Anda di halaman 1dari 27

Kritik Teologis Teologi Pembebasan Asghar Ali Engineer

Ma’mun Afani

1. Pendahuluan

Paham Teologi Pembebasan telah menyebar ke beberapa agama. Miguel A. De


La Torre menjelaskan bahwa Teologi Pembebasan tidak hanya ada dalam agama Kristen
katolik, dalam pembahasannya ia menyebut setidaknya ada lebih dari tujuh agama.1
Dalam agama Yahudi kemunculannya tidak disebabkan karena tekanan kemiskinan,
namun lebih kepada pembebasan dari penindasan yang dilakukan kepada bangsa Yahudi
secara umum (holocaust).2 Meskipun demikian kemunculan paham ini di beberapa
agama memiliki kesamaan sebab, yaitu karena pemeluknya ingin bebas dari sebuah
sistem yang mengekang.
Kemunculan Teologi Pembebasan juga terjadi dalam agama Islam. Salah satu
yang memunculkan istilah Teologi Pembebasan dalam agama Islam ialah Asghar Ali
Engineer.3 Menurutnya Islam memiliki unsur pembebasan dari awal kedatangannya.
Nabi Muhammad, menurut Asghar, saat itu membebaskan bangsa arab dari sebuah
hirarki masyarakat arab yang mendriskiminasikan antara satu dengan yang lain,
peperangan antar suku, dan penindasan. oleh sebab itu unsur pembebasan sudah melekat
dalam ajaran agama Islam. Meskipun terminologi ini bersumber dari agama lain, namun
ia bersifat universal. Alasannya, ia merupakan satu bagian dari sebuah gerakan
keagamaan.4 Padahal jika ditelusuri lebih jauh, hal ini akan menimbulkan banyak
kerancuan.
Teologi Pembebasan memiliki satu karakter khusus yang problematis, yaitu
kontekstualisasi agama dengan realitas sosial.5 Dalam dua tahap awal Teologi
Pembebasan, yaitu pembacaan kondisi sosial, kemudian menafsirkan ulang ajaran agama
agar mampu beradaptasi sehingga menjadi relevan memiliki implikasi merubah
kedudukan kebenaran agama menjadi nomor dua setelah mengadaptasikannya dengan
kondisi sosial, oleh sebab itu Marian Hillar menyebut Teologi Pembebasan dengan
“Religious response to social problems”. Sehingga ajaran agama menjadi nomor dua,
yang dipentingkan justru bagaimana ia merespons keadaan sosial, yang pada akhirnya
kebenaran agama menjadi kontekstual. Oleh sebab itu akan terambil satu kesimpulan
bahwa Teologi Pembebasan selalu identik dengan keadaan sosial. Karakter ini tampak di
semua agama yang memunculkan Teologi Pembebasan.6
Dengan dasar inilah tulisan ini akan mengkaji dua pokok bahasan: Pertama,
pemakaian istilah Teologi Pembebasan yang digunakan oleh Asghar Ali Engineer.
Kedua, Pandangan Asghar Ali Engineer terhadap Al Qur’an dan Hadist yang
berimplikasi pada dasar Teologi Pembebasan dalam Islam.

1
Lihat The Hope Of Liberation In World Religions. Miguel memetakan beberapa agama, di antarana
Katolik, Protestan, Yahudi, Hindu, Budha, Islam, Konfutse, dll
2
Miguel A. De La Torre, The Hope Of Liberation in World Religions, (USA: Baylor University Press,
2008), hal 77
3
Ibid. hal 95
4
Ibid. hal 93
5
Lihat Marian Hillar Liberation Theology, (Houston: American Humanist Assosiation, 1993) hal. 35-52
6
Lihat The Hope Of Liberation in World Religions.

1
2. Asal Muasal Teologi Pembebasan

Kemunculan awal Teologi Pembebasan di tahun tertentu, 1960an, dan di tempat


tertentu pula, wilayah Amerika Latin, menimbulkan pertanyaan tentang sebab
kemunculannya. Salah satu yang menonjol adalah adanya faktor penentu sosial yang
terjadi saat itu. Pada tahun kemunculannya, babak baru perubahan sosial terjadi di
Amerika Latin. Sejak tahun 1950an industrialisasi seolah mewabah di wilayah tersebut,
namun salah satu akibatnya justru pembangunan keterbelakangan yang memperbesar
ketergantungan, memperlebar pertentangan-pertentangan sosial, mendorong laju
pertumbuhan kota dan mengecilkan desa, dan yang paling penting terciptanya banyak
kaum yang terpinggirkan.7 Singkatnya banyaknya kaum miskin saat itu memperparah
jurang perbedaan antara kaum mapan dengan yang terbuang sehingga menjadikan
keinginan untuk bisa terbebas dari berbagai kekangan penindasan sosial, ekonomi, dan
politik muncul ke permukaan.
Meskipun demikian ada beberapa faktor internal dari gereja katolik sendiri yang
tidak kalah penting.8 Pertama, Saat itu aliran-aliran teologi kristen baru,9 khususnya di
jerman, sejak perang dunia kedua mulai berkembang, juga keterbukaan untuk mengkaji
filsafat dan ilmu-ilmu sosial modern, yang kemudian dilanjutkan dengan pengabsahan
Paus Johannes xxiii (terutama konsili vatikan II) tentang pandangan-pandangan baru
tersebut sehingga pada akhirnya menjadi awal dimulainya babak baru dalam sejarah
gereja. Kedua, protes para biarawan/wati yang utopis terhadap lembaga mapan gereja
yang menikmati suatu derajat status quo dan otonomi tertentu dalam tubuh gereja.
Ketiga, beberapa ordo (tarekat) seperti yesuit10 terlibat suatu dialog dan pertukaran
informasi dengan masyarakat akademis yang secara mendasar diwarnai oleh tema-tema
pemikiran Marxis yang secara kebetulan pejuang praktek-praktek dan teori Teologi
Pembebasan.11 Kesatuan antara faktor internal, Gereja Katolik, dan eksternal, keadaan
sosial masyarakat, yang menurut mereka telah menciptakan satu teologi baru dengan
semangat khas ide-ide Karl Marx tentang pembebasan masyarakat dari struktur kelas
yang dinamakan Liberation Theology. Oleh sebab itu pengaruh pemikiran Marxisme
dalam dasar-dasar pemikiran Teologi Pembebasan tidak bisa dinafikan.
Namun demikian, ada faktor penting yang mengindikasikan bahwa Teologi
Pembebasan muncul dari dalam gereja katolik sendiri. ketika itu persaingan pengaruh

7
Michael Lowy, Teologi Pembebasan, pent: Roem Topatimasang (Jojakarta: Insist Press bekerjasama
dengan Pustaka Pelajar, cet 3 2003) hal. 40
8
Ibid. 39-41
9
Salah satunya adalah Teologi milik Bultman yang dikenal dengan “Demythologizing”. Menurutnya,
manusia modern menemukan kesulitan untuk mengerti pemberitaan Perjanjian Baru. Perjanjian Baru
mempunyai pandangan dunia yang sama sekali berbeda dengan pandangan modern tentang dunia. Manusia
modern tidak dapat menerima realitas yang dibagi atas tiga bagian: alam atas (surga), alam tengah (bumi
tempat manusia dan tempat pertemuan kekuasaan ilahi dan demonis), dan alam bawah (neraka). Manusia
modern tidak percaya kepada roh-roh dan kuasa-kuasa yang adikodrati lagi.
Agar manusia modern dapat mendengarkan berita Perjanjian Baru, maka tugas teologi adalah menjelaskan
apa yang sebenarnya menjadi titik pokok berita Alkitab. Yang diusahakan oleh teologi yaitu mencari cara
menafsirkan berita Perjanjian Baru sehingga manusia modern dapat menerimanya. Dengan kata lain, tugas
teologi adalah hermeneutika dengan maksud menjadikan Bible kembali diterima oleh masyarakat modern.
http://biokristi.sabda.org/mengenal_karya_karya_rudolf_karl_bultmann
10
Sebuah serikat yang didirikan pada 1534 oleh sekelompok mahasiswa pascasarjana dari Universitas
Paris. Mereka bersumpah untuk melanjutkan persahabatan mereke selesai studi, dan hidup dalam
kemiskinan sesuai injil. Mereka menyebut diri sebagai amigos en el Señor (sahabat-sahabat di dalam
Tuhan).
11
Opcit, Michael Lowy, Teologi Pembebasan, hal. 47

2
agama karena kemunculan pesaing lain (gereja protestan dan berbagai aliran keagamaan
lain) menjadikan pihak gereja kehilangan pengaruhnya terhadap masyarakat. Oleh sebab
itu pihak gereja dengan para teolognya mencoba menggagas sebuah formula baru untuk
mempertahankan pengaruh tersebut.12 Bahkan beberapa teolog Amerika menyusun
agenda untuk konsili vatikan II, salah satu yang ditekankan adalah “the document on the
church in the modern world should deal with the issue of development”.13 Sehingga
Teologi Pembebasan memiliki beberapa keterkaitan dengan ajaran agama Kristen dalam
sebuah formula baru.

3. Problem Terminologi Teologi Pembebasan

Untuk memahami Teologi Pembebasan yang pertama-tama harus dijelaskan


adalah arti dari kata tersebut. Teologi Pembebasan merupakan kata majemuk yang terdiri
dari teologi dan pembebasan. Namun dari dua kata yang membentuknya kata Teologi
akan menjadi bahasan utama karena memiliki beragam pemahaman. Secara etimologis
kata teologi memiliki akar dari bahasa yunani Theologia yang tersusun dari Theos yang
berarti Tuhan, dan Logos yang memiliki arti pengetahuan.14 Secara terminologis jika
merujuk ke dalam kamus tidak akan ada banyak perbedaan. Teologi diartikan sebagai
“The study of religion culminating in a synthesis or philosophy of religion, especially of
the Christian religion” atau “A body of doctrines concerning God, including his
attributes and relation with man”.15 Secara singkat teologi memiliki arti “The Study of
religion and beliefs” atau “A set of religious beliefs”.16 Dalam kamus filsafat Teologi
diartikan dengan kumpulan usaha mana saja yang disusun secara koheren menyangkut
hakikat Allah dan hubungan Nya dengan umat manusia dan alam semesta. Teologi juga
berarti sebuah usaha sistematis untuk meyakinkan, menafsirkan, dan membenarkan
secara konsisten dan berarti, keyakinan akan para dewa dan/atau Allah. 17 Oleh sebab itu
kata teologi sering digabungkan dengan berbagai agama, seperti Teologi Islam yang
berarti sebuah ilmu yang berkaitan dengan ketuhanan Islam (Allah).
Namun saat terminologi Teologi didefinisikan oleh para “Teolog” Teologi
Pembebasan, arti dari kata ini memiliki perubahan. Bagi Miguez Bonino Teologi tidak
lagi memiliki penekanan pada arti usaha untuk memahami hakikat ketuhanan, namun
lebih kepada sebuah usaha mengejewantahkan kepercayaan dalam perbuatan sebagai
wujud kesadaran akan kepatuhan, praxis.18 Selaras dengan ini, tokoh Teologi
Pembebasan yang lain, Guiterrez mendefinisikan Teologi dengan “Theology is a critical
reflection on Christian praxis in light of the word of god.” 19 Artinya Teologi cenderung
diartikan sebagai sebuah refleksi kritis terhadap praktek keagamaan. Sehingga teologi
bukan lagi berarti sebuah terminologi dengan arti singkat mempelajari hakikat ketuhanan,
namun lebih kepada sebuah refleksi akan apa yang terjadi di lapangan berkaitan dengan
ajaran keagamaan.

12
Ibid, hal. 36-37
13
Philip Berryman, Liberation Theology (USA: Temple University Press, 1987) hal. 16-17
14
The New International Webster’s comprehensive dictionary of the English language (USA: Trident Press
International, deluxe encyclopedic Edition, 1996) hal. 1302
15
Ibid.
16
A S Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary (UK: Oxford University Press, sixth edition, 2000)
hal. 1400
17
Lorens Bagus, kamus filsafat (Jakarta: Gramedia pustaka Utama, cet IV 2005) hal. 1090
18
Stanley J. Grenz, Roger E olson, Twentieth-century theology: god and the world in a transitional age
(USA: inter varsity press, 1992) hal. 211
19
ibid

3
Perubahan ini memiliki kemiripan dengan apa yang Karl Marx ucapkan.
Menurutnya “Theology has stop explaining the word and to start transforming it”.20
Istilah yang sering digunakan adalah bergesernya Orthodoxy21 ke arah Orthopraxis22
yang mengindikasikan pergeseran dari pembelajaran ke arah praktek. Pergeseran ini
mengartikan bahwa teori atau sebuah ajaran menjadi nomor dua, yang lebih dipentingkan
bagaimana ajaran tersebut terjadi dalam praktek keseharian. Secara tidak langsung, hal
ini menjadikan sebuah ajaran beradaptasi terhadap di mana ajaran tersebut diaplikasikan.
Kesimpulan ini mirip seperti apa yang ditulis oleh John Macquarrie dalam Principles of
Cristian Theology “…theology is both continuous with and yet distinct from faith… not
just faith in general but the faith of an historic community”.23
Penggunaan istilah Teologi oleh para teolog Kristen, khususnya di Amerika
sebagai awal perkembangan Teologi Pembebasan, juga tidak tetap dan memiliki
perkembangan. Hal ini dikarenakan ide-ide berkaitan tentang Teologi memiliki
perkembangan dan perubahan saat berhadapan dengan keadaan sosial, bahkan ekonomi
yang ada di sekelilingnya.24 Maka tidak heran jika terminologi ini dipahami berbeda
antara yang satu dengan lainnya. Di abad 17 Teologi diartikan sebagai as entirely
practical, namun saat memasuki abad 19 terminologi ini diartikan dengan eminently
practical.25 Pergeseran arti ini memunculkan kerancuan tentang apa sebenarnya yang
dimaksud dengan Teologi itu sendiri meskipun dalam artinya ada tetap satu kesamaan,
praxis.
Ketidakjelasan ini seperti yang ditulis oleh Mark Driscoll dalam On Who is God:

Theology literally means the “study of God,” and to follow the path of truth to
God we must first determine which path that is. The difficulty is that varying religions
and philosophies have divergent proposed understandings of what the truth is about
God26

Terjemahan bebasnya adalah Teologi secara harfiah diartikan dengan “studi


tentang Tuhan”, dan untuk mengikuti jalan kebenaran menuju Tuhan, maka langkah
pertama yang harus dilakukan adalah menentukan jalan kebenaran tersebut. Masalahnya,
berbagai agama dan filsafat memiliki pemahaman beragam tentang jalan kebenaran.
Artinya, kebenaran yang hakiki masih diperdebatkan, yang mana? Dari mana? Dari
siapa? Sehingga istilah teologi memiliki keragaman sampai pada akhirnya menimbulkan
kebingungan.
Hal ini menjadikan pengertian Teologi Pembebasan sulit untuk diartikan secara
benar. Dalam beberapa literatur, pengertian Teologi Pembebasan tidak pernah dipecah
dari dua kata yang membentuknya, selalu menjadi kesatuan. Maka istilah Teologi
Pembebasan cenderung bermasalah karena terminologi Theologi itu sendiri. Hal ini
senada dengan apa yang ditulis oleh Ivan Petrella dalam The Future of Liberation
Theology yang menyatakan This is dilemma for liberation theology because its original

20
ibid
21
Berasal dari bahasa yunani Ortho: straight – docta: learning
22
Berasal dari bahasa yunani Ortho: straight – praxis: action
23
John Macquarrie, Principles of Cristian Theology (London: SCM press Revised Edition 1977) hal. 1
24
E. Brooks Holifield, Theology in America (London: Yale University Press, 2003) hal. viii-ix
25
ibid.
26
Mark Driscoll, On who is God? (USA: Crossway Books, 2008) Hal. 22

4
challenge was precisely to raise the question of what theology really is, and how one
should pursue it.27
Dalam islam terminologi Theology diartikan dengan Ushuluddin. Disebut dengan
Ushuluddin karena pokok pembahasannya adalah basis dari agama, yang meliputi iman
kepada Allah dan keesaannya, sifat-sifat, perbuatan, iman terhadap wahyu dan
pengiriman Rasul, iman terhadap hari kebangkitan dan pembalasan di akhirat.28 Namun
tidak berarti Ushuluddin melepas unsur-unsur Islam yang bersifat praxis. Faktanya,
Ushuluddin memiliki cakupan yang luas luas, Isma’il Raji Al Faruqi dalam Al Tawhid
tidak sekedar membahas sekedar pokok-pokok landasan agama, tapi juga membahas
bagaimana implikasinya dalam ranah pemikiran dan kehidupan nyata, sehingga ekonomi,
sosial, dan politik juga tidak lepas dari pembahasan.29 Al Baghdadi dalam Ushuluddin
bahkan membahas tentang derajat wanita.30 Muhammad bin Ibrahim al Twaijri dalam
Ushuluddin al Islami tidak melepaskan pembahasan tentang infaq, unsur kebahagiaan,
dan perempuan disamping pembahasan tentang pokok agama itu sendiri.31 Artinya
pembahasan terhadap unsur praxis agama tidak bisa melepaskan apa yang menjadi
basisnya, sehingga apa yang dimaksud dengan terminologi Teologi dalam konsep
Teologi Pembebasan tidak sejalan dengan apa yang ada dalam Islam. Oleh sebab itu apa
yang ada dalam Teologi Pembebasan tidak sesuai dengan konsepsi Islam.

4. Konsep Teologi Pembebasan

Sebagai konsekwensi dalam memahami Teologi Pembebasan, maka perlu


dijelaskan terlebih dahulu definisi dari Teologi Pembebasan itu sendiri. Stanley J. Grenz
menjelaskan bahwa istilah ini merujuk kepada sebuah pencarian dari hakikat ajaran
Kristen dalam Injil tentang bagaimana mengaktualisasikan ajaran tersebut dalam
tindakan.32 Definisi ini secara tidak langsung mengantarkan kepada dasar dari elemen
Teologi Pembebasan. Namun bila merujuk kepada tokohnya, Gustavo Gutierrez, maka
akan terjadi pengembangan wilayah teologi itu sendiri. Menurutnya Teologi Pembebasan
adalah sebuah refleksi pengalaman dan arti iman berdasarkan komitmen untuk
menghapuskan ketidakadilan dan untuk membangun sebuah masyarakat baru dengan
aktif berpartisipasi dalam perjuangan bersama kelas-kelas sosial yang telah diekspolitasi
(yang ditindas) untuk melawan para penindasnya. 33 Oleh sebab itu bisa dikatakan
cakupan Teologi Pembebasan lebih kepada gerakan sosial pembebasan dari penindasan
yang terstruktur. Sedangkan inti dari Teologi Pembebasan terkandung dalam pemaparan
Miguel A. De La Tore yang menjelaskan bahwa inti dari Teologi Pembebasan adalah

27
Ivan Petrella, The future of liberation theology: an argument and manifesto (USA: Ashgate Publishing,
2004) Hal. 24
28
Dr. Amal Fathullah, MA, ilm kalam (ponorogo: Darussalam, 2004) hal. 3
29
Lihat Isma’il Raji al Faruqi dalam Al Tawhid: Its Implications for Thought and Life (USA: International
Institute of Islamic Thought, 1992)
30
Lihat Muhammad At Tamimi al Baghdadi dalam Ushuluddin (Beirut: Darul Kutub, 2002).
31
Lihat Muhammad bin Ibrahim al Twaijri dalam Ushuluddin al Islami (Riyad: Darul ‘Ashimah, 1414 H).
32
Stanley j. grenz, Roger E. olson, 20th century theology: god & the world in a transitional age, (USA:
InterVarsity Press, 1992) Hal. 211
33
The theology of liberation attempts to reflect on the experience and meaning of the faith based on the
commitment to abolish injustice and to build a new society; this theology must be verified by the practice of
that commitment, by active, effective participation in the struggle which the exploited social classes have
undertaken against their oppressors. Liberation from every from of exploitation, the possibility of a more
human and dignified life, the creation of a new humankind- all pass through this struggle Dikutip oleh
Hamid Dabashi dalam Islamic Liberation Theology (USA: Routledge, 2008) hal. 254

5
…the search for and revival of the liberative principles that place human beings at the
center of religious discourse, and the struggle associated with these… 34 yang berarti
tujuan utama dari Teologi Pembebasan tidak lain adalah mencari sebuah kebebasan.
Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa Teologi Pembebasan adalah sebuah gerakan
yang muncul sebagai sebuah protes terhadap penindasan dengan didasari ajaran
keagamaan bertujuan untuk mencari sebuah kebebasan.
Teologi Pembebasan yang dimunculkan oleh para teolognya menekankan pada
nilai pembebasan yang bersumber dari dua ajaran Kristen itu sendiri. Pertama, konsep
salvation35 yang berarti pembebasan sudah dicontohkan sedari awal kemunculan ajaran
agama Kristen.36 Kedua, ajaran yang terdapat dalam al kitab yang menyebut “Yesus ada
di pihak orang miskin dan menentang pemerasan oleh orang kaya” (Lukas 16: 19-31)
dan ”Orang-orang Kristen pertama membebaskan diri mereka dari ketidaksamaan
kesejahteraan yang ada (kis. 2: 32).37 Oleh sebab itu Teologi Pembebasan sangat identik
dengan ajaran Kristen dan kata The Oppressed menjadi kata yang paling berpengaruh
dalam Teologi Pembebasan.
Dalam konsep Teologi Pembebasan pengertian yang tertindas memiliki definisi
sendiri. Jika merujuk kepada awal kemunculannya di Amerika Latin, maka yang
dimaksud yang tertindas tidak lain adalah rakyat miskin.38 Namun faktanya kemuculan
Teologi Pembebasan di berbagai tempat, tidak mengerucut hanya kepada usaha
pembebasan rakyat miskin. David Turner menegaskan bahwa yang dimaksud dengan
yang tertindas adalah catch-all term indicating “any” practice, belief, sistem, etc., that
burdens, causes harm, de-humanizez, or restrict people fram the obtaining basic needs of
life.39 Artinya, Teologi Pembebasan akan muncul setiap ada unsur penindasan dalam
berbagai hal. Oleh sebab itu jika Teologi Pembebasan selalu berangkat dari adanya
penindasan, maka awal dari Teologi Pembebasan itu sendiri adalah pembacaan kondisi
sosial yang ada di sekelilingnya.
Meskipun demikian, cara pembacaan kondisi sosial dalam Teologi Pembebasan
justru menimbulkan implikasi khusus. Teologi Pembebasan secara tidak langsung tidak
menjadi pembentuk sebuah masyarakat, atau susunan kehidupan, namun sebagai sebuah
respon dari kondisi tersebut. Hal ini juga berakibat kepada doktrin dalam Teologi
Pembebasan yang selalu terbentuk dari sudut pandang penindasan. Sehingga bentuk
Teologi Pembebasan tidak akan terlepas dari keadaan sosio cultural di sekelilingnya yang
mengartikan keberadaannya di setiap tempat tidak sama. Boff bersaudara juga tidak bisa
mengelak dari pendapat ini, ia menyebutkan bahwa liberation theology has to begin by

34
Opcit, Miguel A. De La Torre, The Hope of Liberation in World Religions, hal. 93
35
Paradigma pembebasan adalah penegasan dari paradigma penyelamatan. Intinya adalah bahwa manusia
diciptakan dengan citra Allah yang kudus, artinya bebas dari segala bentuk dosa, namun karena
kesombongan dan keserakahannya ia kehilangan kebebasannya, terkungkung dalam penjara dosa dan
kegelapan. Karena kemurahan Alah maka diutuslah Yesus dari Nazareth yang berasal ari Ruh Allah yang
bekerja sama dengan Daging Maria yang tidak ternoda Dosa mewartakan kebenaran dan keadilan bagi
semua orang, ia tidak disukai oleh para penguasa politik dan adapt agama. Ia pun dihukum mati, namun
dibangkitkan oleh Allah. Oleh karena itu, ia disebut kristus yang diurapi untuk menjadi panutan dan
jembatan putihnya kebebasan anak-anak bangsa pilihan Allah.
36
J. David Turner, An Introduction to Liberation Theology (USA: University Press of America, 1994) hal.
4
37
W.R.F. Browning, Kamus Al Kitab, diterj Dr. Liem Khiem Yang et. Al (Jakarta: PT BPK Gunung Agung
Mulia, 2008) hal. 444
38
Marian Hillar, dalam Liberation Theology, Anthology of essays menyebut salah satu definisi bahwa
Teologi Pembebasan adalah suatu kritik akan aktivitas gereja dari sudut pandang kaum miskin.
39
Opcit, J. David Turner, An Introduction to Liberation Theology, hal. 2

6
informing itself about the actual conditions in which the oppressed live. 40 Hal inilah salah
satu yang menimbulkan kerancuan karena tidak menutup kemungkinan bentuk Teologi
Pembebasan di satu tempat dengan yang lain sangat berbeda, boleh dikatakan
relevansinya hanya berdasarkan pada tempat kemunculan.
Yang patut menjadi perhatian utama dalam konsep Teologi Pembebasan adalah
salah satu karakternya. Yaitu menggeser agama dari yang bersifat Ortodox beralih
kepada Ortopraxis. Dari sebuah ajaran ke arah perwujudan. Dan adanya Teologi
Pembebasan adalah sebuah praxis yang berusaha untuk berada di pihak rakyat miskin
sehingga melihat sebuah dunia dari sudut mata kemiskinan.41 Oleh sebab itu ajaran
agama seolah menjadi the second religion sedangkan praxis menjadi the first religion.

5. Pengaruh Marxisme Dalam Teologi Pembebasan

Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa terdapat indikasi masuknya pengaruh


Marxisme dalam kemunculan Teologi Pembebasan. Salah satunya adalah adanya
beberapa ordo42 (tarekat) seperti yesuit terlibat suatu dialog dan pertukaran informasi
dengan masyarakat akademis yang secara mendasar diwarnai oleh tema-tema pemikiran
Marxis (baca asal-muasal kemunculan Teologi Pembebasan). Beberapa ordo ini secara
kebetulan pejuang praktek-praktek dan pemikiran Teologi Pembebasan.43 Oleh sebab itu
pengaruh pemikiran Marxisme dalam dasar-dasar pemikiran Teologi Pembebasan tidak
bisa dinafikan.
Hal ini dikarenakan Teologi Pembebasan tidak memiliki metode khusus dalam
membaca situasi sosial, disinilah metodologi Marxist berperan. Teori struktur kelasnya
Marx digunakan untuk mengidentifikasi kelas yang tertindas, yang secara otomatis akan
menciptakan sebuah hirarki masyarakat. Kaum buruh dianalogikan sebagai yang
tertindas, sedangkan borjuis dianalogikan sebagai yang menindas. Struktur inilah yang
dalam konsep Teologi Pembebasan disebut dengan The Notorious Crime of a whole
society.44 Jika ada sebuah masyarakat terbentuk dari yang miskin dan yang kaya, maka
hal ini dianggap sebagai dosa bersama.
Namun argument adanya pengaruh pemikiran Karl Marx dalam doktrin Teologi
Pembebasan tidak diterima begitu saja. Para Teolog berargument bahwa penggunaan ide
Marx hanya terbatas pada dua hal, pertama, dipandang sebagai alat untuk membaca
realitas sosial (Gutierrez), kedua, sebagai sebuah program yang menghadirkan sistem
sosial yang lebih adil.45 Bagi para Teolog Teologi Pembebasan, penggunan ide Karl
Marx sebagai salah satu instrument tidak berarti sebagai sebuah kesatuan worldview dari
Teologi Pembebasan itu sendiri.46 Meskipun demikian, pembelaan tersebut justru
mempertegas adanya ide-ide Marx dalam tubuh Teologi Pembebasan untuk membaca
sebuah realitas sosial. Sehingga masyarakat lebih ditegaskan lagi sebagai kelas bawahan

40
Christian Smith, The Emergence of Liberation Theology (Chicago: The University of Chicago Press,
1991) hal. 241
41
J. David Turner, An Introduction to Liberation Theology. hal. 4
42
Selain Yesuit terdapat pula Dominikan. Dikenal juga dengan Ordo Penyiar Injil adalah ordo keagamaan
katolik roma. Salah satu karakternya adalah jubah yang mereka pakai selalu putih. Mereka berperan dalam
mengubah kehidupan keagamaan di Eropa secara revolusioner. Salah satu tujuan mereka adalah
keselamatan umat manusia.
43
Michael Lowy, Teologi Pembebasan, hal. 45
44
A Dictionary of Marxist Thought (UK: Blackwell Publishing, 2nd ed, 1991) hal. 313
45
Alister E. McGrath, Christian theology: an introduction (UK: Blackwell Publishing, 5th ed, 2011) hal. 90
46
Christian Smith, The Emergence of Liberation Theology: radical religion and social movement theory
(Chicago: The university of Chicago press, 1991) hal. 29

7
yang membuat mereka ingin menggoyahkan kemapanan para ‘borjuis’ dengan bahasa
pembebasan. Christian mengutip pendapat Boff47 yang memperjelas untuk apa ide Karl
Marx digunakan:
To put it in more specific terms, liberation theology freely borrows from Marxism
certain methodological pointers’ that have proved fruitful in understanding the world of
the oppressed48
Arti bebasnya, secara spesifik teology pembebasan meminjam dari marx metologi
tertentu yang telah terbukti dalam memahami dunia para kaum yang tertindas. Faktanya,
dalam marx and the bible (1971), Jose Porfirio Miranda menunjukkan kenapa antara
Marxisme dan Teologi Pembebasan seolah akrab, menjelaskan bahwa inti pesan Tuhan
yang termaktub dalam injil yang membawa keadilan di antara umat manusia dengan
pemikiran Marx memiliki kemiripan. Ia melanjutkan bahwa pada awalnya umat Kristen
gagal untuk memahami inti pesan tersebut karena justru diubah dengan kacamata filsafat.
Menurutnya jika dipahami dengan inti pemikiran Marx, maka pembaca akan menemukan
‘The Gospel Roots’.49 Artinya ide-ide Marx telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari Teologi Pembebasan, dan secara tidak langsung hal ini menjadi worldview dari
Teologi Pembebasan.
Jika demikian, boleh dikatakan bahwa basis dari Theologi Pembebasan pada awal
kemunculannya ada dua. Pertama, Injil sebagai inti dari ajaran. Kedua, Marxisme
sebagai alat untuk memahami kondisi sosial. alhasil Teologi Pembebasan seolah menjadi
sekte baru dan hanya tercipta untuk kelas khusus, yaitu ‘Kaum Miskin’ atau ‘Kaum
Tertindas’ atau ‘Yang Terpinggirkan’. Hal ini secara tidak langsung akan memunculkan
berbagai hal yang kontroversial.
Karena sudah menjadi rahasia umum bahwa ide-ide dalam Marxisme
melemahkan dasar-dasar agama. Selain anggapan bahwa agama adalah sebuah candu,
salah satu argument lain dalam Marxisme yang menunjukkan hal ini adalah, bahwa nilai-
nilai agama, moral, dan hukum dalam sejarahnya selalu mengalami modifikasi, 50 artinya
nilai-nilai agama bersifat relatif bergantung waktu dan zaman yang mengelilinginya,
sehingga dalam Teologi Pembebasan terdapat kejanggalan karena dua hal yang ada di
dalamnya. Hal ini juga diakui oleh Miguez Bonino:
when we speak of assuming Marxist analysis and ideologi at this point, there is
therefore no sacralization of an ideologi, no desire to ‘theologize’ sociological,
economic, or political catagories. We move totally and solely in the area of human
rationality- in the realm where god has invited man to be on his own.51
Arti bebasnya adalah Ketika kita berasumsi digunakannya metode analis Marxist
dan ideologinya dalam hal ini (Teologi Pembebasan), secara otomatis hal tersebut

47
Lengkapnya Leonardo Boff. Ia terkenal karena aktif mendukung perjuangan bagi hak-hak kaum miskin
dan mereka yang tersisihkan. Ia adalah salah satu pendiri dari Teologi Pembebasan, bersama-sama dengan
Gustavo Gutierrez. Ia hadir dalam refleksi-refleksi pertama yang berusaha mengartikulasikan kemarahan
terhadap penderitaan dan marginalisasi dengan diskursus iman yang memberikan pengharapan, yang
kemudian melahirkan Teologi Pembebasan. Boff adalah seorang tokoh yang kontroversial di lingkungan
Gereja Katolik, bukan hanya karena dukungannya terhadap rezim-rezim sayap kiri di masa lampau, tetapi
juga karena ia dituduh mendukung kaum homoseksual.
48
Ibid, hal 30
49
Emilio Antonio, Crisis and Hope in Latin America: an evangelical perspectives (Chicago: Moody Press)
hal, 481
50
Karl Marx and F. Engels, K. Marx and F. Engels on Religion (Moscow: Foreign Languages Publishing
House 1957) hal. 88
51
Opcit, Christian Smith, The Emergence of Liberation Theology: radical religion and social movement
theory, Hal. 29

8
berimplikasi pada hilangnya sakralisasi sebuah ideologi, serta tidak ada keinginan untuk
menteologikan hal-hal berkaitan dengan sosiologi, ekonomi, dan politik. Kita bergeser
secara total dan hanya pada ranah rasional – dimana tuhan meminta manusia untuk
bertindak berdasarkan kehendaknya sendiri. Oleh sebab itu keberadaan Teologi
Pembebasan dalam agama Kristen sendiri problematis. Setidaknya ada dua alasan yang
mendasarinya.52 Pertama, Teologi Pembebasan merujuk kepada Marxisme dalam hal
asumsi dan anlisis ekonomi, juga politik. Kedua, kehadiran Teologi Pembebasan dengan
pengaruh Marxisme melemahkan otoritas gereja dan mengaburkan pemahaman tentang
ajaran dari Injil. Bahkan para uskup sendiri tidak menyetujui keberadaannya.53 Sehingga
relevansi Teologi Pembebasan patut untuk dipertanyakan ulang.

6. Teologi Pembebasan Asghar Ali Engineer


a. Terminologi Teologi Pembebasan Asghar Ali Engineer

Sebelum membahas konsep Teologi Pembebasan Asghar Ali Engineer, akan


dibahas terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan terminologi Teologi Pembebasan
menurut Asghar. Ia secara ekplisit tidak pernah mendefinisikan dengan jelas apa yang
disebut dengan Teologi, namun ia menegaskan bahwa penekanan dalam Teologi
Pembebasan adalah sebuah teologi yang menekankan unsur praxis bukan teorisasi. Dan
arti praxis di sini menurutnya adalah sebuah sifat liberatif dan diakletis antara “apa yang
ada” dan “apa yang seharusnya”.54 Sedangkan Pembebasan bagi Asghar adalah sebuah
pengembalian kebebasan untuk memilih, untuk keluar menuju kehidupan yang lebih
baik, dan untuk menghubungkan dirinya dengan kondisi yang berubah-ubah secara
pasti.55 Dari pemaknaan ini mengindikasikan bahwa Teologi Pembebasan Asghar adalah
sebuah praxis yang bertujuan untuk sebuah kebebasan dalam berbagai tindakan agar
sesuai dengan berbagai kondisi secara pasti.
Oleh sebab itu Asghar hanya menyebut empat ciri yang menonjol dalam Teologi
Pembebasan miliknya.56 Pertama, dimulai dengan melihat kehidupan manusia di dunia
dan akhirat. Kedua, teologi ini tidak menginginkan status quo yang melindungi golongan
kaya yang berhadapan dengan golongan miskin. Artinya, Teologi Pembebasan tidak
menyetujui adanya kemapanan baik relijius maupun politik. Ketiga, Teologi Pembebasan
memainkan peranan dalam membela kelompok yang tertindas dan tercabut hak miliknya,
serta memperjuangkan kepentingan kelompok ini dan membekalinya dengan senjata
ideologi yang kuat untuk melawan golongan yang menindasnya. Keempat, Teologi
Pembebasan tidak hanya mengakui satu konsep metafisika tentang takdir dalam rentang
sejarah umat manusia, tapi juga mengakui bahwa manusia itu bebas menentukan
nasibnya sendiri.

b. Sebuah Kritik Untuk Teologi “Konvensional”

52
Opcit, Miguel A. De La Torre, The Hope Of Liberation in World Religions, hal 178-200
53
Ibid.
54
Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, pent: Agung Prihantoro (Jogjakarta: Pustaka
Pelajar, cet 5) hal. 8
55
Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, pent: Hairus Salim et. All (Jogjakarta: LKiS, cet 2, 2007)
hal. 115
56
Opcit, Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, hal. 1-2

9
Apa yang dirumuskan oleh Asghar adalah sebagai sebuah kritik akan teologi yang
selama ini ada dalam Islam. menurutnya apa yang ada selama ini cenderung tidak jelas,
formula dalam teologi lebih teoritis yang mencakup hal-hal yang abstrak dan konsep-
konsep yang ambigu yang dibentuk oleh para ulama agar mendukung status quo mereka.
Menurutnya hal ini menyalahi apa yang menjadi karakter dari ideologi Islam yang salah
satunya adalah anti dari status quo.57 Kritik ini sangat mirip dengan apa yang dilakukan
oleh para teolog Kristen di Amerika Latin. Sehingga pada akhirnya jalan pemikiran
Asghar Ali Engineer tidak bisa dilepaskan dari apa yang menjadi dasar Teologi
Pembebasan pada umumnya.
Pemikiran Asghar Ali Engineer yang dikenal dengan Teologi Pembebasan juga
tidak bisa dilepaskan dari tanah kelahirannya yang penuh konflik.58 pada masa
perkembangan pemikirannya, terutama di tahun 1980an India sedang diliputi konflik
keagamaan.59 Oleh sebab itu ketakutan dan ancaman penindasan sangat akrab, terutama
yang dialami kaum muslim sebagai minoritas, sedangkan agama dengan berbagai
konsepnya saat itu tidak memberikan solusi karena cenderung berada di sana tapi tidak
memiliki praxis nyata. India juga sangat kental dengan struktur sosial berdasarkan kelas
yang mengakibatkan banyaknya pembatasan. Sehingga gagasan tentang Teologi
Pembebasan merupakan suatu yang fenomenal sebagai respon dari sebuah keadaan yang
berwujud pergesekan antar keyakinan dengan tuntutan utama sebuah struktur sosial yang
adil dan aman.
Landasan Asghar dalam melemparkan kritik ini adalah teori karl marx tentang
agama. Menurut Asghar pernyataan “Agama adalah candu bagi masyarakat” tidak boleh
dipahami sebagai sebuah pernyataan yang menyalahkan agama. Anggapan Marx bahwa
Agama adalah sebuah candu menurutnya karena agama tidak membawa perubahan bagi
kehidupan sebuah masyarakat, karena yang terjadi agama justru dijadikan sebuah alat
untuk melanggengkan sebuah kemapanan. Jika agama ingin dijadikan sebagai sebuah alat
perubahan maka ia harus menjadi sebuah senjata bagi kelompok masyarakat yang
dieksplotasi.60 Oleh sebab itu pengaruh Marxisme dalam Teologi Pembebasan Asghar
sangat kental, padahal masuknya faham Marxisme ke dalam agama banyak menimbulkan
pertentangan seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Anggapan Asghar bahwa teologi yang sekarang cenderung mengekalkan
kemapanan berlandaskan pada sejarah di zaman Muawwiyah. Waktu itu terjadi
pergulatan pendapat tentang kehendak bebas berhadapan dengan ketundukan pada takdir.
Yang pertama dikenal Qadariyah sedangkan yang terakhir disebut Jabariyah. Menurut
Asghar pandangan Jabariyah sengaja digunakan untuk melanggengkan status quo.
Menurutnya, kaum Sunni banyak menganut paham jabariyah, sedangkan Khawarij,
Syi’ah dan Mu’tazilah yang opposan terhadap dinasti Umayyah memilih faham
Qadariyah. Dari sinilah Asghar memandang perlunya membebaskan umat dari
kungkungan Status quo melalui Teologi Pembebasan, karena baginya, mengenai hal ini,
Allah berkuasa membuat hukum alam dan memberikan kebebasan kepada setiap manusia

57
Ibid hal. 8-9
58
Asghar Lahir di Salumbar, Rajasthan, dekat Udiapur, India pada 10 Maret 1939.
59
Konflik di keagamaan di India lebih dikenal dengan communalism. Violent Internal Conflict in Asia
Pacific (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, MOST-LIPI, LASEMA-CNRS, and KITLV, 2005) hal 17-18
60
Opcit. Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan. Hal.3

10
untuk mengikutinya, manusia lebih memiliki kehendak bebas, maka hadirnya Teologi
Pembebasan bagi Asghar tidak lebih dari sebuah pengembalian Islam kembali ke asal. 61
Asghar juga tidak serta merta menyamakan Teologi Pembebasan yang digagasnya
dengan Teologi Rasional seperti yang digagas Muhammad Abduh. Menurutnya Teologi
Rasional hanya memandang institusi keagamaan dan ajaran-ajaran agama dalam
perspektif rasio, sayangnya hal ini berputar pada tataran sekedar mendukung kebebasan
dalam penafsiran ulang teks-teks kitab suci. Baginya Teologi Rasional justru menarik elit
modern karena sering melayani tujuan-tujuannya, oleh karena itu pendekatan rasional
tidak menarik rakyat kebanyakan karena rakyat merasa tidak memerlukan. Asghar
memandang yang terjadi pada masyarakat adalah adanya struktur sosial sangat
determistik pada kemajuan ekonomi. Sehingga yang dibutuhkan masyarakat adalah
sebuah agama yang memihak kepada rakyat. Agama dalam bentuk seperti ini akan
memenuhi kebutuhan mereka khususnya untuk mengatasi kesulitan hidup.62 Oleh sebab
itu Teologi Pembebasan milik Asghar memiliki penekanan lebih dalam hal ekonomi yang
secara tidak langsung mengindikasikan bahwa Teologi Pembebasan tak ubahnya sebuah
gerakan sosial yang berupaya untuk melepaskan diri dari kungkungan penindasan
perekonomian.

c. Konsep Teologi Pembebasan Asghar Ali Engineer

Teologi Pembebasan yang digagas oleh Asghar menurutnya berakar pada ajaran
Islam itu sendiri yang terangkum dalam tiga hal. pertama, kedatangan Nabi Muhammad
di Makkah yang membebaskan masyarakat dari penindasan dan keadilan, terutama
struktur masyarakat yang mencerminkan ketimpangan sosial. Menurutnya pengikut nabi
Muhammad pada awalnya juga rakyat miskin, terlebih Nabi sendiri juga orang miskin
meskipun memiliki garis keturunannya dari keluarga terhormat.63 Kedua, banyaknya
ayat-ayat Qur’an yang menurutnya secara terang-terangan mendorong proses
pembebasan.64 ketiga, pertarungan yang akan terus terjadi antara mustadh’afin dan
mustakbirin hingga Agama Allah menyatukan semua rakyat untuk menciptakan struktur
masyarakat tanpa kelas. Menurut asghar, secara khusus menyebut bahwa poin ketiga
menimbulkan sebuah perspektif bahwa al Qur’an jelas menghadirkan suatu teologi
pembebasan.65
Jika dilihat dari sudut pandang Asghar sendiri yang menyatakan cara
mengidentifikasi sebuah gerakan pembaharuan adalah dengan melihat ajaran Islam
yang ditekankan olehnya,66 maka akan tertarik satu asumsi bahwa Teologi Pembebasan
Asghar tak ubahnya Teologi Pembebasan di Amerika Latin yang menekankan ajaran dari
sudut pandang pembebasan. Hal ini dikarenakan apa yang ada dalam ajaran agama Islam
akan dipandang selalu dari sudut pembebasan dalam ruang lingkup sosial, ekonomi, dan
politik. Memang Islam juga memiliki unsur pembebasan, bahkan lebih luas dari sekedar

61
Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan. Hal. 15-21 juga dalam Islam dan Pembebasan di
hal. 106-108
62
Opcit, Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, hal. 118-119
63
Ibid. hal. 4. Dalam Islam dan Pembebasan Asghar juga membahas hal yang sama di hal 120-121, dan
beberapa artikel yang dimilikinya di http://andromeda.rutgers.edu/~rtavakol/engineer/ (dilihat pada 18-02-
2011) juga membahas hal yang serupa.
64
Asghar mengutip beberapa ayat seperti QS 27: 9, QS 26: 227, QS 27: 5, QS 57: 7 dan beberapa ayat
lainnya.
65
Opcit, Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, hal. 21
66
Ibid. hal. 34

11
dalam tiga bidang tersebut.67 Namun pembebasan tersebut tidak menjadikan unsur
spiritualnya terlepas, atau dalam bahasa Teologi Pembebasan menggeser teologi dari
orthodoxy ke orthopraxis. Sebagai contoh, apa yang ditekankan oleh asghar perlahan
mengaburkan penekanan dari kedatangan Nabi Muhammad itu sendiri sebagai penyeru
umat manusia kepada tauhid.68 Nabi Muhammad justru lebih dianggap sang pembebas
seperti apa yang ada dalam Teologi Pembebasan Amerika Latin yang menunjuk kepada
Yesus. Implikasi dari hal ini akan tampak dalam hal keyakinan, dan secara tidak
langsung akan dikatakan bahwa ‘Pembebasan’ adalah hal yang utama, padahal tauhid
adalah yang paling utama. Oleh sebab itu dalam konsep Teologi Pembebasan seakan
terjadi pengkaburan makna Tauhid secara bertahap. Hal ini dikarenakan gerakan
penyelamatan yang dilahirkan oleh tekanan sosial yang dipimpin oleh pemimpin
kharismatik yang menawarkan keselamatan pada kelompok yang tertindas cenderung
berorientasi politik dengan mengembangkan ide-ide utopia dengan semangat keagamaan
bukan murni sebuah gerakan keagamaan.69
Asghar kemudian merubah sebuah paradigma teologi agar mampu menjadi
sebuah teologi pembebasan bagi masyarakat yang tertindas. Teologi yang berputar pada
tataran konsep, teori, dan filosofis sehingga menjadi candu bagi masyarakat harus dilihat
dalam konteks sosiologis di samping filosofis.70 Kontekstualisasi teologi menurutnya
sama penting dengan aspek-aspek metafisiknya,71 artinya ada penyesuaian antara ajaran
yang ilahi dengan keadaan sosial. namun yang patut diperhatikan adalah titik utama dari
hal ini yang lebih menuntut unsur kontekstualisasi sehingga yang terjadi justru
subordinasi aspek-aspek metafisiknya. Hal ini tidak lepas dari keyakinan Asghar sendiri
yang menurutnya Teologi Pembebasan harus mendorong sikap kritis terhadap sesuatu
yang sudah baku dan harus terus berusaha secara konstan untuk menjelajahi
kemungkinan-kemungkinan baru.72 Sehingga adaptasi dari sebuah ajaran terhadap
lingkungan diutamakan dengan maksud agar sesuai dan menjadi respon terhadap keadaan
sosial sebuah masyarakat. Tahap inilah yang pada akhirnya menjadikan keberadaan
teologi pembebasan banyak dipertanyakan. Hal ini dikarenakan sifat kontekstualisasi
yang mengakibatkan relativitas sebuah kebenaran dari ajaran agama itu sendiri. sehingga
ajaran Islam bisa berubah di setiap tempat diaplikasikannya sebagai sebuah konsekwensi
dari penyesuain diri terhadap lingkungannya.
Oleh sebab itu kedudukan antara praktek dan ajaran Islam dalam Teologi
Pembebasan memiliki kedudukan berbeda. Pada akhirnya Praxis menjadi the first
religion sedangkan teori menjadi the second. Asghar menjelaskan bahwa penekanan
sesungguhnya adalah pada amal saleh, bukan pada cara-cara peribadatan yang bisa jadi
berbeda antara satu masyarakat dengan yang lainnya.73 agar dialektika antara “Apa yang
seharusnya” disesuaikan dengan “apa yang ada”. Hal ini pula yang menjadikan praktek

67
Lihat Syed Muhammad Naquib Al Attas dalam Islam and Secularism yang menjelaskan bahwa
Islamisasi berarti sebuah pembebasan dari unsur magis, mitologi, animistik, nasional kultur yang
bertentangan dengan islam dan juga pembebasan dari kontrol sekularisasi terhadap akalnya dan bahasanya.
“Islamization is the liberation of man first from magical, mythological, animistic, national-cultural
tradition opposed to islam, and then from secular control over his reason and his languange. The man of
islam is he whose reason and language are no longer controlled by magic, mythology, animism, his own
national and cultural traditions opposed to islam, dan secularism.”
68
QS 21: 25
69
Opcit, Thomas E. O’dea, Sosiologi Agama, hal. 144
70
Opcit, Asghar Ali Engineer, Islam dan teologi pembebasan, hal. 28-31
71
Opcit, Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, hal. 114
72
Ibid. hal. 112
73
Ibid, hal. 142

12
Teologi Pembebasan dipertanyakan relevansinya seperti apa yang banyak dipertanyakan
terhadap teologi pembebasan Amerika Latin.
Kunci dalam pemahaman Teologi Pembebasan Asghar Ali Engineer menurut
Djohan Effendi dalam pengantar Islam dan Pembebasan adalah pemahaman dan
penafsirannya terhadap arti Kafir dan Mukmin. Menurut Asghar arti Kafir yang
sesungguhnya adalah orang-orang yang menumpuk kekayaan dan terus membiarkan
kezaliman dalam masyarakat serta merintangi upaya-upaya menegakkan keadilan.74
Sedangkan Mukmin sejati adalah orang yang tidak hanya percaya kepada Allah tetapi
juga harus menjadi mujahid yang berjuang menegakkan keadilan, melawan kezaliman
dan penindasan. Jika mencoba untuk lebih teliti, kata kafir yang disebut Asghar hanyalah
arti secara bahasa, tapi ibn taimiyah sendiri menggunakannya sebagai terminologi yang
menunjuk kepada seseorang yang tidak percaya agama Allah. 75 Hal ini tidak lain adalah
akibat dari kontekstualisasi yang harus disesuaikan dari sudut pandang kemiskinan dan
penidasan yang pada akhirnya melepaskan makna sesungguhnya dari sebuah terminology
Islam.
Maka Teologi Pembebasan Asghar akan terangkum dalam tiga tahapan. pertama,
pembacaan keadaan sosial sebagai konsekwensi dari identifikasi adanya sebuah
penindasan. Kedua, kontekstualisasi ajaran agama agar sesuai dengan tempat
diterapkannya. Dalam tahapan ini secara otomatis Asghar akan melakukan reinterpretasi
terhadap ayat-ayat dari kaca mata penindasan. Ketiga, praxis sebagai wujud nyata
Teologi Pembebasan yang berpihak pada masyarakat.

d. Pengaruh Marxisme Dalam Teologi Pembebasan Asghar Ali Engineer.

Apa yang Asghar Ali Engineer rumuskan dalam Teologi Pembebasan memiliki
kesamaan dengan apa yang dilakukan oleh Karl Marx dalam membaca struktur sosial.
Karl Marx pada saat itu terkesan oleh kekejaman sistem industri sebagaimana di Inggris
yang ia ketahui dari Engels dan laporan para Komisaris kerajaan. Ketidak adilan yang
dilakukan oleh para pemilik modal pada masa itu menurutnya pasti menghasilkan
gerakan pemberontakan di kalangan proletar.76 Sehingga pada akhirnya ia membagi
struktur masyarakat ke dalam Borjuis dan Proletar. Semangat revolusi yang ia
hembuskan menjadikan kaum Proletar mencoba untuk membebaskan diri dari penindasan
kaum Borjuis. Hal inilah yang memberikan banyak pengaruh dalam pembahasan Asghar
tentang Teologi Pembebasan.
Dalam Teologi Pembebasan, Asghar selalu membelah masyarakat dalam dua
kelas. Pertama, kelas yang mapan. Menurut Asghar para teolog juga berpihak pada status
quo dengan mengusung teologi konvensional. Kelas ini bagi Asghar selalu disebut
sebagai penyebab utama adanya penindasan karena mengkompilasikan banyak konsep
keagamaan yang ditujukan untuk mengekalkan status quo. Hal ini menurutnya ditandai
dengan mengubah sifat Teologi lebih kepada hal-hal yang abstrak bukan praktis. Hal

74
Penafsiran tersebut bisa dilihat di Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, hal. 10-11. Dalam
http://www.twocircles.net/2010aug24/being_kafir.html asghar juga menulis terminologi kafir lebih
ditekankan pada arti who hide truth.
75
‘Abdul Majid bin Salam, Manhaju Ibn Taimiyah fi mas’alati takfir (Riyad: Maktabah Adwa Salaf) hal.
25. Dalam Kamus Islamolog terminologi ini juga diartikan dengan orang yang tidak percaya/mengingkari
agama Allah, atau tidak mempercayai adanya Allah, rasul-Nya, dan rukun iman lainnya.
76
Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, pent. Sigit Jatmiko et. All (Jojakarta, pustaka pelajar, cet 2
2004) hal. 1026

13
inilah yang baginya menjadikan agama dianggap sebagai candu oleh Karl Marx.77 Kedua,
kelas yang tertindas atau yang dieksploitasi. Yang diwakili, secara umum, oleh rakyat
miskin. Keberadaan kelas ini yang selalu menjadi alasan bagi Asghar untuk
memunculkan sebuah gerakan pembaharuan dengan nama Teologi Pembebasan. Kelas
ini menurutnya harus menjadikan agama sebagai sebuah senjata menuju ke arah
perubahan.78 Pembacaan sosial yang seperti ini menjadikan Asghar tak ubahnya seperti
apa yang dilakukan oleh para teolog Teologi Pembebasan di Amerika Latin yang banyak
terpengaruh oleh Marxisme.
Menurut Asghar antara Islam dan Marxisme memiliki sebuah kesamaan. Asghar
memandang bahwa di dalam sebuah masyarakat yang terlepas dari hubungan kekayaan
karena faktor kekuatan, dan mendasarkan kepemilikan pada buruh dan hasil kerja akan
diperoleh taqwa, sehingga masyarakat akan terbangun dengan tujuan yang suci. Tujuan
yang dimaksud dalam hal ini adalah sebuah pembebasan masyarakat dari eksploitasi
ekonomi. Hal inilah yang menurut Asghar tak ubahnya seperti tujuan Marxisme dalam
membebaskan masyarakat dari eksploitasi yang dilakukan oleh sistem kapitalis.79
Pemikiran Asghar yang demikian pada akhirnya berimplikasi banyak terhadap apa yang
dia rumuskan dalam Teologi Pembebasan. Terutama dalam memaknai kata kafir.
Namun dalam hal ini, antara Islam dan Marxisme sebenarnya memiliki
perbedaan. Islam dalam proses menuju perbaikan ekonomi tidak bisa menghalalkan
segala cara, antara apa yang mendasari, tujuan, dan cara mencapai tujuan tersebut tidak
bisa mencampur antara yang baik dan buruk, salah dan benar. 80 Namun dalam Marxisme
untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan sebuah sistem politik (untuk mendukung
ekonomi) yang dinamakan “Diktator Proletar”81. Asghar berdalih bahwa Dikator Proletar
digunakan hanya sebagai pengorganisasian kaum yang lemah dan tereksploitasi untuk
menggulingkan dominasi para eksploitator yang kuat. 82 Namun pembelaan tersebut
rasanya tidak bisa diterima, karena Diktator Proletar pada akhirnya justru mengekang
kebebasan warga Negara dan menjadi sumber berbagai penindasan Negara terhadap
individu atas nama mayoritas. Faktanya, di Zaman Stalin berkuasa, jutaan warga Soviet
menjadi korban praktek penguasa komunis.83 Dalam hal tersebut Marx tidak
mengindahkan norma-norma kemanusiaan, dan cenderung menghalalkan segala cara.
Sehingga tidak adil jika menyamakan Agama Islam sebagai sebuah agama yang
bersumber dari wahyu dengan Marxisme.
Sehingga secara garis besar ideologi Marxisme memasuki ranah Teologi
Pembebasan Asghar Ali Engineer dalam tiga hal. Pertama, sebagai sebagai landasan
kritik terhadap Teologi “Konvensional” yang menurutnya cenderung berputar-putar
dalam spectrum yang abstrak. Kedua, sebagai sebuah metodologi dalam membaca
realitas sosial. Ketiga, sebagai landasan dalam merumuskan visi untuk mencapai sebuah
revolusi. Sehingga harus diakui apa yang terdapat dalam Teologi Pembebasan Asghar
banyak diwarnai ideologi Marxisme.

77
Opcit. Asghar Ali Engineer. Hal.3
78
Ibid. lihat juga Asghar Ali Engineer dalam Islam dan Pembebasan hal 1-21.
79
Opcit, Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, hal. 159
80
QS 2:188
81
Tirani mayoritas terhadap minoritas. Dalam kasus ini yang terjadi adalah penindasan warga Negara atas
nama mayoritas (proletar).
82
Opcit, Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, hal. 160
83
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001) hal. 378-379

14
e. Pengaruh Syi’ah Dalam Teologi Pembebasan Asghar Ali Engineer

Dalam satu tahapannya, Teologi Pembebasan mengharuskan untuk meneliti


relevansi ayat pada masa sekarang yang pada akhirnya menafsirkan ulang agar relevan. 84
Dengan hal ini Asghar perlu metodologi penafsiran sebuah ayat, yang dianggap sebagai
sumber dalam Teologi Pembebasan, sehingga menjadi relevan. Sayangnya Asghar tidak
menggunakan metode tafsir seperti ulama pada umumnya, ia justru meragukan kebenaran
tafsir para ulama yang menurutnya tidak akan bisa terlepas dari pengaruh sosial dan
politik di sekitarnya. Yang patut menjadi perhatian, baginya hadist tidak sepenuhnya bisa
dipercaya, hal ini secara tidak langsung mengingkari metodologi tafsir bis sunnah.
Kekosongan dalam metodologi ini diisi oleh Asghar dengan metodologi Ta’wil
Isma’iliyah yang notabenenya milik para pengikut syi’ah isma’iliyah. 85
Ta’wil Syi’ah Isma’iliyah memiki metode tersendiri dalam cara menafsirkan
sebuah ayat. Bagi ahlus Sunnah wal Jama’ah antara Tafsir dengan Ta’wil cenderung
sinonim,86 namun bagi syi’ah isma’iliyah dua terminologi ini memiliki arti berbeda.
Yang pertama merujuk pemahaman menerangkan arti dhahir dari sebuah ayat, sedangkan
yang kedua adalah sebuah metodologi yang refers to its hidden meaning.87 Menurutnya
al Qur’an menggunakan bahasa alegoris untuk menyampaikan makna yang berlapis-
lapis. Sayangnya dalam metodologi ini yang berhak untuk menta’wilkan hanyalah
rasikhun fil ‘ilm yang tidak lain, bagi syi’ah, adalah para imam dari pihak syi’ah itu
sendiri.88 Sehingga untuk menafsirkan ulang sebuah ayat dalam konsep Teologi
Pembebasan tidak menemukan beragam kesulitan karena imam selalu hadir di setiap
masa (yang memiliki garis keturunan dari ahl bait). Hal inilah yang mendukung
argument bahwa penafsiran ayat-ayat tertentu pada suatu waktu tidak akan sesuai dengan
yang akan datang.89
Dalam penafsiran, Ta’wil Isma’iliyah memiliki tahapan berbeda. Dimulai dari arti
dasar setiap kata dalam al Qur’an, dalam hal ini yang dirujuk adalah arti ta’wil itu sendiri
The word ta’wil in Arabic means to go to the first, primary or basic meaning of the
word.90 Seperti yang dijelaskan sebelumnya, menurut Isma’iliyah setiap kata dalam
Qur’an memiliki arti yang jelas atau yang tersembunyi yang hanya diketahui oleh imam
mereka. Hal inilah pada akhirnya yang menjadikan banyak perbedaan dalam penafsiran.
Sebagai contoh, arti kafir dan mukmin yang telah dijelaskan sebelumnya.

84
Lihat Asghar ali Engineer, Islam Masa Kini hal. 24
85
Bagi syi’ah antara Ta’wil dan Tafsir memiliki perbedaan. Yang pertama merujuk kepada arti yang
tersembunyi yang hanya diketahui oleh imam mereka, sedangkan yang kedua tetap merujuk kepada apa
yang tekandung dalam ayat.
86
Muhammad Husain Ad Dzahabi, Buthus fii ‘ulum tafsir, (darul hadist, 2005) hal. 286-287
87
Lihat artikel asghar di http://andromeda.rutgers.edu/~rtavakol/engineer/ (dilihat pada 18-02-2011)
Qur’an and Isma’ili Ta’wil
88
Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, hal. 181. Dalam syi’ah imamah adalah salah satu
rukun imam. Bagi mereka imam memiliki kedudukan yang paling tinggi, bahkan lebih tinggi dari seorang
nabi. Al kulaini menyebutkan dari Abu Abdillah, dia berkata “apa saja yang dibawa oleh Ali alaihis salam
aku pasti mengambilnya dan apa yang dilarang olehnya pasti aku jauhi, telah berlaku kemuliaan untuknya
seperti apa yang telah berlaku untuk Muhammad SAW. Beliau memiliki karunia atas segala makhluk Allah
Ta’ala. Orang yang membantah perintahnya (Ali) sama dengan orang yang membantah Allah dan
Rasulnya…”
89
Opcit, Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, hal. 189
90
Artikel Asghar Ali Enginer, Qur’an and Isma’ili Ta’wil di
http://andromeda.rutgers.edu/~rtavakol/engineer/ (dilihat pada 18-02-2011) lihat pula Islam dan Teologi
Pembebasan hal. 180

15
Hal ini juga berimplikasi dalam kriteria tentang baik dan buruk. Menurut Syi’ah
hal tersebut lebih merujuk kepada aqliyah (akal). Faham Aqliyah seperti ini disebut
golongan “Al-Adliyan” yang artinya keadilan Allah SWT ditetapkan oleh akal manusia.
sedangkan menurut Ahlus Sunnah hal ini merujuk kepada syari’ah.91 Maka tidak heran
jika Asghar dalam tulisannya sangat sering menyatakan tentang keadilan. 92 Oleh sebab
itu banyak hal yang kemudian tidak sejalan dengan pemikiran Ahl Sunnah wal Jama’ah.
Perbedaan antara Syi’ah dan Ahlus Sunnah juga menimbulkan hadist bagi Asghar
hanya sedikit yang diterima. Asghar seringkali meragukan hadist, bahkan sulit untuk
menerima adanya ilm rijal hadist karena menurutnya hanya sebuah kompilasi dari ulama
yang mengekalkan status quo.93 Hal ini dikarenakan pengikut Syi’ah hanya menerima
hadist-hadist nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan melalui jalur ahlul bait. Adapun
hadist-hadist nabi yang diriwayatkan oleh para sahabat namun bukan ahlul baik ditolak.
Padahal Sayyidina Ali pernah ditugaskan untuk tinggal di Madinah saat Rasul berangkat
untuk peperangan. Artinya ada beberapa waktu di mana sayyidina Ali tidak bersama
Rasul.94 Tidak heran jika dalam Teologi Pembebasan sangat jarang asghar merujuk
kepada sebuah hadist kecuali dalam usaha pembebasan perempuan.

f. Praxis Teologi Pembebasan Asghar Ali Engineer


1. Pluralisme

India dengan berbagai kultur budaya dan agama tidak bisa terlepas dari adanya
konflik dengan alasan yang beragam. Salah satu konflik yang berkembang adalah konflik
agama antara Islam dan Hindu yang menimbulkan berbagai pergesekan. Salah satu
sebabnya adalah pertarungan politik dan perebutan wilayah. Namun pertarungan identitas
juga tidak bisa dikesampingkan. Menurut Asghar, identitas sebuah agama yang
dipertahankan menjadikan pergesekan bisa terjadi kapan saja, kurangya pemahaman
antar agama juga menurut Asghar menjadi sebuah alasan tersendiri. oleh sebab itu
Asghar dalam upaya membebaskan umat dari penindasan memberikan sebuah praxis
berwujud akulturasi antara agama Islam dan Hindu.95
Secara garis besar argumennya bisa dikelompokkan menjadi dua. Pertama,
adanya beberapa ayat dalam al Qur’an yang menurutnya memiliki akar dari pluralisme
agama.96 Salah satunya adalah al Baqarah ayat 256 yang menyatakan Tidak ada paksaan
untuk (memasuki) agama (Islam). padahal jika ayat ini diteruskan penekanannya lebih
kepada jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Artinya setiap yang
mengetahui (berakal) akan tahu mana yang benar dan mana yang salah. Lagipula kalau
diteliti lebih jauh tentang bagaimana seharusnya seseorang memeluk agama akan
ditemukan ayat lain yang lebih jelas menjelaskannya.97

91
Moh. Dawam Anwar, et. Al, Mengapa Kita Menolak Syi’ah (Jakarta: Lembaga Penelitian dan
Pengkajian Islam, 1997) hal. 37.
92
Contohnya dalam Islam dan Teologi Pembebasan hal. 58-60, Islam dan Pembebasan hal 62-65
93
Asghar Ali Engineer, Hak-hak perempuan dalam Islam (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1994)
hal. 22-25
94
argumen lain masalah rawi/pembawa hadist, bagi syi’ah tidak diperlukan criteria seperti dikalangan
ahlus sunnah. Yang penting rawi itu syi’i/berpihak kepada kaum syi’ah. Opcit. Moh. Dawam Anwar, et, al.
hal. 11
95
Lihat bab akulturasi Hindu dan Islam dari buku Islam dan Teologi Pembebasan. hal. 51-83
96
Lihat bab Masalah Hindu-Muslim di India dalam perspektif Islam dari buku Islam dan Teologi
Pembebasan hal 287-309. Asghar mengutip beragam ayat selain 2: 256, di antaranya 2: 285, 2: 148.
97
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama
itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi QS 3: 85

16
kedua, menurutnya antara Islam dengan Hindu memiliki banyak kesamaan. Ia
mengutip karya Dara Shikoh98 yang menulis buku Majma’ul Bahrayn (diartikan dengan
akulturasi dua budaya, hindu dan Islam). Pada bab pertama “diskusi tentang dasar-dasar
pokok”, dia membandingkan konsep-konsep dasar dalam Islam dan Hindu. Menurut
buku tersebut terdapat lima unsur kesamaan, yakni Arsh-I-Azam (singgasana yang
agung); kedua, angin; ketiga, api; keempat, air; dan kelima, debu. Contoh, Dara Shikoh
mengkomparasikan antara ruhi-l-Azam dengan Jivatna.99 Meskipun demikian jika benar
ada beberapa kesamaan dalam beberapa unsur hal tersebut tidak mampu untuk
menjadikan tuhan antara hindu dan Islam satu. Tuhan dalam dua agama ini tetap berbeda,
yang tidak bisa dipungkiri karena hal itu pula seseorang disebut beragama Islam, atau
Hindu. Sehingga akulturasi yang asghar kemukakan tidak begitu saja bisa dilakukan.

2. Pembebasan Hak Perempuan

Implikasi dari Teologi Pembebasan Asghar yang paling banyak diperbincangkan


adalah teorinya pada pembebasan perempuan. asghar secara khusus menulis tentang ini
dalam The Rights of Women in Islam dan The Qur’an Women and Modern Society yang
menjadi rujukan beberapa buku feminisme.100 Menurutnya perempuan pada masa awal
sejarah Islam banyak mendapatkan pembelaan, perumusan tentang konsep-kosep
perempuan yang dirumuskan oleh Siti Aisyah menunjukan banyak keberpihakan
terhadap hak-hak perempuan. namun pada masa feodal (kekhalifahan) semangat untuk
membela perempuan menghilang, perempuan justru tersubordinasi pada tingkat yang
tinggi. Oleh sebab itu menurut Asghar perempuan saat ini harus kembali dibebaskan.
Asghar merumuskan berbagai masalah tentang perempuan, di antaranya poligami,
konsep kesetaraan laki-laki dan perempuan, hak perempuan dalam perkawinan,
perempuan dan pereceraian. 101
Sebagai contoh implikasi Teologi Pembebasan Asghar dalam ranah perempuan
dalam masalah nafkah. Menurut Asghar ayat 4: 34 yang menunjukkan bahwa laki-laki
memiliki satu kelebihan dalam sebuah tatanan keluarga harus ditafsirkan ulang, karena,
baginya, ayat ini turun saat wanita dibatasi dan hanya boleh berada di dalam rumah dan
laki-lakilah yang menghidupinya. Al Qur’an memperhitungkan kondisi ini dan
menempatkan laki-laki pada kedudukan yang lebih superior terhadap wanita. Namun
baginya al Qur’an tidak pernah menganggap bahwa struktur sosial bersifat normative.
Sebuah struktur sosial pasti berubah. Maka jika ada wanita yang menghidupi keluarga,
maka wanita pasti sejajar atau bahkan lebih superior terdap laki-laki dan memainkan
peran yang dominant di dalam keluarganya sebagaimana yang diperankan oleh laki-
laki.102 Dari pemaparan Asghar tampak bahwa ia mengartikan kata ”Qawwam” dalam
ayat tersebut ditekankan kepada unsur nafkah.
Namun apa yang dimaksud dengan “Qawwam” dalam ayat tersebut menurut Ar
Razi dalam tafsirnya tidaklah ditekankan pada unsur nafkah. Menurut Ar Razi apa yang

98
Tokoh yang telah memberikan kontributsi terhadap akulturasi budaya di India. Ia diangakat sebagai ahli
waris oleh shah johan dan menjadi kaisar. Asgahar Ali Engineer, Islam Masa Kini, penerj Tim Forstudia
(Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2004) hal 51
99
Ibid. hal.52
100
Di antaranya adalah kekerasan berbasis gender (Purwokerto: Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto,
2006) yang ditulis oleh Ridwan, M.Ag. dan juga Agama, Relasi Gender & Feminisme (Yogyakarta: Kreasi
Wacana, 2005) oleh Kadarusman, M.Ag.
101
Lebih jauh baca Asghar Ali Engineer Hak-hak perempuan dalam Islam dan Pembebasan Perempuan.
102
Opcit, Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, hal. 236-237

17
menjadikan laki-laki sebagai pemimpin “Qawwam” dalam keluarga adalah sifat dari
laki-laki itu sendiri yang memiliki kelebihan dalam beberapa hal. pertama, ilmu.
Menurut Ar Razi laki-laki lebih memiliki kelebihan dalam akal (keilmuan). kedua,
kemampuan. Ar Razi berpendapat bahwa laki-laki dalam banyak hal mengerjakan
sesuatu pekerjaan lebih memiliki kemampuan dibanding perempuan.103 Sehingga
kepemimpinan dalam keluarga dipandang dari kelebihan alamiyah yang dimiliki, bukan
hanya satu sisi (nafkah). Faktanya perbedaan biologis antara pria dan wanita adalah
alami, begitu pula sifat maskulin dan feminin yang mengikutinya. Oleh karena itu sifat
alamiah yang dibawa tidak bisa untuk dirubah. Meskipun ada yang menganggap faktor
alamiah ini hanyalah sebuah pembentukan dari proses sosialisasi oleh sosial budaya,
namun nyatanya perubahan hormon pada wanita semasa siklus menstruasi, kehamilan,
dan menyusui adalah sifat khusus feminin yang sangat dibutuhkan oleh bayi yang tidak
berdaya.104 Maka sifat alamiah ini seolah juga menempatkan antara perempuan dan laki-
laki pada posisi yang seharusnya. Oleh sebab itu apa yang dijadikan acuan oleh Asghar
pada hakikatnya secara parsial (nafkah), bukanlah keseluruhan.

3. Pembebasan Ekonomi.

Praksis yang ketiga adalah pembebasan dari ketidak adilan ekonomi. Menurutnya,
permasalahan ekonomi yang sekarang dihadapi adalah adanya sistem kapitalisme yang
memonopoli. Yang kaya menindas yang miskin, perbedaan antara yang kaya dengan
yang miskin semakin melebar. Oleh sebab itu ia merujuk kepada kata ‘adl dan qist yang
mengandung arti sawiyyah. Berlandaskan konsep ini yang diinginkan dalam
perekonomian hanyalah pemerataan kekayaan.105
Dalam menghadapi problem ini, Teologi Pembebasan Asghar berusaha
memberikan alternatif dengan dua konsep dalam ekonomi Islam. Pertama, zakat. Kedua,
penghapusan riba. Namun alternatif pertama memiliki konsep yang berbeda dengan apa
yang dikenal dalam Islam. Bagi Asghar zakat tidak lagi bernilai 2,5 dari presentasi
penghasilan. Menurutnya perumusan zakat seperti ini hanyalah bersumber dari
kebodohan dalam memahami kompleksitas ekonomi modern. Ia berdalih bahwa
perbedaan penghasilan antara pekerja kasar dan para pemodal cenderung sangat besar,
sehingga pembayaran zakat dengan nilai 2,5 % tidak akan mampu untuk memperkecil
perbedaan antara kedua pihak ini. Oleh sebab itu ia merumuskan bahwa setiap waktu
harus ada keputusan baru tentang berapa besar kekayaan yang harus dibayar untuk
menghasilkan pemindahan kekayaan dari yang kaya ke yang miskin. Dasar argument
Asghar adalah kepentingan masyarakat berada di atas kepentingan individu.106 Dari
kesimpulan Asghar dapat ditarik satu asumsi bahwa seolah-olah apa yang diinginkannya
sangat mirip dengan apa yang menjadi tujuan ekonomi sosialis yang menginginkan
pemerataan kekayaan.
Bila ditinjau lebih jauh, Apa yang diajukan asghar tentang pemerataan kekayaan
akan berbeda dengan apa yang ada dalam Islam. Tujuan utama dalam ekonomi Islam
adalah terciptanya keseimbangan kesejahteraan antara individu dan sosial. keseimbangan
sosial bukan hanya kesejahteraan di satu pihak individu, namun Islam memandang
bahwa kesejahteraan sosial berangkat dari individu.107 Individu dituntut untuk memenuhi
103
Fakhruddin Ar Razi, Mafatihul Ghaib, juz 10, hal. 91
104
Ratna Megawangi, membiarkan berbeda? (Bandung: Mizan, 1999) hal. 94-96
105
Opcit. Aghar Ali Engineer, hal. 57-67
106
Opcit, Asghar Ali Engineer, Islam dan pembebasan, hal. 74-76
107
Afzalur Rahman, Ensiklopediana Ilmu, (Mizania: Bandung, 2007, cet I) h. 231

18
kebutuhannya terlebih dahulu,108 yang implikasinya akan terjadi pada kehidupan sosial.
memang setiap individu tidak semua benar-benar bisa memenuhi kebutuhannya, ada
beberapa yang kurang bisa bahkan tidak bisa untuk memenuhinya, maka Islam hadir
untuk merekatkan pemisah yang ada dengan zakat dari orang-orang yang mampu dengan
penekanan utama bukanlah derma atau pemerataan kekayaan, tapi lebih pada penyucian
harta yang dimilikinya.109 Makna penyucian akan mendorong setiap orang untuk bisa
menunaikan zakat sehingga keseimbangan kesejahteraan sosial akan tercipta dengan
sendirinya. Oleh sebab itu, apa yang diasumsikan asghar lebih bercorak sosialis, padahal
sistem ekonomi ini pada akhirnya mengalami keruntuhan. 110 Oleh sebab itu apa yang
diajukan Asghar sebagai alternative harus ditinjau ulang.

7. Membentuk Struktur Masyarakat Dalam Islam.

Sebelum membahas konsep pokok yang ada dalam sebuah masyarakat, maka
tidak bisa ditinggalkan konsep masyarakat itu sendiri dalam perspektif islam. Islam
memiliki dua istilah yang sejajar dengan arti sebuah komunitas, yaitu sya’b dan qawm.
Namun dua istilah ini menurut Al Faruqi lebih tertuju kepada sebuah komunitas yang
masih berdasar pada kekhususan dalam geografi, bahasa, genealogi, kelas sosial, dan
sebagainya. Untuk meleburkan semua unsur tersebut Islam memiliki satu terminologi
ummah yang tidak terikat pada batasan geografi, bahasa, genealogi dan sebagainya.111
Terminologi ini dalam Qur’an tersebut enam puluh dua kali.112 Meskipun dalam
penggunaannya tidak menunjuk pada suatu komunitas, namun semasa hidup Rasul pun
istilah ini bukan diperuntukkan pada komunitas yang terikat batasan geografi ataupun
yang lain, namun lebih kepada bound to the religious identity of islam.113 Quraish Shihab
dalam menjelaskan terminologi ini juga lebih ditujukan kepada kelompok yang memiliki
satu tujuan, yaitu memiliki satu Tuhan (Allah).114 Sedangkan Ar Razi mengartikannya
dengan “al Jama’ah al mutamassikah bima bainihi Allah ta’ala minat tauhid wan
nubuwwat.115 Sehingga dalam Islam apa yang disebut sebuah masyarakat lebih berdasar
kepada sekelompok manusia dengan apa yang melandasinya sebagai sebuah identitas
yang tidak terbatas kepada suku, ras, geografi, atau kelas. Sehingga konsekwensi dari
pengertian ini mengartikan bahwa inti dari masyarakat Islam adalah aqidah (tauhid) yang
mendasarinya dan segala aspek yang ada di dalamnya tidak akan bisa dipisahkan dari
aqidah tersebut. Jika hal ini diilustrasikan pada individu, maka dapat dipahami bahwa

108
QS 20: 117-119
109
Lihat arti zakat. Subulussalam. Juz 2. Kitab Zakat (Darul Fikri, 1991) Hal 247
110
Murray N. Rothbard, The End of Socialism and The Calculation Debate Revisited, hal 51. dalam buku
ini tertulis “If, for example, everyone under socialism were to receive an equal income, or, in another
variant, everyone was supposed to produce "according to his ability" but receive "according to his needs,"
then, to sum it up in the famous question: Who, under socialism, will take out the garbage? That is, what
will be the incentive to do the grubby jobs, and, furthermore, to do them well? Or, to put it another way,
what would be the incentive to work hard and be productive at any job?”
111
Isma’l Raji al Faruqi, Al Tauhid: its Implications for thought and life (USA: International Institute of
Islamic Thought, 1992) hal. 103
112
Salah satunya adalah ayat QS 21: 92 yang lebih menunjukkan pada kesatuan berdasarkan persamaan
kepercayaan.
113
Encyclopedia of Islam and The Muslim World, (USA: Mcmillan Reference, 2003) hal. 705-706
114
M. Quraisy Shihab, Tafsir Al Mishbah, vol. 8 (Jakarta: Lentera Hati, 2009) hal. 117-118
115
“Sebuah kelompok yang berpegang teguh kepada Allah dengan bertauhid dan beriman dengan
kenabian” Fakhruddin Ar Razi, Mafatihul Ghaib, vol. 22 (Dar Fikri, cet I, 1981) hal. 219

19
individu tersebut seorang mu’min, bukan sekedar muslim. Faktanya agama sudah
dicirikan sebagai pemersatu aspirasi manusia yang paling sublime.116
Maka tidak heran jika Ali Syari’ati membagi dua basis dari sebuah masyarakat
sekaligus menjelaskan implikasinya masing-masing.117 Pertama, Society based upon
shirk. Masyarakat dengan basis ini akan membentuk praktik diskriminasi dan pembagian
masyarakat dalam struktur kelas. Kedua, society based on tawhid. Masyarakat dengan
basis tawhid tidak pernah menerima bentuk diskriminasi dan pembagian kelas. Poin yang
kedua sejalan apa yang dimaksud dengan ummah dalam penjelasan di atas. Sehingga
sudah sepantasnya jika tawhid menjadi worldview demi menuju kesatuan sebuah
masyarakat.
Lebih jauh lagi, dalam masyarakat (baca ummah) tidak bisa terelakkan adanya
unsur individu yang membentuknya, berkaitan dengan kedudukan individu dalam
masyarakat, Islam memiliki konsep tersendiri terhadapnya. Dalam Islam Individu tidak
dikultuskan seperti yang ada dalam struktur masyarakat kapitalis, juga tidak direndahkan
seperti yang ada dalam bangunan system masyarakat sosialis.118 Dalam Al Qur’an
dijelaskan bahwa struktur masyarakat pada dasarnya bermula dari individu,119 dalam arti
tidak akan terbentuk suatu ummah tanpa didasari individu. Namun Al Qur’an juga
menegaskan keragaman individu sebagai sesuatu yang wajar berkaitan dengan proses
menuju terbentuknya sebuah ummah.120 Tapi masyarakat juga tidak bisa dinafikan
sebagai tempat perkembangan dan pembentukan individu.121 Sehingga tata sosial dalam
bentuk masyarakat pada akhirnya juga penting. Karena tidak bisa dipungkiri jika tempat
tumbuh berkembangnya masyarakat itu baik, maka akan tercipta pula sebuah masyarakat
yang baik. Dalam hal ini bisa dianalogikan dalam bentuk keluarga. Anak yang terlahir
dari keluarga yang baik, maka akan ada unsur kebaikan dalam anak tersebut, begitu pula
sebaliknya. Oleh sebab itu masyarakat memiliki kedudukan sedikit lebih tinggi tapi
dalam catatan tidak melepaskan terlebih merendahkan kedudukan individu dalam
masyarakat.122 Sejalan dengan hal ini Isma’il Raji Al Faruqi menjelaskan:
The social order is the heart of islam, and stands prior to the personal. Indeed
Islam views the personal as a necessary prerequisite for the societal, and regards human
character as warped if it rested with the personal and did not transcend it to the
societal.123
Terjemah bebasnya demikian, Tata sosial adalah inti islam, dan lebih penting
dibanding tata pribadi. Sesungguhnyalah, islam memandang tata pribadi sebagai
prasyarat yang perlu bagi tata sosial, dan menganggap sebagai penyeleweng seorang
yang hanya memikirkan masalah pribadi dan tidak mempedulikan masyarakat. Sehingga
dapat diambil kesimpulan jika Islam memandang antara Individu dan tata social saling
terkait, tidak bisa antara satu dengan yang lain direndahkan atau jauh ditinggikan, hal ini
tentunya akan berimplikasi banyak terhadap konsep ummah itu sendiri.
Sehingga secara tidak langsung individu akan memiliki tanggung jawab untuk
membangun dan ikut serta dalam memperbaiki sebuah tatanan sosial dalam masyarakat.
116
Thomas E. O’dea, Sosiologi Agama, pent: Tim Yasogama (Jakarta: CV. Rajawali, 1992) hal. 2
117
Sir Mohammad Ibrahim, sociology of religions: perspectives of ali shariati (New Delhi: Asoke K.
Ghosh, 2008) hal. 85
118
Yusuf Qardhawi, Masyarakat Berbasis Syari’at Islam, pent: Abdus Salam Masykur (Solo: Era
Intermedia, 2003) hal.138-139
119
QS 4: 1 & QS 49: 13
120
QS 2: 1-4
121
QS 8: 25
122
QS 9: 24
123
Opcit. Isma’il Raji Al Faruqi, Al Tauhid: its Implications for thought and life. Hal. 86

20
Dalam kasus orang miskin setiap orang harus memiliki peran untuk membantunya, tidak
menjadikannya memaknai diri sebagai orang yang tertindas, dan ditekankan bahwa
mereka adalah orang yang tertindas. Membantu kaum miskin serta memperlakukannya
sama dengan yang lain sudah menjadi satu implikasi dari seorang mu’min. 124 Al Haji
menegaskan bahwa seorang Mu’min tidak berarti jika tidak perduli terhadap orang
miskin.125 Faktanya, di zaman Rasul sudah dicontohkan bagaimana beliau
memperlakukan rakyat miskin. Kadang Nabi duduk bersama mereka, memberi nafkah,
kadang sedekah yang dari orang diberikan kepada mereka, kadang Rasul meminta
mereka untuk makan bersama di rumahnya, hal inilah yang menurut Akram Diya’
disebut dengan The Rich and Poor strive together on equal terms. 126 Apa yang
dicontohkan Rasul menjadi panutan, sehingga yang lebih mampu dari Rasul berlomba-
lomba untuk membantu diluar zakat yang sudah diwajibkan. Dari kondisi yang semacam
ini secara tidak langsung keadilan dan kesejahteraan tercipta dengan sendirinya.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa Islam dalam kaitannya dengan tatanan
sosial sangat menjunjung nilai keadilan sebagai salah satu pokok/syarat tegaknya sebuah
ummah.127 Namun untuk lebih memahami, harus dimengerti dahulu arti keadilan dalam
konsepsi islam itu sendiri. Kata Adil memiliki rangkaian tiga huruf yang darinya
mengartikan dua hal yang saling bertolak belakang, yakni lurus dan sama serta bengkok
dan berbeda. Arti yang pertama lebih kepada konteks sikap yang harus lurus, sedangkan
arti yang kedua lebih kepada makna tidak berpihak kepada salah seorang yang
berselisih.128 Hal ini mengindikasikan bahwa arti kata adil bisa diperuntukkan bagi
individu sendiri (arti yang pertama), atau bagi individu dalam hubungannya dengan
orang lain (arti yang kedua). Sedangkan dalam kamus kata Adl secara etimologis berarti
mempersamakan sesuatu dengan yang lain.129 Meskipun demikian Quraisy Shihab juga
mengartikan adil dengan arti penempatan sesuatu pada tempatnya. Definisi ini
mengantar kepada bentuk persamaan meskipun dalam ukuran kuantitas boleh jadi tidak
sama.130 Bahkan Zamkhasyari menjelaskan bahwa adil seperti layaknya Allah
mewujudkan keadilan kepada ummatnya dengan cara memberikan kewajiban sesuai
dengan kemampuan.131 Sedangkan Ar Razi hampir sama dengan Zamkhasyari yang
menjelaskan keadilan dengan ayat la yukallifu Allah nafsan illa wus’aha. Artinya
pemenuhan dalam hak sesuai dengan kemampuan.132 Sehingga keadilan lebih diartikan
dengan memberikan sesuatu sesuai dengan porsinya bukan harus sama, meskipun
terkadang porsi yang harus dibagi memang sama.
Dalam kaitannya dengan sebuah masyarakat, maka definisi Adl lebih ditekankan
kepada konteks bagaimana individu bersosial dengan orang lain baik dalam hukum,
ataupun dalam tatanan sosial. Sehingga Adl memiliki makna memberikan hak kepada

124
Lihat QS 107-108
125
Alhaji Adeleke Dirisu Ajijola, The Islamic Concept of Social Justice (Pakistan: Islamic Publication
LTD, 1984) hal. 118
126
Akram Diya’ al Umari, Madinan Society at The Time of The Prophet (Saudi: International Islamic
Publishing House, 2nd edition, 1995) hal. 85-96
127
Muhammad Abu Zahrah, al Mujtama’ al Insani fi Dhil al Islami (Saudi: Dar Nasri wa Tauzi’, cet 2,
1981) hal. 165
128
M. Quraisy Shihab, Tafsir Al Mishbah, vol. 6 (Jakarta: Lentera Hati, 2009) hal. 698.
129
Drs. Dyayadi, Kamus Lengkap Islamologi (Yogyakarta: Qiyas, 2009) hal. 20
130
Opcit. M. Quraisy Shihab, Tafsir Al Mishbah, vol. 6, hal. 698
131
Zamkhasyari, al kasyaf, juz 3 (Riyadh: Maktabah al Abiikan, cet 1, 1998) hal. 464
132
Opcit, Fakhruddin Ar Razi, Mafatihul Ghaib, vol. 13, hal. 247

21
pemilik yang terdekat, implikasinya hak harus diberikan tanpa ditunda-tunda. Dalam
contoh kasus, seperti dalam masalah hutang. Jika orang yang berhutang sudah memiliki
uang, maka harus segera dibayar. Adl juga dimaknai moderasi yang berarti tidak
mengurangi dan tidak juga melebihkan.133 Dalam kaitannya dengan hukum sebuah
masyarakat, adil bisa terbagi menjadi dua. Pertama, perlakuan sama dalam tataran acara
(procedural justice), seperti seseorang mendapatkan tempat duduk yang sama dalam
persidangan. Kedua, memberikan sesuatu sesuai dengan porsinya, hal ini berkaitan
keadilan dalam substansinya (substantive justice).134 Sedangkan dalam tatanan sosial, Adl
sama artinya dengan menempatkan individu dalam pekerjaan sesuai dengan kemampuan.
Yang patut menjadi perhatian arti Adl dalam tatanan sosial bukanlah persamaan secara
utuh, tapi lebih kepada persamaan dalam pemberian kesempatan, dan keadilan dalam
tatanan sosial bukan dimaksud untuk menghilangkan perbedaan, seperti kemiskinan dan
kekayaan, namun dalam arti yang kaya memberikan hak yang miskin dalam kesempatan,
tidak menghalangi, dan mempersulit untuk mendapatkan apa yang mampu mereka
kerjaan.135 Hal yang sama dipaparkan oleh Ja’far Abd Salam yang menyimpulkan bahwa
keadilan dalam masyarakat adalah kesesuaian pembagian (baik uang, pekerjaan, hak, dll)
dengan kemampuan dan kontribusinya dalam sebuah masyarakat.136 Sehingga dapat
disimpulkan bahwa Adl bisa berarti dengan memperlukan orang lain sesuai dengan
haknya. Oleh sebab itu arti kata Adl yang dimiliki Islam dalam hubungannya dengan
sebuah masyarakat akan mendekatkan jurang pemisah antara si kaya dan si miskin.
Disamping keadilan sebagai salah satu konsep pokok dalam sebuah Masyarakat,
kebebasan dalam ummah juga tidak bisa dikesampingkan.137 Namun apa yang dimaksud
dengan kebebasan dalam masyarakat juga tidak seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya (lihat penjelasan teologi pembebasan). Prof. DR. Wahbah Az Zuhaili
menjelaskan bahwa kebebasan tidak bersifat mutlak, ia miliki ruang lingkup yang
terbatas, yaitu dengan tidak merugikan orang lain.138 Ja’far Abd Salam lebih cenderung
memaknai kebebasan dengan sebuah tindakan yang tidak terbatas kecuali dengan syari’at
Islam.139 Sedangkan kebebasan yang dimaksud dalam masyarakat Islam adalah sebuah
kebebasan yang berarti never restrict to the members of any tribe, nation, race or
group.140 Artinya kebebasan yang dimaksud lebih kepada kebebasan dalam kesamaan
untuk mendapatkan hak tanpa dibatasi suku, budaya, ras, atau kelompok. Oleh sebab itu
kebebasan juga diartikan dengan kebebasan dalam bertindak berdasarkan pada syari’ah
yang mendasari sebuah ummah. Hal ini secara tidak langsung akan mendukung
terciptanya sebuah kesejahteraan yang diidam-idamkan karena tidak lagi memiliki
batasan selain iman.
Adanya keadilan akan melahirkan Kesejahteraan. Hal ini sebuah konsekwensi
logis. Berkenaan dengan hal ini Islam memiliki konsep tersendiri. Dalam al Qur’an
terminologi yang sering digunakan adalah falah yang berarti kebahagiaan, namun yang
menjadi catatan adalah ruang lingkupnya yang mencakup kebahagiaan dunia dan

133
Ibid.
134
Dr. Muhammad Alim, SH., M.Hum, Asas-asas Negara Hukum Modern Dalam Islam, (Jogjakarta: Lkis,
2010) hal. 320
135
Opcit, Muhammad Abu Zahrah, al Mujtama’ al Insani fi Dhil al Islami, hal. 178
136
Ja’far Abd Salam, Al Islam wa Huquq al Insan, (Madinah: Dar Mahys, cet I, 2002) hal. 31
137
Lihat Isma’il Raji Al Faruqi dalam Al Tauhid: its Implications for thought and life, yang menjelaskan
bahwa salah satu prinsip dalam masyarakat adalah kebebasan.
138
Wahbah Az Zuhaili, Kebebasan Dalam Islam, penerj Ahmad Minan, Lc dan Salafuddin Ilyas, Lc
(Jakarta: Pustaka Kautsar, 2005) hal. 32
139
Opcit. Ja’far Abd Salam, Al Islam wa Huquq al Insan, hal. 45
140
Opcit. Isma’il Raji Al Faruqi, Al Tauhid: its Implications for thought and life. Hal. 96-97

22
akhirat.141 Meskipun demikian kesejahteraan dalam hubungannya dengan sebuah tatanan
sosial lebih dimaknai dengan maslaha yang merujuk kepada syari’ah dengan arti the
common social good or welfare.142 Tapi yang terpenting dari hal ini adalah kandungan
dari maslahah itu sendiri yang sama dengan arti falah yaitu sebuah keadaan di mana
antara kesejahteraan religi dan materi terpenuhi. Al Ghazali dalam terminology ini
menekankan pada penggunaannya sebagai pijakan dalam menentukan hukum tatanan
sosial.143 Artinya apa yang ditentukan harus tidak lepas dari tujuan terciptanya sebuah
maslaha. Hal ini juga sesuai dengan apa yang menjadi tujuan utama kehadiran Adam dan
Hawa di dunia yang tidak lain untuk menciptakan ketenangan batin dan kesejahteraan
lahir.144 Oleh sebab itu antara kesejahteraan spiritual, baik individu ataupun sosial, tidak
bisa dilepaskan dengan kesejahteraan secara materi. Karena banyak ditemukan orang
yang berlimpah hartanya justru terus gelisah karena tidak memiliki kebahagiaan spiritual
bahkan seolah ia dimiliki oleh harta, bukan harta yang memilikinya.
Oleh sebab itu masyarakat dalam konsepsi Islam setidaknya ada beberapa hal
yang harus ditekankan. Pertama, ikatan yang menjadikan suatu kesatuan adalah iman.
Kedua, kedudukan individu tidak dikultuskan dan tidak direndahkan. Ketiga, keadilan
dalam masyarakat lebih diartikan kepada memberikan hak sesuai dengan porsinya.
Keempat, kesejahteraan sebagai tujuan dimaknai dengan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Empat hal ini setidaknya harus ada dalam unsur sebuah masyarakat sehingga keadilan
akan tegak dan menghasilkan kesejahteraan seperti yang diinginkan oleh semua orang.
Sehingga apa yang dimaksud dengan kesejahteraan sosial tidak ditekankan
kepada salah satu pihak, seperti yang tertindas sebagai mayoritas. Hal ini dikarenakan
yang tertindas dengan kekuatannya sebagai mayoritas dapat mengganggu kebebasan
berbagai individu sebagai minoritas (lihat kasus Diktator Proletariat pada pembahasan
sebelumnya). Dalam Islam sebagai contoh kesejahteraan hanya berkiblat kepada surga
yang dihuni oleh adam dan istrinya, sesaat sebelum turunnya mereka untuk menjadi
khalifah di bumi.145 Contoh ini berdasar kepada ayat Thaa Haa ayat 117-119 yang
menyebut bagaimana segala kebutuhan terpenuhi, baik materi maupun non materi,
sebagai unsur utama dalam kesejahteraan sosial. sehingga dapat dimengerti jika
kesejahteraan yang dimaksud adalah kesejahtaraan merata antara individu dan sosial.
Memang pada akhirnya muncul pertanyaan bagaimana untuk menjadikan
keseimbangan tersebut menjadi nyata? Namun dalam Islam hal tersebut dijelaskan
dengan beberapa tahap yang ditentukan. Quraish Shihab menjelaskan jika Kesejahteraan
sosial dimulai dari perjuangan mewujudkan berbagai aspek akidah dan etika pada setiap
individu, karena hakikat sebuah masyarakat yang seimbang terbentuk dari setiap pribadi
yang seimbang. Sebagai contoh bisa merujuk bagaimana masyarakat Islam pertama yang
lahir dari karakter Nabi Muhammad yang mengagumkan. Pribadi Nabi selanjutnya
berimplikasi pada terbentuknya sebuah keluarga yang baik, dan demikian pada akhirnya
membentuk masyarakat yang seimbang antara keadilan dan kesejahteraan sosial.146
Artinya penanaman akidah harus lebih ditekankan dalam diri setiap orang bukan dengan
merubah karakter teologi menuju ke arah pembebasan.
Sehingga menurut Quraish Shihab yang dimaksud cara untuk mengawali
terbentuknya suatu kesejahteraan sosial harus dimulai dengan “Islam”, yaitu penyerahan

141
Opcit. M. Quraisy Shihab, Tafsir Al Mishbah, vol. 15, hal. 253-254
142
Opcit. Encyclopedia of Islam and The Muslim World, hal. 440
143
Ibid.
144
M. Quraisy Shihab, Membumikan Al Qur’an (Bandung: Mizan, Cet 3, 2009) hal. 377
145
M. Quraish Shihab, Wawasan Al Qur’an, (Bandung: Mizan, 2007) hal. 170
146
Ibid. hal. 172

23
diri sepenuhnya kepada Allah Swt. Penyerahan diri bukan berarti kembali kepada teologi
yang dalam bahasa Asghar disebut dengan “konvensional” yang memberikan candu,
yang memberi solusi kelaparan hanya dengan kata sabar, ikhlas atau tawakal. Tapi
sebuah penyerahan diri dalam arti iman yang telah merangkum unsur praxis147 yang
selama ini menurut Asghar banyak dilupakan dalam Teologi konvensional. Oleh sebab
itu apa yang sebenarnya harus dilakukan dalam menghadapi penindasan adalah kembali
kepada ajaran-ajaran Qur’an dan Sunnah yang menegaskan bagaimana pribadi
membekali diri, sehingga dari individu-individu yang baik akan tercipta beragam
keluarga yang berkualitas sampai pada akhirnya mewujudkan sebuah masyarakat yang
sejahtera.

8. Kesimpulan

Teologi Pembebasan yang digagas oleh Asghar Ali Engineer memiliki beberapa
Problem. Pertama, konsep ini tidak memiliki akar jelas dalam Islam, justru terambil dari
gagasan Teologi Pembebasan yang ada di Amerika Latin yang bersumber dari kehadiran
Yesus ke dunia dalam misi pembebasan. Kedua, terminologi Teologi yang ada dalam
teologi Pembebasan tidak sejalan dengan apa yang dimaksud Teologi (Ushuluddin)
dalam konsepsi Islam. Ketiga, berbagai konsep yang ada di dalamnya justru bersumber
dari Marxisme. Keempat, Metodologi yang digunakan oleh Asghar untuk merumuskan
Teologi Pembebasan terbukti banyak terambil dari Syi’ah. Kelima, kebebasan sebagai
tujuan utama seolah hanya angan-angan semu, karena sulit untuk diraih. Keenam,
karakteristiknya yang kontekstual menjadikan ajaran Islam bersifat relative. Ketujuh,
metodologi praksis yang digunakan pada akhirnya akan melemahkan dasar-dasar agama
karena lebih mementingkan kenyataan daripada sebuah ajaran. Beberapa hal ini
membuktikan apa yang dimaksud dengan Teologi Pembebasan tidak pantas untuk
diterapkan dalam ajaran Islam.
Apa yang dilakukan Asghar juga lebih identik sebagai gerakan ekonomi untuk
membebaskan masyarakat dari kemiskin. Hal ini diindikasikan dengan beragam rumusan,
diantaranya menekankan teologi pada usaha nyata, agar masyarakat bisa menuju lebih
baik. Namun bila ditinjau lebih jauh, seharusnya yang dilakukan adalah membangun
masyarakat dengan landasan Islam yang tertanam dalam setiap individu. Karena dari
individu akan terbentuk satu masyarakat utuh yang berpegang teguh terhadap Islam
dalam dua dimensi, dunia dan akhirat, yang seimbang.

147
dasar Teologi Pembebasan yang menekankan pada praxis pada hakikatnya sudah terangkum dalam arti
iman dalam terminologi Islam. iman diartikan dengan sebuah kepercayaan dengan hati, diucapkan dengan
lisan, diamalkan dalam bentuk perbuatan. Sulaiman bin Sholeh, Al Aqidah, fi’atul ‘ammah (Saudi: Dar
Sibiliya, 2001) hal. 16

24
Daftar Pustaka

A S Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, Oxford University Press, UK, sixth
edition.
A Dictionary of Marxist Thought, Blackwell Publishing, UK, 2nd ed, 1991.
Afzalur Rahman, Ensiklopediana Ilmu, (pent), Taufik Rahman, Mizania, Bandung, Cet I,
2007.
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001.
Akram Diya’ al Umari, Madinan Society at The Time of The Prophet, International
Islamic Publishing House, Saudi, 2nd Edition, 1995.
Alhaji Adeleke Dirisu Ajijola, The Islamic Concept of Social Justice, Islamic Publication
LTD, Pakistan, 1984.
Alister E. McGrath, Christian theology: an introduction, Blackwell Publishing, UK, 5th
ed, 2011.
Alma Rosa Alvarez, Liberation Theology in Chicana/o Literature, Routledge, USA.
Amal Fathullah, MA, ilm kalam, Darussalam, Ponorogo.
Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, (pent), Agung Prihantoro, Pustaka
Pelajar, Jogjakarta, cet 5.
_________________, Islam dan Pembebasan, (pent), Hairus Salim et. All, LKiS,
Jogjakarta, cet 2, 2007
_________________, Hak-hak perempuan dalam Islam, Yayasan Bentang Budaya,
1994.
_________________, Islam Masa Kini, (pent) Tim Forstudia, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2004
Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, (pent) Sigit Jatmiko et. All, pustaka pelajar,
Jogjakarta, cet. 2, 2004.
Miguel A. De La Torre, The Hope Of Liberation in World Religions, Baylor University
Press, USA, 2008.
Asy Syahrastani, Al Milal wa Nihal, (Pent), Prof. Asywadie Syukur, LC, PT. Bina Ilmu,
Surabaya.
‘Abdul Majid bin Salam, Manhaju Ibn Taimiyah fi mas’alati takfir, Maktabah Adwa
Salaf, Riyadh
Christian Smith, The Emergence of Liberation Theology: radical religion and social
movement theory, The university of Chicago press, Chicago, 1991.
Dyayadi, Kamus Lengkap Islamologi, Qiyas, Yogyakarta, 2009.
E. Brooks Holifield, Theology in America, Yale University Press, London, 2003.
Encyclopedia of Islam and the muslim world, Macmillan reference, USA, 2003.
Emilio Antonio, Crisis and Hope in Latin America: an evangelical perspectives, Moody
Press, Chicago.
Gregory Baum, Essay in critical theology, Sheed & Ward: Kansas.
Hamid Dabashi, Islamic Liberation Theology, Routledge, USA.
Isma’il Raji al Faruqi dalam Al Tawhid: Its Implications for Thought and Life,
International Institute of Islamic Thought, USA, 1992.
Ivan Petrella, The future of liberation theology: an argument and manifesto.
J. David Turner, An Introduction to Liberation Theology, University Press of America,
USA.
Ja’far Abd Salam, Al Islam wa Huquq al Insan, Dar Mahys, Madinah, cet 1, 2002.
John Macquarrie, Principles of Cristian Theology, SCM press, London, Revised Edition,
1977.

25
Kadarusman, Agama, Relasi Gender & Feminisme, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2005
Karl Marx and F. Engels, K. Marx and F. Engels on Religion, Foreign Languages
Publishing House, Moskow, 1957.
Lorens Bagus, kamus filsafat, Gramedia pustaka Utama, Jakarta, cet IV 2005.
Laurence W. Wood, Theology as history and hermeneutict, Erneth Press, USA.
M. Quraisy Shihab, Membumikan Al Qur’an, Mizan, Bandung, cet 3, 2009.
_______________, Wawasan Al Qur’an, Mizan, Bandung, 2007.
_______________, Tafsir Al Mishbah, vol. 8, Lentera Hati, Jakarta, 2009.
_______________, Tafsir Al Mishbah, vol. 6, Lentera Hati, Jakarta, 2009.
Marian Hillar, Liberation Theology, Anthology of essays, American Humanist
Assosiation, Houston, 1993.
Michael Lowy, Teologi Pembebasan, (Pent). Roem Topatimasang, Insist Press
bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, Jogjakarta, cet 3, 2003.
Muhammad Husain Ad Dzahabi, Buthus fii ‘ulum tafsir, darul hadist, 2005.
Moh. Dawam Anwar, et. Al, Mengapa Kita Menolak Syi’ah, Lembaga Penelitian dan
Pengkajian Islam, Jakarta, 1997.
Muhammad Abu Zahrah, al Mujtama’ al Insani fi Dhil al Islami, Dar Nasri wa Tauzi’,
Saudi, cet 2, 1981.
Murray N. Rothbard, The End of Socialism and The Calculation Debate Revisited.
Mark Driscoll, On who is God? Crossway Books, USA, 2008.
Muhammad Alim, SH., M.Hum, Asas-asas Negara Hukum Modern Dalam Islam, Lkis,
Jogjakarta, 2010.
Muhammad At Tamimi al Baghdadi, Ushuluddin, Darul Kutub, Beirut, 2002.
Muhammad bin Ibrahim al Twaijri, Ushuluddin al Islami, Darul ‘Ashimah, Riyadh, 1414
H.
Philip Berryman, Liberation Theology, Temple University Press, USA, 1987.
Ridwan, kekerasan berbasis gender, Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto,
Purwokerto, 2006.
Sir Mohammad Ibrahim, sociology of religions: perspectives of Ali Shariati, Asoke K.
Ghosh, New Delhi, 2008.
Stanley J. Grenz, Roger E olson, Twentieth-century theology: god and the world in a
transitional age, inter varsity press, USA.
Sulaiman bin Sholeh, Al Aqidah, fi’atul ‘ammah, Dar Sibiliya, Saudi, 2001.
Srinivas R. Melkote et. Al, Communication for development in the third world: theory
and practice for empowerment, Sage Publication, India. 2nd ed.
Syed Muhammad Nuquib Al-Attas, islam and secularism, ISTAC, Kuala Lumpur, 2nd
Edition, 1993.
The New International Webster’s comprehensive dictionary of the English language,
Trident Press, USA International, deluxe encyclopedic Edition, 1996.
Thomas E. O’dea, Sosiologi Agama, (pent) Tim Yasogama, CV Rajawali, Jakarta, 1992.
W.R.F. Browning, Kamus Al Kitab, (Pent) Dr. Liem Khiem Yang et. Al, PT BPK
Gunung Agung Mulia, Jakarta, 2008.
Wahbah Az Zuhaili, Kebebasan Dalam Islam, (Pent), Ahmad Minan, Lc dan Salafuddin
Ilyas, Lc, Pustaka Kautsar, Jakarta, 2005.
Violent Internal Conflict in Asia Pacific, Yayasan Obor Indonesia, MOST-LIPI,
LASEMA-CNRS, and KITLV, Jakarta, 2005.
Yusuf Qardhawi, Masyarakat Berbasis Syari’at Islam, pent: Abdus Salam Masykur, Era
Intermedia, Solo, 2004.
Fakhruddin Ar Razi, Mafatihul Ghaib, vol. 10, Dar Fikri, cet I, 1981.

26
_______________________________, vol. 13, Dar Fikri, cet I, 1981.
_______________________________, vol. 22, Dar Fikri, cet I, 1981.
Zamkhasyari, al kasyaf, vol. 3, Maktabah al Abiikan, Riyadh, cet I, 1998.
http://andromeda.rutgers.edu/~rtavakol/engineer/
http://www.twocircles.net/2010aug24/being_kafir.html

27

Anda mungkin juga menyukai