Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

RESIKO PERILAKU KEKERASAN

Disusun Oleh

MIFTAH SABILLA ALFIANTI

2019206203023

FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PRINGSEWU
LAMPUNG
2021
LAPORAN PENDAHULUAN

RISIKO PERILAKU KEKERASAN

A. KASUS /MASALAH UTAMA


Risiko Perilaku Kekerasan

1. Pengertian
Menurut Berkowitz (2013), perilaku kekerasan adalah perilaku yang bertujuan untuk
melukai seseorang secara fisik maupun psikologis, sedangkan menurut Citrome dan
Volavka (2012, dalam mohr, 2016) perilaku kekerasan adalah respond dan perilaku
manusia untuk merusak dan berkonotasi sebagai agresif fisik yang dilakukan oleh
seseorang terhadap orang lain dan atau sesuatu.
Stuart dan Laraia (2015), menyatakan bahwa perilaku kekerasan adalah hasil dari
marah yang ekstrim (kemarahan) atau ketakutan (panic) sebagai respon terhadap
perasaan terancam, baik berupa ancaman serangan fisik atau konsep diri. Perasaan
terancam ini dapat berasal dari stressor eksternal (penyerangan fisik, kehilangan
orang berarti dan kritikan dari orang lain) dan internal (perasaan gagal ditempat
kerja, perasaan tidak mendapatkan kasih sayang dan ketakutan penyakit fisik).
Sedangkan Townsend (2018) perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana
seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik terhadap diri
sendiri maupun orang lain.
Resiko perilaku kekerasan merupakan perilaku yang memperlihatkan individu
tersebut dapat mengancam secara fisik, emosional dan atau seksual kepada orang lain
(Herdman, 2012).
Sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku kekerasan merupakan :
1. Respon emosi yang timbul sebagai reaksi terhadap kecemasan yang meningkat
dan dirasakan sebagai ancaman (di ejek atau dihina)
2. Ungkapan perasaan terhadap keadaan yang tidak menyenangkan (kecewa,
keinginan tidak tercapai, tidak puas).
3. Perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal diarahkan pada diri sendiri,
orang lain, dan lingkungan.
2. Tahapan Risiko Perilaku Kekerasan
Tahapan risiko agresif atau risiko perilaku kekerasan : (Fontaine, 2012)
1. Tahap 1 : Tahap Memicu
Perasaan : Kecemasan
Perilaku : Agitasi, mondar-mandir, menghindari kontak.
Tindakan perawat :Mengidentifikasi factor pemicu, mengurangi
kecemasan, memecahkan masalah bila memungkinkan.
2. Tahap 2 : Tahap Transisi
Perasaan : Marah
Perilaku : Agitasi meningkat
Tindakan perawat :Jangan tangani marah dengan amarah, membaca
pembicaraan, menetapkan batas dan memberikan pengarahan, mengajak
kompromi, memicu dampak agitasi, maminta bantuan.
3. Tahap 3 : Krisis
Perasaan : peningkatan kemarahan dan agresi.
Perilaku : Agitasi, gerakan mengancam, menyerang orang disekitar,
berkata kotor; berteriak.
Tindakan perawat : Lanjutkan intervensi tahap 2, dalam menjaga jarak
pribadi, hangat (tidak mengancam) konsekuensi, cobalah untuk menjaga
komunikasi.
4. Tahap 4 : Perilaku Merusak
Perasaan : Marah
Perilaku : menyerang; merusak
Tindakan perawat : lindingi klien lain, menghindar, melakukan
pengekangan fisik.
5. Tahap 5 : Tahap Lanjut
Perasaan : Agresi
Perilaku : menghentikan perilaku terang-terangan dekstruktif, pengurangan
tingkat gairah.
Tindakan perawat :tahap waspada karena perilaku kekerasan baru masih
memungkinkan, hindari pembalasan atau balas dendam.
6. Tahap 6 : Tahap peralihan
Perasaan : Marah
Perilaku : Agitasi, mondar-mandir
Tindakan perawat : lnjutkan focus mengatasi masalah utama.
3. Tanda dan Gejala
a. Tanda dan Gejala Fisik :
1) Muka merah
2) Pandangan tajam
3) Otot tegang
4) Nada suara tinggi
5) Berdebat dan sering pula tampak klien memaksakan kehendak
6) Memukul jika tidak senang
b. Tanda dan gejala Emosional:
1) Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan terhadap
penyakit (rambut botak karena terapi).
2) Rasa bersalah terhadap diri sendiri (mengkritik/menyalahkan diri sendiri).
3) Gangguan hubungan sosial (menarik diri).
4) Percaya diri kurang (sukar mengambil keputusan).
5) Mencederai diri (akibat dari harga diri yang rendah disertai harapan yang
suram, mungkin klien akan mengakiri kehidupannya.
(Budiana Keliat, 2019)
c. Tanda dan Gejala Sosial:
1) Memperlihatkan permusuhan
2) Mendekati orang lain dengan ancaman
3) Memberikan kata-kata ancaman dengan rencana melukai
4) Menyentuh orang lain dengan cara yang menakutkan
5) Mempunyai rencana untuk melukai
d. Tanda dan Gejala Intelektual :
1) Mendominasi
2) Cerewet
3) Cenderung suka meremehkan
4) Berdebat
5) Kasar
e. Tanda dan Gejala Spiritual:
1) Merasa diri kuasa
2) Merasa diri benar
3) Keragu-raguan
4) Tak bermoral
5) Kreativitas terhambat

4. Rentang Respon Risiko Perilaku Kekerasan


Skema rentang respon marah menurut stuart dan sundeen (2015)

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Amuk
Asertif Pasif Frustasi Agresif

1. Asertif
Perilaku asertif adalah menyampaikan suatu perasaan diri dengan pasti dan
merupakan komunikasi untuk menghormati orang lain. Individu yang asertif
berbicara dengan jujur dan jelas. Mereka dapat melihat norma dari individu
lainnya dengan tepat sesuai dengan situasi. Pada saat berbicara kontak mata
langsung tapi tidak mengganggu, intonasi suara dalam berbicara tidak
mengancam. Postur tegak dan santai, kesan keseluruhan adalah bahwa individu
tersebut kuat tapi tidak mengancam. Individu yang asertif dapat menolak
permintaan yang tidak beralasan dan menyampaikan rasionalnya kepada orang
lain dan sebaliknya individu juga dapat menerima dan tidak merasa bersalah bila
permintaannya ditolak orang lain. Individu yang asertif ingat untuk
mengungkapkan kasih sayang kepada siapa saja yang dekat, pujian diberikan
sepatutnya. Permintaan masukan yang positif juga termasuk perilaku asertif
(Stuart dan Laraia,2015;Stuart,2019).
2. Pasif
Individu yang pasif yang sering menyampingkan haknya dari persepsinya
terhadap orang lain. Ketika seseorang yang pasif marah maka dia akan berusaha
menutupi kemarahannya sehingga mengingatkan tekanan pada dirinya. Pola
interaksi seperti ini dapat menyebabkan gangguan perkembangan interpersonal
(Stuart dan Laraia,2015;Stuart,2019). Perilaku pasif dapat diekspresikan secara
nonverbal, seseorang yang pasif biasanya bicara pelan, sering dengan cara
kekanak-kanakan dan kontak mata yang sedikit. Individu tersebut mungkin dalam
posisi membungkuk, tangan memegang tubuh dengan dekat (Stuart,2019).
3. Frustasi
Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan yang kurang
realistis atau hambatan dalam mencapai tujuan (Stuart dan Laraia,2015). Frustasi
adalah kegagalan individu dalam mencapai tujuan yang diinginkan frustasi akan
bertambah berat jika keinginan yang tidak tercapai memiliki nilai yang tinggi
dalam kehidupan (Keliat dan Sinaga,2011).
4. Agresif
Individu yang agresif tidak menghargai hak orang lain. Individu merasa harus
bersaing untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Seseorang yang agresif di
dalam hidupnya selalu mengarah pada kekerasan fisik dan verbal. Perilaku agresif
pada dasarnya disebabkan karena menutupi kurangnya rasa percaya diri (Bushman
dan Baumeister,2018 dalam Stuart dan Laraia,2015;Stuart,2019). Perilaku agresif
juga dapat ditunjukkan secara nonverbal, seseorang yang agresif melanggar batas
pribadi orang lain, bicaranya keras dan lantang, biasanya kontak mata yang
berlebihan dan mengganggu, postur kaku dan tampak mengancam (Stuart,2019).
5. Amuk
Amuk atau perilaku kekerasan adalah perasaan marah dan bermusuhan yang
kuat yang disertai kehilangan kontrol diri sehingga individu dapat merusak diri
sendiri, orang lain dan lingkungan (Keliat dan Sinaga,2011). Menurut Stuart dan
Laraia (2019) perilaku kekerasan berfluktuasi dari tingkat rendah sampai tinggi
yaitu yang disebut dengan hirarki perilaku agresif dan kekerasan.
B. PROSES TERJADINYA MASALAH
Proses terjadinya perilaku kekerasan pada pasien akan dijelaskan dengan menggunakan
konsep stress adaptasi Stuart yang meliputi stressor dari faktor predisposisi dan
presipitasi.
1. Faktor predisposisi
Hal-hal yang dapat mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan, meliputi:
a. Faktor biologis
Hal yang di kaji pada faktor biologis meliputi adanya faktor herediter
mengalami gangguan jiwa, riwayat penyakit atau trauma kepala, dan riwayat
penggunaan NAPZA.
b. Faktor psikologis
Pengalaman marah adalah akibat dari respon psikologis terhadap stimulus
eksternal, internal maupun lingkungan. perilaku kekerasan terjadi sebagai
hasil dari akumulasi frustasi. frustasi terjadi apabila keinginan individu untuk
mencapai sesuatu menemui kegagalan atau terhambat, seperti kesehatan fisik
yang terganggu, hubungan social yang terganggu. Salah satu kebutuhan
manusia adalah “Berperilaku”, apabila kebutuhan tersebut tidak dapat
dipenuhi melalui berperilaku konstruktif, maka yang akan muncul adalah
individu tersebut berperilaku destruktif.
c. Faktor sosiokultural
Fungsi dan hubungan social yang terganggu disertai lingkungan social yang
mengancam kebutuhan individu, yang mempengaruhi sikap individu dalam
mengekspresikan marah. Norma budaya dapat mempengaruhi individu untuk
berespon asertif atau agresif. Perilaku kekerasan dapat di pelajari secara
langsung melalui proses sosialisasi (social learning theory), merupakan proses
meniru dari lingkungan yang menggunakan perilaku kekerasan sebagai cara
menyelesaikan masalah.
2. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi yang dapat menimbulkan perilaku kekerasan pada setiap
individu bersifat unik, berbeda satu orang dengan orang yang lain. Stressor
tersebut dapat merupakan penyebab yang bersifat faktor eksternal maupun internal
dari individu.
Faktor internal meliputi keinginan yang tidak terpenuhi, perasaan kehilangan dan
kegagalan akan kehidupan (pekerjaan, pendidikan, dan kehilangan orang yang
dicintai), kekhawatiran terhadap penyakit fisik.
Faktor eksternal meliputi kegiatan atau kejadian sosial yang berubah seperti
serangan fisik atau tindakan kekerasan, kritikan yang menghina, lingkungan yang
terlalu ribut, atau putusnya hubungan sosial/kerja/sekolah.

a. Faktor Biologi
Stressor presipitasi adalah stimuli yang diterima individu sebagai tantangan,
ancaman atau tuntutan. Stressor presipitasi perilaku kekerasan dari faktor
biologi dapat disebabkan oleh gangguan umpan balik diotak yang mengatur
jumlah dan waktu dalam proses informasi. Stimuli penglihatan dan
pendengaran pada awalnya di saring oleh hipotalamus dan dikirim untuk
diproses oleh lobus frontal dan bila informasi yang disampaikan terlalu banyak
pada suatu waktu atau jika informasi tersebut salah, lobus frontal mengirimkan
pesan overload ke ganglia basal dan diingatkan lagi hipotalamus untuk
memperlambat transmisi kelobus frontal. Penurunan fungsi dari lobus frontal
menyebabkan gangguan pada proses umpan balik dalam penyampaian
informasi yang menghasilkan proses informasi overload (Stuart dan Laraia,
2015; Stuart, 2019).
b. Faktor Psikologis
Pemicu perilaku kekerasan dapat di akibatkan oleh toleransi terhadap frustasi
yang rendah, koping individu yang tidak efektif, impulsive dan membayangkan
atau secara nyata adanya ancaman terhadap keberadaan dirinya, tubuh atau
kehidupan. Dalam ruang perawatan perilaku kekerasan dapat terjadi karena
provokasi petugas, perilaku kekerasan klien terjadi pada setting ini dimana
petugas merasa memiliki sikap otoriter dan cenderung mengatur/controlling;
mengatur apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan oleh klien; menahan klien
bertentangan dengan keinginan klien dan memaksa untuk minum obat, semua
itu berkontribusi terjadi konflik petugas dan klien (Fontaine, 2019). Perilaku
agresif atau kekerasan dapat terjadi karena beberapa perasaan seperti marah,
ansietas, rasa bersalah, frustasi atau kecurigaan (Townsend, 2019).
c. Faktor Sosial Budaya
Beberapa penelitian telah menemukan bahwa jumlah insiden kekerasan lebih
besar terjadi ketika klien dipindahkan dalam kelompok yang besar, penuh
sesak, kurang privasi atau tidak bebas. Menurut Fagan-Pyor et al., (2013 dalam
Stuat, 2019) petugas mungkin secara sengaja atau tidak sengaja memicu
perilaku klien untuk melakukan kekerasan, ketidak pengalaman petugas,
provokasi petugas, menejemen lingkungan yang buruk, ketidak pahaman
petugas, pertemuan fisik yang terlalu dekat, penetapan batasan yang tidak
konsisten dan budaya kekerasan mempengaruhi perilaku kekerasan klien.
Akhirnya pemahaman terhadap situasi dan penerimaan lingkungan, kognitif
dan stress komunikasi serta respon afektif klien perlu diidentivikasi oleh
petugas.

3. Penilaian Stressor
Model stress diatesis dalam sebuah karya klasik oleh Liberman dan rekan (2014)
menjelaskan bahwa gejala skizofrenia berkembang berdasarkan pada hubungan
antara jumlah stress dalam pengalaman seseorang dan toleransi internal terhadap
ambang stress. Ini adalah model penting karena mengintegrasikan faktor budaya
biologis, psikologis dan sosial, cara ini mirip dengan Stress Adaptasi Model Stuart
yang digunakan sebagai kerangka kerja konseptual (Stuart, 2019). Menurut
Wuerker (2010) Model adaptasi ini membantu menjelaskan stress dengan
skizofrenia, meskipun tidak ada penelitian ilmiah telah menunjukkan bahwa stress
menyebabkan skizofrenia, namun semakin jelas bahwa skizofrenia adalah
gangguan yang tidak hanya menyebabkan stress, tetapi juga diperparah oleh stress
(Jones dan Fernyhougi, 2017 dalam Stuart, 2019 ). Penelitian seseorang tentang
stressor, dan masalah yang terkait dengan kopping untuk mengatasi stress dapat
memprediksi timbulnya gejala.

4. Sumber Koping
Psikosis atau skizofrenia adalah penyakit yang menakutkan dan sangat
menjengkelkan yang memerlukan penyusuaian baik bagi klien dan keluarga.
Proses penyesuaian pasca psikotik terdiri dari 4 fase : (1) Disonansi Kognitif
(Psikosis Aktif) (2) Pencapaian wawasan (3) Stabilitas dalam semua aspek
kehidupan (ketetapan kognitif ) dan (4) Bergerak tehadap prestasi kerja atau
tujuan pendidikan (Ordinariness). Proses multifase penyesuaian dapat berlangsung
3-6 tahun (moller,2016 dalam stuart, 2019 ) :
1. Efikasi atau kemanjuran pengobatan untuk secara konsisten mengurangi
gejala dan menstabilkan disonansi kognitif setelah episode pertama memakan
waktu 6-12 bulan.
2. Awal pengenalan diri sebagai proses mandiri melakukan pemeriksaan realitas
yang dapat diandalkan. Pencapaian keterampilan ini memakan waktu 6-12
bulan dan tergantung pada keberhasilan pengobatan dan dukungan yang
berkelanjutan.
3. Setelah mencapai pengenalan diri, proses pencapaian kognitif meliputi
keteguhan melanjutkan hubungan interpersonal normal dan reengaging
dalam kegiatan sesuai dengan usia yang berkaitan dengan sekolah dan
bekerja. Fase ini berlangsung 1-3 tahun.
4. Ordinariness / kesiapan kembali seperti sebelum sakit ditandai dengan
kemampuan untuk secara konsisten dan dapat diandalkan dan terlibat dalam
kegiatan yang sesuai dengan usia lengkap dari kehidupan sehari-hari
mencerminkan tujuan prepsychosis. Fase ini berlangsung minimal 2 tahun.
Sumber daya keluarga, seperti pemahaman orang tua terhadap penyakit,
keuangan, ketersediaan waktu dan energi dan kemampuan untuk
menyediakan dukungan yang berkelanjutan, mempengaruhi jalannya
penyesuaian postpsychotic.

5. Mekanisme koping
Pada fase aktif psikosis klien menggunakan beberapa mekanisme pertahanan diri
dalam upaya untuk melindungi diri dari pengalaman menakutkan yang disebabkan
oleh penyakit mereka . Regresi adalah berkaitan dengan masalah informasi
pengolahan dan pengerluaran sejumlah besar energi dalam upaya untuk mengelola
kegelisahan,menyisakan sedikit untuk aktivitas hidup sehari-hari. Proyeksi adalah
upaya untuk menjelaskan persepsi membingungkan dengan menetapkan
responsibility kepada seseorang atau sesuatu. Penarikan diri ini berkaitan dengan
masalah membangun kepercayaan dan keasyikan dengan pengalaman internal .
Keluarga sering mengekspresikan penolakan ketika mereka mempelajari kali
diagnosis relatif mereka. Ini sama dengan penolakan yang terjadi ketika seseorang
menerima informasi yang menyebabkan rasa takut dan kecemasan. Hal ini
memungkinkan watu seseorang untuk mengumpulkan sumber daya internal dan
eksternal dan kemudia beradaptasi dengan stressor secara bertahap. Pada klien
penyesuaian postpschotic proses aktif menggunakan mekanisme koping adaptif
juga. Ini termasuk kognitif, emosi , interpersonal, fisiologis, dan spiritual strategi
penanggulangan yang dapat berfungsi sebagai dasar untuk penyusunan intervensi
keperawatan (Stuart,2019).

C. POHON MASALAH
1. Pohon Masalah
Menurut Keliat dkk (2015) pohon masalah perilaku kekerasan adalah sebagai
berikut :

Risiko Mencederai Diri Sendiri Risiko Mencederai Orang Lain dan lingkungan

Risiko Perilaku Kekerasan

Halusinasi, Isolasi Sosial, HDR, Mekanisme Koping Tidak Effektif

2. Daftar Masalah Keperawatan dan Data Yang Perlu Dikaji


a. Data yang perlu dikaji
NO. DATA MASALAH
1. DS : Risiko Perilaku
1. Ungkapan berupa ancaman Kekerasan
2. Ungkapan kata-kata kasar
3. Ungkapan ingin memukul/melukai
DO :
1. Wajah memerah dan tegang
2. Pandangan tajam
3. Mengatupkan rahang dengan kuat
4. Mengepalkan tangan
5. Bicara kasar
6. Suara tinggi, menjerit atau berteriak
7. Mondar-mandir

b. Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul


1) Perilaku Kekerasan.
2) Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
3) Perubahan persepsi sensori.
4) Harga diri rendah kronis.
5) Isolasi sosial.
6) Berduka fungsional.
7) Penatalaksanaan regimen terapeutik inefektif.
8) Koping keluarga inefektif.

D. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Risiko Perilaku Kekerasan
E. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
Perencanaan
No
Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi Rasional
.
1. Tujuan : 1. Setelah…..× interaksi klien 1. Bina hubungan saling percaya  Kepercayaan dari klien
Klien dapat menunjukan tanda-tanda dengan menggunakan prinsip merupakan hal yang
mengontrol percaya kepada perawat : komunikasi terapeutik : mutlak serta akan
perilaku a. Ekspresi wajah  Sapa klien dengan ramah baik memudahkan dalam
kekerasan bersahabat verbal maupun nonverbal pendekatan dan tindakan
b. Menunjukan rasa  Perkenalkan nama, nama keperawatan yang akan
SP 1 : Klien senang panggilan dan tujuan perawat dilakukan kepada klien.
dapat membina c. Ada kontak mata berkenalan
hubungan saling d. Mau berjabat tangan  Tanyakan nama lengkap dan
percaya e. mau menyebutkan nama penggilan yang disukai
nama klien
f. Mau menjawab salam  Buat kontrak yang jelas
g. Mau duduk  Tunjukan sikap jujur dan
berdampingan dengan menepati janji setiap kali
perawat berinteraksi
h. Bersedia  Tunjukan sikap empati dan
mengungkapkan menerima apa adanya
masalah yang  Beri perhatian kepada klien
dihadapi dan masalah yang dihadapi
klien
 Dengarkan dengan penuh
perhatian ekspresi perasaan
klien
SP 2 : Klien 2. Setelah…..× interaksi 1. Bantu klien mengungkapkan  Menentukan mekanis-
dapat mengenal klien menceritakan perasaan marahnya: me koping yang dimiliki
penyebab penyebab perilaku a. Motivasi klien untuk klien dalam menghadapi
perilaku kekerasan yang menceritakan penyebab rasa masalah serta sebagi
kekerasan yang dilakukannya : kesal atau jengkelnya langkah awal dalam
dilakukannya Menceritakan penyebab b. Dengarkan tanpa menyela atau menyusun strategi
perasaan jengkel/marah memberi penilaian setiap berikutnya
baik dari diri sendiri ungkapan perasaan klien.
maupun lingkungannya
SP 3 : Klien 3. Setelah…..× interaksi 1. Bantu klien mengungkapkan  Deteksi dini sehingga
dapat klien menceritakan tanda- tanda-tanda perilaku kkerasan dapat mencegah
mengidentifikasi tanda saat terjadi perilaku tindakan yang dapat
tanda-tanda kekerasan : yang dialaminya : membahayakan klien
perilaku a. Tanda Sosial: a. Motivasi klien menceritakan dan lingkungan sekitar
kekerasan bermusuhan yang kondisi fisik saat perilaku
dialami saat terjadi kekerasan terjadi
perilaku kekerasan b. Motivasi klien menceritakan
b. Tanda Emosional : kondisi emosionalnya saat
perasaan marah, terjadi perilaku kekerasan
jengkel, bicara kasar. c. Motivasi klien menceritakan
c. Tanda Fisik : mata hubungan dengan orang lain
merah, tangan saat terjadi perilaku kekerasan
mengepal, ekspresi
tegang,dll
SP 4 : klien 4. Setelah…..× interaksi 1. Diskusikan dengan klien perilaku  Melihat mekanisme
dapat klien menjelaskan : kekerasan yang dilakukannya koping klien dalam
mengidentifikasi a. Jenis-jenis ekspresi selama ini : menyelesaikan masalah
perilaku kemarahan yang a. Motivasi klien menceritakan yang dihadapi
kekerasan yang selama ini telah jenis-jenis tindak kekerasan
pernah dilakukannya yang selama ini pernah
dilakukan b. Perasaan saat dilakukannya
melakukan kekerasan b. Motivasi klien menceritakan
c. Efektivitas cara yang perasaan setelah tindakan
dipakai dalam tersebut
menyelesaikan 2. Diskusikan apakah dengan
masalah tindakan tersebut msalah yang
dialami teratasi
SP 5 : Klien 5. Setelah…..× interaksi 1. Diskusikan dengan klien akibat  Membantu klien melihat
dapat klien menjelaskan akibat negatif cara yang dilakukan pada : dampak yang
mengidentifikasi tindakannya : a. Diri sendiri ditimbulkan akibat
akibat perilaku a. Diri sendiri b. Orang lain perilaku kekerasan yang
kekerasan b. Orang lain c. Lingkungan dilakukan klien
c. Lingkungan
SP 6 : Klien 6. Setelah…..× interaksi 1. Diskusikan dengan klien :  Menurunkan perilaku
dapat klien: a. Apakah klien mau destruktif yang akan
mengidentifikasi Menjelaskan cara yang mempelajari cara baru untuk mencederai klien dan
cara konstruktif sehat untuk mengungkapkan marah yang lingkungan sekitar
dalam mengungkapkan marah sehat
mengungkapkan b. Jelaskan berbagai alternatif
kemarahan pilihan untuk mengungkapkan
marah selain perilaku
kekerasan yang diketahui
klien
c. Jelaskan cara-cara sehat untuk
mengungkapkan marah :
-Cara fisik : nafas dalam,
pukul bantal atau kasur,
olahraga
-Verbal : mengungkapkan
bahwa dirinya sedang kesal
kepada orang lain.
-Sosial : Latihan asertif
dengan orang lain
-Spiritual : Sembahyang/doa,
zikir, meditasi,dlsb
SP 7 : Klien 7. Setelah…..× interaksi 1. Diskusikan cara yang akan dipilih 1. Keinginan untuk marah
dapat klien memperagakan cara dan anjurkan klien memilih cara tidak tahu kapan
mendemonstrsik mengontrol perilaku yang memungkinkan untuk munculnya serta siapa
an cara kekerasan mengungkapkan kemarahan yang akan memicunya
mengontrol a. Fisik : tarik nafas 2. Latih klien memperagakan cara 2. Meningkatkan
perilaku dalam, memukul yang dipilih : kepercayaan diri klien
kekerasan serta asertifitas klien
bantal/kasur a. Peragakan cara yang dipilih saat marah/jengkel.
b. Verbal : b. Jelaskan manfaat cara tersebut 3. Meningkatkan
Mengungkapkan c. Anjurkan klien menirukan asertifitas klien dalam
perasaan peragaan yang sudah dilakukan menghadapi marah.
kesal/jengkel pada d. Beri penguatan pada klein,
orang lain tanpa perbaiki cara yang masih
menyakiti belum sempurna
c. Spiritual : Berdoa 3. Anjurkan klien menggunakan cara
sesuai agama yang sudah dilatih saat
marah/jengkel
SP 8 : Klien 8. Setelah…..× interaksi 1. Diskusikan pentingnya peran serta  Keluarga adalah sistem
mendapat keluarga : keluarga sebagai pendukung klien pendukung utama bagi
dukungan a. Menjelaskan cara untuk mengatasi perilaku klien
keluarga untuk merawat klien dengan kekerasan
mengontrol perilaku kekerasan 2. Diskusikan potensi keluarga untuk
perilaku b. Mengungkapkan rasa membantu klien mengatasi
kekerasan puas dalam merawat perilaku kekerasan
klien 3. Jelaskan pengertian, penyebab,
akibat, dan cara merawat klien
perilaku kekerasan yang dapat
dilakukan keluarga
4. Peragakan cara merawat klien
5. Beri kesempatan keluarga untuk
memperagakan ulang
6. Beri pujian pada keluarga setelah
peragaan
7. Tanyakan perasaan keluarga
setelah mencoba cara yang dilatih
SP 9 : KLien 9.1 Setelah…..× inter-aksi 9.1 Jelaskan pada klien :  Mensukseskan program
menggunakan klien menje-laskan : a. Manfaat minum obat pengobatan klien
obat sesuai a. Manfaat minum obat b. Kerugian tidak minum obat
program yang b. Kerugian tidak c. Nama obat
telah ditetapkan minum obat d. Bentuk dan warna obat
c. Nama obat e. Dosis yang diberikan
d. Bentuk dan warna f. Waktu pemakaian
obat g. Cara pemakaian
e. Dosis yang diberikan h. Efek yang dirasakan
f. Waktupemakaian 9.2 Anjurkan klien :
g. Cara pemakaian a. Minta dan menggunakan obat
h. Efek yang dirasakan tepat waktu
9.2 Setelah…..× inter-aksi b. Lapor ke perawat/dokter jika
klien menggu-nakan obat mengalami efek yang tidak
sesuai program biasa
c. Beri pujian terhadap
kedisiplinan klien
menggunakan obat.
F. Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (Individu,Keluarga,dan
Kelompok)
1. Individu
Sp 1. Pengkajian,latihan nafas dalan dan memukul bantal dan kasur
Sp 2. Mengontrol perilaku kekerasan dengan Latihan patuh minum obat
Sp 3. Mengontrol perilaku kekerasan dengan cara verbal atau sosial
Sp 4. Mengontrol perilaku kekerasan dengan cara spiritual
2. Keluarga
Sp 1. Cara merawat pasien dan latih fisik 1(latihan nafas
dalam dan mukul bantal kasur)
Sp 2. Latihan cara patuh minum obat
Sp 3. Latihan cara verbal atau sosial
Sp 4. Latihan cara spiritual
3. Terapi aktivitas kelompok
Sesi 1. Mengenal perilaku kekerasan yang biasa dilakukan
Sesi 2. Mencegah perilaku kekerasan fisik
Sesi 3. Mencegah perilaku kekerasan sosial
Sesi 4. Mencegah perilaku kekerasan spiritual
Sesi 5. Mencegah perilaku kekerasan patuh minum obat.
DAFTAR PUSTAKA

Sulastri,2013.Keperawatan Kesehatan Jiwa.Lampung:Poltekkes


Kemenkes Tanjungkarang Jurusan Keperawatan.
Damaryanti,Mukhripah,Iskandar,S.Kep.,Ns.2012.Asuhan Keperawatan
Jiwa.Samarinda:PT.Refika Aditama.
Keliat Budi Ana, 2019, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I,
Jakarta : EGC.
Stuart GW, Sundeen, 2015, Principles and Practice of Psykiatric Nursing
(5 th ed.). St.Louis Mosby Year Book.
Townsend C. Mary , 2018, Diagnosa Keperawatan Psikiatri, Edisi 3,
Penerbit Buku Kedokteran,EGC;Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai