Anda di halaman 1dari 25

MANAJEMEN KEUANGAN SEKTOR PUBLIK

SURAT UTANG NEGARA SERTA MANAJEMEN


PENYERAPAN ANGGARAN
“Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Manajemen Keuangan Sektor Publik”
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Ni Luh Putu Wiagustini, S.E., M.Si.

Disusun Oleh :
Kelompok 1

1. I Gusti Ayu Nita Utamy (1907521030)


2. Dewa Ayu Putu Mas Wiadnyani (1907521091)
3. Nyoman Devi Novita Sri Jayati (1907521109)
4. Ni Md Chintya Pramudya Kusumarini (1907521125)
5. Gede Apriawan (1907521145)
6. Kadek Bagus Krishna Dwipayana (2007521186)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya dengan
rahmat-Nyalah kami akhirnya bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “Surat Utang Negara
Serta Manajemen Penyerapan Anggaran” ini dengan baik tepat pada waktunya.
Tidak lupa kami menyampaikan rasa terima kasih kepada ibu Prof. Dr. Ni Luh Putu
Wiagustini, S.E., M.Si., yang telah memberikan banyak bimbingan rasa terima kasih juga
hendak kami ucapkan kepada rekan-rekan kelompok satu yang telah memberikan
kontribusinya baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga makalah ini bisa selesai
pada waktu yang telah ditentukan.
Meskipun kami sudah mengumpulkan banyak referensi untuk menunjang penyusunan
makalah ini, namun kami menyadari bahwa di dalam makalah yang telah kami susun ini masih
terdapat banyak kesalahan serta kekurangan. Sehingga kami mengharapkan saran serta
masukan dari para pembaca demi tersusunnya makalah lain yang lebih lagi. Akhir kata, kami
berharap agar makalah ini bisa memberikan manfaat kepada pembaca.

Denpasar, 12 Maret 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI
Halaman Judul i
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Surat Utang Negara 3
2.2 Surat Utang Negara dalam Struktur Pembiayaan APBN 4
2.3 Perkembangan Surat Utang Negara 5
2.4 Risiko Surat Utang Negara 7
2.5 Manajemen Penyerapan Anggaran 9
Bab III PENUTUP
3.1 Kesimpulan 21
Daftar Pustaka 22

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam suatu perekonomian, pemerintah memiliki peran yang sangat penting. Beberapa
tujuan penting dari kegiatan pemerintah adalah mengatasi masalah pengangguran,
menghindari inflasi, dan mempercepat pembangunan ekonomi dalam jangka panjang.
Usaha seperti itu membutuhkan banyak uang, dan pendapatan dari pajak saja tidak cukup
untuk membiayainya. Maka, untuk memperoleh dana yang diperlukan, pemerintah dapat
meminjam atau mencetak uang (Sukirno, 2004). Pertumbuhan ekonomi akan menjadi
lebih pesat salah satunya dengan meningkatkan efisiensi penanaman modal (investasi)
yang dijalankan. Pertumbuhan ekonomi suatu negara baru dimungkinkan jika investasi
neto lebih besar daripada nol (Rahardja dan Manurung, 2008). Peningkatan investasi akan
memberikan dampak signifikan bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi negara
(Subagyo, 2007).
Dalam rangka meningkatkan nilai investasi di Indonesia, pada umumnya pemerintah
akan mengeluarkan berbagai instrumen atau surat berharga. Instrumen tersebut akan
membantu pemerintah dalam membiayai pembangunan negara melalui APBN. Dalam UU
No. 22 Tahun 2011 tentang APBN tahun 2012, APBN dipergunakan sebesar-besarnya
untuk kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan itu, belanja negara tahun 2012 sebesar Rp
1.435,4 triliun terdiri dari belanja pusat sebesar Rp 965 triliun dan belanja daerah sebesar
Rp 470,4 triliun. Penerbitan SBN pada tahun 2012 meningkat dari tahun sebelumnya
menjadi sebesar Rp 270.419 miliar. Kebijakan investasi yang dilakukan pemerintah untuk
mendukung pertumbuhan ekonomi berupa penerbitan Surat Berharga Negara terdiri dari
penerbitan Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).
Infrastruktur, barang-barang modal dan kemajuan teknologi dalam suatu negara
menjadi salah satu faktor penunjang bagi tumbuhnya perekonomian. Dalam rangka
memenuhi kebutuhan akan faktor penunjang, pemerintah tentu membutuhkan dana yang
tidak sedikit. Dana tersebut dapat diraih pemerintah dengan kegiatan penghimpunan dana
investasi melalui instrumen pembiayaan seperti Surat Utang Negara (SUN) maupun Surat
Berharga Syariah Negara (SBSN).
Surat Utang Negara (SUN) diterbitkan dengan tujuan untuk membiayai defisit APBN.
Dana yang berhasil dihimpun dari penerbitan SUN akan mempengaruhi belanja
pemerintah dalam menyediakan infrastruktur dan barang modal sehingga mampu
meningkatkan produktivitas perekonomian. Surat Utang Negara (SUN) terdiri dari Surat
1
Perbendaharaan Negara (SPN) dan Obligasi Negara. SPN berjangka waktu sampai dengan
12 bulan dengan kupon atau pembayaran bunga secara diskonto.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka didapat rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa pengertian surat utang negara ?
2. Apa yang dimaksud dengan surat utang negara dalam struktur pembiayaan APBN ?
3. Bagaimana perkembangan surat utang negara ?
4. Apa saja risiko dari surat utang negara ?
5. Bagaimana manajemen penyerapan anggaran ?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, berikut merupakan tujuan dari penulisan makalah
ini yaitu :
1. Untuk memahami mengenai surat utang negara
2. Untuk memahami mengenai surat utang negara dalam struktur pembiayaan APBN
3. Untuk memahami perkembangan surat utang negara
4. Untuk memahami risiko dari surat utang negara
5. Untuk memahami manajemen penyerapan anggaran

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Surat Utang Negara
Dalam UU No. 24 Tahun 2002, Surat Utang Negara (SUN) diartikan sebagai surat
berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing
yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai
dengan masa berlakunya. SUN digunakan oleh pemerintah sebagai membiayai defisit
APBN serta menutupi kekurangan kas jangka pendek dalam satu tahun anggaran.
Berdasarkan Pasal 3 UU No. 24 Tahun 2002, SUN terdiri dari :
1. Surat Perbendaharaan Negara, yaitu surat perbendaharaan negara yang berjangka
waktu sampai dengan dua belas bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto.
2. Obligasi Negara, yaitu obligasi negara yang berjangka waktu lebih dari dua belas
bulan dengan kupon dan/atau dengan pembayaran bunga secara diskonto/bunga.
Klasifikasi dan jenis SUN berdasarkan UU No 24 Tahun 2002 diterbitkan dalam dua
bentuk klasifikasi, yaitu berdasarkan ada tidaknya warkat serta diperdagangkan atau
tidaknya SUN tersebut di pasar sekunder (Rahardjo,2003). SUN dengan warkat adalah
surat berharga kepemilikannya berupa sertifikat atas nama maupun atas unjuk. Sertifikat
atas nama adalah sertifikat yang nama pemiliknya tercantum di lembar sertifikat
tersebut, sedangkan sertifikat atas unjuk adalah sertifikat yang tidak mencantumkan
nama pemilik sehingga setiap orang yang menguasainya adalah pemilik yang sah
(Susilowati, 2006).
Surat berharga negara dapat dipisahkan menjadi beberapa jenis (DJPU, 2010), yaitu:
1. Obligasi berbunga tetap (fixed rate bonds - FR)
Merupakan obligasi yang memiliki tingkat kupon yang ditetapkan pada saat
penerbitan dan dibayarkan secara periodik.
2. Obligasi Ritel Indonesia (ORI)
Merupakan obligasi negara yang dijual kepada individu atau perseorangan WNI
melalui agen penjual di pasar perdana.
3. Obligasi tanpa bunga (zero coupon - ZC)
Merupakan obligasi negara tanpa bunga yang dijual secara diskonto.
4. Obligasi berbunga mengambang (variable rate bonds - VR)
Merupakan obligasi yang memiliki tingkat kupon yang ditetapkan secara periodik
berdasarkan tingkat bunga SBI berjangka tiga bulan.
5. Surat Perbendaharaan Negara (SPN)
3
Merupakan instrumen utang jangka pendek dengan penerbitan secara diskonto,
SPN dapat diperdagangkan dan dipindahtangankan kepemilikannya di pasar
sekunder.
6. Surat Utang Pemerintah (SUP) kepada RI
Kupon surat utang pemerintah kepada BI dibayarkan secara periodik setiap enam
bulan sekali.
7. Surat Berharga Syariah Negara(SBSN)
Merupakan surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah
sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN.
8. Surat berharga negara berdominasi valuta asing
Berupa surat pengakuan utang dalam valuta asing yang dijamin pembayaran bunga
dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia.
2.2 Surat Utang Negara dalam Struktur Pembiayaan APBN
APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan tiap tahun
dengan undang-undang. Struktur APBN yang sekarang dilaksanakan oleh Pemerintah
Indonesia secara garis besar adalah sebagai berikut (BPKP, 2007).
1. Anggaran pendapatan:
a. penerimaan pajak (termasuk pungutan bea masuk dan cukai);
b. penerimaan bukan pajak; dan
c. hibah.
2. Anggaran belanja:
a. belanja pemerintah pusat; dan
b. belanja daerah dalam rangka perimbangan keuangan.
3. Pembiayaan:
a. penerimaan pembiayaan; dan
b. pengeluaran pembiayaan.

Dalam kerangka pembiayaan APBN, UU tentang APBN mengklasifikasikan


sumber-sumber pembiayaan untuk menutupi defisit adalah sebagai berikut .
1. Pembiayaan dalam negeri, yang terdiri dari:
a. perbankan dalam negeri:
1) rekening dana investasi;
2) rekening pembangunan hutan; dan
3) SAL.

4
b. nonperbankan dalam negeri:
1) privatisasi;
2) hasil pengelolaan aset;
3) surat berharga negara;
4) pinjaman dalam negeri;
5) dana investasi pemerintah dan penyertaan modal negara;
6) dana kontinjensi; dan
7) cadangan pembiayaan.
2. Pembiayaan luar negeri, yang terdiri dari:
a. Penarikan pinjaman luar negeri bruto:
1) pinjaman program; dan
2) pinjaman proyek.
b. Penerusan pinjaman.
c. Permbayaran cicilan pokok utang luar negeri.

Surat berharga negara dalam struktur yang telah disajikan di atas, pada saat ini
telah menjadi sumber utama dalam pemenuhan target pembiayaan dalam APBN karena
mempunyai pengaruh yang signifikan. Dalam rangka pemenuhan target tersebut
pemerintah semaksimal mungkin berusaha terus menggali potensi sumber pembiayaan
dari dalam negeri, yaitu dengan menerbitkan SBN berdenominasi rupiah di pasar
domestik. Namun, dengan pertimbangan beberapa hal seperti daya serap pasar obligasi
dalam negeri yang masih terbatas dan kebutuhan untuk pemenuhan benchmark atas
obligasi Indonesia dalam denominasi dolar AS, maka Pemerintah Indonesia memutuskan
untuk melakukan penerbitan obligasi negara dalam valuta asing di pasar internasional
mengacu pada UU Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara.
2.3 Perkembangan Surat Utang Negara
Menurut Rahmany (2002) dalam Susilowati (2006) potensi SUN sebagai sumber
utama pembiayaan defisit APBN akan sangat bergantung pada perkembangan pasar yang
didukung oleh regulasi yang sangat kuat. Berikut ini disajikan tabel defisit APBN
pemerintah.

5
Pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan defisit anggaran, sehingga bisa
dilihat bahwa APBN selalu mengalami defisit dari tahun ke tahun. Defisit anggaran
merupakan strategi pemerintah dalam menerapkan kebijakan ekonomi ekspansif. Defisit
tersebut bisa dibiayai dengan menggunakan pinjaman luar negeri ataupun dengan
penerbitan SBN yang salah satu bagiannya dikenal sebagai SUN. Utang yang diperoleh
dari penerbitan SBN dapat berbentuk tunai atau terkait dengan kegiatan atau proyek
dengan mata uang rupiah dan/atau mata uang asing yang tingkat bunganya tetap dan/atau
mengambang, memiliki jangka waktu bervariasi antara pendek sampai panjang, dan
metode pembayaran pokok secara bullet payment. Sedangkan dana yang diperoleh dari
pinjaman berbentuk tunai atau terkait dengan proyek dengan mata uang rupiah dan/atau
mata uang asing. Tingkat bunganya tetap dan/atau mengambang memiliki jangka waktu
menengah sampai panjang, dan metode pembayaran pokok umumnya secara amortisasi
atau cicilan
Sepanjang periode 2010-2015, perkembangan realisasi pembiayaan khususnya
yang bersumber dari penerbitan SBN cenderung makin meningkat. Peningkatan cukup
signifikan terjadi di tahun 2011. Faktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan
penerbitan SBN ini adalah:

6
(i) Adanya kebijakan untuk memprioritaskan pendanaan dari sumber pembiayaan domestik
dan mengurangi ketergantungan pada sumber pembiayaan domestic untuk
memprioritaskan pendanaan dari sumber pembiayaan domestic dan mengurangi
ketergantungan pada sumber pembiayaan luar negeri.
(ii) Adanya kebutuhan pembiayaan kembali dan reprofiling utang (NK,2011)

Pemrioritasan pemerintah terhadap penerbitan SBN sebagai pembiayaan utama


juga dilakukan tahun 2014-2017. Kebijakan pengelolaan utang negara dalam keputusan
Menteri Keuangan terkait hal tersebut menyebutkan bahwa pemerintah akan
mengoptimalkan potensi pendanaan utang dari sumber dana dalam negeri dan
memanfaatkan sumber utang dari luar negeri hanya sebagai pelengkap. Pengoptimalan
pendanaan dalam negeri yaitu dengan memaksimalkan penerbitan SBN dipasar domestic,
terutama penerbitan seri benchmark. Kebijakan lain yaitu dengana melakukan
pengendalian terhadap pinjaman luar negeri melalu kebijakan negative net flow secara
konsisten.
Persentase SBN terhadap total pembiayaan utang untuk menutupi defisit tersebut
disajikan dalam tabel pembiayaan berikut ini:
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Surat Berharga
Negara (Neto) 99.5 91.1 119.9 159.7 224.7 264.6 297.7
Pembiayaan
Pinjaman (Neto) -15.5 -4.6 -17.8 -23.5 -5.8 -12.4 -20
Total
Pembiayaan
Utang 85 86.5 102.1 136.2 218.9 252.2 277.7
% SBN
terhadap Total
Pembiayaan 117.06% 105.3% 117.43% 117.25% 102.6% 104.9% 107.2%
Sumber: DJPU, Edisi Desember 2015 (diolah)
2.4 Risiko Surat Utang Negara
Walaupun dapat dikatakan bahwa risiko gagal bayar SUN (hampir) tidak ada, namun
Cahyana (2004) dalam Susilowati (2006) mengatakan bahwa dari sisi pemerintah,
penerbitan SUN mengandung beberapa risiko yang perlu diperhatikan. Risiko-risiko
tersebut adalah sebagai berikut.
a. Risiko kesinambungan fiskal
Nilai utang negara yang besar berpotensi membahayakan kesinambungan
anggaran pemerintah.

7
b. Risiko nilai tukar
Nilai tukar rupiah cenderung tidak stabil. Hal tersebut akan membahayakan
kondisi utang pemerintah. Penurunan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing dapat
mengakibatkan tambahan beban pembayaran pokok utang beserta bunganya.
c. Risiko perubahan tingkat bunga
Sebagian dari total utang negara merupakan utang dengan bunga mengambang
(variable rate), sehingga apabila terjadi kenaikan tingkat bunga pasar, akan
mengakibatkan kenaikan pada nilai kewajiban pembayaran bunga dari anggaran
pemerintah. Risiko akibat perubahan tingkat bunga dapat terjadi apabila pemerintah
menerbitkan SUN pada saat kondisi pasar sedang memburuk (bearish), yang ditandai
oleh kenaikan suku bunga secara tajam sehingga biaya utang (yield) menjadi lebih
tinggi.
d. Risiko pembiayaan kembali
Pelunasan SUN yang jatuh tempo dengan volume yang cukup besar dapat
mengakibatkan timbulnya risiko berupa lebih tingginya biaya peminjaman baru.
e. Risiko operasional
Risiko kegagalan terjadi jika operasional pengelolaan SUN tidak secara baik
dilakukan, baik dari sisi sumber daya manusia maupun dari sisi kelembagaannya,
antara lain kelengkapan prosedur operasi baku (standard operating procedures-SOP),
sistem pengelolaan risiko, dan sistem informasi manajemen.
Menurut Harinowo (2004) dalam Kartika (2006), strategi jangka pendek dan menengah
pengelolaan SUN pada saat ini adalah menurunkan refinancing risk, memperpanjang rata-
rata jangka waktu jatuh tempo (average maturity) SUN, menyeimbangkan struktur jatuh
tempo portofolio SUN sehingga selaras dengan perkembangan anggaran negara dan daya
serap pasar, serta mengembangkan dan meningkatkan likuiditas pasar sekunder SUN
sehingga dalam jangka panjang dapat menurunkan biaya pinjaman (cost of borrowing).
Usaha untuk memperkecil risiko yang sudah diungkapkan di bagian atas, maka
pemerintah melalui Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) melakukan penataan
struktur SUN (Cahyana, 2004). Langkah-langkah yang diambil dalam rangka penataan
tersebut yaitu sebagai berikut (Cahyana, 2004 dalam Susilowati, 2006).
a. Peninjauan terhadap price discovery atau mekanisme dan metode penentuan nilai pasar
wajar.

8
b. Perbaikan edukasi calon investor yang dilakukan bersama-sama dengan self-
regulatory organization (SRO) seperti Bursa Efek Indonesia serta dengan asosiasi-
asosiasi terkait lainnya.
c. Perbaikan master repo agreement atau aturan baku terhadap transaksi-transaksi yang
dilakukan di bursa sehingga mampu menghilangkan perbedaan perlakuan antara bank
dan lembaga bukan sekuritas.
Dalam Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2012 pemerintah telah melakukan
program bond stabilization fund yang dibagi menjadi program jangka pendek dan program
jangka menengah. Program jangka pendek terdiri dari: (i) pembelian SBN oleh Dirjen
Pengelolaan Utang (DJPU) Kementerian Keuangan, dari dana yang telah dianggarkan
dalam APBN, yang merupakan strategi yang telah dilaksanakan selama ini; (ii) pembelian
SBN oleh BUMN di pasar sekunder dalam masa pra-krisis atau krisis; (iii) berkoordinasi
dengan unit internal di lingkungan Kementerian Keuangan untuk membeli SBN pada saat
kondisi pasar SBN sedang bearish; dan (iv) pembelian SBN dengan menggunakan dana
sisa anggaran lebih (SAL). Berkaitan dengan program ini, telah ada nota kesepahaman
(MoU) antara Menteri Keuangan dengan Menteri Negara BUMN terkait pembelian SBN
oleh BUMN. Selain itu saat ini juga sedang disusun SOP dan peraturan yang diperlukan
guna mendukung program jangka pendek tersebut. Khusus untuk pembelian SBN dengan
menggunakan dana SAL yang memerlukan persetujuan DPR, maka akan diusulkan
mekanismenya dalam UU tentang APBN.
2.5 Manajemen Penyerapan Anggaran
a. Pengertian, jenis, dan fungsi angggaran
Anggaran publik merupakan kegiatan yang direpresentasikan dalam bentuk rencana
perolehan pendapatan dan belanja dalam satuan moneter. Dalam bentuk yang paling
sederhana, anggaran publik merupakan suatu dokumen yang mnenggambarkan kondisi
keuangan dari suatu Organisasi yang meliputi informasi mengenai pendapatan, belanja,
dan aktivitas. Anggaran berisi estimasi mengenai apa yang akan dilakukan organisasi di
masa yang akan datang. Setiap anggaran memberikan informasi mengenai apa yang
hendak dilakukan dalam beberapa periode yang akan datang (Mardiasmo, 2009). Undang-
Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, menyatakan bahwa
anggaran adalah alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi. Anggaran sebagai
instrumen kebijakan ekonomi berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas
perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai tujuan bernegara.
Ada beberapa alasan penyebab anggaran dianggap penting (Mardiasmo 2009), yaitu:
9
a) Anggaran merupakan alat bagi pemerintah untuk mengarahkan pembangunan sosial-
ekonomi, menjamin kesinambungan, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat,
b) Anggaran diperlukan karena adanya kebutuhan dan keinginan masyarakat yang tidak
terbatas dan terus berkembang, sedangkan sumber daya yang ada terbatas: dan
c) Anggaran diperlukan untuk meyakinkan bahwa pemerintah telah bertanggung jawab
terhadap rakyat.
Sedangkan fungsi utama anggaran (Mardiasmo, 2009) yaitu:
1) Alat perencanaan,
Fungsi anggaran sebagai alat perencana maksudnya digunakan sebagai alat perencanaan
manajemen untuk mencapai tujuan organisasi. Anggaran dibuat untuk merencanakan
tindakan apa yang akan dilakukan pemerintah, berapa biaya yang dibutuhkan, dan berapa
hasil yang diperoleh dari belanja pemerintah tersebut.
Anggaran sebagai alat perencanaan digunakan untuk:
a) Perumusan tujuan serta sasaran kebijakan agar sesuai dengan visi dan misi yang
telah ditentukan,
b) Perencanaan berbagai program dan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi serta
merencanakan alternatif sumber pembiayaannya,
c) Pengalokasian dana pada berbagai program dan kegiatan yang telah disusun, dan
d) Penentuan indikator kinerja dan tingkat pencapaian strategi.
2) Alat pengendalian,
Fungsi anggaran sebagai alat pengendalian maksudnya anggaran memberikan rencana
detail atas pendapatan dan pengeluaran pemerintah agar pembelanjaan yang dilakukan
dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Anggaran digunakan untuk menghindari
adanya overspending, underspending, dan salah sasaran dalam pengalokasian anggaran
pada bidang lain yang bukan prioritas. Anggaran merupakan alat untuk memonitor kondisi
keuangan dan pelaksanaan operasional program atau kegiatan pemerintah. Pengendalian
anggaran publik dapat dilakukan melalui empat cara, yaitu:
a) Membandingkan kinerja aktual dengan kinerja yang dianggarkan,
b) Menghitung selisih anggaran,
c) Menemukan penyebab yang dapat dikendalikan dan tidak dapat
dikendalikan, dan
d) Merevisi standar biaya atau target anggaran tahun berikutnya.
3) Alat kebijakan fiscal

10
Fungsi anggaran sebagai alat kebijakan fiskal maksudnya digunakan untuk menstabilkan
ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Anggaran dapat digunakan untuk
mendorong, memfasilitasi, dan mengoordinasikan kegiatan ekonomi masyarakat sehingga
dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi.
4) Alat politik
Pada sektor publik, anggaran merupakan dokumen sebagai bentuk komitmen eksekutif dan
kesepakatan legislative atas penggunaan dana publik untuk kepentingan tertentu.
Anggaran bukan sekedar masalaah teknis, akan tetapi merupakan alat politik. Oleh karena
itu, pembuatan anggaran publik membutuhkan political skill, coalition, building, keahlian
bernegosiasi dan pemahaman tentang prinsip manajemen keuangan publik olej para
manajer publik.
5) Alat Koordinasi dan Komunikasi
Setiap unit kerja pemerintahan terlibat dalam proses penyusunan anggaran. Anggaran
publik merupakan alat koordinasi antar bagian dalam pemerintahan. Anggaran publik yang
disusun dengan baik akan mampu mendeteksi terjadinya inkonsistensi suatu unit kerja
dalam pencapaian tujuan organisasi. Disamping itu, anggaran publik juga berfungsi
sebagai alat komunikasi antar unit kerja dalam lingkungan eksekutif. Anggaran harus
dikomunikasikan ke seluruh bagian organisasi untuk dilaksanakan.
6) Alat Penilaian Kinerja
Anggaran merupakan wujud komitmen dan budget holder (eksekutif) kepada pemberi
wewenang (legislatif). Kinerja eksekutif akan dinilai berdasarkan pencapaian target
anggaran dan efisiensi pelaksanaan anggaran. Kinerja manajer publik dinilai berdasarkan
berapa yang berasil di capai dikaitkan dengan anggran yang telah ditetapkan.
7) Alat Motivasi
Anggaran dapat digunakan sebagai alat untuk memotivasi manajer, dan stafnya agar
bekerja secara ekonomis, efektif, dan efisien dalam mencapai target dan tujuan organisasi
yang telah ditetapkan. Agar dapat memotivasi, anggaran hendaknya bersifat challenging
but attainable atau demanding but achieveable. Maksudnya adalah target anggaran
hendaknya jangan terlalu tinggi sehingga tidak dapat dipenuhi, namun juga jangan terlalu
rendah sehingga terlalu mudah untuk dicapai.
8) Alat Menciptakan Ruang Publik
Anggaran publik tidak boleh diabaikan oleh kabinet, birokrat, dan DPR/DPRD.
Masyarakat, LSM, Perguruan Tinggi, dan berbagai organisasi kemasyarakatan harus

11
terlibat dalam proses penganggaran publik. Kelompok masyarakat yang terorganisir akan
mencoba mempengaruhi anggaran pemerintah untuk kepentingan mereka.
Sesuai dengan Undang-Undang tentang Keuangan Negara, masalah lain yang tidak kalah
pentingnya dalam upaya memperbaiki proses penganggaran di sektor publik adalah
penerapan anggaran berbasis prestasi kerja. Mengingat bahwa sistem anggaran berbasis
prestasi kerja/ hasil memerlukan kriteria pengendalian kinerja dan evaluasi serta untuk
menghindari duplikasi dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian
negara/lembaga/perangkat daerah, perlu dilakukan penyatuan sistem akuntabilitas kinerja
dalam sistem penganggaran dengan memperkenalkan sistem penyusunan rencana kerja
dan anggaran kementerian negara/lembaga/perangkat daerah. Dengan penyusunan
rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga/perangkat daerah tersebut dapat
dipenuhi sekaligus kebutuhan akan anggaran berbasis prestasi kerja dan pengukuran
akuntabilitas kinerja kementerian/ jembaga/perangkat daerah yang bersangkutan.
Penganggaran berbasis kinerja (PBK) merupakan suatu pendekatan dalam sistem
penganggaran yang memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dan kinerja yang
diharapkan, serta memperhatikan efisiensi dalam pencapaian kinerja tersebut. Pengertian
kinerja adalah prestasi kerja yang berupa keluaran dari suatu kegiatan atau hasil dari suatu
program dengan kuantitas dan kualitas yang terukur. Landasan konseptual yang mendasari
penerapan PBK meliputi:
a) Pengalokasian anggaran berorientasi pada kinerja (output and outcome oriented),
b) Pengalokasian anggaran program/kegiatan yang didasarkan pada tugas-fungsi unit
kerja yang dilekatkan pada struktur organisasi (money follow function), dan
c) Adanya fleksibilitas pengelolaan anggaran dengan tetap menjaga prinsip akuntabilitas
(let the manager manages).
Landasan konseptual tersebut di atas dalam rangka penerapan PBK bertujuan untuk:
a) Menunjukkan keterkaitan antara pendanaan dengan kinerja yang akan dicapai
(directly linkages between performance and budget),
b) Meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam penganggaran (operational
efficiency), dan
c) Meningkatkan fleksibilitas dan akuntabilitas unit dalam melaksanakan tugas dan
pengelolaan anggaran (more flexibitity and accountability)
Agar penerapan PBK tersebut dapat dioperasionalkan, maka PBK instrumen yaitu:
a) Indikator kinerja, merupakan instrumen yang digunakan untuk mengukur kinerja,

12
b) Standar biaya, adalah satuan biaya yang ditetapkan berupa standar biaya masukan
maupun standar biaya keluaran sebagai acuan berhitungan kebutuhan anggaran, dan
c) Evaluasi kinerja, merupakan penilaian terhadap capaian sasaran kinerja, konsistensi
perencanan dan implementasi, serta realisasi penyerapan anggaran.
Berdasarkan landasan konseptual, tujuan penerapan PBK, dan instrumen yang digunakan
PBK dapat disimpulkan bahwa secara Operasional prinsip utama penerapan PBK adalah
adanya keterkaitan yang jelas antara kebijakan yang terdapat dalam dokumen perencanaan
nasional dan alokasi anggaran yang dikelola kementerian/lembaga (K/L) Sesuai tugas-
fungsinya (yang tercermin dalam struktur organisasi K/L). Dokumen perencanaan tersebut
meliputi Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan Renja-K/L. Sedangkan alokasi anggaran
yang dikelola K/L tercermin dalam dokumen RKA-K/L dan Daftar Isian Pelaksanaan
Anggaran (DIPA) yang juga merupakan dokumen perencanaan dan penganggaran yang
bersifat tahunan serta mempunyai keterkaitan erat. Pemerintah menentukan prioritas
pembangunan beserta kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan dalam dokumen RKP.
Hasil yang diharapkan adalah hasil secara nasional (national outcomes) sebagaimana
amanat UndangUndang Dasar Tahun 1945. Selanjutnya berdasarkan tugas-fungsi yang
diemban dan mengacu RKP dimaksud, K/L menyusun:
a) Program, indikator kinerja utama (IKU) program, dan hasil pada Unit Eselon I sesuai
dengan tugas-fungsinya, dan
b) Kegiatan, indikator kinerja kegiatan (IKK), dan keluaran pada unit pengeluaran
(spending unit) pada tingkat Satuan Kerja (Satker) atau Eselon II di lingkungan Unit
Eselon I sesuai program yang menjadi tanggung jawabnya.
Kementerian Negara/Lembaga merumuskan program dan kegiatan mengacu pada Surat
Edaran Bersama antara Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Menteri Keuangan tanggal 19
Juni 2009 Nomor 0142/MPN/06/2009 dan Nomor SE-1848/MK/2009 perihal Pedoman
Reformasi Perencanaan dan Pembangunan. Rumusan program Gan kegiatan yang
dihasilkan mencerminkan tugas-fungsi K/L atau penugasan tertentu dalam kerangka
Prioritas Pembangunan Nasional secara konsisten. Hasil restrukturisasi tersebut telah
diimplementasikan dalam dokumen RKP, Renja K/L, RKA-K/L, dan DIPA pada tahun
2011. Hal-hal yang telah dilaksanakan pada tahun 2011 (penerapan PBK, KPJM, dan
format baru RKA-K/L secara penuh) merupakan dasar penerapan PBK tahun 2012 dan
tahun-tahun selanjutnya. Namun demikian terdapat beberapa penyesuaian/perubahan yang
dilakukan dalam rangka pengembangan penerapan PBK.
13
Perumusan hasil pada program dan keluaran pada kegiatan dalam penerapan PBK
merupakan hal penting di samping perumusan indikator kinerja program/ kegiatan.
Rumusan indikator kinerja ini menggambarkan tanda-tanda keberhasilan
program/kegiatan yang telah dilaksanakan beserta keluaran/hasil yang diharapkan.
Indikator kinerja inilah yang akan digunakan sebagai alat ukur setelah berakhirnya
program/kegiatan, berhasil atau tidak. Indikator kinerja yang digunakan baik pada tingkat
program atau kegiatan dalam penerapan PBK dapat dilihat dari sisi:
a) Masukan (input) indikator, dimaksudkan untuk melaporkan jumlah sumber daya yang
digunakan dalam menjalankan suatu kegiatan atau program,
b) Keluaran (output) indikator, dimaksudkan untuk melaporkan unit barang/jasa yang
dihasilkan suatu kegiatan atau program, dan
c) Hasil (outcome) indikator, dimaksudkan untuk melaporkan hasil (termasuk kualitas
pelayanan) suatu program atau kegiatan.
Berdasarkan beberapa hal tersebut di atas, perlu pemahaman mendasar dalam penyusunan
anggaran mengenai alur pemikiran sebagai berikut.
a) Keterkaitan antara kegiatan dengan program yang memayunginya.
b) Keterkaitan keluaran kegiatan dengan cara pencapaiannya melalui komponen.
Keterkaitan antarkomponen sebagai tahapan dalam rangka pencapaian keluaran,
sehingga tidak ditemukan adanya tahapan kegiatan (komponen) dalam rangka
pencapaian keluaran yang tidak relevan.
Penerapan PBK di Indonesia sesuai dengan amanat Undang-Undang 17/2003 tentang
Keuangan Negara sebenarnya telah dirintis. Hal ini tampak dari aturan-aturan pelaksanaan
penyusunan anggaran yang telah mewajibkan penggunaan PBK. Dalam penganggaran
menggunakan PBK tersebut, telah disertakan beberapa komponen yang dapat digunakan
Menilai pelaksanaan anggaran. Dalam DIPA telah dimuat:
a) Fungsi, subfungsi, program, dan kegiatan yang akan dilaksanakar,
b) Hasil (outcome) yang akan dicapai,
c) Indikator kinerja utama program dan indikator kinerja kegiatan untuk mengukur
capaian dari program dan kegiatan,
d) Keluaran (output) yang dihasilkan,
e) Pagu anggaran yang dialokasikan,
f) Rencana penarikan dana yang akan dilakukan, dan
g) Penerimaan yang diperkirakan dapat dipungut.

14
Penilaian paling fair mengenai penggunaan anggaran adalah dengan menilai output atau
outcome yang dihasilkan oleh suatu kegiatan atau dengan menggunakan indikator yang
telah disertakan dalam DIPA. Dengan melihat indikator, output, dan outcome suatu
kegiatan akan dapat dinilai efektivitas dan efisiensi dari kegiatan yang dilaksanakan. Lalu
bagaimana dengan penyerapan anggaran?
Dalam PBK, sebenarnya penyerapan anggaran bukan merupakan tolok ukur penilaian
suatu kegiatan. Namun demikian sebuah kegiatan yang direncanakan dalam suatu
penganggaran merupakan urutan yang melibatkan input, proses, output, dan outcome.
Hasil dari sebuah kegiatan dimulai dari input. Biasanya input dari suatu kegiatan salah
satunya adalah adanya pembiayaan yang telah dikeluarkan. Jika pembiayaan ini belum
atau terlambat dikejuarkan, artinya salah satu input dari suatu kegiatan juga belum atau
terlambat masuk dalam proses. Bagaimans suatu kegiatan menghasilkan output dan
outcome yang baik jika input yang masuk teriambat. Jadi sebenarnya cukup masuk akal
jika rendahnya penyerapan anggaran digunakan sebagai salah satu tolok ukur penilaian
kinerja. Jika menggunakan penyerapan anggaran sebagai penilaian, harus dilihat juga
output dan outcome suatu kegiatan. Penyerapan anggaran yang tinggi namun bila diiringi
dengan output dan outcome yang rendah menunjukkan pelaksanaan kegiatan yang kurang
efektif.

b. Kondisi penyerapan anggaran di Indonesia


Kondisi penyerapan anggaran pada pemerintah pusat maupun pemerintah daerah di
Indonesia mempunyai kondisi yang hampir sama, diistilahkan menurut Bank Dunia yaitu
lambat di awal tahun namun menumpuk di-akhir tahun (slow and back-loaded
expenditure). Penyerapan yang menumpuk di akhir tahun biasanya belanja yang
nonrecurrent, seperti belanja modal dan belanja bantuan sosial.
Untuk pemerintahan dacrah, faktor yang menyebabkan rendahnya penyerapan anggaran,
adalah sebagai berikut.
1) Lemahnya perencanaan anggaran
Rendahnya daya serap anggaran mencerminkan pelaksanaan program pemerintah yang
lemah dan kurang matang. Adanya revisirevisi menyebabkan kegiatan sulit atau terlambat
dieksekusi. Jika perencanaan dilakukan dengan matang seharusnya tidak perlu adanya
revisi-revisi serta telah ada jadwal kegiatan yang pasti sehingga tidak menumpuk di akhir
tahun anggaran.
2) Lamanya proses pembahasan anggaran
15
Lamanya proses pembahasan anggaran di DPRD karena banyaknya tarik ulur kepentingan.
Seharusnya pembahasan anggaran sudah final sampai rincian alokasi anggaran sampai
dengan bulan Desember, sehingga bulan Januari tahun berikutnya pemerintahan daerah
sudah siap melaksanakan program yang telah disepakati. Tarik ulur ini efeknya juga
menjadikan kegiatan yang diusulkan menjadi tidak tepat sasaran.
3) Lambannya proses tender
Beberapa peraturan yang berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa perlu
disosialisasikan lebih luas. Aturan terkini tentang pengadaan barang dan jasa adalah
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 70 Tahun 2012 yang merupakan perubahan kedua
dari Perpres Nomor 54 Tahun 2010. Sebelumnya ada Keputusan Presiden (Keppres)
Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa. Tidak sedikit pejabat pembuat
komitmen dan kuasa pengguna anggaran yang masih kurang memahami ketentuan
pengadaan barang dan jasa serta pelaksanaan anggaran. Penyebab lainnya adalah masalah
penstandaran biaya. Biaya di lapangan tidak sesuai dengan standar biaya umum dan
standar biaya khusus, sehingga menyebabkan terbatasnya peserta lelang, pelelangan ulang,
serta sanggahan dalam proses lelang.
4) Ketakutan menggunakan anggaran
Banyaknya kasus yang melibatkan kepala dacrah, pengguna anggaran, atau pejabat
pembuat komitmen sampai harus berurusan dengan aparat penegak hukum karena
ditemukan adanya penyimpanga, dalam pelaksanaan kegiatan, sehingga membuat mereka
takut dalam merealisasikan anggaran. Sikap ketakutan pemerintah yang berlebihan
menyebabkan alokasi pendanaan untuk pembanguna, menjadi stagnan. Beberapa
pemerintah daerah menempatkan dang yang menganggur tersebut dalam Bank
Pembangunan Daerah (BPD), di lain pihak banyak proyek infrastruktur yang seharusnya
seger, didanai agar nanti para calon investor tertarik berinvestasi.
Sebagai contoh permasalahan di daerah, yaitu penyerapan anggara, untuk Anggaran
Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Daerap Istimewa Yogyakarta (DIY) dan
Kabupaten Sleman sepertinya menunjukkar gejala yang sama. Berdasarkan Laporan
Realisasi Anggaran (LRA), total penyerapan anggaran sampai akhir triwulan III tahun
2011 pada Proving DIY dan Kabupaten Sleman menunjukkan persentase masing-masing
sebesar 52,56% dan 68,69% dari total anggaran. Hal ini menandakan akan terjadi
penumpukan penyerapan anggaran pada triwulan IV. Jika penyerapan anggaran
proporsional dengan waktu, seharusnya penyerapan anggaran sampai pada akhir triwulan
III mencapai kisaran 75%.
16
Jika lebih dirincikan lagi, untuk APBD Provinsi DIY, sampai dengan akhir triwulan III
penyerapan belanja tidak langsung sebesar 66,60% dan belanja langsung hanya sebesar
36,48%, sedangkan untuk APBD Kabupaten Sleman pada periode yang sama penyerapan
belanja tidak langsung sebesar 84,15% dan belanja langsung hanya sebesar 37,84%.
Penyerapan anggaran yang rendah terutama terjadi pada belanja modal. Penyerapan
belanja langsung sampai dengan triwulan III pada belanja modal untuk Provinsi DIY dan
Kabupaten Sleman masing-masing hanya sebesar 22,54% dan 15,90%. Perlu diketahui
bahwa persentase belanja modal dalam APBD Provinsi DIY dan Kabupaten Sleman pada
tahun 2011 masing-masing sebesar 9,44% dan 10,32%. Jadi persentase yang kecil
ditambah dengan penyerapan anggaran yang rendah. Padahal program/kegiatan yang
termasuk belanja modal mempunyai hubungan langsung dengan penggerak sektor riil
perekonomian termasuk upaya mengurangi angka kemiskinan dan angka pengangguran.
Penyebab rendahnya serapan anggaran sampai dengan akhir triwulan III pada Provinsi
DIY dan Kabupaten Sleman dapat terjadi pada saat penganggaran, pencairan dana,
maupun pada saat pelaksanaan kegiatan dan proses pengadaan barang dan jasa.
Penyebab rendahnya penyerapan yang disebabkan pada tahap penganggaran biasanya
karena masih menunggu pengesahan APBD Perubahan (APBD-P) yang terlambat diterima
oleh Satuan Kinerja Perangkat daerah (SKPD). Karena terlambat diterima, pelaksanaan
kegiatan juga ikut tertunda. Penyebab lainnya adanya kesalahan menentukan jenis belanja
dalam DPA sehingga kegiatan tidak dapat dilaksanakan.
Keterlambatan cairnya dana untuk melaksanakan program/kegiatan yang dananya dalam
APBD bersumber dari porsi APBN juga ikut andil dalam rendahnya penyerapan anggaran.
Penyebab lainnya dari pencairan dana umumnya karena rekanan tidak mengambil uang
muka atau tidak mengajukan penagihan sesuai termin pembayaran. Pelaksanaan pekerjaan
oleh rekanan yang sedang berlangsung atau masih berjalan, namun dalam realisasi
anggaran tidak tampak. Penyebab lain rendahnya penyerapan anggaran yang terkumpul di
triwulan IV adalah karena jadwa pelaksanaan kegiatan memang ada di triwulan IV.
Beberapa hal yang memengaruhi penyerapan anggaran sering kali berhubungan dengan
proses pengadaan barang dan jasa, antara lain:
a) Kegiatan dilaksanakan pada tahap akhir tahun anggaran sehingga realisasi
keuangan masih berupa uang muka,
b) Keterbatasan sumber daya manusia (SDM) pada panitia lelang menyebabkan proses
pelelangan harus mengikuti ketersediaan waktu tim/panitia lelang. Hal ini

17
menyebabkan keterlambatan penetapan pemenang yang memengaruhi penyerapan
anggaran,
c) Adanya perubahan jenis barang yang akan diadakan, sementara dokumen
perubahannya juga terlambat: dan
d) Adanya keterlambatan penetapan panitia lelang karena terbatasnya SDM yang telah
bersertifikat dan adanya keengganan untuk mau terlibat menjadi anggota panitia.
Bagaimanakah kondisi penyerapan anggaran untuk instansi vertikal? Dari data-data
realisasi anggaran akhir triwulan III yang diperoleh dari Kantor Wilayah Direktorat:
Jenderal Perbendaharaan Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya untuk belanja modal
dan belanja bantuan sosial, kondisinya cukup beragam, ada yang sudah direalisasikan
100%, di atas 50%, di bawah 50%, bahkan ada yang masih 0%.
Beberapa hal yang menjadi penyebab penyerapan anggaran yang rendah tersebut adalah
sebagai berikut.
1) Penganggaran dan Dokumen Pelaksanaan Anggaran:
a) DIPA perlu direvisi karena tidak sesuai dengan kebutuhan di lapangan,
b) Adanya kesalahan penentuan mata anggaran sehingga perlv direvisi,
c) Adanya anggaran yang masih diblokir atau ditahan karena belum mendapatkan
persetujuan dari pihak legislatif,
d) Perencanaan kegiatan tidak sesuai dengan kebutuhan,
e) Kelengkapan persyaratan pencairan Surat Perintah Membaya (SPM) yang diajukan ke
Kantor Pelayanan Perbendaharaa" Negara (KPPN) ada kalanya masih kurang.
2) Peraturan, petunjuk pelaksanaan, dan panitia pengadaan:
a) Pedoman pengadaan barang dan jasa sulit diterapkan,
b) Adanya rangkap jabatan dalam panitia pengadaan,
c) Pelaksana pengadaan kurang kompeten, dan
d) Keengganan dan ketakutan menjadi panitia pengadaan barang dan jasa karena
berisiko tinggi.
3) Persiapan pelaksanaan kegiatan:
a) Harga satuan barang dan jasa yang ditetapkan dalam Standar Biaya Umum (SBU)
atau Standar Biaya Keluaran (SBK) terlalu rendah/tinggi,
b) Spesifikasi barang tidak tersedia atau sulit didapatkan.
4) Pelaksanaan kegiatan:
a) Rekanan belum mengajukan tagihan,
b) Fasilitas transportasi sulit dan jarang,
18
c) Peralatan/mesin yang diperlukan tidak tersedia/sulit didapatkan, dan
d) Pengelola kegiatan terlalu berhati-hati dalam pertanggungjawaban kegiatan.
c. Akibat penyerapan anggaran yang rendah
Penyerapan anggaran yang rendah tentunya akan menyebabkan potensi kerugian bagi
perekonomian, di antaranya adalah sebagai berikut:
a) Rendahnya efek berganda dalam perekonomian nasional Dalam kondisi perekonomian
yang resesi seperti saat ini, faktor belanja negara menjadi hal utama sebagai stimulus
pertumbuhan ekonomi. Rendahnya pertumbuhan ekonomi berefek pada rendahnya
penciptaan lapangan kerja sehingga angka kemiskinan sulit diturunkan. Stimulus yang
sangat diharapkan untuk membantu perekonomian adalah belanja barang dan belanja
modal pemerintah.
b) Anggaran yang dikeluarkan pemerintah menjadi sia-sia Dalam mempersiapkan anggaran,
pemerintah telah memperhitungkan defisit anggaran yang kemudian dibiayai melalui utang
(utang luar negeri atau Surat Berharga Negara—SBN). Jika utang sudah cair, adanya
commitment fee yang harus ditanggung pemerintah. Jika anggaran tidak segera digunakan,
pemerintah tetap dibebani commitment fee tersebut.
Kegagalan target penyerapan anggaran memang berakibat hilangny, manfaat belanja,
karena dana yang dialokasikan ternyata tidak Semuanya dapat dimanfaatkan, yang berarti
terjadinya iddle money. Apabila pengalokasian anggaran efisien, maka keterbatasan
sumber dana yang dimiliki negara dapat dioptimalkan untuk mendanai kegiatan strategis,
Sumber-sumber penerimaan negara yang terbatas mengharuskan pemerintah menyusun
prioritas kegiatan dan pengalokasian anggaran yang efektif dan efisien. Ketika penyerapan
anggaran gagal memenuh, target, berarti telah terjadi inefisiensi dan inefektivitas
pengalokasian anggaran.
Jika ingin lebih proporsional dalam menilai penyerapan anggaran, perlu juga dilihat target
penyerapan anggaran yang telah disusun di awal, apakah telah sesuai target atau tidak.
Perlu diingat ukuran kinerja yang dilihat harus juga melihat capaian output serta outcome.
Penyerapan anggaran yang tinggi tanpa adanya output serta outcome yang optimal akan
menunjukkan kinerja yang rendah.

d. Mengatasi penyerapan anggaran yang rendah


Untuk mengatasi permasalahan penyerapan anggaran yang cenderung terakumulasi pada
akhir tahun, diperlukan langkah-langkah antisipasi antara lain yaitu:
a) Perumusan pola ideal penyerapan belanja sesuai dengan sifat masing-masing belanja,
19
b) Perumusan mekanisme revisi dokumen anggaran yang lebih feksibel,
c) Perumusan sistem pengawasan dan evaluasi pelaksanaan anggaran
d) Penyempurnaan sistem dan prosedur pembayaran maupun pencairan dana,
e) Penjagaan kekonsistensian dalam melaksanakan kegiatan daf penarikan dana sesuai
dengan jadwal yang telah ditentukan sebelumnya,
f) Penjaminan keterkaitan penggunaan anggaran dengan pencapaian kinerja
g) Pelaksanaan sistem pengawasan dan pengendalian internal yang konsisten,
h) Adanya aturan mengenai pengadaan barang dan jasa yang fleksibel, yang
memungkinkan pelaksanaan pada awal tahun anggaran, dan
i) Adanya penghargaan atau hukuman bagi instansi atau pemerintahan daerah yang
baik/buruk dalam penyerapan anggaran.
Untuk pembelajaran kepada masyarakat, sebagai organisasi publik pemerintah perlu
menyosialisasikan indikator-indikator pencapaian anggaran yang lain, yaitu output dan
outcome sebagai komponen penilaian. Jangan sampai karena terlalu berfokus pada
penyerapan anggaran, yang ada malahan usaha pengeluaran yang sia-sia untuk
menghabiskan anggaran.

20
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Surat Utang Negara (SUN) diartikan sebagai surat berharga, berupa surat pengakuan
utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan
pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya. SUN
digunakan untuk membiayai defisit APBN serta menutupi kekurangan kas jangka pendek
dalam satu tahun anggaran. Surat berharga negara dalam strukturnya, pada saat ini telah
menjadi sumber utama dalam pemenuhan target pembiayaan dalam APBN karena
mempunyai pengaruh yang signifikan. Potensi SUN sebagai sumber utama pembiayaan
defisit APBN akan sangat bergantung pada perkembangan pasar yang didukung oleh
regulasi yang sangat kuat. Walaupun SUN dikatakan hamper tidak memiliki risiko gagal
bayar, terdapat beberapa risiko lain seperti risiko kesinambungan fiscal, risiko nilai tukar,
risiko perubahan tingkat bunga, risiko pembiayaan kembali dan risiko operasional.
Anggaran publik merupakan kegiatan yang direpresentasikan dalam bentuk rencana
perolehan pendapatan dan belanja dalam satuan moneter. Dalam bentuk yang paling
sederhana, anggaran publik merupakan suatu dokumen yang mnenggambarkan kondisi
keuangan dari suatu Organisasi yang meliputi informasi mengenai pendapatan, belanja,
dan aktivitas. Anggaran berisi estimasi mengenai apa yang akan dilakukan organisasi di
masa yang akan datang.

21
DAFTAR PUSTAKA
Mahmudi. 2010. Manajemen Keuangan Daerah. Jakarta: Penerbit Erlangga
Mardiasmo, 2005. Akuntansi Sektor Publik. Andi. Yogyakarta

22

Anda mungkin juga menyukai