Anda di halaman 1dari 7

Laporan Pendahuluan Atresia Ani

1.1 Definisi

Istilah atresia ani berasal dari bahasa Yunani yaitu "a" yang artinya tidak

ada dan trepsis yang berarti makanan dan nutrisi. Dalam istilah kedokteran,

atresia ani adalah suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang yang normal.

Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforata meliputi anus, rektum,
atau batas di antara keduanya (Betz, 2002). Atresia ani merupakan kelainan bawaan (kongenital),
tidak adanya lubang atau saluran anus (Donna, 2004). Atresia ani adalah tidak lengkapnya
perkembangan embrionik pada distal anus atau tertutupnya anus secara abnormal (Suradi, 2001).
Atresia ani atau anus imperforata adalah tidak terjadinya perforasi membran yang memisahkan
bagian endoterm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak sempurna. Anus tampak rata
atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung
dengan rektum (Parker dan Wampler, 2013).

1.2 Klasifikasi

Klasifikasi atresia ani ada 4 yaitu :

1. Anal stenosis adalah terjadinya penyempitan daerah anus sehingga feses tidak dapat keluar

2. Membranosus atresia adalah terdapat membrane pada anus.

62 Beranda Buku Buku audio Dokumen s Q TIL = 2

3. Anal agenesis adalah memiliki anus tetapi ada daging diantara rectum dengan anus

Rektal atresia adalah tidak memiliki recktum.

1.3 Etiologi
Penyebab sebenarnya dari atresia ani ini belum di ketahui pasti, namun ada

sumber yang mengatakan bahwa kelainan bawaan anus di sebabkan oleh :

1. Kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi,
atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik.

2. Putusnya saluran pencemaan dari atas dengan dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang anus.

3. Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada kegagalan
pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan.

4. Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter, dan otot dasar panggul.
Namum demikian pada agenesis anus, sfingter internal mungkin tidak memadai. Menurut penelitian
beberapa ahli masih jarang terjadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani.
Orang tua tidak diketahui apakah mempunyai gen carier penyakit ini. Janin yang diturunkan dari
kedua orang tua yang menjadi carier saat kehamilan mempunyai peluang sekitar 25% - 30% dari bayi
yang mempunyai sindrom genetik, abnormalitas kromosom, atau kelainan kongenital lain juga
beresiko untuk menderita atresia ani (Donna, 2004).

1.4 Patofisiologi

Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara

komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik,
sehingga anus dan rektum berkembang dari embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari bagian
belakang berkembang menjadi kloaka yang merupakan bakal genitourinari dan struktur anorektal.
Terjadi stenosis anal karena adanya penyempitan pada kanal anorektal. Terjadi atresia anal karena
tidak ada kelengkapan dan perkembangan struktur kolon antara 7-10 minggu dalam perkembangan
fetal. Kegagalan migrasi dapat juga karena kegagalan dalam agenesis sakral dan abnormalitas pada
uretra dan vagina. Tidak ada pembukaan usus besar yang keluar melalui anus sehingga
menyebabkan fekal tidak dapat dikeluarkan sehingga intestinal mengalami obstruksi. Putusnya
saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi baru lahir tanpa lubang anus.
Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan, terdapat tiga letak: a. Tinggi (supra levator): rektum
berakhir di atas M. levator ani (M.

puborektalis) dengan jarak antara ujung buntu rektum dengan kulit perineum lebih dari 1 cm. Letak
upralevator biasanya disertai dengan fistel ke saluran kencing atau saluran genital.
b. Intermediate : rektum terletak pada M. levator ani tetapi tidak menembusnya.

c. Rendah : rektum berakhir di bawah M. levator ani sehingga jarak antara kulit dan ujung rektum
paling jauh 1 cm.

1.5 Manifestasi Klinis

Bayi muntah-muntah pada 24-48 jam setelah lahir dan tidak terdapat defekasi mekonium. Gejala ini
terdapat pada penyumbatan yang lebih tinggi. Pada golongan 3 hampir selalu disertai fistula. Pada
bayi wanita sering

ditemukan fistula rektovaginal (dengan gejala bila bayi buang air besar feses

keluar dari (vagina) dan jarang rektoperineal, tidak pernah rektourinarius. Sedang

pada bayi laki-laki dapat terjadi fistula rektourinarius dan berakhir di kandung

kemih atau uretra dan jarang rektoperineal. Gejala yang akan timbul :

1. Mekonium tidak keluar dalm 24 jam pertama setelah kelahiran.

2. Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rektal pada bayi.

3. Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya salah.

Perut kembung.

4.

5. Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam (Ngastiyah, 2005).

1.6 Komplikasi
1. Infeksi saluran kemih yang berkepanjangan.

Obstruksi intestinal

2.

3. Kerusakan uretra akibat prosedur pembedahan.

4. Komplikasi jangka panjang :

Eversi mukosa anal

a.

b. Stenosis akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis.

c. Impaksi dan konstipasi akibat terjadi dilatasi sigmoid.

d. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training

e Inkontinensia akibat stenosis anal atau impaksi.

f. Fistula kambuh karena tegangan di area pembedahan dan infeksi (Betz,

2002)

1.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dibagi menjadi dua, yaitu :


1. Preventif

Menurut Nurhayati (2009), penatalaksanaan preventif yaitu :

Diberikan nasehat pada ibu hamil bahwa selama hamil muda untuk

a.

berhati-hati atau menghindari obat-obatan, makanan yang diawetkan dan alkohol karena dapat
menyebabkan atresia ani.

b. Pemeriksaan lubang dubur/anus bayi pada saat lahir sangat penting

dilakukan sebagai diagnosis awal adanya atresia ani. Sebab jika sampai

tiga hari diketahui bayi menderita atresia ani jiwa bayi akan terancam

karena feses yang tertimbun dapat mendesak paru-paru bayi dan organ

yang lain

2. Pasca bayi lahir

Menurut Rukiyah dan Yulianti (2012), bagi pengidap kelainan tipe 1 dengan stenosis yang ringan dan
tidak mengalami kesulitan mengeluarkan tinja tidak membutuhkan penanganan apapun. Sementara
pada stenosis yang berat perlu dilakukan dilatasi setiap hari dengan karakter uretra, atau speculum
hidung berukuran kecil. Selanjutnya orang tua dapat melakukan dilatasi sendiri di rumah dengan jari
tangan. Dilatasi dikerjakan beberapa kali seminggu selama kurang lebih 6 bulan sampai daerah
stenosis melunak dan fungsi defekasi mencapai keadaan normal. Konstipasi dapat dihindari

dengan pengaturan diet yang baik dan pemberian laktulose. Bentuk operasi yang diperlukan pada
tipe II, baik tanpa atau dengan fistula, adalah anoplasti perincum, kemudian dilanjutkan dengan
dilatasi pada anusslama 23 bulan. Tindakan ini paling baik dilakukan dengan dilator Hegar selama
bayi di rumah sakit dan kemudian orang tua penderita dapat memakai jari tangan di rumah sampai
tepi anus lunak serta mudah dilebarkan. Pada tipe III, apabila jarak antara ujung rektum yang buntu
kelekukan anus kurang dari 1,5 cm, pembedahan rekonstruktif dapat dilakukan melalui
anoproktoplasti pada masa neonatus. Akan tetapi, pada tipe III biasanya perlu dilakukan
pembedahan definitif pada usia 12-15 bulan.

Kolostomi bermanfaat untuk:

a. Mengatasi obstruksi usus, memungkinkan pembedahan rekonstruktif

dapat dikerjakan dengan lapangan operasi yang bersih.

b. Memberikan kesempatan pada ahli bedah untuk melakukan pemeriksaan lengkap dalam usaha
menentukan letak ujung rektum yang buntu serta menemukan kelainan bawaan yang lain, kolostomi
dapat dilakukan pada kolon transversum atau kolon sigmoideum. Beberapa metode pembedahan
rekonstruktif yang dapat dilakukan adalah operasi abdominoperineum terpadu pada usia 1 tahun,
anorektoplasti sagital posterior pada usia 8-12 bulan, dan pendekatan sakrum menurut metode
Stephen setelah bayi berumur 6-9 bulan. Dilatasi anus baru bisa dilakukan 10 hari setelah operasi
dan selanjutnya dapat dilakukan oleh orang tua di rumah, mula-mula dengan jari kelingking
kemudian dengan

jari telunjuk selama 23 bulan setelah pembedahan definitif. Sedangkan pada penanganan tipe IV
dilakukan dengan kolostomi, untuk kemudian dilanjutkan dengan operasi abdominal pull-through
seperti kasus pada megakolon congenital.

H+

1.8 Pemeriksaan Penunjang

Menurut Nurhayati (2009), untuk memperkuat diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan penunjang
sebagai berikut:

1. Pemeriksaan radiologis, yang bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal atau
menentukan letak ujung rektum yang buntu setelah bayi berumur 24 jam. Pada saat pemeriksaan,
bayi harus diletakkan dalam keadaan posisi terbalik selama 3 menit, sendi panggul bayi dalam
keadaan sedikit ekstensi, kemudian dibuat foto pandangan anteroposterior dan lateral setelah
petanda diletakkan pada daerah lekukan anus.

2. Sinar-X terhadap abdomen yang bertujuan untuk menentukann kejelasan


keseluruhan bowel/usus dan untuk mengetahui jarak pemanjangan kantung rektum dari sfingternya.

3. Ultrasonografi (USG) abdomen, yang bertujuan untuk melihat fungsi organ intenal terutama
dalam sistem pencemaan dan mencari adanya faktor reversibel seperti obstruksi massa tumor.

4. CT scan, yang bertujuan untuk menentukan lesi.

5. Rontgenogram pada abdomen dan pelvis, yang bertujuan untuk mengonfirmasi adanya fistula
yang berhubungan dengan saluran urinaria.

Anda mungkin juga menyukai