Anda di halaman 1dari 5

Nama : ANDRI APRIANSYAH

Tingkat : 1A

NIM : 21013

Mata Kuliah : Gizi & Diet

Jurnal 1

Analisis bagaimana mengatasi permasalahan stunting di Indonesia?

Awaludin Bima

Berita Kedokteran Masyarakat 35 (4), 6-10, 2019

Latar belakang:

Indonesia masih menghadapi permasalahan gizi yang berdampak serius terhadap Kualitas Sumber
Daya Manusia (SDM). Salah satu masalah gizi yang menjadi perhatian utama saat ini adalah masih
tingginya anak balita pendek (Stunting). Stunting merupakan masalah kurang gizi kronis yang
disebabkan karena asupan gizi yang kurang dalam waktu yang cukup lama sebagai akibat dari
pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi yang diperlukan.Indonesia
merupakan negara dengan prevalensi gizi kurang pada balita cukup tinggi. Hasil Riset Kesehatan
Dasar Tahun 2010 dan 2013, dan Pemantauan Status Gizi Tahun 2015 dan 2017, menunjukan
prevalensi stunting masih tinggi dan tidak menurun mencapai batas ambang WHO. Riskesdas
Tahun 2010 mencapai 35,6% dan Tahun 2013 mencapai 37,2 %, Pemantauan Status Gizi (PSG)
Tahun 2015 (29.0%) dan Tahun 2017 (29,6 %). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) 2013
menunjukkan prevalensi stunting mencapai 37,2%. Di sisi lain, hasil riset Bank Dunia (2017)
menggambarkan kerugian akibat stunting mencapai 3-11% dari Pendapatan Domestik Bruto
(PDB). Dengan nilai PDB 2015 sebesar Rp11.000 Triliun, kerugian ekonomi akibat stunting di
Indonesia diperkirakan mencapai Rp300-triliun Rp1.210 triliun per tahun. Sedangkan pada Balita
Stunting (Tinggi Badan per Umur). Stunting masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia. Stunting pada balita dapat menyebabkan menurunnya produktivitas dan kualitas
sumber daya manusia Indonesia di masa mendatang. Retardasi pertumbuhan atau stunting pada
anak-anak di indonesia terjadi sebagai akibat dari kekurangan gizi kronis dan penyakit infeksi dan
memengaruhi 30% dari anak-anak usia dibawah lima tahun.

Tujuan:

Menganalisis dan menunjukkan serta mencari permasalahan stunting di indonesia dari sudut
pandang akademisi. Dan juga mencoba menawarkan solusi solusi serta strategi untuk mengatasi
maslah stunting di indonesia. tetapi perlu dukungan semua sektor serta perencanaan jangka
panjang.

Metode:

Argumentative dengan telaah beberapa jurnal sebagai acuan. Serta mencoba menganalisis
Kebijakan kebijakan pemerintah terkait dengan perbaikan gizi diantaranya yaitu:

(1) Peraturan Presiden No. 42 Tahun 2013 tentang Percepatan Perbaikan Gizi,

(2) Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2017 tentang Gerakan Masyarakat Sehat,

(3) Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2017 tentang Kebijakan Strategis Pangan dan Gizi.

Hasil:

Berdasarkan penelitian yang di lakukan Aryastam NK., Tarigan I, bahwa menunjukan Prevalensi
Balita stunting di Indonesia cukup tinggi. Distribusinyapun tidak merata, antara desa kota maupun
antar provinsi. Hasil-hasil survey yang pernah dilakukan di Indonesia dari tahun 1992 hingga 2013,
atau selama sekitar 20 tahun, penurunan prevalensi stunting hanya sebesar 4%. Bahkan proporsi
sekitar 37% tampak stagnan dari tahun 2006 hingga 2013. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar
2013, kesenjangan antar provinsi tampak cukup lebar, yakni proporsi 20% (Yogyakarta) hingga
48% (NTT). Stunting sebagai masalah gizi yang bersifat kronis tidak dapat dipisahkan dengan
masalah gizi kurang secara umum. Masalah gizi kurang (BB/U <-2 SD) menurut data Riskesdas
menunjukkan proporsi yang cukup stagnan, yaitu 18,4% (2007); 17,9% (2010); dan 19,6% (2013).
Dari berbagai literature yang penulis temui menunjukan bahwa permasalahan stunting di indonesia
di sebabkan akibat Faktor Multi Dimensi,Diantaranya yaitu :

1) Praktek pengasuhan yang tidak baik :


a) Kurang pengetahuan tentang kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan,
b) 60 % dari anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan ASI ekslusif,
c) anak usia 0-24 bulan tidak menerima Makana Pengganti ASI.
2) Terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan anc (ante natal care), post natal dan
pembelajaran dini yang berkualitas:
a) ibu hamil belum mengkonsumsi suplemen zat besi yang memadai
b) Menurunnya tingkat kehadiran anak di Posyandu (dari 79% di 2007 menjadi 64%
di 2013) berdasarkan data risnakes
c) Tidak mendapat akses yang memadai ke layanan imunisasi.
3) Kurangnya akses ke makanan bergizi:
a) ibu hamil anemia,
b) makanan bergizi mahal.
4) Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi :
a) rumah tangga masih BAB diruang terbuka
b) rumah tangga belum memiliki akses ke air minum bersih.

Kesimpulan:

1.) Melakukan pembentukan kebun gizi di setiap desa desa dengan pemanfaatan anggaran dana
desa yang telah di gelontorkan oleh pemerintah. Lewat peraturan yang dikeluarkan tersebut,
Warga Desa bisa terlibat aktif menghadirkan aneka kegiatan yang berhubungan upaya
penanganan stunting yang berfokus pada kebun gizi pada tiap tiap desa dengan pendekatan
keluarga. Sehingga Kehadiran Dana Desa tidak hanya berfokus pada Pondok Bersalin Desa
(Polindes),maupun (Posyandu), namun berfokus pada pembentukan kebun gizi dengan
pendekatan keluarga dengan berbasis pemberdayaan masyarakat sehingga bisa dilakukan
edukasi edukasi mengenai gizi pada wadah tersebut.
2.) Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 harus disikapi dengan koordinasi yang kuat di
tingkat pusat dan aturan main dan teknis yang jelas di tingkat provinsi, kabupaten/kota,
hingga pelaksana ujung tombak. Diseminasi informasi dan advocacy perlu dilakukan oleh
unit teknis kepada stake holders lintas sektor dan pemangku kepentingan lain pada tingkatan
yang sama. Sehingga Dibutuhkan upaya yang bersifat holistik dan saling terintegrasi.
3.) Memperkuat survailens gizi masyarakat sehingga dapat mendeteksi secara dini
permasalahan permasalahan gizi yang muncul di masyarakat. Lingkungan turut berperan
dalam menimbulkan kejadian stunting. Beberapa diantaranya yaitu status sosial ekonomi
yang rendah, pendidikan keluarga terutama ibu yang kurang, pendapatan keluarga yang
kurang, kebiasaan buang air besar di tempat terbuka seperti sungai atau kebun ataupun
jamban yang tidak memadai, air minum yang tidak diolah, dan tingginya pajanan pestisida.

Link jurnal ke 1: http://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/159338

Jurnal 2

DETERMINAN SOSIAL, STRUKTURAL DAN BIOLOGI KEJADIAN STUNTING


BALITA DI INDONESIA

TRI SISWATI, Prof. dr. Hari Kusnanto, SU, DR. PH; Dr. Toto Sudargo, SKM,M.Kes

2018 | Disertasi | DOKTOR ILMU KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

Latar belakang :

Stunting merupakan masalah malnutrisi global di negara berkembang dengan prevalensi yang
konsisten tinggi. Stunting terjadi karena interaksi secara hirarki antara faktor risiko sosial,
struktural dan biologi.

Tujuan:

Untuk mengetahui hubungan faktor risiko sosial, struktural dan biologi kejadian stunting balita.
Metode: penelitian ini adalah penelitian cross sectional dengan data Riskesdas tahun 2013 dan
BPS, KPK, kementerian keuangan, dan Susenas. Variabel bebas adalah IPM, IPG, IDG, IPK,
kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, pajak, belanja kesehatan dan region, sedangkan variabel
terikatnya adalah stunting. Prevalensi stunting dianalisis berdasarkan sampel Riskesdas 2013
dengan ketentuan balita mempunyai data umur dan TB/PB, -6<HAZserta merupakan anak
kandung dari rumah tangga yang diteliti, yaitu sebanyak 64.559 balita. Sampel balita yang
mempunyai data yang lengkap dari variabel-variabel yang diteliti dianalisis dalam penelitian ini,
yakni sebanyak 5.249 balita usia 6-23 bulan dan 12.076 balita usia 24-59. Data dianalisis dengan
mempertimbangkan samples weight dengan multilevel mix model. Pada akhir analisis dilakukan
uji kolinearitas untuk menghindari bias. Semua analisi dilakukan dengan STATA versi 13.0

Hasil:

Hasil penelitian menyatakan secara konsisten faktor sosial stunting dan severe stunting balita 6-23
bulan dan 24-59 bulan adalah PDRB dan region serta rasio pajak khusus untuk severe stunting 24-
59 bulan; faktor risiko struktural adalah pendidikan ibu dan status ekonomi; faktor risiko biologi
adalah berat badan dan tinggi badan orang tua untuk balita stunting sedangkan balita severe
stunting panjang lahir dan tinggi badan orang tua. Upaya perbaikan stunting dan severe stunting
setiap tahun (dari tahun 2013 hingga 2025) balita 6-59 bulan untuk mencapai prevalensi stunting
menjadi 14,9% pada tahun 2025 adalah: PDRB (1,83%); rasio pajak (1%), partisipasi perempuan
di SMP (3,99%), tenaga kerja sektor non formal laki-laki (3,5%) dan perempuan (2,99%), status
ekonomi rumah tangga(5,14%), akses air bersih (1,167%), serta menurunkan prevalensi BBLR
(1,34%) dan panjang lahir rendah (0,92%).

Kesimpulan dan Saran

Mendorong kebijakan akses pangan bergizi, akses air bersih dan sanitasi serta melakukan
pemantauan dan evaluasi secara berkala.Pembangunan ekonomi makro dan mikro, rasio pajak,
peningkatan pendidikan, akses air bersih, dan pelayanan maternal neonatal secara berkelanjutan
sangat diperlukan untuk pengentasan masalah stunting. Berdasarkan hasil identifikasi dan telah
beberapa sumber, dapat disimpulkan bahwa faktor risiko terjadinya stunting di Indonesia secara
konsisten adalah mulai dari faktor ibu, anak, dan lingkungan.Kejadian stunting meningkat pada
kondisi usia ibu saat hamil <20 atau ≥35 tahun, lingkar lengan atas ibu saat hamil ≥23,5cm,
kehamilan pada usia remaja, dan tinggi ibu yang kurang. Hal ini berlanjut ketika ibu sudah
melahirkan terkait ASI ataupun MPASI. Inisiasi menyusui dini yang tidak dilakukan, pemberian
ASI eksklusif yang tidak dilaksanakan, pemberian MPASI dini sebelum usia 6 bulan, dan kualitas
makanan yang kurang terkait asupan energi, protein, kalsium, zat besi, dan seng ditemukan dapat
meningkatkan risiko terjadinya stunting.

Link jurnal ke dua : http://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/159338

Anda mungkin juga menyukai