Anda di halaman 1dari 73

SKRIPSI

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PELANGGARAN


PEMILIHAN UMUM DI KOTA YOGYAKARTA

Oleh:

Arita Yunita

1700024323

Skripsi ini Disusun Untuk Melengkapi Persyaratan

Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN

YOGYAKARTA
2021

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu persyaratan pelaksanaan sistem demokrasi adalah keikutsertaan

rakyat dalam proses pemerintahan. Masyarakat mempunyai akses ke dalam

sistem pemerintahan dengan memberikan partisipasi dalam memilih siapa

yang akan menjadi pemimpin mereka. Dalam sistem negara dimana terbentuk

Lembaga Perwakilan Rakyat, maka kemauan rakyat itu diwakilkan kepada

mereka yang duduk dalam lembaga perwakilan rakyat. Pemilihan umum

(selanjutnya disingkat Pemilu) secara langsung oleh rakyat merupakan sarana

perwujudan kedaulatan rakyat. Guna menghasilkan pemerintahan negara yang

demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945). Pasal 1

ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat

dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.

Penyelenggara Pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan Pemilu

yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu.

Peranan Bawaslu yang dilakukan dalam konteks pencegahan pelanggaran

pemilu dan pencegahan sengketa proses pemilu adalah mengidentifikasi dan

memetakan potensi kerawanan serta pelanggaran pemilu mengoordinasikan,

2
mensupervisi, membimbing, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan

pemilu, berkooordinasi dengan instansi pemerintah terkait dan meningkatkan

partisipasi masyarakat dalam pengawasan pemilu. (Prasetyo, 2017: 124-125)

Penyelenggaraan Pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan

adil dapat terwujud apabila dilaksanakan oleh penyelenggara Pemilu yang

mempunyai integritas, profesionalisme dan akuntabilitas. Akuntabiltas berarti

setiap pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan Pemilu harus

mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas dan kewenangannya kepada

publik baik secara politik maupun secara hukum. (Rini, 2015: 37-38)

Menurut Dudung Mulyadi (2019: 15), bertanggung jawab secara politik

berarti setiap unsur yang terlibat dalam penyelenggaraan Pemilu mempunyai

kewajiban menjelaskan kepada masyarakat fungsinya dan alasan tindakan

yang diambil. Bertanggungjawab secara hukum berarti setiap pihak yang

diduga melakukan pelanggaran hukum perihal asas-asas Pemilu yang

demokratis wajib tunduk pada proses penegakan hukum berdasarkan asas

praduga tak bersalah dan asas due process of law yang diatur dalam KUHAP.

Salah satu prasyarat penting dalam penyelenggaraan Pemilu di negara

demokrasi adalah bahwa penyelenggaraan Pemilu dilaksanakan oleh lembaga

yang mandiri dari pemerintah. Permasalahan yang muncul adalah adanya

berbagai macam tindak pidana yang dilakukan yang merebak di berbagai

daerah dalam Pemilihan Calon Pemimpin. (Mulyadi, 2019: 15)

3
Sampai sekarang pun terdapat kesulitan untuk mendapatkan bukti-bukti

tertulis guna memprosesnya secara hukum. Padahal hukum di Indonesia

senantiasa menuntut adanya bukti-bukti tertulis untuk dapat mengajukan

seseorang ke pengadilan dengan tuduhan telah melakukan tindak pidana

dalam Pemilu.

Tindak pidana Pemilu adalah tindak pidana yang berkaitan dengan

penyelenggaraan Pemilu. Perbuatan yang termasuk dalam jenis tindak pidana

Pemilu diatur dalam Bab II tentang Ketentuan Pidana Pemilu Pasal 488 s.d.

Pasal 554 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, beberapa jenis tindak

pidana Pemilu di antaranya yaitu:

1) Memberikan keterangan tidak benar dalam pengisian data diri daftar

pemilih (Pasal 488)

2) Kepala desa yang melakukan tindakan yang menguntungkan atau

merugikan peserta Pemilu (Pasal 490)

3) Orang yang mengacaukan, menghalangi atau menganggu jalannya

kampanye Pemilu (Pasal 491)

4) Orang yang melakukan kampanye Pemilu di luar jadwal yang telah

ditetapkan KPU (Pasal 492)

5) Pelaksana kampanye Pemilu yang melakukan pelanggaran larangan

kampanye (Pasal 493)

6) Peserta Pemilu yang sengaja memberikan keterangan tidak benar dalam

laporan dana kampanye Pemilu (Pasal 496 s.d. Pasal 497)

4
7) Setiap orang yang menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya (Pasal

510)

8) Ketua KPU yang dengan sengaja menetapkan jumlah surat suara yang

dicetak melebihi jumlah yang ditentukan (Pasal 514)

9) Setiap orang yang dengan sengaja pada waktu pumungutan suara

memberikan suaranya lebih dari satu kali (Pasal 516)

Tindak pidana Pemilu di Indonesia dalam perkembangannya mengalami

banyak perubahan baik berupa peningkatan jenis tindak pidana sampai tentang

penambahan sanksi pidana. Penyebabnya karena tindak pidana Pemilu

semakin menjadi perhatian yang serius, karena ukuran keberhasilan negara

demokrasi dilihat dari kesuksesan menyelenggarakan Pemilu. Penting adanya

kinerja yang baik oleh penyelenggara Pemilu agar terciptanya kesuksesan

Pemilu.

Masalah hukum Pemilu yaitu pelanggaran kode etik penyelenggara

Pemilu, pelanggaran administrasi Pemilu, sengketa Pemilu, tindak pidana

Pemilu, sengketa tata usaha negara Pemilu, dan perselisihan hasil Pemilu.

Beberapa contoh pelanggaran administrasi Pemilu adalah pemasangan alat

peraga peserta kampanye, seperti poster, bendera, umbul-umbul, spanduk, dan

lain-lain yang dipasang sembarangan. Penegakan hukum terhadap tindak

pidana Pemilu dilakukan oleh Bawaslu. Tugas Bawaslu dalam Undang-

Undang No. 7 Tahun 2017 pasal 93 huruf (b) disebutkan Bawaslu bertugas

5
melakukan pencegahan dan penindakan terhadap Pelanggaran Pemilu dan

Sengketa Proses Pemilu. (Anwar, 2019: 78)

Bawaslu bertugas melakukan pencegahan dan penindakan terhadap

pelanggaran Pemilu dan sengketa Pemilu sebagaimana yang dimaksud dalam

Pasal 93 huruf b Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan

Umum.

Sejak Pemilu anggota legislatif, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Kepala

Daerah dan Wakil Kepala Daerah diselenggarakan di era pemerintahan

reformasi, memunculkan berbagai bentuk tindak pidana Pemilu.

Sepanjang tahapan pelaksanaan Pemilu Legislatif hingga sejak masa

kampanye Pemilu 2019 yang dimulai September 2018, Badan Pengawas

Pemilu (Bawaslu) mencatat ada 6.274 kasus. Anggota Bawaslu Mochamad

Afifuddin menyampaikan bahwa dari jumlah dugaan pelanggaran tersebut,

5.985 kasus diantaranya adalah temuan Bawaslu, dan 601 dari laporan

masyarakat. Jumlah kasus pidana Pemilu tersebut merupakan akumulasi dari

seluruh tahapan kegiatan Pemilu mulai dari masa sebelum pelakasanaan

kampanye, pendaftaran pemilih, masa kampanye, masa tenang, pemunggutan

suara, dan penghitungan suara. Sesuai data tersebut, sebanyak 45 putusan

pidana pemilu sudah dikeluarkan. Diantaranya, 12 putusan terkait netralitas

Aparatur Sipil Negara (ASN), 6 putusan politik uang, dan 3 (tiga) putusan

terkait tindakan menguntungkan salah satu calon. Belasan ribu alat peraga

kampanye (APK) seperti billboard calon presiden-wakil presiden serta calon

6
anggota legislatif peserta Pemilu 2019 melanggar aturan dengan penempatan

yang sembarangan. (Diakses pada tanggal 9 April 2021).

Pengaturan dan implementasi penegakan hukum terhadap tindak pidana di

Indonesia dalam Pasal 448 sampai dengan Pasal 554 Undang-Undang Nomor

7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Di dalam Undang-Undang Nomor 7

Tahun 2017 tentang Pemilu dan KUHP tidak dijelaskan mengenai pengertian

tindak pidana kejahatan dalam Pemilu. Pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun

2017 hanya mengatur mengenai penjatuhan sanksi terhadap pelaku tindak

pidana di dalam pemilihan umum. Permasalahannya adalah adanya kekaburan

mengenai tindak pidana pelanggaran dan kejahatan dalam pemilihan umum.

Kajian mengenai Pemilu dan peraturan-peratuan hukumnya telah banyak

dilakukan oleh berbagai pihak, seperti peneliti, peminat telaah di bidang

hukum, dan para sarjana. Berdasarkan data yang didapat dan diketahui,

penulis memandang sistem penanganan tindak pidana Pemilu di Indonesia

masih memerlukan berbagai pembenahan. Pembenahan tersebut bertujuan

agar penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana Pemilu dapat berjalan

dengan baik dan efektif demi mewujudkan Pemilu yang adil dan jujur.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk

menulis skripsi dengan judul Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana

Pelanggaran Pemilihan Umum Di Kota Yogyakarta.

B. Rumusan Masalah

7
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan

dibahas dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pelanggaran

Pemilihan Umum di Kota Yogyakarta?

2. Apa Kendala dalam Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana

Pelanggaran Pemilihan Umum di Kota Yogyakarta?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang akan dicapai

dalam penelitian ini adalah Untuk mengetahui:

1. Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pelanggaran Pemilihan

Umum di Kota Yogyakarta

2. Kendala dan faktor apa saja yang mempengaruhi dalam Penegakan

Hukum Terhadap Tindak Pidana Pelanggaran Pemilihan Umum di Kota

Yogyakarta.

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian yang hendak dicapai, maka penelitian ini

diharapkan mempunyai manfaat dalam penegakan hukum di Indonesia baik

secara langsung maupun tidak langsung. Adapun manfaat penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Lembaga (Universitas Ahmad Dahlan)

Dapat menjadi bahan bacaan dan bahan kajian lebih lanjut bagi para

mahasiswa/i, khususnya bagi mahasiswa/i fakultas hukum tentang

8
Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pelanggaran Pemilihan

Umum.

2. Penulis

Dapat menambah pengetahuan dan wawasan serta dapat memenuhi

persyaratan memperoleh gelar sarjana S1 dalam program studi Ilmu

Hukum di Universitas Ahmad Dahlan.

3. Masyarakat

Memberikan informasi atau pengetahuan tentang Penegakan Hukum

Terhadap Tindak Pidana Pelanggaran Pemilihan Umum.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian Normative-

Empiris. Abdulkadir Muhammad (dalam Muhaimin, 2020: 116)

menyatakan Penelitian hukum Normative-Empiris (applied law research)

adalah penelitian hukum mengenai pemberlakukan atau implementasi

ketentuan hukum normatif (kodifikasi, undang-undang, atau kontrak)

secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam

masyarakat. Implementasi secara in action tersebut merupakan fakta

empiris dan berguna untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.

Implementasi secara in action diharapkan akan berlangsung sempurna

apabila rumusan ketentuan hukum normatifnya jelas dan tegas serta

lengkap. Penelitian hukum yang mengkaji tentang hukum sebagai aturan

9
atau norma dan penerapan aturan hukum dalam prakteknya di masyarakat.

(Muhaimin, 2020: 117). Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian

Normative-Empiris, karena hendak mengetahui bagaimana Penegakan

Hukum Terhadap Tindak Pidana Pelanggaran Pemilihan Umum di Kota

Yogyakarta serta kendalanya, yang diperoleh melalui fakta-fakta yang

diambil melalui wawancara.

2. Subjek dan Objek Penelitian

a. Subjek penelitian

Penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah seluruh

masyarakat Kota Yogyakarta dan Badan Pengawas Pemilihan Umum

(Bawaslu) Kota Yogyakarta.

b. Objek penelitian

Penelitian ini yang menjadi objek penelitian adalah tindakan dan

sistem penegakan hukum oleh Bawaslu Kota Yogyakarta terhadap

Tindak Pidana Pelanggaran Pemilihan Umum di Kota Yogyakarta.

3. Lokasi Penelitian

Bawaslu merupakan lembaga penyelenggara Pemilu yang bertugas

mengawasi penyelenggaraan Pemilu. Sesuai dengan judul yang diambil

oleh peneliti yaitu “Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana

Pelanggaran Pemilihan Umum di Kota Yogyakarta”, maka penelitian

skripsi ini dilakukan dengan mengambil lokasi di Kota Yogyakarta.

Tempat penelitian di Kantor Bawaslu Kota Yogyakarta yang beralamat di

10
Jalan Langenarjan Lor, Panembahan, Kecamatan Kraton, Kota

Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta 55131.

4. Sumber Data dan Bahan Hukum

a. Sumber data

1) Data primer

Sumber data primer adalah data yang diperoleh secara

langsung oleh penulis semua keterangan untuk pertama kalinya

dicatat oleh penulis, dimana pada permulaan penelitian belum ada

data. Data primer diperoleh penulis dengan cara memperoleh data

yang valid dan gambaran yang jelas terhadap judul yang akan

diteliti. (Sunggono, 2012: 37)

Data primer diperoleh penulis denngan cara melakukan

penelitian langsung ke lokasi penelitian dan narasumbernya

dengan melakukan pengumpulan data di lokasi penelitian di

Langenarjan Lor, Panembahan, Kecamatan Kraton, Kota

Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta 55131.

2) Data sekunder

Bahan hukum yang menjelaskan tentang bahan hukum Primer

yaitu data pendukung dan data pelengkap. Data diperoleh dengan

mencari dan mengumpulkan bahan dari buku-buku pustaka yang

dipergunakan sebagai refrensi penunjang penelitian.

b. Bahan hukum

11
1) Bahan hukum primer

Bahan Hukum Primer yaitu bahan hukum yang diperoleh dari

hukum positif atau peraturan perundang-undangan yang berkaitan

dengan masalah yang akan diteliti oleh penulis yaitu Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu

(UU Pemilu) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP).

2) Bahan hukum sekunder

Bahan Hukum Sekunder yaitu yang mendukung bahan hukum

primer yang berupa:

a) Artikel-artikel

b) Hasil penelitian

c) Jurnal hukum

d) Karya tulis ilmiah

e) Pendapat hukum (Doktrin)

3) Bahan hukum tersier

Bahan Hukum Tersier yaitu bahan hukum yang sifatnya

melengkapi kedua bahan hukum diatas, bahan hukum tersier

dalam penelitian ini terdiri dari:

a) Ensiklopedia

b) Kamus Besar Bahasa Indonesia

12
c) Kamus Bahasa Inggris

5. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara

Studi Lapangan (field research), yakni merupakan suatu teknik atau

metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara melakukan

pengamatan langsung pada objek yang diteliti untuk memperoleh data

yang dibutuhkan. Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data

melalui observasi atau wawancara. Metode pengumpulan data lapangan

adalah untuk mengumpulkan data dari keadaan, fenomena, atau situasi

yang terjadi dari lokasi penelitian dengan metode wawancara atau lain

sebagainya. Data yang akan diambil pada skripsi ini melalui proses

wawancara dengan narasumber dari Kantor Badan Pengawas Pemilihan

Umum Kota Yogyakarta.

6. Pendekatan

Penelitian ini menggunakan pendekatan Konseptual (Conceptual

Approach), jenis pendekatan yang memberikan sudut pandang analisa

penyelesaian permasalahan dalam penelitian hukum dilihat dari aspek

konsep-konsep hukum yang melatarbelakanginya. Dilihat dari nilai-nilai

yang terkandung dalam penormaan sebuah peraturan dan kaitannya

dengan konsep-konsep yang digunakan. Penelitian ini juga menggunakan

Pendekatan Struktural, yaitu pendekatan yang menggunakan sebuah sudut

pandang luas dalam sosiologi dan antropologi yang berupaya menafsirkan

13
masyarakat sebagai sebuah struktur dengan bagian-bagian yang saling

berhubungan. Fungsionalisme menafsirkan masyarakat secara keseluruhan

dalam hal fungsi dari elemen-elemen konstituennya, terutama norma, adat,

tradisi dan institusi. Berupaya untuk menghubungkan sebisa mungkin

dengan setiap fitur, adat, atau praktik, dampaknya terhadap berfungsinya

suatu sistem yang stabil dan kohesif. Jenis pendekatan ini digunakan

untuk mengetahui fakta-fakta yang ada di dalam suatu masyarakat, badan

hukum atau badan pemerintah.

7. Analisis Data

Penelitian ini adalah penelitian hukum empiris atau sosiologis, karena

penelitian ini dilakukan dengan meneliti kenyataan dalam praktek dengan

melihat bagaimana pelaksanaan Pemilu di Kota Yogyakarta. Dengan

pengolahan data secara kualitatif yaitu menganalisis data sesuai tujuan

peruntukannya secara sistematis dan logis, sehingga dapat diperoleh

kesimpulan yang bersifat ilmiah. Pemaparannya dilakukan secara

deskriptif, supaya kesimpulan penelitian yang dilakukan memperoleh hasil

yang benar dan akurat dalam menjawab permasalahan yang telah

dirumuskan. Dengan pemaparan secara deskriptif maka penelitian ini

dapat menjelaskan pelaksanaan penegakan hukum terhadap tindak pidana

pelanggaran Pemilu di Kota Yogyakarta.

14
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu

Penelitian yang pernah diangkat oleh penulis sebelumnya yang hampir

mendekati sama dengan penelitian dalam penulisan skripsi ini, yang pertama

penelitian Skripsi oleh Budi Saputra dari Universitas Muhammadiyah

Sumatera Utara dengan judul “Penegakan Hukum dalam Tindak Pidana

Pemilihan Umum oleh Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Studi pada Badan

Pengawas Pemilihan Umum Kota Binjai)”.

Penelitian tersebut menjelaskan tentang bentuk-bentuk pelanggaran tindak

pidana pemilihan umum, penegakan hukum serta kendala penegakan

hukumnya di Kota Binjai. Salah satu bentuk tindak pidana pelanggaran yang

terjadi yaitu mengaku sebagai orang lain agar dapat hak pilih sebanyak dua

kali. Terdapat pula tindak pidana pemilihan umum dengan melakukan

kampanye melalui media cetak, dan juga merusak alat peraga kampanye.

Perbuatan tersebut jelaslah merupakan tindak pidana yang telah melanggar

ketentuan pasal 533 Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.

Pelaksanaan penegakan hukum tindak pidana pemilihan umum di Kota

Binjai dilakukan satu atap secara terpadu oleh sentra penegakan hukum

terpadu (sentra Gakkumdu) Kota Binjai. Sentra Gakkumdu beranggotakan

15
Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan. Apabila ada aduan/temuan yang diduga

sebagai tindak pidana pemilihan umum, maka Bawaslu melakukan

pembahasan pertama paling lama 1x24 jam. Setelah itu dilakukannya

pembahasan kedua untuk sekaligus menentukan apakah perbuatan tersebut

merupakan tindak pidana pemilihan umum atau tidak. Apabila perbuatan

tersebut tindak pidana pemilihan umum maka diteruskan ke pihak kepolisian

untuk dilakukannya penyidikan paling lama 14 (empat belas) hari kerja.

Setelah berkas sudah lengkap maka kepolisian menyerahkan ke kejaksaan

untuk dibuatkannya surat dakwaan untuk diserahkan ke pengadilan paling

lama 5 (lima) hari kerja.

Hasil penelitian tersebut, kendala terhadap penegakan hukum tindak

pidana pemilihan umum oleh sentra penegakan hukum terpadu Kota Binjai

dilihat dari sistem dan struktur hukumnya. Masih terdapatnya perbedaan

persepsi dalam mengkaji suatu laporan/temuan yang diduga tindak pidana

Pemilu, substansi hukumnya. Peraturan perundang-undangan masih terdapat

kata-kata yang mengandung multitafsir dan sulit untuk dimengerti, dan yang

terakhir yaitu budaya hukum, dimana kesadaran hukum masyarakat masih

rendah mengenai tindak pidana Pemilu, sehingga masyarakat masih banyak

yang melakukan tindak pidana Pemilu. (Saputra, 2019: 91)

Penelitian diatas dengan penelitian saya hampir sama yaitu menjelaskan

mengenai bagaimana pelaksanaan penegakan hukum terhadap tindak pidana

pelanggaran Pemilu. Penelitian tersebut juga menjelaskan faktor penghambat

16
dalam penegakan hukumnya. Hanya saja, pada penelitian diatas tidak

dijelaskan bagaimana cara atau solusi yang perlu dilaksanakan dalam

menghadapi faktor penghambatnya. Penelitian yang akan saya buat,

menjelaskan mengenai penegakan hukum terhadap tindak pidana pelanggaran

pemilu di Kota Yogyakarta serta faktor yang menjadi kendala dalam

penegakan hukum tersebut serta solusi atau upaya untuk mengatasi kendala

tersebut.

Penelitian selanjutnya adalah penelitian Skripsi oleh Fadli Kurnia Putra

dari Universitas Andalas yang berjudul “Penegakan Hukum Tindak Pidana

Pemilu Melalui Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu) di

Kota Bukittinggi”. Penelitian tersebut membahas tentang Sentra Penegakan

Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu) Kota Bukittinggi. Para anggota

Gakkumdu sendiri berasal dari Kepolisian Negara Republik Indonesia dan

penuntut yang berasal dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Putra,

2018). Sebagai sentra penegakan hukum yang menangani tindak pidana

Pemilu di wilayah hukum Kota Bukittinggi. Gakkumdu Kota Bukittinggi telah

menjalankan Penegakan Hukum Tindak Pidana Pemilu sesuai dengan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, Peraturan

Badan Pengawas Pemilu Nomor 7 Tahun 2018 Tentang Penanganan Temuan

dan Laporan serta Peraturan Badan Pengawas Pemilu Nomor 31 Tahun 2018

Tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu.

17
Sesuai wawancara penulis yang dilakukan dengan Ketua Koordinator

Sentra Gakkumdu Kota Bukittinggi, terdapat kendala yang dihadapi dalam

penegakan hukum tindak pidana Pemilu. Kendala tersebut berupa sulitnya

mendapatkan laporan dikarenakan tidak beraninya masyarakat untuk melapor

dan tidak adanya jaminan bagi pelapor. Saat pencarian bukti-bukti,

masyarakat tidak berkenan menjadi saksi, saat dalam proses berjalan

pelapor/terlapor tidak berkenan untuk hadir. Waktu penanganan yang dimiliki

Gakkumdu yang terlalu singkat, dan Mutasi personil Gakkumdu Kota

Bukittinggi juga menjadi kendala. (Putra, 2020: 20)

Upaya yang dilakukan Sentra Gakkumdu Kota Bukittinggi mengatasi

kendala yang dihadapi ialah mengupayakan sosialisasi mengenai tindak

pidana Pemilu dan tata cara pelaporan. Sosialisasi dilakukan oleh Badan

Pengawas Pemilu (Bawaslu). Menyangkut mutasi, pihak Gakkumdu

kedepannya akan mengkoordinasikan kepada pihak-pihak terkait agar tidak

dilakukan mutasi saat terjadinya penanganan tindak Pidana Pemilu.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan saya bahas adalah

dalam penelitian ini dijelaskan mengenai Hukum Tindak Pidana Pemilu sesuai

dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum,

Peraturan Badan Pengawas Pemilu Nomor 7 Tahun 2018 Tentang

Penanganan Temuan dan Laporan serta Peraturan Badan Pengawas Pemilu

Nomor 31 Tahun 2018 Tentang Sentra Penegakan Hukum Terpadu.

Dijelaskan juga kendala serta upaya yang dilakukan Sentra Penegakan Hukum

18
Terpadu (Sentra Gakkumdu) Kota Bukittinggi dalam menghadapi kendala.

Penelitian ini tidak membahas mengenai bentuk dan jenis tindak pidana

pelanggaran apa saja yang dilanggar dalam proses pelaksanaan pemilu. Dalam

penelitian saya dijelaskan bentuk dan bagaimana penegakan hukum terhadap

tindak pidana pelanggaran Pemilu. Dalam penelitian saya juga menjelaskan

kendala serta bagaimana upaya Bawaslu dalam menghadapi kendala yang ada

dalam tindak pidana pelanggaran Pemilu di Kota Yogyakarta.

Penelitian Skripsi selanjutnya adalah penelitian skripsi oleh Nuria Mentari

Idris dari Universitas Hasanuddin yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap

Penanganan Tindak Pidana pada Pemilihan Umum Legislatif 2014 di Kota

Makassar”. Hasil pembahasan dan analisa penelitian menyimpulkan, pilihan

terhadap sistem pemilu harus memperhatikan implikasi dan berusaha

mengantisipasi akibat-akibat dari kompleksitas faktor secara komprehensif.

Tidak ada sistem pemilu yang sempurna dan berjalan lancar tanpa kendala.

Kunci utama dalam sistem pemilu adalah mengoptimalkan pencapaian tujuan

Pemilu dan mempersempit akibat negatif Pemilu. Nuria Mentari Idris

menyatakan bahwa implementasi dari Undang–Undang Nomor 8 Tahun 2012

tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD di Kota Makassar

masih belum mencapai hasil yang maksimal.

Proses penanganan tindak pidana oleh sentra Gakkumdu yang merupakan

forum kesepahaman yang terdiri dari 3 (tiga) lembaga hukum yakni Panwaslu,

kepolisian dan kejaksaan. Ketiga lembaga tersebut menangani temuan dan

19
laporan yang telah Panwaslu terima sebelumnya dari masyarakat. Sebelum

wadah Sentra Gakkumdu terbentuk, ada kesulitan bagi pengawas Pemilu

dalam menindaklanjuti temuan atau pelaporan pidana Pemilu. Misalnya, ada

beberapa kasus yang diteruskan oleh pengawas Pemilu, tapi ditolak

Kepolisian karena dinilai tidak cukup bukti. Potensi pelanggaran pidana

Pemilu cukup tinggi dalam setiap tahapan Pemilu 2014. Dengan demikian,

diperlukan satu langkah preventif dan terpadu antara Bawaslu, Polri dan

Kejaksaan untuk mengatasi potensi pelanggaran yang mungkin terjadi.

Mekanismenya, semua laporan pelanggaran Pemilu legislatif di Kota

Makassar akan masuk melalui satu pintu yakni Panwaslu Kota Makassar.

Kedudukan sentra Gakkumdu pada proses penanganan tindak pidana harus

memberikan solusi. Agar suatu pelanggaran tindak pidana pemilu

mendapatkan penanganan yang lebih menjamin kepastian hukum.

Penelitian diatas dengan penelitian saya pada dasarnya hampir sama yaitu

menjelaskan mengenai bagaimana pelaksanaan penanganan terhadap tindak

pidana pelanggaran Pemilu. Penelitian tersebut berfokus pada bagaimana

implementasi Undang–Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan

Umum pada proses penanganan tindak pidana Pemilu legislatif Tahun 2014 di

Kota Makassar dan bagaimana kedudukan Sentra Gakkumdu (Sentra

Penegakan Hukum Terpadu) dalam proses penanganan tindak pidana Pemilu

legislatif Tahun 2014 di kota Makassar Terhadap Penanganan Tindak Pidana

pada Pemilihan Umum Legislatif.

20
Penelitian yang saya buat, menjelaskan mengenai penegakan hukum

terhadap tindak pidana pelanggaran Pemilu di Kota Yogyakarta. Dalam

penelitian saya juga menjelaskan faktor yang menjadi kendala dalam

penegakan hukum. Serta bagaimana upaya Bawaslu dalam menghadapi

kendala penegakan hukum terhadap tindak pidana pelanggaran pemilu di Kota

Yogyakarta.

B. Tinjauan Umum/Kerangka Teori

1. Pengertian Demokrasi

Negara hukum dalam arti luas (rule of law in broad sense) adalah

suatu negara yang idealnya dengan penyelenggaraan pemerintahan yang

baik dalam dimensi hukum yang adil dan ditekankan pula pada elemen

konstitusi dan judicial review (pengujian Undang-Undang). (Atmadja,

2010: 160)

Dalam Negara hukum mutlak disertai dengan perkembangan

demokrasi. Menurut Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat, bahwa

Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat

(democracy is government of the people, by the people and for the

people). Bagi negara demokrasi dikenal demokrasi langsung dan

demokrasi tidak langsung. Dalam demokrasi langsung, berarti rakyat ikut

serta langsung dalam menentukan policy pemerintah. Rakyat tidak lagi

ikut dalam urusan pemerintahan secara langsung melainkan melalui

21
wakil-wakilnya yang ditentukan dalam suatu pemilihan umum, hal ini

disebut demokrasi tidak langsung.

Negara Indonesia merupakan negara hukum demokratis. Negara

hukum demokratis, memiliki dua kedaulatan yang bersintetis dan

diintegrasikan menjadi satu. Kekuasaan tersebut adalah kekuasaan hukum

dan kekuasaan rakyat. Kekuasaan hukum artinya kedaulatan didasarkan

pada hukum (nomokrasi), dimana perundangan menjadi dasar

penyelenggaraan negara. (Gautama, 2019: 2). Bagaimanapun idealnya

negara hukum Pancasila, jika tidak diiringi dengan kesungguhan maupun

keseriusan dalam mewujudnyatakannya, maka hal itu tidak akan

berkorelasi positif dalam upaya pencapaian tujuan berbangsa dan

bernegara sebagaimana telah digariskan oleh para the founding fathers

dalam alinea ke-empat Pembukaan UUD 1945. (Simamora, 2014: 559)

Kekuasaan tertinggi di dalam negara Indonesia adalah hukum yang

dibuat oleh rakyat melalui wakil-wakilnya. Dalam praktek

ketatanegaraan, dimana sistem pemerintahan negara atau cara

penyelenggaraan negara memerlukan kekuasaan, akan tetapi kekuasaan

tersebut dibatasi oleh hukum. (Pelealu, 2015: 106)

Teori demokrasi ini berkaitan dengan masalah yang akan dibahas yaitu

mengani Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana Pelanggaran Pemilu.

Negara sangat berperan penting dalam proses penegakan hukum bagi

masyarakatnya, sehingga dengan adanya teori mengenai negara

22
demokrasi ini dapat menjelaskan bahwasannya negara menempatkan

hukum sebagai dasar kekuasaan negara.

2. Pengertian Penegakan Hukum

Tegaknya suatu hukum itu apabila penegak hukum itu diperkenankan

untuk menggunakan daya paksa. Penegakan hukum adalah proses

dilakukannya upaya tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum

secara nyata sebagai pedoman pelaku dalam lalu lintas atau hubungan-

hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide dan

konsep-konsep hukum yang diharapakan rakyat menjadi kenyataan.

Penegakan hukum merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal.

(Shant, 1988: 32).

Hakikatnya penegakan hukum mewujudkan nilai-nilai atau kaedah-

kaedah yang memuat keadilan dan kebenaran, penegakan hukum bukan

hanya menjadi tugas dari para penegak hukum yang sudah di kenal secara

konvensional, tetapi menjadi tugas dari setiap orang. Meskipun demikian,

dalam kaitannya dengan hukum publik pemerintahlah yang bertanggung

jawab. Penegakan hukum dibedakan menjadi dua (Shant, 1988: 34) yaitu:

a. Ditinjau dari sudut subyeknya

Penegakan hukum dalam arti sempit hanya diartikan sebagai

upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan

memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana

23
seharusnya. Penegakan hukum dalam arti luas, proses penegakan

hukum melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan

hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan

sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada

norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau

menegakan aturan hukum.

b. Ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya

Penegakan hukum dalam arti sempit hanya menyangkut

penegakkan peraturan yang formal dan tertulis. Dalam arti luas,

penegakan hukum yang mencakup pada nilai-nilai keadilan yang di

dalamnya terkandung bunyi aturan formal maupun nilai-nilai

keadilan yang ada dalam bermasyarakat.

Tindakan-tindakan penguasa harus didasarkan hukum, bukan

berdasarkan kekuasaan dan kemauan penguasa. Teori ini dapat dijadikan

sebagai bahan dasar untuk mengetahui bagaimana penegakan hukum

terhadap tindak pidana pelanggaran Pemilu.

3. Pengertian Tindak Pidana

Menurut kamus hukum, tindak pidana adalah setiap perbuatan yang

diancam hukuman sebagai kejahatan atau pelanggaran baik yang disebut

dalam KUHP maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Secara

umum kata kejahatan (crime), delik atau istilah lainnya, termasuk di

dalamnya adalah setiap perbuatan melawan hukum (every violation of

24
law), segala bentuk pelanggaran hukum yang termasuk dalam kategori

kejahatan. (Sinaga, 2018: 15)

Suatu delik atau kejahatan secara umum dapat diartikan sebagai

dilakukannya suatu perbuatan yang salah (wrong) atau ilegal yang

dilarang oleh hukum atau yang diperintahkan oleh hukum dengan

ancaman nestapa karena hukuman yang dijatuhkan Negara yang

menjalankan proses peradilan pidana untuk itu atas nama keadilan

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, atau atau atas nama Negara atau

raja atau pun penguasa itu sendiri. (Sinaga, 2018: 16)

Negara selalu melibatkan diri dalam penangan suatu kasus kejahatan

dan berkedudukan sebagai Penuntut (Plaitiff). Di Indonesia, pihak yang

atas nama negara melakukan penuntutan adalah Jaksa Penuntut Umum.

Tujuan dari penuntutan umumnya adalah untuk melindungi suasana

damai dalam masyarakat (the public peace), atau memulihkan kembali

kerugian atau kerusakan apapun, atau melakukan koreksi atas

ketidakadilan, kesalahan yang telah terjadi demi kepentingan publik

secara keseluruhan. (Sinaga, 2018: 17)

Hukum pidana umumnya terpilah menjadi hukum pidana materiil dan

hukum pidana formil. Hukum pidana materiil (substantive criminal law)

mendeklarasikan perbuatan-perbuatan apa saja yang merupakan kejahatan

dan pelanggaran dan mempreskripsikan sebagai jenis sanksi sebagai

hukuman (punishment) karena dilakukannya perbuatan-perbuatan yang

25
dilarang atau diperintahkan untuk tidak dilakukan tersebut. Hukum

pidana formil (procedural criminal law) mengatur langkah-langkah yang

harus dilalui sebelum menjatuhkan sanksi kepada subyek hukum yang

terbukti melakukan kejahatan atau tindak pidana. (Sinaga, 2018: 17)

Hukum pidana materiil dapat dicontohkan berkenaan dengan

perumusan dari tindak pidana pemalsuan pada umumnya, sebagaimana

diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Di

Indonesia hukum pidana materiil yang pertama yaitu delik pemalsuan,

dalam KUHP disebut dengan hukum pidana umum. Sedangkan delik

pemalsuan yang dirumuskan dalam Undang-Undang Pemilu menjadi lex

spesialis atau hukum pidana khusus Undang-Undang Pemilu dan

Undang-Undang Pemilihan yang juga tidak meninggalkan KUHAP

sekaligus segi-segi materiil.

4. Pengertian Pemilihan Umum

Pemilihan Umum menurut Kamus Hukum adalah sarana pelaksanaan

kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang

berdasarkan Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Pengertian

Pemilihan Umum menurut pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7

Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, yaitu Pemilihan Umum yang

selanjutnya disebut dengan Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk

memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan

Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih Dewan

26
Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum,

bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia tahun 1945.

Pemilu merupakan salah satu usaha untuk memengaruhi rakyat secara

persuasif (tidak memaksa) dengan melakukan kegiatan retorika, public

relations, komunikasi massa, lobby dan lain-lain. Meskipun agitasi dan

propaganda di negara demokrasi sangat dikecam, namun dalam kampanye

pemilihan umum, teknik agitasi dan teknik propaganda banyak juga

dipakai oleh para kandidat atau politikus selaku komunikator politik.

(Jurdi, 2018: 1)

Pemilihan umum adalah suatu lembaga yang berfungsi sebagai sarana

penyampaian hak-hak demokrasi rakyat. Eksistensi kelembagaan

pemilihan umum sudah diakui oleh negara-negara yang bersendikan asas

kedaulatan rakyat. Inti persoalan pemilihan umum bersumber pada dua

masalah pokok yang selalu dipersoalkan dalam praktek kehidupan

ketatanegaraan, yaitu mengenai ajaran kedaulatan rakyat dan paham

demokrasi, di mana demokrasi sebagai perwujudan kedaulatan rakyat

serta pemilihan umum merupakan cerminan daripada demokrasi.

(Sukriono, 2009: 12)

Joseph Schumpeter (dalam Marzuki, 2008: 394) menyatakan

pemilihan umum adalah salah satu pilar utama demokrasi. Sentralitas dari

27
posisi pemilihan umum dalam membedakan sistem politik yang

demokratis atau bukan, tampak jelas dari beberapa definisi demokrasi

yang diajukan oleh para sarjana. Salah satu konsepsi modern awal

mengenai demokrasi diajukan oleh Joseph Schumpeter (mazhab

Schumpeterian) yang menempatkan penyelenggaraan pemilihan umum

yang bebas dan berkala sebagai kriteria utama bagi suatu sistem politik

untuk dapat disebut demokrasi.

Ciri sebuah negara demokratis adalah seberapa besar negara

melibatkan masyarakat dalam perencanaan maupun pelaksanaan

pemilihan umum. Partisipasi politik masyarakat (pemilih) merupakan

aspek penting dalam sebuah tatanan negara demokrasi, karena

berpengaruh terhadap legitimasi oleh masyarakat terhadap jalannya suatu

pemerintahan.

Robert A. Dahl (dalam Liando, 2016: 16) menyatakan “menurut teori

demokrasi minimalis (Schumpetrian), Pemilu merupakan sebuah arena

yang mewadahi kompetisi (kontestasi) antara aktor politik untuk meraih

kekuasaan, partisipasi politik rakyat untuk menentukan pilihan,

liberalisasi hak-hak sipil dan politik warga negara”. Masyarakat sebagai

warga negara ikut terlibat dalam menentukan arah dan figur

kepemimpinan negara melalui proses politik yang dilaksanakan melalui

pesta demokrasi tanah air. (Dedi, 2019: 216)

28
Setiap masyarakat memiliki preferensi dan kepentingan masing-

masing untuk menentukan pilihan mereka dalam Pemilu. Masa depan

pejabat publik yang terpilih dalam suatu Pemilu tergantung pada

preferensi masyarakat sebagai pemilih. Partisipasi politik masyarakat

dalam Pemilu dapat dipandang sebagai evaluasi dan kontrol masyarakat

terhadap pemimpin atau pemerintahan.

Untuk memenuhi pemilu yang aspiratif dan demokratis tersebut maka

dibutuhkan partisipasi atau pelibatan pemilih baik secara langsung

maupun tidak langsung dalam mengawal penyelenggaraan pemilu

menjadi sangat penting. Partisipasi secara harfiah dimaknai sebagai

pengambilan bagian atau pengikutsertaan. Partisipasi politik sendiri

adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara

aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pemimpin

negara dan secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan

pemerintah (public policy). (Satriawan, 2016: 15)

5. Pengertian Tindak Pidana Pemilu

Tindak Pidana Pemilu adalah setiap orang, badan hukum ataupun

organisasi yang dengan sengaja melanggar hukum, mengacaukan,

menghalangi, atau menggangggu jalannya Pemilu yang diselenggarakan

menurut Undang-Undang (Prakoso, 1987: 148). Tindak Pidana Pemilu

menurut Mulyadi dapat dimasukkan dalam pidana khusus yaitu pidana

pemilu dan pelanggaran baik diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum

29
Pidana (KUHP) dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017

tentang Pemilihan Umum. (Mulyadi, 2019: 20)

Adanya Undang-Undang Pemilu bertujuan agar tersedia upaya

pencegahan pelanggaran, praktik korup, dan praktik-praktik ilegal di

Pemilu dan aturan tentang gugatan Pemilu. Maksud penyusunan

peraturan pelanggaran pemilu tidak hanya melindungi peserta pemilu

(partai politik atau kandidat), tetapi juga lembaga pelaksana dan pemilih.

Ketentuan tentang pelanggaran pemilu ditujukan untuk melindungi proses

pemilu dari segala bentuk pelanggaran. Perlindungan ini akan

meningkatkan kualitas pelayanan yang ditujukan oleh perwakilan terpilih

atau pimpinan pemerintah dalam merepresentasikan aspirasi pemilih.

(Surbakti, 2011: 10)

Kemurnian pemilu yang sangat penting bagi demokrasi harus

dilindungi, untuk itu para pembuat undang-undang menjadikan sejumlah

perbuatan curang dalam pemilu sebagai suatu tindak pidana. Dengan

demikian, undang-undang tentang pemilu di samping mengatur tentang

bagaimana pemilu dilaksanakan, juga melarang sejumlah perbuatan yang

dapat menghancurkan hakikat free and fair election itu serta mengancam

pelakunya dengan hukuman. Undang-Undang tentang Pemilu mengatur

tentang bagaimana Pemilu dilaksanakan dan larangan perbuatan yang

dapat menghancurkan hakikat free and fair election serta mengancam

pelakunya dengan hukuman. Tindak pidana Pemilu merupakan salah satu

30
substansi dari hukum yang mengatur tentang kelembagaan Pemilu

sebagai objek kajian ilmu hukum yang disebut dengan hukum Pemilu.

(Sinaga, 2018: 59-61)

Upaya perlindungan integritas Pemilu dalam rangka penegakan

Demokrasi sangat penting, pembuat undang-undang harus mengatur

beberapa praktik curang atau pelanggaran pidana Pemilu. Keterkaitannya

dengan peraturan Pemilu, undang-undang mengatur proses Pemilu dan

melarang perlakuan yang dapat menghambat esensi Pemilu yang bebas

dan adil.

Jaminan supaya tercapainya Pemilu yang bebas dan adil, diperlukan

perlindungan bagi para pemilih, bagi para pihak yang mengikuti pemilu,

maupun bagi rakyat umumnya dari segala ketakutan, intimidasi,

penyupan, penipuan, dan praktik-praktik curang lainnya yang akan

memengaruhi kemurnian hasil pemilihan umum. Jika pemilihan

dimenangi melalui cara-cara curang (malpractices), sulit dikatakan bahwa

para pemimpin atau para legislator yang terpilih di parlemen merupakan

wakil-wakil rakyat dan pemimpin sejati. (Surbakti, 2011: 10)

Subyek tindak pidana pemilu ini meliputi pengurus partai politik,

pelaksana kampanye, calon anggota DPR,DPD, DPRD, penyelenggara

pemilu, pengawas pemilu, hingga setiap orang. Dari segi kesalahan,

tindak pidana pemilu ada yang berunsur sengaja dan kealpaan. (Santoso,

2011: 33)

31
Perkara tindak pidana pemilu diselesaikan oleh Peradilan Umum, di

tingkat pertama oleh pengadilan negeri, di tingkat banding dan terakhir

oleh pengadilan tinggi. Pengadilan negeri dan pengadilan tinggi

memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana pemilu

menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, ditambah

beberapa ketentuan khusus dalam UU Pemilu. Pemeriksaan dilakukan

oleh hakim khusus, yaitu hakim karier yang ditetapkan secara khusus

untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana Pemilu.

Putusan pengadilan tinggi tidak dapat dilakukan upaya hukum lain.

(Santoso, 2011: 37)

Terdapat banyak kasus tindak pidana Pemilu yang terjadi dalam

Pemilu sebelum adanya Undang-Undang Pemilu hingga sekarang. Dalam

kesatuan sistem, penyelenggara Pemilu dilaksanakan oleh Komisi

Pemilihan Umum (KPU), terdapat KPU Provinsi dan KPU

kabupaten/kota dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), yang

di dalamnya terdapat Pengawas Pemilu (Panwaslu) Provinsi dan

kabupaten/kota. Keduanya merupakan kesatuan fungsi penyelenggara

Pemilu.

Jenis-Jenis tindak pidana Pemilu  diatur dalam Pasal 488 sampai Pasal

554 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Berikut sebagaian besar tindak pidana Pemilu yang dianggap penting dan

perlu diperhatikan oleh masyarakat.

32
a) Dilarang memberikan keterangan tidak benar dalam pengisian data

diri daftar pemilih. Dasar hukumnya Pasal 488 UU Pemilu, berbunyi:

“Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang

tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain terutang suatu

hal yang diperlukan untuk pengisian daftar Pemilih sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 203, dipidana dengan pidana kurungan paling

lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua

belas juta rupiah)”.

b) Kepala desa dilarang yang melakukan tindakan menguntungkan atau

merugikan perserta pemilu. Dasar hukumnya Pasal 490 UU Pemilu,

berbunyi: “Setiap kepala desa atau sebutan lain yang dengan sengaja

membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang

menguntungkan atau merugikan salah satu peserta Pemilu dalam

masa kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)

tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta

rupiah)”.

c) Setiap orang dilarang mengacaukan, menghalangi atau mengganggu

jalannya kampanye pemilu. Dasar hukumnya Pasal 491 UU Pemilu,

berbunyi: “Setiap orang yang mengacaukan, menghalangi, atau

mengganggu jalannya Kampanye Pemilu dipidana dengan pidana

kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak

Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)”.

33
d) Setiap orang dilarang melakukan kampanye pemilu di luar jadwal

yang telah ditetapkan KPU. Dasar hukumnya Pasal 492 UU Pemilu,

berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan Kampanye

Pemilu di luar jadwal yang telah ditetapkan oleh KPU, KPU Provinsi,

dan KPU Kabupaten/Kota untuk setiap Peserta Pemilu sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 276 ayat (2), dipidana dengan pidana

kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak

Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)”.

e) Pelaksana kampanye Pemilu dilarang melakukan pelanggaran

larangan kampanye. Dasar hukumnyaPasal 493 UU Pemilu,

berbunyi: “Setiap pelaksana dan/atau tim Kampanye Pemilu yang

melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (2)

dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan

denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)”.

f) Dilarang memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana

kampanye pemilu. Dasar hukumnya Pasal 496 dan Pasal 497 UU

Pemilu, berbunyi: Pasal 496: “Peserta Pemilu yang dengan sengaja

memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana Kampanye

Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 334 ayat (1), ayat (2),

dan/atau ayat (3) serta Pasal 335 ayat (1), ayat (2), dan/atau ayat (3)

dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan

denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)”. Pasal

34
497: “Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan

tidak benar dalam laporan dana Kampanye, dipidana dengan pidana

penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak

Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah)”.

g) Majikan yang tidak membolehkan pekerjanya untuk memilih. Dasar

hukumnya 498 UU Pemilu, berbunyi: “Seorang majikan/atasan yang

tidak memberikan kesempatan kepada seorang pekerja/karyawan

untuk memberikan suaranya pada hari pemungutan suara, kecuali

dengan alasan bahwa pekerjaan tersebut tidak bisa ditinggalkan,

dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan

denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)”.

h) Dilarang menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya. Dasar

hukumnya Pasal 510 UU Pemilu, berbunyi: “Setiap orang yang

dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya

dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda

paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah)”.

i) Orang yang baik ancaman, baik kekerasan atau kekuasaan yang ada

padanya menghalangi seseorang untuk terdaftar sebagai Pemilih

dalam Pemilu. Dasar hukumnya Pasal 511 UU Pemilu, berbunyi:

“Setiap orang yang dengan kekerasan, dengan ancaman kekerasan,

atau dengan menggunakan kekuasaan yang ada padanya pada saat

pendaftaran Pemilih menghalangi seseorang untuk terdaftar sebagai

35
Pemilih dalam Pemilu menurut Undang-Undang ini dipidana dengan

pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak

Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)”.

j) Dilarang menetapkan jumlah surat suara yang dicetak melebihi

jumlah yang ditentukan. Dasar hukumnya Pasal 514, berbunyi:

“Ketua KPU yang dengan sengaja menetapkan jumlah surat suara

yang dicetak melebihi jumlah yang ditentukan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 344 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dipidana

dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling

banyak Rp240.000.000,00 (dua ratus empat puluh juta rupiah)”.

k) Dilarang menjanjikan atau memberikan uang kepada Pemilih. Dasar

hukumnya Pasal 515 UU Pemilu, berbunyi: “Setiap orang yang

dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau

memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih supaya tidak

menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau

menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat

suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3

(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh

enam juta rupiah)”.

l) Dilarang memberikan suaranya lebih dari satu kali. Dasar hukumnya

Pasal 516 UU Pemilu, berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja

pada waktu pemungutan suara memberikan suaranya lebih dari satu

36
kali di satu TPS/TPSLN atau lebih, dipidana dengan pidana penjara

paling lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling banyak

Rp18.000.000,00 (delapan belas juta rupiah)”.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang

Pemilihan Umum, tugas Bawaslu salah satunya adalah mengawasi

penyelenggaraan Pemilu dalam rangka pencegahan dan penindakan

pelanggaran untuk terwujudnya Pemilu yang demokratis. Agar

terciptanya Pemilu yang berasaskan Luber Jurdil (Langsung, Umum,

Bebas, Rahasia serta Jujur dan Adil) maka sangat diperlukan penegakan

hukum terhadap tindak pidana pelanggaran Pemilu. Penguatan Bawaslu

hingga pada peningkatan kualitas Panwaslu menjadi ujung tombak sukses

tidaknya pengawasan Pemilu.

37
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pelanggaran Pemilihan


Umum di Kota Yogyakarta
Tindak pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan

hukum larangan disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi

barang siapa melanggar larangan tersebut. Secara sederhana dapat dikatakan

bahwa ada tiga kemungkinan pengertian dan cakupan dari tindak pidana

pemilihan umum. Pertama, semua tindak pidana yang berkaitan dengan

penyelenggaraan pemilihan umum yang diatur di dalam undang-undang

pemilu. Kedua, semua tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan

pemilu yang diatur baik di dalam maupun di luar undang-undang pemilu.

Misalnya dalam Undang-Undang Partai Politik ataupun di dalam KUHP.

38
Ketiga, semua tindak pidana yang terjadi pada saat pemilu (termasuk

pelanggaran lalu lintas, penganiayaan (kekerasan), perusakan dan

sebagainya).

1. Jenis-Jenis Pelanggaran Pemilihan Umum di Kota Yogyakarta

a. Pelanggaran administrasi

Pelanggaran Administrasi Pemilu adalah pelanggaran yang

meliputi tata cara, prosedur, dan mekanisme yang berkaitan dengan

administrasi pelaksanaan Pemilu dalam setiap tahapan

Penyelenggaraan Pemilu. Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 pasal

461 ayat (1) menyebutkan bahwa Bawaslu, Bawaslu Provinsi,

Bawaslu Kabupaten/Kota menerima, memeriksa, mengkaji, dan

memutus pelanggaran adminatrasi. Peran Bawaslu untuk

menyelesaikan dugaan pelanggaran administrasi menjadi semakin

kuat. Kewenangan kuat yang paling menonjol adalah menindak dan

memutus pelanggaran administrasi. Kesimpulan bahwa sebuah

tindakan dianggap sebagai pelanggaran dikeluarkan dalam bentuk

putusan. Putusan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu

Kabupaten/Kota dapat berupa perbaikan administrasi, teguran

tertulis, tidak diikutkan pada tahapan tertentu dan sanksi administrasi

lainnya. Salah satu contoh pelanggaran administrasi adalah

memberikan keterangan tidak benar dalam pengisian data diri daftar

pemilih, dasar hukumnya Pasal 488 Undang-Undang No. 7 Tahun

39
2017 Tentang Pemilu, yang berbunyi “Setiap orang yang dengan

sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri

sendiri atau diri orang lain tentang suatu hal yang diperlukan untuk

pengisian daftar Pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203,

dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan

denda paling banyak Rp.12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)”.

b. Pelanggaran tindak pidana pemilu

Pelanggaran tindak pidana Pemilu adalah kejahatan terhadap

ketentuan tindak pidana Pemilu, contohnya orang yang baik

ancaman, baik kekerasan atau kekuasaan yang ada padanya

menghalangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih dalam

Pemilu. Dasar hukumnya sebagaimana diatur dalam Pasal 511

Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, menyatakan

bahwa “Setiap orang yang dengan kekerasan, dengan ancaman

kekerasan, atau dengan menggunakan kekuasaan yang ada padanya

pada saat pendaftaran Pemilih menghalangi seseorang untuk terdaftar

sebagai Pemilih dalam Pemilu menurut UndangUndang ini dipidana

dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling

banyak Rp.36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)”. Salah satu

contoh tindak pidana Pemilu adalah politik uang (money politic),

dasar hukumnya Pasal 515 UU Pemilu, berbunyi: “Setiap orang yang

40
dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau

memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih supaya tidak

menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau

menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat

suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3

(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh

enam juta rupiah)”.

c. Pelanggran kode etik pemilu

Pelanggaran kode etik adalah pelanggaran terhadap etika

Penyelenggara Pemilu yang berpedoman pada sumpah dan/atau janji

sebelum menjalankan tugas sebagai Penyelenggara Pemilu.

Contohnya menetapkan jumlah surat suara yang dicetak melebihi

jumlah yang ditentukan, dasar hukumnya pasal 514 Undang-Undang

No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, yaitu “Ketua KPU yang dengan

sengaja menetapkan jumlah surat suara yang dicetak melebihi jumlah

yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 344 ayat (2),

ayat (3), dan ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2

(dua) tahun dan denda paling banyak Rp.240.000.000,00 (dua ratus

empat puluh juta rupiah)”. Ketua KPU juga melanggar Peraturan

Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Nomor 2 Tahun

2017 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara

Pemilihan Umum. DKPP merupakan satu-satunya lembaga yang

41
diberikan kewenangan untuk memproses dugaan pelanggaran kode

etik yang dilakukan penyelenggara Pemilu. Kewenangan DKPP

diatur dalam Pasal 1 ayat (24) Undang-Undang No. 7 Tahun 2017

tentang Pemilu.

2. Tindak Pidana Pelanggaran Pemilihan Umum di Kota Yogyakarta

Berdasarkan hasil wawancara dengan Badan Pengawas Pemilihan

Umum Kota Yogyakarta, yaitu bapak Tri Agus Inharto, S.H. selaku ketua

dan koordinator divisi hukum, sengketa dan penindakan pelanggaran.

bapak Inharto mengatakan bahwa penegakan hukum tindak pidana pemilu

dilaksanakan oleh Bawaslu berasama dengan Gakkumdu (Sentra

Penegakan Hukum Terpadu) yang meliputi kepolisian dan kejaksaan

dalam satu atap secara terpadu. Penanganan tindak pidana Pemilu tersebut

dilaksanakan berdasarkan asas keadilan, kepastian, kemanfaatan,

persamaan dimuka hukum, praduga tak bersalah, dan legalitas, yang

kemudian meliputi prinsip kebenaran, cepat, sederhana, biaya murah dan

tidak memihak. Kedudukan Gakkumdu berada di Bawaslu baik tingkat

pusat Provinsi, Kabupaten/kota. Undang-Undang nomor 7 tahun 2017

tentang pemilihan umum dan Peraturan Badan Pengawas Pemilihan

umum (Perbawaslu) nomor 31 tahun 2018 tentang Sentra Penegakan

Hukum Terpadu sebagai dasar hukum dari keberadaan sentra Gakkumdu.

42
Kasus Pelanggaran Pemilihan Umum di Kota Yogyakarta Tahun

2017-2019

Pelanggaran Jenis Subjek Nomor Putusan Tahun

Pemilu Pelanggaran Hukum

Temuan Dugaan Partai 001/TM/ADM/ 2017

Pelanggaran Berkarya PANWASLU-YK/

Administrasi PP/XI/2017

Temuan Dugaan Partai PAN 002/TM/ADM/ 2017

Pelanggaran PANWASLU-

Administrasi YK/PP/XI/2017

Temuan Dugaan Partai 003/TM/ADM/ 2017

Pelanggaran Garuda PANWASLU-YK/

Administrasi PP/XI/2017

Temuan Dugaan Partai PIK 004/TM/ADM/ 2017

Pelanggaran PANWASLU-YK/

Administrasi PP/XI/2017

Temuan Dugaan Partai 005/TM/ADM/ 2017

Pelanggaran Rakyat PANWASLU-YK/

Administrasi PP/XI/2017

Laporan Dugaan Penyelengg 001/LP/PL/ADM/ 2019

Pelanggaran ara Pemilu Kot/15.01/II I/2019

43
Administrasi (KPU)

Kota

Yogyakarta

Tahun 2017 terdapat 5 (lima) dugaan temuan kasus pelanggaran

Pemilu dan pada tahun 2019 terdapat 1 (satu) dugaan laporan kasus

Pelanggaran Pemilu di Kota Yogyakarta. Kasus tersebut merupakan

pelanggaran Pemilu kategori pelanggaran administrasi. Kasus

tersebut hanya selesai pada pembahasan pertama yang ditangani oleh

Bawaslu kota Yogyakarta.

a. Ketentuan pidana pemilihan umum pada subjek hukum orang

Dedi Mulyadi (dalam Saputra, 2019: 52-53) menyatakan bahwa

keberadaan unsur subjektif dan objektif dalam perbuatan pidana

pemilihan umum yang dilakukan oleh subjek hukum orang

(natuurlijke personen) diancam dengan rata-rata sanksi pidana paling

singkat 2 tahun dan paling lama 6 tahun dan rata-rata ancaman denda

paling banyak Rp. 72.000.000. (tujuh puluh dua juta rupiah)

b. Ketentuan pidana pemilihan umum bagi penyelenggara pemilu

(KPU)

Ketentuan pidana bagi lembaga penyelenggra pemilihan umum

KPU, KPU Provinsi/Kabupaten/Kota, PPK, PPS, PPLN diatur dalam

18 pasal yang ditujukan kepada orang-orang yang duduk di institusi

44
tersebut. Jenis pelanggaran yang diatur beragam mulai dari tidak

memperbaiki daftar pemilih sementara setelah mendapat masukan

dari masyarakat dan peserta pemilu, tidak menindaklanjuti temuan

Bawaslu/Panwaslu, tidak menjalankan putusan pengadilan, sampai

tidak menetapkan perolehan hasil pemilu.

3. Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pelanggaran

Pemilihan Umum di Kota Yogyakarta

Tonggak sejarah pelaksanaan Pemilu pertama kali di tahun 1955,

saat itu belum mengenal adanya Lembaga Pengawas Pemilu.

Keberadaan Lembaga ini ada pada Pemilu di tahun 1982, yang dilatari

oleh protes yang dilakukan oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP)

dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) atas banyaknya pelanggaran

dan manipulasi/kecurangan yang dilakukan oleh para petugas Pemilu

di tahun 1971 dan 1977 yang terjadi secara massif. Protes ini direspon

oleh Pemerintah dan DPR yang pada kala itu didominasi Partai Golkar

dan ABRI, yang melahirkan gagasan untuk meningkatkan kualitas

Pemilu di tahun 1982 dengan memperbaiki undang-undang.

Pemerintah setuju untuk menempatkan wakil peserta Pemilu kedalam

kepentingan Pemilu.

a. Penegak hukum dalam proses penyelesaian tindak pidana

pelanggaran Pemilu di Kota Yogyakarta tergabung dalam

Gakkumdu. Gakkumdu (Sentra Penegakan Hukum Terpadu)

45
hanya dioperasionalkan ketika Pemilu dilaksanakan. Gakkumdu

bertugas dalam menyidik segala kejahatan Pemilu yang dilaporkan

dari Panwaslu/Bawaslu. Kedudukan Sentra Penegakan Hukum

Terpadu (Gakkumdu) adalah sebagai pusat aktivitas penegakan

hukum tindak pidana Pemilu yang terdiri dari unsur Badan

Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Kepolisian dan

Kejaksaan. Gakkumdu berfungsi dalam hal penanganan tindak

pidana Pemilu. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang

Pemilihan Umum dan Peraturan Badan Pengawas Pemilu

(Perbawaslu) Nomor 31 Tahun 2018 tentang Sentra Penegakan

Hukum Terpadu (Gakkumdu).

1) Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu)

Pemerintah mengintroduksi adanya Lembaga baru yang

akan terlibat dalam urusan Pemilu mendampingi Lembaga

Pemilihan Umum (LPU). Lembaga baru ini bernama Panitia

Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) yang bertugas

mengawasi pelaksanaan Pemilu. Lembaga pengawas Pemilu

dikuatkan melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007

tentang Penyelenggara Pemilu dengan dibentuknya Lembaga

tetap yang dinamakan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu),

dan setelah melalui Judical Review di Mahkamah Konstitusi

yang dilakukan oleh Bawaslu terhadap Undang-Undang

46
Nomor 22 Tahun 2007, dimana putusan akhir menetapkan

rekrutmen pengawas Pemilu sepenuhnya menjadi

kewenangan Bawaslu untuk mengawasi pelaksanaan tahapan

pennyelenggaraan Pemilu, menerima pengaduan, menangani

kasus-kasus administrasi, pidana Pemilu, dan pelanggaran

kode etik. Tindak pidana Pemilu sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, lembaga pengawas

paling bawah yang bisa meneruskan laporan tindak pidana

Pemilu ke kepolisian adalah panitia pengawas tingkat

kecamatan (Panwaslu kecamatan).

2) Lembaga Pengawas Pemilu (Bawaslu)

Bawaslu dibentuk untuk mengawasi seluruh tahapan

penyelenggaraan Pemilu, menerima pengaduan, menangani

kasus-kasus pelanggaran administrasi Pemilu serta

pelanggaran pidana Pemilu berdasarkan tingkatan masing-

masing sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-

undangan. Bawaslu adalah lembaga Ad hoc yang dibentuk

sebelum tahapan pertama Pemilu dimulai dan dibubarkan

setelah calon yang terpilih dalam Pemilu/Pilkada dilantik.

Terbitnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang

Pemilu, kembali menguatkan kelembagaan ini dengan

mengharuskan Pembentukan Bawaslu Kabupaten/Kota

47
Permanen paling lambat setahun sejak tanggal disahkan

Undang-undang ini pada 16 Agustus 2017, ditambah dengan

kewenangan baru untuk menindak serta memutuskan

pelanggaran dan proses sengketa Pemilu. Bagi Bawaslu RI

ditengah-tengah perhelatan Pilkada Serentak Tahun 2018 dan

Pemilu serentak Tahun 2019 yang dimana harus mengadakan

perekrutan tim seleksi calon anggota Bawaslu

Kabupaten/Kota permanen serta melakukan tes uji kelayakan

dan kepatutan untuk memilih dan menetapkan para

Komisioner Bawaslu Kabupaten/Kota di 514 (Lima ratus

empat belas) Kabupaten/Kota diseluruh Indonesia paling

lambat pertengahan bulan Agustus 2018.

Tim seleksi yang berasal dari akademisi dan tokoh

masyarakat melakukan penjaringan secara terbuka untuk

memilih dan menetapkan calon komisioner Bawaslu

Kabupaten/Kota melalui beberapa tahapan rangkaian mulai

pengumuman pendaftaran penelitian berkas administrasi, tes

tertulis, tes psikologi, dan tes wawancara. Selanjutnya dari

seluruh rangkaian diatas akan menghasilkan calon Anggota

komisioner sebanyak 2 (dua) kali dari jumlah anggota yang

dibutuhkan untuk diserahkan nama-namanya ke Bawaslu

Provinsi untuk selanjutnya dilakukan uji kelayakan dan

48
kepatutan. Bawaslu Provinsi mengirimkan nama-nama calon

anggota komisioner berdasarkan Peringkat ke Bawaslu RI

untuk ditetapkan sebagai komisioner Bawaslu

Kabupaten/Kota Permanen periode tahun 2018-2023.

a) Tugas Bawaslu:

Menyusun standar tata laksana pengawasan

Penyelenggaraan Pemilu untuk pengawas Pemilu di

setiap tingkatan;

- Melakukan pencegahan dan penindakan terhadap

Pelanggaran Pemilu; dan Sengketa proses Pemilu;

- Mengawasi persiapan Penyelenggaraan Pemilu, yang

terdiri atas Perencanaan dan penetapan jadwal

tahapan Pemilu, Perencanaan pengadaan logistik

oleh KPU, Sosialisasi Penyelenggaraan Pemilu dan

Pelaksanaan persiapan lainnya dalam

Penyelenggaraan Pemilu sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

- Mengawasi pelaksanaan tahapan Penyelenggaraan

Pemilu, yang terdiri atas Pemutakhiran data pemilih

dan penetapan daftar pemilih sementara serta daftar

pemilih tetap, Penataan dan penetapan daerah

pemilihan DPRD kabupaten/kota, Penetapan Peserta

49
Pemilu; Pencalonan sampai dengan penetapan

Pasangan Calon, calon anggota DPR, calon anggota

DPD, dan calon anggota DPRD sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan,

Pelaksanaan dan dana kampanye, Pengadaan logistik

Pemilu dan pendistribusiannya, Pelaksanaan

pemungutan suara dan penghitungan suara hasil

Pemilu di TPS, Pergerakan surat suara, berita acara

penghitungan suara, dan sertifikat hasil penghitungan

suara dari tingkat TPS sampai ke PPK, Rekapitulasi

hasil penghitungan perolehan suara di PPK, KPU

Kabupaten/Kota, KPU Provinsi, dan KPU,

Pelaksanaan penghitungan dan pemungutan suara

ulang, Pemilu lanjutan, dan Pemilu susulan; dan

Penetapan hasil Pemilu.

- Mencegah terjadinya praktik politik uang

- Mengawasi netralitas aparatur sipil negara, netralitas

anggota Tentara Nasional Indonesia, dan netralitas

anggota Kepolisian Republik Indonesia;

- Mengawasi pelaksanaan putusan/keputusan, yang

terdiri atas Putusan DKPP, Putusan pengadilan

mengenai pelanggaran dan sengketa Pemilu,

50
Putusan/keputusan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan

Bawaslu kabupaten/ Kota, Keputusan KPU, KPU

Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota, dan Keputusan

pejabat yang berwenang atas pelanggaran netralitas

aparatur sipil negara, netralitas anggota Tentara

Nasional Indonesia, dan netralitas anggota

Kepolisian Republik Indonesia;

- Menyampaikan dugaan pelanggaran kode etik

Penyelenggara Pemilu kepada DKPP;

- Menyampaikan dugaan tindak pidana Pemilu kepada

Gakkumdu;

- Mengelola, memelihara, dan merawat arsip serta

melaksanakan penyusutannya berdasarkan jadwal

retensi arsip sesuai dengan ketentuan peraturan

perundangundangan;

- Mengevaluasi pengawasan Pemilu;

- Mengawasi pelaksanaan Peraturan KPU; dan

- Melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

b) Bawaslu berwenang:

- Menerima dan menindaklanjuti laporan yang

berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran

51
terhadap pelaksanaan peraturan perundang-

undangan yang mengahrr mengenai Pemilu;

- Memeriksa, mengkaji, dan memutus pelanggaran,

administrasi Pemilu;

- Memeriksa, mengkaji, dan memuttrs pelanggaran

politik uang;

- Menerima, memeriksa, memediasi atau

mengadjudikasi, dan memutus penyelesaian

sengketa proses Pemilu;

- Merekomendasikan kepada instansi yang

bersangkutan mengenai hasil pengawasan terhadap

netralitas aparatur sipil-negara, netralitas anggota

Tentara Nasional Indonesia, dan netralitas anggota

Kepolisian Republik Indonesia;

- Mengambil alih sementara tugas, wewenang, dan

kewajiban Bawaslu Provinsi dan Bawaslu

Kabupaten/Kota secara berjenjang jika Bawaslu

Provinsi dan Bawaslu Kabupaten Kota berhalangan

sementara akibat dikenai sanksi atau akibat lainnya

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan;

52
- Meminta bahan keterangan yang dibuhrhkan

kepada pihak terkait dalam rangka pencegahan dan

penindakan pelanggaran administrasi, pelanggaran

kode etik, dugaan tindak pidana Pemilu, dan

sengketa proses Pemilu;

- Mengoreksi putusan dan rekomendasi Bawaslu

Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota apabila

terdapat hal yang bertentangan dengan ketentuan

peraturan perundangundangan;

- Membentuk Bawaslu Provinsi, Bawaslu

Kabupaten/ Kota, dan Panwaslu LN;

- Mengangkat, membina, dan memberhentikan

anggota Bawaslu Provinsi, anggota Bawaslu

Kabupaten/Kota, dan anggota Panwaslu LN; dan

- Melaksanakan wewenang lain sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

c) Bawaslu Kota Yogyakarta

Kantor Bawaslu Kota Yogyakarta beralamat di Jalan

Langenarjan Lor No. 6A Panembahan, Kraton, Kota

Yogyakarta. Struktur Organisasi Bawaslu Kota

Yogyakarta, yaitu:

53
- Ketua: Tri Agus Inharto, S.H. sekaligus sebagai

Koordinator Divivsi Hukum, Sengketa dan

Penindakan Pelanggaran

- Anggota I: Muhammad Muslimin, S.H., S.Ag.

sekaligus sebagai Koordinator Divisi SDM

Organisasi, Data dan Informasi

- Anggota II: Noor Harsya Aryo Samudro, S.Sn.

sekaligus sebagai Koordinator Divisi Pengawasan

Hubungan Masyarakat dan Hubungan Antar

Lembaga

- Koordinator Sekretariat: Rachmat Hidayat

Sofyan, S.IP. sebagai Bendahara Pengeluaran

Pembantu: Intan Fransiska Sahara, S.H.

- Staf Teknis Divisi Hukum Sengketa dan

Penindakan Pelanggaran: Chatarina Putri Dwi,

S.E.

- Staf Teknis Divisi SDM Organisasi, Data dan

Informasi: Martino Jaya Putra

- Staf Teknis Divisi Pengawas Hubungan

Maasyarakat dan Hubungan Antar Lembara:

Jupriadi Saputra, S.Pd. dan Yudi Efendi, S.H.

54
- Staf Teknis Divisi Kesekretariatan: Asti Dwi

Yuliani, S.T. dan Sintia Dwi Larasati

- Tenaga Pendukung: Rofi Santoso, Andoko dan

Gangga Gandhi Guritno

Pasal 476 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun

2017 menyatakan Laporan dugaan tindak pidana

Pemilu diteruskan oleh Bawaslu, Bawaslu Provinsi,

Bawaslu Kabupaten/Kota dan atau Panwaslu

kecamatan kepada Kepolisian paling lama 1×24 jam

sejak ditetapkan bahwa perbuatan atau tindakan yang

diduga merupakan tindak Pemilu. Sementara ayat (2)

menyatakan penetapan suatu perbuatan adalah tindak

pidana Pemilu dilakukan setelah berkoordinasi

dengan Sentra Penegakan Hukum Terpadu

(Gakkumdu).

3) Kepolisian

Kepolisian tergabung dalam Gakkumdu untuk

menegakkan hukum terhadap tindak pidana pelanggaran

Pemilu, ketentuan ini diatur berdasarkan kesepakatan bersama

antara Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jaksa

Agung Republik Indonesia, dan Ketua Bawaslu. Pasal 480

55
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu juga

memberikan keleluasaan kepada penyidik dalam

menyampaikan hasil penyidikan. Penyampaian hasil

penyidikan disertai berkas perkara kepada penuntut umum

paling lama 14 hari kerja sejak diterimanya laporan dan dapat

dilakukan dengan tanpa kehadiran tersangka. Penuntut umum

dalam melimpahkan berkas perkara kepada pengadilan negeri

paling lama 5 hari kerja sejak menerima berkas perkara dan

dapat dilakukan dengan tanpa kehadiran tersangka.

4) Kejaksaan

Kejaksaan merupakan bagian dari Gakkumdu untuk

menegakkan hukum terhadap tindak pidana pelanggaran

Pemilu, ketentuan ini diatur berdasarkan kesepakatan bersama

antara Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jaksa

Agung Republik Indonesia, dan Ketua Bawaslu. Pengadilan

negeri memeriksa, dan memutus perkara tindak pidana pemilu

paling lama 7 hari kerja setelah pelimpahan berkas perkara

dan dapat dilakukan dengan tanpa kehadiran terdakwa, dan

dapat dilakukan upaya Banding ke Pengadilan Tinggi paling

lama 7 hari kerja setelah permohonan Banding diterima.

Putusan Pengadilan Tinggi merupakan putusan terakhir dan

mengikat serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain.

56
b. Alur Penyelesaian tindak pidana pelanggaran Pemilu di Kota

Yogyakarta (Perbawaslu Nomor 8 Tahun 2020 Tentang

Penanganan Pelanggaran Pemilihan Gubernur dan Wakil

Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil

Walikota.

57
TIDAK
MEMBERITAHUKAN KEPADA PELAPOR UNTUK LAPORAN MELEBIHI
MELENGKAPI DAN MEMPERPAIKI LAPORAN MAK. 3
LENGKAP (TIGA) HARI KERJA SEJAK LAPORAN DISAMPAIKAN BATAS WAKTU
LAPORAN

LAPORAN LENGKAP DILENGKAPI TIDAK TIDAK


DILENGKAPI DIREGISTERASI

DIREGISTRASI

PENGAWASAN PEMERIKSAAN
- SYARAT FORMIL,
PEMILU - SYARAT MATERIL,
- BARANG BUKTI.
LAPORAN ATAU TEMUAN
MEMENUHI SYARAT DAN SIDANG
DAPAT DILANJUTKAN PUTUSAN
PADA TAHAP SIDANG PEMERIKSAAN
PEMERIKSAAN
PEMERIKSAAN
PENDAHULUAN
TEMUAN LAPORAN ATAU TEMUAN
TIDAK MEMENUHI
SYARAT DAN TIDAK
DAPAT DILANJUTKAN KE
SIDANG PEMERIKSAAN

52
1) Pengertian Pelapor, Terlapor, Temuan dan Laporan:

- Pelapor adalah pihak yang berhak melaporkan dugaan

pelanggaran Pemilu yang terdiri dari Warga Negara

Indonesia (WNI) yang mempunyai hak pilih, Pemantau

Pemilu, dan/atau, Peserta Pemilu

- Terlapor merupakan subyek hukum yang kedudukannya

sebagai pihak yang diduga melakukan Pelanggaran

pemilu

- Temuan adalah hasil pengawasan aktif Pengawas Pemilu

yang mengandung dugaan pelanggaran

- Laporan Dugaan Pelanggaran adalah laporan yang

disampaikan secara tertulis oleh pelapor kepada

Pengawas Pemilu tentang dugaan terjadinya pelanggaran

Pemilu

2) Syarat Laporan

Syarat Formil:

- Pihak yang berhak melaporkan

- Waktu pelaporan tidak melebihi ketentuan batas waktu;

dan

- Keabsahan Laporan Dugaan Pelanggaran yang meliputi:

Kesesuaian tanda tangan dalam formulir laporan dugaan

53
pelanggaran dengan kartu identitas, dan tanggal dan

waktu pelaporan

Syarat Materil:

- Identitas pelapor

- Nama dan alamat terlapor

- Peristiwa dan uraian kejadian

- Waktu dan tempat peristiwa terjadi

- Saksi-saksi yang mengetahui peristiwa tersebut

- Barang bukti yang mungkin diperoleh atau diketahui

3) Waktu, hari pelaporan

- Waktu laporan, laporan Dugaan Pelanggaran Pemilu

disampaikan kepada Pengawas Pemilu sesuai tingkatan

dan wilayah kerjanya paling lambat 7 (tujuh) hari sejak

diketahui dan/atau ditemukannya pelanggaran Pemilu.

- Hari adalah hari menurut kalender, sedang dalam proses

penanganan pelanggaran pemilu adalah hari kerja

4) Proses Pengkajian

Proses penanganan pelenggaran pemilu yang menjadi

tugas dan fungsi dari Sentra Gakkumdu adalah pelanggaran

tindak pidana pemilu dilakukan melalui alur penerimaan,

pengkajian, dan penyampaian laporan/temuan kepada

54
Bawaslu Provinsi. Bawaslu menerima laporan ataupun

temuan dari peserta pemilu, timses serta pemantau pemilu

yang indikasinya melakukan pelanggaran terhadap tindak

pidana pemilu. (Kusuma, 2019: 113)

Setelah menerima laporan atau temuan maka Bawaslu

akan menuangkan laporan/temuan tersebut dalam formulir

pengaduan dan jika itu sebuah temuan maka akan dituangkan

dalam formulir temuan. Temuan atau laporan dugaan

pelanggaran, Bawaslu dapat meminta kehadiran pelapor,

terlapor, pihak yang diduga pelaku pelanggaran, saksi,

dan/atau ahli untuk didengar keterangan dan/atau

klarifikasinya di bawah sumpah. Setelah menerima

laporan/temuan maka Bawaslu akan melakukan koordinasi

dengan pihak Sentra Gakkumdu untuk menindaklanjuti

laporan/temuan tersebut. Sentra Gakkumdu akan melakukan

pembahasaan terkait dengan laporan/temuan dengan

melibatkan Bawaslu, Kejaksaan, dan Kepolisian sehingga

nantinya akan dibuat sebuah rekomendasi untuk menentukan

apakah laporan/temuan menjadi tindak pidana pemilu atau

termasuk ke pelanggaran pemilu lainnya.

Penegakan tindak pidana Pemilu, hubungan Sentra

Gakkumdu dalam penegakan tindak pidana Pemilu yaitu satu

55
kesatuan bahwa tidak boleh satu lembaga mendominasi

ataupun memiliki hak verogratif dalam menentukan

keputusan terkait dengan dugaan pelanggaran yang termasuk

dalam kategori tindak pidana pemilu. Melainkan keputusan

yang dikeluarkan oleh Sentra Gakkumdu adalah keputusan

yang bersifat bersama antara Bawaslu, Kepolisan dan

Kejaksanaan sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing

secara kelembagaan.

5) Penerusan pelanggaran

Berkas laporan pelanggaran dan hasil kajian terhadap

pelanggaran dugaan tindak pidana Pemilu diteruskan oleh

Pengawas Pemilu. Diteruskan paling lambat 1x24 (satu kali

dua puluh empat) jam sejak diputuskan kepada Penyidik

Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) sesuai

tingkatan dan wilayah hukumnya.

Gambar bagan di atas memperlihatkan alur dari sistem

peraadilan pidana dalam meneyelesaikan tindak pidana

Pemilu. Sub-sistem dalam sistem ini menerima Input, yaitu

laporan-laporan adanya tindak pidana pemilihan umum yang

dilakukan oleh anggota masyarakat. Laporan ini terutama

berasal dari Panwaslu maupun dari pihak lain seperti

pemantau pemilu maupun anggota masyarakat lainnya.

56
Tugas dimulai dari subsistem pertama yaitu Bawaslu untuk

melakukan pengujian terhadap laporan tersebut. Apakah

laporan yang dilaporkan termasuk dalam perbuatan tindak

pidana atau tidak, jika ditemukan perbuatan tindak pidana

Pemilu maka diteruskan kepihak kepolisian. Pihak kepolisian

melakukan penyelidikan, apabila tidak ditemukan adanya

tindak pidana pada peristiwa itu atau adanya bukti permulaan

cukup pada tahap ini, maka perkara itu pun kemudian

dihentikan. Apabila ditemukan adanya peristiwa yang diduga

sebagai suatu tindak pidana, polisi kemudian melakukan

penyidikan. Apabila dari penyidikan tidak cukup didapat

bukti-bukti tentang tindak pidana maka penyidikan

dihentikan dan tersangka kembali ke masyarakat. Apabila di

dapat cukup bukti dan penyidikan dinyatakan selesai maka

kepolisian kemudian untuk membawa berkas perkara dan

tersangkanya kepada kejaksaan yang mempunyai wewenang

penuntutan. Kejaksaan memiliki kewenangan untuk

menghentikan penuntutan apabila tidak terdapat cukup bukti

atau ternyata peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan

tindak pidana. Dalam keadaan seperti itu maka penuntutan

dihentikan atau perkara tersebut ditutup demi hukum dan si

tersangka kembali ke masyarakat. Sebaliknya apabila

57
penuntut umum berpedapat bahwa dari hasil penyidikan

dapat dilakukan penuntutan maka ia akan secepatnya

membawa surat dakwaan. Tahap selanjutnya adalah penuntut

umum melimpahkan perkara ke pengadilan dengan

permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai

dengan surat dakwaan. Perkara tersebut kemudian akan

diperiksa di sidang pengadilan yang akan memberikan

putusan. Putusan mengenai pokok perkara dapat berupa

putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum, atau

pemidanaan. Terdakwa dinyatakan bebas atau lepas dari

segala tuntutan hukum, artinya ia kembali ke masyarakat.

Sebaliknya, jika dinyatakan bersalah melakukan tindak

pidana yang didakwakan kepadanya maka ia dijatuhi pidana.

Apabila telah selesai menjalani pidana maka ia kemudian

juga kembali ke masyarakat.

4. Pelaksanaan Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana

Pelanggaran Pemilihan Umum di Kota Yogyakarta

Mekanisme pelaksanaan penegakan kasus pada pidana Pemilu

sama dengan pidana umum, yang membedakan adalah hukum

acaranya. Pidana Pemilu harus memenuhi syarat formil dan materil

yang harus diselesaikan dalam pembahasan pertama untuk bisa

diregistrasi dan diteruskan kepada kepolisian. Selama kepengurusan

58
Bawaslu yang diketuai oleh bapak Inharto, belum ada temuan atau

laporan kasus tindak pidana Pemilu yang ditangani oleh Bawaslu Kota

Yogyakarta. Berikut petikan wawancara dengan Bapak Tri Agus

Inharto, S.H. Ketua dan Koordinator Divivsi Hukum, Sengketa dan

Penindakan Pelanggaran Bawaslu Kota Yogyakarta: “Sejauh ini belum

ada temuan maupun laporan tentang dugaan tindak pidana Pemilu

kepada Bawaslu Kota Yogyakarta, namun untuk penanganannya kami

(Bawaslu) akan menerima laporan atau temuan adanya dugaan tindak

pidana Pemilu tersebut. Bawaslu menangani kasus dalam pembahasan

pertama, yaitu dengan menerima dan mendata laporan atau temuan.

Bawaslu menjadi penentu bahwa laporan yang dilaporkan atau temuan

tersebut termasuk dalam perbuatan tindak pidana Pemilu atau tidak.

Apabila ditemukan perbuatan tindak pidana Pemilu maka diteruskan

kepihak kepolisian, kepolisian dan kejaksaan telah dilibatkan dari

awal kasus diterima, hanya saja Bawaslu menjadi penentu diregistrasi

atau tidaknya kasus untuk di proses lebih lanjut dan diteruskan ke

kepolisian atau masuk ke pembahasan kedua. Berbeda dengan pidana

umum yang apabila adanya laporan, ketika bukti sudah terpenuhi

maka langsung ditetapkan menjadi tersangka dan ditangani oleh

kepolisaian”.

Kasus tidak dapat diregistrasi apabila kekurangan bukti-bukti,

karena tidak terpenuhinya syarat formil, materiil dan kehabisan waktu,

59
jika kasus tidak diregistrasi maka kasus tersebut selesai dan ditutup

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) Pasal 36 Perbawaslu Nomor 8 Tahun 2020,

diputuskan dalam rapat pleno Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu

kabupaten/kota, atau Panwaslu kecamatan.

Bapak Inharto, ketua Bawaslu juga mengatakan apabila syarat

formil, materil serta bukti-bukti dugaan tindak pidana pelanggaran

Pemilu terpenuhi, maka kasus diregistrasi dan dilanjutkan ke

pembahasan kedua, yaitu masuk dalam proses penyidikan yang

menjadi kewenangan kepolisian. Pada pembahasan kedua, Bawaslu

hanya menjadi pendamping karena memiliki kepentingan tetapi tidak

bisa memaksakan kehendak dan tidak memiliki kewenangan.

Pembahasan kedua sudah menjadi ranah kompetensi kepolisian dan

yang memiliki kewenangan adalah kepolisian. Pada pembahasan

ketiga dan seterusnya oleh kejaksaan dan diproses seperti pidana

umum biasanya, Bawaslu hanya turut serta menangani kasus sampai

pada pembahasan kedua.

Kasus Pidana Pemilu menggunakan asas Lex Specialis Derogat,

yaitu menggunakan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang

Pemiihan Umum. Apabila terdapat kasus Money Politic dalam proses

Pemilu, maka proses penanganan kasus tetap mengacu pada Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemiihan Umum dan tidak

60
menggunakan undang-undang yang lain atau KUHAP yang mengatur

tentang politik uang.

B. Kendala dan Faktor yang Mempengaruhi dalam Penegakan Hukum


Terhadap Tindak Pidana Pelanggaran Pemilihan Umum Di Kota
Yogyakarta
Tidak adanya temuan atau laporan tentang dugaan tindak pidana Pemilu di

Kota Yogyakarta, namun salah satu kasus dugaan pelanggaran Pemilu di Kota

Yogyakarta yang ditangani oleh Bawaslu bersama Gakkumdu Kota

Yogyakarta adalah Kasus Perusakan Alat Peraga Kampanye (APK).

Perusakan APK melanggar Pasal 491 yang berbunyi “Setiap orang yang

mengacaukan mengacaukan, menghalangi atau menganggu jalannya

kampanye Pemilu dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)

tahun dan denda paling banyak Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)”.

Bawaslu Kota Yogyakarta menerima laporan adanya dugaan perusakan APK,

kemudian pihak Bawaslu menerima laporan tersebut dan terjun ke lapangan

atau menuju lokasi yang dilaporkan terdapat perusakan APK. Setelah berada

di lokasi, untuk mendapatkan bukti terhadap perusakan APK tersebut sangat

sulit. Kendala yang dihadapi Bawaslu Kota Yogyakarta dalam menagani

kasus Tindak Pidana Pelanggaran Pemilu di Kota Yogyakarta, seperti kasus

dugaan tindak Pidana Pelanggaran Pemilu Perusakan APK, adalah:

61
1. Sulitnya menemukan bukti dan saksi karena saat terjadinya perusakan

APK, pelapor tidak melihat kejadian perusakan tersebut secara

langsung, jadi tidak diketahui alat bukti apa yang digunakan dalam

perusakan tersebut.

2. Waktu penangan kasus yang ditetapkan terlalu singkat, penanganan

kasus yang diberikan kepada Bawaslu terlalu singkat, sehingga proses

penanganan kasus kurang maksimal.

3. Tidak diketahui secara konkret waktu dan tanggal perusakan, pelapor

tidak mengetahui dengan pasti kapan terjadinya perusakan APK

tersebut.

4. Budaya hukum, dimana kesadaran hukum masyarakat mengenai tindak

pidana Pemilu masih rendah, sehingga masyarakat masih banyak yang

melakukan tindak pidana Pemilu.

Tempat dipasangnya APK seperti di daerah-daerah atau di jalanan sangat

jarang terpasang CCTV (Closed Circuit Television), hasil rekaman CCTV

juga tidak dapat dijadikan alat bukti, hanya menjadi alat bukti petunjuk saja.

Sedangkan waktu yang diberikan kepada Bawaslu dalam menangani kasus

tersebut hanya 14 (empat belas) hari kerja. Karena waktu yang sangat singkat

tersebut, Bawaslu kehabisan waktu dan kasus tidak dapat diregistrasi karena

tidak terpenuhinya syarat Materil. Kendala tersebut menyebabkan dihentikan

atau tidak ditindaklanjutinya laporan dugaan pelanggaran pada kasus.

62
Penghentian kasus diputuskan dalam rapat pleno Bawaslu, Bawaslu Provinsi,

Bawaslu Kabupaten/Kota, atau Panwaslu Kecamatan.

Pelanggaran Pemilu yang juga terjadi di Kota Yogyakarta adalah politik

uang (Money Politic), dalam Pemilu dilarang menjanjikan atau memberikan

uang kepada pemilih. Dasar hukumnya Pasal 515 Undang-Undang Pemilu,

berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara

menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih

supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu

atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya

tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan

denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)”. Tindak

pelanggaran ini terjadi secara tidak kasat mata dan sulit dibuktikan secara

konkret karena tidak adanya laporan dari masyarakat maupun pihak yang

mengetahui, untuk menemukan bukti pelanggaran ini juga sangat sulit.

Kesadaran hukum masyarakat mengenai tindak pidana Pemilu yang masih

rendah menjadi faktor utama terjadinya tindak pidana pelanggaran ini.

Tindakan Bawaslu Kota Yogyakarta untuk menanggulangi tindak pidana

pelanggaran Pemilu di Kota Yogyakarta, dengan melakukan tindakan

Preventif, yaitu tindakan pencegahan dengan cara mengedukasi masyarakat

yang telah dimulai pada tahun 2020, edukasi tersebut berupa:

63
1) Penyebaran video dengan #politikuangitupembodohan, yang disertai

dengan video yang menggunakan bahasa isyarat.

2) Memberikan kampanye dengan 3 (tiga) poin penting, yaitu:

- Politik uang (Money Politic)

- Ujaran kebencian/sara

- Berita palsu (hoax)

3) Membuat 6 (enam) film pendek tentang anti money politic, anti ujaran

kebencian/sara dan hoax, dari berbagai sudut pandang. Video tersebut

masih dalam proses pembuatan.

64
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis lakukan maka dapat

diambil kesimpulan bahwa:

1. Penegakan hukum tindak pidana pemilihan umum dilakukan satu atap

secara terpadu oleh sentra penegakan hukum terpadu (sentra Gakkumdu)

Kota Yogyakarta, yang beranggotakan Bawaslu, Kepolisian dan

Kejaksaan, dimana bila ada aduan/temuan yang diduga sebagai tindak

pidana pemilihan umum, maka Bawaslu melakukan pembahasan pertama

paling lama 1x24 jam, setelah itu dilakukannya pembahasan kedua untuk

sekaligus menentukan apakah perbuatan tersebut merupakan tindak pidana

pemiihan umum atau tidak, jika perbuatan tersebut tindak pidana

pemilihan umum maka diteruskan ke pihak kepolisian untuk dilakukannya

penyidikan paling lama 14 hari kerja dan kemudian bila berkas sudah

65
lengkap maka kepolisian menyerahkan ke kejaksaan untuk dibuatkannya

surat dakwaan untuk diserahkan ke pengadilan paling lama 5 hari kerja.

2. Kendala terhadap penegakan hukum tindak pidana pemilihan umum oleh

Bawaslu Kota Yogyakarta:

- Sulit menemukan bukti atau saksi

- Tidak diketahui waktu dan tanggal perusakan

- Proses pencarian dan penangkapan si pelaku

- Budaya hukum, kurangnya kesadaran hukum masyarakat

B. Saran

Setelah melihat hasil dari penelitian, bahwa dalam hal ini Bawaslu Kota

Yogyakarta dalam melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana

pemilihan umum, tetap menyatukan persepsi antara Bawaslu, kepolisan dan

juga kejaksaan dalam melihat sebuah laporan pelanggaran pemilihan umum.

Khususnya tindak pidana pemilihan umum, sehingga dengan persamaan

persepsi tersebut tidak ada laporan atau temuan yang terkait dengan dugaan

tindak pidana pemilihan umum yang lolos begitu saja tanpa diproses lebih

lanjut, kemudian dalam hal untuk menumbuhkan rasa kesadaran hukum bagi

masyarakat maka tugas Bawaslu juga harus bekerja keras dengan melakukan

penyuluhan hukum terhadap masyarakat mengenai keberadaan sentra

Gakkumdu dan juga mekanisme pelaporan jika terjadi dugaan tindak pidana

pemilihan umum.

66
67

Anda mungkin juga menyukai