Anda di halaman 1dari 2

Nama:Muhammad davin ariffi

NIM :2001113362
UAS Sosiologi agama

Jelaskan the god spot dalam cahaya “masyarakat agama” sejak agama primal dan paradox
ketuhanan dalam “masyarakat jejaring” (network society) pada era post truth saat ini.
Elaborasi teoritis! Kepada mahasiswa yang ujian sosiologi agama bagaimana membaca
fenomena berikut! Kaitkan dengan soal ujian di atas.

Manusia memiliki organ di kepalanya yang dinamakan lobus temporal yang menjadi tempat
beradanya “God Spot” dan menjadi salah satu bagian dari otak manusia. Penelitian yang
dilakukan oleh Ramachandran V.S. Wolf Singer dan Michel Persinger menunjukkan adanya
gejala peningkatan aktifitas lobus temporal ketika dihubungkan dengan nasehat-nasehat
religius atau bersifat spiritual dan itu sudah ada semenjak manusia itu lahir ke bumi. Pusat
spiritual inilah yang disebut “God Spot”. God Spot menjadi lebih hidup ketika ia berpikir
tentang sesuatu yang bersifat religius atau berkaitan dengan Tuhan. Ia dapat memberi arti
hidup dan menjadi sumber inspirasi bagi manusia untuk mengabdi dan berkorban. Penemuan
“God Spot” pada otak manusia membuktikan bahwa manusia senantiasa mencari nilai-nilai
mulia (spiritualitas).
Manusia adalah makhluk spiritual yang senantiasa merasa bahagia ketika spiritualitasnya
terpenuhi. Penemuan “God Spot” pada otak manusia lebih meyakinkan pendapat ini karena
manusia akan senantiasa mencari Tuhan-nya, yaitu melalui sifat-sifat Tuhan yang selalu
diidamidamkan manusia. Fungsi “God Spot” yaitu untuk mendorong dan menuntun manusia
untuk terus mencari makna hidup. Seseorang akan merasa bermakna spiritual ketika ia
berkata jujur, mengasihi, menolong, adil, sabar, dan bersikap serta bertingkah laku mulia.
God Spot pada temporal lobus untuk kecerdasan spiritual (SQ) menjadikan manusia memiliki
logika yang rasional, dan suara hati sebagai pembimbing.
Pada dimensi spiritual, manusia diajari esensi nama-nama atau sifat-sifat Tuhan. Hal ini
dapat dirasakan berupa suara hati. Menurut Ary Ginanjar Agustian, untuk menghadirkan
“God Spot” pada otak, maka terlebih dahulu manusia harus membuang faktor-faktor yang
menutup fitrah (God Spot) yang tanpa disadari mengakibatkan manusia memiliki kecerdasan
hati yang rendah, Faktor-faktor tersebut adalah: Prasangka, Prinsip hidup, pengalaman,
kepentingan dan prioritas, sudut pandang, pembanding dan literature.
Fenomena di atas adalah di masa sekarang dimana teknologi berkembang dengan pesatnya
turut memberikan dampak besar bagi pandangan keberadaan tuhan khususnya di Indonesia
sendiri. Terlebih lagi kita sering mendengar istilah hijrah yang lekat dengan kita. Juga istilah
karma atau neraka yang membuat kita tiba-tiba takut Tuhan. Itu semua tidak lepas dari segala
doktrin yang diberikan orangtua kepada anak-anak mereka. Sehingga masyarakat Indonesia
sangat memposisikan agama dan kepercayaannya menjadi hal yang sangat di nomor satukan.
Hal ini juga diperkuat dengan postingan-postingan atau ceramah-ceramah di sosial media
yang menyinggung keagamaan seseorang.
Sangking pentingnya agama bagi masyarakat Indonesia, tidak jarang bangsa sendiri harus
rebut dan saling serang karena masalah agama. Karena merasa agamanya paling benar, lalu
menjelek-jelekkan agama orang lain. Memang tidak salah merasa agama paling benar karena
tentu kita sudah memilih hal yang terbaik, namun jangan sampai melupakan rasa kemanusian
dan toleransi.
Terlebih lagi banyak fenomena-fenomena dimana anak-anak yang masih dibawah umur
sudah terkena dan terdoktrin isu SARA di kepalanya. Tentu miris saat kita menjadi bangsa
yang generasi z nya menganggap agama paling penting namun masih banyak kekacauan dan
kerusakan yang dilakukan oleh masyarakatnya sendiri yang justru tidak mencerminkan
agama itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai