Anda di halaman 1dari 3

Nusantara Yang Utuh Adalah Cerminan Harga Diri dan

Martabat Bangsa.
(Jeritan Sakit Hati Sang Pewaris Pahlawan Revolusi (Anak Negeri) Dibalik Pesta
Pora Sang Penoda ibu Pertiwi )

(Oleh Yayan, S.Pd)

“Indonesia harus memilih: Hidup menanggung malu dan


menundukan kepala di hadapan bangsa lain, ataukah
berjuang menegakan kedaulatan, membela harga diri dan
martabat bangsa, mengangkat kepala dengan tegak dan
dipandang terhormat oleh bangsa lain di dunia
Internasional?”

“Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)” merupakan kalimat yang


memiliki makna sangat dalam bagi bangsa Indonesia, kalimat tersebut
menunjukan bahwa Indonesia adalah bangsa yang memiliki harga diri dan
martabat yang tinggi sebagai bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat. Saat
ini NKRI mendapat pertanyaan “Apakah sebagai bangsa dan negara yang
berdaulat, Indonesia mampu menunjukan harga diri dan martabatnya di hadapan
dunia internasional?” Pertanyaan seperti itu muncul ketika Indonesia dihadapkan
pada sengketa dengan dengan negara lain terutama dengan Malaysia yang
sekarang telah berulang tahun (berpesta pora memperingati hari kemerdekaannya)
yang beberapa waktu lalu memanas kembali akibat memperebutkan Blok Ambalat
yang mengandung sumber daya minyak yang kaya.
Dalam sengketa-sengketa yang pernah terjadi sebelumnya, yaitu segketa
masalah sosial budaya (Roeg Ponorogo, lagu Rasa Sayange, dan Batik,) dan
masalah wilayah kekuasaan (Sipadan dan Ligitan) Indonesia sudah banyak
mengalami kerugian. Hal serupa tidak tertutup kemungkinan akan terjadi kembali
dalam kasus Ambalat atau kasus kasus berikutnya yang belum muncul, jika
Indonesia tidak dapat bertindak lebih tegas terhadap Slangor.
Pada dasarnya kasus Ambalat memiliki perbedaan dengan kasus-kasus
yang pernah terjadi sebelumnya, dalam kasus ini secara hukum Indonesia berada
pada posisi yang jauh lebih kuat dibanding dengan Slangor. Ambalat secara
yuridis formal sudah sah menjadi wilayah Indonesia berdasarkan Deklarasi
Djuanda tahun 1957, Prp No. 4/1960 tentang Perairan Indonesia, dan Deklarasi
The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982
Bagian IV. Dengan demikian secara hukum internasional Slangor telah
melanggar dua asas sekaigus, yaitu asas courtesy (asas saling menghormati antar
negara yang memiliki hubungan) dengan tidak menghormati Indonesia sebagai
negara yang berdaulat dan melanggar asas pacta sun servanda dengan
memperbahrui peta wialayah negaranya dan memasukan Ambalat sebagai daerah
territorial mereka secara tidak bertanggung jawab tanpa memperduikan Deklarasi
The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982
Bagian IV. Padahal, menurut Hans Kelsen asas pacta sun servanda merupakan
salah satu sumber hukum internasina materiil yang menyebabkan hukum
internasional mempunyai kekuatan mengikat dan harus dipatuhi.
Dalam perkembangannya, Slangor semakin keterlaluan bahkan terkesan
“Ngoconan jeung ngece” dengan terus melanggar batas wilayah kedua negara,
dan mengabaikan peringatan yang diberikan oleh para prajurit Indonesia dengan
alasan mereka tidak melanggar batas teritiorial kedua negara, bahkan berani
melakukan menuver-manuver yang membahayakan keamanan prajurit Indonesia.
Sungguh ironi, karena kita katanya adalah bangsa yang besar. Akan tetapi
menghadapi sengketa-sengketa internasional bangsa Indonesia terutama para
Gegeden di Batavia terkesan “tidak reaktif dan responsif” sehingga kita sering
mengalami kerugian dan kehilangan kehormatan.
Jika memang benar Indonesia adalah bangsa yang besar, seharusnya
bangsa Indonesia malu pada bendera merah putih yang dikibarkan satu tiang
penuh yang menandakan bahwa Indonesia adalah bangsa dan negara yang
merdeka dan berdaulat, akan tetapi saat kedaulatan bangsa dan negara Indonesia
dilecehkan, bangsanya terkesan hanya diam saja. Tidakah bangsa Indonesia
tersindir dengan lagu-lagu perjuangan yang sering dinyanyikan pada momen-
momen tertentu, yang mana lagu-lagu tersebut mencerminkan jati diri dan
krakteristik bangsa yang memiliki rasa nasionalisme dan jiwa rela berkorban yang
tinggi untuk tanah airnya, akan tetapi ketika tanah air Indnesia dilecehakan,
bangsanya seakan tidak melakukan apapun bak patung di taman kota.
Seandainya para pahlawan bangsa yang sudah wafat bisa melihat kondisi
bangsa indnesia seperti sekarang, mereka akan berkata “Tolong kibarkan bendera
setengah tiang saja, karena kami yang mengerek bendera tersebut menjadi satu
tiang penuh dengan mengorbankan harta-benda, jiwa raga dan segala-galanya
sehingga harus hidup menderita dalam jangka waktu yang sangat lama sekarang
sedang dirundung duka, sebab hasil perjuagan kami tidak dihargai oleh anak
cucu kami sendiri. Selain itu, tolong jangan lagi nyanyikan lagu-lagu nasional
karena anak cucu kami sudah tidak memiliki jati diri dan karakteristik yang
sesuai dengan semangat lagu-lagu tersebut”.
Berdasarkan reaita yang demikian, kita tidak berbicara hitungan
matematis, kita berbicara martabat dan harga diri yang tidak bisa di tawar-tawar
atau harga mati. Sudah saatnya sekarang Indonesia menentukan, apakah mau
hidup menanggung malu dengan wajah tertunduk di hadapan bangsa lain dan
menjadi bangsa yang durhaka terhadap neneng moyangnya, ataukah menjadi
bangsa yang tau berbakti kepada para pahawan revolusi dengan menegakan
kedaulatan, membela harga diri dan martabat bangsa, mengangkat kepala dengan
tegak dan dipandang terhormat oleh bangsa lain di dunia Internasional? Jawablah
wahai Indonesia, jika memang benar masih punya harga diri di saat bumi
nusantara di diganggu dan dilecehkan jangan hanya bisa tertidiam tapi lakukanah
tindakan-tindakan yang tegas dan kongkrit demi tegaknya martabat bangsa.

Penulis Adalah Sarjana Pendidikan (S.Pd) Universitas Pendidikan Indonesia


(UPI) yang lulus dengan predikat Cum Laude. Adapun Identitas penulis adalah
sebagai berikut:
Nama : Yayan
Telpon : 081220619977
No. Rekening : 0133618914
Alamat. : Argapura-Majalengka-Jawa Barat

Anda mungkin juga menyukai