Anda di halaman 1dari 35

PKIP 2022 FKM Universitas Airlangga

Nama Anggota Kelompok :


Kelompok 1
1. Tri Widia Aningsih 101911133016
2. Tausyiah Rohmah Noviyanti 101911133277
3. Tasya Azelya Putri Andiani 101911133050
4. Laila Hidayah Santoso 101911133034
5. Salwa Putri Nabila 101911133137
6. Tesalonika Arina Pambudi 101911133167
7. Aprida Nur Saifatul Arifah 101911133029

Resume Planning Health Promotion Programs An Intervention Mapping


Approach
Intervention Mapping

Intervention mapping adalah sebuah  pendekatan perencanaan yang didasarkan


pada pentingnya mengembangkan teori dan program berbasis bukti, mengambil
pendekatan ekologi untuk menilai intervensi dalam masalah kesehatan dan
partisipasi masyarakat.

Tujuan Intervention mapping 


untuk memberikan para perencana program promosi kesehatan kerangka kerja
untuk pengambilan keputusan yang efektif dan setiap step di perencanaan
intervensi, implementasi dan evaluasi. 
 
BAB IV

Intervention Mapping Step 1

Needs Assessment

Tujuan Pembelajaran
 Membentuk sebuah kelompok perencanaan progam partisipatif yang
terdiri dari calon peserta dan pelaksana progam
 Merencakan n dan melakukan  needs assesment dengan menggunakan
PRECEDE model (Green & Kreuter, 2005)
 Menyeimbangkan needs assesment dengan penilaian kapasitas masyarakat
 Menghubungkan needs assesment perencanaan progam dan evaluais
progam dengan menentukan tujuan progam  yang diinginkan

Tujuan dari bab ini adalah untuk memungkinkan pembaca melakukan needs
assesmen dan  memfasilitasi partisipasi yang akan memberi pengaruh terhadap
keberhasilan progam.  Intervention mapping atau perencanaan progam 
pendidikan kesehatan lainnya harus berdasarkan dari penilaian kapasitas atau
kebutuhan masyarakat. Penilaian ini meliputi 2 komponen :
1. Epidemiologi, perilaku,  dan prespektif sosial dari suatu masyarakat atau
populasi yang beresiko mengalami masalah kesehtan terkait
2. Upaya untuk mengetahui karakteristik dari suatu masyarakat
Pada Bab 1, mendiskusikan pre-assessment, dimana menyusun  sebuah
kelompok kerja untuk mengembangkan implementasi.  Kami melibatkan
elemen penting dalam mendorong partisipasi, manajemen kelompok kerja
dan praktik yang peka terhadap budaya.

Perspektif
Perspektif dalam Bab ini  mengarisbawahi terdadap pentingnya need asesment
dan mempertimbangkan dari kekuatan masyarakat sebagai bagian dari
perencanaan intervensi

COLLABORATIVE PLANNING
PARTISIPASI DALAM PERENCANAAN PROGRAM
Pemetaan intervensi tidak secara eksplisit menggunakan penelitian
partisipatif yang berbasis komunitas. Namun, menggunakan beberapa prinsip
yang dikemukakan oleh para ahli. Partisipasi bermanfaat untuk membantu
memastikan bahwa proyek, program, atau kegiatan yang disusun dapat
menyelesaikan isu penting bagi masyarakat, program dapat relevan secara lokal
dan masyarakat dapat berpartisipasi untuk mengembangkan kapasitas dalam
pengembangan dan penelitian intervensi. Partisipasi dari pemangku kepentingan
atau stakeholder berperan penting pada pengembangan dan evaluasi program
promosi kesehatan. Anggota masyarakat merupakan perencana, dan perencanaan
menjadi bagian dari intervensi, seperti dalam model pemberdayaan masyarakat.
Perencana intervensi tidak selalu berperan untuk memenuhi setiap aspek prinsip
penelitian partisipatif yang berbasis masyarakat, tetapi perencanaan haruslah
saling bekerja sama. Prinsip-prinsip kolaborasi mencakup karakteristik proyek,
program, atau kegiatan berikut seperti yang dijelaskan oleh sejumlah penulis:
a. Mengakui sejarah pribadi dan institusional
b. Mengakui komunitas sebagai unit identitas dan mendorong keterlibatan
komunitas sejak awal proyek
c. Mencapai keseimbangan antara generasi pengetahuan dan intervensi dalam
masalah kesehatan masyarakat yang penting secara lokal untuk
keuntungan bersama semua mitra
d. Rencana dari perspektif ekologi yang mengenali dan memperhatikan
berbagai faktor penentu kesehatan
e. Melibatkan pengembangan sistem menggunakan proses siklis dan iteratif
f. Menyebarkan hasil kepada semua mitra dan melibatkan mereka dalam
proses diseminasi
g. Memfasilitasi kolaboratif, pengaruh yang adil pada arah dan kegiatan
proyek melalui semua atau sebagian besar fase proyek
h. Memastikan bahwa proyek menghasilkan pembelajaran, pengembangan
kapasitas, dan keberlanjutan
i. Menunjukkan rasa hormat terhadap keahlian, nilai, perspektif, kontribusi,
dan kerahasiaan setiap orang dalam komunitas
j. Mengalokasikan waktu dan sumber daya untuk fungsi kelompok
k. Mengkompensasi peserta komunitas

Populasi prioritas yang dimasukkan dalam kelompok perencanaan yaitu


anggota kelompok dengan risiko atau masalah kesehatan. Pendidikan kesehatan
dibangun atas prinsip dari masing-masing individu terhadap perilakunya sendiri.
Pendidikan kesehatan memiliki sejarah partisipasi masyarakat dalam
pengembangan program, termasuk pengakuan bahwa masyarakat memiliki hak
dan tanggung jawab untuk berpartisipasi dalam perencanaan kesehatan mereka
sendiri (World Health Organization, 1978). Tujuan kesehatan akan tercapai
apabila terdapat partisipasi dan kepercayaan dari masing-masing individu.

Menyusun dan Memelihara Kelompok Kerja Proyek, Program, Kegiatan


Kerjasama yang bersifat partisipatif merupakan landasan praktik.
Pentingnya kelompok kerja akan berfungsi dengan baik yang diperlukan untuk
merencanakan dan menyelesaikan penilaian kebutuhan, dan kemudian
mengimplementasikan dan mengevaluasi sebuah program. Sebuah proyek dimulai
di suatu tempat. Pemrakarsa dapat berupa organisasi masyarakat, tim peneliti
universitas, lembaga pemerintah, atau entitas lain. Paling sering, kelompok kerja
terdiri dari pemangku kepentingan atau stakeholder yang memiliki kepentingan
dalam masalah kesehatan, program, atau hasilnya. Peserta komunitas dapat berupa
warga yang tidak terafiliasi, organisasi masyarakat, anggota staf yang bekerja
dengan anggota masyarakat, dan manajer atau pemimpin dari organisasi
masyarakat (Krieger et al., 2002). Pemangku kepentingan atau stakeholder lain
mungkin berasal dari organisasi pemerintah, sistem perawatan kesehatan,
organisasi profesional, pembayar pihak ketiga, media, lembaga kesehatan
sukarela, dan lembaga akademik (Fawcett et al., 2000).
Memiliki pemangku kepentingan atau stakeholder yang bekerja sama
adalah cara yang baik untuk membawa berbagai perspektif dan banyak
pengetahuan untuk melakukan penilaian kebutuhan sebagai langkah pertama
dalam membuat program promosi kesehatan. Hal ini juga memungkinkan
pemangku kepentingan untuk memelihara perasaan kepemilikan proyek. Alasan
utama lainnya yaitu untuk menciptakan kelompok kerja multi perspektif yang
merupakan kontribusi kelompok untuk mengembangkan program yang sesuai
dengan budaya. Penerima dan pelaksana program yang dimaksud adalah yang
paling mampu menafsirkan kebutuhan dan perspektif kelompok budaya tempat
mereka berasal. Pemangku kepentingan atau stakeholder dapat diperoleh melalui
rekrutmen. Berikut variabel pertanyaan yang bisa dijadikan patokan untuk
melakukan rekrutmen pemangku kepentingan atau stakeholder:
a. Keahlian dalam masalah kesehatan atau penyebabnya
b. Perspektif yang beragam dan komunitas partisipasi
c. Tanggung jawab dan otoritas
d. Pengaruh
e. Isu atau kasus

Pemetaan Intervensi memberikan kesempatan yang baik untuk penilaian


cepat apakah semua pemangku kepentingan yang dibutuhkan "berada di meja."
Orlandi dan rekan telah menggambarkan kelompok kerja sebagai sistem hubungan
antara sistem sumber daya (pengembang program), sistem pengguna menengah
(pelaksana), dan sistem pengguna akhir (peserta) (Orlandi, 1986, 1987; Orlandi,
Landers, Weston, & Haley, 1990). Khususnya, ketika kelompok perencanaan
mulai berpikir tentang bagaimana suatu program dapat disampaikan, kelompok
tersebut perlu menilai apakah semua elemen dari sistem keterkaitan ada dalam
kelompok kerja untuk memastikan bahwa, setelah suatu program dikembangkan,
program tersebut dapat diimplementasikan sepenuhnya. Selanjutnya, banyak
intervensi dikembangkan dan dievaluasi dengan kemungkinan penyebaran yang
lebih luas setelah sebuah program terbukti efektif. Bagian dari pengembangan
program dengan tujuan penyebaran yang luas di masa depan adalah dengan
memasukkan mitra penyebaran potensial sebagai bagian dari kelompok kerja
awal. Anggota masyarakat bukan hanya mereka yang telah direkrut untuk menjadi
bagian dari kelompok perencanaan. Perencana kesehatan harus yakin bahwa
mereka tidak bekerja hanya dengan informasi yang hanya dilihat melalui mata
kelompok perencana.
Selain kemitraan populasi berisiko, pendidik kesehatan harus membangun
hubungan dengan pelaksana program. Meskipun pelaksana biasanya tidak menjadi
fokus penilaian kebutuhan, mereka mungkin menjadi salah satu sumber informasi
penting tentang masalah dan masyarakat. Orang yang menangani masalah
kesehatan, bukan individu yang memiliki masalah kesehatan, mungkin merupakan
kontak pertama bagi pendidik kesehatan. Informan kunci ini mungkin memiliki
perspektif yang sangat berbeda tentang suatu masalah daripada calon penerima
program (Rossi, Lipsey, & Freeman, 2004). Misalnya, dalam perencanaan
pelayanan kesehatan bagi tuna wisma, dokter, pekerja di tempat penampungan
tunawisma, dan anggota dewan kota semuanya dapat menjadi informan kunci
yang penting. Para pemangku kepentingan ini cenderung memiliki sudut pandang
yang berbeda satu sama lain dan dari para tunawisma itu sendiri.

Manajemen Kelompok Kerja


Setelah kelompok kerja disatukan, kemudian dikelola untuk produktivitas
proyek dan promotor kesehatan akan membutuhkan keterampilan tertentu
termasuk yang digunakan dalam komunikasi interpersonal dan fasilitasi
kelompok.

Pedoman Umum untuk Kelompok Produktif


Bekerja dalam kelompok untuk membuat program yang efektif
memerlukan pengelolaan kelompok yang baik oleh pemimpin kelompok maupun
oleh masing-masing anggota individu. Johnson dan Johnson (2008) menyarankan
bahwa, untuk sebagian besar tugas, kelompok yang efektif memiliki komunikasi
dua arah yang aktif yang didistribusikan di antara anggota kelompok, secara ketat
ke dan dari anggota kelompok dan pemimpin. Kepemimpinan dan tanggung
jawab untuk fungsi kelompok juga didistribusikan, termasuk pembuatan tujuan
dan agenda kelompok. Selanjutnya, tujuan harus jelas dan mencerminkan
kebutuhan individu dan kelompok. Kohesi kelompok dikembangkan melalui
tingkat masalah yang tinggi, kompetensi pemecahan, inklusi, afeksi, penerimaan,
dukungan, dan kepercayaan.

Proses Fasilitasi Kelompok

Proses Keterangan

Komunikasi

Memiliki Menggunakan kata ganti orang pertama tunggal (saya atau


Pernyataan saya)

Kelengkapan Dan Menyatakan dengan jelas semua informasi yang


Kekhususan diperlukan, termasuk konteks atau kerangka acuan,
maksud atau tujuan, dan asumsi

Kesesuaian Membuat komunikasi verbal dan nonverbal kongruen

Redundansi Menggunakan lebih dari satu saluran komunikasi (tertulis,


lisan, grafik) untuk memperjelas makna

Meminta Masukan Meminta informasi tentang bagaimana komunikasi


dipahami

Bingkai Dari Membuat komunikasi sesuai dengan kerangka acuan


Referensi penerima

Perasaan Menggambarkan perasaan dengan nama

Menggambarkan Menggambarkan perilaku orang lain tanpa mengevaluasi


Perilaku atau menafsirkan

Fungsi Tugas

Mengembangkan Memungkinkan kelompok untuk membuat daftar


Agendanya kegiatan, menetapkan prioritas, dan menganggarkan
waktu

Memulai Memulai diskusi yang mencakup penawaran substantif


(seperti latar belakang masalah) dan penawaran
metodologis (seperti saran untuk memulai dengan
brainstorming)

Informasi Memunculkan informasi terkait dengan meminta


Pencarian informasi, menjaga masalah agar tidak ditutup sebelum
waktunya, mendorong anggota untuk berbicara, menerima
orang dan ide

Memberi pendapat Membiarkan pendapat diberikan secara bebas dan


dihargai oleh kelompok sebagai berasal dari pengalaman
anggota

Elaborasi Meminta elaborasi pada gagasan yang dinyatakan


sebagian

Koordinasi Menggabungkan gagasan dari dua atau lebih anggota


(gagasan yang mungkin tampak berbeda pada awalnya)

Mempartisialisasi Menunjukkan perbedaan halus dalam dua ide yang


mungkin tampak sama pada pandangan pertama

Mengevaluasi Mengevaluasi ide tetapi bukan orang

Penataan Memutuskan dan memfasilitasi cara-cara di mana suatu


kelompok dapat bekerja, seperti menggunakan
subkelompok
Memindahkan kelompok melalui titik "macet" dengan
Memberi Energi merestrukturisasi pekerjaan atau proses. Misalnya,
memperkenalkan proses seperti brainstorming,
menggunakan humor, mengungkapkan perasaan, memberi
atau mendapatkan umpan balik

Meringkas Menyimpulkan poin, kemajuan, dan kebutuhan kelompok


secara lisan dalam pertemuan dan dalam catatan
pertemuan, ringkasan, dan item tindakan setelah
pertemuan

Sintesis Membuat makna dari berbagai ide yang diungkapkan


dalam kelompok

Fungsi Pemeliharaan Dan Membangun Tim

Gatekeeping Membuat kesempatan untuk berpartisipasi oleh anggota


kelompok yang kurang banyak bicara

Motivasi Mendorong anggota untuk berpartisipasi dalam kelompok

Harmonisasi Mencari tujuan bersama atau kesamaan dalam konflik

Konsensus Memodifikasi keputusan dan rencana kelompok sampai


Pencarian anggota kelompok relatif nyaman dan mendukung

Memberi Masukan Berbagi dengan seluruh kelompok deskripsi langsung,


spesifik, langsung tentang dampak komunikasi kelompok
atau individu.

Standar Pengaturan Menetapkan dan meninjau kembali norma-norma


kelompok mengenai efisiensi, keadilan, kekuasaan, dan
komunikasi

Pengolahan Menyisihkan menit akhir rapat untuk meninjau bagaimana


kemajuan pekerjaan dan bagaimana hal itu dapat
ditingkatkan

Johnson dan Johnson (2008) juga menyarankan bahwa jalan menuju


kekuasaan dan metode pengambilan keputusan adalah aspek penting lainnya dari
kelompok kerja. Kekuasaan dan pengaruh dalam kelompok yang efektif
cenderung didasarkan pada kemampuan dan informasi daripada posisi dan
disetarakan serta dibagikan melalui penetapan norma dan proses fasilitasi
kelompok. Selain itu, prosedur pengambilan keputusan harus didominasi oleh
konsensus dan harus sesuai dengan berbagai situasi tugas yang dihadapi kelompok
kerja. Salah satu dilema yang muncul sebagian dari fokus pada bukti ilmiah dalam
pekerjaan yang dilakukan adalah kecenderungan untuk secara tidak sengaja
mendevaluasi kontribusi dari non-akademik dalam kelompok kerja. Dalam
konteks ini, beberapa orang mungkin merasa kurang percaya diri atau kurang
diberdayakan untuk memberikan kontribusi daripada yang lain. Anggota
kelompok dapat menggunakan proses kelompok untuk memungkinkan dan
mendorong ide dan informasi dari banyak sumber. Tiga jenis fungsi kelompok
kerja meliputi:
a. Menghasilkan ide,
b. Pengambilan keputusan, dan
c. Pengembangan produk.

Ciri dari kelompok kerja yang produktif adalah kemampuan untuk


menghasilkan banyak ide dari informasi yang paling mudah diakses dan
pengalaman yang tersedia bagi anggota dan dari pengalaman yang kurang
digunakan dan kurang tersedia. Menggunakan semua ide dan data yang tersedia,
kelompok juga harus membuat keputusan dan memilih tujuan dan arah.
Berdasarkan keputusan, kelompok menghasilkan program dan komponennya.

Proses Fasilitasi Rapat Umum


(Bradford, 1976) Setiap kelompok tugas memiliki dua jenis kegiatan yang
diperlukan:
a. Terkait dengan pekerjaan yang ada
b. Terkait dengan proses kelompok

Tugas proyek adalah apa pun yang harus diselesaikan untuk melakukan
pekerjaan kelompok. Namun, kecuali jika hubungan di antara anggota kelompok,
perasaan inklusivitas, norma kelompok, prosedur yang dapat diprediksi, dan
masalah partisipasi dan kepercayaan ditangani melalui pemeliharaan kelompok
dan pembangunan tim, pekerjaan kelompok akan terganggu. Penerapan
keterampilan manajemen tugas yang baik juga dapat memfasilitasi pembangunan
dan pemeliharaan tim kelompok, yang sering terjadi bersamaan dengan tugas
tetapi juga terkadang membutuhkan waktu, usaha, dan keterampilan khusus
kelompok (Becker, Israel, & Allen, 2005; Bradford, 1976).

Tabel 4.2 menggambarkan proses yang dapat dipraktikkan untuk


mengembangkan kelompok kerja yang matang menjadi tim yang mampu
menghasilkan program yang lebih baik daripada yang dapat dibuat oleh satu
anggota tim saja. Mempraktikkan keterampilan proses kelompok memerlukan
keyakinan bahwa anggota kelompok individu membawa jenis kecerdasan,
perspektif, informasi, dan keterampilan yang unik ke dalam situasi pengembangan
program dan bahwa penerapan kontribusi yang beragam ini memperkuat program
yang dihasilkan. Manajemen kelompok dibangun dengan mendengarkan ide-ide
orang lain dengan kesediaan untuk meninjau dan membuat transparan untuk
tinjauan kelompok asumsi sendiri tentang masalah kesehatan dan solusinya
(Senge, 2006). Kumpulan perilaku komunikasi individu dalam tabel berasal dari
Johnson dan Johnson (2008), sedangkan perilaku manajemen kelompok berasal
dari Bradford (1976), Sampson dan Marthas (1990), dan Toseland dan Rivas
(2008).

Proses untuk Menghasilkan Ide


Meskipun semua kelompok kerja akan memiliki waktu ketika mereka
melakukan pertemuan semi-terstruktur dan "melakukan pekerjaan", mereka juga
memiliki waktu ketika aktivitas penting yaitu menghasilkan ide. Tujuan dari
pembangkitan ide adalah kuantitas dan kreativitas ide untuk merangsang kerja
kelompok. Ide-ide yang lebih mudah diakses akan muncul dengan cukup mudah;
materi yang kurang dapat diakses akan membutuhkan proses yang dirancang
untuk memunculkan kreativitas (de Bono, 1994). Terkadang, terutama dalam
kelompok yang kurang matang, sulit untuk memasukkan ide ke dalam permainan
karena anggota dapat berpartisipasi secara tidak setara berdasarkan status,
kekuasaan, hubungan, dan pengalaman. Sejumlah proses terstruktur dapat menjadi
latihan intermiten yang sangat penting untuk fungsi kelompok.

Brainstorming atau asosiasi bebas


Mendorong anggota kelompok untuk menghasilkan dan merekam ide-ide
yang belum diedit dalam menanggapi sebuah pertanyaan. Melihat ide-ide anggota
kelompok yang direkam pada papan-papan besar berfungsi untuk menghasilkan
ide-ide anggota individu (Buunk & van Vugt, 2008; Preskill & Jones, 2009).

Teknik kelompok nominal


Dilakukan sebagai tanggapan atas pertanyaan yang diajukan, tetapi ide-ide
dihasilkan secara independen oleh setiap anggota dan kemudian dibagikan satu
per satu (Delbecq, 1983; Moon, 1999). Untuk penilaian kebutuhan, pertanyaannya
mungkin seperti, “Di lingkungan ini, ancaman kesehatan apa yang paling
mengkhawatirkan Anda?” Anggota memberikan jawaban atas pertanyaan satu per
satu, gaya round-robin. Fasilitator mencatat jawaban, menggunakan papan atau
pad besar. Setelah klarifikasi dari daftar jawaban, anggota kelompok membuat
peringkat awal, yang mereka catat dan diskusikan. Pemungutan suara kedua
diambil, menghasilkan prioritas akhir (Gilmore & Campbell, 2005). Pendekatan
yang lebih formal untuk proses ini, pemetaan konsep, menggunakan skala
multidimensi dan analisis cluster untuk mengembangkan tampilan visual dari
tema atau kategori (McFall et al., 2008; Trochim, Cook, & Setze, 1994; Trochim,
Milstein, Wood, Jackson , & Pressler, 2004; Trochim, 1989). Teknik-teknik ini
menyamakan partisipasi dan juga memiliki manfaat tambahan yang
memungkinkan perencana meninggalkan pertemuan dengan daftar jawaban atas
pertanyaan yang diajukan daripada transkrip tebal yang merupakan keluaran dari
kelompok fokus.

Menanggapi Makalah atau Presentasi Bukti


Adalah cara yang efisien bagi kelompok perencanaan untuk berpindah di
antara langkah-langkah Pemetaan Intervensi. Misalnya, data dari satu fase
penilaian kebutuhan dapat diringkas dan disajikan kepada kelompok perencanaan
untuk membangun fondasi fase pengumpulan data berikutnya. Data dan informasi
dari penilaian kebutuhan dapat disajikan kepada kelompok untuk memungkinkan
keputusan tentang apa yang harus diubah dan pengembangan matriks. Anggota
tim melakukan pengumpulan dan analisis data penilaian kebutuhan di dua lokasi
yang jauh secara geografis. Anggota kelompok bertemu tatap muka, berbagi
temuan dari penilaian, dan berdasarkan persentase dari beberapa kelompok kerja,

Pemikiran di Luar Topik


Mirip dengan proses kelompok nominal kecuali bahwa individu menulis
jawaban mereka untuk satu pertanyaan pada catatan Post-it. Satu per satu, para
anggota memposting catatan di dinding atau papan tulis dalam kategori tema yang
muncul. Kategori berkembang karena semakin banyak catatan yang diposting.
Anggota yang memposting kemudian menawarkan modifikasi kategori ke grup
berdasarkan penambahan yang mengubah konten dan makna kategori dan
batasannya.

Pengambilan Keputusan dengan Konsensus dan Resep untuk Konflik Kreatif


Untuk sebagian besar keputusan yang dibuat pada tim perencanaan
promosi kesehatan, konsensus adalah proses pengambilan keputusan pilihan.
Sebagian besar keputusan mengharuskan anggota kelompok untuk menimbang
dan memahami bukti mengenai tindakan tertentu dan untuk memperdebatkan
berbagai keputusan kelompok berdasarkan bukti itu. Pemungutan suara dan aturan
mayoritas biasanya tidak efektif untuk perencanaan promosi kesehatan karena
tidak bekerja untuk mendorong diskusi penuh atau menggunakan pendapat
minoritas dalam proses pengambilan keputusan. Secara umum, keputusan harus
bergantung pada interpretasi bukti, dan pemungutan suara bukanlah cara yang
berguna untuk menilai bukti. Keinginan untuk mengajukan pertanyaan ke
pemungutan suara dalam kelompok kerja biasanya menunjukkan penutupan
musyawarah yang terlalu dini tentang suatu masalah.

Untuk mencapai konsensus, sebuah kelompok perlu mencari perbedaan


pendapat di antara para anggota; membantu setiap orang yang tertarik untuk
mempresentasikan suatu posisi dengan jelas, lengkap, dan persuasif;
mempertimbangkan secara kritis semua posisi yang disajikan; mendorong para
anggota untuk bersedia mengubah pikiran mereka ketika mereka secara logis telah
diyakinkan tentang manfaat argumen orang lain; menoleransi dan bahkan
mendorong konflik intelektual dan menghindari penutupan argumen sebelum
waktunya; dan fokus pada tujuan untuk mencapai keputusan terbaik (Johnson &
Johnson, 2008). Konsensus bukanlah kebulatan suara. Anggota kelompok harus
bersedia mendukung keputusan sidang, tetapi mereka tidak perlu antusias dengan
arah kelompok. Kepemimpinan yang buruk dan terkadang pemikiran kelompok
dapat mengakibatkan penghindaran konflik dan serangkaian proses pengambilan
keputusan yang buruk termasuk penyensoran diri; pengungkapan yang tidak
lengkap dari reservasi, kontra argumen, dan tindakan alternatif; perasaan kebal
terhadap efek samping atau konsekuensi yang tidak diinginkan dari tindakan yang
diusulkan; rasionalisasi; dan pengecualian kritik (Johnson & Johnson, 2008;
Sternberg, 2007).
Untuk membuat keputusan sebaik mungkin, kelompok yang berfungsi
dengan baik merangkul konflik dengan cara yang membangun dan memperluas
proses konsensus. Anggota kelompok melanjutkan melalui proses berikut
(Johnson & Johnson, 2008):
a. Mengumpulkan dan mengatur informasi untuk mengklarifikasi masalah
atau kebutuhan akan keputusan;
b. Menyajikan berbagai posisi, jawaban, atau alternatif;
c. Mendengar dari anggota dengan pandangan yang berlawanan;
d. Secara aktif mengakui konflik konseptual dan ketidakpastian;
e. Mencari lebih banyak informasi untuk memahami situasi dari perspektif
yang berlawanan; dan
f. Mensintesis ide-ide yang disajikan dalam konflik untuk menyatakan
proposisi atau jawaban baru

Tujuan, Garis Waktu, dan Tugas yang Ada


Proses pembuatan ide dan pengambilan keputusan dapat bervariasi dari
beberapa menit hingga beberapa bulan. Sebuah kelompok kerja membutuhkan
struktur dan bimbingan untuk menghasilkan produk akhir dari inisiatif. Alat untuk
menjaga kelompok tetap pada jalurnya melalui pekerjaan proyek mencakup
agenda pertemuan partisipatif, jadwal terperinci, proses untuk penetapan tujuan,
dan waktu di setiap pertemuan untuk memberikan penjelasan tentang kemajuan
kelompok. Kelompok juga akan membutuhkan rencana kerja yang sistematis
seperti Intervention Mapping.

Kelompok Kerja dan Pertimbangan Budaya


Pentingnya pertimbangan budaya dalam perencanaan intervensi. Salah
satunya mengembangkan perspektif kesederhanaan budaya. Beberapa cara
mempersiapkan diri untuk bekerja antar budaya dan mengembangkan program
serta materi. Proses pertama dalam memulai praktik promosi kesehatan secara
umum, dan setiap proyek pada khususnya, yaitu mempertimbangkan komunitas
dan kelompok budaya serta sub kelompoknya dan memastikan bahwa kelompok-
kelompok tersebut terwakili dalam tim perencanaan. Untuk mengatasi masalah
kesehatan prioritas secara efektif, pendidik kesehatan harus mampu
mengembangkan program yang sesuai dengan budaya karena budaya bukanlah
masalah ras dan etnis saja. Etnisitas hanyalah salah satu dari beberapa sebutan
kelompok yang bertindak untuk menentukan aspek-aspek yang bertahan lama dari
suatu budaya kelompok. Aspek kedua adalah proses pengembangan pribadi yang
berkelanjutan untuk dapat bekerja antar maupun dalam budaya. Pekerjaan pribadi
ini melibatkan proses mendengarkan secara mendalam orang-orang dengan siapa
seseorang bekerja serta eksplorasi aktif etnosentrisme pribadi seseorang. Triandis
(1994) menyatakan bahwa, dalam mengamati budaya lain, kita manusia melihat
dunia melalui lensa siapa kita daripada melihat dunia apa adanya. Budaya dapat
didefinisikan sebagai pedoman implisit dan eksplisit yang diwarisi individu
sebagai anggota kelompok tertentu.
Pedoman ini memberi tahu orang-orang dalam suatu budaya bagaimana
memandang dan mengalami dunia mereka dan bagaimana berperilaku dalam
hubungannya dengan orang lain, dengan kekuatan supernatural, dan lingkungan
(Helman, 1990). Semakin banyak budaya berbeda satu sama lain, semakin tinggi
jarak budaya; dan semakin kecil kemungkinan bahwa orang-orang dari budaya
yang berbeda itu akan memberikan arti yang sama pada kata-kata, gerak tubuh,
dan simbol. Triandis (1994) menggambarkan etnosentrisme pribadi sebagai rasa
superioritas individu dalam menanggapi cerita dari budaya lain dan kebosanan
pada ekspektasi cerita dari budaya sendiri. Karena kebosanan ini, orang-orang
seperti itu tidak berusaha memahami sudut pandang mereka sendiri atau
mengeksplorasi budaya mereka sendiri. Stereotip, bias, dan rasisme dapat terjadi
dalam inkubator etnosentrisme jika individu mulai menganggap atribut yang sama
untuk semua anggota kelompok (Sue, 2003). Manusia memiliki banyak kesamaan
serta banyak atribut yang berbeda dari budaya ke budaya. Selain itu, individu
dalam suatu budaya memiliki banyak perbedaan satu sama lain. Stereotip dapat
mengaburkan kedua fakta ini. Upaya dangkal untuk menarik unsur-unsur budaya
lain dalam situasi pendidikan hanya dapat memperburuk kecenderungan stereotip
(Rios, McDaniel, & Stowell, 1998).

Menjelajahi Etnosentrisitas Pribadi


Mulai mendeskripsikan budaya sendiri bisa menjadi awal pembebasan dari
etnosentrisme. Locke (1986, 1992) menawarkan serangkaian pertanyaan berikut
sebagai panduan untuk langkah pertama dalam mengembangkan kesadaran diri
budaya:
a. Apa warisan budaya saya? Apa budaya orang tua dan kakek-nenek saya?
Dengan kelompok budaya apa saya mengidentifikasi?
b. Apa relevansi budaya dari nama saya?
c. Nilai, keyakinan, pendapat, dan sikap apa yang saya pegang yang
konsisten dengan budaya dominan? Yang tidak konsisten? Bagaimana
saya mempelajari ini?
d. Bagaimana saya memutuskan untuk menjadi pendidik kesehatan? Standar
budaya apa yang terlibat dalam proses tersebut? Apa yang saya pahami
sebagai hubungan antara budaya dan pendidikan kesehatan?
e. Kemampuan, aspirasi, harapan, dan keterbatasan unik apa yang saya miliki
yang dapat mempengaruhi hubungan saya dengan individu yang beragam
budaya?

Melalui proses menangguhkan dan kemudian mengamati cara kebiasaan


seseorang berhubungan dengan kelompok lain dan kemudian mengamati cara
khas seseorang dalam melihat dan berhubungan dengan orang lain, seseorang
dapat bergerak melalui tahapan untuk mencapai kesadaran budaya yang lebih
besar, kepekaan atau bahkan kerendahan hati. Tahapan tersebut dapat meliputi:
(1) Perasaan takut, permusuhan, pembelaan diri, dan superioritas;
(2) Penyangkalan terhadap perbedaan budaya;
(3) Penerimaan dan penghormatan budaya;
(4) Empati;
(5) Integrasi, multikulturalisme, dan keadilan sosial

Buku tentang mengatasi rasisme pribadi menyarankan tahap akhir


komitmen terhadap tindakan anti-rasis yang mencakup secara aktif mencari
informasi tentang rasisme; terlibat dalam hubungan antar ras; mendiskusikan
masalah rasial dengan orang kulit berwarna; mengekspresikan pandangan ras dan
budaya yang positif kepada teman dan keluarga; berbicara menentang cercaan
rasial; dan bekerja dalam kelompok dan untuk kebijakan dengan tujuan dan misi
anti rasisme dan multikulturalisme (Sue, 2003). Proses pertumbuhan ini
membutuhkan motivasi aktif untuk mengeksplorasi reaksi pribadi dan dapat
dibantu dengan menulis catatan lapangan dan entri jurnal selama pertemuan lintas
budaya. Selain itu, belajar bahasa lain memberikan kesempatan yang sangat
berharga untuk wawasan budaya. Sebagai langkah selanjutnya, seseorang dapat
menyusun peluang dalam kelompok kerja untuk mengungkapkan latar belakang
pribadi termasuk yang terkait dengan hak istimewa dan kekuasaan (Tervalon &
Murray-Garcia, 1998; Wallerstein & Duran, 2006).

Menjelajah dan Bekerja di Budaya Lain


Hanya orang yang sadar akan lensa etnosentrisnya yang dapat secara
efektif mengeksplorasi dan bekerja dalam budaya lain. Prasyarat mutlak lainnya
untuk bekerja di budaya lain adalah mampu mengidentifikasi dan merangkul
aspek-aspek positif dari budaya tersebut (Airhihenbuwa & Liburd, 2006). Salah
satu cara untuk mengidentifikasi secara jelas aspek positif dari suatu budaya yang
terkait dengan kesehatan adalah model PEN-3 (Airhihenbuwa, 1995; 1999;
Airhihenbuwa & Liburd, 2006). Dalam model ini, perencana mempertimbangkan
tiga domain budaya (Airhihenbuwa & Webster, 2004; Fitzgibbon & Beech, 2009).
yaitu
a. Domain pertama memandu pilihan populasi prioritas melalui
pertimbangan keluarga besar dan komunitas serta individu.
b. Domain kedua, hubungan dan harapan, mempertimbangkan aspek budaya
yang dapat mempengaruhi kesehatan dan perilaku termasuk persepsi,
enabler, dan pengasuh.
c. Dimensi ketiga, pemberdayaan budaya, menunjukkan valensi hubungan
dan persepsi sebagai positif, negatif, atau eksistensial (tidak positif atau
negatif dalam kaitannya dengan kesehatan)

Dalam model lain, Locke (1992) menyarankan untuk meneliti sepuluh


elemen budaya berikut untuk mulai mengeksplorasi budaya lain:
a. Derajat akulturasi
b. Kemiskinan
c. Sejarah penindasan
d. Bahasa dan seni
e. Rasisme dan prasangka
f. Faktor sosial politik
g. Praktek membesarkan anak
h. Praktek keagamaan
i. Struktur keluarga
j. Nilai dan sikap

Triandis (1994) menyajikan struktur yang berbeda untuk melihat budaya


dengan menggambarkan sindrom budaya individualisme versus kolektivisme,
kompleksitas versus kesederhanaan, dan keketatan versus kelonggaran. Dalam
budaya individualis, keinginan individu memiliki prioritas yang sangat tinggi,
sedangkan dalam budaya kolektif, kelompok dan kebutuhannya adalah yang
terpenting. Dalam budaya yang ketat, ada kesepakatan yang cukup besar tentang
norma-norma perilaku yang benar. Memahami unsur-unsur sindrom ini mungkin
sangat membantu bagi pendidik kesehatan. Karakter dari individualisme dan
kolektivisme memiliki beberapa implikasi khusus. Misalnya, peran kelompok
dapat mempengaruhi isi pesan pendidikan kesehatan. Jika fokus dalam suatu
budaya adalah melakukan apa yang diinginkan kelompok, pesan mungkin
diarahkan secara berbeda dari pada budaya di mana penekanannya adalah pada
individu.
Pengaruh kuat norma dan tujuan yang relevan dengan peran dalam budaya
kolektivis membuat saling ketergantungan dan keterikatan perilaku sosial yang
lebih besar. Mungkin jauh lebih sulit dan pada dasarnya tidak efektif bagi
seseorang dari budaya kolektivis untuk berpartisipasi dalam program yang
semata-mata berorientasi pada individu. Ford dan Airhihenbuwa (2010)
mengusulkan pertimbangan eksplisit rasisme dalam promosi kesehatan, baik
dalam menjelaskan disparitas maupun dalam pengembangan intervensi. Mereka
mengusulkan kerangka analitik Teori Ras Kritis (Bonilla-Silva, 2006; Delgado &
Stefancic, 2001; Valdes, Culp, & Harris, 2002) sebagai lensa untuk
mempertimbangkan rasisme sebagai penentu kesenjangan dalam kesehatan.
Konsep kunci dalam teori ini adalah kesadaran ras atau pertimbangan eksplisit
tentang kemungkinan pengaruh ras dan rasisme sebagai penentu perilaku dan
kesehatan pada tingkat individu, antarpribadi, komunitas, dan masyarakat;
centering in the margins, yaitu fokus wacana dari dalam perspektif kelompok
yang terpinggirkan daripada dari sudut pandang mayoritas
PLANNING AND CONDUCTING THE NEEDS ASSESSMENT

Persiapan dan Memulai Needs Assessment

1. Menggunakan Model PRECEDE untuk Mengonseptualisasikan Needs


Assessment

Sebelum memulai assessment, perencana dan kelompok sasarannya perlu


untuk membuat perencanaan mengenai bagaimana mengidentifikasi masalah
kesehatan atau kebutuhan masyarakat sasaran. Dengan membuat model dri
permasalahan yang ada akan membatu program planner untuk mengidentifikasi
apa yang terjadi dan sekiranya pertanyaan-pertanyaan apa saja yang perlu untuk
disampaikan di needs assessment. Selain itu hal ini juga dapat membantu untuk
mengidentifikasi perubahan-perubahan apa saja yang diperlukan untuk
menyelesaikan permasalahan dan bagaimana langkah yang tepat untuk
mengintervensi.

Dalam hal ini perlu ditentukan definisi atau deskripsi dari permasalahan
yang ada serta dilakukan identifikasi level, setting, organisasi, dan pihak-pihak
mana saja yang terlibat dalam permasalahan yang terjadi. Beda stakeholder maka
persepsi atau pandangan mereka terhadap permasalahan yang terjadi juga akan
berbeda, bergantung pada posisi, peran, serta pengalaman. Oleh karena itu dialog
dengan stakeholder perlu untuk dilakukan.

Pada tahap ini digunakan model PRECEDE yang telah termodifikasi.


Dengan menggunakan PRECEDE maka akan dapat membantu program planner
untuk menganalisis penyebab permasalahan kesehatan dari berbagai level dan
beberapa determinan seperti perilaku yang berkaitan dengan kesehatan dan
lingkungan. PRECEDE membantu program planner dalam mengidentifikasi
penyebab permasalahan kesehatan baik dari aspek sosial maupun lingkungan.
PRECEDE pada mulanya bukanlah sebuah model yang digunakan untuk
menggambarkan intervensi kesehatan, namun cenderung ke sebuah pendekatan
berbasis outcome dalam perencanaan. Model ini membantu program planner
untuk membuat list keputusan yang nantinya akan disepakati oleh pelaku
program. PRECEDE juga menggambarkan perluasan sistem, sehingga kita dapat
menentukan apakah perlu untuk mempertahankan semua bagian dari sistem,
ataukah perlu dilakukan pengembangan atau perbaikan pada salah satu
diantaranya. PRECEDE membantu menganalisis dan menggambarkan determinan
kognitif, perilaku berisiko, serta berbagai level faktor lingkungan yang
berpengaruh terhadap permasalahan kesehatan ataupun sebelum permasalahan
kesehatan terjadi.

2. Membangun Logic Model Permasalahan berdasarkan PRECEDE

Dalam mengembangkan model ini, program planner memulainya dari


kanan ke kiri (berdasarkan framework) dimulai dengan mendeskripsikan quality
of life dan permasalahan kesehatan. Namun untuk melihat causal model maka
cara membacanya adalah dari mulai kiri ke kanan. Misalnya saja dalam kasus
penyakit kardiovaskuler, maka mortalitas pada usia yang lebih dini dan morbiditas
adalah permasalahan kesehatan. Sedangkan loss of productivity dan burden
penyakit jantung merupakan isu-isu quality of life yang dihadapi baik oleh
individu maupun masyarakat. Untuk mengoptimalkan framework maka perilaku
dan faktor lingkungan penyebab juga perlu dipertimbangkan dengan
menambahkan data-data berbasis evidence yang ada.

Pada analisis perilaku (behavioural analysis), maka dilakukan analisis terhadap


perilaku individu yang meningkatkan risikonya mengalami permasalahan
kesehatan. Pada konsep secondary dan tertiary prevention maka dilakukan
investigasi terhadap perilaku yang meningkatkan risiko untuk mengalami
disability atau meninggal akibat mengalami permasalahan kesehatan.

Sedangkan pada analisis lingkungan (environmental analysis) dilakukan


analisis kondisi lingkungan sosial dan physical yangberpengaruh terhadap
terjadinya permasalahan kesehatan baik secara langsung maupun tidak langsung
(melalui perilaku tertentu). Lingkungan menjadi faktor yang secara signifikan
mempengaruhi namun menjadi faktor yang paling memungkinkan untuk
dilakukan modifikasi.
Melalui modifikasi diagram Richard dan koleganya (1996), maka dapat
digambarkan interaksi tiap level yang ada pada lingkungan (interpersonal,
organizational, community, societal). Ketika konsep ini ditransformasikan
menjadi sebuah konsep need assessment maka akan dapat diketahui bahwa
interaksi yang terbentuk antar level atau dapat dikatakan semua level yang ada
berpengaruh terhadap terbentuknya suatu perilaku pada individu.

Tahap selanjutnya dalam logic model ini yaitu analisis determinan


perilaku dan lingkungan secara personal. Terkadang suatu kejadian terjadi karena
hubungan korelasional daripada hubugan sebab akibat, dan determinan yang ada
seringkali bersifat hipotesis. Determinan personal berada di tingkat individu yang
meliputi predisposing factors seperti pengetahuan, sikap, kemampuan,
kepercayaan, nilai-nilai, dan persipsi yang memotivasi individu untuk melakukan
perubahan.

Faktor yang tidak dapat dimodifikasi dalam PRECEDE seprti natural


history of disease tidak digunakan dalam menggambarkan perencanaan needs
assessment.

3. Model Needs Assessment

Meskipun logic model seringkali dimulai dari kanan ke kiri, namun health
promotion planner seringkali tidak dapat memulai dari quality of life assessmen
karena seringkali fokus mereka adalah pada permasalahan kesehatan atau perilaku
berisiko dan kondisi lingkungan. Beberapa program planner memilih untuk
memulai need assessment dalam parameter yang luas, baik mendesain kesehatan
dan quality of life ataupun menentukan isu kesehatan yang mana yang akan
dikerjakan. Melalui asesmen quality of life maka edukator kesehatan akan dapat
mendeskripsikan permasalahan kesehatan yang terkait dengan isu quality of life
dan akan mendokumentasikannya. Mengingat akan terdapat list yang panjang
terkait dengan health related problems, maka nantinya akan ditentukan
permasalahan utama yang akan menjadi prioritas dalam komunitas. Oleh Karena
itu terkadang program planner langsung berfokus pada permasalahan kesehatan
spesifik beserta dengan perilaku kesehatan berisiko dan masalah lingkungan yang
terkait. Namun pada intinya, dimanapun titik dimulainya needs assessment semua
fase dalam model akan tetap dipertimbangkan atau digunakan oleh program
planner (di semua level). Mengingat kesehatan masih berkaitan dengan quality of
life serta perilaku dan lingkungan juga sama sama berkaitan dengan kesehatan.

CONDUCTING THE NEEDS ASSESSMENT

Pada setiap bagian dari need assessment logic model, perencana akan
mengajukan pertanyaan, bertukar pikiran atau mencari tahu apa yang sudah
diketahui kelompok perencanaan sehubungan dengan pertanyaan yang diajukan,
mencari literatur untuk bukti empiris dan mengevaluasi kekuatan bukti, akses dan
penggunaan teori ketika sesuai pertanyaan menyangkut determinan dan
melakukan penelitian baru dan mengembangkan ringkasan akhir jawaban atas
pertanyaan yang diajukan.

Describing the Population at Risk and Environmental Context

Sebutan “populasi berisiko”mengacu pada kelompok dengan batasan yang dapat


ditentukan dan dikarakteristikan bersama yang memiliki atau berisiko terhadap
masalah kesehatan dan kualitas hidup tertentu, atau yang memiliki masalah
kesehatan dan berisiko mengalami gejala atau memiliki kebutuhan yang
teridentifikasi untuk intervensi yang akan memungkinkan individu untuk
mencegah penyakit atau meningkatkan kesehatan mereka. Untuk meletakan dasar
intervensi, perencana juga akan memperhatikan konteks lingkungan dari
lingkungan berisiko. Lingkungan dapat berkontribusi langsung terhadap masalah
kesehatan, seperti dalam kasus minum air yang terkontaminasi menyebabkan
diare. Atau, bisa juga pengaruh yang tidak langsung, seperti kontribusi jejaring
sosial terhadap kelanjutan kebiasaan merokok. Terdapat empat tingkat analisis
dalam konteks lingkungan:

● Interpersonal
● Organizational
● Community
● Societal

Tingkatan tersebut mirip dengan yang dikemukakan oleh Richard and colleagues
(1996). Penambahan tingkat interpersonal untuk memfasilitasi pemikiran tentang
intervensi, dan memasukan tingkat supranational kedalam societal untuk alasan
yang sama.

Organisasi adalah sistem dengan tujuan khusus dan dengan proses


pengambilan keputusan bertingkat formal. Contohnya sekolah, asosiasi
profesional dan perusahaan (Richard et al., 1996). Komunitas menurut Richard
merupakan wilayah geografis yang terdiri dari orang dan organisasi. Komunitas
adalah sistem dimana orang-orang terhubung bersama dalam jejaring sosial yang
dapat berkontribusi baik untuk penyebab maupun penyembuh masalah kesehatan.
Selain batas-batas geopolitik, ada batas-batas demografis (status sosial ekonomi,
gender, usia) dan batas-batas demografis-etnis. Seperti dijelaskan di atas, model
PEN-3 menawarkan serangkaian konstruksi untuk bergerak melampaui pelabelan
kelompok prioritas berdasarkan ras atau etnis dan dapat membantu pendidik
kesehatan memahami faktor budaya yang dapat mempengaruhi penyebab dan
solusi masalah kesehatan.

Masyarakat adalah sistem yang lebih besar yang memiliki sarana untuk
mengontrol beberapa aspek kehidupan dan pengembangan sistem penyusunannya.
Seringkali dalam penilaian masalah kesehatan, keterkaitan dalam populasi
berisiko mungkin karena semua anggota memiliki faktor risiko atau masalah
kesehatan yang sama. Terkadang individu-individu ini berkumpul dalam
organisasi untuk saling mendukung. Cakupan luas dari konteks lingkungan dari
masalah kesehatan menunjukan tidak hanya penyebab kompleks dari kesehatan
dan penyakit tetapi juga perlunya pendidikan kesehatan dan intervensi promosi di
berbagai tingkatan dan di berbagai tempat. Tugas penting dalam melakukan
penilaian kebutuhan adalah untuk menggambarkan individu yang memiliki
masalah kesehatan atau berisiko masalah kesehatan dan siapa serta apa akibatnya
merupakan penerima manfaat potensial dari intervensi promosi kesehatan.
Manfaat dari penerima program berupa pengurangan risiko atau peningkatan
status kesehatan atau kualitas hidup. Oleh karena itu, ketika melakukan penilaian
kebutuhan, analisis kesehatan dan kualitas hidup selalu difokuskan pada populasi
berisiko.

Health Problems and Quality of Life

Sebagian besar pendidik kesehatan memulai penilaian kebutuhan dengan


beberapa gagasan tentang risiko atau masalah kesehatan yang dimiliki oleh
kelompok populasi. Dengan menggunakan konsep epidemiologi, studi tentang
kejadian dan distribusi penyakit dan faktor risiko dalam populasi, untuk lebih
mendefinisikan sifat masalah kesehatan dan populasi yang menjadi faktor
penilaian kebutuhan dalam proses yang interaktif.

Rates and Risk

Luasnya masalah kesehatan biasanya digambarkan sebagai suatu tingkatan


sehingga perbandingan antara kelompok dan wilayah geografis dan penilaian
tentang pentingnya atau keseriusan masalah dapat dibuat. Suatu rate dapat berupa
insiden kasus baru dari suatu masalah dalam jangka waktu tertentu, atau
prevalensi jumlah kasus yang ada. Konsep penting lainnya adalah probabilitas
atau risiko berkembangnya penyakit dari waktu ke waktu. Karena merupakan
probabilitas, risiko sensitif terhadap periode waktu dimana pengamatan dilakukan.
,misalnya, risiko terkena kanker paru-paru bagi seorang perokok meningkat
seiring dengan bertambahnya periode pengamatan.

Exploring Possible Causes of Health Problems

Faktor risiko adalah perilaku atau kondisi lingkungan yang mempengaruhi


kesehatan populasi. Ukuran yang paling umum digunakan dari hubungan antara
paparan faktor risiko dan perkembangan masalah kesehatan terkait adalah risiko
relatif atau rate ratio. Risiko relatif adalah kejadian masalah pada mereka yang
terpapar faktor risiko dibagi dengan kejadian masalah pada mereka yang tidak
terpapar faktor risiko.
Behavior of the At-Risk Group

Beberapa perilaku kelompok berisiko mungkin berhubungan secara kausal dengan


masalah kesehatan. Misalnya, sejumlah besar bukti epidemiologis menunjukan
bahwa merokok dikaitkan dengan berbagai jenis kanker dan penyakit
kardiovaskuler. Ini adalah hubungan dosis-respons, dan merupakan bukti
epidemiologis tingkat yang lebih tinggi.

Environment

Lingkungan fisik dan sosial harus menjadi fokus utama dalam studi penilaian
kebutuhan. Misalnya, dalam suatu penelitian tentang lingkungan sosial dan fisik
yang berkaitan dengan nutrisi dan aktivitas fisik siswa sekolah menengah,
menemukan aspek lingkungan interpersonal siswa (interaksi dengan teman sebaya
dan guru) yang mungkin berhubungan dengan aktivitas fisik, khususnya
partisipasi dalam kelas olahraga. Schulz dan Northridge (2004) mengemukakan
tiga tingkat penentuan kesehatan lingkungan:

1. Tingkat Fundamental atau makro, termasuk faktor makrososial seperti:


kondisi historis dan tatanan ekonomi bersama dengan ketidaksetaraan
seperti sebagai distribusi kekayaan materi.
2. Tingkat Menengah atau meso atau komunitas, termasuk aspek lingkungan
binaan seperti taman dan konteks sosial seperti kapasitas masyarakat.
3. Tingkat Terdekat atau makro atau interpersonal, termasuk karakteristik
seperti kondisi kerja dan perumahan serta sosial integrasi dan dukungan.

Gambar Environmental Leaves and Their Impact on Health


Determinants of Behavior and Environmental Risks

Bagian selanjutnya dari penilaian kebutuhan adalah mengajukan pertanyaan


terkait faktor-faktor apa saja yang menyebabkan atau dengan cara tertentu
mengubah perilaku kelompok resiko atau risiko lingkungan. Dalam contoh
mengajukan pertanyaan tentang determinan dalam penilaian kebutuhan, Partin dan
Slater (2003) berusaha mengungkap hambatan utama wanita dalam penggunaan
mamografi. Didapatkan bahwa hambatan terpenting mereka adalah:

● Kesulitan menemukan waktu


● Tidak menyetujui bahwa mamografi dapat memberikan pemikiran lebih
tenang
● Hanya pergi ke dokter ketika merasa sakit
● Tidak ada yang mengingatkan mereka untuk melakukan mamografi.

SOURCES OF NEEDS-ASSESSMENT DATA


Mayoritas dari analisis kebutuhan membutuhkan berbagai macam sumber
data termasuk pengukuran secara kualitatif dan kuantitatif karena responden akan
menjawab beberapa pertanyaan dan seringkali mereka mencari sudut pandang
yang berbeda dari jawaban yang tersedia. Peneliti sebaiknya mempertimbangkan
data-data terdahulu yang didapatkan dari peneliti lain, biaya, waktu, serta
halangan-halangan untuk mengumpulkan data, tingkat interaksi yang diinginkan
dengan responden, dan stakeholder apa yang harus terlibat.
Altschuld dan Kumar (2010) mengusulkan bahwa peneliti mengutamakan
pemilihan sumber data berdasarkan pertanyaan yang ditanyakan dalam analisis
dan pendapat terkait tipe data yang bisa digunakan untuk menjawab pertanyaan.
Sumber-sumber data untuk melakukan analisis promosi kesehatan antara lain:
1. Archival data, seperti data organisasi, data demografik, data
sensus, daftar penyakit, rekam medis, dan basis data yang bersifat
publik.
2. Communicative—non interactive primary data collection, seperti
survei yang dilakukan melalui internet atau surel dan pelaksanaan
survei dengan metode delphi serta observasi melalui internet atau
surel
3. Communicative—interactive, seperti Focus Group, wawancara
key-person, wawancara individu, dan pelaksanaan proses
penelitian secara daring

A. Menggabungkan Data Kualitatif dan Kuantitatif

Metode penelitian kuantitatif seperti survei dan daftar penyakit


memungkinkan peneliti untuk memperkirakan insiden dan prevalensi dari
permasalahan kesehatan dan perilaku terkait dalam populasi berisiko. Metode
kuantitatif juga bisa memperkirakan seberapa kuat korelasi dari faktor determinan
dengan perilaku berisiko. Sementara metode kualitatif bisa membantu edukator
kesehatan untuk lebih mengerti dinamika dari suatu komunitas, masalah
kesehatan, penyebab perilaku dan lingkungan, dan faktor determinan berdasarkan
sudut pandang dari masyarakat yang terlibat (Farquhar, Parker, Schulz, & Israel,
2006).
Dua pendekatan (kualitatif dan kuantitatif) yang digunakan bersama dapat
menghasilkan analisis yang lebih bisa digunakan, luas, dan akurat berdasarkan
informasi tentang dan dari anggota komunitas tertuju. Namun, tiap pendekatan
harus digunakan sesuai dengan anggapan masing-masing dan pembaca harus
diarahkan ke teks yang berisi instruksi mengenai penggunaan metode kualitatif
dan kuantitatif. Patton (1990, 2001) menggambarkan pendekatan kualitatif
sebagai pendekatan yang induktif, berorientasi pada penemuan, menghasilkan
teori dan pertanyaan, subjektif dan valid dengan orang yang menjadi instrumen,
berorientasi pada kasus, dan tidak bisa digeneralisasi. Sedangkan pendekatan
kuantitatif merupakan metode yang bersifat deduktif, berorientasi pada verifikasi
teori, menjawab pertanyaan, objektif dan bisa diandalkan, berorientasi pada
populasi, dan bisa digeneralisasi. Morgan (2006) berpendapat bahwa ketika
peneliti menggunakan kedua metode, ada dua dimensi dari penggunaan, yaitu
urutan dan prioritas. Kedua metode bisa digunakan dengan pemberian atau pada
waktu yang sama, tetapi proses analisis data bisa menjadi lebih sulit ketika tidak
ada pemberian prioritas dan urutan.
Steckler dan rekan (1992b) menyampaikan 4 model yang berisi cara
metode kualitatif dan kuantitatif dapat digunakan dalam proses evaluasi program
secara bersamaan, yaitu:
1. Model 1, dimana metode kualitatif digunakan untuk membantu
mengembangkan pengukuran dan instrumen kuantitatif
2. Model 2, dimana metode kualitatif digunakan untuk membantu
menjabarkan penemuan kuantitatif
3. Model 3, dimana metode kuantitatif digunakan untuk
memperlengkap studi kualitatif utama
4. Model 4, dimana metode kualitatif dan kuantitatif digunakan
secara bersamaan

B. Data Arsip
Data arsip atau data sekunder merupakan data yang sudah dikumpulkan
untuk tujuan lain selain analisis kebutuhan. Lembaga pemerintahan, kesehatan,
jasa kemasyarakatan, dan agensi pendidikan mengumpulkan data yang
menggambarkan permasalahan kesehatan dan demografi yang bisa berguna untuk
peneliti. Data-data tersebut bisa dalam bentuk data sensus, dimana tujuannya
adalah untuk menjelaskan secara detail tiap kegiatan atau orang, seperti catatan
kelahiran dan kematian; atau bisa dalam bentuk data survei, dimana data tersebut
digunakan untuk mendapatkan sampel perwakilan dari populasi yang diteliti.

B. Data Primer dari Individu

Beberapa metode pengumpulan data dari individu dan sumber primer


dalam survei penelitian (Dillman et al., 2008):
a. Survei
Survei tertulis dan melalui telepon merupakan metode survei yang
paling umum digunakan, dengan survei melalui internet mengalami
peningkatan popularitas. Seperti semua kegiatan pengumpulan
data, pertanyaan dalam survei harus dihubungkan dengan
kebutuhan analisis kebutuhan secara teliti. Permasalahan utama
adalah validitas dan reliabilitas dari pertanyaan survei, sampel yang
cocok untuk dijadikan perwakilan dari populasi yang diteliti, dan
kemampuan untuk mendapatkan banyak responden (Aday, 1996,
Altschuld & Kumar, 2010; Dillman et al., 2008).
b. Wawancara
Wawancara bisa dalam bentuk terstruktur (seperti survei) atau
semi-terstruktur, menggunakan panduan umum untuk membuat
garis besar dari isu yang akan dibahas. Penting untuk menentukan
tujuan wawancara dan memilih sampel yang cocok. Narasumber
bisa memberi informasi tentang kebutuhan, halangan, dan
program-program yang pernah dilaksanakan sebelumnya
(Altschuld & Kumar, 2010; Gilmore & Campbell, 2005).
c. Metode-metode Etnografi
Metode-metode etnografi dari antropologi memiliki posisi penting
dalam menggambarkan populasi yang sulit untuk diraih, seperti
pengguna narkoba, orang-orang yang menjalankan perilaku riskan
untuk terkena HIV, atau tunawisma (Parker & Ehrhardt, 2001;
Tross, 2001). Metode etnografi meliputi kegiatan observasi
partisipan, in-depth interview, focus group, dan analisis dari bahan
tekstual tertulis; hal-hal ini terfokus dalam penggambaran dari
budaya dari pengalaman dan sudut pandang dari masyarakat
dengan bahasa dan istilah masing-masing.
d. Appreciative Inquiry (AI)
Pendekatan ini melibatkan wawancara yang berfokus pada
pengalaman positif yang berhubungan dengan topik tertentu. AI
berfokus pada kekuatan dalam suatu organisasi dan mencari akar
penyebab dari kesuksesan bukan akar penyebab dari kegagalan.

D. Pengumpulan Data Primer dalam Kelompok

Penggunaan kelompok untuk mengumpulkan data analisis kebutuhan


baru-baru ini
mengalami peningkatan popularitas yang signifikan diantara promotor kesehatan
dan perencana lainnya. Pertemuan masyarakat, focus group, komunikasi melalui
grup dalam media elektronik, dan tempat dan metode pertemuan kecil lainnya
tersedia untuk menentukan sudut pandang anggota terkait masalah kesehatan dan
kualitas hidup beserta alasan dari masalah-masalah tersebut. Metode pengumpulan
data primer dalam kelompok terdiri dari:
a. Planning Groups
Umumnya berisi gabungan dari kelompok kerja dan berbagai
macam kelompok penasihat. Kedua jenis kelompok bisa membantu
mendefinisikan sebuah masalah dan memahami komunitas jika
mereka melibatkan beragam anggota masyarakat, termasuk mereka
yang bermasalah. Kelompok perencanaan melibatkan individu
dengan jenis ras dan latar belakang etnis yang berbeda. Anggota
kelompok memiliki keahlian di bidang kesehatan masyarakat,
kedokteran, keperawatan, pengorganisasian komunitas dan
evaluasi. Perwakilan dari asosiasi kesehatan sukarela dari
komunitas setempat juga dilibatkan.
b. Focus Groups
Teknik ini dipimpin oleh seorang moderator yang memberikan
panduan wawancara dengan lima sampai sepuluh pertanyaan.
Pengumpulan data dalam kegiatan ini berasal dari kelompok
homogen berjumlah lima sampai sepuluh orang, biasanya
digunakan dalam promosi kesehatan sebagai bagian dari
pendekatan multi-metode untuk analisis kebutuhan atau
pengembangan program. Tujuan dari dilaksanakannya diskusi
kelompok terarah adalah untuk mendorong diskusi antara enam
sampai dua belas masyarakat homogen untuk mengetahui pendapat
dan sikap yang berhubungan dengan topik terkait.
c. Delphi Technique
Metode ini merupakan teknik survei kelompok yang menggunakan
proses iteratif (berulang) untuk menghasilkan konsensus dalam
sebuah kelompok. Responden biasanya berjumlah sepuluh sampai
15 orang dengan pengetahuan yang penting terkait sebuah isu.
Metode ini menghasilkan informasi yang terfokus, memiliki
kelebihan yang menjadikan batas-batas geografi bukan masalah
dan tidak perlu menjadwalkan pertemuan waktu nyata.

E. Metode Geografis

Data tautan geocoding seperti demografis, indikator sosial dan kesehatan,


dan bangunan fisik (fasilitas-fasilitas kesehatan) sampai data individu yang sudah
dijumlahkan di suatu wilayah dengan menggunakan kode untuk alamat jalan atau
nomor sensus untuk menunjukkan lokasi geografis (altschuld & Kumar, 2010).
Community Landscape Asset Mapping (CLAM) adalah sebuah survei yang
digunakan untuk menentukan faktor-faktor level komunitas yang kemungkinan
mempengaruhi perilaku kesehatan (Issel & Searing, 2000). Survei ini dilakukan
dengan kegiatan observasi untuk mengidentifikasi empat aspek dari lanskap yaitu:
ekologis, materialistis, perilaku konsumsi, dan terapeutik (Curtis & Jones, 1999).

COMMUNITY CAPACITY

Kapasitas masyarakat memberikan dampak lebih baik dengan intervensi


promosi kesehatan dan dapat mengubah strategi intervensi ke pendekatan
pembangunan masyarakat yang lebih luas.Pada sesi ini, kita akan memperlajari
penilaian karakter pada masyarakat, khususnya pada aspek strengths. Masyarakat
yang sehat dijelaskan telah menciptakan dan meningkatkan dampak positif pada
lingkungan fisik dan lingkungan sosial yang memungkinkan antar individu untuk
saling mendukung dalam hidup (Hancock & Duhl,1986) Penilaian kapasitas
masyarakat menentukan pemecahan maslah dan peningkatan seperti kebijakan
yang memfasilitasi promosi kesehatan. Goodman & coleagues(1998)
mengidentifikasi dimensi kapasitas masyarakat dan keterkaitan antar dimensinya.
Berikut adalah 10 dimensi dalam community capacity :

1. Citizen Participation

2. Leadership

3. Skills

4. Resources internal dan external

5. Social and interorganizational networks

6. Sense of community

7. Understanding of community history

8. Community power

9. Community values
10. Critical reflection

Beberapa menyarankan metode penilaian seperti key informant interviewa,


focus groups, surveys, documentation of participation logs, meeting minutes,
program plans, dan sociograms.

Mapping Community Capacity

Aset komunitas yang paling mudah diakses adalah sumber daya yang terletak di
masyarakat dan sebagian besar berada di bawah kendalinya. Ini termasuk aset
individu, seperti: kapasitas individu, pendapatan pribadi, hadiah dari orang-orang
berlabel (seperti cacat fisik), bisnis lokal individu, perusahaan rumahan, dan aset
organisasi dan asosiasi. Yang terakhir termasuk asosiasi warga sebagai serta
organisasi bisnis, lembaga keuangan (misalnya, Gameen Bank di Bangladesh dan
South Shore Bank di Chicago), organisasi budaya. organisasi komunikasi, dan
organisasi keagamaan. Kretzmann dan McKnight juga menyertakan protokol
untuk menilai kapasitas pribadi di bidang-bidang seperti: konstruksi, operasi dan
perbaikan peralatan kantor, persiapan makanan, transportasi, dan penitipan anak
(Kretzmann & McKnight, 1993). Banyak domain lainnya kompetensi individu
dapat dibayangkan, termasuk kepemimpinan, proses kelompok, memecahkan
masalah, dan keterampilan partisipasi.

Measuring Social Capital

Baum & Ziersch (2003) menyarankan penilaian social capital dengan kualitatif.
Kualitatif menyediakan konteks dan ide manakan dari social capital yang telah
sesuai dan kompleksitas konsep tersebut. World Bank telah mengembangkan
instrumen penilaian kedua metode yakni kualitatif dan kuantitatif.

SETTING GOALS AND LINKING TO EVALUATION

Menetapkan prioritas dalam penilaian kebutuhan adalah proses berulang,


terjadi selama penilaian serta setelah analisis data di akhir penilaian. Menetapkan
prioritas tentang masalah kesehatan dan populasi yang diminati dimulai ketika
seseorang menentukan dalam pra-penilaian kelompok dan masalah mana yang
akan dipelajari. Saat perencana kesehatan mengajukan pertanyaan dan
mengumpulkan informasi selama penilaian, mereka membuat berbagai keputusan
tentang fokus berkelanjutan. Banyak faktor yang mempengaruhi prioritas. Salah
satunya adalah besarnya antara apa yang ada dan apa yang bisa terjadi (Altschuld
& Kumar, 2010). Perbedaan beban dari suatu masalah di antara kelompok-
kelompok. Begitu masalah menjadi fokus, prioritas mungkin menyempit ke
kelompok tertentu karena beban yang lebih berat atau karena ketidaksetaraan atau
ketidakadilan kesehatan. Serangkaian masalah praktis juga mempengaruhi
keputusan. Faktor politik dan sosial lainnya juga mempengaruhi prioritas utama
dan proses pengambilan keputusan. Seperti nilai-nilai masyarakat, konteks
prioritas (yaitu, prioritas lokal, regional, nasional, dan internasional), harapan
publik dan pemimpin, minat dan keahlian yang tersedia, momentum, dan
ketersediaan dana dan sumber daya manusia.

Relevansi dan Kemampuan Berubah

Green dan Kreuter (2005) merekomendasikan penilaian pentingnya (yaitu,


relevansi) dan perubahan perilaku serta kondisi lingkungan menggunakan temuan
dari needs assessment. Perilaku dan kondisi lingkungan yang lebih relevan dan
lebih dapat diubah akan menjadi prioritas utama untuk fokus program, faktor-
faktor yang lebih relevan dan kurang dapat diubah mungkin menjadi prioritas
untuk program inovatif yang evaluasinya sangat penting. Pada analisis ini harus
dilakukan denagn teliti agar faktor-faktor yang sangat relevan tetapi sulit diubah
tidak terabaikan.

Dalam kerangka Pemetaan Intervensi, tujuan program didefinisikan


sebagai perubahan dalam kesehatan, kualitas hidup, perilaku, atau faktor
lingkungan dari needs assessment. Jika kerangka waktu terlalu lama untuk efek
program pada kesehatan dan kualitas hidup dapat diukur dalam kerangka waktu
program (seperti, misalnya, dalam program yang berkaitan dengan HIV atau
kanker), maka kelompok perencanaan dapat membuat keputusan untuk
menentukan tujuan program dalam hal perilaku atau lingkungan. Jumlah
perubahan yang diharapkan dan kerangka waktu harus dapat dibenarkan secara
empiris.

Anda mungkin juga menyukai