ahkam AL-Quran, Berut: Dar al-Fikr, 1988, Jilid I, hal. 389.

39

Universitas Sumatera Utara


kebenaran; maka karena itu, syura sekaligus merupakan bentuk dari

tolong menolong, saling menasehati, kemauan yang kuat, dan tawakkal

kepada Allah. 43

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa syura adalah

pertemuan para ahli untuk membahas suatu permasalahan dengan saling

mengemukakan pendapat para anggota, diminta atau tidak, agar diperoleh

kesimpulan dan berdasarkan niat taqwa kepada Tuhan (Allah SWT). Dalam kajian

keIndonesiaan, istilah syura dalam bentuk lembaga disebut dengan majelis syura

atau lembaga musyawarah.

Dalam pandangan Islam, syura dilaksanakan oleh umat Islam dalam setiap

lapisan sosial. Syura menjadi suatu metode yang khas bersumber pada inti ajaran

ketuhanan dan tradisi kenabian atau sunnah. Dengan syura semua orang

mempunyai kesempatan tanpa membedakan, semua bebas mengemukakan

pendapat. Dengan demikian, dalam syura menurut Shubhi dan al-Ansyari,

kepribadian dan ketokohan seseorang diakui oleh yang lainnya. 44

Dalam melaksanakan syura, terdapat empat unsur yang harus diperhatikan

dan dijadikan sebagai penentu yang tidak boleh ditinggalkan, yaitu: 45

43
Mahmud Muhammad Baballi, Al-Syura Suluk wa al-Iltizam, Makkah: Maktabah al-Tsaqafah, 1986, hal. 19.
44
Shubi Abduh Sa’id, Al-Hakim wa Ushul al-Hukm fi al-Nizam al- Islami, Kairo Mathba’ah Jami’ah al-
Qahirah, 1986, hal. 108. Lihat juga, al-Anshari, al-Syura wa Atsaruha...., hal. 5.
45
Artani Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi (Analisis Konseptual Aplikatif dalam Lintasan Sejarah
Pemikiran Politik Islam), Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001, hal 21-22.

40

Universitas Sumatera Utara


1. Mustasyir, yaitu orang yang menghendaki adanya musyawarah dan

menginginkan suatu pendapat yang benar atau mendekati kebenaran.

2. Mustasyar, yaitu orang yang diajak bermusyawarah.

3. Mustasyar fih, yaitu permasalahan yang akan dikaji atau dijadikan

objek bermusyawarah.

4. Ra’yu, yaitu pendapat bebas yang argumentatif mencermati esensi

syariat dan terlepas dari perasaan nafsu. 46

Dalam kitab suci Al-Qur’an terdapat tiga ayat yang akar katanya

menunjukkan mengenai musyawarah dan hanya mengandung kaidah-kaidah

umum. Yaitu pada surat Al-Baqarah 2:233, Ali Imran 3:159, dan Al-Syura 42:38.

Menurut Taufiq al-Syawi bahwa kaidah musyawarah dalam Islam, pertama

merupakan kaidah kemanusiaan; kedua, kaidah sosial dan moral; ketiga, kaidah

konstitusional bagi sistem pemerintahan. 47

1. Musyawarah dalam urusan keluarga

Ayat Al-Quran yang menunjuk kepada pemahaman musyawarah dalam

lingkup keluarga adalah dalam surat Al-Baqarah ayat 223, yaitu:

46
Baballi, al-Syura...., hal. 20.
47
Al-Syawi, Taufiq Muhammad, Fiqh al-Syura wa al-Istisyarah, Jakarta: Gema Insani Press, 1997, hal. 201.

41

Universitas Sumatera Utara


“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,
yaitu bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah
memberi makan dan pakaian. Kepada para ibu dengan cara ma'ruf.
Seorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang ibu
menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah menderita karena
anaknya. Ahli waris pun berkewajiban seperti itu pula. Apabila keduanya
ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan persetujuan dan
permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya.
Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak
ada dosa bagimu memberikan pembayaran menurut yang patut.
Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat
apa yang kamu kerjakan.”
Ayat di atas membicarakan bagaimana seharusnya suami istri dalam

mengambil keputusan yang berhubungan dengan rumah tangga, misalnya

mengenai problem anak yaitu bayi yang baru lahir. Pada ayat ini diawali dengan

kalimat, “Kaum Ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selam dua tahun yaitu

bagi yang ingin menyempurnakan susuan...”. Ayat ini menjelaskan bahwa masa

42

Universitas Sumatera Utara


penyusuan adalah dua tahun, namun apabila suami istri ingin menyapih 48 anak

mereka atas dasar kerelaan dan musyawarah, dengan maksud untuk kemaslahatan

anak, mereka sepakat menghentikan susuan atau menyapinhnya sebelum sampai

masa dua tahun, hal ini boleh saja dilakukan. Dengan demikian juga jika mereka

bermusyawarah untuk mengambil seorang wanita agar dapat menyusukan

anaknya, dengan syarat diberikannya imbalan jasa sesuai dengan kemampuan. 49

Surat Al-Baqarah turun pada periode madinah (madaniyah). Secara global,

QS. al-Baqarah ayat 233 mengadung konteks pembicaraan mengenai sikap yang

diperintahkan kepada orang tua sebagai pemimpin rumah tangga yakni:

1. Ibu bertugas menyusui anaknya.

2. Ayah bertugas mencarikan rezki.

3. Keduanya (ibu dan ayah) bermusyawarah.

Kata permusyawaratan, mengandung ajaran bahwa orang tua berkewajiban

mengadakan musyawarah dalam rangka mengupayakan kelangsungan hidup anak-

anak mereka secara baik. Muhammad Rasyid Ridha menjelaskan bahwa hanya

kedua orangtualah yang berhak menentukan perihal bayi. Adapun jika salah satu

pihak berbuat sesuatu yang membahayakan bayi, misalnya ibunya enggan

menyusuinya atau ayahya tidak mau lagi mengeluarkan biaya sebelum masa yang

telah disepakati habis, maka di sini, peranan seorang ibu sangat penting, sebab

secara naluriah, seorang ibu akan lebih sayang terhadap bayinya. Di sinilah

48
Menyapih adalah menghentikan anak menyusu
49
Artani Hasbi, Op.Cit.,hal. 2.

43

Universitas Sumatera Utara


pentingnya musyawarah bagi kedua orang tua sebelum melaksanakan suatu

pekerjaan, betapapun kecilnya masalahnya seperti dalam masalah pendidikan

anak, dan tidak dibenarkan mengambil keputusan secara sepihak tanpa

menghiraukan pihak lain. 50 Selanjutnya, Dr. Wahbah Zuhailiy menjelaskan bahwa

ayat tersebut, merupakan petunjuk Al-quran untuk mengadakan musyawarah

mulai dari hal-hal yang terkecil untuk mendidik anak, dan sangat dituntut karena

faidahnya lebih besar. 51

Mahmud Hijaziy menjelaskan ayat-ayat yang mendahului QS. al-Baqarah

(2): 233 tersebut berbicara tentang masalah talak, kemudian ayat 233 ini berbicara

tentang masalah penyapihan. Menurutnya, bahwa kedua masalah ini terkait (ber-

munāsabah atau berkaitan) dengan masalah keluarga. 52 Masih terkait dengan

aspek munāsabahnya, M. Quraish Shihab juga menjelaskan bahwa QS. al-

Baqarah (2): 233 masih merupakan rangkaian pembicaraan tentang keluarga.

Setelah berbicara tentang suami isteri, maka pembiracaan pada ayat ini adalah

tentang anak yang lahir dari hubungan suami isteri itu. Di sisi lain, ia masih

berbicara tentang wanita-wanita yang ditalak, yakni mereka yang memiliki bayi.53

Dengan menggunakan redaksi berita, ayat ini memerintahkan dengan sangat

50
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Jilid IV (Mesir: Maktabah al-Qahirah, 1970, hal.
45.
51
Wahbah al-Zuhaily, Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Manhaj , Juz II (Bairut: Dar al-Fikr al-
Mu’ashir, 1991.
52
Mahmūd Hijāziy, al-tafsīr al-Wādhih, juz I Cet. X; Bairūt: Dār al-Jīl, 1993,hal. 301.
53
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, op. cit., vol. 2, hal. 241-242.

44

Universitas Sumatera Utara


kukuh kepada para ibu agar menyusukan anak-anaknya, dan persoalan

rumahtangganya dimusyawarahkan antara suami isteri.

2. Musyawarah dalam bermasyarakat

Allah SWT berfirman dalam bentuk perintah yang menganjurkan kepada

RasulNya agar bermusyawarah dengan para sahabatnya. Hal ini disebutkan dalam

surat Ali Imran 3:159, yaitu:

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut


terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah
mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarah-lah dengan
mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan
tekad, maka bertawakkal-lah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya“.

Ayat ini dari segi redaksional ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW agar

bermusyawarah dengan para sahabatnya atau anggota masyarakat. Ayat ini

merupakan bagian dari suatu rangkaian ayat-ayat yang berkenaan dengan perang

45

Universitas Sumatera Utara


Uhud. Nabi Muhammad SAW menegaskan pembagian antara urusan keduniaan

dan keagamaan. Persoalan agama misalnya, ibadah, syariat, atau hukum-hukum

dasar dari Allah SWT. Sedangkan persoalan keduniaan, misalnya perang atau

damai, ekonomi, pertanian, peternakan, hubungan sesama manusia (Hablun min

al-nas) dan lingkungan, hendaknya dimusyawarahkan berdasarkan kepada

pertimbangan maslahat, artinya memilih yang lebih baik bagi masyarakat umum

dan mafsadat artinya meninggalkan hal-hal yang membahayakan.

Ayat 159 sampai ayat 165 dalam QS. Ali Imran, berbicara tentang perang

Uhud. Karena itu, Ibn Kaśīr menjelaskan bahwa sebab-sebab turunnya QS. Ali

Imrān (3): 159, secara khusus berkaitan dengan perang Uhud. 54 Ayat ini

Ditambahkan oleh al-Wāhidiy berdasarkan riwayat dari al-Kalabi, ia berkata

bahwa ayat tersebut turun ketika para tentara Islam berlomba-lomba menuntut

rampasan perang. 55 Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Nabi SAW berkali-

kali mengutus pasukan ke medan jihad. Pada suatu waktu, ada pasukan yang

kembali dan di antaranya ada yang mengambil ghanīmah (harta rampasan perang)

54
Ibn Kaśīr, Abū al-Fidā, Muhammad Ismā‟il . Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm, juz IV. Semarang:
Toha Putra, hal. 420. Perang Uhud adalah pertempuran antar pasukan Nabi saw melawan pasukan
Quraisy yang dipimpin oleh Abū Sufyan. Perang ini terjadi pada siang hari Sabtu, 7 Zulaqaedah 3
H, dan pasukan Nabi saw mengalami kekalahan. Sekitar 80 pasukan Nabi saw menjadi korban,
bahkan dikabarkan bahwa Nabi saw sendiri telah terbunuh dalam peperangan ini. Kekalahan yang
di-alaminya disebabkan kelengahan para sahabat yang diserahi mengamankan tempat-tempat
strategis, dan mereka begitu tertarik untuk menguasai harta rampasan perang.
55
Abū al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidiy al-Naysābūriy, Asbāb al-Nuzūl , Jakarta: Dinamika
Utama, hal. 84.

46

Universitas Sumatera Utara


sebelum dibagikan menurut haknya. Maka turunlah ayat tersebut sebagai larangan

mengambil rampasan perang sebelum dibagikan oleh amīr (pimpinan). 56

Berdasar pada sabab nuzūl (ilmu Al-Qur'an yang membahas mengenai latar

belakang atau sebab-sebab suatu atau beberapa ayat al-Qur'an diturunkan). ayat

tersebut di atas, maka dipahami bahwa ketika terjadi perang Uhud, Nabi SAW

kecewa atas tindakan tidak disiplin sebagian sahabat dalam pertempuran yang

mengakibatkan kekalahan di pihak Nabi. Melalui QS. Ali Imrān (3): 159 Allah

swt mengingatkan Nabi SAW bahwa dalam posisinya sebagai pemimpin umat, ia

harus bersikap lemah lembut terhadap para sahabatnya, memaafkan kekeliruan

mereka dan bermusyawarah dengan mereka.

3. Musyawarah dalam politik pemerintahan

Dalam surat al-Syura 42:38, yaitu:

“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan


mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah

Jalāl al-Dīn al-Suyūtiy, Lubāb al-Nuqūl fī Asbāb al-Nuzūl diterjemahkan oleh Qamaruddin
56

Shaleh, et al dengan judul Asbabun Nuzul; Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-
Qur’an Cet. II, Bandung: CV. Diponegoro, 1975, hal. 198.

47

Universitas Sumatera Utara


antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami
berikan kepada mereka”.

Kata syura dalam ayat diatas berada diantara dua rukun Islam yaitu

mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat, dimana keduanya merupakan pilar

Islam. 57 Sehingga musyawarah merupakan sifat keimanan seorang muslim. Ayat

ini turun kepada Nabi Muhammad SAW di Madinah sebagian pujian kelompok

Anshar yang bersedia membela Nabi SAW serta menyepakati hal tersebut melalui

musyawarah. 58 Ayat ini juga dapat dipahami bahwa Nabi SAW menerima amanat

dan hijrah ke Madinah untuk membangun suatu tatanan negara kota (city state)

yang bersifat ketuhanan dengan berdasarkan prinsip syura. Dengan tegas ayat ini

juga menjelaskan bahwa syura atau musyawarah merupakan salah satu unsur

keimanan bagi seorang pemimpin.

Kata amr yang disebutkan dalam surat al-Syura ayat 38 berkaitan dengan

tentang siapa orang yang terlibat dalam syura. Sebagian ahli tafsir menafsirkan

hal tersebut terkait dengan kata amr dalam kalimat ulul amri pada surat al-Nisa

ayat 59 yang artinya: 59

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya)
dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat

57
Shalat dan zakat merupakan pilar Islam. Kokoh kuat bangunan iman seorang mukmin sangat ditentukan
oleh dua pilar ini. Dua jalur komunikasi, hablun min Allah (Shalat) dan hablun min al-nas (zakat) memberi
gambaran dua cabang kesalehan; vertikal kontak kepada Allah dan horizontal terpadu dengan masyarakat.
58
Abi al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi, Asbab Nuzul al-Qur’an, Kairo: Dar al-Kitab al-Jadid, 1969, hal.
432.
59
Quraish Shihab, Op.Cit., hal. 471.

48

Universitas Sumatera Utara


tentang sesuatu, makam kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.”

Hal ini juga berkenaan dengan hadist Rasulullah SAW, yaitu “... dan

memberikan nasihat untuk pemimpin-pemimpin kaum muslimin...”. 60 juga

Rasulullah SAW bersabda, “barang siapa yang ingin menyelesaikan suatu

permasalahan kemudian di musyawarahkan dan mendapat petunjuk, tentu

mendapatkan kebenaran masalah tersebut”. 61 Sehingga, dari hadist-hadist

tersebut diatas terlihat bahwa musyawarah dalam pemerintahan memiliki dalil

yang kuat dan benar-benar menjadi ciri-ciri pemerintahan dalam Islam.

QS. al-Syūra ayat 38 turun pada periode Makkah. Dalam hal ini, Ibn Kaśīr

menyatakan bahwa ayat tersebut berkenaan dengan peristiwa permusuhan yang

sedang memuncak di Makkah, sehingga sebagian para sahabat terpaksa harus

berhijrah ke Habsyah. 62 Tidak ditemukan keterangan lebih lanjut mengenai

permusuhan apa yang dimaksudkan oleh Ibn Kaśīr tersebut, namun dapat diprediksi

bahwa peristiwa tersebut terjadi pada tahun kelima kerasulannya, karena pada tahun

ini, Nabi SAW menetapkan Habsyah (Ethiopia) sebagai tempat pengungsian. 63

60
Ibn Majah, Sunan Ibn Majah ..., Jilid I, hal. 5.
61
Al-Baihaqi dalam Syu’b al-Iman, dalam Muhammad Syukri al-Alusi al-Baghdadi, Tafsir Ruh al-Ma’ani,
Beirut: Ihya’ al-Turats,t.t., jilid XXV, hal. 42.
62
Abū al-Fidā’ Muhammad Ismā’il bin Kaśīr, Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm, juz IV, Semarang: Toha
Putra, hal. 117.
63
Lebih lanjut mengenai latar belakang hijrahnya sebagian sahabat ke Habsyah, lihat Badri Yatim,
Sejarah Peradaban Islam , Cet. II; Jakarta: LSIK, 1994, hal. 22.

49

Universitas Sumatera Utara


Terkait dengan kronologi turunnya QS. al-Syūra ayat 38 tersebut, M.

Quraish Shihab menyatakan bahwa “ayat ini turun pada periode di mana belum

lagi terbentuk masyarakat Islam yang memiliki kekuasaan politik”. 64 Dengan

demikian, dapat dipahami bahwa turunnya ayat yang menguraikan syūra pada

periode Makkah, menunjukkan adanya perintah untuk bermusyawarah adalah

anjuran Alquran dalam segala waktu dan berbagai persoalan yang belum

ditemukan petunjuk Allah swt. di dalamnya. Ini berarti bahwa Nabi SAW. dan

para sahabatnya seringkali melakukan musyawarah, jauh sebelum hijrah ke

Madinah. Di Makkah (sebelum periode Madinah), memang telah ada lembaga

musyawarah, misalnya yang diselenggarakan di rumah Qusay ibn Kilāb, yang

disebut Dār al-Nadwah, beranggotkan para pemuka yang disebut Malā’. Kegiatan

tasyāwur ini biasa juga dilakukan di antara orang-orang yang berpengaruh,

termasuk orang-orang kaya dan yang dipandang cendekia atau bijak. 65

Dari keterangan ini, diperoleh informasi yang akurat bahwa Al-quran telah

meligitimasi permusyawaratan sejak awal kedatangan Islam.

Ayat sebelumnya, yakni ayat 37 dalam surah yang sama, Allah swt

menjelaskan tentang perilaku baik orang-orang sering memberi maaf. Lalu pada

ayat ke 38 ini, Allah menjelaskan tentang perilaku baik orang-orang yang

memenuhi seruan-Nya, yakni mereka yang melaksanakan shalat dan segala urusan

64
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, vol. 12 Cet. II;
Jakarta: Lentera Hati, 2002, hal. 512.
65
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an; Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci,
Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1996, hal. 445.

50

Universitas Sumatera Utara


mereka dimusyawarahkan. Pada ayat selanjutnya, yakni ayat 39 Allah swt

menjelaskan orang-orang diperlakukan secara zalim, kemudian pada ayat 40,

kembali Allah swt. menjelaskan tentang pahala orang yang selalu memberi maaf.

Dengan mencermati kandungan QS. al-Syūrah tersebut, khususnya munāsabah al-

āyat antara ayat 37 sampai dengan ayat 40, maka dapat dirumuskan bahwa

masalah musyawarah memiliki keterkaitan dengan masalah pemaafan.

Fakta di lapangan membuktikan bahwa dalam forum musyawarah seringkali

muncul sifat-sifat egoistis, dan mereka yang terlibat dalam musyawarah tersebut

saling mempertahankan pendapatnya, sehingga muncul ketegangan di antara

mereka. Dalam keadan seperti ini, maka diperlukan sikap lapang dada dan kepada

mereka diharapkan untuk menjauhi sikap marah sebagaimana yang ditegaskan

dalam ayat 37. Sikap marah tersebut akan hilang bilamana mereka saling

memaafkan, dan sikap saling memaafkan adalah sesuatu yang terpuji, bahkan

pada ayat 40 dijelaskan bahwa Allah swt memberi pahala kepada orang-orang

yang selalu memaafkan sesamanya.

51

Universitas Sumatera Utara


A.2. Etika Musyawarah

Etika bermusyawarah dimaksudkan agar dapat memberi acuan, petunjuk

agar bermusyawarah sesuai dengan norma Al-Quran dan Hadits Nabi SAW. Di

dalam etika bermusyawarah, minimal terdapat lima ketentuan, yaitu: 66

1. Disiplin. Disiplin dalam bermusyawarah digambarkan dalam surat Al-

Nur 24:62, yaitu :

”Sesungguhnya orang yang sebenamya beriman ialah yang percaya


kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan bilamana mereka bersama beliau
menghadapi suatu urusan umum, tidaklah mereka, pergi saja sebelum
memohon izinnya. Sesungguhnya orang-orang yang memohon izin ke-
pada engkau, itulah orang yang sebenamya beriman kepada Allah dan
Rasul. Maka apabila mereka memohonkan izin kepada engkau karena
keperluan keperluan mereka, berikanlah izin kepada siapa yang engkau
kehendaki di antara rriereka, dan mohonkanlah ampun untuk mereka
kepada Allah. Sesungguh nya Tuhan Allah Maha Pengampun dan
Pemurah.”

Ayat ini menjelaskan bagaimana etika bermusyawarah di masa

Nabi Muhammad SAW. Ketika musyawarah sedang berlangsung, para

peserta yang hadir tidak pernah meninggalkan forum musyawarah,

kecuali mendapat izin dari Rasul SAW. Dalam hal ini, Rasulullah SAW

juga mempunyai hak untuk menyetujui atau menolak terhadap

seseorang yang mengajukan permohonan untuk meninggalkan

pertemuan sesuai dengan situasi dan kondisi pada saat itu. Meskipun

66
Artani Hasbi, Op.Cit., hal. 60-74.

52

Universitas Sumatera Utara


diizinkan meninggalkan pertemuan dengan Rasulullulah itu lebih

mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan bersama.

2. Mengambil keputusan berdasarkan suara mayoritas. Apabila dalam

bermusyawarah ditemukan perbedaan atau perselisihan pendapat baik

dalam konteks berkeluarga, bermasyarakat maupun bernegara, maka

yang berlaku adalah suara mayoritas, hal ini jika perbedaan tersebut

berkaitan dengan masalah kepenitngan umum. Akan tetapi, apabila

musyawarah itu berkaitan dengan norma-norma hukum dan ketaatan

kepada Al-Quran dan Hadits, maka terlebih dahulu harus dibahas dalam

sidang bersama yang terdiri dari jumlah yang seimbang antara ulama di

dalam majelis dan ahli hukum pemerintah. Dan jika penyelesaian belum

tuntas, maka permasalahan itu diserahkan kepada dewan pengadilan

atau badan hukum lain sejenis yang diberi kuasa hukum. Etika dan

prosedur penyelesaian perbedaan pendapat ini diarahkan agar tidak

terjadi penyalahgunaan wewenang, serta menjunjung tinggi sistem

majelis permusyawaratan sebagai lembaga yang dimuliakan, sesuai

dengan yang tercantum pada surat al-Nisa 4:59, yaitu:

“Dan apabila anak-anakmu telah dewasa maka hendaklah mereka


meminta izin jua sebagaimana meminta izinnya orang-orang telah
terdahulu tadi. Bukankah Tuhan Allah menjelaskan ayat-ayatNya
untuk kamu; dan Allah adalah Maha Mengetahui dan Maha
Bijaksana”.

53

Universitas Sumatera Utara


Jadi, apabila terjadi perselisihan diharuskan mengembalikan

persoalan tersebut kepada sumber Islam (Al-Quran dan Hadits). Jika

permasalahan tersebut tidak terungkap dalam struktur aturan Islam yang

utama, maka penyelesaiannya dapat menggunakan cara tahkim atau

wewenang lembaga hukum atau mengambil pendapat mayoritas yang

diperkirakan akan lebih dekat kepada kebenaran, meskipun bukan

merupakan dalil pasti bagi kebenaran. Ayat diatas menjelaskan, bahwa

Allah SWT menyuruh kaum muslimin taat dan patuh kepada Nya,

Rasul Nya dan kepada orang yang memegang kekuasaan diantara

mereka untuk dapat terciptanya kemaslahatan umum atau kepada ulil

amri (orang yang memegang kekuasaan) meliputi pemerintah,

penguasa, alim ulama dan para pemimpin.

3. Pendapat yang objektif, rasional dan proporsional. Objektif dalam

musyawarah adalah suatu permasalahan yang menjadi tujuan kesadaran

semua orang, baik dalam rangka pengetahuan maupun pengalaman.

Rasional dalam musyawarah diartikan sebagai suatu permasalahan yang

disepakati bersama itu sesuai dengan nalar atau akal yang sehat, bisa

diikuti dengan atau melalui dasar-dasar pemikiran atau penalaran.

Sedangkan proporsional adalah suatu pemikiran yang tepat, cocok, dan

tidak memihak. Adanya keseimbangan dan keadilan didalam

menetapkan atau mengambil keputusan bersama, sehingga tidak ada

54

Universitas Sumatera Utara


yang merasa disepelekan atau dirugikan atau sebaliknya bangga karena

kemenangan yang diperoleh.

4. Saling menghormati sesama anggota majelis dengan menggunakan

perkataan yang lemah lembut, arif bijaksana, tegas lugas,

menyenangkan, mulia (penghormatan), berat dan menggunakan

ungkapan atau perkataan yang dapat memberi kesan atau berbekas

(baik).

5. Tekad yang bulat dan selalu bertawakal kepada Allah SWT

A.3. Sejarah Syura (Musyawarah)

Syura seperti yang telah dijelaskan diatas merupakan praktik pengambilan

keputusan, yang sesuai dengan Al-Quran dan hadist Nabi SAW ini ditandai

dengan serangkaian kejadian atau sejarah yang di lakukan sejak pada masa Nabi

Muhammad SAW hingga pada masa Khulafaur Rasyidin dan perkembangannya.

Berikut, penulis akan menjabarkan mengenai sejarah perkembangan syura dari

masa Nabi Muhammad SAW hingga masa politik Islam kontemporer :

A.3.1. Syura Di Masa Nabi Muhammad SAW

Beberapa contoh praktik Syura atau musyawarah yang dilaksanakan Nabi

yaitu sebagai berikut:

55

Universitas Sumatera Utara


1. Hadits Al-Ifk atau Berita Bohong (Musyawarah Urusan Keluarga). 67

Mendengar berita gosip yang menggoyang dan merusak citra keluarga

Nabi SAW tentang adanya anggapan perselingkuhan Aisyah istri Nabi

dengan Shafwan bin Mu’athal, Nabi segera mengadakan musyawarah

dengan para sahabat terdiri dari, Umar, Ali, Usamah bin Zaid, Ummu

Aiman, Zaid bin Tsabit. Masing-masing mengemukakan pendapatnya.

Usamah berpendapat bahwa ia tidak mengetahui apa-apa selain kebaikan.

Ali menyarankan agar Nabi memanggil budak wanita yang dipercaya oleh

Nabi. Beliau memanggil Barirah dan berkata tegas, “Demi Allah yang

mengutusmu dengan kebenaran”. Sedangkan Zaid bin Tsabit berpendapat

agar Nabi menunggu wahyu karena boleh jadi Allah akan mewujudkan

sesuatu yang baru dalam masalah tersebut. Ternyata wahyu turun, surat al-

Nur 24:26, dengan menyatakan kebersihan Aisyah binti Abu Bakar. 68

2. Perang Badar (2 Hijriah/624 M)

Pada saat itu, Nabi mengadakan persiapan perang lebih dahulu dan

bermusyawarah untuk mendapatkan persetujuan kaum Muhajirin dan

Anshar. Merundingkan berbagai analisa terhadap kemungkinan yang

terjadi dipelajari, mengingat kondisi kaum muslimin pada waktu itu masih

dalam pemantapan. Nabi meminta agar kaum Anshar menyatakan sikap

67
Mengenai istri Nabi yaitu Aisyah bint Abu Bakar. Sumber pertama dan yang menyebarkan berita bohong
tersebut adalah Abdullah bin Ubayy bin Salul, tokoh munafik. Dengan diturunkannya ayat al-Qur’an an-Nur
24:26, dengan jelas menyatakan kebersihan tuduhan berita bohong tersebut.
68
Baballi, Op.Cit., hal. 126-128.

56

Universitas Sumatera Utara


mereka, dan dengan tidak ragu mereka menegaskan siap mengorbankan

segala-galanya demi perjuangan Nabi. 69 Kemudian berangkat menuju

Badar (suatu tempat antara Mekah dan Madinah) setelah sampi di Badar,

Nabi menentukan posisi tempat pasukan dan pertahanan, tetapi seorang

sahabat Hubab al-Munzir bertanya, apakah penentuan tempat tersebut

merupakan wahyu Tuhan, ataukah hanya pendapat pribadi Nabi, beliau

menjawab,”bukan wahyu tetapi pendapat pribadi”. Hubah

mengemukakan pendapatnya agar pindah lebih dekat ke sumber mata air,

pendapat tersebut dilengkapi dengan argumentasi rasional, obyektif dan

proporsional, serta strategis. Nabi pun menerima pendapat Hubab. 70

Setelah mendapat kemenangan dalam perang ini, Nabi kembali

bermusyawarah tentang tawanan perang. Ada tiga pendapat yang

didiskusikan, yaitu; pendapat Abu Bakar agar tawanan perang ditukar

dengan tebusan; pendapat Umar agar semua tawanan perang dibunuh; dan

pendapat Abdullah bin Rawahah yang mengusulkan mereka dimasukkan

ke lembah yang dipanaskan dengan api. Akhirnya Nabi mengambil

pendapat Abu Bakar. 71

3. Perang Uhud (3 H/625M)

Menjelang keberangkatan menuju perang Uhud. Nabi mengadakan

musyawarah bersama sahabat untuk menentukan strategi dalam

69
Al-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, Beirut: Dar al-Fikr, 1987, hal. 31.
70
Ibid., hal. 47; lihat juga Ibn Atsir, al-Kamil fi al-Tarikh, Beirut: Dar Shadr Dar, 1965, hal. 122.
71
Baballi, Op.Cit., hal. 115.

57

Universitas Sumatera Utara


menghadapi musuh, apakah akan bertahan di dalam kota Madina atau

berangkat menyongsong musuh yang datang dari Mekah. Nabi

berpendapat menunggu di dalam kota, tetapi banyak sahabat yang

berpendapat lebih baik menyongsong keluar kota Madinah. Nabi

mengikuti pendapat mayoritas. 72 Keputusan tersebut dipegang teguh

dengan konsisten dan konsekuen, walaupun ditengah perjalanan mereka

yang berpendapat mayoritas ingin menarik kembali pendapat mereka,

memberikan kebebasan kepada Nabi untuk merubah keputusan. Nabi

kepada keputusan semula, sedangkan Abdullah bin Ubay (pimpinan kaum

munafik Madinah) bersama pengikutnya menarik diri dan kembali ke

Madinah. Dalam peperangan ini sejumlah juru panah lupa akan pesan

Nabi, mereka terpengaruh dengan harta rampasan, mengakibatkan kaum

muslimin mengalami kekalahan.

4. Perjanjian Hudaibiyah (7 H/629 M)

Praktik syura yang dilaksanakan Nabi pada perjanjian Hudaibiyah ini

cukup menarik untuk dicermati. Naskah perjanjian damai antara Nabi

dengan kaum Quraisy Mekah ditulis oleh Ali bin Abi Thalib. Abu Bakar

dan Umar ikut memberikan pendapat, tetapi tidak diikuti Nabi. Beliau

lebih cenderung mengikuti keinginan Suhail bin ‘Amr (wakil kaum

72
Dalam perang Khandak (disebut juga perang Ahzab) Nabi tidak mengikuti pendapat mayoritas. Beliau
mengikuti pendapat sahabat Salman al-Farisi yang mengusulkan agar kaum Muslimin menbuat parit di sekitar
kota Madinah dan memperkuat pertahanan dalam kota. Pendapat ini ditentang oleh kaum Anshar dan
Muhajirin. Tapi akhirnya mereka menerima pendapat Salman setelah Nabi memberi persetujuan. (Ibn Atsir,
al-Kamil ..., hal. 178-179). Lihat juga Baballi, Op.,Cit, hal. 118).

58

Universitas Sumatera Utara


Quraisy). Ada kalimat yang dapat dicatat, yaitu kalimat “Dengan nama

Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang” diganti dengan

“Dengan nama-MU ya Tuhan”. Dan yang kedua adalah “Ini adalah

naskah perjanjian Muhammad utusan Allah bersama Suhail bin ‘Amr”,

diganti dengan “Ini adalah naskah perjanjian Muhammad bin Abdullah

bersama Suhail bin ‘Amr”. Para sahabat sangat marah kepada Suhail,

karena Nabi menyetujui dan mengikuti keinginan Suhail. 73

Peristiwa bersejarah tersebut menunjukkan kebesaran jiwa seorang

Nabi pilihan. Beliau dalam bermusyawarah (membuat draft perjanjian

damai) berusaha mamahami keinginan musuh dan mengikutinya. Tidak

terperangkap pada perdebatan dan perbedaan pendapat, yang penting bagi

Nabi, bukan perdebatan membuat naskah, tetapi terwujudnya perjanjian

damai, dengan perjanjian Hudaibiyah itu, eksestensi umat Islam dalam

konstalasi politik telah diakui oleh kaum Quraisy Mekah.

Dari contoh musyawarah atau syura diatas tergambar jelas

Bagaimana Nabi meyelesaikan masalah-masalah sosial politik yang

sedang dihadapi, dan beliau selalu aspratif serta dapat mentolerir adanya

perbedaan pendapat diantara sahabat, tidak terkecuali berhadapan dengan

musuh, sedangkan mekanisme pengambilan keputusan terkadang beliau

mengikuti mayoritas meskipun tidak sejalan dengan pendapatnya,

73
al-Thabari, Op.Cit. hal. 226-227.

59

Universitas Sumatera Utara


terkadang mengikuti minoritas, dan ada pula mengambil keputusan dengan

pendapat sendiri tanpa mengambil saran sahabat, dan ada pula keputusan

beliau sendiri tanpa didahului konsultasi dengan sahabat. Dengan

demikian Nabi tidak menetapkan suatu sistem, cara dan metode

musyawarah yang baku, tapi lebih bersifat variatif, fleksibel, dan adaptif.

A.3.1. Syura atau Musyawarah di Masa Abu Bakar (Tahun 11-13 H) 74

Abu Bakar al-Shiddiq menjadi khilafah pertama melalui hasil

musyawarah dalam suatu pertemuan yang berlangsung pada hari kedua

setelah Nabi Wafat, sebelum jenazah beliau disemayamkan. Musyawarah

tersebut diadakan di balai pertemuan Tsaqifah Bani Sa’idah. Peristiwa ini

merupakan musyawarah yang pertama kali diselenggarakan para sahabat

setelah Nabi wafat atau sebelum Abu Bakar memegang tampuk

pemerintahan.

Semula pertemuan ini diprakarsai oleh sebahagian kaum Anshar

ketika berita kewafatan Rasul SAW. Mereka segera berkumpul di balai

pertemuan tersebut. Sebenarnya kaum Anshar merasa mendapat

kehormatan yang tidak ternilai karena kehadiran Rasul SAW bersama

mereka. Hijrahnya Rasul ke Madinah membawa agama Islam yang mulai

74
Abu Bakar memiliki berbagai keutamaan antara lain, dia adalah orang yang pertama kali masuk Islam;
tokoh yang Muhajirin dengan Rasul SAW; orang yang menemani Rasul gua Hira ketika bersembunyi dari
serangan musuh; orang yang selalu dipercaya oleh Rasul untuk mrnggantikan imam shalat (Lihat al-
Thabarani, Op.Cit., hal. 209 dan Ibn al-Atsir, Op.Cit., hal. 330).

60

Universitas Sumatera Utara


sampai wafat Rasul, kaum Anshor merasa memperoleh harkat martabat

yang tinggi dan kehormatan yang sangat besar. Oleh karena itu, mereka

merasa khawatir kehilangan kehormatan bila orang yang menggantikan

kedudukan Rasul itu berasal dari kalangan Muhajirin. 75

Sementara jenazah Rasulullah Saw masih terbaring, berita

pertemuan di balai Tsaqifah tersebut cepat sampai ke tokoh Muhajirin

yaitu Abu Bakar dan Umar, dan keduanya segera berangkat menuju ke

tempat balai pertemuan tersebut sebagai wakil dari kelompok Muhajirin.

Di tempat inilah mereka kaum Nashar dan Muhajirin mengadakan

musyawarh terbuka. Terlihat dua kelompok kaum muslimin dengan

kepentingan masing-masing telah hadir di tengah-tengah umat Islam. Dari

jalannya musyawarah tersebut, dapat dilihat bagaimana keinginan kaum

Anshar dengan mengemukakan berbagai argumentasi, bahwa dari mereka

lah yang berhak menjadi pengganti Rasulullah SAW. Sebaliknya kaum

Muhajirin pun demikian. 76

Dalam situasi ini, Abu Bakar secara spontan mencalonkan Umar dan

Abu Ubaidah, tetapi kedua sahabat ini menolak, mereka berpendapat

bahwa yang lebih tepat menjabat Khalifah adalah Abu Bakar. Umar dan

75
Artani Hasbi, Op.Cit., hal. 96.
76
Ahmad Amin, Fajr al-Islam. Kairo: Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyyah, 1975, hal. 252

61

Universitas Sumatera Utara


Abu Ubaidah secara resmi menyatakan bay’at 77 kepada Abu Bakar ash-

Shiddiq dan kemudian diikuti oleh peserta sidang musyawarah.

Peristiwa musyawarah yang dialami pertama kali sesudah wafat

Rasulullah SAW ini, telah melukiskan suatu bentuk musyawarah pada

awal perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kebebasan untuk

mengemukakan pendapat telah diberikan seluas-luasnya dalam pertemuan

itu. Setiap anggota bebas menyampaiakn pendapat dan pandangannya

masing-masing untuk menentukan siapa diantara mereka yang dikehendaki

menjadi pilihan sebagai kepala negara. Perbedaan pendapat barangkali

sudah merupakan suatu hal yang wajar. Dalam pertemuan musyawarah

tersebut Abu bakar bukan merupakan calon tunggal, namun ada dau calon

yang diajukan, akan tetapi keduanya mengundurkan diri. Sebagaimana

dikatakan oleh Thomas W. Arnold, 78 bahwa Abu Bakar telah terpilih

secara aklamasi. Hasil keputusan musyawarah diambil dengan suara bulat,

artinya sebagaian besar para wakil dari kedua kelompok Anshar dan

Muhajirin menerimanya secara formal dengan membay’at.

A.3.3. Syura atau Musyawarah di Masa Umar Bin Khattab

77
Bay’at (dari kata ba’a) artinya “menjual”, mengandung makna perjanjian, janji setia atau saling berjanji
setia. Pelaksanaan bay’at selalu melibatkan dua pihak secara suka rela. Bay’at merupakan ungkapan
perjanjian dua pihak yang seakan-akan salah satu pihak menjual yang dimilikinya dan menyerahkan dirinya
dan kesetiaannya kepada pihak kedua secara ikhlas. Ibnu Manzhur, Lisan al-‘Arab, Vol. VIII, hal. 26.
78
Thomas W. Arnold, The Calipate, London: Routledge, 1967, hal. 20.

62

Universitas Sumatera Utara


Pengangkatan Umar bukan berarti Abu Bakar sebagai Khalifah

mengangkat seorang Khalifah, akan tetapi, penetapan ini hanyalah sebagai

suatu perjanjian tertulis sebagai hasil musyawarah. Perjanjian ini sifatnya

mangandung arti bahwa Umarlah satu-satunya calon khalifah pengganti

Abu Bakar yang telah disepakati melalui hasil musyawarah bersama. 79

Abu Bakar sempat mengumumkan calon penggantinya sebagai hasil

keputusan musyawarah di hadapan sahabat-sahabat Anshar dan Muhajirin

sambil digopong di balkon rumahnya seraya berkata:

“mudah-mudahan kalian senang dengan orang yang telah aku


angkat sebagai khalifah buat kalian. Aku tidak mengangkat orang
yang bertalian darah denganku (keluargaku), aku telah mengangkat
Umar dan pengangkatan ini bukan pendapatku saja”. Dengan
serentak mereka menjawab, “ kami dengar dan kami mematuhi”. 80

Dengan jawaban tersebut menjadi jelas bahwa Umarlah menjadi

khalifah kedua sebagai pengganti khalifah Abu Bakar, sedangkan

keabsahan kekhalifaan diakui setelah mendapatkan bay’at dari umat,

karena bay’at berada ditangan umat. Dengan demikian, dapat dilihat

bahwa pengangkatan Umar sebagai khalifah kedua adalah hasil

musyawarah yang sekaligus menunjukan bahwa di akhir masa

pemerintahan Abu Bakar ia tetap memperhatikan musyawarah dalam

masalah kepentingan umat.

79
Artani Hasbi, Op.Cit., hal. 105
80
Ibn al Atsir, Op.Cit., hal. 426, dan al-Anshari, al-Syura wa Atsaruha ..., hal. 88 atau dengan kalimat;
“sami’na wa atha’na”.

63

Universitas Sumatera Utara


Pada masa khalifah Umar ini, aktifitas musyawarah lebih terlihat

meningkat dibanding sebelumnya, hal ini disebabkan karena banyaknya

permasalahan yang harus dihadapi, disamping perkembangan Islam lebih

melebar. Sehingga berbagai permasalahan timbul baik masalah kenegaraan

maupun masalah keagamaan yang di bicarakan dalam forum musyawarah.

Dalam melaksanakan pemerintahan, Umar membuat beberapa peraturan

baru. Peraturan tersebut, dihasilkan atas dasar musyawarah. Misalnya

pembinaan pemerintahan dengan mendirikan kantor-kantor, meletakan

dasar-dasar peradilan dan administrasi, mengatur jaringan pos, dan

menempatkan pasukan-pasukan di daerah perbatasan. 81 Selain itu Khalifah

Umar membentuk majelis musyawarah (majelis syura) yang para

anggotanya aktif berpartisipasi terdiri dari para sahabat besar dari kaum

Muhajirin dan Anshar. Anggota majelis tersebut dikenal dengan para

qurra. 82

A.3.4. Musyawarah atau Syura di Masa Utsman bin ‘Affan

Terpilihnya Utsman bin Affan sebagai khalifah ketiga pengganti

Umar berdasarkan musyawarah setelah Umar meninggal dunia yang

dilaksanakan oleh tim pemilih. Pelaksanaan musyawarah berlangsung

dengan baik diantara para sahabat di rumah Abd al-Rahmam bin ‘Auf, dan

81
Abbas Mahmud al-Aqqad, Islamiyyat, ‘Abqariyyat ’Umar, Kairo: Dar al-Sya’ab, 1969, hal. 93-94.
82
Qurra menurut etimologi Islam adalah para penghafal kitab suci Al-Quran (selengkapnya lihat
H.A.R.Gibb, An Interpretation of Islamic History, In Studies on The Civilization of Islam, Boston: Beacon
Press, 1968, hal. 7-8).

64

Universitas Sumatera Utara


pelantikannya dilangsungkan pada hari ke tiga setelah wafatnya Umar bin

Khattab. Pelaksanaan musyawarah pemilihan khalifah ketiga ini, meskipun

atas prakarsa Umar sebelum wafat, sebagaimana halnya Rasulullah SAW.

Umar lebih suka meninggalkan masalah kepemimpinan itu tetap terbuka

dan membiarkan masyarakat atau umat memecahkan persoalan mereka

sendiri. Berbeda dengan Rasulullah SAW, Umar menyerahkan persoalan

tersebut kepada suatu tim atau majelis yang merupakan perwakilan umat.

Hal ini menunjukkan bahwa adanya perkembangan pelaksanaan

musyawarah, yang juga berbeda dengan apa yang telah dilaksanakan oleh

khalifah pertama Abu Bakar al-Shiddiq.

Pemilihan khalifah ketiga ini, dapat dikategorikan sebagai

musyawarah yang terakhir dipemerintahan Umar, sekaligus juga

merupakan awal musyawarah di era pemerintahan Utsman. Selanjutnya,

khalifah ketiga ini, harus dengan segera menuntaskan permasahan

terhadap pembunuhan khalifah kedua Umar bin Khattab. Anggapan

terhadap pembunuhan Umar dilakukan oleh raja Persia yang bersekongkol

dengan seseorang, menyebabkan putra Umar yaitu Abdullah terpaksa

membunuh Hurmuzan raja Persia. 83 Masalah ini dibawa oleh Utsman

dibawa ke sidang permusyawaratan dengan kaum Muahajirirn dengan

Anshar serta sahabat-sahabat besar yang lain.

83
Pangeran ini dibunuh oleh Abdullah bin Umar karena dianggap bersekongkol membunuh ayahnya.
(Selengkapnya lihat Ibn. Al-Atsir, Op.Cit.,Juz.III, hal. 75).

65

Universitas Sumatera Utara


Pada pemerintahannya, berbagai peristiwa terjadi, misalnya pada

paruh pertama kebijakannya, Utsman tidak mampu lebih lama

mempertahankkan kebijaksanaan yang telah diterapkan oleh

pendahulunya. Gelombang baru perpindahan penduduk ke daerah-daerah

seperti Irak dan Mesir iktu pula mewarnau pemerintahannya. Keadaan ini

lah yang mendorong para sahabat untuk mendatangi kedua daerah tersebut

dan menetap disana guna mencari penghidupan baru, dan khalifah

mengizinkannya, sehingga tidak sedikit di antara para sahabat yang

meninggalkan ibu kota Madinah yang menjadi pusat pemerintahan.

Kebijakan khalifah tersebut bertentangan dengan kebijakan

sebelumnya, misalnya ia tidak mengizinkan para sahabat meninggalkan

pusat pemerintahan. Hal ini menyebabkan ahl al-syura yang selama ini

menetap di Madinah semakin hari semakin banyak yang meninggalkan

pusat pemerintahan tersebut. Akibatnya para ahl al-syura semakin kurang

jumlahnya. Mereka yang tinggal hanyalah para pendukung Utsman, dan

kemudian khalifah Utsman menambah orang-orang tertentu di

lingkungannya. Hal ini dapat dilihat dalam pengangkatan beberapa pejabat

pemerintahan dari keluarganya sendiri. 84

Hal ini menyebabkan anggota majelis permusyawaratan menjadi

terbatas, kecil dan sempit karena hanya terdiri dari orang-orang yang pro

84
Artani Hasbi, Op.Cit.,hal. 119.

66

Universitas Sumatera Utara


terhadap pemerintahan yaiu keluarga bani Umaiyah. 85 Sidang-sidang

musyawarah yang dilaksanakan pada masa itu tidak lebih hanya sebagai

kepentingan sepihak, sementara kepentingan pihak lain diabaikan sehingga

sedikit banyaknya akan mempengaruhi suasana dan kondisi yang memicu

adanya berbagai keresahan dan kerusuhan.

Pada paruh kedua masa pemerintahan Utsman, serombongan kaum

Muslimin menghadap khalifah di bawah pimpinan ‘Amr bin Abdullah Al-

tamimi. Mereka menyatakan ketidakpuasannya terhadpa para pejabat yang

di angkat khalifah. Mendengar keluhan mereka, khalifah Utsman

mengumpulkan para anggota sidang majelis, guna memusyawarahkan

perbaikan keadaan dan situasi serta meredakan kerusuhan-kerusuhan yang

terjadi.

Pelaksanaan musyawarah pada masa itu menurun, dibanding dengan

masa khalifah pendahulunya baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Dari

segi kualitas, musyawarah yang dilaksanakan oleh khalifah Utsman lebih

berorientasi kepada kepentinga politik status quo daripada kepentingan

umat. Dari segi kuantitas, khalifah Utsman tidak banyak mengadakan

musyawarah dalam berbagai bidang misalnya bidang keagamaan. 86 Akan

tetapi ada satu hal yang tidak boleh dilupakan yaitu ada suatu musyawarah

85
Ibid.
86
Baballi, Op.Cit., hal. 187.

67

Universitas Sumatera Utara


yang sangat positif demi kepentingan umat yaitu penyeragaman bacaan

kitab suci Al-Qur’an yang sebelumnya dibaca dengan berbagai ragam

bacaan logat seperti Kufah, Basrah, Damaskus, Homs dengan bacaan yang

berbeda-beda. 87 Dari ketidakpuasan sekelompok masyarakat terjadi suatu

peristiwa berdarah yang mengakibatkan terbunuhnya khalifah Utsman. 88

A.3.5. Syura atau Musyawarah di Masa Ali Bin Abi Thalib

Segera setelah terbunuhnya khalifah Utsman, kaum muslimin

meminta kesediaan sahabat Ali untuk di bay’at menjadi khalifah, mereka

beranggapan kecuali Ali tidak ada lagi orang yang patut untuk menduduki

kursi khalifah setelah Utsman. Pelaksanaan musyawarah dalam

pengangkatan khalifah keempat ini berbeda dengan pemilihan-pemilihan

khalifah sebelumnya. Meskipun pada dasarnya pemilihan Ali bin Abu

Thalib sebagai kahlifah sesuai dengan prinsip-prinsip musyawarah.

Orang-orang atau masyarakat dari beberapa wilayah Islam yang tidak

sependapat dengan berbagai kebijakan Utsman, atau mereka yang disebut

sebagai pemberontak mengumpulkan penduduk Madinah dan meminta

mereka agar menunjuk seorang khalifah sekalipun skenarionya tekah

disusun terlebih dahulu. Sebagaimana dikatakan oleh M. A. Shaban bahwa

sahabat Ali dipilih sebagai khalifah kemudian di bay’at oleh penduduk

87
Ibn. Al-Atsir, Op.Cit., Juz III, hal. 112, juga Ibid.
88
Artani Hasbi, Op.Cit., hal. 121

68

Universitas Sumatera Utara


Madinah tanpa ragu-ragu, sehingga pemilihan terhadap Ali harus diterima

karena dia lah satu-satunya calon yang jelas dan tidak ada lagi calon lagi

yang diajukan secara terbuka. Akan tetapi penduduk Syiria yang dipimpin

oleh Mu’awiyah bin Abu Sufyan tidak bersedia membay’atnya dengan

alasan, agar Ali menyelesaikan kasus terbunuhnya Utsman. 89

Semangat musyawarah masih tetap kelihatan, sekalipun

pelaksanaannya diwarnai dengan kurangnya kebebasan dan kemerdekaan

pendapat, atau setidak-tidaknya para sahabat kurang bergairah untuk

mengemukakan pendapatnya dan selalu menolak untuk ikut terlimbat

dalam urusan khilafah. Ali menjabat sebagai khalifah keempat dalam masa

hampir lima tahun: negara dalam suasana tidak stabil. Sebenarnya kota

Madinah sebagai pusat pemerintahan sejak periode kedua yaitu pada enam

tahun yang kedua pemerintahan khalifah Utsman telah mewariskan

keadaan dan situasi serta kondisi masyarakat Madinah yang demikian

kemudian peristiwa pembunuhan terhadap khalifah Utsman dijadikan

alasan untuk tidak mematuhi dan setia kepada khalifah Ali. Bahkan

sahabat Thahlan dan Zubair mencabut pembay’atan terhadap khalifah

setelah Ali tidak mengabulkan permonohan mereka berdua dalam

menuntun bela kematian Khalifah Utsman. 90 Keadaan yang demikian

inilah, khalifah Ali nampaknya tidak bisa berbuat banyak untuk

89
al-Anshari, Op.Cit., hal. 96.
90
Artani Hasbi, Op.Cit., hal. 124

69

Universitas Sumatera Utara


membenahi pemerintahan dengan sebaik-baiknya. Khalifah Ali sendiri

sudah sangat jarang mengadakan konsiltasi apalagi musyawarah dengan

para sahabat lainnya baik dalam urusan pemerintahan maupun keagamaan.

Meski terkadang masih ada diantara sahabat yang merasa hormat kepada

khalifah dengan datang memberi nasehat, namun tidak lagi diindahkan

pendapat-pendapat tersebut.

Demikian pula, khalifah Ali pernah menolak pendapat dari al-

Mughirah bin Syu’bah dan Ibn Abbas ketika hendak mempberhentikan

para gubernur yang diangkat di masa pemerintahan Utsman. Keputusan

Ali yang seperti ini, merupakan keputusan yang otoriter, tidak lagi

pemberani, sehingga ia kurang memperhitungkan tindakan-tindakan yang

bersifat politis. Khalifah Ali tidak mau memperhatikan pendapat yang

disampaikan kepadanya padahal tiga sahabat terkenal menyampaikan

saran kepadananya. Sifat khalifah yang demikian ini mengakibatanm

ketidaksuksesannya di dalam roda pemerintahan, bahkan dapat dikatakan

gagal dalam upaya mempersatukan umat muslimin di saat itu. 91

Pada dasarnya musyawarah yang dilakukan khalifah Ali tidak

relevan dengan masalah-maslah pembangunan kenegaraan dan keislaman.

Hal yang demikian ini dapat dimaklumi karena Khalifah Ali boleh

dikatakan tidak pernah merasakan ketentraman ataupun ketenangan di

91
Ibn al-Atsir, Op.Cit., hal. 197.

70

Universitas Sumatera Utara


masa pemerintahannya. Hampir seluruh pikiran, tenaga dan waktumya

banyak tersita untuk menghadapi situasi dan kondisi kota yang selalu

diwarnai oleh pergolakan dan kekacauan.

A.3.6. Syura di Masa Pemikiran Politik Islam Klasik dan Abad Pertengahan.

Minimal ada dua peristiwa penting bagi perpolitikan umat Islam

yang menjadi titik tolak untuk dicermati, yaitu pertemuan Tsafiqah Bani

Saidah, sebagai pelaksanaan musyawarh atau syura yang pertama

dilakukan oleh kaum Musilimin sejak wafat Nabi SAW untuk memilih

pengganti beliau, dan peristiwa tahkim antara Ali dan Muawiyah. Sebab,

secara aspiratif, umat Islam dalam dua peristiwa itu mulai berpolarisasi

untuk mengorbitkan siapa yang berhak menjadi Khalifah. Perdebatan,

diskusi, musyawarah dan tiap-tiap diplomasi politik secara terbuka

berkembang mewarnai wacana pemikiran umat Islam, dan tidak dapat

dipungkiri berakibat pada pengkotak-kotakan umat Islam dalam berbagai

aliran dan paham yaitu Khawarij, Syi’ah, Muktazilah, Jbariah, Qadariyah,

dan Ahlu Sunnah Waljamaah atau Sunni.

Berkembangannya pemikiran politik klasik, teologi dan hukum yang

dipicu oleh perselisihan umat yang lahir dari pertanyaan-pertanyaan,

seperti, bagaimana status orang muslim yang membunuh status orang

Islam lain, siapa yang benar di antara Ali,Aisyah dan Muawiyah.

71

Universitas Sumatera Utara


Persoalan ini kemudian melebar menuju perdebatan fisolofis dan teologi

mnenyangkut kebebasan berpikir, masalah takdir, tawakkal, dan

sebagainya.

Pemikiran politik Klasik sebagai embrio disrkursus demokrasi dalam

Islam seakan terabaikan, dan yang mengemuka terlebih dahulu adalah

masalah teologi dan hukum. Ada dua faktor yang menyebabkan

terabaikannya disiploin ilmu poltik pada periode ini. Pertama, meskipun

paham-paham Islam lahir dari sebuah konspirasi pergolakan politik, tetapi

implikasi lahirnya kelompok politik tersebut adalah dari persoalan teoligis.

Persoalan teologis itu membutuhkan penalaran logis untuk menjawab

pertanyaan-pertanyaan seperti dosa besar, penetapan kafir Tuhan yang

akhirnya perdebatan tentang qadla, qadar, ikhtiar, tawakkal, kasab, dan

sebagainya.

Dengan demikian, ilmu atau diskursus politik yang lahir kemudian,

muncul tidak sebagai disiplin Ilmu yang independen sebagai puncak

spikulasi intelektual, tetapi merupakan bagian atau derivasi dari diskursus

teologi. Semua teori politik yang lahir ketika itudiagnkat dari suatu asumsi

bahwa pemerintahan Islam bisa eksisi dengan kontrak ketuhanan yang

didasarkan pada syari’ah. Tidak ada pemiasahan antara agama dan negara,

politik dan moral. Karena, aktifitas spekulatif orang Islam dalam

72

Universitas Sumatera Utara


hubungannya dengan negara selalu memunyai basis keagamaan dan

metafisis sekaligus.

Kedua, hubungan dunia Islam dengan dunia luar, khususnya

peradaban Yunani, belum berjalan secara intens. Pemikiran politik sunni

baru berkembang pesat pada masa Dinasti Abbasiyah, utamanya pada

pemerintahan khalifah Makmun, penguasa Abbasiyah yang ketujuh.

Penerjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab semakin

membuka cakrawal ilmu pengetahuan yang lebih luas. Hasrat di kalangan

pemikir Islam dan para ilmuan mempelajari kenegaraan secara rasional

teori-teori ilmu politik semakin bersemangat. Tidak mengherankan kalau

pemikiran politik klasik pada abad pertengahan sangat dipengaruhi oleh

alam pikiran Yunani. Di samping itu, pemikiran politik yang dirumuskan

dapat dijadikan sebagai legitimasi kekuasaan yang ada. Pemikir politik

Sunni periode ini diawali oleh Syihab al-Din Ahmad Ibu Abi Rabi dan

dilanjutkan oleh pemikir lainnya, antara lain al-Farabi, al-Mawardi, al-

Ghazali, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu khaldun. Enam orang inilah, menurut

Munawir Sjadzali, kiranya dapat dianggap sebagai eksponen-eksponen

yang mewakili pemikiran politik di dunia Islam pada zaman klasik dan

73

Universitas Sumatera Utara


zaman pertengahan. 92 Tetapi ada pula yang memasukkan al-Baqillani, al-

Baghdadi, dan al-Juwaini. 93

Pemikiran pemerintahan pada zaman klasik dan abad pertengahan

ini, ternyata pemikiran Ibn Abi Rabi tentang bentuk pemerintahan monarki

yang terbaik, diikuti oleh para tokoh lainnya dengan satu catatan penting

yaitu mengutamakan penetapan pemimpin (imamah) berdasarkan

musyawarah atau pemilihan (election atau ikhtiar). Menurut al-Mawardi,

pengangkatan kepala negara dengan cara penunjukan oleh penguasa yang

sedang berkuasa, dapat saja dibenarkan apabila didasarkan pada ijma’,

yaitu kesepakatan (ittifaq) umat Islam seperti yang pernah dilakukan

terhadap pengangkatan dua khalifah. Umat Islam menyetujui

kebijkasanaan Abu Bakar menunjuk Umar menjadi penggantinya. Mereka

(umat) juga menerima keputusan Umar membentuk tim musyawarah yang

beranggotakan enam orang untuk memilih salah seorang dari mereka

menjadi Khalifah setelah beliau wafat, tetapi penunjukan tersebut tidak

sesuka hati sang penguasa. Jika ia menunjuk menurut ijtihadnya, maka ia

harus menunjuk orang yang benar-benarpantas dan memenuhi persyaratan

untuk menduduki jabatan terhormat itu. Jika calon pengganti yang ditunjuk

itu bukan anak atau ayah dari kepala negara yang berkuasa, maka ia dapat

92
Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara, Ajaran Sejarah Dan Pemikiran, Jakarta: UIPress, 1993, hal.41-
42.
93
Artani Hasbi, Op.Cit., hal. 133.

74

Universitas Sumatera Utara


melakukan penunjukan itu sendirian dan melakukan bay’at (pengakuan),

tanpa musyawarah dengan salah seorang anggota pemilih. Kalau hal itu

(penunjukan) yang dilakukan, maka lembaga ahal al-Ikhtiyar tidak

berfungsi, konsep musyawarah dalam Al-Quran tidak di amalkan dan

teladan Nabi tidak diikuti. Padahal kebijaksanaan Abu Bakar dan Umar

mengadakan penunjukan terhadap calon pengganti mereka, tidak

meninggalkan unsur musyawarah, meskipun musyawarah terbatas di

kalangan sahabat terkemuka saja.

A.3.7. Syura di Masa Pemikiran Politik Islam Kontemporer

Diskursus pemikiran politik Islam kontemporer yaitu pada kurun

waktu kedua abad ke-19 dan paruh kedua abad ke-20 terbagi dalam

beberapa varian pemikiran yang mempunyai basis teologis, normatif dan

sosiologis yang berbeda. Realitas ini sudah barang tentu berbeda dengan

diskursus pemikiran politik Islam teori klasik dan abad pertengahan.

Varian-varian itu muncul karena berbagai faktor baik yang bersifat internal

maupun eksternal atau akumulasi antara keduanya.

Sedikitnya ada tiga kondisis aktual yang melatar belakangi polarisasi

pemikiran politik Islam kontemporer. Pertama, kemunduran dan

kerapuhan dunia Islam yang disebabkan oleh faktor-faktor internal, yang

pada perkembangan selanjutnya melahirkan gerakan modernisme pemikir

75

Universitas Sumatera Utara


dan ajaran agama. Kedua, hegemoni dan dominasi barat atas beberapa

wilayah Islam mulai dari negara-negara Maghribi sampai Asia Tenggara. 94

Hegemoni barat ini dibagun secara mapan dalam politik kolonialisme.

Ketiga, keunggulan barat dalam sektor ilmu pengetahuan, teknologi,


95
rasionalisme politik dan organisasi kenegaraan.

Faktor-faktor diatas mengharuskan para intelektual Islam modernis

yang menelaah kembali sumber pandangan-pandangan politik

konvensional. Bangkitnya pemikiran politik Islam pada periode ini

berpusat pada empat tema pokok yaityu mendobrak status quo, menolak

realisme politik yang merusak dari karya tulis abad pertengahan, kritik

sejarah dan menyelamatkan unsur-unsur demokratis masa lalu. 96

Mengkaji perjalanan sejarah pemikiran politik Islam kontemporer

pada periode ini, dapat dikategorisasikan dalam tiga varian. Pertama,

kelompok konservatif. Ciri yang menonjol kelompok ini adalah adanya

aksioma ideologis yang dibangun berdasarkan ajaran-ajaran Islam, bahwa

Islam adalah agama yang sempurna, lengkap, konprehensip, dan berlaku

universal untuk seluruh umat manusia di semua waktu dan tepat. Asumsi

ini membawa aplikasi ada keharusan untuk menerima superioritas Islam

94
Sejak abad ke-19, ekspansi politik dan ekonomi barat (Eropa) telah menguasai sebagian besar wilayah
Islam. (Selengkapnya lihat C.E. Bosworth, “The Historical Background of Islamic Civilization” dalam R.M.
Savory (Ed), Introduction of Islamic Civilization, Cambridge: Cambridge University Press, 1976, hal. 29.
95
Munawir Sjadzali, Op.Cit., hal. 115.
96
Hamid Enayat, Modern Islamic Political Thought: The Respons of the Shi’I and Sunni Muslims to the
Twehtieth Certury, London: The Macmillan Press, 1982, hal. 16-17.

76

Universitas Sumatera Utara


sebagai satu-satunya ideologi untuk mengkontruk sistem politik atau

kenegaraan. Tokoh-tokoh utama dari kelompok ini antara lain Hasan al-

Banna, Syahid Qutb, Hasan al-Turabi, Hasan Ismail al-Hudhaibi, dan Abu

al-A’la al-Maududi.

Kedua, kelompok modernis. Pemikir yang menonjol dari kelompok

ini adalah Jamaludin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.

Kelompok modernis mengajukan upaya reformasi dalam rangka

menemukan kembali rasionalisme, saintisme, dan progresivisme dalam

Islam. Meskipun usaha itu kemudian di kembalikan ke jalan tradisional

oleh Rasyid Ridha, ketika upaya reformasi baru berjalan sebagian.

Modernisme berusaha melakukan reformasi politik melalui sosialisasi

ajaran-ajaran Islam tentang musyawarah dalam dewan-dewan konstitusi

dan badan-badan perwakilan rakyat, pembatasan kekuasaan dan

kewenangan pemerintah dengan konstitusi dan undang-undang, serta

pengerahan kekuatan dan potensi rakyat untuk mendukung reformasi

politik sekaligus membebaskan dunia Islam dari penjajahan dan dominasi

barat. 97

Ketiga, kelompok liberal. Kelompok ini pada intinya ingin berupaya

mengadakan perubahan radikal-fundamental dalam pola berpikir umat

Islam yang dianggap stagnan dengan mengedepankan dekonstruksi

97
Munawir Sjadzali, Op.Cit., hal. 127.

77

Universitas Sumatera Utara


pemikiran Islam yang telah mapan. Paradigma dekonstruksi ini di

implementasikan sebagai kerangka pemikiran untuk menginterpretasikan

nilai-nilai Islam agar selaras dengan perubahan masyarakat dunia yang

berlangsung sangat cepat. Islam dalam kerangka paradigma dekonstruksi

dilihat sebagai agama yang hanya berurusan dengan individual yang

mencakup aturan-aturan soal hubungan manusia dengan Tuhan semata.

Sedangkan persoalan dunia yang bersifat temporal dan profan adalah hak

penuh manusia untuk mengaturnya dengan segala kemampuan yang

dimilikinya secara proporsional tanpa harus membuat justifikasi dan

intervensi oleh doktrin-doktrin keagamaan. Pokok utama dari aliran ini

adalah Ali Abd al- Raziq dan Thaha Husein.

A.4. Prinsip-Prinsip Syura

Di dalam syura atau musyawarah terdapat beberapa prinsip dasar, yaitu: 98

1. Prinsip Persamaan

Kitab suci Al-Quran telah menetapkan prinsip bahwa Islam tidak

membedakan siapapun dalam mentaati peraturan undang-undang, tidak

ada yang lebih tinggi dari yang lain. 99

2. Prinsip Keadilan

98
Artani Hasbi. Op.Cit, hal. 35.
99
Ali Abd. Al-Wahid Wafi, Al-Musawat fi al-Islam, Mesir: Dar al-Maarif, t.t., hal. 21-22.

78

Universitas Sumatera Utara


Keadilan adalah memberikan sesuatu kepada setiap anggota

masyarakat sesuai dengan haknya yang harus diporelahnya tanpa diminta,

tidak berat sebelah, atau tidak memihak ke salah satu pihak, mengetahui

hak dan kewajiban, mengerti mana yang benar dan mana yang salah,

bertindak jujur dan tepat menurut peraturan yang telah ditetapkan. 100

3. Prinsip Kebebasan

Terdapat dua konsep tentang kebebasan, Pertama, mengatakan

bahwa semua perbuatan manusia telah ditentukan semenjak sebelum lahir

dimana di dalam teologi Islam disebut jabariah. Kedua, mengatakan bahwa

manusia mempunyai kebebasan walaupun terbatas sesuai dengan

keterbatasan manusia dalam kemauan dan perbuatan, paham ini disebut

Qadariah. Dasar kebebasan dalam Islam adalah keimanan artinya

kebebasan merupakan yang diberikan Allah kepada setiap manusia.

B. Konsep Demokrasi

B.1. Pengertian Demokrasi

Secara etimologis demokrasi berasal dari kata “demos” yang berarti rakyat,

dan “kratein” yang berarti pemerintahan. Jadi, secara harfiah demokrasi berarti

pemerintahan rakyat. Kemudian oleh Abraham Lincoln, demokrasi diberi

pengertian yang kemudian menjadi sangat populer yaitu “pemerintahan dari

100
Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Ruh al-Islam, Kairo: Isa al-Babi al-Hababi, t.t, hal. 213.

79

Universitas Sumatera Utara


rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” (Democracy is government of the people by

the people and for the people). Dalam demokrasi dipahami bahwa rakyat adalah

pemilik kekuasaan, sedangkan pemerintah berkuasa karena mendapatkan delegasi

kekuasaan dari rakyat. Oleh karena itu, dalam menjalankan pemerintahan,

pemerintah harus benar-benar memperhatikan keinginan rakyat dan berusaha

melayani kepentingan rakyat. Jadi dalam sistem demokrasi, rakyat menempati

posisi yang sangat penting 101 dan corak pemerintahan demokrasi dipilih melalui

persetujuan dengan cara mufakat. 102

Di dalam negara dengan sistem demokrasi, pemerintah tidak dapat

menjalankan pemerintahan menurut kehendaknya sendiri tanpa memperhatikan

keinginan rakyat. Dalam kerangka pemahaman dan kesadaran tentang kekuasaan

rakyat, maka terdapat pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah sehingga

pemerintah tidak dapat berlaku sewenang-wenang. Pembatasan terhadap

kekuasaan pemerintah tersebut tercermin dalam undang-undang dasar atau

konstitusi. Oleh karena itu, di negara yang berdemokrasi memiliki undang-undang

dasar atau konstitusi. Suatu pendapat menyatakan bahwa di dalam negara-negara

yang mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusional, undang-undang dasar

mempunyai fungsi yang khas yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sehingga

penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian

101
Held, David, Model of Democracy, Stanford University Press, Cambridge, 1996, hlm. 1.
102
Gregorius Sahdan, S.IP, Jalan Transisi Demokrasi Pasca Soeharto, Yogyakarta: Pondok Edukasi, 2004, hal.
12.

80

Universitas Sumatera Utara


diharapkan hak-hak warga negara akan lebih terlindung. Gagasan ini dinamakan

Konstitusionalisme. 103

Henry B. Mayo dalam tulisannya menyatakan bahwa:

“A democratic political system is one in which public policies are made on a


majority basis, by representatives subject to effective popular control at
periodic elections which are conducted on the principle of political equality
and under conditions of political freedom.” (Sistem politik demokratis adalah
sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar
mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam
pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik
dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik). 104

Menurut Joseph Schumpeter, adalah sebuah metode politik dan sebuah

mekanisme untuk memilih pemimpin politik. Warga negara diberikan kesempatan

untuk memilih salah satu diantara pemimpin politik yang bersaing meraih suara.

Dan pada pemilihan berikutnya, warga negara dapat mengganti wakil mereka

yang di pilih sebelumnya. Kemampuan untuk memilih diantara pemimpin-

pemimpin politik pada masa pemilihan inilah yang disebut dengan

“demokrasi”. 105

Menurut Robert Dahl, demokrasi adalah satu sistem politik yang memberi

peluang kepada rakyat jelata untuk membuat keputusan-keputusan secara umum

dan menekankan responsifitas pemerintah terhadap preferensi warga negaranya

103
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008, hal. 96.
104
Moh. Mahfud M.D, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Jakarta:Rineka Cipta, 2000, hal. 19.
105
George Sorensen, Demokrasi dan Demokratisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hal. 14.

81

Universitas Sumatera Utara


yang setara secara politis sebagai sifat dasar demokrasi. 106 Adapun kriteria

demokrasi menurut Robert Dahl adalah: 107

1. Partisipasi Efektif

Yaitu dimana sebelum sebuah kebijakan digunakan oleh asosiasi,

seluruh anggota harus mempunyai kesempatan yang sama dan efektif

untuk membuat pandangan mereka diketahui oleh anggota-anggota

lainnya sebagaimana seharusnya kebijkan itu dibuat.

2. Persamaan Suara

Ketika tiba akhirnya pembuatan keputusan tentang kebijaksanaan itu,

setiap anggota harus mempunyai kesempatan yang sama dan efektif

untuk memberikan suara dan seluruh suara harus dihitung sama.

3. Pemahaman yang Cerah

Dalam batas waktu yang rasional, setiap anggota harus mempunyai

kesemptana yang sama dan efektif untuk mempelajari kebijakan-

kebijakan alternatif yang relevan dan konsekuensi-konsekuensi yang

mungkin.

4. Pengawasan Agenda

Setiap anggota harus mempunyai kesempatan eksklusif untuk

memutuskan bagaimana dan apa permasalahan yang dibahas dalam

agenda. Jadi proses demokrasi yang dibutuhkan oleh tiga kriteria

106
Ibid. Hal. 18.
107
Robert. A. Dahl,

82

Universitas Sumatera Utara


sebelumnya tidak pernah tertutup. Berbagai kebijakan asosiasi tersebut

selalu terbuka untuk dapat diubah oleh para anggotanya jika mereka

menginginkan seperti itu.

5. Pencakupan Orang Dewasa

Semua atau paling tidak sebagian besar orang dewasa yang menjadi

penduduk tetap seharusnya memiliki kewarganegaraan penuh yang

ditunjukan oleh empat kriteria sebelumnya.

Pemahaman tentang demokrasi dalam ilmu politik ada dua macam, yaitu

demokrasi secara normatif dan demokrasi secara empirik. Demokrasi normatif

adalah demokrasi yang hendak dilakukan oleh negara seperti ungkapannya

“pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Syarat suatu demokrasi

normatif adalah memiliki karakteristik pokok sebagai berikut: 108

1. Adanya konstitusi yang membatasi kekuasaan dan mengontrol aktivitas

pemerintah, baik secara tertulis maupun tidak tertulis, ataupun kombinasi

antara keduanya.

2. Pemilihan untuk pejabat publik yang dilakukan secara bebas.

3. Hak untuk memilih dan mencalonkan diri dalam pemilihan.

4. Kebebasan berekspresi.

108
Zakaria Bangun, Demokrasi dan Kehidupan Demokrasi di Indonesia, Medan: Bina Media Perintis, 2008,
hal. 10

83

Universitas Sumatera Utara


5. Kebebasan pers dan adanya akses untuk sumber-sumber informasi

alternatif.

6. Kebebasan berasosiasi.

7. Adanya kesetaraan dalam hukum.

8. Warga negara yang terdidik dan mengetahui terinformasi mengenai hak

dan kewajibannya sebagai warga negara.

Demokrasi secara empirik adalah demokrasi yang ditemukan atau

dipraktekan dalam kehidupan politik nyata. Dan adapun karakteristik demokrasi

secara empirik, adalah sebagai berikut: 109

1. Pemilihan umum.

2. Terlaksananya prinsip check and balances.

3. Rotasi kekuasaan yang objektif dan terbuka.

4. Adanya partai politik yang demokratis.

5. Menikmati hak-hak dasar.

6. Persamaan dihadapan hukum.

7. Akuntabilitas pejabat.

109
Ibid., hal. 11-14.

84

Universitas Sumatera Utara


B.2. Sejarah Demokrasi

A. Demokrasi Zaman Kuno

Gagasan mengenai demokrasi berasal dari kebudayaan Yunani Kuno,

diciptakan suatu sistem dan gagasan mengenai kebebasan oleh aliran reformasi

serta perang-perang agama yang menyusulnya. Pada masa Yunani Kuno pada

abad ke-6 sampai abad ke-3 sebelum masehi sistem demokrasi yang terdapat di

negara-negara (city state) merupakana demokrasi langsung (direct democracy)

dimana suatu bentuk pemerintahan terdapat hak untuk membuat keputusan-

keputusan politik yang dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara

yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Demokrasi langsung Yunani

dapat diselenggarakan secara efektif karena berlangsung dalam kondisi yang

sederhana, wilayahnya terbatas serta jumlah penduduknya sedikit (300.000

penduduk). 110 Demokrasi langsung pada masa itu memiliki dua ciri

utama: pemilihan acak warga biasa untuk mengisi jabatan administratif dan

yudisial di pemerintahan, dan majelis legislatif yang terdiri dari semua warga

Athena. Semua warga negara yang memenuhi ketentuan boleh berbicara dan

memberi suara di majelis, sehingga tercipta hukum di negara-kota tersebut. Akan

tetapi, kewarganegaraan Athena tidak mencakup wanita, budak, orang asing, non-

pemilik tanah, dan pria di bawah usia 20 tahun. Pemungutan suara

kisaran pertama dilakukan di Sparta pada 700 SM. Apella merupakan majelis

110
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008, hal. 109.

85

Universitas Sumatera Utara


rakyat yang diadakan sekali sebulan. Di Apella, penduduk Sparta memilih

pemimpin dan melakukan pemungutan suara dengan cara pemungutan suara

kisaran dan berteriak. Setiap warga negara pria berusia 30 tahun boleh ikut

serta. 111

Meski Republik Romawi berkontribusi banyak terhadap berbagai aspek

demokrasi, hanya sebagian kecil orang Romawi yang memiliki hak suara dalam

pemilihan wakil rakyat. Kebanyakan pejabat tinggi, termasuk anggota Senat,

berasal dari keluarga-keluarga kaya dan ningrat. Bangsa Romawi menciptakan

konsep klasik dan karya-karya dari zaman Yunani kuno terus dilindungi. Selain

itu, model pemerintahan Romawi menginspirasi para pemikir politik pada abad-

abad selanjutnya dan negara-negara demokrasi perwakilan modern cenderung

meniru model Romawi, bukan Yunani, karena Romawi adalah negara yang

kekuasaan agungnya dipegang rakyat dan perwakilan terpilih yang telah memilih

atau mencalonkan seorang pemimpin. 112

B. Demokrasi Abad Pertengahan

Ketika bangsa Romawi dikalahkan oleh suku bangsa Eropa Barat dan

benua Eropa memasuki abad pertengahan (600-1400) gagasan demokrasi Yunani

boleh dikatakan hilang dan mulai berganti dengan demokrasi yang bersifat

perwakilan (representative democracy). Masyarakat abad pertengahan dicirikan

111
Wikipedia, Demokrasi, http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi, diakses pada tanggal 04 Mei 2015 pukul
20.35 WIB.
112
Ibid

86

Universitas Sumatera Utara


oleh struktur sosial yang feodal (hubungan antara vassal dan lord) yang

kehidupan sosial serta spiritualnya di kuasai oleh paus dan pejabat-pejabat agama

lainnya, yang kehidupan politiknya ditandai oleh perebutan kekuasaan antara para

bangsawan satu sama lain. 113

Dilihat dari sudut perkembangan, demokrasi abad pertengahan

menghasilkan suatu dokumen penting yaitu Magna Charta, dimana isi dokumen

itu merupakan semacam kontrak antara beberapa bangsawan dan Raja Jhon dari

Inggris untuk mengakui dan menjamin beberapa hak dari bawahannya sebagai

imbalan untuk penyerahan dana bagi keperluan perang dan sebagainya. Biarpun

piagam ini lahir dalam suasana feodal dan tidak berlaku untuk rakyat jelata,

namun dianggap sebagai tonggak dalam perkembangan gagasan demokrasi. 114

Pada perkembangan di abad pertengahan, muncul dua kejadian sebagai

perubahan sosial dan kultural di Eropa Barat, yaitu zaman abad percerahan

(renaissance) yang sejalan dengan pemikiran-pemikiran tentang negara dan

hukum dari Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), Montesquieu

(1689-1755) dan Jean Jacques Rousseau (1712-1778) 115 dan Reformasi.

Renaissance adalah aliran yang menghidupkan kembali minat kepada

kesusastraan dan kebudayaan Yunani Kuno yang selama abad pertengahan telah

disisihkan. Aliran ini membelokan perhatian yang tadinya semata-mata dialihkan

113
Miriam Budiarjo, Op.Cit., hal. 109.
114
Ibid.
115
Leo Agustino, Perihal Ilmu Politik, Jogjakarta: Graha Ilmu, 2007, hal. 132.

87

Universitas Sumatera Utara


kepada tulisan-tulisan keagamaan kearah soal-soal keduniawian dan

mengakibatkan timbulnya pandangan-pandangan baru. Reformasi serta perang-

perang agama yang menyusul akhirnya menyebabkan manusia berhasil

melepaskan diri dari penguasaan Gereja, baik di bidang spiritual dalam bentuk

dogma, maupun di bidang sosial dan politik. Hasil dari pergumulan ini ialah

timbulnya gagasan mengenai perlunya ada kebebasan beragama serta ada garis

pemisah yang tegas antara soal-soal keduniawian, khususnya di bidang

pemerintaha yang dikenal dengan “pemisahan antara Gereja dan Negara”. 116

Kedua masa itu mempersiapkan Eropa Barat menyelami masa abad

pemikiran (Aufklarung) beserta rasionalisme, suatu aliran pemikiran yang ingin

memerdekakan pikiran manusia dari batas-batas yang ditentukan oleh Gereja dan

mendasarkan pemikiran atas akal (Ratio) semata. Kebebasan berfikir membuka

jalan untuk mengeluarkan gagasan demokrasi di bidang politik. Kemudian dalam

perkembangannya, muncul monarki-monarki absolut dimana anggapan raja

adalah segalanya. Namun kecaman dan pendobrakan terhadap kedudukan raja-raja

absolut ini didasarkan atas teori rasionalistis (contract social), dimana dalam

pemikirannya bahwa prinsip keadilan berlaku bagi semua waktu serta semua

manusia baik dia raja, bangsawan atau rakyat jelata.

Raja diberi kekuasaan oleh rakyat untuk menyelenggarakan dan

menciptakan ketertiban suasana dimana rakyat dapat memiliki hak-hak alamnya


116
Miriam Budiarjo, Op.Cit., hal. 110.

88

Universitas Sumatera Utara


(natural right) dengan aman, dan rakyat akan menaati pemerintahan raja asal hak-

hak alam itu terjamin. Pada hakikatnya, teori-teori kontrak sosial merupakan

usaha untuk mendobrak dasar dari pemeritahan absolut dan menetapkan hak-hak

politik rakyat sebagai prinsip dasar demokrasi. 117 Filsuf-filsuf yang mencetuskan

gagasan ini antara lain Jhon Locke dari Inggris (1632-1704) dan Montesquieu dari

Perancis (1686-1755). Menurut Jhon Locke, hak-hak politik mencakup hak atas

hidup, hak atas kebebasan, dan hak untuk mempunyai milik (life, liberty and

property). Montesquieu mencoba menyusun suatu sistem yang dapat menjamin

hak-hak politik itu yang kemudian dikenal dengan istilah Trias Politica. Ide-ide

bahwa manusia mempunyai hak-hak politik itu, menimbulkan revolusi Perancis

pada akhir abad ke 18, serta Revolusi Amerika melawan Inggris. 118

Sebagai akibat dari pergolakan tersebut, maka pada akhir abad ke-19,

gagasan mengenai demokrasi mendapat wujud yang kongkrit sebagai program dan

sistem politik. Demokrasi di tahap ini, semata-mata bersifat politis dan

mendasarkan dirinya atas azas-azas kemerdekaan individu, kesamaan hak (equal

rights) dan hak-hak pilih untuk semua warga negara (universal suffrage). 119

117
Zakaria Bangun, Op.Cit., hal. 3.
118
Miriam Budiarjo, Op.Cit., hal. 111.
119
Ibid.

89

Universitas Sumatera Utara


C. Demokrasi Era Modern ( Abad ke-18 sampai Abad ke-21)

Sebagai akibat dari keinginan untuk menyelenggarakan hak-hak politik itu

secara efektif, timbulah gagasan bahwa cara yang terbaik untuk membatasi

kekuasaan pemerintahan ialah dengan suatu konstitusi (undang-undang) yang

bersifat naskah (writen constitution) maupun tidak berifat naskah (unwritten

constituion). Konstitusi itu menjamin hak-hak politik dan menyelenggarakan

pembagian kekuasaan negara sedemikian rupa sehingga kekusaan eksekutif

diimbangi oleh kekuasaan parlemen dan lembaga-lembaga hukum. Gagasan ini

dinamakan konstitutinalisme (constitutional), sedangkan negara yang menganut

gagasan ini dinamakan Constitutional State atau Rechtstaat. 120

Bangsa pertama dalam sejarah modern yang

mengadopsi konstitusi demokrasi adalah Republik Korsika pada tahun

1755. Konstitusi Korsika didasarkan pada prinsip-prinsip yang sudah

mengizinkan hak suara wanita, hak yang baru diberikan di negara demokrasi lain

pada abad ke-20. Pada zaman kolonial sebelum 1776, dan beberapa saat

setelahnya, hanya pemilik properti pria dewasa berkulit putih yang boleh memberi

suara, budak Afrika, sebagia besar penduduk berkulit hitam bebas dan wanita

tidak boleh memilih. Di garis depan Amerika Serikat, demokrasi menjadi gaya

hidup dengan munculnya kesetaraan sosial, ekonomi, dan politik. Akan tetapi,

perbudakan adalah institusi sosial dan ekonomi, terutama di 11 negara bagian di

120
Ibid., hal. 112.

90

Universitas Sumatera Utara


Amerika Serikat Selatan. Sejumlah organisasi didirikan untuk mendukung

perpindahan warga kulit hitam dari Amerika Serikat ke tempat yang menjamin
121
kebebasan dan kesetaraan yang lebih besar.

Pada tahun 1789, Perancis pasca-Revolusi mengadopsi Deklarasi Hak Asasi

Manusia dan Warga Negara dan Konvensi Nasional dipilih oleh semua warga

negara pria pada tahun 1792. Hak suara pria universal ditetapkan di Perancis pada

bulan Maret 1848 setelah Revolusi Perancis 1848. Tahun 1848, serangkaian

revolusi pecah di Eropa setelah para pemimpin negara dihadapkan dengan

tuntutan konstitusi liberal dan pemerintahan yang lebih demokratis dari

rakyatnya. 122

Dalam abad ke-20, terutama setelah Perang Dunia ke II, elah terjadi

perubahan-perubahan sosial dan ekonomi yang sangat besar. Perubahan-

perubahan ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain banyaknya kecaman

terhadap kapitalis, tersebarnya paham sosialisme yang menginginkan pembagian

kekayaan secara merata serta kemenangan dari beberapa partai sosialis di Eropa,

seperti di Swedia dan Norwegia dan pengaruh aliran ekonomi yang dipelopori

oleh ahli ekonomi Inggris, yaitu Jhon Maynard Keynes (1883-1946). Gagasan

bahwa pemerintah dilarang campur tangan dalam urusan warga negara baik di

bidang sosial maupun di bidang ekonomi (staatsonthouding dan laissez faire)

121
Wikipedia, Op.Cit.
122
Ibid.

91

Universitas Sumatera Utara


lambat laun berubah menjadi gagasan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas

kesejahteraan rakyat dan karenanya harus aktif mengatur kehidupan ekonomi dan

sosial. 123

Sehingga, pada masa itu International Commision of Jurists yang

merupakan suatu organisasi ahli hukum internasional dalam konferensinya di

Bangkok pada tahun 1965 memperluas konsep mengenai Rule of Law, dan

menekankan apa yang dinamakannya the dynamic aspects of the Rule of Law in

the modern age. Dianggap bahwa disampingb hak-hak politik, hak-hak sosial dan

ekonomi juga harus diakui dan dipelihara, dalam arti bahwa harus dibentuk

strandar-standar dasar sosial dan ekonomi. Penyelesaian mengenai kelaparan,

kemiskinan dan pengangguran merupakan syarat agar supaya Rule of Law dapat

berjalan dengan baik. 124

Dikemukakan bahwa syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintah

yang demokratis dibawah Rule of Law ialah: 125

1. Perlindungan konstitusional, dalam arti bahwa konstitusi, selain

menjamin hak-hak individu, harus menentukan pula cara prosedural

untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak dasar yang di jamin.

123
Miriam Budiarjo, Op.Cit.,hal. 115.
124
Ibid., hal. 116.
125
International Commission of Jurists, The Dynamic Aspects of the Rule of Law in the Modern Age,
Bangkok: International Commission of Jurists, 1965, hal. 39-50.

92

Universitas Sumatera Utara


2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak (indepndent and

impartial tribunals).

3. Pemilihan umum yang bebas.

4. Kebebasan untuk menyatakan pendapat.

5. Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi.

6. Pendidikan kewarganegaran (civic education).

Menurut Freedom House, pada tahun 2007 terdapat 123 negara demokrasi

elektoral (naik dari 40 pada tahun 1972). Menurut World Forum on Democracy,

jumlah negara demokrasi elektoral mencapai 120 dari 192 negara di dunia dan

mencakup 58,2 penduduk dunia. Pada saat yang sama, negara-negara demokrasi

liberal (yang dianggap Freedom House sebagai negara yang bebas dan

menghormati hukum dan HAM) berjumlah 85 dan mencakup 38 persen penduduk

dunia. Pada tahun 2010, Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan tanggal 15

September sebagai Hari Demokrasi Internasional. 126

B.3. Prinsip-Prinsip Demokrasi

Demokrasi secara universal mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut: 127

1. Keterlibatan warga negara dalam pembuatan keputusan politik.

2. Persamaan (Kesetaraan) di antara warga negara.

126
Wikipedia, Op.Cit.
127
Drs. Hasim M, Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta: Yudhistira Ghalia Indonesia, hal. 31-33.

93

Universitas Sumatera Utara


3. Kebebasan atau kemerdekaan yang diakui dan dipakai oleh warga

negara.

4. Supremasi hukum.

5. Pemilu yang dilakukan secara berkala.

94

Universitas Sumatera Utara


BAB III
PERBANDINGAN PRINSIP SYURA DENGAN PRINSIP DEMOKRASI

A. Analisis Perbandingan Prinsip Syura dan Prinsip Demokrasi

A.1. Prinsip-Prinsip Syura

Syura atau musyawarah, khususnya antara penguasa dan rakyat merupakan

salah satu prinsip dasar politik Islam dari kelima prinsip lainnya, yaitu prinsip

keadilan, prinsip kebebasan, prinsip persamaan dan prinsip

pertanggungjawaban. 128 Kata Syura atau musyawarah dalam Islam merupakan

bentuk dari kata kerja Syawara yusyawiru yang artinya menampakkan dan

menawarkan atau mengambil sesuatu. 129 Syura yang diambil dari akar kata

syawara, menurut M. Quraish Shihab bermakna “mengeluarkan madu dari sarang

lebah”. 130 Makna ini kemudian berkembang sehingga mengandung arti mencakup

segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain termasuk

pendapat dan pemikiran, hal ini karena musytasyir atau orang yang mengajak

bermusyawarah melakukan syura untuk mengambil pendapat dari orang lain.131

128
Muhammad S. El. Wa, Op.Cit., hal. 114.
129
Ibn Zakariah, Abu al-Husein ibn Faris, Op.Cit., hal. 226.
130
Quraish Shihab, Op.Cit., hal. 469.
131
Ibn Zakariah, Abu al-Husein ibn Faris, Op.Cit., hal. 542.

95

Universitas Sumatera Utara


Sedangkan Secara etimologi kata syura mempunyai arti nasihat, konsultasi,

perundingan, pikiran dan konsideran permufakatan. 132

Menurut Abd al-Hamid Ismail al-Anshari syura adalah eksplorasi pendapat

umat atau orang-orang yang mewakili mereka, tentang persoalan-persoalan yang

umum dan berkaitan dengan kemaslahatan umum pula. 133 Menurut Al-Qurtubi,

musyawarah adalah salah satu kaidah dan ketentuan hukum yang harus di

tegakan. Maka, barang siapa yang menjabat sebagai kepala negara, tetapi ia tidak

bermusyawarah dengan ahli ilmu dan ahli agama (ulama) haruslah ia dipecat. 134

Dari pernyataan ini dapat dipahami bahwa umat mempunyai hak untuk diminta

pendapatnya dalam memilih pemerintah yang diinginkannya, dan hak untuk

diminta pendapatnya dalam memecahkan atau menyelesaikan permasalahan-

permasalahan yang penting, dengan demikian umat mempunyai hak mengawasi,

mengkritik, meluruskan, dan mengemukakan mosi kepada penguasa.

Di dalam kitab suci agama Islam, yaitu Al-Quran, terdapat tiga ayat yang

akar katanya menunjukkan mengenai musyawarah, yaitu pada surat Al-Baqarah

ayat 233, surat Ali-Imran ayat 159, dan surat Al-Syura ayat 38. Terutama pada

surat Al-Syura ayat 38 dijelaskan bahwa sifat-sifat orang mukmin adalah mereka

menerima (mematuhi) perintah Tuhannya, mendirikan shalat dan menunaikan

132
Al-Mandzur, Jamal al-Din Ibn, Op.Cit., hal. 407.
133
Abd Al-Hamid Ismail al-Anshari, Op.Cit., hal. 4.
134
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve , 1996, hal. 18.

96

Universitas Sumatera Utara


zakat, dan dalam menyelesaikan urusan mereka diselesaikan dengan cara

musyawarah.

Dalam sistem pemerintahan menurut Islam, syura memegang peranan yang

penting karena syura dianggap sebagai jalan untuk mengetahui pendapat yang

benar, disana setiap peserta syura mengemukakan pendapat dan pandangan,

mereka membandingkan dan mendiskusikan berbagai macam pendapat yang pada

akhirnya akan menghasilkan suatu pendapat yang benar. Dengan syura para

pejabat pemerintahan atau para birokrat akan terlindungi dari kesulitan akibat

adanya permasalahan yang dihadapi rakyat. Tidak ada cara lain untuk

memperbaikinya kecuali dengan musyawarah dan tidak dapat diselesaikan segala

kesulitan hanya dengan niat baik. Disamping itu, syura juga mengingatkan rakyat

bahwasannya mereka mempunyai kekuasaan, dan sekaligus mengingatkan kepala

negara bahwa ia adalah wakil rakyat dalam melaksanakan kekuasaan. Dengan

demikian mereka terhindar dari sikap melampaui batas. 135 Juga syura juga

menjadi jaminan kelanggengan dan keamanan suatu pemerintahan.

Bila dilihat dari perjalanan sejarah politik Islam, praktik syura berkembang

seiring dengan berkembangnya zaman, mulai dari bentuk dan mekanismenya atau

teknisnya. Teknisnya dapat sesuai dengan kepentingan dan kebutuhannya. Pada

masa Nabi Muhammad SAW, Nabi pernah mengajak bermusyawarah kaum

muslimin mengenai persoalan-persoalan yang tidak diberikan jawabannya oleh

135
Abdul al-Qadir Audah, Al-Islam wa Audla’una al-Siyasah, Kairo: Al-Mukhtar al-Alam, 1986, hal. 177.

97

Universitas Sumatera Utara


wahyu Allah SWT dan mengambil pendapat orang-orang yang lebih paham

mengenai urusan duniawi, misalnya tentang taktik dan strategi dalam perang.

Nabi Muhammad SAW mendengarkan pendapat-pendapat sahabat ketika terjadi

perang Badar 136, Perang Uhud 137, perang Khandaq (perang parit) 138, juga

menggunakan pendapat sahabat mengenai tawanan perang. 139 Langkah Nabi ini

juga diikuti oleh para Khilafah pada masa Khulafaur Rasyidin, dengan mengajak

kaum muslimin untuk bermusyawarah dalam memutuskan persoalan-persoalan

mengenai kepentingan sosial masyarakat di masing-masing pada masa

pemerintahannya.

Khalifah Abu Bakar pada masa pemerintahannya dimana kurang lebih

selama dua tahun tujuh bulan 140 selalu melakukan musyawarah dalam

memutuskan suatu permasalahan, bila jawaban dari permasalahan itu tidak

ditemukan dalam Al-Quran atau Sunnah Nabi Muhammad SAW, yang harus

dihadapinya pada masa awal pemerintahan baik dari dalam negeri maupun

tantangan dari luar negeri. Seperti, pada musyawarah mengenai pembangkang

zakat, musyawarah mengenai pengumpulan Al-Quran, musyawarah tentang

ketentuan waris, musyawarah mengenai nabi-nabi palsu dan pemberontakan

136
Perang Badar terjadi pada tanggal 17 Maret 624 Masehi atau 17 Ramadhan 2 Hijriah. Perang Badar
merupakan pertempuran antara pasukan kaum muslimin yang berjumlah 313 orang menghadapi pasukan
Quraisy dari Mekkah yang berjumlah 1000 orang.
137
Perang Uhud terjadi pada tanggal 22 Maret 625 M atau 7 Syawal 3 Hijriah antara kaum muslimin dan
kaum Quraisy yang terjadi di bukit Uhud yang terletak 4 mil dari Masjid Nabawi.
138
Perang Khandaq terjadi pada bulan Syawal tahun 5 Hijriah atau pada tahun 627 Masehi. Perang Khandaq
juga dikenal sebagai pertempuran pertempuran Al-Azhab, pertempuran konfederasi dan pengepungan
Madinah.
139
Muhammad Mahmud Baballi, Op.Cit., hal.115.
140
Artani Hasbi, Op.Cit., hal.78.

98

Universitas Sumatera Utara


orang-orang murtad. Dari berbagai permasalahan yang dihadapi, keseluruhan

dibawa ke sidang musyawarah yang diikuti oleh kedua kelompok muslim, Anshar

dan Muhajirin. Bila diamati dalam peristiwa-peristiwa musyawarah pada masa

Khalifah Abu Bakar, ada beberapa orang tertentu yang memberikan pendapat atau

diminta pendapatnya dan pandangan mereka oleh Khalifah Abu Bakar. Secara

umum, peserta musyawarah adalah para sahabat besar di masa Nabi Muhammad

SAW, seperti Umar bin Khatab, Ali ibn Abu Thalib, Said ibn Zaid, Usaid ibn

Hudair, Muadz ibn Jabal, Usman ibn Affan, Abd Rahman ibn Auf dan Thalhah.141

Pada masa Khalifah Abu Bakar ini jugalah ide ahl al-hall wa al-aqd (peserta

dalam syura) tumbuh.

Dapat dikatakan bahwa Abu Bakar sebagai orang pertama yang meletakan

dasar ide tersebut dalam perkembangan lembaga kenegaraan dalam Islam.

Kelebihan dan kemampuan mereka dapat dikategorikan kedalam golongan orang-

orang yang berpandangan luas atau disebut ahl al-ra’yi atau ahli hukum yang

disebut sebagai al-fiqh. Pada masa itu juga, Khalifah Abu Bakar menggunakan

dua metode dalam musyawarah, yaitu pertama, ia melontarkan masalah yang ia

hadapi, kemudian menanyakan kepada para sahabat, apakah persoalan tersebut

telah ada di dalam kitab suci Al-Quran atau telah disinggung oleh Nabi

Muhammad SAW sebelumnya. Kalau telah ada pada riwayat Nabi sebelumnya,

maka keputusan diambil berdasarkan riwayat tersebut. Kedua, Khalifah Abu

141
Mahmud Muhammad Baballi, Op.Cit, hal.150.

99

Universitas Sumatera Utara


Bakar memberikan kesempatan kepada para sahabat untuk mengemukakan

pendapat tentang masalah yang ia hadapi dengan penuh kebebasan. Apabila dalam

sidang musyawarah ini mencapai suatu kesepakatan, maka disebut sebagai hasil

‘ijma 142 sahabat yaitu keputusan diambil dengan suara bulat. 143

Semangat syura pada masa Khalifah Abu Bakar, juga diteruskan oleh

Khalifah selanjutnya, yaitu Khalifah Umar bin Khatab pada masa

pemerintahannya. Khalifah Umar juga membentuk lembaga musyawarah dimana

segala sesuatu hasil keputusan diambil dari lembaga ini. Majelis musyawarah ini

beranggotakan para sahabat besar Muhajirin dan Ashar, yang dikenal dengan para

qurra. Mereka terdiri dari orang-orang yang suka berperang, praktisi hukum, dan

kelompok politik yang mempunyai kepentingan umum. Mereka berasal dari

berbagai suku Arab. Kegiatan musyawarah dalam lembaga permusyawaratan ini

terdiri dari sidang umum, sidang khusus dan sidang terbatas. Sidang umum selain

pertemuan di musim haji, juga pertemuan bagi khalayak umum di kota Madinah.

Sidang khusus adalah sidang yang diadakan setelah sidang umum dengan anggota

tetap majelis mengenai permasalahan yang telah dibahas pada sidang umum

namun Khalifah belum dapat memutuskannya. Sedangkan sidang terbatas adalah

hanya dilakukan bila ada suatu permasalahan yang dihadapkan kepada Khalifah.

Dimana permasalahan tersebut sebenarnya bisa saja Khalifah memutuskan sendiri

142
Ijma diartikan sebagai kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum dalam agama berdasarkan
Al-Quran dan Hadits dalam suatu perkara tertentu.
143
Artani hasbi, Op.Cit, hal.102.

100

Universitas Sumatera Utara


tanpa bermusyawarah, tetapi ia masih tetap melaksanakan musyawarah dengan

sahabat meski dalam jumlah yang terbatas. 144

Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khatab, aktifitas musyawarah

lebih terlihat meningkat dibandingkan sebelumnya, hal ini dikarenakan banyaknya

permasalahan yang harus dihadapi disamping Islam yang semakin berkembang.

Dengan musyawarah, Khalifah Umar membuat beberapa peraturan baru, seperti

pembinaan pemerintahan dengan mendirikan kantor-kantor, meletakan dasar

peradilan dan administrasi, membuat baiat al-mal 145, mengatur jaringan pos dan

menempatkan pasukan-pasukan di daerah perbatasan. 146

Pada masa pemerintahan Khalifah selanjutnya, yaitu Utsman bin Affan,

aktifitas musyawarah menurun dibandingkan pada masa khalifah sebelumnya,

baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Dari segi kualitas, musyawarah yang

dilaksanakan Khalifah Utsman lebih berorientasi kepada kepentingan status quo

daripada kepentingan umat, dimana pada awal masa pemerintahan Khalifah

Utsman sudah menghadapi beberapa peristiwa sehingga tidak mampu

mempertahankan kebijakan khalifah-khalifah sebelumnya. Dari segi kuantitas,

Khalifah Utsman tidak banyak mengadakan musyawarah dalam berbagai bidang

misalnya keagamaan 147. Hal yang sama juga berlaku pada khalifah selanjutnya,

144
Ahmad Amin, Fajr al-Islam, Kairo: Maktabah al Nadlah al Misriyah, 1975, hal.239.
145
Baiat al-mal adalah suatu lembaga atau pihak yang mempunyai tugas khusus menangani segala harta umat,
baik berupa pendapatan maupun pengeluaran negara.
146
Abbas Mahmud al-Aqqad, Op.Cit., hal 110.
147
Artani Hasbi, Op.Cit, hal.120.

101

Universitas Sumatera Utara


yaitu Khalifah Ali bin Abi Thalib. Kegiatan musyawarah pada masa pemerintahan

Khalifah Ali juga dinilai sangat kurang, dikatakan karena selama lima tahun

pemerintahannya, negara dalam kondisi yang tidak stabil.

Seperti yang telah dijelaskan mengenai sejarah syura diatas, dapatlah

dikatakan bahwa syura dalam suatu pemerintahan merupakan suatu prinsip yang

konstitusional dan merupakan kewajiban bagi seorang pemimpin dalam

pemerintahan Islam. Islam telah menganjurkan musyawarah dan

memerintahkannya dalam banyak ayat dalam al-Qur'an, ia menjadikannya suatu

hal terpuji dalam kehidupan individu, keluarga, masyarakat dan negara dan

menjadi elemen penting dalam kehidupan umat, ia disebutkan dalam sifat-sifat

dasar orang-orang beriman dimana keIslaman dan keimanan mereka tidak

sempurna kecuali dengannya. Dalam masyarakat muslim seorang penguasa dalam

melaksanakan tugas kenegaraan harus berkonsultasi dengan para ulama, orang-

orang yang berpengalaman, dan membentuk majelis syura, yang tugasnya

mempelajari, meneliti, dan menyampaikan pendapat dalam hal-hal yang

dibolehkan berijtihad 148 oleh syari'at.

Islam mengakui prinsip musyawarah dan mengharuskan penguasa

melaksanakannya, ia melarang sikap otoriter dan diktator, menyerahkan kepada

manusia untuk menentukan bagaimana cara melaksanakan musyawarah, untuk

memberikan keluwesan dan memperhatikan perubahan situasi dan kondisi, oleh

148
Ijtihad adalah usaha mencari ilmu dalam menyelesaikan suatu masalah yang tidak dibahas di dalam Al-
Quran dan hadits dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.

102

Universitas Sumatera Utara


karena itu musyawarah bisa dilakukan dengan berbagai macam bentuk dan

berbagai cara sesuai dengan masa, bangsa dan tradisi, yang penting pelaksanaan

pemerintahan dimana kekuasaan pemerintah dibatasi oleh dua hal, yaitu syari'at

dan syura, yakni dengan hukum Allah dan pendapat umat.

Terdapat beberapa prinsip dasar dalam pelaksanaan syura, yang mana hak

tersebut juga tidak terlepas pada prinsip dasar dalam berpolitik Islam. Syura akan

membuahkan hasil yang diharapkan secara optimal dan dapat

dipertanggungjawabkan apabila peserta menjunjung tinggi, menghormati dan

menjaga prinsip-prinsip dasar dalam musyawarah. Prinsip-Prinsip tersebut yaitu:

1. Prinsip Persamaan

Kitab suci Al-Quran telah menetapkan prinsip bahwa Islam tidak

membedakan siapapun dalam mentaati peraturan undang-undang, tidak

ada yang lebih tinggi dari yang lain. Sebagaimana ditegaskan oleh Nabi

Muhammad SAW dalam sabdanya:

“Hai manusia, ingatlah bahwa sesungguhnya Tuhan kalian itu satu,


bapak kalian satu. Ingatlah, orang Arab tidak lebih utama dari
orang Ajam, dan demikian juga sebaliknya, orang Ajam tidak lebih
utama dari orang Arab, orang kulit berwarna tidak lebih utama dari
orang kulit hitam, dan sebaliknya orang kulit hitam tidak lebih
utama dari orang kulit berwarna, kecuali karena takwanya”. 149

Abd al-Wahid Wafi dan tulisanya menjelaskan bahwa yang dimaksud

dengan persamaan adalah dalam segala aspek kehidupan, masalah

149
Ahmad bin Hanbal, Musnad Iman Ahmad bin Hanbal, Beirut: Dar al-Fikr, t.t, jilid V, hal. 411.

103

Universitas Sumatera Utara


tanggung jawab, penilaian dan pahala, hak kepemilikan, hak pendidikan

pengajaran dan kebudayaan, hak bekerja, memperoleh hak bagi orang-

orang Islam dan selain orang Islam, hak antara laki-laki dan perempuan,

dan sebagainya tanpa ada perbedaan antara rakyat dan pejabat, yang mulia

dan hina, antara kaya dan papa, keluarga dekat dan jauh dan seterusnya.

Maka, persamaan dalam Islam adalah keadilan Islami yang mempunyai

satu-satunya ukuran yang dapat diikuti oleh semua manusia. 150

2. Prinsip Keadilan

Keadilan adalah memberikan sesuatu kepada setiap anggota

masyarakat sesuai dengan haknya yang harus diporelahnya tanpa diminta,

tidak berat sebelah, atau tidak memihak ke salah satu pihak, mengetahui

hak dan kewajiban, mengerti mana yang benar dan mana yang salah,

bertindak jujur dan tepat menurut peraturan yang telah ditetapkan. 151

Keadilan merupakan nilai-nilai kemanusian yang asasi yang menjadi pilar

bagi berbagai aspek kehidupan. Seperti yang dinyatakan dalam surat Al-

Hadit 57:25 yang artinya,

“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-Rasul Kami dengan


membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan
bersama mereka Alkitab dan neraca (keadilan) supaya manusia
dapat melaksanakan keadilan ...”

150
Ali Abd. Al-Wahid Wafi, Al-Musawat fi al-Islam, Mesir: Dar al-Maarif, t.t., hal. 21-22.
151
Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Ruh al-Islam, Kairo: Isa al-Babi al-Hababi, t.t, hal. 213.

104

Universitas Sumatera Utara


Di dalam Al-Quran kata “adil” (adl), bermakna keadilan. Terdapat

pula kata qisth, wasth dan mizan keseluruhannya berkesinambungan dan

jujur. Secara etimologis bahasa Arab wasith terambil dari wasth. Dalam

bahasa Indonesia disebut ”wasit” atau “penengah” atau orang yang berdiri

ditengah, yang mengisyaratkan keadilan. Begitu pula adl sinonim dengan

kata inshaf (berasal dari nishf yang artinya setengah) yang dalam bahasa

Indonesia “sadar”, karena memang orang yang adil yang sanggup berdiri

ditengah tanpa memihak dan menyadari persoalan yang dihadapi sehingga

dapat memutuskan sesuatu dengan tepat dan benar. Terdapat empat

pengertian pokok tentang adil dan keadilan: Pertama, keadilan

mengandung arti perimbangan atau keadaan seimbang, dalam keserasian

sosial, harmonisasi kehidupan bermasyarakat, dalam arti keamanan,

ketertiban, kemantapan serta keberhasilan mencapai tujuan dan sebagainya

bisa terwujud melalui sistem politik yang adil. Kedua, keadilan

mengandung makna persamaan tetapi bukan persamaan mutlak terhadap

semua orang dalam arti yang sempit. Ketiga, keadilan dalam perhatian

kepada hak-hak pribadi, dan memberikan haknya karena dia yang

mempunyai hak tersebut. Keempat, keadilan Tuhan yang berupa

kemurahan Allah dalam melimpahkan rahmatNya kepada sesuatu atau

seseorang setingkat dengan kesediannya untuk menerima eksistensi

105

Universitas Sumatera Utara


dirinya sendiri atau pertumbuhan dan perkembangan ke arah

kesempurnaan. 152

3. Prinsip Kebebasan

Terdapat dua konsep tentang kebebasan, Pertama, mengatakan

bahwa semua perbuatan manusia telah ditentukan semenjak sebelum lahir

dimana di dalam teologi Islam disebut jabariah. Kedua, mengatakan bahwa

manusia mempunyai kebebasan walaupun terbatas sesuai dengan

keterbatasan manusia dalam kemauan dan perbuatan, paham ini disebut

Qadariah.

Dasar kebebasan dalam Islam adalah keimanan artinya kebebasan

merupakan yang diberikan Allah kepada setiap manusia. Ketika Allah

berkehendak mencipatakan manusia, diikat dengan janji. Konsekuensinya

manusia tidak boleh tunduk selain kepadaNya dan menyalahi aturan dan

kaidahNya. Contohnya adalah kebebasan dan kemerdekaan masyarakat

dalam menetukan nasibnya, memilih sistem dan pemimpinnya,

kemerdekaan pribadi dalam ikut serta mengajukan pendapat bersama

orang lain. Disamping itu ikut berkontribusi dalam ketetapan masyarakat

sambil memanfaatkan kebebasannya dalam mengajukan pendapatnya dan

mendiskusikan pendapat lain dalam dialog bebas, baik memperoleh kata

152
Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan,
Kemanusiaan dan Kemodernan, Jakarta: Paradina, 1992, hal. 513-517.

106

Universitas Sumatera Utara


mufakat atau memperoleh dukungan mayoritas. Sehingga syura menurut

al-Syawi adalah merupakan keseimbangan antara kemerdekaan individu

dan kelompok, saling menyempurnakan dan saling bahu membahu antara

pribadi dan umat. Kesetiakawanan masyarakat diantara manusia dalam

kebebasan. Kebebasan mengeluarkan pendapat dalam masyarakat

membuka kesempatan munculnya banyak pendapat dan

mendiskusikannya, dengan tujuan mewujudkan interkasi dan keterlibatan

yang harmonis atas dasar keadilan dan kerjasama. Sehingga, tidak ada

mayoritas yang ingin memaksakan dirinya dengan suku, ras dan lainnya,

yang dikenal dengan nepotisme. Pendapat yang dimenangkan atau diambil

adalah bukan pendapat mayoritas dilihat dari sudut hitungan angka, akan

tetapi mayoritas argumentatif, logika,pikiran, bukti dan nilai keagamaan,

bukan kekuasaan praktis yang dibenarkan oleh kesukuan, ras atau

kekuatan subjektifitas.

A.2. Prinsip-Prinsip Demokrasi

Beralih kepada politik dari barat, seiring dengan perkembangan zaman dan

ilmu pengetahuan, demokrasi menjadi sistem pemerintahan yang paling banyak

dianut oleh negara-negara di dunia termasuk pada negara-negara Islam. Economic

Intelligent Unit (EIU) lewat rilis dua tahunannya mengeluarkan laporan terkait

107

Universitas Sumatera Utara


indeks demokrasi. EIU menyebutkan bahwa seluruh negara di dunia ini memiliki

kecenderungan menuju pemerintahan yang demokratis. 153

Demokrasi berasal dari kata “demos” yang berarti rakyat dan “kratos” yang

berarti pemerintahan. Demokrasi dapat dirumuskan sebagai pemerintahan yang

diurus oleh rakyat dalam suatu masyarakat. Demokrasi juga dimaknai sebagai

kewenangan rakyat untuk memerintah. Demokrasi mementingkan kehendak,

pendapat serta pandangan rakyat itu sendiri. Dan corak pemerintahan demokrasi

itu dipilih berdasarkan persetujuan dengan cara mufakat. 154 Menurut Robert A.

Dahl, demokrasi merupakan suatu sistem politik yang memberi peluang kepada

rakyat jelata untuk membuat keputusan-keputusan secara umum dan menekankan

responsifitas pemerintah terhadap preferensi warga negaranya yang setara secara

politis sebagai sifat dasar demokrasi. 155 Sedangkan menurut Joseph Schumpeter,

demokrasi merupakan suatu metode politik dan sebuah mekanisme untuk memilih

pemimpin politik. Warga negara diberikan kesempatan untuk memilih salah satu

pemimpin politik yang bersaing meraih suara. Dan pada pemilihan berikutnya,

warga negara dapat mengganti wakil mereka yang dipilih sebelumnya.

Kemampuan untuk memilih diantara pemimpin-pemimpin politik pada masa

pemilihan inilah yang disebut dengan “demokrasi”. 156

153
Economic Intelligent Unit, Democracy Index 2014,
http://www.eiu.com/public/topical_report.aspx?campaignid=democracy0014
154
Gregorius Sahdan, Jalan Transisi Demokrasi Pasca Soeharto, Yogyakarta: Pondok Edukasi, 2004, hal. 12.
155
George Sorensen, Op.Cit., hal. 18.
156
Ibid., hal. 14.

108

Universitas Sumatera Utara


Demokrasi berawal pada masa Yunani Kuno sekitar abad ke 6 sampai abad

ke 3 sebelum masehi. Sistem demokrasi pada saai itu terdapat pada negara-negara

kota (city state) dengan sistem demokrasi langsung (direct democracy), dimana

untuk membuat keputusan-keputusan politik pemerintahan dijalankan secara

langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur

mayoritas. Sifat langsung dari demokrasi Yunani dapat diselenggarakan secara

efektif karena berlangsung dalam kondisi yang sederhana, wilayahnya terbatas

serta jumlah penduduk sedikit. Kemudian memasuki abad pertengahan, demokrasi

langsung Yunani dapat dikatakan hilang ketika bangsa Romawi dikalahkan oleh

bangsa Eropa Barat. Dalam perkembangannya di abad pertengahan, muncul dua

kejadian sebagai perubahan sosial dan kultural, yaitu zaman abad pencerahan

(Rennaisance) yang sejalan dengan pemikiran tentang sejarah dan hukum dari

Thomas Hobbes (1588-1679), Jhon Locke (1632-1704), Montesquieu (1689-

1755) dan Jean Jacques Rousseau (1712-1778) dan reformasi. Kedua masa itu

mempersiapkan Eropa Barat untuk dalam masa tersebut menyelami masa abad

pemikiran (aufklarung) beserta rasionalisme, suatu aliran pemikiran yang ingin

memerdekakan pemikiran manusia dari batas-batas yang ditentukan oleh gereja


157
dan mendasarkan pemikiran atas dasar akal (ratio) semata.

Kebebasan berpikir membuka jalan untuk meluaskan gagasan demokrasi di

bidang politik. Kemudian dalam perkembangannya muncul monarki-monarki

157
Leo Agustino, Op.Cit., hal.132.

109

Universitas Sumatera Utara


absolut dimana anggapan raja adalah segalanya. Namun kecaman dan

pendobrakan terhadap kedudukan raja-raja absolut ini didasarkan atas teori

rasionalistis (contract social), dimana dalam pemikirannya bahwa prinsip keadilan

berlaku bagi semua waktu serta semua manusia baik dia raja, bangsawan maupun

rakyat jelata. Raja diberikan kekuasaan oleh rakyat untuk menyelenggarakan dan

menciptakan ketertiban suasana dimana rakyat dapat memiliki hak-hak alamnya

(natural right) dengan aman. Dan rakyat akan menaati perintah raja asalkan hak-

hak alam itu terjamin. Pada hakikatnya teori-teori kontrak sosial merupakan usaha

untuk mendobrak dasar dari pemerintahan absolut dan menetapkan hak-hak

politik rakyat sebagai prinsip dasar demokrasi. 158 Sebagai akibat dari pergolakan

tersebut, pada akhir abad ke-19 gagasan mengenai demokrasi menjadi wujud yang

konkret sebagai program dan sistem politik. Demokrasi pada tahap ini semata-

semata bersifat politis dan mendasar dirinya atas asas-asas kemerdekaan individu,

kesamaan hak (equal rights), dan hak-hak pilih untuk semua warga negara

(universal suffrage). Pada masa sekarang dapat dijabarkan asas-asas atau prinsip-

prinsip demokrasi adalah sebagai berikut. 159

1. Keterlibatan warga negara dalam pembuatan keputusan politik

Asas pokok dari pemerintahan demokrasi, antara lain adanya

partisipasi warga negara dalam pemerintahan. Dengan demikian,

apabila suatu negara tanpa melibatkan warga negara dalam

158
Zakaria Bangun, Op.Cit., hal 3.
159
Drs. Hasim M, Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta: Yudhistira Ghalia Indonesia, hal. 31-33.

110

Universitas Sumatera Utara


pengambilan keputusan publik, maka, negara tersebut bukanlah negara

demokrasi.

2. Persamaan (Kesetaraan) di antara warga negara

Persamaan dalam berbagai kehidupan masyarakat asas pokok

pemerintahan demokrasi, baik itu meliputi persamaan politik,

persamaan ekonomi, persamaan sosial budaya, persamaan

kesempatan, persamaan hak, maupun persamaan dalam bidang

hukum.

3. Kebebasan atau kemerdekaan yang diakui dan dipakai oleh warga

negara

Kemerdekaan warga negara merupakan hak mendasar dalam

pengembangan kehidupan yang berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi.

Sebagai wujud negara telah menjamin kemerdekaan warga negaranya,

maka negara harus menjamin hak asasi masyarakat dalam konstitusi,

mengakui dan melindunginya, baik itu hak pribadi, politik, ekonomi,

sosial budaya maupun hukum.

4. Supremasi hukum

Untuk menegakan kehidupan demokrasi diperlukan supremasi hukum

sehingga perkembangan dan kelangsungan demokrasi yang

berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi dapat tercapai sesuai yang di

cita-citakan oleh demokrasi, sesuatu yang bertentangan dan anti

111

Universitas Sumatera Utara


demokrasi seperti tertindasnya rasa keadilan masyarakat, dilecehkan

nilai-nilai kemanusiaan (hak asasi manusia), dan “dikebirinya”

kebebasan berpendapat harus di selesaikan dengan menggunakan

pendekatan hukum.

5. Pemilu berkala

Pemilu merupakan ukuran yang akurat dan jelas bahwa sebuah negara

menerapkan prinsip-prinsip demokrasi. Dengan pemilu, maka dapat

dilihat sejauh mana partisipasi warga negara dalam bidang politik dan

bagaimana pergantian kekuasaan berlangsung secara demokratis.

Dengan demikian, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa untuk

membedakan sebuah negara sebagai demokrasi atau bukan, maka

jawabannya adalah apakah di adalm negara tersebut di selenggarakan

pemilu yang jujur dan adil.

Pada masa sekarang, demokrasi sebagai sistem pemerintahan juga

berkembang menjadi beberapa jenis bentuk sistem demokrasi, seperti demokrasi

konstitusional, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila,

demokrasi rakyat, demokrasi soviet, demokrasi nasional, dan lain sebagainya. 160

160
Koesnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Cetakan ke-2, Jakarta: Gaya media Pratama, 1988, hal.
167 – 191.

112

Universitas Sumatera Utara


B. Perbandingan Prinsip Syura dengan Prinsip Demokrasi

Hubungan antara Islam, khususnya syura dan demokrasi pun menjadi

persoalan yang menarik untuk dikaji, dimana muncul anggapan bahwa sistem

pemerintahan Islam saling berhubungan dengan sistem demokrasi karena pada

pemerintahan Islam terdapat konsep syura yang dianggap identik pada konsep

demokrasi juga bertentangan dengan demokrasi. Seperti diungkapkan oleh

Esposito dan Piscatori bahwasannya terdapat tiga pemikiran mengenai hubungan

Islam dan demokrasi. Pertama, Islam menjadi sifat dasar demokrasi, karena

konsep syura, ijtihad, dan ijma’ merupakan konsep yang sama dengan demokrasi.

Kedua, menolak bahwa Islam berhubungan dengan demokrasi. Menurut

pandangan ini kedaulatan rakyat tidak bisa berdiri di atas kedaulatan Tuhan, juga

tidak bisa disamakan antara muslim dan nonmuslim dan antara laki-laki dan

perempuan. Hal ini bertentangan dengan equalitynya demokrasi. Ketiga,

sebagaimana pandangan pertama bahwa Islam merupakan dasar demokrasi.

Meskipun kedaulatan rakyat tidak bisa bertemu dengan kedaulatan Tuhan tetapi

perlu diakui, bahwa kedaulatan rakyat tersebut merupakan subordinasi hukum

Tuhan. Hal ini dikenal dengan theodemocracy yang diperkenalkan oleh al-

Maududi. 161

Berdasarkan uraian diatas mengenai syura dan demokrasi, dapat diketahui

bahwa terdapat beberapa persamaan dan perbedaan yang fundamental antara

161
John L. Esposito and Jame P. Piscatori, Democratization and Islam, dalam Middle East Journal 45, No. 3
(1991), hal. 427-440.

113

Universitas Sumatera Utara


syura dan demokrasi. Menurut penulis, persamaan syura dan demokrasi adalah

keduanya mengakui dan menghargai setiap hak individu untuk dapat

mengemukakan pendapat dimana keduanya juga memiliki prinsip persamaan,

kebebasan dan keadilan. Dalam syura, setiap peserta syura memiliki hak dan

dapat mengemukakan pendapat dan pemikirannya masing-masing dengan bebas

mengenai permasalahan yang sedang dibahas, karena syura menghargai

kemerdekaan berpikir dan mengeluarkan pendapat. Begitu pula pada demokrasi,

dimana salah satu karakteristik demokrasi yang mendasar adalah menghargai

kemerdekaan individu untuk dapat bebas memilih dan ikut serta terlibat dalam

suatu pembuatan keputusan dimana setiap orang baik melalui sistem demokrasi

langsung ataupun melalui perwakilan, keseluruhannya memiliki persamaan suara,

maka dalam demokrasi dikenal istilah “one man, one vote”. Karena pada

pemerintahan yang menganut sistem demokrasi, kedaulatan berada di tangan

rakyat.

Perbedaan syura dan demokrasi yang paling utama adalah syura hanya

merupakan salah satu metode pengambilan pendapat dalam sistem pemerintahan

Islam. Sedangkan demokrasi dianggap sebagai suatu pandangan hidup (the way of

life) dan kumpulan ketentuan untuk seluruh konstitusi, undang-undang, dan sistem

pemerintahan dalam politik barat. Berikut perbedaan-perbedaan dari syura dan

demokrasi secara umum, yaitu;

114

Universitas Sumatera Utara


Pertama, syura merupakan metode atau cara pengambilan pendapat oleh

pemimpin dalam pemerintahan Islam sedangkan demokrasi merupakan suatu

sistem politik negara.

Kedua, syura dilakukan berdasarkan Al-Quran atau hukum Tuhan, maka

setiap pandangan atau pendapat peserta syura tidak boleh berlawanan atau

bertentangan dengan Al-Quran dan Hadist Nabi Muhammad SAW. Keputusan

yang dibuat harus sejalan dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai syariah.

Intinya, keputusan rakyat harus mendapat legitimasi syariah. Sedangkan

demokrasi dilakukan berdasarkan hukum yang berlaku, dimana hukum tersebut

dibuat juga berdasarkan keputusan bersama.

Ketiga, syura dilakukan untuk membahas mengenai suatu permasalahan

yang terjadi dimana tidak disebutkan dalam Al-Quran hukum atau ketentuannya,

sedangkan pada demokrasi dilakukan musyawarah mencakup segala

permasalahan dalam masyarakat, karena pada demokrasi, Pemegang otoritas

tertinggi berada di tangan rakyat 162, parlemen atau majlis dalam demokrasi berhak

membuat dan membatalkan undang-undang, meski bertentangan dengan norma-

norma susila, atau bahkan bertentangan dengan kemaslahatan kemanusiaan secara

keseluruhan. Seperti membuat hukum minuman keras, kebebasan seks dan jenis

pornografi dan lain-lain. Seperti yang diungkapkan oleh M. Natsir, yaitu:

162
Gudrun Kramer, “Islamist Notions of Democracy” dalam Political Islam, London: IB. Tauris, 1997,
hal.76.

115

Universitas Sumatera Utara


Dalam pemerintahan Islam, yang diutamakan ialah mencari cara terbaik
untuk melaksanakan undang-undang dan bukannya mencipta undang-
undang. Dalam parlemen negara Islam, tidaklah akan dipermusyawaratkan
terlebih dahulu, apakah yang harus menjadi dasar bagi pemerintahan, dan
tidaklah mesti ditunggu keputusan parlemen terlebih dahulu, apakah perlu
diadakan pembasmian terhadap arak atau tidak. Tidak ditunggu persetujuan
parlemen untuk penghapusan judi dan pencabulan, dan tidak perlu
dimusyawaratkan apakah perlu diadakan pemberantasan khurafat dan
kemusyrikan atau tidak, dan sebagainya. Bukan! Ini semu bukan hak
musyawarat parlemen. Yang mungkin dibicarakan ialah cara-caranya untuk
menjalankan semua hukum itu. 163

Keempat, syura dalam pemerintahan Islam hanya dapat diikuti oleh ahl al-

halli wa al-aqd yang memiliki sifat-sifat tertentu dan memiliki pengetahuan

kenegaraan dan juga pengetahuan mengenai agama Islam. 164 Sedangkan dalam

demokrasi keputusan politik dapat diambil dengan cara musyawarah dalam suatu

lembaga (misalnya: legislatif) dimana anggotanya tidak perlu memiliki spesifikasi

yang lebih khusus kecuali pendidikan tertentu karena terpilih berdasarkan

pemilihan umum dan semua rakyat memiliki hak dan kesempatan untuk ikut serta.

Kelima, dalam syura, keputusan tidak diambil berdasarkan suara mayoritas,

karena dalam Islam jumlah suara mayoritas bukan merupakan ukuran

kebenaran. 165 Juga pemimpin yang melakukan syura memiliki hak untuk tidak

mengambil pendapat dari peserta syura, karena syura terbagi atas dua jenis,

yaitu; 166 syura jam’iyah yaitu syura yang menghasilkan ketetapan dan masyurah

163
M. Natsir, Natsir Versus Soekarno, Padang: Persatuan Agama dan Negara, 1968, hal. 25.
164
Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, Jilid V, Mesir: al-Haiat al-Mishriyah al-Ammah li al-Kitab, 1973,
hal. 164.
165
Muhammad Taufiq al-Syawi, Fiqh al-Syura wa al-Isisyarah (terj). Jakarta: Gema Insani Press, 1997, hal.
564.
166
Taufiq Muhammad Asy-Syawi, Syura Bukan Demokrasi. Jakarta: Gema Insani Press, 1997, hal. 147-151.

116

Universitas Sumatera Utara


fakultatif yaitu pemberian pendapat atau nasihat yang tidak memnghasilkan

ketetapan, karena hanya sebagai sarana untuk membantu seorang pemimpin untuk

menemukan pendapat yang benar. Sedangkan pada demokrasi, keputusan diambil

berdasarkan suara mayoritas karena berlaku sistem votting atau pengambilan suara

terbanyak dalam mengambil suatu keputusan politik. Seperti diungkapkan oleh

Sidney Hook 167 yaitu demokrasi sebagai bentuk pemerintahan di mana keputusan-

keputusan pemerintah yang penting atau arah kebijakan di balik keputusan secara

langsung didasarkan pada keputusan mayoritas yang diberikan secara bebas dari

rakyat dewasa. Maka pihak minoritas tidak mempunyai pilihan selain tunduk dan

mengikuti “pendapat mayoritas”. Maka itu dalam demokrasi dikenal dengan

istilah “vox vopuli, vox dei” yaitu suara rakyat adalah suara Tuhan. Sementara

dalam Islam permasalahannya tidak tergantung pendapat mayoritas atau

minoritas, melainkan pada ketapan syari’at. Sebab yang menjadi penentu hanyalah

Tuhan, bukan rakyat.

Dengan demikian, penulis akan menganalisis mengenai perbandingan antara

syura dan demokrasi secara lebih mendalam, yaitu berdasarkan prinsip-prinsip

dari syura. Telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa syura memiliki

beberapa prinsip. Prinsip-prinsip dasar tersebut adalah prinsip persamaan, prinsip

kebebasan dan prinsip keadilan. 168 Meskipun demokrasi juga memiliki prinsip

167
Sidney Hook dalam Nakamura dan Samallowood, The Polities of Policy Implementation, New York: St.
Martin Press, 1980, hal. 67.
168
Al-Anshari. Al-Syura wa atsaruha bi al-Demuqrathiyyah, Kairo: Salafiyah,1980, hal.12.

117

Universitas Sumatera Utara


yang serupa, namun terdapat perbedaan dalam substansinya. Berikut

perbandingan antara prinsip syura dengan prinsip demokrasi:

1. Prinsip Persamaan

Al-Quran telah menetapkan prinsip bahwa Islam tidak membedakan

siapapun dalam mentaati peraturan undang-undang, karena tidak ada derajat

yang lebih tinggi dari yang lain. Sehingga, antara pemimpin, para penguasa

serta rakyat mempunyai kedudukan yang sama. Sebagaimana ditegaskan oleh

Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya: 169

“Hai manusia, ingatlah bahwa sesungguhnya Tuhan kalian itu satu,


bapak kalian satu. Ingatlah orang arab tidak lebih utama dari orang
‘Ajam, dan demikian juga sebaliknya orang ‘Ajam tidak lebih utama dari
orang kulit hitam, dan sebaliknya orang kulit hitam tidak lebih utama
dari orang kulit berwarna, kecuali karena takwanya”.

Sabda di atas menunjukan bahwa seluruh umat manusia yang terdiri dari

berbagai macam suku bangsa dan warna kulit adalah sama, tidak ada beda dari

segi kemanusiaan. Sebagaimana juga yang dikemukakan Al-Quran dalam surat

Al-Hujurat ayat 13, yaitu yang artinya:

“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu semua dari


seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling takwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha
mengenal”

169
Ahmad bin Hanbal, Op.Cit., hal. 411.

118

Universitas Sumatera Utara


Ayat diatas dengan tegas mengungkapkan bahwa setiap manusia berasal

dari Adam dan Hawa. Dari asal usul kejadian yang sama maka tidak

sepantasnya bagi seseorang atau kelompok untuk membanggakan diri terhadap

yang lain karena yang membedakan hanyalah nilai ketakwaan. Abd al-Wahid

Wafi dalam tulisannya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan persamaan

adalah dalam segala aspek kehidupan, masalah tanggung jawab, penilaian dan

pahala, hak kepemilikan, hak pendidikan pengajaran dan kebudayaan, hak

bekerja, memperoleh hak bagi orang Islam dan selain orang Islam, hak antara

laki-laki dan perempuan dan sebagainya tanpa ada perbedan antara rakyat dan

pejabat, yang mulia dan hina, antara kaya dan miskin, keluarga dekat dan jauh

dan seterusnya. 170

Begitu pula dasar dari syura adalah Amar Ma’ruf Nahi Munkar

(menyuruh berbuat kebaikan, mencegah hal-hal buruk), maka merupakan

persamaan kewajiban bagi setiap orang ataupun pemimpin dalam

melaksanakan syura. Sehingga di dalam syura, pendapat setiap peserta syura

memiliki nilai yang sama dan setiap peserta syura memiliki hak yang sama

untuk didengarkan dan dipertimbangkan segala pemikirannya di dalam forum

syura tanpa membedakan suku, asal usul ataupun kedudukannya selama

pendapat tersebut tidak bertentangan dengan yang telah ditetapkan Al-Quran

dan Hadist Nabi Muhammad SAW. Maka, peserta syura atau ahl al wa al-aqd

170
Ali Abd al-Wahid Wafi, Al-Musawaft fi al-Islam, Mesir: Dar al-Maarif, hal. 21-22.

119

Universitas Sumatera Utara


haruslah memiliki sifat shalih, ikhlas, adil, memiliki pengetahuan yang

memadai tentang Al-Quran, hadist Nabi, ketatanegaraan, memiliki wawasan

yang luas, cerdas, kritis dan bijak sehingga mampu menilai berbagai alternatif

untuk dapat membandingkan yang baik dan buruk untuk kepentingan rakyat. 171

Sedangkan dalam demokrasi, persamaan diartikan sebagai persamaan

kesempatan khususnya dalam mendapatkan hak bagi setiap individu di dalam

suatu negara yang dijamin dengan hukum. Selain itu, sistem ini menekankan

pada persamaan kesempatan ekonomi dibandingkan pemerataan hasil oleh

pemerintah. Hal ini berarti setiap individu bebas mencari, dan

mendayagunakan kekayaan sepanjang dalam batas-batas yang disepakati

bersama, seperti persaingan bebas yang wajar, undang-undang antimonopoli

dan peka lingkungan hidup. Sehingga, yang membedakan setiap individu

dengan individu lainnya adalah status hukum dengan hukum yang berlaku di

masing-masing negara penganut demokrasi tersebut. 172

2. Prinsip Kebebasan

Prinsip kebebasan dalam syura yang berlaku adalah kebebasan berdialog.

Kebebasan dalam syura merupakan bebas berpendapat, berdiskusi, pengakuan

dan berpegang pada nilai-nilai kebenaran. Hal inilah yang oleh Athiyah al-

Abrasyi sebagai kebebasan yang sempurna. 173 Artinya dengan menetapkan

171
Al Anshari, Op. Cit., hal. 237.
172
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Grasindo, 2010, hal. 290.
173
Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Op.Cit., hal. 203.

120

Universitas Sumatera Utara


keputusan kelompok setelah mempertimbangkan bermacam argumen yang

dijadikan acuan oleh banyak pendapat, tidak sekedar pertimbangan antara

jumlah suara. Karena jumlah suara bisa menjadi tersesat apabila hanya

mengikuti hawa nafsu dan prasangka sebagaimana disebutkan dalam surat al-

Anam ayat 116, yaitu yang artinya:

“dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang dimuka bumi ini, niscaya
mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain
hanyalah mengikuti prasangka belaka, dan mereka tidak lain hanya
berdusta (terhadap Allah)”

Kebebasan yang menjadi substansi syura adalah kebebasan dan

kemerdekaan masyarakat atau dalam kelompok. Bukan kebebasan untuk

memuaskan keinginan pribadi, karena dalam Islam kebebasan dilandaskan

dengan keimanan. Meskipun ketetapan dan keputusan yang dihasilkan oleh

sidang apabila tidak mencapai suara bulat, bisa juga digunakan suara terbanyak

namun suatu keharusan bahwa sebelum menentukan harus dimulai dengan

tukar pendapat secara bebas dan mendiskusikan semua pendapat yang

berlainan dan saling bertentangan. Mayoritas tidak dibenarkan menganggap

remeh pendapat-pendapat minoritas atau tidak mendiskusikannya secara bebas,

karena kemerdekaan berdiskusi merupakan substansi dan pondasi dari syura

yang tidak boleh diabaikan karena telah menganggap cukup suara terbanyak. 174

121

Universitas Sumatera Utara


Sedangkan pada demokrasi, menurut Jhon Locke, kebebasan adalah

terbebas dari setiap kekuasaan duniawi (yang lebih tinggi), tidak tunduk pada

kemauan atau kekuasaan seorang manusia (raja), melainkan sepenuhnya

mengikuti aturan alami sebagai landasan hak-haknya. Kebebasan seorang

manusia dalam sebuah masyarakat tidak berbasis pada kekuasaan (orang) lain

yang dipaksakan berdasarkan keturunan, juga tidak pada kekuasaan dan

keinginan atau keterbatasan sebuah undang-undang selain yang diputuskan

dalam parlemen yang bisa dipercaya. 175 Kebebasan alami yang dimiliki setiap

manusia, bukan dikembangkan dalam masyarakat, tetapi sudah ada sejak

dilahirkan. Kebebasan alami dan dengan demikian kebebasan yang berlaku

sama bagi semua. Bagi Jhon Locke, kebebasan bukanlah sesuatu yang

diberikan secara alami, tapi harus lewat kontrak sosial dalam sebuah

masyarakat sebagai sesuatu yang alami.

Dalam pengertian demokrasi liberal, kebebasan didasarkan pada

beberapa asumsi yaitu adanya kebebasan atau otonomi seseorang. Oleh

karenanya pemerintah tidak boleh campur tangan terhadap kebebasan individu.

Seseorang merasa bebas, mampu membentuk, memperbaiki, dan meraih

tujuannya. Persaingan antar individu wajar terjadi ketika masing-masing orang

berupaya meraih dan memenuhi kepentingannya. Dalam arena politik,

kewarganegaraan merupakan instrumen untuk meraih tujuan non-politis dari

175
Tobias Gombert, Landasan Sosial Demokrasi, Friedrich-Ebert-Stiftung Akademie für Soziale Demokratie
Bonn, hal. 13.

122

Universitas Sumatera Utara


pribadi-pribadi yang otonom dalam menentukan pilihannya, sementara

aktivitas politik dikonseptualisasikan dalam rangka meletakkan aturan legal

tentang hubungan sosial antar-individu dalam memperoleh kepentingan

masing-masing.

Dimana dasar demokrasi mengandung tiga elemen penting, yaitu

kemerdekaan atau kebebasan, dan kesetaraan. Kebebasan diartikan sebagai

suatu kemampuan untuk bertindak berdasarkan keinginan seseorang.

Kebebasan individu meliputi kebebasan berbicara atau berekspresi, kebebasan

beragama, bebas dari bahaya dan rasa takut, bebas dari kekurangan

(kelaparan), bebas dalam berfikir, bebas berserikat, termasuk kebebasan bagi

setiap individu untuk berpartisipasi dalam pembentukan pemerintahan sebagai

hak dasar dari manusia. Sehingga pada demokrasi, kebebasan adalah sebagai

hak asasi manusia (HAM), menikmati hak-hak dasar, dalam demokrasi setiap

warga masyarakat dapat menikmati hak-hak dasarnya secara bebas, seperti hak

untuk menyatakan pendapat, berkumpul dan berserikat dan lain-lain.

3. Prinsip Keadilan

Dalam kamus besar Al-Munawwir, adil (al’adl) berarti perkara yang

tengah-tengah. 176 Dengan demikian bahwa adil berarti tidak berat sebelah,

tidak memihak atau menyamakan yang satu dengan yang lain (al-musawah).

Istilah lain dari al’adl dalam bahasa Arab adalah al-qist, al-misl (sama bagian

176
Ahmad Warson Al- Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, yogyakarta: Pustaka
Progressif, 1997, hal. 906.

123

Universitas Sumatera Utara


atau semisal). Secara terminologis, adil berarti mempersamakan sesuatu

dengan yang lain, baik dari segi nilai maupun dari segi ukuran, sehingga

sesuatu itu menjadi tidak berat sebelah dan tidak berbeda satu sama lain. Adil

juga berarti berpihak pada kebenaran. 177 Menurut Ahmad Azhar Basyir,

keadilan adalah meletakan sesuatu pada tempat yang sebenarnya atau

menempatkan sesuatu pada proposinya yang tepat dan memberikan kepada

seseorang sesuatu yang menjadi haknya. 178

Menurut al-Mawardi dan Abu Ya’la yang dikutip oleh al-Anshari,

terdapat tiga syarat mutlak yang harus dimiliki oleh setiap wakil rakyat atau ahl

al-hall wal al-aqd atau peserta dalam syura adalah pertama, sifat adil terhadap

siapa saja dan selalu memelihara wibawa dan nama baik. Kedua, pengetahuan

yang memadai tentang seluk beluk ketatanegaraan sehingga mampu

menentukan pilihan. Ketiga, wawasan luas, cerdas, kritis dan bijak sehingga

dapat memilah dan memilih sesuatu yang lebih baik demi kemaslahatan

umat. 179 Sifat adil yang dimiliki oleh peserta syura tentunya berdasarkan

prinsip keadilan menurut Islam. Begitupula dalam melakukan syura, pemimpin

harus berlaku adil kepada setiap peserta syura dengan memberikan

keseluruhannya kesempatan yang sama untuk mengemukakan pendapatnya

177
Abdul Aziz Dahlan, et.all, Ensiklopedia Hukum Islam, Jilid 2, PT, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997
hal. 25.
178
Ahmad Azhar Basyir, Negara dan Pemerintahan dalam Islam, Yogyakarta: UII Press, 2000, hal. 30.
179
Al Anshari, Op. Cit., hal. 237.

124

Universitas Sumatera Utara


juga keputusan yang dihasilkan oleh syura juga haruslah merupakan suatu

keputusan yang bersifat adil bagi rakyat.

Di dalam Al-Quran terdapat perintah untuk berbuat keadilan yang

tercantum pada surat Al-Nahl ayat 90, yaitu, “Sesungguhnya Allah menyuruh

(kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan”. 180 Terdapat beberapa aspek

keadilan dalam Islam yang akan mempengaruhi keputusan-keputusan peserta

syura agar membuat keputusan yang adil, yaitu:

a. Aspek Hukum

Keadilan hukum Islam bersumber dari Tuhan yang Maha Adil, karena

pada hakikatnya Allah SWT yang menegakan keadilan (quiman bilqisth),

maka harus diyakini bahwa Allah tidak akan berlaku tidak adil kepada

hambanya. Adil dalam pengertian adalah persamaan (Equality), yaitu

persamaan dalam hak, tanpa membedakan siapa, dari mana orang yang akan

diberikan sesuatu keputusan oleh orang yang diserahkan untuk menegakan

keadilan, sebagaimana dimaksud ayat Al-Quran dalam surat Al-Nisaa’ ayat

58, yaitu : “ dan.. apabila kamu memutuskan perkara diantara manusia

hendaklah engkau putuskanlah dengan adil”.

Keadilan hukum dalam Islam tidak menyamakan hukuman diantara

orang kuat dan orang lemah, tetapi memiliki persepsi lain yang belum

pernah ada, bahwa hukuman bisa menjadi lebih berat bila pelakunya adalah

180
Yayasan Penyelenggara Penerjemah/penafsir Al-Quran, Al-Quran dan Terjemahannya, Departemen
Agama, 1986, hal. 415.

125

Universitas Sumatera Utara


orang besar, dan hukuman sesuai dengan tindakan pidana, maka haruslah

hukuman itu menjadi lebih berat sesuai dengan kelas pelaku tindak pidana

tersebut. 181 Sehingga, semakin tinggi kualitas kejahatan, akan semakin

tinggi sanksi yang di berikan dan semakin tinggi status sosial dan

kedudukan sesesorang dalam masyarakat, akan semakin berat hukuman

yang akan dijatuhkan. Sedangkan pada demokrasi, setiap orang memiliki

hak dan kewajiban yang sama dimata hukum (persamaan dan kesetaraan)

tanpa ada perbedaan 182 berdasarkan status sosialnya sehingga setiap orang

harus diberlakukan secara adil dihadapan hukum dimana ketetapan hukum

didapat berdasarkan undang-undang yang berlaku.

b. Aspek Ekonomi

Dalam hubungannya dengan keadilan dalam ekonomi, bahwa keadilan

pada prinsipnya adalah harta tidak boleh terpusat pada kelompok aghniya

atau golongan kaya saja, sebagaimana yang telah disebutkan dalam surat al-

Hasyr ayat 7. Jika terjadi pemusatan kekayaan, maka akan timbul

ketimpangan sosial. Di gambarkan dalam Al-Quran ketika menjelaskan

kemiskinan itu bukanlah semata-semata diakibatkan oleh kemalasan

individual, melainkan disebabkan tidak adanya usaha bersama untuk

181
Abdurahman Qadir, zakat dalam dimensi dalam mahdah dan sosial, hal 131-133.
182
Ridwan HR., Hukum Admnistrasi Negara, UII-Press, Yogyakarta, 2002, hal. 7.

126

Universitas Sumatera Utara


membantu kelompok lemah, adanya kelompok yang memakan kekayaan

alam dengan rakus dan mencintai kekayaan dengan berlebihan. 183

Kemiskinan dan keterbelakangan umat adalah tanggung jawab

bersama, ditegaskan berulang kali dalam Al-Qur'an maupun Sunnah Rasul.

Misalnya: pertama, menolong dan membela manusia yang lemah

(mustadh'afin), adalah tanda-tanda orang yang bertakwa (al-Ma'ârij: 24-25).

Kedua, mengabaikan golongan fakir miskin, acuh tak acuh terhadap mereka,

dan enggan memberikan pertolongan dianggap mendustakan agama (al-

Mâ'un: 1-3). Ketiga, Rasulullah Saw menyatakan bahwa keberpihakan

kepada golongan dhuafa akan menyebabkan mendapatkan pertolongan dari

Allah SWT. Islam tidak menuntut adanya pemerataan kekayaan dalam arti

yang sebenarnya secara harafiyah, karena distribusi kekayaan tergantung

pada kemampuan masing-masing individu yang satu sama lain tidak

seragam. Dengan demikian keadilan dalam arti yang mutlak menuntut agar

imbalan kepada semua orang sama-sama berbeda, dan bahwa sebagian di

antara mereka mendapatkan imbalan lebih besar daripada yang lain selama

keadilan dalam arti kemanusiaan itu dipertahankan dengan disediakannya

kesempatan yang sama bagi semua orang. Jadi tingkat atau kedudukan

seseorang, asal-usul atau kelas dalam masyarakat jangan sampai

menghalangi siapa saja untuk mendapatkan kesempatan itu, atau jangan

183
Didin Hafidhudin hal 216.

127

Universitas Sumatera Utara


sampai ada orang yang terhalang kesempatannya untuk berusaha karena

belenggu itu. 184

Islam memberikan hak kepada orang-orang miskin atas harta orang-

orang kaya sekedar memenuhi kebutuhan mereka, dan sesuai dengan

kepentingan yang baik bagi masyarakat, sehingga karenanya kehidupan

masyarakat dapat sempurna, adil dan produktif. Jadi Islam tidak memisah-

misahkan aspek-aspek kehidupan, antara material, intelektual, keagamaan

dan duniawi, akan tetapi Islam mengatur keseluruhannya sehingga satu

sama lain dapat dirangkaikan sebagai satu bentuk kehidupan yang utuh

terpadu dan sulit untuk diperlakukan dengan diskriminasi. Setiap bagian

dari kehidupan ini satu sama lain merupakan suatu kesatuan yang

terorganisasi rapi, sama seperti keteraturan organisasi alam semesta yang

terpadu itu, keteraturan hidup, keteraturan bangsa dan keteraturan seluruh

umat manusia. 185

Dalam konsep keadilan ekonomi terkandung suatu prinsip, bahwa

manusia mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh kehidupan

yang layak sebagai manusia, meskipun dalam kenyataannya setiap orang

dibedakan oleh Tuhan tentang potensi dan berbagai kemampuan, baik fisik

dan intelektual serta latar belakang profesi kehidupan ekonomi, sehingga

ada yang lebih mudah mendapat rezeki dan ada yang sulit. Hal itu telah

184
Sayyid Qutb, “Keadilan Sosial dalam Islam”, Bandung: Penerbit Pusataka, 1984, hal. 224.
185
Ibid.

128

Universitas Sumatera Utara


ditetapkan oleh Tuhan seperti dimaksud dalam firman-Nya pada surat al-

Zukhruf ayat 32, yaitu yang artinya:

“Kami telah menentukan sumber kehidupan di antara manusia, dan


Kami juga yang melebihkan sebagian dari sebagian yang lain, agar
mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhan
lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan“

Pengertian mempergunakan dalam ayat di atas termasuk berzakat.

Maka zakat merupakan sub sistem keadilan sosial ekonomi yang ditegakkan

oleh ajaran al-Qur'an, baik dilihat dari perspektif keadilan Tuhan maupun

dari keadilan sosial kemanusiaan. Upaya yang paling strategis dan efektif

mengantisipasi kerawanan sosial itu adalah menyuburkan rasa keadilan

sosial melalui penggalakan kesadaran berzakat, bersedekah, memberi

pinjaman kebajikan (qardhan hasan) kepada golongan ekonomi lemah agar

mereka mampu mandiri, karena dengan dana zakat yang sangat potensial itu

dapat memberi peluang dan kesempatan untuk berusaha, melakukan

berbagai kegiatan dan usaha-usaha ekonomi untuk mengaktualkan potensi

yang ada pada dirinya, meskipun persamaan kesempatan itu tidak sama

bobotnya sebagaimana pengertian yang dikembangkan oleh masyarakat

demokrasi. Pada demokrasi, keadilan dalam perekonomian adalah dimana

semua orang harus diberikan kesempatan untuk berpatisipasi dalam

keputusan ekonomi yang menyangkut nasib dan martabat mereka. Karena

setiap orang hendaknya berhak atas sistem menyeluruh yang bertumpu pada

129

Universitas Sumatera Utara


dasar-dasar kebebasan yang sama. Dibandingkan pemerataan hasil dengan

campur tangan pemerintah, keadilan dalam ekonomi demokrasi lebih

ditekankan pada persamaan atas kesempatan ekonomi.

c. Aspek Politik

Politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu

sistem politik (atau negara) yang Menyangkut proses menentukan tujuan-

tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu. 186 Aspek keadilan

politik dalam pemerintahan Islam adalah konsep adil yang tidak melewati

batas-batas yang telah ditentukan oleh Al-Quran dan Hadist Nabi

Muhammad SAW dan setiap orang diberikan kesempatan yang sama untuk

ikut serta menegakan perbuatan amar ma’ruf nahi munkar dalam politik

untuk kepentingan umum. Sedangkan pada demokrasi keadilan dalam aspek

politik adalah adanya kesetaraan dalam pemenuhan hak-hak dasar politik

bagi setiap individu, seperti hak politik untuk membentuk partai politik dan

untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum yang bebas, dan lain-lain.

186
Miriam Budiardjo, Op.Cit., hal. 8.

130

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penjabaran pembahasan pada bab-bab sebelumnya, dapat

diketahui bahwa syura dalam Islam memiliki persamaan dan perbedaan dengan

sistem demokrasi. Berdasarkan pengertiannya, syura dapat diartikan sebagai

forum dimana para pesertanya dapat mengeluarkan atau memberikan pendapat

atau gagasan untuk hal-hal yang baik dan benar dalam menyelesaikan suatu

masalah. Sedangkan demokrasi merupakan sebuah sistem politik dimana rakyat

memiliki kedaulatan tertinggi di dalamnya, maka dalam demokrasi dikenal istilah

kekuasaan tertinggi berada di tanggan rakyat.

Persamaan syura dan demokrasi terletak pada keduanya yaitu diakuinya

setiap hak individu untuk dapat mengemukakan pendapat juga keduanya sama-

sama memiliki prinsip persamaan, keadilan dan kebebasan. Dalam syura, setiap

peserta syura memiliki hak dan dapat mengemukakan pendapat dan pemikirannya

masing-masing dengan bebas mengenai permasalahan yang sedang dibahas,

karena syura menghargai kemerdekaan berpikir dan mengeluarkan pendapat.

Begitu pula pada demokrasi, dimana salah satu karakteristik demokrasi yang

mendasar adalah menghargai kemerdekaan individu untuk dapat bebas memilih

dan ikut serta terlibat dalam suatu pembuatan keputusan dimana setiap orang baik

131

Universitas Sumatera Utara


melalui sistem demokrasi langsung ataupun melalui perwakilan, keseluruhannya

memiliki persamaan suara.

Sedangkan perbedaan syura dengan demokrasi bila dilihat berdasarkan

ketiga prinsipnya adalah (1) prinsip persamaan, yaitu pendapat setiap peserta

syura memiliki nilai yang sama dan setiap peserta syura memiliki hak yang sama

untuk didengarkan dan dipertimbangkan segala pemikirannya di dalam forum

syura selama pendapat tersebut tidak bertentangan dengan yang telah ditetapkan

Al-Quran dan Hadist Nabi Muhammad SAW. Sedangkan dalam demokrasi,

persamaan diartikan sebagai persamaan kesempatan khususnya dalam

mendapatkan hak bagi setiap individu di dalam suatu negara yang dijamin dengan

hukum. Sehingga, yang membedakan setiap individu dengan individu lainnya

adalah status hukum dengan hukum yang berlaku di masing-masing negara

penganut demokrasi tersebut. (2) Prinisip Kebebasan, yang menjadi substansi

syura adalah kebebasan dan kemerdekaan masyarakat atau dalam kelompok.

Bukan kebebasan untuk memuaskan keinginan pribadi, karena dalam Islam

kebebasan dilandaskan dengan keimanan. Mayoritas tidak dibenarkan

menganggap remeh pendapat-pendapat minoritas atau tidak mendiskusikannya

secara bebas, karena kemerdekaan berdiskusi merupakan substansi dan pondasi

dari syura. Sedangkan pada demokrasi kebebasan diartikan sebagai suatu

kemampuan untuk bertindak berdasarkan keinginan seseorang. Kebebasan

individu meliputi kebebasan berbicara atau berekspresi, kebebasan beragama,

132

Universitas Sumatera Utara


bebas dari bahaya dan rasa takut, bebas dari kekurangan (kelaparan), bebas dalam

berfikir, bebas berserikat, termasuk kebebasan bagi setiap individu untuk

berpartisipasi dalam pembentukan pemerintahan sebagai hak dasar dari manusia.

Sehingga pada demokrasi, kebebasan adalah sebagai hak asasi manusia (HAM).

Dalam demokrasi setiap warga masyarakat dapat menikmati hak-hak dasarnya

secara bebas, seperti hak untuk menyatakan pendapat, berkumpul dan berserikat

dan lain-lain. (3) Prinsip Keadilan, dalam syura setiap peserta syura wajib

memiliki sifat adil agar dapat membuat keputusan yang adil pula. Juga pada

pemimpin syura agar dapat berlaku adil kepada setiap peserta syura dengan

memberikan keseluruhannya kesempatan yang sama untuk mengemukakan

pendapatnya juga keputusan yang dihasilkan oleh syura juga haruslah merupakan

suatu keputusan yang bersifat adil bagi rakyat. Sedangkan pada demokrasi,

keadilan ditekankan pada perlakuan yang sama dihadapan hukum dan kesamaan

kesempatan dalam perekonomian.

133

Universitas Sumatera Utara


B. Saran

Berdasarkan konsep dasar syura dan demokrasi yang telah dijelaskan

sebelumnya, penulis memiliki beberapa saran dimana hal ini diharapkan dapat

menjadi masukan bagi masyarakat Indonesia khususnya, baik untuk kelompok

ataupun perseorangan. Menurut penulis, kedua konsep tersebut memiliki

kelebihan dan kekurangannya tersendiri apabila diterapkan dalam suatu sistem

masyarakat. Namun, ada beberapa hal yang dapat kita jadikan sebagai suatu

pelajaran bersama untuk suatu sistem pengambilan keputusan berdasarkan konsep

syura dan demokrasi, yaitu:

1. Musyawarah haruslah selalu mengutamakan kepentingan negara dan

masyarakat. Sehingga prinsip kebersamaan menjadi sesuatu yang penting

dengan dasar pemikiran bahwa kepentingan negara dan masyarakat juga

meliputi kepentingan pribadi. Oleh sebab itu apabila terdapat suatu

permasalahan yang berkaitan dengan kepentingan negara atau

masyarakat, maka masalah tersebut haruslah dipandang sebagai masalah

seluruh pribadi yang membentuk dan mengisi masyarakat atau negara.

Berdasarkan itu, maka proses pemecahan masalah harus dituntun oleh

sikap yang mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.

2. Dalam musyawarah, peserta tidak boleh memaksakan kehendak kepada

orang lain. Karena setiap orang memiliki kedudukan, hak, dan kewajiban

yang sama sehingga tindakan memaksakan kehendak kepada orang lain

134

Universitas Sumatera Utara


harus dipandang sebagai suatu pelanggaran hak asasi manusia dan

dikhawatirkan dapat menciptakan perpecahan yang menimbulkan konflik

yang membawa dampak negatif kepada masyarakat.

3. Seharusnya dalam musyawarah tidak dikenal istilah menang ataupun

kalah. Setiap pendapat dan masukan harus selalu dihargai baik berasal

dari golongan minoritas ataupun mayoritas.

135

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Al- Bahansawi, Salim Ali. 1996. “Wawasan Sistem Politik Islam”. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar.
Al-Banna, Hassan. 1998. “Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin Jilid 1”.
Surakarta: Era Intermedia.
Al-Banna, Hassan. 1998. “Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin Jilid 2”.
Surakarta: Era Intermedia.
Al-Qardhawy, Yusuf, Dr. 1999. “Pedoman Bernegara Dalam Perspektif Islam.
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Amin, Jumaah. “Method Pemikiran Hasan Al-Banna: Antara Tetap dan Berubah”.
Konsis Media.
Ammirudin, M. Hasbi. 2000. “Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman”.
Yogyakarta: UII Press.
Arikunto, Suharsimi. 1993. “Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek”.
Jakarta : Rineka Cipta.
Ash-Shadr,Sayid Muhammad Baqir. 2001. “Sistem Politik Islam: Sebuah
Pengantar”. Jakarta: Lentera.
Asy-Syawi, Taufiq Muhammad. 1997. “Syura Bukan Demokrasi”. Jakarta: Gema
Insani Press.
Budiardjo, Miriam. 1986. “Dasar-Dasar Ilmu Politik”. Jakarta: Gramedia.
Chillcote, R. 2003. “Teori Perbandingan Politik, Penelusuran Paradigma”.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Denny JA, HA Sumargono, Kuntowijoyo, et.al. 2000. “Negara Sekuler: Sebuah
Polemik”. Jakarta: Putra Berdikari Bangsa.
Eliasii, Haleem, M.A. “The Holy Qur’aan With Arabic Text (Revised Edition)”.
India: Kutub Khana Ishayat-Ul Islam.

136

Universitas Sumatera Utara


Ezzatti, A. 1981.“Gerakan Islam Sebuah Analisis”. Jakarta: Pustaka Hidayah.
Gombert, Tobias. “Landasan Sosial Demokrasi”. Jakarta: Friedrich –Ebert
Stiftung Akademie fur Soziale Demokratie Bonn.
Hadiwinata, Bob Sugeng. 2011. ”Demokrasi di Indonesia: Teori dan Praktik”.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Hasbi, Artani. 2001. “Musyawarah dan Demokrasi: Analisa Konseptual Aplikatif
dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Politik Islam”. Jakarta: Gaya Media
Pratama.
Husen, M. Heikal. 1993. “Pemerintahan Islam”. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Kamil, Sukron. 2013.”Pemikiran Politik Islam Tematik”. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Lubis, M. Ridwan. 1992. “Pembaharuan Pemikiran Islam”. Medan: Pustaka
Widyasarana.
Mariana, Dede, et,al. 2007. “Perbandingan Pemerintahan”. Jakarta: Universitas
Terbuka.
Mas’oed, Mochtar, MacAndrews, Collin. 1978. “Perbandingan Sistem Politik”.
Yogyakarta: UGM Press.
Meyer, Thomas. 2012. “Demokrasi Sosial dan Libertarian: Dua Model yang
Bersaing dalam Mengisi Kerangka Demokrasi Liberal”. Jakarta:
Friedrich –Ebert Stiftung.
Nasution, Harun. 1972. “Teologi Islam”. Jakarta: UI-Press.
Quthb, Sayyid. 1984. “Keadilan Sosial Dalam Islam”. Bandung: Penerbit Pustaka.
Rais, Muhammad Dhiauddin. 2001. “Teori Politik Islam”. Jakarta: Gema Insani
Press.
Salim, Abd. Mu’in. 1994. “Fiqh Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-
Quran”. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Surbakti, Ramlan. 2010. “Memahami Ilmu Politik”. Jakarta: PT. Grasindo.
Zainal, Abidin Ahmad. 1977. “Konsepsi Politik dan Ideologi Islam”. Jakarta:
Bulan Bintang.

137

Universitas Sumatera Utara


Jurnal:
Ali, Muhammad al-Hasyimi. 2009. “Musyawarah dalam Islam”. Islam House.com
Ichsan, Muhammad. 2014. “Demokrasi dan Syura: Perspektif Islam dan Barat”.
Jurnal Substantia. Volume 16, Nomor 01, April 2014.
Muntoha. 2009. “ Demokrasi dan Negara Hukum”. Jurnal Hukum. Volume 16,
Nomor 03, 16 Juli 2009.
Permatasari, Dessi. 2014. “Musyawarah Mufakat atau Pemilihan Lewat Suara
Mayoritas? Diskursus Pola Demokrasi di Indonesia”. Jurnal Ilmiah
Mimbar Demokrasi. Volume 13, Nomor 2, April 2014.
Sohrah. 2011. “Musyawarah VS Demokrasi”. Jurnal Al-Risalah. Volume 11
Nomor 01, Mei 2011.
Syarkawi. 2012. “Implementasi Musyawarah Menurut Nomokrasi Islam”. Jurnal
Lentera. Volume 12 Nomor 1 Maret 2012.
Taranggono, Eko. 2002. “Islam dan Demokrasi, Upaya Mencari Titik Temu”.
Jurnal Al-Afkar. Edisi VI, Tahun ke 5: Juli- Desember 2002.
Zainuddin, Muhammad. 2011. “Islam dan Demokrasi”. Jurnal Kolom. Edisi 005,
05 Agustus 2011.

Internet:
The Holly Quran. http://quran.com/3. diakses pada tanggal 28 Februari 2015, pukul
17.02 WIB.

Politik Islam. http://id.wikipedia.org/wiki/Politik_Islam. Diakses pada tanggal 07


Maret 2015, pukul 20.31 WIB.

138

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai