Mistisisme Dalam Islam Telaah Ontologis, Epistimologis, Aksiologis
Mistisisme Dalam Islam Telaah Ontologis, Epistimologis, Aksiologis
Mistisisme Dalam Islam Telaah Ontologis, Epistimologis, Aksiologis
Pendahuluan
Mistisisme dalam Islam kita kenal dengan Ilmu Tasawuf. Tasawuf sendiri
menjadi disiplin ilmu yang unik dalam dunia Islam. Ia merupakan kombinasi antara
rasional dan mistik. Tasawuf menjadi unik karena membahas tentang akhlaq yang
kemudian menyenggol lini-lini keilmuan Islam lain.1
Mengetahui ilmu tasawuf dari kacamata filsafat ilmu menjadi suatu hal yang
menarik. Ilmu ini menjadi unik karena bersifat subjektif tapi juga bisa sekaligus
rasional. Tasawuf sendiri bersifat subjektif karena masing-masing pengalaman
manusia satu dengan yang ain berbeda dalam menempuh jalan menuju Tuhannya.
Bersifat rasional karena perumusannya juga tak lepas dari peran akal manusia.
1
Muhammad Sholikhin, Filsafat dan Metafisika dalam Islam sebuah penjelajahan nalar, pengalaman
mistik, dan perjalanan aliran manunggaling kawula-gusti, (Yogjakarta: Narasi, 2008), hlm. 311
Pengertian Tasawuf
Pengertian Mistisisme dalam Islam diberi nama tasawuf, dan oleh orientalis
Barat disebut sufisme, pengamalnya disebut sufi, yakni orang yang mensucikan
dirinya melalui latihan spiritual yang berat dan lama. Secara etimologis, tasawuf
berasal dari bahasa arab yang diperdebatkan asal katanya, karena adanya perbedaan
sudut tinjauan. Ada yang mengatkan dari kata shafa (besih atau jernih), shaf (barisan
terdepan), Shufanah (Kayu yang bertahan tumbuh di padang pasir), maupun shuffah
(emper masjid Nabawi). Kebanyakan berpendapat tasawuf berasal dari kata shuf (bulu
domba), sehingga dulu orang yang berpakaian bulu domba dinamakan mutashawwif,
dan perilakunya disebut tasawuf.2
Istilah tasawuf tidak pernah dikenal pada zaman Nabi. Tasawuf dikenal pada
abad ke II hijriyyah oleh Abu Hasyim Al-Kufy (w 250 H). 5 Sebelumnya pada abad I
H telah ada benih tasawuf yang ditandai dengan adanya peningkatan moral dalam
wujud zuhud (tidak suka pada hal yang berbau duniawi), wara (menjauhi tipu daya
dunia) dan tawakkal. Benih itu kemudian berkembang dalam bentuk zuhud yang
ditambahi muatan mistis. Setelah itu baru muncul tasawuf dan terus berkembang
hingga tasawuf sunni dan tasawuf falsafi pada abad ke III, serta tharikat-tharikat pada
abad ke V.6
2
Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, (Yogjakarta:Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 8
3
Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, (Yogjakarta:Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 1
4
Abdul Muhayya, Peranan Tasawuf dalam Menanggulangi Krisis Spiritual, dalam buku Tasawuf dan
Krisis, (Yogjakarta, Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 23
5
Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, (Yogjakarta:Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 7
6
Muhyar Fanani, Pudarnya Posona Ilmu Agama, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 89-90.
Dalam sejarahnya, perkembangan tasawuf tidak dapat dilepaskan dari kondisi
politik yang ada. Perkembangannya dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Masa Pra Pembentukan, yakni sejak masa nabi Muhammad hingga masa
pembentukan tasawuf mulai ada. Tasawuf menemui pertumbuhan benihnya ketika
terjadinya peristiwa tragis, pembunuhan khifah Utsman bin Affan, yang kemudian
menyebabkan kekacauan sekaligus kemerosotan akhlaq, hal ini membuat beberapa
sahabat berfikir, ikhtiyar guna membangkitkan lagi ajaran islam, mendengar kisah
targhib dan tarhib, hingga merasakan hidup zuhud.7
Ontologi Tasawuf
Adapun yang menjadi objek dari ilmu tasawuf sendiri adalah segala hal yang
bersifat abstrak-supra-rasional. Objek ilmu tasawuf ini dibagi menjadi dua. Pertama,
alam ghaib, antara lain Tuhan, malaikat, surga, neraka dan lain-lain. Kedua, perasaan
dalam hati manusia, seperti cinta, bahagia, susah, sedih, yakin dan sebagainya. Semua
objek tersebut adalah hal yang tidak dapat dipahami oleh rasio atau akal manusia.11
Pengetahuan tentang ilmu tasawuf itu tidak diperoleh melalui panca indera dan
tidak juga menggunakan akal rasional, pengetahuan tasawuf diperoleh melalui rasa.
Adapun Immanuel Kant berpendapat melalui moral, yang lain mengatakan melalui
intuisi, ada juga yang mengatakan melalui insight, sementara al-Ghazali mengatakan
melalui dhamir atau qalbu. Adapun sumber pokok ajaran Islam yang memuat
landasan praktek tasawuf, antara lain: Al-Qur’an, hadits, sejarah hidup Nabi dan
Khulafa al-Rasyidin serta sahabat Nabi yang lain, situasi kemasyarakatan, aliran-
aliran kalam.12
Epistemologi Tasawuf
10
Amin Syukur, Menggugat Tasawuf, (Yogjakarta:Pustaka Pelajar, 1999), hlm 38
11
Ahmad, “Epistemologi Ilmu-Ilmu Tasawuf” dalam Ilmu Ushuluddin Vol. 14, No. 1 Januari 2015,
hlm. 61
12
Ahmad, “Epistemologi Ilmu-Ilmu Tasawuf” dalam Ilmu Ushuluddin Vol. 14, No. 1 Januari 2015
hlm. 63
Dalam kancah pemikiran Islam (Arab), menurut Abid al-Jabiri setidaknya ada
tiga jenis epistemologi yang digunakan sebagai sumber kebenaran yaitu bayani,
burhani dan ‘irfani. Bayani adalah metode pemikiran Arab yang menekankan pada
otoritas teks, baik secara langsung maupun tidak langsung dan dijustifikasi oleh
logika kebahasaan. Burhani adalah epistem yang mendasarkan kebenarannya pada
kekuatan akal atau rasio yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Berikutnya adalah
epistemologi irfani, yaitu epistemologi yang mendasarkan pengetahuannya kepada
intuisi, kasyf atau penyingkapan rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Pengetahuan
irfani tidak diperoleh berdasarkan analisis teks atau logika, tetapi berdasarkan atas
terlimpahnya pengetahuan dari Tuhan, ketika hati sebagai sarana pencapaian
pengetahuan irfani siap untuk menerimanya.13 Berdasarkan penjelasan tersebut, maka
sudah bisa kita simpulkan bahwa epistemologi yang digunakan dalam ilmu tasawuf
adalah intuisionisme atau Irfani. Namun, ada ilmu tasawuf yang juga menggunakan
bayani (rasio) dalam epistemologinya, yaitu tasawuf falsafi.
1. Tasawuf Akhlaki
a. Takhalli
13
Amat Zuhri, “Tasawuf dalam sorotan Epistemologi dan Aksiologi” dalam RELIGIA Vol. 19 No. 1,
April 2016. hlm. 10
Takhalli merupakan langkah pertama yang harus di lakukan oleh seorang sufi.
Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela. Salah satu
dari akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan akhlak jelek antara lain adalah
kecintaan yang berlebihan kepada urusan duniawi. Takhalli juga dapat diartikan
mengosongkan diri dari sifat ketergantungan terhadap kelezatan duniawi. Hal ini akan
dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam segala bentuknya
dan berusaha melenyapkan dorongan hawa nafsu jahat.14
b. Tahalli
Tahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan membiasakan
diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi
setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela. Dengan menjalankan
ketentuan agama baik yang bersifat eksternal (luar) maupun internal (dalam). Yang
disebut aspek luar adalah kewajiban- kewajiban yang bersifat formal seperti sholat,
puasa, haji dll. Dan adapun yang bersifat dalam adalah seperti keimanan, ketaatan dan
kecintaan kepada Tuhan. artinya membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, dari
maksiat lahir dan batin.16 Sifat-sifat yang menyinari hati itu oleh kaum sufi dinamakan
sifat-sifat terpuji (akhlaq mahmudah) antara lain: Taubat, Khauf/taqwa, Ikhlas,
Syukur, Zuhud, Sabar, Ridho, Tawakkal, Mahabbah, Dzikrul maut.
c. Tajalli
14
Usman Said, dkk, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Medan : Naspar Djaja, 1981), hlm. 180.
15
Ismail Hasan, “Tasawuf: Jalan Rumpil Menuju Tuhan” dalam Jurnal An-Nuha Vol 1 No. 1 Juli 2014,
hlm. 54
16
Asmaran As, MA, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 57.
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli,
maka rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase tajalli. Kata tajalli
bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa dan organ-
organ tubuh yang telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan sudah terbiasa
melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur tidak berkurang, maka rasa ketuhanan
perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran dan rasa
kecintaan yang mendalam dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu kepada-
Nya. sebagai tahap kedua berikutnya, adalah upaya pengisian hati yang telah
dikosongkan dengan isi yang lain, yaitu Allah.
Pada tahap ini, hati harus selalu disibukkan dengan dzikir dan mengingat
Allah. Dengan mengingat Allah, melepas selain-Nya akan mendatangkan kedamaian.
Tidak ada yang ditakutakan selain lepasnya Allah dari dalam hatinya. Hilangnya
dunia bagi hati yang telah tahalli tidak akan mengecewakan. Waktunya sibuk hanya
untuk Allah, bersenandung dalam dzikir. Pada saat Tahalli, lantaran kesibukan dengan
mengingat dan berdzikir kepada Allah dalam hatinya, anggota tubuh lainnya tergerak
dengan sendirinya ikut bersenandung dzikir.
2. Tasawuf Amali
Apabila tasawuf dilihat dari sudut amalan serta jenis ilmu yang dipelajari,
maka terdapat beberapa istilah yang khas dalam dunia tasawuf, yaitu ilmu lahir dan
ilmu bathin. Untuk memahami dan mengamalkan suatu amalan juga harus melalui
aspek lahir dan aspek bathin. Kedua aspek itu terkandung dalam ilmu, yang mereka
bagi kepada empat kelompok17, yaitu;
b. Tarikat yakni mengamalkan agama dengan apik, teliti dan sungguh serta
melatih diri dengan mengerjakan ibadah yang payah-payah dengan penuh kesabaran
dan melapangkan hati dari kebimbangan untuk ibadah kepada Tuhan.
17
Ahmad, “Epistemologi Ilmu-Ilmu Tasawuf” dalam Ilmu Ushuluddin Vol. 14, No. 1 Januari 2015,
hlm. 63-64
c. Hakikat adalah sampainya maksud dan memandang Allah dengan
terbukanya hijab dan ini jalan terakhir tujuan seorang salik, yaitu mengenal Allah
dengan terbukanya hijab dirinya hingga ia memandang Allah dengan mata hatinya.
3. Tasawuf Falsafi
a. Konsepsi etika
b. Konsepsi estetika
18
Ahmad, “Epistemologi Ilmu-Ilmu Tasawuf” dalam Ilmu Ushuluddin Vol. 14, No. 1 Januari 2015,
hlm. 64
Aksiologi Tasawuf
Ilmu tasawuf muncul sebagai antitesa cinta pada hal yang bersifat
keduniawian. Orang-orang yang cinta dunia dari masa dulu sampai sekarang akan
selalu ada. Obsesi terhadap dunia hanya akan menimbulkan keserakahan dan
kerusakan, baik bagi manusia itu sendiri bahkan berdampak negatif ke lingkungan
sekitar. Dengan ilmu tasawuf, manusia sebagai seorang individu akan bersih dari
sifat-sifat yang merusak.
Kesimpulan
Ilmu tasawuf berasal dari kata shafa (besih atau jernih), shaf (barisan
terdepan), Shufanah (Kayu yang bertahan tumbuh di padang pasir), maupun shuffah
(emper masjid Nabawi). Kebanyakan berpendapat tasawuf berasal dari kata shuf (bulu
domba. Secara terminologi berarti keluar dari sefat-sifat tercela menuju ke sifat-sifat
terpuji, melalui proses pembiasaan riyadhah (latihan) dan mujadalah (bersungguh-
sungguh).
Ontologi Ilmu tasawuf adalah segala hal yang bersifat abstrak atau supra-
rasional. Objek ilmu tasawuf ini dibagi menjadi dua. Pertama, alam ghaib, antara lain
Tuhan, malaikat, surga, neraka dan lain-lain. Kedua, perasaan dalm hati manusia,
19
Faiz Farichah, “Filsafat Ilmu dalam Pengembangan Ilmu Tasawuf di Indonesia” dalam An-Nuur
Vol 11, No 1 Januari 2021, hlm. 11
seperti cinta, bahagia, susah, yaqin dan sebagainya. Epistemologi tasawuf terbagi
berdasarkan tiga jenis tasawuf itu sendiri, yaitu Tasawuf Akhlaki, Tasawuf Amali dan
Tasawuf Falsafi. Aksiologi (tujuan) ilmu tasawuf adalah tasawuf bertujuan untuk
memperoleh suatu hubungan langsung dari Tuhan, yang termanifestasi dalam jiwa
yang dermawan, hati yang tenang, dan pekerti yang baik.
Daftar Pustaka
Ahmad. “Epistemologi Ilmu-Ilmu Tasawuf” dalam Ilmu Ushuluddin Vol. 14, No. 1
Januari 2015.
Asmaran As, MA. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1996.
Muhyar Fanani, Pudarnya Posona Ilmu Agama. Yogjakarta: Pustaka Pelajar 2007.
Zuhri, Amat. “Tasawuf dalam sorotan Epistemologi dan Aksiologi” dalam RELIGIA
Vol. 19 No. 1, April 2016.