Anda di halaman 1dari 28

15

BAB II

TINJAUAN TEORITIS TENTANG IMPLEMENTASI METODE CERITA

ISLAMI DALAM PENANAMAN MORAL KEAGAMAAN

A. Metode Pembelajaran Anak

1. Pengertian Metode Pembelajaran

Metode berasal dari bahasa Yunanai “ methodos” yang berarti cara atau

jalan yang ditempuh. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode

menyangkut masalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi

sasaran ilmu yang bersangkutan (Hamalik 2010: 47).

Istilah metode dalam kamus ilmiah popular adalah cara yang teratur dan

sigtimatis untuk pelaksanaan sesuatu; cara kerja (Partanto 1994: 461). Menurut

Sanjaya (2010: 147) metode adalah cara yang dapat digunakan untuk

melaksanakan strategi pembelajaran. Sedangkan yang dimaksud dengan

pembelajaran adalah setiap kegiatan yang dirancang untuk membantu seseorang

mempelajari suatu kemampuan atau nilai yang baru (Sagala 2005: 61).

Menurut Faturrahman dan Sobri (2010: 56-58) metode mengajar yang

digunakan guru dalam setiap pertemuan di kelas bukanlah asal pakai, tetapi

setelah melalui seleksi yang berkesesuaian dengan perumusan tujuan instruksional

khusus. Metode apapun yang dipilih dalam kegiatan belajar mengajar hendaknya

memperhatikan beberapa prinsip-prinsip mendasari urgensi dalam proses belajar

mengajar yakni:

15
16

1. Prinsip motivasi dan tujuan belajar

Motivasi memiliki kekuatan yang sangat dahsyat dalam proses

pembelajaran. Belajar tanpa motivasi seperti badan tanpa jiwa atau laksana

mobil tanpa bahan bakar.

2. Prinsip kematangan dan perbedaan individual

Belajar memiliki masa kepekaan masing-masing dan tiap anak memiliki

tempo kepekaan maupun intelek yang tidak sama.

3. Prinsip penyediaan peluang dan pengalaman praktis

Belajar dengan memperhatikan peluang sebesar-besarnya bagi partisipasi

anak didik dan pengalaman langsung oleh anak jauh memiliki makna dari

pada belajar secara verbalistik.

4. Integrasi pemahaman dan pengalaman

Penyatuan pemahaman dan pengalaman menghendaki suatu pembelajaran

yang mampu menerapkan pengalaman nyata dalam suatu daur proses

belajar. Prinsip belajar ini didasarkan pada asumsi bahwa pengalaman

mendahului proses belajar dan isi pengajaran atau makna sesuatu yang

berasal dari pengalaman siswa sendiri.

5. Prinsip fungsional

Belajar merupakan proses pengalaman hidup yang bermanfaat bagi

kehidupan di masa yang akan datang.

6. Prinsip menggembirakan

Belajar adalah proses yang terus berlanjut tanpa henti, dan juga sesuai

dengan kebutuhan dan tuntutan yang terus menerus berkembang.


17

Berkaitan dengan kepentingan belajar yang terus menerus, maka metode

mengajar jangan mempunyai kesan memberatkan, sehingga kesadaran

belajar pada anak cepat berakhir.

2. Macam-macam Model dan Metode Pembelajaran Anak

a. Model Pembelajaran

Model pembelajaran adalah suatu desain atau rancangan yang

menggambarkan proses perincian dan penciptaan situasi lingkungan yang

memungkinkan anak berinteraksi dalam pembelajaran sehingga terjadi perubahan

atau perkembangan (Pangastuti 2014: 38). Menurut Mulyasa (2012: 148) adapun

komponen model pembelajaran meliputi konsep, tujuan pembelajran, standar

kompetensi, dan kompetensi dasar (SK-KD), materi, prosedure, metode, sumber

belajar, dan teknik evaluasi. Pengembangan model pembelajaran pada pendidkan

anak usia dini didasarkan pada silabus yang dijabarkan menjadi Program Semester

(PS), Rencana Kegiatan Mingguan (RKM), dan Rencana Kegiatan Harian (RKH).

Dengan demikian, model pembelajaran merupakan gambaran konkret yang

dilakukan pendidik dengan peserta didik sesuai dengan rencana kegiatan harian.

Model pembelajaran yang biasa dilaukan pada satuan pendidikan anak usia

dini adalah pembelajaran klasikal; pembelajran kelompok dengan kegiatan

pengamanan; pembelajaran berbasis sudut kegiatan; pembelajaran area; dan

pembelajaran berbasis sentra (Mulyasa 2012: 148). Pembelajaran klasikal adalah

pola pembelajaran yang dilakukan pendidik (guru) bersama sekelompok peserta

didik/murid dalam satu kelas secara bersamaan dengan aktivitas dan waktu yang

sama pula. Model pembelajaran jenis ini termasuk model tradisional dan paling
18

tua yang biasanya diterapkan karena kurangnya atau minimnya ketersediaan

sarana dan prasarana. Selain itu, kurangnya perhatiaan terhadap minat dan

keunikan dalam setiap diri anak (Pangastuti 2014: 38).

Pembelajaran kelompok dengan kegiatan pengamanan merupakan pola

pembelajaran, ketika anak-anak dibagi menjadi beberapa kelompok dengan

kegiatan yang berbeda-beda. Anak-anak yang sudah menyelesaikan tugasnya

tugasnya lebih cepat daripada temannya dapat mengikuti kegiatan dikelompok

lain. Jika tidak tersedia tempat, maka anak tersebut dapat melakukan kegiatan

dikegiatan pengamanan. Pada kegiatan pengamanan sebaiknya disediakan alat-

alat yang lebih bervariasi dan sering diganti disesuaikan dengan tema atau

subtema yang dibahas.

Pembelajaran berbasis sudut kegiatan menggunakan prosedur pembelajaran

hampir sama dengan model pembelajaran area, hanya sudut-sudut kegiatan

selayanknya lebih bervariasi dan sering diganti, disesuaikan dengan tema dan

subtema yang dibahas. Pembelajaran berdasarkan area lebih memberikan

kesempatan kepada anak didik untuk memilih dan melaukan kegiatan sendiri

sesuai dengan minatnya. Pembelajaran dirancang untuk memenuhi kebutuhan-

kebutuhan sepesifik anak serta menghormati keberagaman budaya dan

menentukan pada pengamalan mereka, adanya pilihan dan pusat kegiatan belajar,

dan adanya keterlibatan keluarga dalam pembelajaran (Mulyasa 2012: 149).

Pembelajaran berbasis sentra merupakan model paling mutakhir yang

dilaksanakan di lingkungan pendidikan anak usia dini; dengan karakteristik

utamanya memberikan pijakan (scaffolding) untuk membangun konsep aturan, ide


19

dan pengetahuan anak serta konsep densitas dan intensitas bermain (Mulyasa

2012: 149). Nama lain dari sentra yaitu BCCT (Beyond Centres And Circle Time)

seperti yang dijelaskan dalam Haenilah (2015:113) bahwa sentra merupakan

sebuah model pembelajaran yang diadopsi dari Creative for Chilhood Research

and Training (CCCRT). Model pembelajaran ini berfokus pada anak yang dalam

proses pembelajarannya berpusat di sentra bermain dan pada saat anak dalam

lingkaran. Pada umumnya pijakan dalam model ini untuk mendukung

perkembangan anak, yaitu pijakan setelah bermain. Pijakan ini diberikan untuk

mencapai perkembangan yang lebih tinggi. Sentra bermain dilengkapi dengan

seperangkat alat bermain yang berfungsi sebagai pijakan lingkungan yang

diperlukan untuk mendukung perkembangan anak dalam 3 jenis bermain, yaitu

sensori motor atau fungsional, bermain peran, dan bermain pembangunan

(konstruktif, yaitu membangun pemikiran anak), sedangkan saat lingkaran

dilakukan guru untuk memberikan dukungan kepada anak yang dilakukan

sebelum dan sesudah bermain. Pembelajaran terakhir ini sekarang masih berada

pada tahap rintisan yang masih dilaksanakan oleh bebrapa PAUD yang

diperkirakan memungkinkan karena model ini membutuhkan persiapan yang

cukup matang dengan sarana bermain yang lebih lengkap (Mulyasa 2012: 149).

Model-model pembelajaran sebagaimana dikemukakan di atas, pada

umumnya menggunakan langkah-langkah pembelajaran yang relatif sama, yang

meliputi: kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, makan dan istirahat, serta penutup.

Kegiatan pendahuluan adalah kegiatan awal dalam pembelajaran yang ditujukan

untuk memfokuskan perhatian, membangkitkan motivasi sehingga anak siap


20

untuk mengikuti pembelajaran. Kegiatan inti, merupakan proses untuk mencapai

standar kompetensi dan kompetensi dasar yang sesuai dengan standar proses,

yakni interaktif, inspiratif, menyenangkan, motivatif, menantang, dan memberikan

ruang gerak yang lebih leluasa kepada anak untuk berkembang secara optimal.

Kegiatan ini dilakukan melalui proses eksplorasi, eksplanasi, observasi,

eksperimen, elaborasi, dan konfirmasi. Kegiatan penutup dilakukan untuk

mengakhiri aktivitas pembelajaran, dengan cara menyimpulkan, refleksi, umpan

balik, dan tindak lanjut (Mulyasa 2016: 150).

b. Metode Pembelajaran

Metode pembelajaran adalah suatu cara yang sistematis untuk mencapai

tujuan pembelajaran ana usia dini, yanitu mengembangkan berbagai potensi anak

sejak dini sebagai persiapan untuk hidup dan dapat menyesuaikan diri dengan

lingkungannya.

Metode pembelajaran anak usia dini hendaknya menantang dan

menyenangkan, melibatkan unsur bermain, bergerak, bernyanyi dan belajar.

Beberapa metode yang sering digunakan untuk pembelajaran ana usia dini

diantara lain sebagai berikut (Musrid 2015: 26):

1) Metode Bermain

Dunia anak adalah dunia bermain, yang merupakan fenomena sangat

menarik perhatian bagi para pendidk, psikologi dan ahli filsafat sejak zaman

dahulu (Mansur 2009: 149). Menurut pendidik dan ahli psikologi, bermain

merupakan pekerjaan masa kanak-kanak dan cermin pertumbuhan anak (Gordon

& Browne, 1985: 266), bermain merupakan kegiatan yang memberikan kepasan
21

bagi diri sendiri. Melalui bermain anak memperoleh pembatasan dan memahami

kehidupan. Bermain merupakan kegiatan yang memberikan kesenangan dan

dilaksanankan untuk kegiatan itu sendiri, yang lebih ditekankan pada caranya

daripada hasil yang diperoleh dari kegiatan itu (Dworetsky 1990: 395). Kegiatan

bermain dilaksanakan tidak serius dan fleksibel (Moeslichatoen 2004: 24).

Melalui kegiatan bermain anak dapat melakuan kordinasi otot kasar,

bermacam cara dan teknik dapat digunakan dalam kegiatan, seperti merayap,

merangkak, berjalan, berlari, melompat, menendang, melempar, dan lain

sebagainya ((Moeslichatoen 2004: 32). Kegiatan bermain juga anak akan

memperoleh kesempatan memilih kegiatan yang disukainya, bereksperimen

dengan bermacam-macam bahan dan alat, berimajinasi, memecahkan masalah dan

bercakap-cakap secara bebas, berperan dalam kelompok, bekerja sama dalam

kelompok, dan memperoleh pengalaman yang menyenangkan (Moeslichatoen

2004: 33).

Manfaat metode bermain penting sekali untuk perkembangan kemampuan

kecerdasan. Dalam bermain, anak-anak dapat bereksperimen tanpa gangguan,

sehingga dengan demikian akan mampu membangun kemampuan yang kompleks.

Salah satu hipotesis yang populer dalam psikologi perkembangan bahwa bermain

dapat membantu perkembangan kecerdasan (Mansur 2009: 151).

2) Metode Karyawisata

Karyawisata merupakan salah satu metode melaksanakan kegiatan

pengajaran anak-anak dengan cara mengamati dunia sesuai dengan tumbuh-

tumbuhan, dan benda-benda lainnya. Dengan mengamati secara langsung anak


22

memperoleh kesan sesuai dengan pengamatannya. Pengamatan ini akan diperoleh

melalui pancaindra yakni mata, telinga, lidah, hidung atau penglihatan,

pendengaran, pengecapan, pembauan, dan perabaan (Mursid 2015: 28).

Melalui metode tersebut diambil manfaatnya bagi anak, yaitu mendapat

kesempatan utuk menumbuhkan minat tentang sesuatu hal, misalnya untuk

mengembangkan minat tentang dunia hewan, anak dibawa ke kebun binatang.

Mereka mendapat kesempatan untuk mengamati tingkah laku binatang-binantang

yang ada di situ. Dengan mengamati lebih lanjut binatang yang menarik

perhatiannya. Karyawisata kaya akan nilai pendidkan karena dapat meningkatkan

pengembangan kemampuan sosial, sikap, dan nilai kemasyarakatan pada anak

(Mursid 2015: 29).

Berdasarkan uraian diatas metode karyawisata merupakan kegiatan

kunjungan, dengan metode ini anak belajar dengan cara mengamati secara

langsung tentang keadaan objek yang dikunjungi dan mendapatkan informasi

(dari petugas) sehingga anak akan mendapatkan gambar lebih lengkap tentang

suatu hal. Dengan demikian metode ini dapat menambah informasi pengetahuan,

mengamati dan mengambil kesimpulan tentang sesuatu hal yang berkaitan dengan

objek yang dikunjungi.

3) Metode Bercakap-cakap

Bercakap-cakap berarti saling mengkomunikasikan pikiran dan perasaan

secara verbal atau mewujudkan kemampuan bahasa reseptif dan bahasa ekspresif.

Bercakap-cakap dapat pula diartikan sebagai dialog atau sebagai perwujudan

bahasa reseptif dan ekspresif dalam suatu situasi (Moeslichatoen 2004: 71).
23

Sebagai bukti penguasaan bahasa resentif ialah semakin banyaknya kata-

kata baru yang dikuasai oleh anak yang diperoleh dari kegiatan bercakap-cakap.

Kemampuan bahasa resentif ini meliputi kemampuan mendengarkan dan

memahami bicara orang lain (Mursid 2015: 29).

Sebagai bukti berkembangnya kemampuan berbahasa ekspresif ialah

semakin seringnya anak menyatakan keinginan, kebutuhan, pikiran dan perasaan

kepada orang lain secara lisan. Kemampuan bahasa ekspesif ini melipuiti

kemampuan menyatakan gagasan, perasaan, dan kebutuhan kepada orang lain

(Mursid 2015:29).

Tujuan dari metode ini adalah dapat diarahkan pada pengembangan aspek

perkembangan anak yang sesuai. Ada beberapa perkembangan aspek anak yang

cocok dengan program kegiatan anatara lain adalah pengembangan aspek kognitif,

bahasa, sosial, emosi, dan konsep diri (Moeslichatoen 2004: 96).

4) Metode Demonstrasi

Demontrasi berarti menunjukan, mengerjakan, dan menjelaskan. Jadi dalam

demonstrasi ditunjukan dan dijelaskan cara-cara mengerjakan sesuatu. Melalui

demontrasi diharapkan anak dapat mengenal langkah-langkah pelaksanaan.

Seringkali metode ini digunakan karena guru mengalami kesulitan untuk

menjelaskan dengan kata-kata saja (Mursid 2015: 30).

Ada beberapa kemungkinan yang dapat dilakuan oleh anak dengan

menggunakan metode demonstrasi, misalnya: mengamati bagaimana cara

menggunting pola pada kertas gambar. Mulai dari cara memegang kertas gambar

dengan tangan kiri, memegang gunting ditangan kanan secara benar, dan mulai
24

menggunting dari titik awal dan diteruskan sampai selesai (Moeslichatoen 2004:

113).

Manfaat metode demonstrasi dapat dipergunakan untuk memberikan ilustri

dalam menjelaskan informasi kepada anak, dapat membantu meningkatkan daya

pikir anak terutama daya pikir anak dalam peningkatan kemampuan mengenal,

mengingat, berpikir konvergen dan berpikir evaluatif (Mursid 2015: 30).

5) Metode Proyek

Metode proyek berasal dari gagasan John Dewet tentang konsep “Learning

by Doing”, yakni proses perolehan hasil belajar dengan mengerjakan tindakan

tertentu sesuai dengan tujuannya, terutama proses penguasaan anak tentang

bagaimana melakukan sesuatu pekerjaan yang terdiri atas serangkaian tingkah

laku untuk mencapai tujuan. Berkenaan dengan hal itu, piaget mengatakan bahwa

kita tidak dapat mengajarkan tentang suatu konsep pada anak secara verbal,

namun kita dapat mengajarkannya jika menggunakan metode yang didasarkan

pada aktivitas anak (Mursid 2015: 31).

Manfaat dari metode ini adalah memberikan pengalaman pada anak dalam

mengatur dan mendistribusikan kegiatan, belajar bertanggung jawab terhadap

pekerjaan masing-masing, memupuk semangat gotong royong diantara anak

(Rahmawati dan Kurniati 2010: 61).

Metode proyek dapat memberikan kesempatan kepada anak untuk

mengekspresikan pola pikir, keterampilan, dan kemampuannya untuk

memaksimalkan sejumlah permasalahan yang mereka hadapi sehingga memiliki


25

peluang untuk terus berkreasi dan mengembangkan diri seoptimal mungkin

(Rahmawati dan Kurniati 2010: 62).

6) Metode Bercerita

Metode bercerita merupakan salah satu pemberian pengalaman belajar bagi

anak dengan membawakan cerita kepada anak secara lisan. Dunia anak itu penuh

sukacita, maka kegiatan bercerita harus diusahakan dapat memberikan perasaan,

gembira, lucu, dan mengasyikan (Moeslichatoen 2004: 157).

Metode cerita disebut juga metode al- Qishah, metode ini sangat efektif

sekali, terutama untuk materi sejarah, kultur islam, dan terlebih lagi sasarannya

untuk anak didik yang masih dalam perkembangan “fantastik”. Dengan

mendengarkan suatu kisah, kepekaan, jiwa dan perasaan anak didik dapat

tergugah, meniru figur yang baik yang berguna bagi kemaslahatan umat, dan

membenci terhadap seorang yang zalim. Jadi, dengan memberikan stimulasi

kepada anak didik dengan cerita itu, secara otomatis mendorong anak didik untuk

berbuat kebajikan, dan dapat berupa dongeng, fabel, legenda, roman, novel,

cerpen, cergam, prosa, puisi, film dan sebagainya (Syadilie, muhsin, dkk 2012).

Sebagaimana firman Allah dalam Q.S Al-A’raaf ayat 176:

‫ض َواَّتبَ َع َه َوىهُ فَ َمثَلُهُ َك َمثَ ِل‬


ِ ‫شْئنَا لَ َرفَ ْعنَهُ بِ َحا َولَ ِكنَّهُ اَ ْخلَ َد اَلَى ْاالَ ْر‬
ِ ‫َولَ ْو‬

‫ب اِنْ ت َْح ِم ْل َعلَ ْي ِه يَ ْل َح ْث اَ ْوت َْر ُكهُ يَ ْل َه ْث َذلِ َك َمثَ ُل ْالقَ ْو ِم ْالَ ِذيْنَ َك َّذبُ ْوا بِاَيَتِنَا‬
ِ ‫ْال َك ْل‬

َ‫ص لَ َعلَّ ُه ْم يَتَفَ َّك ُر ْون‬ َ َ‫ص ْالق‬


َ ‫ص‬ ُ ‫فَا ْق‬
ِ ‫ص‬
Artinya :
“Dan sekiranya kami menghendaki niscaya kami tinggikan (derajat) nya dengan (ayat-ayat) itu,
tetapi dia cenderung kepada dunia dan mengikuti keinginannya (yang rendah), maka
perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya dijulurkan lidahnya dan jika kamu
membiarkanya ia menjururkan lidahnya (juga). Demikianlah perumpamaan orang-orang yang
26

mendustakan ayat-ayat kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berpikir" (Al-
Quran dan Terjemahnya 2014).

Ada beberapa macam teknik bercerita yang dapat dipergunakan anatara lain

guru dapat membaca langsung dari buku, menggunakan ilustrasi dari buku

gambar, mengguanakan papan planel, menggunakan boneka, bermain peran dalam

suatu cerita (Cyrus dan Ester 2017: 105).

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan untuk pemilihan cerita yang baik

yaitu: cerita itu harus menarik dan memikat perhataian guru itu sendiri; cerita itu

harus sesuai dengan kepribadian anak, gaya dan bakat anak; dan yang terakhir

cerita itu harus sesuai dengan tingkat usia dan kemampuan mencerna isi cerita

anak (Mursid 2015: 33).

Menurut Musrid (2015: 19) Manfaat dari metode cerita, ialah

menegmbangkan imajinasi anak; menambah pengalaman; melatih daya

konsentrasi; menambah pembendaharaan kata; menciptakan suasana akrab;

melatih daya tangkap; mengembangkan perasaan sosial; mengembangkan emosi

anak; berlatih mendengarkan; mengenal nilai-nialai positif dan negatif, dan

menambah pengetahuan.

Prinsip bercerita bagi perkembangan anak usia dini dalam buku Pedoman

Materi TK oleh Diknas, dikemukakan bahwa:

a. Mengkomunikasikan nilai-nilai budaya.

b. Mengkomunikasikan nilai-nilai sosial.

c. Mengkomunikasikan nilai-nilai keagamaan.

d. Menanamkan etos kerja, etos waktu, dan etos alam.

e. Membantu mengembangkan fantasi anak.


27

f. Mengembangkan dimensi kognitif anak.

g. Membantu mengembangkan dimensi bahasa anak (Cyrus dan Ester

2017: 104-105).

7) Metode Pemberian Tugas

Metode pemberian tugas merupakan pekerjaan yang sengaja diberikan

kepada anak yang harus dilaksanakan denganbaik. Tugas itu diberikan kepada

anak untuk memberi kesempatan mereka menyelesaikan tugas yang didasarkan

pada petunjuk langsung dari guru yang dipersiapkan sehingga anak dapat

menjalani secara nyata dan melakukan dari awal sampai tuntas. Tugas yang

diberikan kepada anak secara perseorangan atau kelompok (Moeslichatoen 2004:

181).

Pemberian tugas ini dapat digunakan untuk meningkatkan keterampilan

berpikir. Kemampuan berpikir itu meliputi kemampuan yang paling sederhana

sampai pada kemampuan yang kompleks, yakni dari kemampuan mengingat

sampai dengan kemampuan memecahkan masalah (Mursid 2017: 34).

B. Moral Keagamaan Pendidikan Anak

1. Pengertian Moral

Istilah moral kadang-kadang dipergunakan sebgai kata yang sama dengan

etika. Moral berasal dari bahasa latin, mors (adat kebiasaan, cara, tingkah, laku,

kelakuan), mores (adat istiadat tabiat, kelakuan, watak, akhlak). Moral pada

hakikatnya merupakan sesuatu yang tinggi nilainya, yang dapat menjadi tolok

ukur dalam kehidupan bermasyarakat dan mengatur tata laku dan sikap bagaimana

sebaiknya berprilaku, sikap, ucap yang baik dalam kehidupan masyarakat, sesuai
28

dengan norma-norma kemasyarakatan yang berlaku (cyrus dan Ester 2017: 50).

Menurut Budiningsih (2008: 24) moral adalah hal-hal yang berhubungan dengan

larangan dan tindakan yang membicarakan salah atau benar.

Konsep Moral menurut Gunarti, dkk (2014: 4) antara lain:

1) Tebentuk dari peraturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi

anggota suatu budaya.

2) Konsep moral inilah yang menentukan perilaku yang diharapkan dari

seluruh anggota kelompok.

3) Perilaku tak bermoral: perilau yang tidak sesuai dengan harapan sosial.

Penyebabnya: ketidaksetujuan dengan standar sosial atau kurang adanya

perasaan wajib menyesuaikan diri.

4) Perilaku amoral yang menjadi penyebabnya ialah lebih disebabkan ketidak

acuhan terhadap kelompok sosial, bukan pelanggaran yang disengaja

terhadap standar kelompok.

2. Tahap-tahap Perkembangan Moral

Menurut Kohlberg dalam Cyrus dan Ester (2017: 55-57) terdapat tiga

tingkatan perkembangan anak, yaitu:

1) Pra-konvensional

Tahapan pada tingkat pra-konvensional ini meliputi, pertama tahap

orientasi terhadap kepatuhan dan hukuman, dan yang kedua realivitistik

hedonisma. Pada tahap pertama, sang anak memandang aturan-aturan sebagai

sesuatu yang mutlak harus dilakukan dan jika tidak melakukannya maka akan

mendapat hukuma. Pada tahap kedua, realivitistik hedonisma, sedah lebih luas
29

dari tahapan pertama. Disini suatu aturan dipandang bukanlah sesuatu yang

mutlak dilakukan, tetapi bergantung pada kebutuhan dan juga pertimbangan pihak

lain. Juga sebagai sesuatu yang dapat memberi kesenangan (hedonis) bagi diri

sendiri (bersifat egosentrik sebagaimana ciri anak usia dini).

2) Konvensional

Tingkat konvensional ini meliputi tahap yang ke tiga, orientasi mengenai

anak yang baik dan tahap yang ke empat, mempertahankan norma-norma sosial

dan otoritas. Pada tahap ketiga, anak memasuki usia remaja, yaitu belasan tahun.

Pada thap ini perbuatan-perbuatan atau prilau anak sudah dapat dinilai sebagai

perbuatan baik atau tidak baik oleh masyarakat. Baik dan buruknya nilai yang

dikemukakan terhadap sesuatu prilaku berdasarkan tolok ukur aturan norma atau

kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat.

Pada tahap ke empat, anak sudah menentukan tanggung jawabnya dalam

menegakan aturan-aturan atau norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.

Tidak sekedar agar tindakan yang dilakukannya terlihat oleh orang lain sesuai

ukuran baik atau tidak baik, tetapi juga sebagai wujud tanggung jawabnya

menegakan aturan-aturan yanga ada yang berlaku dan mengatur tatanan hidup

bersama alam masyarakat. Jadi pada tahap ini anak mempunyai kekuatan/otoritas

untuk menegakan dan mempertahankan aturan/norma dalam masyarakat.

3) Pasca-konvensional

Tahapan pada tingkatan ketiga ini meliputi tahapan kelima, orientasi

terhadap perjanjian antara dirinya dan lingkungan sosial dan tahapan, dan yang

keenam, prinsip universal. Pada tahapan kelima, terdapat hubungan timbal balik
30

antara seseorang dengan lingkungan sosial dimana ia hidup dan berada. Sebagai

warga masyarakat, ia patuh dan melaksanakan kewajibannya dalam kehidupan

bersama masyarakat dan sosialnya juga menjamin hak-haknya, terhadap

perlindungan keselamatan dan kesejahtraannya. Dinamika perubahan masyarakat

dan individu akan mendatangkan perubahan-perubahan dan keduanya dituntut

untuk saling menjamin kebutuhan-kebutuhan; individu dan masyarakat. Jadi,

semacam perjanjian di antara keduanya.

Pada tahapan keenam, prinsip universal, terdapat norma etika selain norma

pribadi dan subjektif. Norma pribadi berkenaan dengan unsur subjektif pada diri

seseorang dalam hubungannya dengan masyarakat yang menilai apakah sesuatu

tindakan baik atau tidak baik atau bermoral/tidak bermoral. Subjektivisme disini

berkenaan dengan perbedaan penilaian antara seseorang dengan warga masyarakat

lainnya. Disini unsur etik yang menentukan sesuatu itu boleh atau tidak boleh

sebagai norma etik yang menentukan sesuatu itu boleh atau tida boleh sebagai

sumber dalam menentukan sesuatu perilaku/perbuatan yang berhubungan dengan

moralitas.

Singgih Gunarsa mengemukaakan skema tahapan perkembangan moral

menurut kohlbreg yang telah diuraikan diatas sebagai berikut:

Tabel 2.1

Tahap perkembangan moral menurut Kohlberg

Tingkat tahap Ciri khusus

Tingkat I : Pra-Konvensional Hukum patuh agar tidak dihukum.

Tahap 1 : Orientasi terhadap kepatuhan


31

dan hukuman. Ada faktor pribadi yang relatif dan

Tahap 2 : Realitivistik hedenism prinsip kesenangan.

Tingkat II : Konvensional Agar menjadi anak yang baik,

Tahap 3 : Oreintasi mengenai anak perbuatannya harus diteima oleh

yang baik. masyarakat.

Tahap 4 : Mempertahankan norma- Menyadari kewajibannya untuk ikut

norma sosial dan otoritas. melaksanakan norma-norma yang ada

dan mempertahankan pentingnya ada

norma-norma.

Tingkat III : Pasca-Konvensional Perjanjian antara dirinya dengan

Tahap 5 : Orientasi terhadap lingkungan sosial.

perjanjian antara dirinya dengan Berbuat baik agar diperlakukan baik.

lingkungan sosial. Berkembangnya norma etik (kata hati)

Tahap 6 : Prinsip Universal. untuk menentukan perbuatan norma

dengan perbuatan prinsip universal.

Dari kajian perkembangan moral hasil penelitian Kohlbreng diatas,

tampak bahwa perkembangan moral banyak ditentukan oleh faktor dari diri

seseorang. Sebagai potensi yang dimiliki anak, ternyata faktor aktivitas diri

individu sangat berperan dalam kerja sama dengan lingkungan, terutama orang

tua/masyarakat sangat penting, termasuk peran budaya. Hal ini sebagaimana


32

pandangan piaget tentang peran seseorang yang moralnya mengalami

perkembangan sampai pada tingkatannya yang paling tinggi di tahap universal.

4. Target Perkembangan Moral

Menurut tim penyusun materi metode pengembangan moral dan nilai-nilai

agama bagi anak TK, dikemukakan bahwa perlunya target pengembangan moral

bagi anak-anak usia TK agar pada mereka telah tampak prilau-prilaku yang sudah

mencerminkan kaidah ynag berlaku dalam kehidupan masyarakat.

Untuk itu, ukuran target yang perlu dicapai pada tahapan perkembangan

anak usia dini sesuai dengan tingkat perkembangannya. Anak pada tahap pertama

(dari usia 0-2 tahun bahkan menurut piaget 4-7 tahun) ukuran ke tindakan dalam

penilaian moral masih sangat minim. Hal ini seperti dikemukakan bahwa pada

tahap ini sang anak tindakannya masih lebih dikendalikan ileh implus-implus

biologis, sedangkan nanti sesudah 10 tahun ke atas baru tindakan moral sudah

cukup tampak dalam keputusan tindakan sendiri (tahap autonomus) yang

mengandung nilai-nilai moral berkenaan dengan kaidah-kaidah yang berlaku

dalam masyarakat.

Pada setiap fase-fase perkembangan menurut usia maka setiap manusia

memiliki ukuran pencapaian perkembangan tertentu. Di bawah ini dikemukakan

pencapaian perkembangan anak usia dini untuk lingkup perkembangan nilai-nilai

agama dan moral menurut peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 58

tahun 2009 per tingkat usia sebagai berikut:

1) Usia 3 bulan sampai dengan 2 tahun


33

Pada selang usia ini, tingkat capaian anak tidak diatur secara spesifik sehingga

pelaksannanya diserahkan kepada masing-masing lembaga.

2) Usia 2 sampai dengan 3 tahun

Pada selang usia ini tingkat capaian ank meliputi

a. Mulai meniru gerakan berdoa/sembahyang sesuai dengan agamanya.

b. Mulai meniru doa pendek sesuai dengan agamanya.

c. Memulai memahami kapan mengucapkan salam, terimakasih, maaf,dsb.

3) Usia 3 sampai dengan 4 tahun

Pada selang usia ini, tingkat pencapaian anak meliputi sebagai berikut:

a. Mulai memahami pengertian prilaku yang berlawanan meskipun belum

selalu seperti pemahamaan prilaku baik-buruk, benar-salah, sopan dan

tidak santun.

b. Mulai memahami arti kasihan dan sayang kepada ciptaan Tuhan.

4) Usia 4 sampai dengan 5 tahun

Pada selang usia ini, tingkat pencapaian anak meliputi

a. Mengenal tuhan melalui agama yang dianut;

b. Meniru gerakan ibadah;

c. Mengucapkan doa sebelum atau sesudah melakukan sesuatu;

d. Mengenal prilau baik-buruk;

e. Membiasakan diri berprilaku baik;

f. Mengucapkan dan membalas salam.

5) Usia 6 sampai dengan 6 tahun

a. Mengenal agama yang dianut.

b. Membiasakan diri beribadah.


34

c. Memahami prilaku mulia (jujur, penolong, sopan, hormat,dsb.) (Cyrus dan

Ester 2017: 63-65).

C. Hakikat Pendidikan Anak Usia Dini

1. Pengertian Pendidikan Anak Usia Dini

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidkan Nasional berkaitan dengan pendidikan anak usia dini tertulis pada

pasal 28 ayat 1 yang berbunyin “ pendidikan anak usia dini diselenggarakan bagi

anak sejak lahir sampai dengan enam tahun dan bukan merupakan persyaratan

untuk mengikuti pendidikan dasar”. Pada bab 1 pasal 1 ayat 14 ditegaskan bahwa

pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditunjukan kepada

anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui

pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan

perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki

pendidikan lebih lanjut (Mursid 2015: 2).

Menurut Sujiono (2011: 6) pendidikan anak usia dini adalah sebuah

pendidkan yang dilakukan pada anak yang baru lahir sampai dengan delapan

tahun. Pendidikan pada tahap ini memfokuskan pada physical,

intellegece/cognitive, emotional, & social education. Sedangkan menurut Hasan

(2009: 15) Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan

sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang

ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan

melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan

perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki
35

pendidikan lebih lanjut, yang diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan

informal.

Sementara menurut Biechier dan Snowman (1993) yang dimaksud dengan

pendidikan anak usia dini prasekolah adalah mereka yang berusia 3-6 tahun.

Mereka biasanya mengikuti program prasekolah dan kindergarden, sedangkan di

Indonesia, umumnya mereka mengikuti program tempat penitipan anak (3 bulan-5

tahun) dan kelompok bermain (usia 3 tahun), sedangkan pada usia 4-6 tahun

biasanya mereka mengikuti program taman kanak-kanak (Mursid 2015: 3).

Perbedaan batasan usia sebetulnya tidak menjadi masalah kalau konsep

pendidkan anak usia dini diterapkan dengan belajar melalui bermain (learning

through playing). Sejauh ini, sistem pendidikana nak usia dini 0-6 tahun di

indonesia memang sudah diterapkan sejak sekitar tahun 1998, banyak lembaga

prasekolah yang mengadopsi sistem pendiidkan anak usia dini dari luar negri.

Meski sistem tersebut kerap dituduh tida sesuai dengan latar budaya kita. Seiring

berjalannya waktu dan pemahaman mengenai pendidikan anak usia dini(PAUD)

(Musrid 2015: 3).

Tujuan dari pendidikan anak usia dini adalah mengembangkan berbagai

potensi anak sejak dini sebagai persiapan untuk hidup dan menyesuaikan diri,

dengan lingkungannya serta membentuk anak Indonesia yang berkualitas, di mana

anak akan tumbuh dan berkembang sesuai tingkat perkembangannya sehingga

memiliki kesiapan optimal dalam memasuki pendidikan dasar, serta mengarungi

kehidupan di masa dewasanya (Musrid 2015:3).


36

Pentingnya pendidikan anak usia dini, karena dengan PAUD merupakan

fondasi bagi dasar kepribadian anak. Anak yang mendapatkan pembinaan yang

tepat dan efektif sejak usia dini akan dapat meningkatkan kesehatan serta

kesejahteraan fisik mental, yang akan berdampak pada peningkatan prestasi

belajar. Etos kerja, dan produktivitas sehingga mampu mandiri dan

mengoptimalkan potensi dirinya (Mulyasa 2016: 45).

PAUD sangat menentukan kesuksesan seseorang di masa depan;

bagaimana seseorang merespons berbagai permasalahan yang dihadapi dalam

setiap langkah kehidupan sangat ditentukan oleh pengalaman dan pendidikan yang

diperolehnya pada saat usia dini. PAUD yang positif akan mendorong seseorang

untuk merespons berbagai permasalahan secara positif, sebaliknya pengalaman

negatif dapat mendorong seseorang melakukan sesuatu yang tidak sesuai norma-

norma kehidupan yang seharusnya. Jangan-jangan kondisi kehidupan masyarakat

kita yang carut marut dewasa ini pun, merupakan akibat atau cermin kegagalan

PAUD 15-20 tahun yang lalu (Mulyasa 2016: 46).

PAUD dalam implementasinya, memerlukan dukungan dari berbagai

pihak, baik dari pemerintahan, masyarakat, maupun orang tua. Keterlibatan ini

akan sangat membantu perkembangan anak, terutama dalam perkembangan aspek

sosial emosional. Untuk itu, guru dan orang tua membutuhkan pemahaman yang

baik terhadap perkembangan anak, memahami bagaimana anak berubah sepanjang

hidupnya, baik perubahan pisik, perilaku, maupun kemampuan berpikir (thingking

skill) sehingga pembelajaran yang baik dilakukan berdasarkan dan sesuai dengan

karakteristik peserta didik (Mulyasa 2016: 47).


37

Menurut Solehuddin dan Hatimah (2007: 103) prinsip-prinsip pembelajaran

anak usia dini ini antara lain adalah sebagai berikut:

a. Prinsip holistik dan terpadu

b. Berbasis keilmuan dan bersipat multi-disipliner

c. Berorientasi pada kebutuhan perrkembangan dan keunikan anak

d. Berorientasi masyarakat

e. Menjamin keamanan anak

f. Keselarasan antara rumah, sekolah, dan masyarakat

g. Terbebas dari perilaku diskriminatif.

2. Bidang Garapan Pendidikan Anak Usia Dini

Menurut Mulyasa (2012: 53) pendidikan anak usia dini merupakan bentuk

layanan pendidikan yang diberikan kepada anak sejak lahir hingga usia enam

tahun, dengan cara memberikan rangsangan terhadap seluruh aspek

perkembangannya, yang meliputi aspek fisik dan non fisik. Bidang garapan ank

usia dini meliputi:

a. Pendidikan Keluarga (0-2 tahun)

Pada tahap ini, pendidikan anak masih berada pada lingkungan terkecil,

yakni keluarga. Pendidikan keluarga merupakan pendidikan pertama dan utama

bagi anak sebab pendidikan keluarga merupakan fondasi bagi anak untuk

membangun struktur kepribadian selanjutnya. Dalam hal ini orang tua memegang

peran utama. Tidak hanya ibu, tetapi juga ayah yang memberikan nilai-nilai
38

pendidikan kepada anak. Orang tua memegang kunci pertama bagi keberhasilan

anak, hingga dianggap sebagai pertama dan utama.

b. Taman Pengasuh Anak (2 bulan sampai 5 tahun)

Taman-taman pengasuh anak adalah lembaga kesejahteraan sosial yang

memberikan layanan pengganti asuhan, perawatan, dan pendidikan bagi anak

balita selama anak tersebut ditinggal bekerja oleh orang tuanya. TPA bertujuan

untuk membantu orang tua agar dapat bekerja dengan tenang sehingga mencapai

prestasi yang optimal. Selain itu, juga menghindarkan anak dan kemungkinana

terlantar pertumbuhan dan perkembangan jasmani, rohani dan sosialnya. TPA

umumnya melayani titipan anak usia 2 bulan sampai dengan usia 5 tahun.

c. Kelompok bermain (3-4 tahun)

Kelompok bermain (play group) merupakan tempat bermain dan belajar

bagi anak-anak sebelum memasuki Taman Kanak-kanak. Pada umumnya play

group menampung ank-anak normal dalam rentang usia 3-4 tahun. play group

bertujuan untuk mengembangkan seluruh aspek fisik, mental, emosi dan sosial

anak. Isi program merupakan penjabaran dari visi dan misi, serta tujuan play

group, dengan tenaga pendidik umunya lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG),

Sekolah Guru Taman Kanak-kanak (SGTK) dan Sekolah Menengah Atas (SMA).

d. Taman Kanak-kanak (4-6 tahun)

Taman Kanak-kanak merupakan jenjang pendidikan setelah play group

sebelum anak masuk sekolah dasar. Pada saat ini TK bukan jenjang pendidikan
39

wajib, dan tidak termasuk dalam program wajib belajar pendidikan dasar.

Meskipun demikian, keberadaannya telah memberikan sesuatu yang cukup berarti

bagi penyiapan anak usia dini memasuki pendidkan dasar.

Program-program PAUD lainnya yang setara dengan TK, antara lain

Taman Kanak-kanak Al-Quran (TPA), dan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu).

TKA adalah program pendidikan bagi anak usia dini 4-6 tahun dengan materi

lebih ditekankan pada Al-Quran. Posyandu adalah wahana kesejahteraan ibu dan

anak yang berfungsi memberikan layanan terpadu yang mencakup aspek

pelayanan kesehatan dan gizi terutama untuk ibu hamil dan anak usia dini.

Posyandu merupakan bentuk kegiatan dari masyarakat, oleh masyarakat, dan

untuk masyarakat dengan bimbingan dari petugas kesehatan.

e. Bina Keluarga Balita (BKB)

BKB adalah suatu kegiatan yang bertujuan memberikan pengetahun dan

keterampilan kepada orang tua dan anggota keluarga lainnya mengenai bagaimana

mendidik, mengasuh dan memantau pertumbuhan dan perkembangan anak balita.

Layanan kegiatan BKB pada dasarnya merupakan pembinaan tumbuh kembang

balita yang terdiri dari tiga aspek, yakni: kesehatan, gizi, dan psikososial. Program

ini diperuntukan terutama bagi ibu-ibu yang memiliki anak balita dan termasuk

dalam kategori keluarga berpenghasilan rendah.

Program BKB bertujuan agar orang tua memiliki konsep diri yang sehat,

terjadi peningkatan pengetahuan dan keterampilan dalam mengasuh dan membina

anak serta mampu menerapkan pola asuh yang tepat sejak dini.

3. Tujuh Intelegensi Anak Usia Dini yang Perlu Dikembangkan


40

Garder (1993: 24) mengemukakan bahwa manusia mempunyai tujuh macam

inteligensi, yaitu musical intelligence (musikalitas), logical mathematical (logika

matematika0, bodily kinesthentic intellegence (kelenturan tubuh), linguistic

intellegence (intelegensi dalam bidang kebahasaan), spatial intelligence

(intelegensi ruang), interpersonal intelligence (kecerdasan yang terkait dengan

hubungan pribadi), intrapersonal intelligence (kecerdasan hubungan antar

personal).

Pada masa usia dini tujuh macam kecerdasan belum berkembang secara

optimal, tetapi ada kalanya kecerdasan tersebut sudah muali tampak. Salah satu

cirinya dalah anak dapat menampilkan kemampuannya melebihi teman-teman

sebayanya. Seorang anak yang mempunyai kecerdasan musikalitas pada

umumnya dengan cepat dapat menirukan nada dengan tepat, atau menghafal lagu

dengan cepat. Anak-anak ini perlu diberi rangsangan dengan mengajaknya untuk

bernyanyi atau bermain musik agar kemampuannya berkembang.

Salah satu anak yang mempunyai kecerdasan matematika adalah memiliki

kemampuan dan kesenangan dalam berhitung. Anak-anak yang demikian perlu

dirangsang dengan dihadapkan dengan permasalahan-permasalahan yang

bersangkut paut dengan angka.

Anak-anak yang mempunyai kecerdasan dalam kinestetik dapat terdeteksi

melalui kemampuannya yang berhubungan dengan kelenturan tubuh, misalnya

menari atau olahraga. Untuk mengembangkan kemampuannya, anak-anak tersebut

perlu diajak untuk menari atau melakukan kegiatan-kegiatan yang memerlukan

gerakan-gerakan tubuh.
41

Kecerdasan linguistik dipunyai oleh anak-anak yang gemar membaca atau

bercerita. Dengan demikian, untuk mengembangkan kecerdasan kebahasaan anak-

anak tersebut perlu diberi rangsangan dengan diajak membaca dan

menangkapnya.

Anak-anak yang mempunyai kemampuan untuk mengingat tempat atau

mengetahui posisi-posisi dengan tepat, berarti yang bersangkutan mempunyai

kecerdasan special atau kecerdasan ruang. Untuk meningkatkan kecerdasan

tersebut anak-anak perlu dirangsang dengan permainan-permainan yang terkait

dengan ruang, salah satunya bermain puzzle.

Kecerdasan interpersional adalah kecerdasan untuk memahami hal-hal

yang terjadi pada dirinya. Kecerdasan ini ditandai dengan kemampuannya untuk

mengungkap perasaan atau isi hati. Keceerdasan ini dapat dikembangkan dengan

cara anak-anak diminta untuk mengungkapkan apa yang terjadi dan apa yang

dirasakan.

Kecerdasan intrapersonal adalah kecerdasan seseorang untuk menjalin

hubungan dengan orang lain. Mengajak anak untuk bergaul dengan teman-

temannya baik teman lama maupun teman yang baru dikenalnya akan sangat

membantu dalam upaya mengembangkan kecerdasan intrapersonal ini.

Ketujuh macam intelegensi ini perlu dikembangkan sejak anak masih unsi

dini. Karena masa-masa tersebut adalah masa golden age. Pada masa tersebut

kecerdasan dapat berkembang paling optimal, karena pada mas itu lah anak-anak

paling peka untuk menangkap segala rangsangan yang masuk dalam dirinya. Hal

ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Jhon Locke, yaitu teori tabularasa

yanag mengibaratkan anak sebagai meja yang terbuat dari lilin. Makna teori ini
42

adalah ana dapat dibentuk apa saja bergantung pada pendidknya (Mulyasa 2012:

57-59).

Anda mungkin juga menyukai