Anda di halaman 1dari 5

Tugas Mata Kuliah Tafsir Orientalis

Azkiya Khikmatiar (13530019)

1. Orientalis dan Al-Qur’an

Sekilas Tentang Kajian Orientalis


Pada tahun 1927, seorang pendeta Kristen asal Irak yang bernama Alphonse Mingana
sekaligus mantan guru besar di Universitas Birmingham, Inggris, mengumumkan bahwa
“sudah tiba saatnya untuk melalukan studi kritis terhadap teks Al-Qur’an sebagaimana yang
telah dilakukan pada kitab Yahudi berbahasa Ibrani-Arami dan kitab Kristen berbahasa
Yunani”.
Seruan tersebut karena kekecewaan sarjana Kristen dan Yahudi terhadap kitab suci
mereka. Bible yang ada di tangan mereka terbukti palsu. Terlalu banyak campur tangan
manusia, sehingga sukar untuk membedakan mana yang wahyu dan mana yang bukan.
Sebagaimana ditegaskan Kurt Aland dan Barbara Aland.
Saint Jerome juga mngeluh karena penulis bible bukan menyalin tapi menulis apa
yang dipikirkan sebagai maknanya. Sehingga yang terjadi justru banyak penambahan
kesalahan. Pada tahun 1720 Master of trinity College, R. Bentley, menyeru umat kristen agar
mangabaikan naskah perjanjian baru yang terbit pada tahun 1592 versi Paus Clement.
Sebelumnya, tahun 1834 di leipzig (Jerman), Gustav Flugel menerbitkan mushaf hasil
kajian folologinya dan dinamakan dengan Corani Textus Arabicus. Kemudian muncul
Theodor Noldeke yang ingin merekonstruksi sejarah Al-Qur’an dalam karyanya Geschichte
des Qorans (1860).
Kemudian pada tahun 1937 datang Arthur Jeffery yang berambisi membuat edisi
kritis Al-Qur’an, mengubah mushaf usmani dengan mushaf baru. Konon ingin merestorasi
teks Al-Qur’an berdasarkan kitab al-mashahif karya Ibn Abi Daud As-sijistani yang
ditenggarai merekam bacaan-bacaan dalam beberapa mushaf tandingan. Jeffrey berupaya
meneruskan usaha Gotthelf Bergstrasser dan Otto Pretzl, orientalis jerman yang
mengumpulkan foto naskah manuskrip Al-Qur’an dengan tujuan membuat edisi kritis. Namun
proyek tersebut gagal karena arsipnya di Munich hancur musnah tertimpa bom saat perang
dunia kedua.

Kekeliruan dan Khayalan Orientalis


Dalam khayalan mereka, teori elovusi juga berlaku untuk sejarah hadis. Mereka
berspekulasi bahwa hadis muncul beberapa ratus tahun setelah Nabi Saw wafat dan
mengalami tahap evolusi. Nama dalam sanad mereka anggap fiktif, isnad menurut mereka
baru muncul pada zaman daulah Abasiyah. Mereka beranggapan bahwa sedikit hadis yang
shahih sisanya kebanyakan palsu, demikian pendapat Goldziher, Margoliouth, Schacht, Cook
dan pengikutnya. Mereka menghendaki agar umat islam membuang tuntunan Nabi Saw
seperti Kristen yang meragukan dan akhirnya mencampakkan yesus.

Isu Keaslian Naskah Al-Qur’an


Ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi, yaitu :
1) Al-Qur’an pada dasarnya bukanlah tulisan melainkan bacaan dalam arti ucapan atau
sebutan. Orientalis semacam Jeffrey dan Puin menganggap Al-Qur’an sebagai
dokumen tertulis atau teks bukan sebagai hafalan yang dibaca. Dengan asusmi yang
keliru ini akibatnya mereka menganggap Al-Qur’an sebagai karya sejarah, sekedar
rekaman situasi dan refleksi budaya Arab abad ke 7 dan 8 Masehi. Mereka juga
mengatakan bahwa mushaf sekarang beda dengan aslinya.
2) Meskipun diterima dan diajarkan melalui hafalan, Al-Qur’an juga dicatat
menggunakan medium tulisan. Sampai wafatnya Rasululullah saw, hampir seluruhnya
milik pribadi para sahabat dan karena itu berbeda kualitas dan kuantitasnya satu sama
lain. Disitu Jeffrey lupa bahwa Al-qur’an tidak sama sejarahnya dengan bibl, Al-
Qur’an bukan lahir dari manuskrip melainkan manuskrip yang lahir dari Al-Qur’an.
3) Kesalahpahaman sarjana orientalis mengenai rasm dan qira’at. Pada saat itu kaum
muslimin belajar Al-Qur’an dengan cara menghafal bukan dari tulisan. Disinilah
Jeffrey, Puin dan Luxenberg keliru menyimpulkan bahwa teks gundul yang
menyebabkan berbagai macam bacaan.

Kasus Luxenberg dan bukunya


Cristoph Luxenberg adalah seorang warna negara Jerman asal Libanon, penganut
Kristen, memperoleh M.Adan Dr.Phil dalam bidang arabistik. Ia mengklaim bahwa Al-
Qur’an hanya dapat dimengerti apabila dibaca mengikuti konon bahasa asalnya, yaitu Syro-
aramaic. Dalam bukunya yang berjudul “Cara membaca Al-Qur’an dengan bahasa Syro-
aramaik: Sebuah sumbangsih upaya pemecahan kesukaran memahami bahasa Al-Qur’an”.
Luxberg mengklaim : (1) bahasa Al-Qur’an sebenarnya bukan bahasa Arab, karena itu banyak
ungkapan yang sukar dibaca dan dipahami kecuali dengan bahasa Syro-aramaic yang konon
merupakan bahasa saat itu. (2) bukan hanya kosakatanya saja yang berasal dari Syro-aramaic,
bahkan isi ajarannya pun diambil dari tradisi kitab suci Yahudi dan Kristen-Syria. (3)
Alqur’an yang ada tidak otentik dan perlu ditinjau dan diedit ulang.

Sanggahan dan Kritik atas Luxenberg


Pertama, ia menyangka bahwa Al-Qur’an dibaca berdasarkan tulisannya. Sehingga
boleh sesuka hati berspekulasi mengenai suatu bacaan. Kedua, ia menganggap tulisan adalah
segalanya dan manuskrip sebagai neraca dan kriteria, sehingga suatu bacaan harus mengikuti
teks. Ketiga, ia menyamakan Al-Qur’an dengan Bible.
Prof. Hans Daiber dalam riviewnya atas buku Luxenberg mengemukakan beberapa
point, yaitu :
a) Semua pakar filolog yang mengkaji manuskrip arab maklum bahwa seringkali
perkataan yang ditulis gundul dapat dibaca macam-macam tergantung konteksnya.
Sedangkan Luxenberg yang dikorek-korek bukan manuskrip gundul melainkan kitab
suci Al-Qur’an yang sudah ditentukan dan disepakati bacaannya.
b) Luxenberg telah keliru dalam berasumsi mengenai mufasir tidak dapat memahami
kata-kata tertentu atau tidak dapat menjelaskan maksud ayat tertentu bukan karena Al-
Qur’an berbahasa Syriak. Bisa jadi kosakata dalam Alqur’an asli bahasa arab akan
tetapi belakangan mengalami pergeseran makna sehingga mufassir kesukaran
menjelaskan maknanya.
c) Andai kata sejumlah kosakata tersebut berasal dari bahasa syriak, bukan tidak
mungkin kata-kata asing tersebut telah di islamkan telah ditukar atau diisi dengan
makna baru.
d) Untuk mendukung analisis dan hujah-hujahnya, mestinya Luxenbergmerujuk pada
kamus bahasa syriak atau aramaik yang ditulis pada abad ke-7atau ke-8 bukan kamus
bahasa Chaldean abad ke-20 karangan Jaques E.Manna keluaran tahun 1900!
e) Boleh jadi kosa kata Al-Qur’an memang bahasa arab asli, tidak seperti yang didakwa
Luxenberg. Kalau saja ada kemiripan mungkin itu hanya kebetulan saja.

2. Dialog Mengenai Orientalis dan Al-Qur’an

Proyek Misi Kristen dan Orientalis


Ketika Nurkholis Majid meluncurkan gagasan sekularisme pada bulan januari 1970,
mungkin belum terlintas dalam pikiran kaum muslimin di Indonesia bahwa sekularisasi dan
liberalisasi Islam juga akan menyentuh hal-hal yang sangat mendasar, yaitu seputar
autentisitas Al-Qur’an atau Mushaf Utsmani.
Di indonesia upaya meragukan Al-Qur’an telah dilakukan oleh missionaris kristen
seperti pendeta Suradi dari kelompok Nehemia. Ia menyatakan bahwa Al-Qur’an bukanlah
wahyu Allah. Ironisnya upaya meragukan autentisitas Al-Qur’an juga muncul di aktivis
jaringan islam liberal.
Orientalis kontemporer seperti Andrew Rippin mengakui bahwa Abraham Geiger
yang pertama kali menggunakan aspirasi modern dalam memahami Al-Qur’an. geiger
menulis karyanya dalam bahasa latin dan dipublikasikan pada tahun 1833. Dalam karyanya
Geiger berpndapat bahwa kata-kata dalam Al-Qur’an seperti tabut, taubat, jannatu ‘adn,
jahannam, ahbar, darasa, rabani, sabt, taghut, furqan, ma’un, masani dan malakut berasal
dari bahasa Ibrani. Ia juga mengatakan bahwa Al-Qur’an terpengaruh dengan agama yahudi
ketika mngemukakan hal berikut : Pertama, hal yang menyangkut keimanan dan doktrin;
Kedua, peraturan-peraturan hukum dan moral; Ketiga, pandangan tentang kehidupan.
Bukan hanya itu, cerita-cerita dalam Al-Qur’an juga tidak terlepas pengaruh yahudi.
Geiger juga membahas ayat yang mengecam yahudi dan menurutnya kecaman itu karena
Muhammad saw telah menyimpang dan salah mengerti doktrin agama yahudi.
Pemikiran Geiger dikembangkan oleh Theodor Noldeke yang menulis monograf
dalam bahasa latin tentang asal mula penyusunan Al-Qur’an pada tahun 1856. Kemudian pada
tahun 1857 ada kompetisi penulisan sejarah kritis tekstualis Al-Qur’an dan Theodor Noldeke
menyerahkan tulisannya kepada penganjur kompetisi. Hasilnya Theodor Noldeke
memenangkan kompetisi tersebut dan karyanya yang telah direvisi diterbitkan di Gottingen
pada tahun 1860 dengan judul Geschichte des Qorans.
Pada tahun 1898, penerbit buku mengusulkan edisi kedua. Namun, Theodor Noldeke
tidak sanggup akhirnya dipercayakan kepada muridnya yaitu Friedrich Schwally, yang
mengedit dan merevisi buku tersebut menjadi dua edisi. Edisi pertama berisi asal mula Al-
Qur’an diselesaikan pada tahun 1909. Edisi kedua berisi penyusunan Al-Qur’an diselesaikan
pada tahun 1919. Ketika sedang dicetak Schwally meninggal dunia bulan Februari 1919. Ia
juga telah merintis edisi ketiga tentang sejarah teks paling tidak ia sudah menulis kata
pengantar untuk edisi ketiga.
Proyek edisi ketiga kemudian dilanjutkan oleh Gotthelf Bergtasser di Konigsberg.
Dua bagian dari edisi ketiga ini telah diterbitkan tahun 1926 dan 1929. Tanpa di duga pada
tahun 1933 Bergtasser meninggal dunia. Dilanjutkan lagi oleh Otto Pretzl yang
menyempurnakanya pada tahun 1938. Jadi karya Geschichte des Qorans adalah karya yang
ditulis oleh beberapa orientalis terkemuka di Jerman dan dikerjakan selama 68 tahun sejak
edisi pertama dan selama 40 tahun sejak diusulkan edisi kedua. Hasilnya menjadi karya
standar dalam masalah sejarah kritis penyusunan Al-Qur’an bagi para orientalis.

3. Khamer di dalam Al-Qur’an

Kata khamer mungkin merupakan kata serapan dari bahasa Azam. Dalam bahasa
yahudi yain, dalam bahasa arabnya wain artinya anggur hitam. Pada masa Nabi Muhammad
orang Makkah dan Madinah dalam berbagai kesempatan biasa meminum khamer, sehingga
sering menjadi penyebab terjadinya kejahatan dan diikuti kejahatan berikutnya yaitu
perjudian. Oleh karenanya Nabi Muhammad melarang khamer.
Pengharaman khamer bukan agenda Nabi pada mulanya bahkan pada QS: 16 ayat 67
disebutkan bahwa menjadi suatu kemurahan Allah pada manusia. Akan tetapi dampak
memabukkan dari khamerlah yang menjadikan haram dan terlarang. Wahyu pertama yg
menjelaskan ini adalah QS: 2 ayat 216. Akan tetapi wahyu ini tidak dianggap sebagai
larangan dan orang-orang tidak merubah kebiasaan mereka, maka wahyu kedua diturunkan
yaitu QS: 4 ayat 46 tapi wahyu ini juga tidak dianggap larangan umum dalam masalah
khamer, hingga turunlah wahyu QS: 5 ayat 92 yang akhirnya menjadi larangan untuk
meminumnya.
Larangan dalam Al-Qur’an diambil kesimpulan oleh ahli fiqih semua madzhab baik
sunni maupun syiah bahwa minum khamer dan memperdagangkannya adalah dilarang. Dalam
hadis disebutkan bahwa khamer adalah kunci semua kejahatan (Ibnu Majjah, Ahmad bin
Hanbal). Meminum khamer didunia tanpa penyesalan maka tidak akan minum khamer di
akhirat (Bukhori, Muslim). Akan dilaknat yang meminum, membeli, menjual dan memaksa
orang minum khamer (Abu daud, Ibnu Majjah, Ahmad bin Hanbal). Dan hadis lainnya.
Ada permasalahan mengenai minuman-minuman yang difragmentasi bagaimanakah
hukumnya? Pada sebagian hadis ada yang mengharamkannya dan juga dilarang. Ada juga
beberapa hadis yang menybutkan bahwa istri-istri Nabi menyuguhkan minuman nabidh dan
diminum oleh beliau dan beliau meminumnya tidak lebih dari tiga hari. Akan tetapi hal ini
tidak mempengaruhi para ahli fiqih untuk membolehkannya. Tiga madzhab bersepakat dan
juga syi’ah bahwa nabidh itu haram. Sedangkan hanafi membolehkan dengan batas untuk
pengobatan dan lainnya (bukan untuk mabuk).
Sesuai dengan ijma’ yang diperbolehkan adalah semua minuman yang tidak
difregmentasikan dan juga minuman yang baik. Sedangkan yang diharamkan menurut ijma’
adalah anggur (wine dan khamer) dari berbagai jenis. Sebagaimana khamer ada 6 jenis
perkara dalam minuman ini; meminumnya dan menggunakannya untuk hal lain adalah haram;
menolak hal ini adalah kufr; menjual, membeli, memberi, dsb adalah haram; tidak ada
pertanggung jawaban bagi yang merusak dan memusnahkan khamer; apakah khamer itu
masih milik masih dipertanyakan; khamer adalah najis seprti air kencing dan darah; siapa
yang meminumnya sedikitpu akan dikenakan hukuman.
Hukuman bagi orang yang minum khamer, hadis menjelaskan bahwa Muhammad dan
Abu Bakar menghukumnya dengan 40 cambukan dengan dahan pohon atau sandal. Orang
yang menuduh muhshanat berzina tanpa membuktikan dengan 4 saksi maka dihukum 80
cambukan. Madhzab lain mengadopsi pandangan Umar, meminum khamer dihukum 80 kali
cambukan jika budak maka dikurangai 40 cambukan, tapi syafi’iyah cenderung kepada
praktik yang dilakukan Nabi dan Abu bakar yaitu 40-20 kali.

4. Orang yang Dhaif dan Mustad’af


5. Taqwa dalam Al-Qur’an
6. Kosa kata Taubat dalam Al-Qur’an

Anda mungkin juga menyukai