Anda di halaman 1dari 28

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT ANTIHIPERTENSI DI

APOTEK KIMIA FARMA KARTIKA KENDARI

OLEH
NUR ASIAH

S1 FARMASI

STIKES PELITA IBU

KENDARI

2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hipertensi merupakan suatu penyakit yang prevelensinya meningkat

seiring bertambahnya usia. Sebanyak 90% usia dewasa dengan tekanan darah

normal berkembang menjadi hipertensi tingkat satu, hipertensi dapat terjadi

pada usia dewasa karena penyebab antara lain : stress, mengkonsumsi garam

berlebih, gaya hidup (olahraga tidak teratur, merokok serta konsumsi alkohol

dan obesitas). (Astuti & Endang, 2018). Kurang lebih 10 – 30 penduduk

dewasa di hampir semua negara mengalami penyakit hipertensi, dan sekitar

50 – 60 penduduk dewasa dapat di kategorikan sebagai mayoritas utama yang

status kesehatannya akan menjadi lebih baik bila dapat di kontrol tekanan

darahnya (Tarigan et al., 2018).

Berdasarkan data World Health Organization (WHO) dalam Global

Status Report On Non-Communicable Disease, prevelensi tekanan darah

tinggi 2014 pada orang dewasa berusia 18 tahun ke atas sekitar 22%. Penyakit

ini juga bertanggung jawab atas 40% kematian akibat penyakit jantung dan

51% kematian akibat stroke. Selain secara global, hipertensi juga menjadi

salah satu penyakit tidak menular yang paling banyak di derita masyarakat

Indonesia(57,6%). Hal ini di buktikan melalui jumlah kunjungan hipertensi di

fasilitas kesehatan tingkat pertama yang terus meningkat setiap tahunnya

(Ansar & Dwinata, 2019).


Di Sulawesi Tenggara, belum ada hasil penelitian atau survey tentang

hipertensi. Data yang ada adalah data yang diperoleh dari kunjungan pada

unit-unit pelayanan seperti Puskesmas dan jaringannya. Dari 82.425 orang

atau 8% penduduk berusia 18 tahun ke atas yang dilakukan pengukuran

takanan darah, sebanyak 31.817 orang atau 38,60% yang mengalami

hipertensi. Berdasarkan jenis kelamin, hipertensi lebih banyak ditemukan

pada laki-laki yaitu sebesar 50,32%, sedangkan pada perempuan hanya

sebesar 34,67%. Data ini hanya berasal dari 11 kabupaten/kota, karena 6

daerah lainnya tidak melaporkan hasil pemeriksaan tekanan darah di

wilayahnya, meskipun demikian data tersebut di atas dapat menjadi acuan

tentang gambaran kasus hipertensi di Sulawesi Tenggara yang persentasenya

berada di atas prevalensi nasional (Saranani dkk, 2020).

Penyakit tekanan darah tinggi atau hipertensi tidak dapat disembuhkan

tetapi dapat dikendalikan, yaitu dengan diberikan pengobatan untuk

mencegah terjadinya komplikasi. Pengendalian hipertensi tersebut bertujuan

untuk mencegah terjadinya komplikasi yang lebih lanjut dan upaya

pencapaian dan pemeliharaan tekanan darah dibawah 120/80 mmHg

(Smeltzer & Bare, 2009). Dalam upaya meningkatkan status kesehatan

dengan cara meningkatkan kemampuan menyampaikan informasi yang jelas

pada penderita mengenai penyakit yang diderita serta cara pengobatan,

keterlibatan dan cara pendekatan yang dilakukan (Soeharto, 2009).

Apotek merupakan salah satu pelayanan kesehatan bagi masyarakat

Indonesia dan sudah seharusnya menerapkan penggunaan obat yang rasional


sesuai standar yang ada. Ketidaktepatan penggunaan obat pada apotek dapat

berakibat merugikan bagi kalangan luas masyarakat, sehingga perlu dilakukan

evaluasi penggunaan obat antihipertensi pada pasien hipertensi (Hasni dkk,

2018).

Seiring dengan peningkatan kasus hipertensi dan komplikasi yang dapat

terjadi dan jika hipertensi tidak ditangani dengan tepat, maka evaluasi

penggunaan obat antihipertensi sangat penting dilakukan untuk meningkatkan

keamanan penggunaan obat agar tercapai tekanan darah yang optimal.

Evaluasi penggunaan obat merupakan suatu proses jaminan mutu yang

terstruktur, dilaksanakan terus-menerus dengan tujuan untuk memastikan

bahwa obat-obatan digunakan dengan tepat, aman dan efektif. Evaluasi ini

dilakukan dengan membandingkan aspek-aspek dalam penggunaan obat di

lapangan dengan kriteriakriteria penggunaan yang telah ditetapkan terlebih

dahulu. Hasil dari evaluasi ini selanjutnya dijadikan acuan untuk menjalankan

perubahan dalam penggunaaan obat supaya mencapai rasionalitas

penggunaan obat, yaitu pasien menerima obat sesuai dengan kebutuhan klinis

dalam dosis yang memenuhi kebutuhan individu masing-masing untuk jangka

waktu yang cukup dan pada biaya terendah bagi pasien (AHSP, 2012).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dituliskan tersebut dapat

dirumuskan suatu permasalahan, yaitu:

1. Bagaimanakah pola penggunaan obat antihipertensi di Apotek Kimia

Farma Kartika Kendari?


2. Apakah terdapat potensi interaksi obat pada penggunaan obat

antihipertensi di Apotek Kimia Farma Kartika Kendari?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Untuk mengetahui pola penggunaan obat antihipertensi di Apotek Kimia

Farma Kartika Kendari

2. Untuk mengetahui potensi interaksi obat dari penggunaan obat

antihipertensi di Apotek Kimia Farma Kartika Kendari?

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu :

1. Dapat memberikan gambaran mengenai pola penggunaan obat, potensi

interaksi obat pada peresepan obat antihipertensi di Apotek Kimia Farma

Kartika Kendari.

2. Dapat sebagai bahan pertimbangan bagi apoteker dan praktisi kesehatan

lain berguna dalam peningkatan pelayanan kesehatan demi terciptanya

penggunaan obat yang rasional (tepat, aman, dan efektif).


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hipertensi

1. Definisi Hipertensi

Hipertensi berawal dari bahasa latin yaitu hiper dan tension. Hiper

ialah tekanan yang berlebihan dan tension ialah tensi. Hipertensi

merupakan kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan darah secara

kronis (dalam kurun waktu yang lama) yang dapat menyebabkan

kesakitan pada seseorang dan bahkan dapat menyebabkan kematian.

Seseorang dapat disebut menderita hipertensi jika didapatkan tekanan

darah sistolik > 140 mmHg dan diastolik 90 > mmHg. Tekanan darah

yang selalu tinggi dan tidak diobati atau dicegah sejak dini, maka sangat

berisiko menyebabkan penyakit degeneratif seperti retinopati, penebalan

dinding jantung, kerusakan ginjal, jantung koroner, pecahnya pembuluh

darah, stroke, bahkan dapat menyebabkan kematian mendadak (Ulfa

Azhar et al., 2019).

2. Epidemiologi Hipertensi

Di Amerika, diperkirakan 30% penduduknya (50 juta penduduk)

menderita tekanan darah tinggi (> 140/90 mmHg), dengan persentase

biaya kesehatan cukup besar setiap tahunnya. Menurut National Health

and Nutrion Examination Survey (NHNES), insiden hipertensi pada orang

dewasa di Amerika tahun 1999 – 2000 adalah sekitar 29-31%, yang

berarti bahwa terdapat 58 – 65 juta orang menderita hipertensi, dan


terjadi peningkatan 15 juta dari NHNES III tahun 1988 – 1991. Sampai

dengan umur 55 tahun, laki – laki lebih banyak menderita hipertensi

dibanding perempuan. Dari umur 55 s/d74 tahun, sedikit lebih banyak

perempuan disbanding laki – laki yang menderita hipertensi. Pada

populasi lansia (umur > 60 tahun), prevelensi untuk hipertensi sebesar

65,4% (Harvey et al., 2001).

Tekanan darah tinggi merupakan salah satu penyakit degenerative.

Umumnya tekanan darah bertambah secara perlahan dengan

bertambahnya umur. Risiko untuk menderita hipertensi pada populasi >

55 tahun yang tadinya tekanan darahnya normal adalah 90%.

Kebanyakan pasien mempunyai tekanan darah pre-hipertensi sebelum

mereka di diagnosis dengan hipertensi, dan kebanyakan diagnosis

hipertensi terjadi pada umur diantara dekade ketiga dan dekade kelima

(Harvey et al., 2001).

3. Etiologi Hipertensi

Meskipun hipertensi dapat terjadi akibat proses penyakit lainnya,

lebih dari 90 persen pasien mengalami hipertensi esensial, yaitu suatu

ganguan dengan sebab yang tidak diketahui dan mempengaruhi

mekanisme regulasi tekananan darah. Riwayat hipertensi dalam keluarga

meningkatkan kecenderuangan seseorang untuk mengalami penyakit

hipertensi. Insidensi hipertensi esensial empat kali lebih sering pada

orang kulit hitam di bandingkan kulit putih. Keadaan ini terjadi lebih

sering pada laki – laki paruh baya, dan prevelensinya meningkat seiring
usia dan obesitas. Faktor – faktor lingkungan, seperti gaya hidup yang

penuh tekanan, asupan natrium yang tinggi dalam diet, dan merokok,

lebih mempredisposisikan seseorang terhadap terjadinya hipertensi

(Harvey et al., 2001).

Kausa spesifik hipertensi dapat diartikan hanya pada 10 – 15%

pasien. Pasien yang penyebab spesifik hipertensinya tidak ditemukan

dikatakan mengidap hipertensi primer esensial. Pasien dengn etiologi

spesifik dikatakan mengidap hipertensi sekunder. Penyebab spesifik pada

tiap – tiap kasus perlu di pertimbangkan karena sebagian di antaranya

dapat diterapi secara definitif dengan pembedahan : konstriksi arteri

renalis, koarktasio aorta, feokromositoma, penyakit Cushing, dan

aldosteronisme (Bertram et al., 2013).

Pada sebagian besar kasus, meningkatnya tekanan darah berkaitan

dengan peningkatan keseluruhan resistensi terhadap aliran darah melalui

arteriol, sementara curah jantung biasanya normal. Pemeriksaan yang

teliti terhadap fungsi susunan saraf autonom, refleks baroreseptor, system

rennin-angiotensin-algosteron, dan ginjal gagal mengidentifikasi kelainan

tunggal sebagai penyebab meningkatnya resistensi vaskular perifer pada

hipertensi esensial. Karena itu, meningkatnya tekanan darah tampaknya

disebabkan oleh kombinasi beberapa kelainan (multifactor). Bukti

epidemiologik menunjukkan adanya faktor genetik, stress, psikologis,

serta faktor lingkungan dan makanan (meningkatnya asupan garam dan


berkurangnya kalium atau kalsium ) sebagai faktor kontribusi untuk

terjadinya hipertensi (Bertram et al., 2013).

Meningkatnya tekanan darah seiring usia tidak terjadi pada

populasi dengan asupan natrium harian yang rendah. Pasien dengan

hipertensi labil tampaknya lebih besar kemungkinannya mengalami

peningkatan tekanan darah setelah pemberian garam dibandingkan

dengan orang normal. Heritabilitas hipertensi esensial diperkirakan

sekitar 30%. Mutasi di beberapa gen dilaporkan berkaitan dengan

berbagai kausa hipertensi yang jarang. Variasi fungsional gen-gen untuk

angiotensinogen, angiotensin-converting enzyme (ACE), adrenoreseptor

β2, dan adusin α (protein sitoskeleton) tampaknya berperan pada

beberapa kasus hipertensi esensial (Bertram et al., 2013).

4. Faktor Penyebab Hipertensi

Pada umumnya hipertensi tidak mempunyai penyebab yang

spesifik. Hipertensi terjadi sebagai respon peningkatan cardiac output

atau peningkatan tekanan perifer. Namun ada beberapa faktor yang

mempengaruhi terjadinya hipertensi antara lain (Nuraini, 2015).

a. Faktor Genetik

Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akan

menyebabkan keluarga itu mempunyai resiko menderita hipertensi.

Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar sodium intraseluler

dan rendahnya rasio antara potassium terhadap sodium individu

dengan orang tua. Hipertensi mempunyai risiko dua kali lebih besar
untuk menderita hipertensi dari pada orang yang tidak mempunyai

keluarga dengan riwayat hipertensi. Selain itu didapatkan 70 – 80%

kasus hipertensi esensial dengan riwayat hipertensi dalam keluarga.

b. Obesitas

Berat badan merupakan faktor determinan pada tekanan darah

pada kebanyakan kelompok etnik di semua umur. Menurut National

Institutes for Health USA, prevelensi tekanan darah tinggi pada

orang dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) > 30 (obesitas) adalah

38% untuk pria dan 32 % untuk wanita, dibandingkan dengan

prevelensi 18% untuk pria dan 17% untuk wanita bagi yang

memiliki IMT < 25 (status gizi normal menurut standar

internasional). Menurut Hall (1994) perubahan fisiologis dapat

menjelaskan hubungan antara kelebihan berat badan dengan tekanan

darah, yaitu terjadinya resistensi insulin dan hiperinsulinemia,

aktivasi saraf simpatis dan system renin-angiotensin, dan perubahan

fisik pada ginjal.

c. Jenis Kelamin

Prevelensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan wanita.

Namun wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum

menopouse salah satunya adalah penyakit jantung koroner. Wanita

yang belum mengalami menopouse dilindungi oleh hormon estrogen

yang berperan dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein

(HDL). Kadar kolesterol HDL merupakan faktor prlindung dalam


mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Efek perlindungan

estrogen di anggap sebagai penjelasan adanya imunitas wanita pada

usia premenopause. Pada premenopause wanita mulai kehilangan

sedikit demi sedikit hormone estrogen yang selama ini melindungi

pembuluh darah dari kerusakan. Proses ini terus berlanjut dimana

hormone estrogen tersebut berubah kuantitasnya sesuai dengan umur

wanita secara alami, yang umumnya mulai terjadi pada wanita umur

45-55 tahun.

d. Stress

Stress dapat meningkatkan tekanan darah sewaktu. Hormone

adrenalin akan meningkat sewaktu kita stress, dan itu bisa

mengakibatkan jantung memompa darah lebih cepat sehingga

tekanan darah pun meningkat.

e. Kurang Olahraga

Olahraga banyak di hubungkan dengan pengelolaan penyakit

tidak menular, karena olahraga isotonik dan teratur dapat

menurunkan tekanan darah perifer yang akan menurunkan tekanan

darah (untuk hipertensi) dan melatih otot jantung sehingga menjadi

terbiasa apabila jantung harus melakukan pekerjaan yang lebih berat

karena adanya kondisi tertentu. Kurangnya aktivitas fisik menaikkan

risiko tekanan darah tinggi karena bertambahnya risiko untuk

menjadi gemuk. Orang – orang yang tidak aktif cenderung

mempunyai detak jantung lebih cepat dan otot jantung mereka harus
bekerja lebih keras pada setiap kontraksi, semakin keras dan sering

jantung harus memompa semakin besar pula kekuatan yang

mendesak arteri.

f. Pola Asupan Garam dalam Diet

Badan kesehatan dunia yaitu World Health Organization

(WHO) merekomendasikan pola konsumsi garam yang dapat

mengurangi risiko terjadinya hipertensi. Kadar sodium yang

direkomendasikan adalah tidak lebih dari 100 mmol (sekitar 2,4

gram sodium atau 6 gram garam) perhari. Konsumsi natrium yang

berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di dalam cairan

ekstraseluler meningkat. Meningkatnya volume cairan ekstraseluler

tersebut menyebabkan meningkatnya volume darah, sehingga

berdampak kepada timbulnya hipertensi.

g. Kebiasaan Merokok

Merokok menyebabkan peninggian tekanan darah. Perokok

berat dapat dihubungkan dengan peningkatan insiden hipertensi

maligna dan risiko terjadinya stenosis arteri renal yang mengalami

ateriosklerosis (Nuraini, 2015).

5. Klasifikasi Hipertensi

Hipertensi terbagi menjadi hipertensi primer (esensial) dan

hipertensi sekunder (non esensial).. Hipertensi primer adalah hipertensi

yang tidak dapat diketahui penyebabnya secara pasti. Tetapi hipertensi

ini dapat di atasi dengan cara mengubah gaya hidup dan terapi obat untuk
mencegah efek yang tidak diinginkan dari hipertensi. Hipertensi sekunder

(non esensial) merupakan hipertensi yang terjadi setelah seseorang

mengalami kondisi lainnya, seperti batu ginjal atau tumor pada ginjal.

Terapi yang dilakukan untuk hipertensi sekunder bertujuan untuk

memperbaiki kondisi atau menghilangkan penyebabnya (Hartiwan et al.,

2018). Menurut WHO hipertensi dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :

a. Normotensi :< 140/90 mmHg dan < 160/90 mmHg.

b. Hipertensi (border line) :> 140/90 mmHg dan < 160/90 mmHg.

c. Hipertensi berat :> 160/95 mmHg (Suiraoka, 2015).

Berdasarkan klasifikasi tekanan darah untuk

dewasa usia ≥ 18 tahun dapat dilihat pada tabel 2.1

berikut :

Tabel 2.1 Klasifikasi tekanan darah untuk dewasa usia ≥

18 tahun.

Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

Normal < 120 < 80

Prehipertensi 120 – 139 80 – 89

Hipertensi Tingkat 1 140 – 159 90 – 99

Hipertensi Tingkat 2 < 160 > 100

Sumber Data : (Wells et al., 2017)

6. Patofisiologi Hipertensi

Tekanan darah dipengaruhi volume sekuncup dan total peripheral

resistance. Apabila terjadi peningkatan salah satu dari variable tersebut


yang tidak terkompensasi maka dapat menyebabkan timbulnya

hipertensi. Tubuh memiliki system yang berfungsi mencegah perubahan

tekanan darah secara akut yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi dan

mempertahankan stabilitas tekanan darah sangat kompleks. Pengendalian

dimulai dari sistem reaksi cepat seperti reflex kardiovaskuler melalui

system saraf, refleks kemoreseptor, respon iskemia, susunan saraf pusat

yang berasal dari atrium, dan arteri pulmonalis otot polos. Sedangkan

system pengendalian reaksi lambat melalui perpindahan cairan antara

sirkulasi kapiler dan rongga intertisial yang dikontrol oleh hormone

angiotensin vasopressin. Kemudian dilanjutkan sistem potem dan

berlangsung dalam jangka panjang yang dipertahankan oleh sistem

pengaturan jumlah cairan tubuh yang melibatkan berbagai organ.

Patofisiologi terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya

angitensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme

(ACE). ACE memegang peran fisiologi penting dalam mengatur tekanan

darah. Darah mengandung angiotensinogen yang di produksi di hati.

Selanjutnya oleh hormon renin akan diubah menjadi angiotensi I. Oleh

ACE yang terdapat di paru – paru, angiotensin I di ubah menjadi

angiotensi II. Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci dalam

menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama.

Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik

(ADH) dan rasa haus. ADH di produksi di hipotalamus (kelenjar

pituitary) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan


volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang di

ekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis) sehingga menjadi pekat dan

tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan

ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian

intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat yang pada akhirnya

akan meningkatkan tekanan darah.

Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks

adrenal. Aldosteron merupakan hormone steroid yang memiliki peranan

penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler,

aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara

mereabsorbsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan

diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan

ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan

tekanan darah.

Manifestasi klinis yang timbul dapat berupa nyeri kepala saat

terjaga yang kadang – kadang disertai mual dan muntah akibat

peningkatan tekanan darah intrakranium, penglihatan kabur akibat

kerusakan retina, ayunan langkah tidak mantap karena kerusakan susunan

saraf, nokturia (peningkatan urinasi pada malam hari) karena peningkatan

aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus, edema dependen akibat

peningkatan tekanan kapiler. Keterlibatan pembuluh darah otak dapat

dapat menimbulkan stroke atau serangan iskemik transien yang

bermanifestasi sebagai paralisis sementara pada satu sisi atau hemiplegia


atau gangguan tajam penglihatan. Gejala lain yang sering ditemukan

adalah epistaksis, mudah marah, telinga berdengung, rasa berat di

tengkuk, sukar tidur, dan mata berkunang-kunang (Nuraini, 2015).

8. Obat – Obat Hipertensi

a. Diuretik

Obat diuretik mekanisme kerjanya menghambat pengangkut

Na/Cl di tubulus kontortus distal ginjal dan menghambat pengangkut

Na/K/2Cl di ansa Henle ginjal serta menghambat reseptor aldosteron

di tubulus koligentes ginjal. Efeknya yaitu mengurangi volume darah

dan efek-efek vaskular yang belum dipahami seperti tiazid efikasi

besar dan meningkatkan ekskresi Na dan menurunkan ekskresi K,

pengurangan angka kematian jantung oleh mekanisme yang belum

dipahami. Obat-obat yang termasuk golongan diuretik antara lain :

Tiazida : Hidroklortiazid, Loop diuretic : Furosemid, spironolakton,

eplerenon, triamterene, bumetanide.

b. Simpatoplegik,

Kerja sentral Obat Simpatoplegik, kerja sentral mekanisme

kerjanya adalah mengaktifkan adrenoseptor α2. Efeknya yaitu

mengurangi implus simpatis sentral, mengurangi pengeluaran

norepinefrin dari ujung saraf adrenergik. Obat-obat yang termasuk

golongan simpatoplegik, kerja sentral antara lain : klonidin dan

metildopa.

c. Penghambat ujung saraf simpatis


Obat penghambat ujung saraf simpatis mekanisme kerjanya

adalah menghambat pengangkut amina vesikular di saraf

noradrenergic dan menguras simpanan transmiter, mengganggu

pelepasan amina dan mengganti norepinefrin dalam vesikel. Efeknya

yaitu mengurangi semua efek simpatis, khususnya kardiovaskule,

dan menurunkan tekanan darah. Obat-obat golongan penghambat

ujung saraf simpatis antara lain : reserpin dan guanetidin.

d. Penghambat α

Obat penghambat α mekanisme kerjanya adalah secara selektif

menghambat adrenoseptor α1. Efeknya yaitu mencegah vasokontriksi

simpatis dan mengurangi tonus otot polos prostat. Obat-obat

golongan penghambat α antara lain : prazosin, terazisin, doksazosin.

e. Penghambat β

Obat penghambat β mekanisme kerjanya adalah menghambat

reseptor β1, juga menghambat reseptor α. Efeknya yaitu mencegah

stimulasijantung oleh saraf simpatis dan mengurangi sekresi renin.

Obat-obat golongan penghambat β antara lain : metoprolol, atenolol,

propanolol, karvedilol.

f. Vasodilator

Obat vasodilator mekanisme kerjanya adalah menghambat

saluran kalsium tipe L secara non-selektif, menhambat saluran

kalsium vaskular > saluran kalsium jantung, menyebabkan

pengeluaran nitrat oksida dan metabolit membuka saluran K di otot


polos vaskular. Efeknya yaitu mengurangi curah dan kecepatan

jantung, mengurangi resistensi vaskular, mengurangi resistensi

vaskular, vasodilatasi, mengurangi resistensi vaskular, arteriol lebih

sensitif daripada vena, dan takikardia refleks. Obat-obat golongan

vasodilator antara lain : varapamil, diltiazem, nefedipin, amlodipin,

dihidropiridin, hidealazin, minoksidil.

g. Obat Parenteral

Obat parenteral mekanisme kerjanya adalah membebaskan

nitrat oksida, mengaktifkan reseptor D1, membuka saluran K dan

penghambat α1dan β. Efeknya yaitu vasodilatasi kuat. Obat-obat

golongan obat parenteral antara lain : nitroprusid, fenoldopam,

diazoksid, labetalol.

h. Inhibitor Angiotensi-Converting Enzyme (ACE)

Obat inhibitor Angiotensi-Converting Enzyme (ACE)

mekanisme kerjanya adalah menghambat angiotensin-converting

enzyme. Efeknya yaitu mengurangi kadar angiotensin II, mengurangi

vasokontriksi, dan sekresi aldosteron dan meningkatkan bradikinin.

Obat-obat golongan ini antara lain : kaptopril, benezpril, enalapril,

fosinopril, lisinopril, moexiprip, quinapril, ramipril.

i. Penghambat reseptor angiotensin (Angiotensin Receptor Blocker,

ARBs)

Obat penghambat reseptor angiotensin (Angiotensin Receptor

Blocker, ARBs) mekanisme kerjanya adalah menghambat reseptor


AT1. Efeknya yaitu mengurangi kadar angiotensin II, mengurangi

vasokontriksi, dan sekresi aldosteron. Obat-obat golongan

penghambat reseptor angiotensin (Angiotensin Receptor Blocker,

ARBs) antara lain :candesartan, eprosartan, irbesartan, losartan,

olmesartan, telmisartan, valsartan.

j. Inhibitor rennin

Obat inhibitor renin mekanisme kerjanya adalah menghambat

aktivitas enzimatik renin. Efeknya yaitu mengurangi angiotensin I

dan II serta aldosteron. Obat-obat golongan inhibitor renin adalah

aliskiren (Bertram et al., 2013).

9. Tatalaksana Terapi Hipertensi

a. Terapi Non – Farmakologi

Modifikasi gaya hidup:

1) Penurunan berat badan jika kelebihan berat badan

2) Adopsi diet pendekatan untuk menghentikan rencana makan

Hipertensi (DASH),

3) Pembatasan diet sodium idealnya 1,5 g / hari (3,8 g / hari

natrium klorida

4) Aktivitas fisik aerobik yang teratur

5) Konsumsi alkohol sedang (dua atau lebih sedikit minuman per

hari)

6) Berhenti merokok.
Modifikasi gaya hidup saja sudah cukup untuk sebagian besar

pasien dengan prehipertensi tetapi tidak memadai untuk pasien

dengan hipertensi dan faktor risiko CV tambahan atau kerusakan

organ target terkait hipertensi.

b. Terapi Farmakologi

Pemilihan obat awal tergantung pada derajat peningkatan TD

dan adanya indikasi yang kuat untuk obat yang dipilih.

1) Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor, angiotensin II

receptor blocker (ARBs), calcium channel blockers (CCBs), dan

diuretik thiazide dapat diterima opsi lini pertama.

2) β-Blocker digunakan untuk mengobati indikasi pemicu spesifik

atau sebagai .terapi kombinasi dengan agen antihipertensi lini

pertama untuk pasien tanpa pemaksaan.

Sebagian besar pasien dengan hipertensi stadium 1 harus

diobati awalnya dengan lini pertama obat antihipertensi atau

kombinasi dua obat. Terapi kombinasi (Wells et al., 2017).

B. Evaluasi Rasionalitas

Menurut World Health Organization (WHO), penggunaan obat yang

rasional adalah apabila pasien menerima pengobatan sesuai dengan

kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhan, dalam

periode waktu yang sesuai, dan dengan biaya yang terjangkau oleh pasien

tesebut dan oleh kebanyakan masyarakat (Kemenkes RI, 2006). WHO

memperkirakan bahwa lebih dari separuh dari seluruh obat di dunia


diresepkan, diberikan, dan dijual dengan cara yang tidak tepat dan separuh

dari pasien menggunakan obat secara tidak tepat. Adanya penggunaan obat

yang rasional yaitu untuk menjamin pasien mendapatkan pengobatan yang

sesuai dengan kebutuhannya, untuk periode waktu yang adekuat, serta dengan

harga yang terjangkau (Kemenkes RI, 2011).

Evaluasi penggunaan obat sangat penting dilakukan oleh apoteker

untuk menjamin ketepatan peresepan dan penggunaan obat, cost effectiveness,

serta untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan (Florensia, 2016).

Evaluasi rasionalitas penggunaan obat dapat dilakukan secara kualitatif dan

kuantitatif.

Secara kuantitatif, dapat digunakan metode Anatomycal Therapeutic

Chemical/Defined Daily Dose (ATC/DDD). Hasil yang didapatkan

menggunakan metode ini selanjutnya dibandingkan dengan penggunaan obat

di rumah sakit yang setara, sehingga dapat ditentukan apakah penggunaan

satu macam atau kelompok obat tersebut berlebihan, sedang, atau kurang

(Florensia, 2016).

Sedangkan secara kualitatif, menurut Kementrian Kesehatan Republik

Indonesia tahun 2011 yang mengacu pada WHO, evaluasi penggunaan obat

dapat dilakukan dengan cara meninjau dari segi tepat diagnosa, tepat indikasi,

tepat pasien, tepat obat, tepat dosis, tepat informasi, tepat harga, tepat cara

dan lama pemberian, serta waspada efek samping.

1. Tepat Diagnosis
Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis

yang tepat. Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan

obat akan terpaksa mengacu pada diagnosis yang tidak tepat tersebut.

Akibatnya obat yang diberikan juga tidak akan sesuai dengan indikasi

yang seharusnya serta tidak akan mampu memenuhi pengobatan pasien

(Kemenkes, 2011).

2. Tepat Indikasi

Evaluasi ketepatan indikasi dilihat dari perlu tidaknya pasien diberi

obat tersebut. Ketepatan untuk memutuskan pemberian obat harus benar-

benar didasarkan pada alasan medis dan terapi farmakologi yang

dibutuhkan oleh pasien (Kemenkes, 2011).

3. Tepat Pasien

Ketepatan pasien ialah ketepatan pemilihan obat yang

mempertimbangkan keadaan pasien sehingga tidak menimbulkan

kotraindikasi kepada pasien secara individu. Hal ini dikarenakan respon

tiap-tiap individu terhadap efek obat sangatlah beragam (Sumawa, 2015).

4. Tepat Obat

Keputusan pemilihan obat diambil setelah diagnosis ditegakkan

dengan benar. Pemberian obat dikatakan tepat apabila jenis obat yang

dipilih berdasarkan pertimbangan manfaat dan resiko. Evaluasi ketepatan

obat dinilai berdasarkan kesesuaian pemilihan obat dengan

mempertimbangkan diagnosis yang telah tertulis (Sumawa, 2015).

5. Tepat Dosis
Kriteria tepat dosis yaitu tepat dalam frekuensi pemberian, dosis

yang diberikan, serta cara pemberian. Pemberian dosis yang berlebihan,

khususnya untuk obat yang memiliki indeks terapi sempit, akan sangat

beresiko untuk menimbulkan efek samping. Begitupun sebaliknya, dosis

yang terlalu kecil tidak menjamin tercapainya efek farmakologi yang

optimal dan diharapkan (Kemenkes, 2011).

6. Tepat Informasi

Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangatlah

penting dalam menunjang keberhasilan terapi. Misalnya obat rifampisin

akan mengakibatkan urin pasien berwarna merah. Jika hal ini tidak

diinformasikan kepada pasien, dikhawatirkan pasien akan berhenti

mengkonsumsi obat tersebut karena menduga obat tersebut menyebabkan

buang air kecil disertai darah (Kemenkes, 2011).

7. Tepat Harga

Tepat harga yaitu harga yang diberikan mampu mencapai cost

effectiveness pasien. Penggunaan obat tanpa indikasi ataupun untuk

keadaan yang tidak memerlukan terapi obat tentu merupakan pemborosan

dan akan membebani pasien.

8. Tepat Cara dan Lama Pemberian

Ketepatan cara pemberian yaitu tepat tidaknya cara pasien dalam

mengkonsumsi obat. Misalnya antasida harus dikunyah dahulu kemudian

baru ditelan. Begitu pula interval waktu pemberian, sebaiknya dibuat

sesederhana mungkin. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan


pasien. Karena semakin sering frekuensi pemberian obat per hari, semakin

rendah kepatuhan pasien untuk meminum obat. Lama pemberian obat juga

harus disesuaikan dengan penyakit yang diderita pasien. Karena pemberian

obat yang terlalu singkat atau terlalu lama dari yang seharusnya akan

berpengaruh pada hasil pengobatan (Kemenkes, 2011).

9. Waspada Efek Samping

Pemberian obat potensial dapat menimbulkan efek samping. Efek

samping yaitu efek yang tidak diharapkan kehadirannya pada saat terapi.

Misalnya pemberian tetrasiklin pada anak usia kurang dari 12 tahun tidak

diperbolehkan karena dapat menimbulkan kelainan pada gigi dan tulang

pada masa pertumbuhan (Kemenkes, 2011).


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan

pendekatan cross sectional dengan rancangan penelitian retrospektif, yaitu

penelitian dengan mengkaji informasi atau mengambil data–data yang telah

lalu (Notoatmodjo, 2010). Data diperoleh dari resep periode Januari – Maret

2022.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data berupa resep di

Apotek Kimia Farma Kartika Kendari pada bulan April - Mei 2022.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi target dalam penelitian ini yaitu semua resep obat yang

mengandung obat antihipertensi di Apotek Kimia Farma Kartika Kendari

pada periode bulan Januari – Maret 2022.

2. Sampel

Sampel penelitian adalah sebagian dari populasi yang mewakili

suatu populasi. Sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Adapun yang menjadi kriteria inklusi adalah:


a. Resep pasien terapi obat antihipertensi yang mengunjungi apotek

pada bulan Januari – Maret 2022.

b. Resep pasien terapi obat antihipertensi laki-laki dan perempuan dari

semua usia.

c. Resep pasien terapi obat antihipertensi dengan atau tanpa

komplikasi.

Adapun yang menjadi kriteria eksklusi adalah:

a. Resep pasien terapi obat antihipertensi yang tidak dapat dibaca.

E. Rancangan Penelitian

1. Teknik pengumpulan data

Metode pengumpulan data dengan cara mengumpulkan resep obat

antihipertensi.

2. Teknik pengolahan data

Data yang diperoleh di input ke dalam sebuah tabel yang memuat

jenis kelamin, umur, obat, jumlah obat, durasi pengobatan, frekuensi

penggunaan obat, jenis obat, bentuk sediaan obat, dan golongan obat.

F. Prosedur Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Meminta izin dan menghubungi apotek untuk dapat melakukan penelitian

dengan membawa surat rekomendasi dari Fakultas Farmasi Sekolah

Tinggi Ilmu Kesehatan Pelita Ibu.

2. Mengumpulkan data berupa resep yang mengandung obat antihipertensi

(periode Januari – Maret 2022).


3. Menganalisis data dengan merujuk kepada beberapa literatur dan

menarik kesimpulan dari penelitian yang dilakukan.

G. Definisi Operasional

Definisi operasional dimaksudkan untuk menghindari kesalahan

pemahaman dan perbedaan penafsiran yang berkaitan dengan istilah-istilah

dalam penelitian ini, maka definisi operasional yang perlu dijelaskan, yaitu:

1. Hipertensi adalah didefinisikan sebagai tekanan

darah ≥ 140/90 manometer merkuri (mmHg).

2. Evaluasi penggunaan obat adalah proses jaminan mutu resmi dan

terstruktur yang dilaksanakan terus menerus yang ditujukan untuk

menjamin penggunaan obat yang tepat, aman, dan efektif.

3. Potensi adalah suatu keadaan atau daya yang dapat berkembang.

4. Interaksi obat adalah peristiwa dimana aksi suatu obat di ubah atau

dipengaruhi oleh obat lain yang di berikan bersamaan. Interaksi obat

terjadi jika suatu obat mengubah efek obat lainnya. Kerja obat yang

diubah dapat menjadi lebih atau kurang aktif.


DAFTAR PUSTAKA

American Society of Health-System Pharmacist (ASHP). (2012). ASHP


Guidelines on PharmacistConducted Patient Education and Counseling.
Journal Health System Pharmacy, 54, 431-434
Ansar, J., & Dwinata, I. (2019). Determinan Kejadian Hipertensi Pada
Pengunjung Posbindu Di Wilayah Kerja Puskesmas Ballaparang Kota
Makassar Determinant of Hypertension Incidence among Posbindu Visitor
at Work Area of Puskesmas Ballaparang Makassar City (Vol. 1).
Astuti, S. D., & Endang, E. (2018). Kajian Penggunaan Antihipertensi dan Potensi
Interaksi Obat Pada Pengobatan Pasien Hipertensi Dengan Komplikasi.
Jurnal Farmasi Indonesia. https://doi.org/10.31001/jfi.v15i2.483
Hasni, D., Darmayanti, A., Laura, A. (2020). Evaluasi Penggunaan Obat
Antihipertensi Di Puskesmas Ikur Koto Kota Padang Periode 2018. Fakultas
Kedokteran Universitas Baiturrahmah Padang.
Saranani, M., Hamria, Mien. (2020). Hubungan Pola Hidup Penderita Hipertensi
Dengan Kejadian Hipertensi Di Wilayah Kerja Puskesmas Batalaiworu
Kabupaten Muna. Poltekes Kemenkes Kendari.
Smeltzer, SC dan Bare, BG. (2009). Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah.Edisi 8 Vol2. Jakarta
Soeharto, I. (2011). Kolesterol & Lemak Jahat, Kolesterol & Lemak Baik, dan
Proses Terjadinya Serangan Jantung dan Stroke. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Tarigan, A. R., Lubis, Z., & Syarifah, S. (2018). Pengaruh Pengetahuan, Sikap
Dan Dukungan Keluarga Terhadap Diet Hipertensi. Jurnal Kesehatan.
https://doi.org/10.24252/kesehatan.v11i1.5107

Anda mungkin juga menyukai