Anda di halaman 1dari 13

TUGAS

PEMBANGUNAN

OLEH

Nama : Inggrtiha Rolly Manek

Nim :1822511032

Kelas : A

Semester : 5

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

PRODI PENDIDIKAN SOSIOLOGI

UNIVWESITAS MUHAMADIYAH

KUPANG
1. Mahasiswa diminta mengembangkan minimal lima pendapat ahli tentang konsep
pembangunan. Masing-masing konsep dihubungkan dengan fakta empiris dilapangan ?

Beberapa pengertian pembangunan


Pengertian pembangunana mungkin menjadi hal yang paling menarik untuk diperdebatkan.
Mungkin saja tidak ada suatu disiplin ilmu yang paling tepat mengertikan kata pembangunan.
Sejauh ini serangkaian pemikiran tentang pembangunan telah berkembang, dari perspektif
sosiologi klasik ( Durkheim,weber,dan Marx ), pandangan Marxis, modernisasi oleh Rostow,
stuktrualisme bersama modernisasi memperkaya ulasan pendahuluan pembangunan social
hingga pembangunan berkelanjutan, Namun,ada teman-teman pokok yang menjadi pesan di
dalamnya. Dalam hal ini, pembangunan dapat diartikan sebagai suatu upaya terkoordinasi
untuk menciptakan alternatif yang lebih banyak secara sah kepada setiap warga negara untuk
memenuhi dan mencapai aspirasinya yang paling manusiawi (Nugroho dan Rochmin Dahuri,
2004). Tema pertama adalah koordinasi, yang berimplikasi pada perlunya suatu kegiatan
perencanaan seperti yang telah dibahas sebelumnya. Tema kedua adalah terciptanya alternatif
yang lebih banyak secara sah. Hal ini dapat diartikan bahwa pembangunan hendaknya
berorientasi kepada keberagaman dalam seluruh aspek kehidupan. Adapun mekanismenya
menuntut kepada terciptanya kelembagaan dan hukum yang terpercaya dan mampu berperan
secara efisien, transparan, dan adil. Tema ketiga mencapai aspirasi yang paling manusiawi,
yang berarti pembangunan harus berorientasi kepada pemecahan masalah dan pembinaan
nilai-nilai moral dan etika umat. Secara umum, kita dapat memberikan makna tentang
pembangunan sebagai suatu proses perencanaan (social plan) yang dilakukan oleh birokrat
perencanaan pembangunan untuk membuat perubahan sebagai proses peningkatan
kesejahteraan bagi masyarakat. Konseptualisasi pembangunan merupakan proses perbaikan
yang berkesinambungan pada suatu masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik atau lebih
sejahtera sehingga terdapat beberapa cara untuk menentukan tingkat kesejahteraan pada
suatu negara. Tolok ukur pembangunan bukan hanya pendapatan per kapita, namun lebih dari
itu harus disertai oleh membaiknya distribusi pendapatan, berkurangnya kemiskinan, dan
mengecilnya tingkat pengangguran.
Beberapa pakar memberikan definisi pembangunan yang berbeda-beda sebagaimana yang
terdapat sebagai berikut :
1) Easton (1985)
Upaya untuk meningkatkan taraf hidup serta meresalisasikan potensi yang ada secara
sistematis. Proses sistematikpaling tidak terdiri 3 unsur.
Pertama : adanya input,yaitu bahan masukan konservasi.
Kedua : adanya proses konservasi, yaitu wahana untuk mengolah bahan masukan.
Ketiga : adanya output yaitu sebagai hasil dari proses konservasi yang dilaksanakan.
2) Emil salim ( sebelumnya, sebagimana menteri Negara Pengawasan Pembangunan
dan Lingkungan Hidup, 1978-1983)
Pembangunan berkesinambungan (sustainable development) sebagai “suatu proses
perubahan yang di dalamnya eksploitasi sumber daya, arah,investasi, orientasi
pengembangan teknologi, dan perubahan kelembagaan semuanya dalam keadaan
yang selaras serta meningkatkan potensi masa kini dan masa depan untuk memenuhi
kebutuhan dan aspirasi manusia.
3) Johan Galtung
Upaya untuk pemenuhan kebutuhan dasar manusia, baik secara individual maupun
kelompok, dengan cara-cara yang tidak menimbulkan kerusakan, baik terhadap
kehidupan sosial maupun lingkungan sosial.
4) Bintoro Tjokroamidjojo
Pembangunan merupakan suatu proses perubahan sosial berencana, karena meliputi
berbagai dimensi untuk mengusahakan kemajuan dalam kesejahteraan ekonomi,
modernisasi, pembangunan bangsa, wawasan lingkungan dan bahkan peningkatan
kualitas manusia untuk memperbaiki kualitas hidupnya.
5) Siagian (1994)
Suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan
dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju
modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building).
2. Mengembangkan teori pembangunan minimal tiga dan hubungkan masing-masing teori
dengan fakta empiris
 Teori klasik
1. ADAM SMITH (1723-1790)
Adam smith ternyata bukan saja terkenal sebagai pelopor pembangunan
ekonomi dan kebijaksanan tetapi juga merupakan ekonom pertama yang banyak
menumpahkan perhatian kepada masalah pertumbuhan ekonomi. Dalam
bukunya An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (1776)
ia mengemukakan tentang proses pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang
secara sistematis.
Agar inti dari proses pertumbuhan ekonomi menurut Smith ini mudah dipahami,
kita bedakan dua aspek utama pertumbuhan ekonomi yaitu:
Unsur pokok dari sistem produksi suatu negara menurut Smith ada tiga yaitu:
a. pertumuan autput
 sumberdaya alam yang tersedia (atau faktor produksi "tanah")
 sumberdaya insani (atau jumlah penduduk)
 stok barang modal yang ada. Menurut Smith, sumberdaya alam yang
tersedia
merupakan wadah yang paling mendasar dari kegiatan produksi suatu
masyarakat. Jumlah sumberdaya alam yang tersedia merupakan "batas
maksimum" bagi pertumbuhan suatu perekonomian. Maksudnya, jika
sumberdaya ini belum digunakan sepenuhnya, maka jumlah penduduk dan
stok modal yang ada yang memegang peranan dalam pertumbuhan output.
Tetapi pertumbuhan output tersebut akan berhenti jika semua sumberdaya
alam tersebut telah digunakan secara penuh. Sumberdaya insani jumlah
penduduk) mempunyai peranan yang pasif dalam proses pertumbuhan
output. Maksudnya, jumlah penduduk akan menyesuaikan diri dengan
kebutuhan akan tenaga kerja dari suatu masyarakat. Stok modal, menurut
Smith, merupakan unsur produksi yang secara aktif menentukan tingkat
output. Peranannya sangat sentral dalam proses pertumbuhan output.
Jumlah dan fingkat pertumbuhan output tergantung pada laju pertumbuhan
stok modal (sampai "batas maksimum" dari sumber alam). Pengaruh stok
modal terhadap tingkat output total bisa secara langsung dan talk langasung.
Pengaruh langsung ini maksudnya adalah karena pertambahan modal
(sebagai input) akan langsung meningkatkan output. Sedangkan pengaruh
talk langsung maksudnya adalah peningkatan produktivitas per kapita yang
dimungkinkan oleh karena adanya spesialisasi dan pembagian kerja yang
lebih tinggi. Semakin besar stok modal, menurut Smith, semakin besar
kemungkinan dilakukannya spesialisasi dan pembagian kerja yang pada
gilirannya akan meningkatkan produktivitas per kapita. Spesialisasi dan
pembagian kerja ini bisa menghasilkan pertumbuhan output, menurut Smith,
karena spesialisasi tersebut bisa meningkatkan ketrampilan setiap pekerja
dalam bidangnya dan pembagian kerja bisa mengurangi waktu yang hilang
pada saat peralihan macam pekerjaan.
Namun demikian, sebenarnya ada 2 faktor penunjang penting dibalik proses
akumulasi modal bagi terciptanya pertumbuhan output yaitu:
 makin meluasnya pasar, dan
 adanya tingkat keuntungan di atas tingkat keuntungan minimal.
Menurut Smith, potensi pasar akan bisa dicapai secara maksimal jika,
dan hanya jika, setiap warga masyarakat diberi kebebasan seluas-
luasnya untuk melakukan pertukaran dan melakukan kegiatan
ekonominya. Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi perlu
dilakukan pembenahan dan penghilangan peraturan-peraturan,
undang-undang yang menjadi penghambat kebebasan berusaha dan
kegiatan ekonomi, baik antara warga masyarakat di suatu negara
maupun antara warga masyarakat antarnegara. Hal ini menunjukkan
bahwa Adam Smith merupakan penganjur laissez-faire dan free trade
faktor penunjangan yang kedua yaitu tingkat keuntungan yang
memadai. Tingkat keuntungan ini erat hubungannya dengan luas
pasar. Jika pasar tidak tumbuh secepat pertumbuhan model, maka
tingkat keuntungan akan segera merosot, dan akhirnya akan
mengurangi gairah para pemilik model untuk melakukan akumulasi
model. Menurut Adam Smith, dalam jangka panjang tingkat
keuntungan tersebut akan menurunkan dan pada akhirnya akan
mencapai tingkat keuntungan minimal pada posisi stasioner
perekonomian tersebut.
b. pertumbuhan penduduk
menurut adam smith, jumlah penduduk penduduk akan meningkatkan
tingkat upaya yang berlaku lebih tinggi dari tingkat upah subsisten, maka
orang-orang akan kawin pada umur muda, tingkat kematian menurun, dan
jumlah kelahiran meningkat. Sebaliknya jika tingkat upah yang berlaku lebih
rendah dari tingkat upah subsisten, maka jumlah penduduk akan menurun.
Tingkat upah yang berlaku, menurut Adam Smith, ditentukan oleh tarik-
menarik antara kekuatan permintaan dan penawaran tenaga kerja. Tingkat
upah yang tinggi dan meningkat jika permintaan akan tenaga kerja (D)
tumbuh lebih cepat daripada penawaran tenaga kerja (S). Sementara itu
permintaan akan tenaga kerja ditentukan oleh stok modal dan tingkat output
masyarakat. Oleh karena itu, laju pertumbuhan permintaan akan tenaga
kerja ditentukan oleh laju pertumbuhan stok modal (akumulasi modal) dan
laju pertumbuhan output.
Kritik terhadap Teori Adam Smith
Seperti digambarkan di muka, teori Adam Smith ini telah memberikan
sumbangan yang besar dalam menunjukkan bagaimana pertumbuhan
ekonomi terjadi dan faktorfaktor apa yang dapat menghambatnya.
Namun demikian, ada beberapa kritik terhadap teori Adam Smith antara lain:
1. Pembagian Kelas dalam Masyarakat Teori Smith ini didasarkan pada lingkungan
sosial ekonomi yang berlaku di Inggris dan di beberapa negara Eropa. Teori ini
mengasumsikan adanya pembagian masyarakat secara tegas yaitu antara
golongan kapitalis (termasuk tuan tanah) dan para buruh. Padahal dalam
kenyataan¬nya, seringkali kelas menengah mempunyai peran yang sangat
penting dalam masyarakat modern. Dengan kata lain, teori Smith mengabaikan
peranan kelas menengah dalam mendorong pembangunan ekonomi.
2. Alasan Menabung Menurut Smith orang yang dapat menabung adalah para
kapitalis, tuan tanah, dan lintah darat. Namun ini adalah alasan yang tidak adil,
sebab tidak terpikir olehnya bahwa sumber utama tabungan di dalam masyarakat
yang maju adalah para penerima pendapatan, dan bukan kapitalis serta tuan
tanah.
3. Asumsi Persaingan Sempurna Asumsi utama teori Adam Smith ini adalah
persaingan sempurna. Kebijakan pasar bebas dari persaingan sempurna ini tidak
ditemukan di dalam perekonomian manapun. Sejumlah kendala batasan malahan
dikenakan pada sector perorangan ( misalnya larangan monopoli) dan
perdagangan internasional (misalnya adanya proteksi) pada setiap negara di
dunia.
4. Pengabaian Peranan Entrepreneur Smith agak mengambaikan peranan
entrepreneur dalam pembangunan. Padahal para entrepreneur ini mempunyai
peranan yang sentral dalam pembangunan. Mereka inilah yang menciptakan
inovasi dan pada akhirnya menghasilkan akumulasi modal.
5. Asumsi Stasioner Menurut Smith, hasil akhir suatu perekonomian kapitalis
adalah keadaan stasioner. IN berarti bahwa perubahan hanya terjadi di sekitar
titik keseimbangan tersebut. Padahal dalam kenyataannya proses pembangunan
itu seringkali terjadi teratur dan tidak seragam. Jadi asumsi ini tidak realistis.
DAVID RICARDO (1772 - 1823)
Garis besar proses pertumbuhan dan kesimpulan-kesimpulan dari Ricardo tidak
jauh berbeda dengan teori Adam Smith. Tema dari proses pertumbuhan ekonomi
masih pada perpacuan antara laju pertumbuhan penduduk dan laju
pertumbuhan output. Selain itu Ricardo juga menganggap bahwa jumlah faktor
produksi tanah (sumberdaya alam) tidak bisa bertambah, sehingga akhirnya
menjadi faktor pembatas dalam proses pertumbuhan suatu masyarakat.
Teori Ricardo ini diungkapkan pertama kali dalam bukunya yang berjudul The
Principles of Political Economy and Taxation yang diterbitkan pada tahun 1917.
Proses Pertumbuhan Sebelum membicarakan aspek-aspek pertumbuhan dari
Ricardo, terlebih dulu kita coba untuk mengenai ciri-ciri perekonomian Ricardo
sebagai berikut:
a) Jumlah tanah terbatas.
b) Tenaga kerja (penduduk) meningkat atau menurun tergantung pada
apakah tingkat upah di atas atau di bawah tingkat upah minimal (tingkat
upah alamiah = natural wage).
c) Akumulasi modal terjadi bila tingkat keuntungan yang diperoleh pemilik
modal berada di atas tingkat keuntungan minimal yang diperlukan untuk
menarik mereka melakukan investasi.
d) Kemajuan teknologi terjadi sepanjang waktu.
e) Sektor pertanian dominan. Dengan terbatasnya luas tanah, maka
pertumbuhan.penduduk (tenaga kerja) akan menurunkan produk
marginal (marginal product) yang kita kenal dengan istilah the law of
diminishing returns. Selama buruh yang dipekerjakan pada tanah
tersebut bisa menerima tingkat upah di atas tingkat upah alamiah, maka
penduduk (tenaga kerja) akan terus bertambah, dan hal ini akan
menurunkan lagi produk marginal tenaga kerja dan pada gilirannya akan
menekankan tingkat upah ke bawah. Proses yang dijelaskan di atas akan
berhenti jika tingkat upah turun sampai tingkat upah alamiah. Jika tingkat
upah turun sampai di bawah tingkat upah alamiah, maka jumlah
penduduk (tenaga kerja) menurun. Dan tingkat upah akan naik lagi
sampai tingkat upah alamiah. Pada posisi ini jumlah penduduk konstan.
Jadi dari segi faktor produksi tanah dan tenaga kerja, ada suatu kekuatan
dinamis yang selalu menarik perekonomian ke arah tingkat upah
minimum, yaitu bekerjanya the law of diminishing returns. Menurut
Ricardo, peranan akumulasi modal dan kemajuan teknologi adalah
cenderung meningkatkan produktivitas tenaga kerja, artinya, bisa
memperlambat bekerjanya the law of diminishing returns yang pada
gilirannya akan memperlambat pula penurunan tingkat hidup ke arah
tingkat hidup minimal. Inilah inti dari proses pertumbuhan ekonomi
(kapitalis) menurut Ricardo.
Masyarakat mencapai posisi stasionernya, dengan ciri-ciri sebagai
berikut:
a. tingkat output konstan
b.jumlah penduduk konstan
c. pendapatan per kapita juga menjadi konstan
d.tingkat upah pada tingkat upah alamiah (minimal)
e.tingkat keuntungan pada tingkat yang minimal
f.akumulasi modal berhenti (stok modal konstan)
g. tingkat sewa tanah yang maksimal. Kritik terhadap Teori Ricardo

2. Pengabaian Pengaruh Kemajuan Teknologi Ricardo menjelaskan bahwa kemajuan teknologi di


sektor industri akan mengakibatkan penggantian tenaga kerja. Pada awalnya
kemajuan teknologi tersebut dapat menahan laju berlakunya the law of
diminishing returns, tetapi akhirnya pengaruh kemajuan teknologi tersebut habis
dan perekonomian menuju ke arah stasioner. Kenyataannya kenaikan produksi
pertanian yang sangat pesat di negaranegara maju telah membuktikan bahwa
Ricardo kurang memperhatikan potensi kemajuan teknologi dalam menahan laju
berlakunya the law of diminishing returns dari faktor produksi tanah.Pengertian
yang Salah tentang Keadaan Stasioner Pandangan Ricardo bahwa negara akan
mencapai keadaan stasioner secara otomatis adalah tidak beralasan, karena tidak
ada perekonomian yang mencapai keadaan stasioner dengan laba yang
meningkat, produksi yang meningkat, dan akumulasi model terjadi.

3. Pengabaian Faktor-faktor Kelembagaan Salah satu kelemahan pokok dari teori Ricardo ini adalah
pengabaian peranan faktorfaktor kelembagaan. Faktor-faktor ini diasumsikan
secara tertentu. Meskipun demikian, faktor tersebut penting sekali dalam
pembangunan ekonomi dan tidak dapat diabaikan.

4. Teori Ricardo bukan Teori Pertumbuhan Menurut Schumpeter, teori Ricardo bukanlah teori
pertumbuhan ekonomi tetapi teori distribusi yang menentukan besarnya pangsa
tenaga kerja, tuan tanah, dan pemilik modal. Bahkan dia menganggap bahwa
pangsa untuk tanah adalah sangat utama, dan sisanya sebagai pangsa tenaga kerja
dan modal. Ricardo gagal menunjukkan teori distribusi fungsional karena ia tidak
menentukan pangsa dari masing-masing faktor produksi secara terpisah.

5. Pengabaian Suku Bunga Kelemahan lain dari teori Ricardo ini adalah pengabaian suku bunga
dalam pertumbuhan ekonomi. la tidak menganggap suku bunga sebagai imbalan
jasa yang terpisah dari modal tetapi termasuk dalam laba. Pendapat yang salah ini
berasal dari ketidakmampuannya untuk membedakan pemilik modal dari
pengusaha (entrepreneur).

3. Diminta untuk mengeloborasikan modernism pembangunan membedakan modernisasi dan


pembangun
Ada berbagai pengertian tentang modernisasi. Dankwart A. Rustow, misalnya, mengidentikkannya
dengan industrialisasi di mana kerjasama antar manusia menciptakan kontrol atas alam. Cyril E. Black
et.al mendefinisikan modernisasi sebagai proses transformasi masyarakat sebagai akibat dari revolusi
penggunaan ilmu dan teknologi. Menurut Remigio E. Agpalo ada dua faktor utama dalam defisini
modernisasi yaitu faktor waktu dan faktor pengetahuan. Yang dimaksud dengan faktor waktu adalah
keterkaitan modernisasi dengan waktu sekarang di mana yang ada sebelumnya dianggap tradisional
dan ketinggalan zaman. Apa yang baru muncul seperti ilmu dan teknologi itulah yang harus diadopsi
dalam pengorganisasian ekonomi dan politik. Faktor penguasaan pengetahuan dan teknologi yang
bersifat akumulatif sangat penting dalam proses modernisasi di mana negara-negara modern atau
maju memiliki atau menguasai ilmu dan teknologi lebih banyak daripada negara-negara yang belum
modern. Dengan demikian ada perbedaan yang jelas antara modernisasi dan pembangunan
(development). Misalnya, industrialisasi (pembangunan industri) merupakan perwujudan dari
modernisasi karena merupakan peningkatan dan efisiensi proses produksi dengan menggunakan
teknologi dan management modern. Tetapi industrialiasasi belum tentu merupakan pembangunan
karena hanya menguntungkan sekelompok pemilik modal sambil mengorbankan mayoritas rakyat
yang tanahnya diserobot untuk kepentingan industri. Bahkan kehadiran industri dapat menyebabkan
rusaknya lingkungan hidup yang menurunkan kualitas hidup masyarakat sekitarnya. Pembangunan
rumah-rumah mewah, pusat perbelanjaan, hotel merupakan bagian dari modernisasi kota. Tetapi
belum tentu membawa dampak positif bagi pembangunan mayoritas masyarakat di kota tersebut.
Jadi, sesungguhnya yang disebut pembangunan adalah segala usaha baik oleh aktor negara maupun
non-negara yang ditujukan untuk meningkatkan secara nyata kesejahteraan sosial ekonomi bagi
suatu masyarakat. Misalnya, pembangunan sarana pendidikan dan kesehatan bagi rakyat kecil,
peningkatan produksi dan pemasaran hasil pertanian, penyediaan sarana air bersih, dan sebagainya.

Persoalan utama yang terjadi di negara-negara berkembang adalah upaya pemerintah yang berkuasa
untuk menjadikan pembangunan ekonomi sebagai sumber legitimasi kekuasaan sehingga kemudian
menjadi semacam ideologi yang tidak boleh diganggu gugat. Inilah yang disebut gejala
developmentalisme atau pembangunanisme yang justru menyengsarakan rakyat. Pemerintah
melakukan segala sesuatu demi pembangunan tanpa kontrol yang efektif dari masyarakat.
Pembangunan sebagai suatu public sphere (ranah publik) dimonopoli oleh negara yang cenderung
bersikap represif. Pemerintah Orde Baru merupakan contoh dari rezim yang menerapak ideologi
developmentalisme. Gejala ini tentu membawa berbagai dampak negatif bagi rakyat Indonesia.
Pertama, pembangunan hanya memperhatikan target pencapaian angka pertumbuhan ekonomi dan
mengabaikan sama sekali aspek distribusi demi pemerataan dan keadilan sosial. Kesenjangan sosial
terjadi antara Jawa dan luar Jawa, kota dan desa, kaya dan miskin, sektor industri (modern) dan
sektor pertanian (tradisional). Kedua, pembangunan mengorbankan pelestarian lingkungan hidup.
Penerapan ilmu dan teknologi modern dalam eksploitasi sumber daya alam menyebabkan kerusakan
lingkungan dan marjinalisasi penduduk setempat. Gejala ini sudah terjadi di Kalimantan, Papua dan
Aceh. Ketiga, hak-hak sipil dan politik rakyat dikorbankan demi terciptanya stabilitas politik negara
dan suksesnya program pembangunan pemerintah. Keempat, berkembangnya mental easy going di
kalangan penguasa di mana mereka dengan mudah meningkatkan utang luar negeri sebagai sumber
pendanaan pembangunan tanpa mempertimbangkan beban bagi rakyat dalam mengembalikan uang
tersebut. Utang luar negeri bahkan disebut sebagai pendapatan pembangunan dalam APBN. Kelima,
korupsi merajalela terutama terjadinya kolusi antara penguasa dengan pengusaha karena kolaborasi
keduanya menjadi syarat mutlak bagi pertumbuhan ekonomi. Keenam, semakin memudarnya
kreativitas dan inisiatif bangsa Indonesia untuk memikirkan pembangunan yang lebih bersifat
mandiri. Atau dengan kata lain, telah muncul mental ketergantungan. Hal ini terutama sangat
dirasakan ketika pemerintah dan rakyat Indonesia hendak mengakhiri kerjasama dengan IMF.
Ketujuh, pemerintah cenderung menggunakan pendekatan keamanan terhadap setiap upaya yang
ingin menggagalkan pembangunan nasional dan mengganggu stabilitas nasional. Pendekatan
keamanan ini sudah digunakan untuk menindas gerakan separatis di Aceh dan Papua. Modernisasi
yang terjadi di negara-negara berkembang sejak tahun 1950an (pasca dekolonisasi) adalah proses
yang dipaksakan dan berlangsung cepat. Proses yang sama di negara-negara yang sudah lebih dahulu
maju seperti AS, Eropa Barat dan Jepang berjalan secara gradual sehingga mereka bisa mencapai
demokrasi yang matang dewasa ini. Di Indonesia proses modernisasi ini berjalan begitu pesat di
bawah pemerintahan Orde Baru. Tidaklah mengherankan kalau proses modernisasi ini memunculkan
masalah-masalah sosial dan politik yang dirasakan oleh rakyat Indonesia saat ini. Perubahan drastis
yang dibawa oleh modernisasi mengakibatkan pergolakan sosial, konflik etnis dan keagamaan akibat
kesenjangan sosial dan pertentang nilai, gerakan separatis, serta masalah-masalah sosial lainnya
terutama di wilayah perkotaan. Munculnya masalah - masalah ini dalam masyarakat dijadikan
pembenaran oleh penguasa untuk menerapkan politik pemerintahan yang otoriter dan represif.
Menurut Remigio E.Agpalo (1992) kecenderungan modernisasi untuk memunculkan otoriterisme dan
hegemoni harus diimbangi dengan proses civilization. Yang dimaksud dengan civilization adalah
proses transformasi dari situasi barbarisme (yang kuat menaklukan yang lemah, yang modern harus
menang atas yang tradisional, kota harus lebih penting dari desa, pusat menjadi tuan dan daerah
menjadi hamba, rakyat harus tunduk dan bertanggung jawab kepada penguasa dan bukan
sebaliknya) menjadi kondisi yang dicirikan oleh pembangunan politik, kebebasan dan demokrasi. Ada
tiga indikator utama pembangunan politik yaitu: tegaknya hukum (rule of law), civility (rasa
kebersamaan dan kesederajadan untuk membela kepentingan umum, mengutamakan dialog dan
bukan pemaksaan kehendak, mencari konsensus dan menghindari penggunaan kekerasana) dan
keadilan sosial. Langkanya tiga indikator ini di Indonesia saat ini menunjukkan bahwa yang kita
lakukan sampai sekarang barulah modernisasi politik dan bukan pembangunan politik (political
development). Yang dimaksud dengan modernisasi politik adalah penciptaan lembaga-lembaga
politik modern seperti partai politik dan pemilihan umum yang kemudian dalam perkembangannya
menjadi tujuan dalam dirinya sendiri (an end in itself). Akibatnya modernisasi politik hanya
menciptakan elitisme politik atau manipulasi organisasi politik modern demi kepentingan segelintir
elit politik. Pembangunan politik, sebaliknya, meningkatkan perwujudan dua indikator utama
demokrasi yaitu: kontrol masyarakat yang efektif dalam pembuatan kebijakan yang menyangkut
kepentingan orang banyak (publik) dan kesetaraan kedudukan setiap warga negara tanpa
membedakan suku, agama, status sosial ekonomi dan warna kulit (democratic citizenship). Keadilan
sosial terwujud bila semua orang tanpa memandang latar belakangnya memiliki akses yang sama
terhadap pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar untuk hidup layak sebagai manusia. Dalam
bukunya yang berjudul Getting to the 21st Century: Voluntary Action and the Global Agenda David C.
Korten (1990) menyatakan bahwa model pembangunan ekonomi yang berpusat pada pertumbuhan
telah menciptakan kesenjangan yang semakin lebar antara yang kaya dan miskin serta krisis ekologis
yang mengancam masa depan kehidupan manusia dan peradaban dunia. Ada tiga unsur pokok yang
terdapat dalam krisis global sebagai akibat penekanan pada pertumbuhan ekonomi secara
berlebihan. Ketiga unsur tersebut adalah kemiskinan, kerusakan lingkungan hidup, dan kekerasan
komunal. Saat ini diperkirakan ada 1 sampai 1.2 milyar manusia hidup dalam kemiskinan absolut
artinya mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan minimal seperti sandang, pangan, perumahan
dan air bersih. Menurut data PBB antara tahun 1960 sampai 1989 porsi pendapatan global yang
dinikmati oleh seperlima penduduk dunia yang terkaya meningkat dari 70 persen menjadi 83 persen.
Sedangkan porsi untuk seperlima penduduk yang miskin merosot dari 2.3 persen menjadi 1.4 persen
(Ghai and Hewitt de Alcantara, 1994:9). Sementara negara-negara telah gagal mengurangi emisi gas
akibat industrialisasi sehingga terjadi polusi udara dan pemanasan global penggundulan dan
pembakaran hutan terus terjadi di negaranegara tropis sehingga mengakibatkan bencana alam
seperti banjir dan tanah longsor. Selain itu, karena hancurnya keutuhan sosial akibat modernisasi dan
eksploitasi sumberdaya alam yang mengabaikan unsur keadilan sosial maka aksi-aksi kekerasan yang
kemudian berkembang menjadi kekerasan komunal di mana terjadi tumpang tindih antara
diferensiasi komunal berdasarkan agama dan kesukuan dengan ketimpangan ekonomi. Contoh,
perbedaan etnis di Indonesia tumpang tindih dengan kesenjangan ekonomi sehingga sangat mudah
menyulut kekerasan komunal anti etnis tertentu. Sikap yang menyamakan pertumbuhan ekonomi
dengan kemajuan umat manusia (human progress) mendorong para politisi dan perencana
pembangunan untuk menganggap pertumbuhan ekonomi sebagai solusi terhadap krisis yang
disinggung di atas. Demikianlah IMF dan Bank Dunia mendikte bangsa Indonesia untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi untuk keluar dari krisis ekonomi. Kenyataan yang terjadi adalah utang luar
negeri yang semakin meningkat, pengangguran yang tak terkendali dan pelayanan publik yang
semakin merosot. Pada saat yang sama sumber daya alam dieksploitasi secara ekshaustif guna
mengakumulasi devisa untuk membayar utang. Korten mengemukakan data empiris bahwa
pertumbuhan ekonomi bukanlah solusi yang tepat untuk mengatasi krisis global. Dikatakan bahwa
pada tahun 1990 keluaran ekonomi global per tahun mencapai empat kali lipat dibanding dengan
pencapaian pada tahun 1950. Kalau pertumbuhan ekonomi benar-benar merupakan solusi
seharusnya dunia tidak mengalami penyebaran kemiskinan yang semakin luas, kerusakan lingkungan
hidup yang semakin parah dan disintegrasi sosial yang bernuansa kekerasan. Munculnya berbagai
krisis di atas merupakan akibat dari asumsi yang salah dalam penghitungan pertumbuhan ekonomi.
Misalnya, peningkatan pengeluaran untuk biaya pengobatan kanker akibat polusi zat kimia tertentu
yang dihasilkan oleh peningkatan industrial output dihitung sebagai pertambahan dalam GNP. Selain
itu kita juga memiliki persepsi yang keliru tentang daya dukung sumber daya alam yang ternyata ada
terbatas dan bahkan dalam abad 21 Indonesia harus menghadapi kelangkaan minyak, gas alam dan
air bersih. Dalam analisisnya Korten membangun kontras antara pertumbuhan ekonomi dengan
ekologi dan kehidupan komunitas. Karena pertumbuhan ekonomi menciptakan kesenjangan ekonomi
dan merusak lingkungan hidup maka semakin suatu masyarakat mengejar pertumbuhan ekonomi
maka semakin terancam pula integrasi sosial dalam masyarakat tersebut sehingga tidak lagi tercipta
komunitas kemanusiaan (human community). Modernisasi selalu mengandung hegemoni oleh
manusia atas manusia lain dan hegemoni atas alam. Strategi Pembangunan Alternatif? Dalam
tulisannya yang berjudul “Developmental States and Crony Capitalists” James Putzel (2002)
menegaskan salah satu kekeliruan terbesar yang dilakukan negara-negara Asia termasuk Indonesia
dalam proses pemulihan ekonomi adalah secara berlebihan mengandalkan masuknya footloose
capital. Ia menulis: If nothing else, the crisis of the late 1990s should seriously put into question the
wisdom of pursuing a development strategy that relies so heavily on the attraction of footloose
capital. Lebih-lebih lagi setelah terjadinya ledakan bom di Kuta Bali tanggal 12 Oktober yang lalu
strategi pertumbuhan ekonomi yang mengandalkan footloose capital ini semakin tidak relevan
karena country risk Indonesia menjadi sangat tinggi. Di bawah tekanan IMF Indonesia sudah
melakukan banyak hal untuk menarik investor asing. Tapi apa yang kita peroleh dalam lima tahun
belakangan ini? Bukan saja investor baru tidak masuk, yang sudah ada di Indonesia pun justru ingin
angkat kaki. Bukankah ini berarti bahwa fungsi IMF sebagai seal of approval bagi investasi asing hanya
menjadi janji yang kosong? Dalam ekonomi politik internasional ada asumsi bahwa interaksi ekonomi
internasional tidak pernah terjadi di dalam kevakuman politik. Sebaliknya, interaksi tersebut
senantiasa berlangsung dalam konstelasi dan konfigurasi politik tertentu. Demikian pun rangkaian
peristiwa sebelum dan sesudah krisis ekonomi Asia kental dengan nuansa politik pasca perang dingin
di mana ada pergeseran dari pertarungan geopolitik-ideologis menuju kompetisi geoekonomi. Sejak
awal 1990an kekuatan Anglo-Amerika yang excited dengan keruntuhan komunisme Uni Soviet
semakin merasa terancam dengan kebangkitan ekonomi negara-negara Asia Timur yang dipelopori
oleh Jepang. Niat dan ambisi menyebarkan liberalisasi ekonomi ke seluruh dunia terhambat oleh pola
pembangunan di Asia Timur dengan teorinya tentang peran negara yang aktif dalam pembangunan
(developmental state theory). Menurut teori ini negara seharusnya memainkan peran utama dalam
mengarahkan pembangunan ekonomi dan tidak sekadar mengikuti dikte kekuatan pasar (Robert
Wade, 1990). Di mata negara-negara Barat intervensi negara tidak hanya menyalahi prinsip market
economy tetapi juga akan menghambat penetrasi mereka ke dalam sektor-sektor ekonomi strategis
di Asia. AS, misalnya, sering kecewa karena sulitnya produk-produk Amerika menembus pasar Jepang
dan ketatnya jaringan bisnis yang didukung oleh birokrasi pemerintah. Negara-negara industri baru
(NICs) seperti Korea Selatan dan Taiwan juga mulai merebut pangsa pasar untuk produk-produk
industri yang tadinya hanya dikuasai oleh negara-negara industri maju. Kebangkitan industri
manufaktur juga terjadi di Thailand, Malaysia dan Indonesia. Dalam buku yang berjudul Rethinking
Development in Asia: From Illusionary Miracle to Economic Crisis, Pietro P. Masina (2002)
mengatakan memang sulit menemukan bukti bahwa kekuatan AngloAmerika sengaja
menghancurkan strategi developmental state di Asia melalui krisis moneter tahun 1997. Tetapi
menyimak apa yang dipaksakan oleh pemerintah AS dan IMF melalui apa yang dikenal dengan
“Washington Consensus” terhadap negara-negara Asia termasuk Indonesia setelah krisis terjadi sulit
bagi kita untuk percaya bahwa pengebirian developmental state hanya merupakan koinsidensi
belaka. Kita sudah menyaksikan bagaimana IMF “menekan” pemerintah Indonesia agar segera
mendivestasikan aset-aset strategis yang dikuasai BPPN meskipun dengan harga yang murah.
Rangkaian peristiwa sejak pertengahan tahun 1980an sampai terjadinya krisis moneter tahun 1997
menunjukkan adanya usaha secara konsisten kekuatan hegemonik Anglo-Amerika untuk
melumpuhkan unsur-unsur developmental state yang diyakini telah menciptakan kejaiban ekonomi
Asia. Saat ini tatkala harapan Indonesia akan datangnya investasi asing nyaris sirna, bukankah
revitalisasi teori developmental state bisa memberikan alternatif kebijakan yang patut
dipertimbangkan? Memang ada pendapat bahwa menghidupkan kembali teori developmental state
sama dengan menciptakan peluang bagi maraknya crony capitalism seperti pada masa Orde Baru.
Kekhawatiran seperti itu agak berlebihan karena sejalan dengan konsolidasi demokrasi yang terus
diupayakan pengawasan terhadap perilaku pejabat negara oleh legislatif dan civil society pada masa
yang akan datang akan semakin kuat. Dalam makalahnya yang berjudul “Globalization, Debt and
Development: Lesson and Policy Alternatives Facing Indonesia” J. Mohan Rao (2002) menegaskan
bahwa pemerintah dan rakyat Indonesia harus menolak cara berpikir yang ditanamkan oleh
negaranegara donor dan IMF selama ini bahwa tidak ada alternatif lain bagi Indonesia untuk keluar
dari krisis ekonomi selain mengimplemenstasikan butir-butir yang ada dalam kesepakatan dengan
IMF (LoI). Saat ini Indonesia berada di persimpangan jalan untuk menentukan pilihan apakah kita
harus melanjutkan preskripsi kebijakan ekonomi yang didikte oleh IMF yang ternyata tidak membawa
hasil atau merumuskan strategi baru dengan mengandalkan seluruh potensi bangsa ini. Jika kita
memilih untuk merumuskan strategi pembangunan yang baru maka beberapa point pemikiran Rao
layak untuk dijadikan sebagai masukan bagi pemerintah. Pertama, pengurangan atau penghapusan
sebagian utang luar negeri (debt relief) merupakan hal yang mutlak dan mendesak untuk dilakukan.
Cicilan utang yang dibayar Indonesia setiap tahun anggaran sejak 1997 jauh lebih besar dari utang
baru yang diperoleh dari CGI untuk menutup defisit APBN. Dengan demikian setiap tahun terjadi net
capital outflow dari Indonesia ke negara-negara donor. Kalau demikian kenyataannya, bagaimana
mungkin Indonesia dapat mencapai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi sehingga bisa
menyerap angka pengangguran yang setiap tahun bertambah 2,5 juta orang? Tuntutan pengurangan
atau penghapusan sebagian utang ini cukup adil karena Bank Dunia pun mengakui bahwa sebagian
dari utang luar negeri dikorupsi dan tidak dinikmati oleh rakyat Indonesia. Kedua, untuk
menggairahkan investasi oleh pihak swasta baik domestik maupun asing pemerintah tidak lagi
mengandalkan kesuksesan implementasi Letter of Intent (LoI) dengan IMF yang selama ini sudah
terbukti tidak memberikan hasil, tetapi melalui public investment dalam bidang pertanian dan sektor
informal mengingat kedua sektor ini merupakan konsentrasi penduduk miskin. Selain itu investasi di
bidang usaha kecil dan menengah (UKM) juga perlu mendapat prioritas. Dengan demikian
karakteristik utama dari public investment ini adalah preferential option for the poor. Sumber dana
utama untuk keperluan investasi publik ini adalah optimalisasi pemungutan pajak yang selama ini
masih belum optimal. Ketiga, Indonesia dapat meniru apa yang dilakukan oleh Jepang dan Korea
Selatan dalam memajukan industri untuk kepentingan ekspor di mana industriindustri yang bersifat
strategis dan berpeluang untuk ekspansi didorong dan difasilitasi sehingga mampu bersaing di pasar
global. Dari ketiga hal yang disebutkan di atas kita melihat bahwa Indonesia memiliki peluang untuk
menerapkan kembali teori developmental state demi mengembalikan level pertumbuhan ekonomi
yang pernah dicapai sebelum tahun 1997. Persoalannya sekarang adalah apakah pemerintah
Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Megawati memiliki keberanian untuk mengambil resiko
perubahan rezim kebijakan yang drastis. Secara politik perubahan kebijakan tersebut mungkin tidak
feasible karena lazimnya selama periode konsolidasi demokrasi pemerintah yang sedang berkuasa
cenderung menempuh kebijakan dengan resiko politik yang minimum. Kendati demikian, mengingat
taruhannya adalah nasib duaratusan juta rakyat Indonesia dan generasi yang akan datang maka
pilihan kebijakan yang agak populis justru akan meningkatkan popularitas seorang pemimpin.
Seorang pelopor studi pertumbuhan ekonomi yang bernama Moses Abramovitz (1989) mengatakan
bahwa persyaratan fundamental bagi pembangunan ekonomi adalah terciptanya social capacity
artinya pembangunan ekonomi bukanlah sekedar masalah teknis akumulasi faktor seperti capital.
Thus, pembangunan Indonesia bukan sekedar mendatangkan investasi asing tetapi merupakan suatu
proses sosial yang menuntut keterlibatan negara dalam menciptakan lembaga-lembaga ekonomi,
memajukan perilaku sosial yang progresif dan menempuh kebijakan yang mampu mendorong
pembangunan tersebut (Robert Gilpin, 2000). Karena pembangunan ekonomi merupakan suatu
proses interaksi sosial menuju taraf hidup yang lebih baik maka kita harus menolak epistemologi
pembangunan versi IMF yang menggeneralisasi dan memutlakkan peran footloose capital untuk
semua negara berkembang di mana pun.

4. mengelaborasi pembangunan dan perubahan social di Indonesia


 perubahan social diindonesia
setiap masyarakat dalam kehidupannya pasti mengalami perubahan-perubahan. Berdasarkan
sifatnya, perubahan yang terjadi bukan hanya menuju ke arah kemajuan, namun dapat juga
menuju kea rah kemuduran. Perubahan social yang terjadi memang telah ada sejak zaman
dahulu. Ada kalany perubahan-perubahan yang terjadi berlangsung demikian cepatnya,
sehingga membingukan manusia yang menghadapinya.Peubahan social merupakan gejala
yang melekat di setiap masyarakat. Perbahan-perubahan yang terjadi didalam masyarakat
akan menimbulkan ketidak sesuaian antara unsur-unsusr social yang ada di dalam
masyarakat, sehingga menghasilkan suatu pola kehidupan yang tidak sesuai dengan
fungsinya bagi masyarakat yang bersengkutan.
Selanjunya dalam literature mengenai kehidupan masyarakat dan kebudayaan beberapa
istilah penting selalu muncul sebagai pencerminan dinamika kehidupan manusia dari dahulu
sampai sekarang. Dinamika tersebut mencerminkan adanya proses perubahan baik yang
bersifat evolusioner dan ada yang bersifat revolusioner. Perbahan yang berkelanjutan dari
bentuk yang lebih rendah,lebih sederhana ke bentuk-bentukyang lebih tinggi, lebih
revolusioner adalah perobahan yang berlangsung dalam waktu yang lebih pendek, yang
bersifat tiba-tiba, radikal dan menyeluruh.
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat diketahui bahwa perubahan social budaya adalah
sebuah gejala berubahnya struktur social dan pola budaya dalam suatu masyarakat.
Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin
mengadakan perubahan. Hischman mengatakan bahwa kobosanan manusia sebenarnya
merupakan penyebab dari perubahan.
 Sedangkan modernisasi dan pembangunan adalaha proses menjsdi modern. Istilah
modern berasal dari kata modo yang artinya yang kini. Sehingga, modernisasi dapat
diartikan sebagai cara hidup yang sesuai dengan situasi yang kini ada, atau masyarakat
seperti yang diwariskan oleh nenek-moyang atau generasi pendahulunya,masyarakat
tersebut disebut masyarakat teradisional. Istilah tradidi berasal dari kata traditum yang
artinya warisan. Tekanan pengertian modernisasi adalah pada teknologi dan organisasi
social.

Anda mungkin juga menyukai