DISUSUN OLEH :
IDA TAWARINI
2001018
A. PENGERTIAN
Nyeri merupakan sensasi yang rumit, unik, universal, dan bersifat individual. Dikatakan
individual karena respon individu terhadap sensasi nyeri beragam dan tidak bisa disamakan satu
sama lain. Secara sederhana nyeri di artikan sebagai suatu sensasi yang tidak menyenangkan baik
secara sensori maupun emosional yang berhubungan dengan adanya suatu kerusakan jaringan
atau faktor lain sehingga individu merasa tersiksa, menderita yang akhirnya mengganggu
aktivitas sehari-hari, psikis, dan lainlain (Asmadi, 2008).
Setiap individu memberikan persepsi yang berbeda terhadap rasa nyeri. Nyeri merupakan sensasi
yang rumit, unik, universal dan bersifat individual. Dikatakan bersifat individul karena respon
individu terhadap sensasi nyeri beragam dan tidak bisa disamakan dengan orang lain. Inilah
dasar bagi perawat dalam mengatasi rasa nyeri pada klien. Nyeri dapat di artikan sebagai suatu
sensasi yang tidak menyenangkan baik secara sensori maupun emosional yang berhubungan
dengan adanya suatu kerusakan jaringan atau faktor lain, sehingga individu merasa tersisksa,
menderita yang pada akhirnya akan mengganggu aktivitas sehari-hari, psikis dan lain-lain
(Andina, 2017).
Nyeri merupakan campuran reaksi fisik, emosi, dan perilaku. Stimulus penghasil nyeri
mengirimkan impuls melalui serabut syaraf perifer. Serabut nyeri memasuki medula spinalis
dengan menjalani salah satu dari beberapa rute syaraf. Terdapat pesan nyeri berinteraksi dengan
sel-sel syaraf inhibitor, mencegah stimulasi nyeri, sehingga tidak mencapai otak atau
ditransmisikan tanpa hambatan ke korteks serebral. Sekali stimulus nyeri mencapai korteks
serebral, maka otak akan menginterpretasikan kualitas nyeri dan memproses informasi tentang
pengalaman dan pengetahuan yang lalu serta kebudayaan dalam mempersepsikan nyeri (Potter &
Perry, 2006).
Pengertian Manajemen nyeri adalah cara meringankan nyeri atau mengurangi nyeri sampai
tingkat kenyamanan yang dapat diterima. Tujuan dilakukannya manajemen nyeri adalah untuk
mengurangi rasa nyeri yang dirasakan dan memberikan rasa nyaman. Sebelum melakukan
intervensi manajemen nyeri, perlu dilakukan pengkajian nyeri. Pengkajian. (AMA, 2013).
Menurut Mubarak, 2014 Pengkajian pada masalah nyeri dapat dilakukan dengan melihat adanya
riwayat nyeri, keluhan nyeri seperti lokasi, intensitas, kualitas dan waktu serangan terjadinya
nyeri. Pengkajian nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan teknik PQRST:
b. Q (Quality) : menanyakan rasa nyeri, apakah nyerinya seperti rasa tajam, tumpul
atau terasa tersayat
3 : Bisa ditoleransi (nyeri sangat terasa) seperti ditonjok bagian wajah atau disuntik
4 : Menyedihkan (kuat, nyeri yang dalam) seperti sakit gigi dan nyeri disengat tawon
5 : Sangat menyedihkan (kuat, dalam, nyeri yang menusuk) seperti terkilir, keseleo
6 : Intens (kuat, dalam, nyeri yang menusuk begitu kuat sehingga tampaknya mempengaruhi
salah satu dari panca indra)menyebabkan tidak fokus dan komunikasi terganggu.
7 : Sangat intens (kuat, dalam, nyeri yang menusuk begitu kuat) dan merasakan rasa nyeri yang
sangat mendominasi indra sipenderita yang menyebabkan tidak bisa berkomunikasi dengan baik
dan tidak mampu melakukan perawatan sendiri.
8 : Benar-benar mengerikan (nyeri yang begitu kuat) sehingga menyebabkan sipenderita tidak
dapat berfikir jernih, dan sering mengalami perubahan kepribadian yang parah jika nyeri datang
dan berlansung lama.
9 : Menyiksa tak tertahankan (nyeri yang begitu kuat) sehingga si penderita tidak bisa
mentoleransinya dan ingin segera menghilangkan nyerinya bagaimanapun caranya tanpa peduli
dengan efek samping atau resiko nya.
10 Nyeri Hebat
B. FUNGIS FISIOLOGIS
a. Anotomi fisiologis
b. Proses fisiologis
Bagaimana nyeri merambat dan di persepsikan oleh individu masih belum sepenuhnya
dimengerti. Akan tetapi, bisa tidaknya nyeri di rasakan dan hingga dearajat mana nyeri tersebut
mengganggu di pengaruhi oleh interaksi antara sistem algesia tubuh dan transmisi sistem saraf
serta interpretasi stimulus. Sistem saraf perifer terdiri atas saraf sensorik primer yang khusus
bertugas mendeteksi kerusakan jaringan yang membangkitkan sensasi sentuhan, panas, dingin,
nyeri dan tekanan. Reseptor yang bertugas merambatkan sensasi nyeri disebut nosiseptor.
Nosiseptor merupakan ujung-ujung saraf perifer yang bebas dan tidak bermielin atau sedikit
bermielin. Reseptor nyeri tersebut dapat di rangsang oleh stimulus mekanis, suhu dan kimiawi.
Sedangkan proses fisiologis terkait nyeri disebut nosisepsi. Proses ini terdiri dari empat fase,
yakni
a) Transduksi
Pada fase ini, stimulus atau rangsangan yang membahayakan (misalnya bahan kimia, suhu,
listrik atau mekanis) memicu pelepasan mediator biokimia yang mensensitisasi nosiseptor.
b) Transmisi
Fase transmisi nyeri terdiri atas tiga bagian. Pada bagian pertama, nyeri merambat dari serabut
saraf perifer ke medulla spinalis dua jenis serabut nosiseptor yang terlibat dalam proses tersebut
adalah serabut C yang mentransmisikan nyeri tumpul dan menyakitkan, serta serabut ADelta
yang mentransmisikan nyeri yang tajam dan terlokalisasi. Bagian kedua adalah transmisi nyeri
dari medulla spinalis menuju batang otak dan thalamus melalui jaras spinotalamikus
(spinothalamic tract (STT)).
STT merupakan sistem diskriminatif yang membawa informasi mengenai sifat dan lokasi
stimulus ke thalamus. Selanjutnya pada bagian ketiga, sinyal tersebut di teruskan ke korteks
sensorik somatic tempat nyeri di persepsikan. Impuls yang di transmisikan melalui STT
mengaktifkan respon otonomi dan limbik.
c) Persepsi
Pada fase ini individu mulai menyadari adanya nyeri. Tampaknya persepsi nyeri tersebut terjadi
di struktur korteks sehingga memungkinkan munculnya berbagai strategi perilaku-kognitif untuk
mengurangi komponen sensorik dan afektif nyeri.
d) Modulasi
Fase ini di sebut juga “sistem desenden”. Padafase ini, neuron di batang otak mengirimkan
sinyal-sinyal kembali ke medulla spinalis. Serabut desenden tersebut melepaskan substansi
seperti opioid, serotonin, dan norepinefrin yang akan menghambat impuls asenden yang
membahayakan dibagian dorsal medulla spinalis (Mubarak & Chayatin, 2008).
Usia merupakan faktor penting yang mempengaruhi nyeri, khusunya pada anak-anak dan lansia.
Perkembangan yang ditemukan diantara kelompok usia merupakan faktor penting yang
mempengaruhi nyeri, khusunya pada anak-anak dan lansia. Perkembangan yang ditemukan
diantara kelompok usia ini dapat mempengaruhi bagaimana anak-anak dan lansia bereaksi
terhadap nyeri. Anak yang masih kecil (bayi) mempunyai kesulitan mengungkapkan dan
mengekspresikan nyeri. Para lansia menganggap nyeri sebagai komponen alamiah dari proses
penuaan dan dapat diabaikan atau tidak ditangani oleh petugas kesehatan (Haswita &
Sulistyowati, 2017).
b) Jenis kelamin
Karakteristik jenis kelamin dan hubungannya dengan sifat keterpaparan dan tingkat kerentanan
memegang peranan tersendiri. Berbagai penyakit tertentu ternyata erat hubungannya dengan
jenis kelamin, dengan berbagai sifat tertentu. Penyakit yang hanya dijumpai pada jenis kelamin
tertentu, terutama yang berhubungan erat dengan alat reproduksi atau yang secara genetik
berperan dalam perbedaan jenis kelamin. Di beberapa kebudayaan menyebutkan bahwa anak
laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis, sedangkan seorang anak perempuan boleh
menangis dalam situasi yang sama. Toleransi nyeri dipengaruhi oleh faktor-faktor biokimia dan
merupakan hal yang unik pada setiap individu tanpa memperhatikan jenis kelamin. Meskipun
penelitian tidak menemukan perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam mengekspresikan
nyerinya. Pengobatan ditemukan lebih sedikit pada perempuan. Perempuan lebih suka
mengkominikasikan rasa sakitnya, sedangkan laki-laki menerima analgesik oploid lebih sering
sebagai pengobatan untuk nyeri (Haswita & Sulistyowati, 2017).
c) Kebudayaan
Kebudayaan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri. Individu
mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini
meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri. Ada perbedaan makna dan sikap dikaitkan dengan
nyeri diberbagai kelompok budaya (Haswita & Sulistyowati, 2017). Latar belakang etnik dan
buadaya merupakan faktor yang memengaruhi reaksi terhadap nyeri dan ekspresi nyeri. Sebagai
contoh, individu dari budaya tertentu cenderung ekspresif dalam mengungkapkan nyeri,
sedangkan individu dari budaya lain justru lebih memilih menahan perasaan mereka dan tidak
ingin merepotkan orang lain (Mubarak & Chayatin, 2008).
d) Makna nyeri
Individu akan mempersepsikan nyeri dengan cara yang berbedabeda. Arti nyeri bagi seseorang
memengaruhi respons mereka terhadap nyeri. Jika penyebab nyeri diketahui, individu mungkin
dapat mengintepretasikan arti nyeri dan bereaksi lebih baik terkait dengan pengalaman tersebut.
Jika penyebabnya tidak diketahui, maka banyak faktor psikologis negatif (seperti ketakutan dan
kecemasan) berperan dan meningkatkan derajat nyeri yang dirasakan. Jika pengalaman tersebut
diartikan negatif, maka nyeri yang dirasakan akan terasa lebih intens dibandingkan nyeri yang
dirasakan di situasi dengan hal yang positif. (M. Black & Hokanson Hawks, 2014).
e) Perhatian
Tingkat seorang pasien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi
nyeri (Haswita & Sulistyawati, 2017).
f) Ansietas
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks. Ansietas sering sekali meningkatkan
persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat menimbulkan suatu perasaan ansietas. Pola bangkitan
otonom adalah sama dalam nyeri dan ansietas. Ansietas yang tidak berhubungan dengan nyeri
dapat mendistraksi pasien dan secara aktual dapat menurunkan persepsi nyeri. Secara umum,
cara yang efektif untuk menghilangkan nyeri adalah dengan mengarahkan pengobatan nyeri
ketimbang ansietas (Haswita & Sulistyawati, 2017).
g) Pengalaman terdahulu
Individu yang mempunyai pengalaman yang multiple dan berkepanjangan dengan nyeri akan
lebih sedikit gelisah dan lebih toleran terhadap nyeri dibandingkan dengan orang yang hanya
mengalami sedikit nyeri. Bagi kebanyakan orang, bagaimanapun, hal ini tidak selalu benar.
Sering kali, lebih berpengalaman individu dengan nyeri yang dialami, makin takut individu
tersebut terhadap peristiwa yang menyakitkan yang akan diakibatkan (Haswita & Sulistyawati,
2017).
h) Gaya koping
Mekanisme koping individu sangat mempengaruhi cara setiap orang dalam mengatasi nyeri.
Ketika seseorang mengalami nyeri dan menjalankan perawatan di rumah sakit adalah hal yang
sangat tak tertahankan. Secara terus-menerus klien kehilangan kontrol dan tidak mampu untuk
mengontrol lingkungan termasuk nyeri. Klien sering menemukan jalan untuk mengatasi efek
nyeri baik fisik maupun psikologis. Penting untuk mengerti sumber koping individu selama nyeri
(Haswita & Sulistyawati, 2017).
Faktor lain juga mempengaruhi respon terhadap nyeri adalah kehadiran dari orang terdekat.
Orang-orang yang sedang dalam keadaan nyeri sering bergantung pada keluarga untuk
mensupport, mambantu atau melindungi. Ketidakhadiran keluarga atau teman terdekat mungkin
akan membuat nyeri semakin bertambah. Kehadiran orangtua merupakan hal yang khusus yang
penting untuk anak-anak dalam menghadapi nyeri (Haswita & Sulistyawati, 2017). Lingkungan
yang asing, tingkat kebisingan yang tinggi, pencahayaan, dan aktivitas yang tinggi di lingkuan
tersebut dapat memperberat nyeri. Selain itu, dukungan dari keluarga dan orang terdekat menjadi
salah satu faktor penting yang memengaruhi persepsi nyeri individu (Mubarak & Chayatin,
2008).
3) Mata
Konjungtiva (anemis/tidak)?, sklera ikterik/tidak?, pupil isokor atau
anisokor?, diametric pupil?, reflek pupil terhadap cahaya?, simetris?,
bentuk?, konvergensi?, gerakan ekstaokuler mata?, lapang pandang?,
visus/ketajaman penglihatan?, memakai alat bantu penglihatan?
4) Hidung
Saluran hidung lapang/ada sumbatan?, septum hidung utuh?,
epitaksis?, terpasang O2?
5) Telinga
Bentuk simetris?, terdapat penumpukan serumen?, respon
pendengar?, memakai alat bantu pendengar?
6) Mulut
Keadaan lidah lembab/tidak?, kondisi lidah (pucat, simetris, gerakan,
papil ulus)?, gigi (karies, keutuhan, gigi)?, gusi (pendarahan, lesi,
warna)?, bibir (lesi, kering, lembab)?, tonsil (pembesaran)?
7) Leher
Adakah pembesaran getah bening, kelenjar tiroid?, adakah nyeri
tekan?
c. Dada/ Thorax
1) Paru paru
Inspeksi : Bentuk, kesimetrisan, retraksi intercostal
Palpasi : Vocal fremitus, vibrasi, pengembangan
paru simetris?
Perkusi : Bunyi sonor ( gangguan : hipersonor, redup, dll)
Auskultasi :Bunyi napas normal (vesikuler, bronkovesikuler), atau
bunyi nafas tambahan (ronki, wheezing, krekels, dll).
2) Jantung
Inspeksi : Bentuk precordium simetris/tidak, iktus cordis
tampak/tidak?ada tidaknya denyutan di ICS kanan dan kiri.
Palpasi : Ketukan area ujung jantung untuk mengetahui pembesaran
jantung/tidak, iktus normal dapat teraba pada ruang intercostal kiri
V.
Perkusi : Perubahan antara bunyi sonor dari paru-paru ke redup
relatif, kita tetapkan sebagai batas jantung kiri.
Auskultasi : Terdapat mumur?bising jantung apa tidak.
d. Abdomen
Ada lesi atau tidak, suara bising usus
• Inpeksi : simetris, tidak ada benjolan.
• Palpasi : Nyeri tekan pada abdomen.
• Perkusi : Normal tidak ada gangguan.
• Auskultasi : Tidak terdengar bising usus.
e. Genito Urinari : kebersihan, apakah terpasang DC/ kateter.
f. Anus : adakah benjolan/ penonjolan pada
anus.
g. Ekstermitas
a. Superior :
Kekuatan otot berapa, ada deformitas atau tidak, ada kelainan
bawaan atau tidak, akral hangat atau dingin, adakah varises, ad akah
oedem.
b. Inferior :
Kuku dan kulit : Warna, kelembaban, suhu, tekstur, turgor, adakah
lesi, gangguan pigmentasi kulit, warna dasar kulit, sudut antara
kuku dan dasar kuku, kokoh tidaknya dasar kuku, sirkulasi dan
pengisian kapiler (Campilary Refill Time : CRT) berapa detik?
5. Data Penunjang
Pemeriksaan laboratorium, terapi, pemeriksaan diagnostic yang lain.
6. Pathway
B. Diagnosa Keperawatan
C. Intervensi
Alimul, (2008), Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia : Aplikasi konsep dan proses