Mistisisme Dalam Islam Telaah Ontologis, Epistimologis, Aksiologis

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 10

Mistisisme dalam Islam

(Telaah Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu Tasawuf)


Aulia Farih Ridwan

Pendahuluan

Ada beberapa pengetahuan yang menjadi pembahasan dalam filsafat


pengetahuan, di antaranya sains, filsafat dan mistik. Pengetahuan sains adalah
pengetahuan yang logis-empiris tentang objek yang empiris. Selanjutnya pengetahuan
filsafat adalah pengetahuan logis tentang objek yang abstrak logis. Kata logis ini bisa
dalam arti rasional, bisa juga dalam arti supra rasional. Pengetahuan yang bersifat
supra rasional yang disebut dengan pengetahuan mistik atau intuitif. 

Dalam pengertian secara umum, intuisi merupakan metode untuk memperoleh


penegetahuan tidak berdasarkan penalaran rasio, pengalaman, dan pengamatan indra.
Pengetahuan intuitif sulit dikembangakan, karena validitasnya sangat pribadi, dan
memiliki watak yang tidak komunikatif, khusus untuk diri sendiri, subjektif, tidak
terlukiskan, sehingga sulit untuk mengetahui seseorang memilikinya atau tidak. Salah
satu pengetahuan intuitif ini adalah pengetahuan mistik.

Mistisisme dalam Islam kita kenal dengan Ilmu Tasawuf. Tasawuf sendiri
menjadi disiplin ilmu yang unik dalam dunia Islam. Ia merupakan kombinasi antara
rasional dan mistik. Tasawuf menjadi unik karena membahas tentang akhlaq yang
kemudian menyenggol lini-lini keilmuan Islam lain.1

Mengetahui ilmu tasawuf dari kacamata filsafat ilmu menjadi suatu hal yang
menarik. Ilmu ini menjadi unik karena bersifat subjektif tapi juga bisa sekaligus
rasional. Tasawuf sendiri bersifat subjektif karena masing-masing pengalaman
manusia satu dengan yang ain berbeda dalam menempuh jalan menuju Tuhannya.
Bersifat rasional karena perumusannya juga tak lepas dari peran akal manusia.

1
Muhammad Sholikhin, Filsafat dan Metafisika dalam Islam sebuah penjelajahan nalar, pengalaman
mistik, dan perjalanan aliran manunggaling kawula-gusti, (Yogjakarta: Narasi, 2008), hlm. 311
Pengertian Tasawuf

Pengertian Mistisisme dalam Islam diberi nama tasawuf, dan oleh orientalis
Barat disebut sufisme, pengamalnya disebut sufi, yakni orang yang mensucikan
dirinya melalui latihan spiritual yang berat dan lama. Secara etimologis, tasawuf
berasal dari bahasa arab yang diperdebatkan asal katanya, karena adanya perbedaan
sudut tinjauan. Ada yang mengatkan dari kata shafa (besih atau jernih), shaf (barisan
terdepan), Shufanah (Kayu yang bertahan tumbuh di padang pasir), maupun shuffah
(emper masjid Nabawi). Kebanyakan berpendapat tasawuf berasal dari kata shuf (bulu
domba), sehingga dulu orang yang berpakaian bulu domba dinamakan mutashawwif,
dan perilakunya disebut tasawuf.2

Sedangkan secara terminologis, tasawuf berarti keluar dari sefat-sifat tercela


menuju ke sifat-sifat terpuji, melalui proses pembiasaan riyadhah (latihan) dan
mujadalah (bersungguh-sungguh). 3 Tasawuf adalah moralitas yang berdasarkan Islam
(adab). Karenanya, seorang sufi adalah orang yang bermoral, karena semakin
bermoral, maka semakin bersih dan bening jiwanya. Hukum Islam (fiqh) tanpa moral
(tasawuf) bagaikan badan tanpa nyawa, atau bagaikan wadah tanda isi.4

Sejarah Singkat Ilmu Tasawuf

Istilah tasawuf tidak pernah dikenal pada zaman Nabi. Tasawuf dikenal pada
abad ke II hijriyyah oleh Abu Hasyim Al-Kufy (w 250 H). 5 Sebelumnya pada abad I
H telah ada benih tasawuf yang ditandai dengan adanya peningkatan moral dalam
wujud zuhud (tidak suka pada hal yang berbau duniawi), wara (menjauhi tipu daya
dunia) dan tawakkal. Benih itu kemudian berkembang dalam bentuk zuhud yang
ditambahi muatan mistis. Setelah itu baru muncul tasawuf dan terus berkembang
hingga tasawuf sunni dan tasawuf falsafi pada abad ke III, serta tharikat-tharikat pada
abad ke V.6

2
Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, (Yogjakarta:Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 8
3
Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, (Yogjakarta:Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 1
4
Abdul Muhayya, Peranan Tasawuf dalam Menanggulangi Krisis Spiritual, dalam buku Tasawuf dan
Krisis, (Yogjakarta, Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 23
5
Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, (Yogjakarta:Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 7
6
Muhyar Fanani, Pudarnya Posona Ilmu Agama, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 89-90.
Dalam sejarahnya, perkembangan tasawuf tidak dapat dilepaskan dari kondisi
politik yang ada. Perkembangannya dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Masa Pra Pembentukan, yakni sejak masa nabi Muhammad hingga masa
pembentukan tasawuf mulai ada. Tasawuf menemui pertumbuhan benihnya ketika
terjadinya peristiwa tragis, pembunuhan khifah Utsman bin Affan, yang kemudian
menyebabkan kekacauan sekaligus kemerosotan akhlaq, hal ini membuat beberapa
sahabat berfikir, ikhtiyar guna membangkitkan lagi ajaran islam, mendengar kisah
targhib dan tarhib, hingga merasakan hidup zuhud.7

b. Masa Pembentukan, yakni dimulai dengan lahirnya Hasan Basri, lahir di


Madinah tahun 642 M, meninggal di basrah tahun 728 M. Ia membawa ajaran khauf
(mempertebal takut) dan raja’ (berharap pada Tuhan). Setelah itu muncul guru-guru
lain yang disebut qari’, dan pada abad ke dua, muncul Rabi’ah al-adawiyah, yang
terkenal dengan ajaran cinta-nya (hubb al-ilah).8

c. Masa Pengembangan, tokohnya antara lain Abu Yazid, yang memasukkan


ide wahdah al-wujud, yang berpandangan bahwa fana’ menupakan persyaratan bagi
seseorang untuk dapat mencapai hakikat ma’rifat. Selain itu muncul tokoh al-hallaj,
yang menampilkan teori al-Hulul (inkarnasi Tuhan) yakni percampuran antara roh
manusia dengan Tuhan, teori Nur Muhammad (dinyatakan sebagai asal segala
sesuatu, kejadian, amal dan ilmu) dan wahdat al-adyan (kesatuan agama-agama).
Kemudian muncul tokoh Junaidi al-Baghdady yang mendapat predikat Syaikh al-
thaifah (ketua rombongan sufi) yang meletakkan dasar-dasar tasawuf dan tariqah.
Tasawuf pada masa ini berkembang menjadi sebuah madzhab yang memiliki dua
aliran, tasawuf sunni dan tasawuf semi falsafi.9

d. Masa Konsolidasi ditandai dengan kompetisi antara tasawuf sunni dan


tasawuf semi falsafi yang dimenangkan oleh tasawuf suni dengan theologi ahli sunnah
wal jamaah, dengan pelopor Abu al-Hasan al-Asy’ari yang cenderung melakukan
pembaharuan (konsolidasi). Tokoh lain yang fenomenal adalah al-Ghazali, ia menolak
syathahiyat, juga menolak teori kesatuan, namun ia menyodorkan teori baru tentang
ma’rifat dalam batas pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) yang
memadukan ilmu dan amal dan berbuah realitas. Al-Ghazali dinilai berhasil
7
Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, (Yogjakarta:Pustaka Pelajar, 1999), hlm 28
8
Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, (Yogjakarta:Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 30-33
9
Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, (Yogjakarta:Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 35
mendeskripsikan jalan menuju Allah, dan berhasil memadukan tiga kubu keilmuan
keislaman, yakni Tasawuf, Fiqih dan ilmu Kalam. Pada abad VI dan VII H, muncul
cikal bakal thariqah, salah satunya thariqah qadariyah yang diciptakan oleh Abdul
Qadir al Jailani (471-561 H). 10

e. Masa Pemurnian terjadi saat Ibnu Timiyyah muncul, ketika tasawuf


diwarnai dengan bid’ah, khurafat, tahayyul, mengabaikan syariat, penghinaan
terhadap ilmu, menghindarkan diri dari rasionalitas, dan menampilkan amalan azimat,
ramalan, serta kekuatan ghaib. Ibnu taimiyyah melakukan kritik dan cenderung
bertasawuf dengan menghayati ajaran Islam tanpa mengikuti thariqah tertentu dan
tetap melibatkan diri dalam kegiatan sosial.

Ontologi Tasawuf

Adapun yang menjadi objek dari ilmu tasawuf sendiri adalah segala hal yang
bersifat abstrak-supra-rasional. Objek ilmu tasawuf ini dibagi menjadi dua. Pertama,
alam ghaib, antara lain Tuhan, malaikat, surga, neraka dan lain-lain. Kedua, perasaan
dalam hati manusia, seperti cinta, bahagia, susah, sedih, yakin dan sebagainya. Semua
objek tersebut adalah hal yang tidak dapat dipahami oleh rasio atau akal manusia.11

Pengetahuan tentang ilmu tasawuf itu tidak diperoleh melalui panca indera dan
tidak juga menggunakan akal rasional, pengetahuan tasawuf diperoleh melalui rasa.
Adapun Immanuel Kant berpendapat melalui moral, yang lain mengatakan melalui
intuisi, ada juga yang mengatakan melalui insight, sementara al-Ghazali mengatakan
melalui dhamir atau qalbu. Adapun sumber pokok ajaran Islam yang memuat
landasan praktek tasawuf, antara lain: Al-Qur’an, hadits, sejarah hidup Nabi dan
Khulafa al-Rasyidin serta sahabat Nabi yang lain, situasi kemasyarakatan, aliran-
aliran kalam.12

Epistemologi Tasawuf

10
Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, (Yogjakarta:Pustaka Pelajar, 1999), hlm 38
11
Ahmad, “Epistemologi Ilmu-Ilmu Tasawuf” dalam Ilmu Ushuluddin Vol. 14, No. 1 Januari 2015,
hlm. 61
12
Ahmad, “Epistemologi Ilmu-Ilmu Tasawuf” dalam Ilmu Ushuluddin Vol. 14, No. 1 Januari 2015
hlm. 63
Dalam kancah pemikiran Islam (Arab), menurut Abid al-Jabiri setidaknya ada
tiga jenis epistemologi yang digunakan sebagai sumber kebenaran yaitu bayani,
burhani dan ‘irfani. Bayani adalah metode pemikiran Arab yang menekankan pada
otoritas teks, baik secara langsung maupun tidak langsung dan dijustifikasi oleh
logika kebahasaan. Burhani adalah epistem yang mendasarkan kebenarannya pada
kekuatan akal atau rasio yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Berikutnya adalah
epistemologi irfani, yaitu epistemologi yang mendasarkan pengetahuannya kepada
intuisi, kasyf atau penyingkapan rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Pengetahuan
irfani tidak diperoleh berdasarkan analisis teks atau logika, tetapi berdasarkan atas
terlimpahnya pengetahuan dari Tuhan, ketika hati sebagai sarana pencapaian
pengetahuan irfani siap untuk menerimanya.13 Berdasarkan penjelasan tersebut, maka
sudah bisa kita simpulkan bahwa epistemologi yang digunakan dalam ilmu tasawuf
adalah intuisionisme atau Irfani. Namun, ada ilmu tasawuf yang juga menggunakan
bayani (rasio) dalam epistemologinya, yaitu tasawuf falsafi.

Selanjutnya akan dikemukakan epistemologi tasawuf. Cara untuk memperoleh


pengetahuan tasawuf terbagi berdasarkan tiga jenis tasawuf itu sendiri, yaitu Tasawuf
Akhlaki, Tasawuf Amali dan Tasawuf Falsafi.

1. Tasawuf Akhlaki

Tujuan terpenting dari tasawuf adalah mendapatkan jalinan koneksi dengan


Tuhan, sehingga merasa dan sadar berada di ‘hadirat’ Tuhan. Keberadaan di ‘hadirat’
Tuhan itu dirasakan sebagai kenikmatan dan kebahagiaan yang hakiki. Satu-satunya
jalan yang dapat menghantarkan seseorang ke hadirat Allah hanyalah dengan kesucian
jiwa, untuk mencapai tingkat kesempurnaan dan kesucian jiwa memerlukan
pendidikan dan latihan mental yang panjang. Dalam tasawuf akhlaki terdapat tahapan-
tahapan yang harus dilalui yaitu sebagai berikut:

a. Takhalli

13
Amat Zuhri, “Tasawuf dalam sorotan Epistemologi dan Aksiologi” dalam RELIGIA Vol. 19 No. 1,
April 2016. hlm. 10
Takhalli merupakan langkah pertama yang harus di lakukan oleh seorang sufi.
Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela. Salah satu
dari akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan akhlak jelek antara lain adalah
kecintaan yang berlebihan kepada urusan duniawi. Takhalli juga dapat diartikan
mengosongkan diri dari sifat ketergantungan terhadap kelezatan duniawi. Hal ini akan
dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam segala bentuknya
dan berusaha melenyapkan dorongan hawa nafsu jahat.14

Ada beberapa sifat yang perlu dibersihkan ketika seseorang ingin


mempraktekkan tingkatan takhalli ini, yaitu: Hasud (iri/dengki); Hiqd (benci);
Su’udzan (buruk sangka); Takabbur (sombong); ‘Ujub (berbangga diri); Riya’;
Sum’ah (mencari kemasyhuran); Bakhil (kikir); Hubb al-mal (materialistis); Tafakhur
(bersaing dalam kebanggaan diri); Ghadab (amarah); Namimah (menyebar fitnah);
Kidzib (berbohong); Khianat (tidak jujur/ tidak amanah); Ghibah (membicarakan
kejelekan orang lain).15

b. Tahalli

Tahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan membiasakan
diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi
setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela. Dengan menjalankan
ketentuan agama baik yang bersifat eksternal (luar) maupun internal (dalam). Yang
disebut aspek luar adalah kewajiban- kewajiban yang bersifat formal seperti sholat,
puasa, haji dll. Dan adapun yang bersifat dalam adalah seperti keimanan, ketaatan dan
kecintaan kepada Tuhan. artinya membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, dari
maksiat lahir dan batin.16 Sifat-sifat yang menyinari hati itu oleh kaum sufi dinamakan
sifat-sifat terpuji (akhlaq mahmudah) antara lain: Taubat, Khauf/taqwa, Ikhlas,
Syukur, Zuhud, Sabar, Ridho, Tawakkal, Mahabbah, Dzikrul maut.

c. Tajalli

14
Usman Said, dkk, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Medan : Naspar Djaja, 1981), hlm. 180.
15
Ismail Hasan, “Tasawuf: Jalan Rumpil Menuju Tuhan” dalam Jurnal An-Nuha Vol 1 No. 1 Juli 2014,
hlm. 54
16
Asmaran As, MA, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 57.
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli,
maka rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase tajalli. Kata tajalli
bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa dan organ-
organ tubuh yang telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan sudah terbiasa
melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur tidak berkurang, maka rasa ketuhanan
perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran dan rasa
kecintaan yang mendalam dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu kepada-
Nya. sebagai tahap kedua berikutnya, adalah upaya pengisian hati yang telah
dikosongkan dengan isi yang lain, yaitu Allah.

Pada tahap ini, hati harus selalu disibukkan dengan dzikir dan mengingat
Allah. Dengan mengingat Allah, melepas selain-Nya akan mendatangkan kedamaian.
Tidak ada yang ditakutakan selain lepasnya Allah dari dalam hatinya. Hilangnya
dunia bagi hati yang telah tahalli tidak akan mengecewakan. Waktunya sibuk hanya
untuk Allah, bersenandung dalam dzikir. Pada saat Tahalli, lantaran kesibukan dengan
mengingat dan berdzikir kepada Allah dalam hatinya, anggota tubuh lainnya tergerak
dengan sendirinya ikut bersenandung dzikir.

2. Tasawuf Amali

Apabila tasawuf dilihat dari sudut amalan serta jenis ilmu yang dipelajari,
maka terdapat beberapa istilah yang khas dalam dunia tasawuf, yaitu ilmu lahir dan
ilmu bathin. Untuk memahami dan mengamalkan suatu amalan juga harus melalui
aspek lahir dan aspek bathin. Kedua aspek itu terkandung dalam ilmu, yang mereka
bagi kepada empat kelompok17, yaitu;

a. Syari’at, diartikan sebagai amalan-amalan lahir yang difardlukan dalam


agama, atau mengikuti agama tuhan dan mengerjakan perintahnya dan menjauhi
larangannya.

b. Tarikat yakni mengamalkan agama dengan apik, teliti dan sungguh serta
melatih diri dengan mengerjakan ibadah yang payah-payah dengan penuh kesabaran
dan melapangkan hati dari kebimbangan untuk ibadah kepada Tuhan.

17
Ahmad, “Epistemologi Ilmu-Ilmu Tasawuf” dalam Ilmu Ushuluddin Vol. 14, No. 1 Januari 2015,
hlm. 63-64
c. Hakikat adalah sampainya maksud dan memandang Allah dengan
terbukanya hijab dan ini jalan terakhir tujuan seorang salik, yaitu mengenal Allah
dengan terbukanya hijab dirinya hingga ia memandang Allah dengan mata hatinya.

d. Ma’rifat adalah terhimpunnya tiga perkara di atas dengan pengenalan yang


sebenarnya dengan Allah, melalui hati sanubari, pengetahuan itu sedemikian lengkap
dan jelas sehingga jiwanya merasa satu dengan yang diketahuinya.

3. Tasawuf Falsafi

Konsepsi ahli tasawuf tentang Tuhan merupakan perkembangan lanjut dari


pemikiran mutakallimin dan para filusuf. Apabila pemikiran dan perenungan
mutakallimin kelompok rasionalis menyebabkan posisi Tuhan sebagai sesuatu yang
logis tanpa isi yang positif, maka kelompok tradisional menjadikan Tuhan sebagai
penguasa “absolut” yang dapat berbuat sekehendaknya. Untuk menjawab hal ini,
maka kaum Sufi tampil dengan konsepsinya yang khas. Dilihat dari sejarah
perkembangan tasawuf yang panjang dan kompleks, ternyata sulit diformulasikan
secara konsepsional pemikiran dan perenungan mereka tentang Tuhan. Namun secara
garis besar, hal ini dapat dikelompokan menjadi tiga konsepsi tentang Tuhan, yaitu:

a. Konsepsi etika

b. Konsepsi estetika

c. Konsepsi kesatuan wujud

Masing-masing konsepsi, menurut mereka, secara langsung atau tidak


langsung berakar dari al-Qur’an dan Sunnah.18

18
Ahmad, “Epistemologi Ilmu-Ilmu Tasawuf” dalam Ilmu Ushuluddin Vol. 14, No. 1 Januari 2015,
hlm. 64
Aksiologi Tasawuf

Aksiologi (nilai pengetahuan) berarti teori yang berkaitan dengan kegunaan


dari ilmu atau bidang keilmuan yang membahas kegunaan pengetahuan. Atau apa
tujuan ilmu pegetahuan itu dibangun dan dirumuskan. Aksiologi dalam tasawuf
mengaitkan posisi ilmu dengan kaidah akhlaq, yakni hubungan ilmu dengan moral,
akhlaq dan nilai-nilai keagamaan.19

Ilmu tasawuf muncul sebagai antitesa cinta pada hal yang bersifat
keduniawian. Orang-orang yang cinta dunia dari masa dulu sampai sekarang akan
selalu ada. Obsesi terhadap dunia hanya akan menimbulkan keserakahan dan
kerusakan, baik bagi manusia itu sendiri bahkan berdampak negatif ke lingkungan
sekitar. Dengan ilmu tasawuf, manusia sebagai seorang individu akan bersih dari
sifat-sifat yang merusak.

Mempelajari ilmu tasawuf secara umumnya akan membawa pada kedamaian


hati dan jiwa, dan sifat-sifat negatif yang dapat merusak bisa dikontrol. Secara
spesifik, tasawuf bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus langsung dari
Tuhan. Dan buah yang diharapkan dari laku Tasawuf adalah jiwa yang dermawan,
hati yang tenang, dan pekerti yang baik kepada semua makhluk. Orang yang
mengamalkan ajaran tasawuf adalah orang dengan hati dan sikap yang tenang dalam
situasi apapun.

Kesimpulan

Ilmu tasawuf berasal dari kata shafa (besih atau jernih), shaf (barisan
terdepan), Shufanah (Kayu yang bertahan tumbuh di padang pasir), maupun shuffah
(emper masjid Nabawi). Kebanyakan berpendapat tasawuf berasal dari kata shuf (bulu
domba. Secara terminologi berarti keluar dari sefat-sifat tercela menuju ke sifat-sifat
terpuji, melalui proses pembiasaan riyadhah (latihan) dan mujadalah (bersungguh-
sungguh).

Ontologi Ilmu tasawuf adalah segala hal yang bersifat abstrak atau supra-
rasional. Objek ilmu tasawuf ini dibagi menjadi dua. Pertama, alam ghaib, antara lain
Tuhan, malaikat, surga, neraka dan lain-lain. Kedua, perasaan dalm hati manusia,

19
Faiz Farichah, “Filsafat Ilmu dalam Pengembangan Ilmu Tasawuf di Indonesia” dalam An-Nuur
Vol 11, No 1 Januari 2021, hlm. 11
seperti cinta, bahagia, susah, yaqin dan sebagainya. Epistemologi tasawuf terbagi
berdasarkan tiga jenis tasawuf itu sendiri, yaitu Tasawuf Akhlaki, Tasawuf Amali dan
Tasawuf Falsafi. Aksiologi (tujuan) ilmu tasawuf adalah tasawuf bertujuan untuk
memperoleh suatu hubungan langsung dari Tuhan, yang termanifestasi dalam jiwa
yang dermawan, hati yang tenang, dan pekerti yang baik.

Daftar Pustaka

Ahmad. “Epistemologi Ilmu-Ilmu Tasawuf” dalam Ilmu Ushuluddin Vol. 14, No. 1
Januari 2015.

Asmaran As, MA. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1996.

Farichah, Faiz. “Filsafat Ilmu dalam Pengembangan Ilmu Tasawuf di Indonesia”


dalam An-Nuur Vol 11, No 1 Januari 2021.

Hasan, Ismail, “Tasawuf: Jalan Rumpil Menuju Tuhan” dalam Jurnal An-Nuha Vol 1


No. 1 Juli 2014.

Muhyar Fanani, Pudarnya Posona Ilmu Agama. Yogjakarta: Pustaka Pelajar 2007.

Sholikhin, Muhammad. Filsafat dan Metafisika dalam Islam sebuah penjelajahan


nalar, pengalaman mistik, dan perjalanan aliran manunggaling kawula-gusti.
Yogjakarta: Narasi, 2008.

Syukur, Amin. Menggugat Tasawuf. Yogjakarta: Pustaka Pelajar.1999.

Zuhri, Amat. “Tasawuf dalam sorotan Epistemologi dan Aksiologi” dalam RELIGIA
Vol. 19 No. 1, April 2016.

Anda mungkin juga menyukai