Sebenarnya saya agak malas menulis tentang Omicron. Rasanya teman-teman sudah
pada bosan kalau membaca cerita tentang Covid-19. Yang jadi masalah adalah dalam
beberapa hari ini saya menerima banyak konsulan, baik dari sanak-saudara maupun
teman yang tertular Covid. “Apa yang harus saya lakukan?” “Berapa lama saya harus
isoman?” dsb. Nah, daripada saya bolak-balik harus menjelaskan hal yang sama pada
kasus beda dikit, lebih baik saya membuat tulisan tentang tatalaksana varian Omicron
ini secara umum. Jadi kalau ada yang konsul ya tinggal diberi tulisan ini aja, hehehe.
Jumlah kasus baru Gelombang 1-2-3 Covid-19 di Indonesia (data 12 Febr 2022)
Varian Omicron pertama kali terdeteksi di Afrika Selatan (24 November 2021). Tiga
hari kemudian WHO menetapkannya sebagai VOC (variant of concern), varian yang
harus diwaspadai. Benar juga, tidak sampai tiga bulan varian baru ini sudah menyebar
di 77 negara di dunia (8 Februari 2022). Varian B.1.1.529 ini memiliki lebih dari 50 titik
mutasi (Delta hanya 7 titik), di mana 32 titik di antaranya terletak di spike protein (S)
yang merupakan kunci bagi masuknya virus ke dalam sel tubuh manusia.
Beberapa fakta unik tentang varian Omicron.
1. Varian Omicron lebih mudah menular dibanding varian lain, termasuk Delta yang
menjadi biang keladi Gelombang 2 di Indonesia. Dikatakan bahwa Omicron 5 kali
lebih menular dibandingkan Delta. Orang yg terinfeksi Omicron bisa menyebarkan
virus ini ke orang lain, walaupun mereka OTG ataupun sudah divaksinasi.
2. Gejala penyakitnya mirip dengan varian terdahulu, walaupun ada beberapa gejala
yang lebih dominan dibandingkan gejala lainnya.
3. Dibandingkan varian sebelumnya (Delta), infeksi Omicron umumnya menyebabkan
dampak yang lebih ringan. TAPI walaupun tergolong ringan, bukan berarti varian
ini boleh disepelekan lho. Mengapa demikian?
Omicron tetap bisa menyebabkan gejala berat dan kematian, khususnya pada
orang-orang yang rentan, seperti lansia, penderita komorbid, dan orang/anak yg
belum vaksinasi.
Dari data vaksinasi Covid-19 Nasional per tanggal 14 Febr 2022 tercatat bahwa
kelompok lansia yang mendapat 2 dosis baru 50,4% dan 3 dosis hanya 4,8%.
Walaupun gejalanya relatif ringan, Omicron sangat menular sehingga dalam
waktu yang singkat jumlah kasusnya jadi amat tinggi. Bila secara total jumlah
kasusnya banyak, maka jumlah pasien yang membutuhkan oksigen meningkat,
yang butuh ICU meningkat, RS penuh dan over kapasitas, nakes pun berjatuhan,
banyak pasien tak tertangani dengan baik, akibatnya kematian pun meningkat.
Jadi sangat tidak etis bila ada orang yang mengatakan “Biarkan saja. Makin banyak
orang yang terkena infeksi Omicron secara alami makin baik. Kan nantinya akan
terbentuk herd immunity, dan pandemi ini akan berakhir.” Ini berarti “hukum rimba”
yang bicara. Yang lemah akan tersingkir, dan yang kuat akan survive. Bagaimana
kalau yang tersingkir itu adalah orang tua kita? Keluarga kita? Anak kita? Mikirrr.
Perlu diingat bahwa apakah kita berbicara tentang Omicron, Delta ataupun varian
lainnya, mereka tetap adalah virus SARS-CoV-2 yang sama. Pada dasarnya semua
varian mempunyai gejala yang sama, seperti demam, batuk, kesulitan nafas, linu-linu,
kelelahan, sakit kepala, nyeri tenggorok, hilangnya penciuman dan pengecapan, pilek,
mual/muntah, dan diare. Walaupun beberapa gejala lebih dominan pada Delta, yang
lain dominan pada Omicron, tapi perbedaan ini tidak bisa digunakan untuk diagnosa.
Beda gejala varian Omicron dan Delta
Dari studi yang dilakukan di UK ditemukan bahwa Delta dan Omicron sama-sama
menginfeksi sel melalui reseptor ACE2. Bedanya, Delta tetap lengket di permukaan
sel (tidak masuk ke dalam sel), yang menyebabkan penularan virus yang sangat akut
dan berkembang biak cepat di paru-paru. Sementara Omicron masuk ke dalam sel,
hal ini menyebabkan ia bergerak lambat di jaringan paru. Cara masuk ke dalam sel
jaringan paru ini menjelaskan mengapa Delta dominan di jaringan paru (10 x Omicron)
dan mengakibatkan komplikasi serius di paru dan kematian. Sementara Omicron lebih
dominan di bronkus (70 x Delta). Hal ini yang menyebabkan ia lebih cepat menyebar
baik secara droplets maupun aerosol.
Data Kemenkes 12 Februari 2022 menyebutkan bahwa jumlah penderita baru adalah
4.76 juta, 145 ribu di antaranya meninggal.
Apakah semuanya Omicron? Tidak. Kok gitu? Umumnya mereka yang terkonfirmasi di
atas, dasarnya adalah pemeriksaan PCR atau tes Antigen yang positif. Sayangnya
kedua pemeriksaan ini hanya mampu mendeteksi Covid-19, tidak dapat membedakan
variannya. Jadi orang yang hasil PCR atau tes Antigennya positif didiagnosa sebagai
konfirmasi Covid-19 saja, bukan Omicron.
Lalu, bagaimana caranya menentukan seseorang terkena varian Omicron? Untuk itu
diperlukan pemeriksaan khusus.
Pemeriksaan SGTF atau S-Gene Target Failure. Tes PCR dilakukan dengan
mendeteksi gen-gen yang terkait dengan virus SARS-CoV-2, seperti spike (S),
nucleocapsid (N), ORF1ab, envelope (E), dan RdRp. Pada varian Omicron, gen
S tidak terdeteksi karena adanya mutasi, sedang gen-gen yang lain ada. Bila
pemeriksaan SGTF positif maka diagnosanya adalah probable Omicron.
Pemeriksaan WGS atau Whole Genome Sequencing, prosedur laboratorium utk
mengurutkan keseluruhan susunan materi genetik (RNA) dr virus SARS-CoV-2.
Dengan WGS kita dapat menentukan varian SARS-CoV-2 (tidak hanya omicron)
bahkan menemukan varian baru. Bila pemeriksaan ini positif maka diagnosanya
adalah konfirmasi Omicron.
Sayang laboratorium yg bisa memeriksa SGTF amat terbatas, hanya ada di beberapa
kota besar saja. Apalagi laboratorium WGS tambah sedikit lagi, harganya pun mahal.
Jadi maklum bila tidak semua kasus terkonfirmasi Covid-19 diperiksa SGTF/WGS.
Perlu diingat bahwa dengan munculnya varian Omicron bukan berarti bahwa varian
Delta (dan varian lain) lalu menghilang dari muka bumi. Mereka tetap ada, mungkin
prosentasinya saja yang menurun, mengingat penularan Omicron yang begitu cepat.
Berapa perbandingannya? Kita tidak tahu karena di Indonesia WGS tidak dilakukan
secara rutin. Tapi karena saat ini Omicron lagi viral (semua bicara tentang Omicron)
maka kesannya semua yang positif Covid adalah Omicron. Padahal Tidak.
TATALAKSANA
Contoh perhitungan:
Tanggal 10 Febr seorang pasien (X) mengeluh demam, nyeri tenggorok dan batuk.
Tanggal 12 Febr diperiksa swab, PCR positif, tapi demamnya sudah turun.
Diagnosanya : Terkonfirmasi Covid-19 plus gejala ringan dilakukan isoman di
rumah selama 10+3 hari.
Bila gejalanya hilang 20 Febr 10+10+3 = 23 Febr adalah hari terakhir isolasi,
tanggal 24 Febr lepas isolasi tanpa tes PCR ulang sembuh!
Bila gejala hilang > 20 Febr, misalnya hilang tanggal 22 Febr + 3 = 25 Febr adalah
hari terakhir isolasi, tanggal 26 Febr lepas isolasi sembuh!
Tanggal 12 Febr anak pasien X ikut diperiksa swab PCR : positif, tidak ada gejala.
Diagnosanya : Terkonfirmasi Covid-19 tanpa gejala isoman di rumah 10 hari.
Bila selama 10 hari isolasi tetap tidak ada gejala. Maka 12+10 = 22 Febr adalah
hari terakhir isolasi, tanggal 23 Febr lepas isolasi sembuh!
Catatan : Pemeriksaan tes PCR ulangan (follow up) hanya dilakukan pada pasien
Covid-19 dengan gejala berat dan kritis, dan dilakukan 10 hari setelah pengambilan
swab yang positif.
Contoh : pada kasus pasien X di atas, isolasi dihitung mulai tanggal 10 Febr (yi gejala
pertama muncul). Tanggal 12 Febr demamnya reda. Bila tanggal 13 Febr batuk dan
nyeri tenggoroknya hilang, maka tanggal 15 dan 16 Febr bisa dilakukan tes PCR
mandiri. Dan bila dua kali PCR berturut-turut hasilnya negatif, dinyatakan sembuh.
OBAT GRATIS
Khusus bagi pasien Covid-19 tanpa gejala atau gejala ringan yang menjalani isoman
di rumah, Kemenkes RI telah menyediakan sejumlah layanan, seperti telemedicine dan
obat gratis. Sedangkan untuk mereka yang memiliki gejala sedang hingga berat wajib
dirawat di rumah sakit.
Cara mendapat obat isoman gratis
Untuk pasien tanpa gejala akan menerima Paket A yang terdiri dari beberapa vitamin
seperti Vitamin C, D, Zinc, multivitamin, dsb untuk 10 hari.
Untuk pasien dengan gejala ringan akan menerima Paket B yang terdiri dari :
Vitamin C, D, Zinc, multivitamin, dsb untuk 10 hari.
Obat antivirus : biasanya salah satu dari sediaan di bawah ini
o Favipiravir @ 200mg untuk 5 hari, dosis 16-6-6-6-6 = 40 tab
o Molnupiravir @ 200 mg, dosis 2x4 tab selama 5 hari = 40 tab
o Kombinasi Nirmatrelvir 150mg, 2x2 tab, dan Ritonavir 100mg 2x1 tab selama
5 hari.
Obat simtomatik, misalnya parasetamol bila demam.
Sebagai catatan, obat-obat di bawah ini sudah tidak dipakai lagi karena kurang efektif
Ivermectin. Tidak disetujui oleh berbagai badan internasional seperti WHO, FDA
(Amerika), dan EMA (Uni Eropa). BPOM masih merekomendasikan obat ini sebagai
obat parasit (cacing).
Klorokuin. Manfaat anti virusnya tidak ada, terbukti bisa berbahay untuk jantung.
Oseltamivir. Ini adalah obat influenza. Tidak terbukti bermanfaat untuk Covid-19.
Plasma convalescent. Tidak terbukti bermanfaat, mahal, dan prosesnya lama.
Azithromycin. Ini adalah obat antibiotika, jadi untuk membunuh bakteri, dan tidak
terbukti bermanfaat untuk Covid-19.
SIMPULAN
1. Sejak akhir Januari 2022, Indonesia telah memasuki Gelombang ketiga Covid-19.
Diperkirakan penyebabnya didominasi oleh varian Omicron SARS-CoV-2.
2. Walaupun gejalanya relatif ringan, varian Omicron sangat menular sehingga dalam
waktu singkat jumlah kasusnya akan sangat tinggi, dengan akibat RS penuh dan
berpotensi kolaps akibatnya angka kematian akan meningkat.
3. Diagnosa varian Omicron tidak bisa ditegakkan berdasarkan gejala yang nampak.
Tes PCR dan Antigen juga tidak bisa digunakan untuk mengetahui varian Omicron.
Untuk itu diperlukan pemeriksaan yang khusus seperti SGTF dan WGS. Sayangnya
laboratorium yang bisa memeriksa masih amat terbatas.
4. Karena sebagian besar kasus Omicron gejalanya ringan, maka kunci penanganan
Covid-19 saat ini adalah ISOLASI MANDIRI (isoman), baik di rumah maupun di
fasilitas isolasi terpantau. Oleh karena itu, isoman harus dilaksanakan secara benar
dan bertanggungjawab.
5. Apapun variannya, pencegahannya Covid-19 tetap disiplin prokes dan selesaikan
vaksinasi tiga dosis.