Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Trauma kepala umumnya digolongkan sebagai trauma tertutup dan terbuka. Trauma tertutup
atau trauma tumpul seperti yang sering disebut orang, merupakan kejadian yang lebih sering
ditemukan. Secara khas trauma tumpul terjadi ketika kepala membentur benda keras atau ketika
ada benda keras yang bergerak dengan cepat dan membentur kepala. Pada keadaan ini, durameter
masih utuh dan tidak ada jaringan otak yang terbuka terhadap lingkungan luar. Sebagaimana
disebutkan namanya, trauma terbuka menunjukan adanya lubang pada kulit kepala, meningen, atau
jaringan otak termasuk dura meter, sehingga isi tengkorak terbuka terhadap lingkungan luar. Pada
trauma terbuka, risiko infeksi sangat tinggi (Kowalak, 2011).
Mortalitas akibat trauma kepala telah banyak berkurang seiring kemajuan dibidang preventif,
seperti penggunaan sabuk pengaman serta kantung udara. Respon layanan kesehatan yang lebih
cepat terhadap kejadian kecelakaan serta waktu untuk membawa pasien yang lebih pendek dan
penanganan pasien yang lebih baik. Termasuk pengembangan pusat-pusat trauma disejumlah
kawasan. Kemajuan dalam teknologi penanganan trauma kepala juga telah meningkatkan
keefektifan layanan rehabilitasi bahkan pada pasien cedera kepala berat (Kowalak, 2011).
Akibat dari trauma kepala akan menimbulkan beberapa masalah, salah satunya perdarahan
otak. Oleh sebab itu perawat kedaruratan harus dapat mengkaji secara adekuat pasien cedera
kepala dan memulai tindakan keperawatannya. Meskipun peran perawat dalam program
pencegahan amat penting, perannya dalam mengenali dan merawat cedera otak juga tidak kalah
pentingnya (Oman, 2008).
Berdasarkan latar belakang di atas, maka menjadi penting untuk menyusun makalah tentang
konsep trauma kepala untuk mengetahui lebih dalam tentang karakteristik trauma serta bagaimana
penatalaksanaan keperawatan yang tepat. Sehingga kejadian yang tidak diinginkan seperti adanya
komplikasi lebih lanjut seperti angka kesakitan dan angka kematian akibat trauma ini dapat
dikurangi.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut :
1.        Bagaimana konsep teori dari trauma kepala ?
2.        Bagaimana konsep asuhan keperawaatan pada klien trauma kepala ?

1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan umum
Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
KeperawatanAdvance Nursing Praktice I pada program studi S-1 Keperawatan di STIKES
Muhammadiyah Lamongan.

1.3.2 Tujuan khusus
Diharapkan Mahasiswa mampu :
1.    Untuk mengetahui konsep teori dari trauma kepala.
2.    Untuk mengetahui konsep asuhan keperawtan pada klien trauma kepala.

BAB II
                                                                                                                                                                  

TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi Trauma Kepala
Trauma kepala merupakan kejadian cedera akibat trauma pada otak, yang menimbulkan
perubahan fisik, intelektual, emosi, sosial, ataupun vokasional (pekerjaan). Anak kecil usia dua
bulan hingga dua tahun, individu usia 15 hingga 24 tahun, dan lanjut usia merupakan kelompok
yang beresiko tinggi mengalami trauma kepala. Risiko pada laki-laki dua kali lipat risiko pada
wanita (Kowalak, 2011).
Trauma kepala adalah perdarahan yang berasal dari vena menyebabkan lambatnya
pembentukan hematoma karena rendahnya tekanan, laserasi arterial ditandai oleh pembentukan
hematoma yang cepat karena tingginya tekanan (Engram, 2007).
Beberapa pengertian diatas dapat diambil kesimpulan trauma kepala adalah trauma pada
otak, yang menimbulkan perubahan fisik, intelektual, emosi, sosial, ataupun vokasional (pekerjaan)
yang menimbulkan perdarahan yang berasal dari vena menyebabkan lambatnya pembentukan
hematoma.

2.2 Klasifikasi Trauma Kepala


Menurut Kowalak (2011), trauma kepala dapat diklasifikaikan sebagai berikut :
2.2.1 Mekanisme Cedera Jenis Trauma Kepala
Berdasarkan mekanisme cedera jenis trauma kepala ada 2, yaitu :
1.    Trauma Kepala Tertutup
a.       Komusio Serebri/Gegar otak
Pukulan pada kepala yang cukup keras untuk membuat otak menghantam tulang tengkorak,.
Kejadian ini menyebabkan disfungsi syaraf yang temporer. Kesembuhan biasanya bersifat total
dalam waktu 24 hingga 48 jam. Cedera berulang dapat menimbulkan kerusakan kumulatif pada
otak.
b.      Kontusio Serebri/Memar otak
Paling sering terjadi pada usia 20 hingga 40 tahun. Kebanyakan disebabkan oleh perdarahan arteri.
Darah umumnya mengumpul di anatara tulang tengkorak dan duramater.
c.       Hematoma Intraserebral
Disrupsi traumatic atau spontan pembuluh darah serebral dalam parenkim otak menyebabkan deficit
neurologi yang intensitasnya bergantung pada lokasi perdarahan. Gaya robekan akibat gerakan
otak sering menimbulkan laserasi pembuluh darah dan perdarahan ke dalam parenkim otak.
d.      Edema Serebri Traumatik
Keadaan patologis terjadinya akumulasi cairan di dalam jaringan otak sehingga meningkatkan
volume otak. Dapat terjadi peningkatan volume intraseluler (lebih banyak di daerah substansia
grisea) maupun ekstraseluler (daerah substansia alba), yang menyebabkan terjadinya peningkatan
tekanan intrakranail.
e.       Hematoma Epidural
Cedera akselerasi (Otak terus bergerak serta membentur tengkorak) dan deselerasi (memantul).
Otak dapat membentur tonjolan tulang yang ada di dalam tengkorak (khususnya krista sfenoidalis)
sehingga terjadi perdarahan atau hematoma intracranial yang dapat menimbulkan herniasi
tentorium.
f.       Hematoma Subdural
Perdarahan meninges yang terjadi karena penumpukan darah dalam rongga subdural (diantara
duramater dan araknoid). Keadaan ini paling sering ditemukan. Bisa bersifat akut, subakut dan
kronis terjadi secara unilateral (pada satu sisi) atau bilateral (pada kedua sisi).
g.      Hematoma Subaraknoid
Perdarahan terjadi dalam rongga subaraknoid, sering menyertai kontusio serebri. Pada pungsi
lumbal ditemukan cairan serebrospinal berdarah.

2.    Trauma Kepala Terbuka

a.    Fraktur linear didaerah temporal


Fraktur linear didaerah temporal di mana arteri meningeal media berada dalam jalur tulang temporal,
sering menyebabkan perdarahan epidural. Fraktur linear yang melintang garis tengah, sering
menyebabkan perdarahan sinus dan robeknya sinus sagitalis superior.
b.    Fraktur di daerah basis
Fraktur di daerah basis di sebabkan karena trauma dari atas atau kepala bagian atas yang
membentur jalan atau benda diam fraktur di fosa anteror, sering terjadi keluarnya liquor melalu
hdung (rhinorhoe) dan adanya brill hematoma (raccon eye).
c.    Fraktur pada os petrosu
Fraktur pada os petrosus terbentuk longitudinal dan transversal (lebih jarang).fraktur longitudinal
dibagi menjadi anterior dan posterior. Fraktur anterior biasanya karena trauma di daerah temporal,
sedang yang posterior disebabkan trauma didaerah oksipital.
d.   Fraktur longitudinal
Fraktul longitudinal sering menyebabkan kerusakan pada meatus akutikus interna, foramen jugularis
dan tuba eustakhius. Setelah 2-3 hari akan tampak battle sign (warna biru di belakang telinga di atas
os mastoid) dan otorrhoe (liquor keluar dari telinga). Perdarahan dari telinga dengan trauma kepala
hampir selalu di sebabkan oleh retak tulang dasar tengkorak.

2.2.2 Keparahan Cedera Kepala


Berdasarkan keparahan cedera kepala di bagi menjadi :
1.    Cedera Kepala Ringan
Cedera kepala ringan adalah cedera karena tekanan atau kejatuhan benda tumpul yang dapat
menyebabkan hilangnya fungsi neurology sementara atau menurunnya kesadaran sementara,
mengeluh pusing nyeri kepala tanpa adanya kerusakan lainnya (Corwin, 2009).
2.    Cedera Kepala Sedang
Cedera kepala sedang adalah suatu trauma yang menyebabkan kehilangan kesadaran dan amnesia
lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam dapat mengalami fraktur tengkorak dengan GCS 9-
12 (Muttaqin, 2008).
3.    Cedera Kepala Berat
Cedera kepala berat adalah cedera dengan skala koma glasgow 3-8 atau dalam keadaan koma
kepala dimana otak mengalami memar dengan kemungkinan adanya daerah hemoragi, pasien
berada pada periode tidak sadarkan diri (Batticaca, 2008).

2.3 Etiologi Trauma Kepala


Menurut Kowalak (2011), Etologi trauma kepala dapat meliputi:
1.      Kecelakaan kendaraan atau transportasi.
2.      Kecelakaan terjatuh.
3.      Kecelakaan yang berkaitan dengan olahraga.
4.      Kejahatan dan tindak kekerasan.

2.4 Manisfestasi Klinis Trauma Kepala


Menurut Engram (2007), Tanda dan Gejala trauma kepala berdasarkan klasifikasi sebagai
berikut :
2.4.1 Mekanisme Cedera Jenis Trauma Kepala
Berdasarkan mekanisme cedera jenis trauma kepala ada 2, yaitu :
1.    Trauma Kepala Tertutup
a.    Komusio Serebri/Gegar otak
1.    Pingsan tidak lebih dari 10 menit
2.    Tanda-tanda vital dapat normal atau menurun
3.    Sesudah sadar mungkin terdapat gejala subyektif seperti nyeri kepala, pusing, muntah
4.    Terdapat amnesia retrograde

b.    Kontusio Serebri/Memar otak


1.    Pingsan berlangsung lama, dapat beberapa hari sampai berminggu-minggu
2.    Kelainan neurologic
3.    Hemiparesis yang berkaitan dengan gangguan aliran darah ke tempat cedera
4.    Pernapasan biasa atau seperti Cheyne Stokes
5.    Pupil mengecil dan reflex cahaya baik
6.    Postur tubuh dekortikasi atau deserebrasi akibat kerusakan korteks serebri

c.    Hematoma Intraserebral
1.    Keadaan tidak bereaksi yang segera terjadi atau interval lusidum sebelum pasien tidak sadarkan diri
(koma) sebagai akibat kenaikan tekanan intracranial dan efek massa yang ditimbulkan oleh
perdarahan
2.    Kemungkinan deficit motoric dan respons dekortikasi atau deserebrasi akibat kompresi pada traktus
kortikospinalis serta batang otak

d.   Edema Serebri Traumatik


1.    Pingsan yang lamanya dapat berjam-jam
2.    Tekanan darah naik dan nadi turun
3.    Kelainan neurologic

e.    Hematoma Epidural
1.    Penurunan kesedaran atau nyeri kepala sebentar, kemudian membaik
2.    Beberapa jam kemudian timbul gejala yang berat dan sifatnya progresif seperti nyeri kepala hebat,
pusing dengan disertai penurunan kesadaran.

f.     Hematoma Subdural
1.    Nyeri kepala hebat, muntah
2.    Gangguan penglihatan karena edem dari pupil N II
3.    Pada sisi kontralateral hematoma terdapat gangguan traktur piramidalis

g.    Hematoma Subaraknoid
1.    Serebrospinal berdarah
2.    Timbul kaku kudu

2.    Trauma Kepala Terbuka


a.    Fraktur linear di daerah temporal
1.    Perdarahan epidural
2.    Perdarahan sinus
3.    Robeknya sinus sagitalis superior
b.    Fraktur didaerah basis
1.    Keluarnya liquor melalui hidung (rhinorhoe)
2.    Adanya brill hematoma (raccoon eye)
c.    Fraktur longitudinal
1.    Kerusakan pada meatus akutikus interna, foramen jugularis dan tuba eustakhius
2.    Setelah 2-3 hari akan tampak battle sign dan otorhoe
3.    Perdarahan dari telinga dengan trauma kepala hamper selalu disebabkan oleh retak tulang dasar
tengkorak

2.4.2 Keparahan Cedera Kepala


Berdasarkan keparahan cedera kepala di bagi menjadi :
1.    Cedera Kepala Ringan
a.    Hilangnya kesadaran tidak lebih 30 menit atau lebih
b.    Tanda-tanda vital dalam batas normal atau menurun
c.    Timbul rasa nyeri di kepala
d.   Pusing dan muntah
e.    GCS 13-15, tidak terdapat kelainan neurologis.
2.    Cedera Kepala Sedang
a.    Pada cedera otak, kesadaran seringkali menurun
b.    Pola nafas menjadi abnormal secara progresif
c.    muntah dapat terjadi akibat penigkatan intracranial
d.   Amnesia yang berhubungan dengan kejadian ini mungkin terjadi
3.    Cedera Kepala Berat
a.    Skor skala koma Glasgow (GCS) 3-8 (koma)
b.    Penurunan derajat kesadaran secara progresif
c.    Tanda neurologi fokal
d.   Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium.

2.5 Patofisiologi Trauma Kepala


Otak dilindungi oleh perisai kubah tengkorak (rambut, kulit, tulang, meningen, dan cairan
serebrospinal) yang akan meredam kekuatan dari suatu benturan fisik. Di bawah tingkat kekuatan
tertentu (kapasitas absorpsi), kubah tengkorak dapat mencegah energy benturan sehingga tidak
mengenai jaringan otak. Derajat cedera kepala akibat trauma biasanya sebanding dengan besar
kekuatan yang mencapai jaringan kranial. Lebih lanjut, kemungkinan cedera leher harus
diasumsikan terjadi pada pasien trauma kepala kecuali bila kemungkinan ini sudah dapat
disingkirkan (Corwin, 2009).
Trauma tertutup secara khas merupakan cedera akselerasi deselerasi (coup/contrecoup) yang
terjadi secara tiba-tiba. Pada cedera coup/contrecoup, kepala membentur benda yang relative
dalam keadaan stasioner sehingga terjadi cedera pada jaringan kranial di dekat tempat benturan
(yang disebut coup). Kemudian kekuatan atau gaya yang masih tersisa mendorong otak hinga
menghantarkan sisi tengkorak yang lain dan dengan demikian terjadi benturan serta cedera
sekunder (yang disebut contrecoup). Kontusio dan laserasi dapat pula terjadi pada saat contecoup
ketika jaringan otak yang lunak menggelincir pada tulang rongga tengkorak yang kasar. Di samping
itu, serebrum dapat mengalami robekan karena terpeluntir, yang merusak pars mesensefalon
superior dan daerah-daerah otak pada lobus frontalis, temporalis, serta oksipitalis (Corwin, 2009).
Trauma terbuka dapat menembus kulit kepala, tulang tengkorak, meningen, atau otak.
Cedera kepala yang terbuka biasanya disertai dengan fraktur tulang tengkorak (fraktur cranium),
dan fragmen tulang yang patah serin menimbulkan hematoma serta rupture meningen dengan
kehilangan cairan serebrospinal sebagai akibatnya (Corwin, 2009)

2.6
Kecelakaan kendaraan/transportasi
Trauma kepala
Trauma terbuka
Trauma tertutup
B1 (Breathing)
B2 (Blood)
B3 (Brain)
B4 (Bladder)
B5 (Bowel)
B6 (Bone)
Secara tiba-tiba
Cedera akselerasi
Cedera deselerasi
Coup
Contrecoup
Keadaan stasioner
Jaringan kranial
Dekat tempat benturan
Kekuatan dari coup
Tersisa
Mendorong otak
Menghantarkan isi tengkorak
Benturan
Cedera sekunder
Menembus
Kulit kepala
Tulang tengkorak
Meningen
Otak
Menunjukkan lubang
Kusmaul
Sesak
Hipotensi
Bradikardi
Kesadaran
Jumlah urin
Mual/muntah
Sianosis
Turgor kulit
Otot
Ketidakefektifan pola napas
Gangguan Eliminasi Urine
Kekurangan Volume Cairan
Intoleransi Aktivitas
Penurunan curah jantung
Kecelakaan terjatuh
Kecelakaan olahraga
Kejahatan/tindak kekerasan
Komusio Serebri
Komtusio Serebri
Hematoma Intraserebral
Hematoma Epidural
Hematoma Subdural
Hematoma Subaraknoid
Fraktur Linear
Fraktur Basis
Fraktur Longitudinal
Aliran Darah menurun
Hemiparasea
Rhinorhoe
Ottorhoe
Edema pupil
Gangguan penglihatan
Patah tulang tengkorak
TIK
Kerusakan meatus acusticus
Asupan cairan
Gangguan Rasa Nyaman (Nyeri)
TIK
Pathway
2.7 Penatalaksanaan Trauma Kepala
2.7.1 Medis (Kowalak, 2011)
1.    ABC
a.       Airway dengan jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala
ekstensi kalau perlu dipasang oropharyngeal tube atau nasopharyngeal tube.
b.      Breathing dengan memberikan O2 dengan menggunakan alat bantu pernafasan misalnya Nasal
Kanul, Simple Mask/Rebreating Mask, Mask Nonrebreating, Bag-Valve-Mask, dan Intubasi
Endotrakea.
c.       Circulation pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali normal dan akan
mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi antara lain oleh karena meningkatnya kadar
epinefrin dan norepinefrin dalam darah dan akan bertambah bila ada demam. Setekah 3-4 hari
dengan cairan perenteral pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik bisa dimulai,
sebanyak 2000-3000 kalori/hari.
2.    Medikasi
No Nama Obat Dosis Keterangan
1 Diuretik osmotik Dosisnya 0,5-1 g/kgBB, Untuk mencegah rebound
(manitol 20%) diberikan dalam 30 menit.
Pemberian diulang setelah 6
jam dengan dosis
0,25-0,5/kgBB dalam 30
menit
2 Loop diuretic Dosisnya 40 mg/hari IV Pemberiannya bersama
(furosemid) manitol, karena
mempunyai efek sinergis
dan memperpanjang efek
osmotik serum manitol
3 Diazepam Dosisnya 10 mg IV dan bisa Diberikan bila ada kejang
diulang sampai 3 kali bila
masih kejang
4. Analgetik Dosisnya 325 atau 500 mg Untuk mengurangi demam
(asetaminofen) setiap 3 atau 4 jam, 650 mg serta mengatasi nyeri
setiap 4-6 jam, 1000 mg ringan sampai sedang
setiap 6 akibat sakit kepala
5. Analgetik 30-60 mg, tiap 4-6 jam sesuai Untuk mengobati nyeri
(kodein) kebutuh ringan atau cukup parah
6. Antikonvulsan Dosisnya 200 hingga 500 mg Untuk mencegah serangan
(fenitoin) perhati epilepsi
7. Profilaksis Biasanya digunakan setelah Tindakan yang sangat
antibiotik 24 jam pertama, lalu 2 jam penting sebagai usaha
pertama, dan 4 jam untuk mencegah terjadinya
berikutnya infeksi pasca operasi

3.    Pembedahan
Evakuasi hematoma atau kraniotomi untuk mengangkat atau mengambil fragmen fraktur yang
terdorong masuk ke dalam otak dan untuk mengambil benda asing dan jaringan nekrotik sehingga
risiko infeksi dan kerusakan otak lebih lanjut akibat fraktur dapat dikurangi.
4.    Mobilisasi
Pada pasien cedera kepela berat mobilisasi bisa dilakukan dengan pemasangan servical colar.
Servical colar sendiri adalah alat penyangga tubuh khusus untuk leher. Alat ini digunakan untuk
mencegah pergerakan tulang servical yang dapat memperparah kerusakan tulang servical yang
patah maupun pada cedera kepala. Alat ini hanya membatasi pergerakan minimal pada rotasi,
ekstensi, dan fleksi.

2.7.2 Keperawatan (Kowalak, 2011)
1.    Kontusio dengan kehilangan kesadaran kurang dari 20 menit : Biasanya tidak perlu dirawat, Tirah
baring
2.    Kontusio, laserasi atau kehilangan kesadaran lebih dari 20 menit : Rawat di UPI, Tirah baring,
Lakukan tidakan untuk mengatasi meningkatnya tekanan intracranial mencegah kejang
3.    Mengkaji riwayat cedera
4.    Pantau tanda-tanda vital dan periksa cedera tambahan. Palpasi tulang tengkorak untuk menemukan
gejala nyeri tekan atau hematoma
5.    Jika pasien mengalami perubahan tingkat kesadaran lakukan observasi tanda-tanda vital, tingkat
kesadaran, dan besar pupil setiap 15 menit.
6.    Pasien dengan kondisi stabil setelah dilakukan observasi selama empat jam atau lebih dapat
dipulangkan di bawah pengawasan orang dewasa yang bertanggung jawab
7.    Bersihkan dan cuci luka yang superfisial pada kulit kepala.
8.    Berikan edukasi pada klien untuk mewaspadai kemungkinan sakit kepala bertambah berat, vomitus,
tanda-tanda perdarahan cairan serebrospinal dari dalam telinga
9.    Jika pada pasien mengalami kontusio serebri dan fraktur cranium pertahankan patensi jalan napas
dengan memasang pipa Mayo, pemasangan pipa jalan napas melalui hidung merupakan
kontraindikasi pada pasien fraktur basis kranii. Intubasi bisa diperlukan. Lakukan pengisapan
(suction) melalui mulut dan bukan melalui hidung untuk mencegah bakteri masuk jika terjadi
kebocoran cairan serebrospinal
10.    Jika ditemukan rembesan cairan serebrospinal dari hidung, bersihkan rembesan dan jangan biarkan
pasien menghembuskannya keluar seperti membuang ingus
11.    Jika ditemukan rembesan cairan serebrospinal dari dalam telinga, tutup telinga secara hati-hati
tanpa menekannya dengan kasa steril dan jangan memasukkan kasa tersebut ke dalam liang
telinga
12.    Atur posisi pasien sedemikian rupa agar secret dapat mengalir keluar dengan benar, tinggikan
bagian kepala ranjang hingga membentuk sudut 30 derajat
13.    Terapkan kewaspadaan terhadap serangan kejang atau bangkitan epilepsi, tetapi jangan
menghalangi pasien dengan banyak larangan
14.    Batasi asupan total cairan per oral sampai 40% hingga 50% (1200 hingga 1500 ml/hari) untuk
mengurangi volume cairan tubuh dan edema intraserebral.

2.8 Komplikasi Trauma Kepala


Menurut Kowalak (2011), Komplikasi utama dari trauma kepala :
        1.          Meningkatnya tekanan intrakraial (TIK)
        2.          Perdarahan

        3.          Kejang

        4.          Infeksi (trauma terbuka)


        5.          Depresi pernapasan dan gagal napas
        6.          Herniasi otak

        7.          Pasien
dengan fraktur tulang tengkorak bisa terjadi bocornya cairan serebrospinal (CSS) dari
hidung (renorea) atau telinga (otorea) dan menyebabkan meningitis.

2.9 Pemeriksaan Penunjang Trauma Kepala


Menurut Kowalak (2011), pemeriksaan penunjangan trauma kepala :

2.9.1 Komusio Serebri/Gegar otak


1.    CT scan otak tidak memeperlihatkan tanda-tanda fraktur, perdarahanl, atau lesi lain pada sistem
saraf
2.9.2 Kontusi Serebri
1.    CT scan otak memperlihatkan perubahan pada densitas jaringan, kemungkinan pergeseran struktur
di sekitar lesi dan bukti adanya jaringan yang iskemik, hemotoma, serta fraktur
2.    Hasil rekaman EEG langsung di daerah kepala yang mengalami kontusio menunjukkan
abnormalitas progesif dengan terlihatnya gelombang teta dan delta yang memiliki amplitudo tinggi
2.9.3 Hematoma Epidural
1.    Pemeriksaan CT Scan atau MRI menunjukkan massa abnormal atau pergeseran struktur dalam
kranium
2.9.4 Hemartoma Subdural
1.    CT Scan otak, foto rontgen kepala dan arteriografi menunjukkan massa dan perubahan aliran darah
di daerah lesi, gambaran ini memastikan keberadaan hematoma
2.    CT Scan atau MRI memperlihatkan massa dan pergeseran jaringan
3.    Cairan serebrospinal tambak berwarna kuning dan memiliki kadar protein yang relatif rendah
(hematoma subdural kronis)
2.9.5 Hematoma Intraserebral
1.    CT Scan atau arteriografi serebral memperlihatkan lokasi perdarahan. Tekanan cairan
serebrospinal meninggi, cairan serebrospinal tampak mengandung darah atau berwarna xantokrom
(berwarna kuning atau mirip warna jerami) akibat penguraian hemoglobin
2.9.6 Fraktur Tengkorak
1.    CT Scan dan MRI menunjukkan perdarahan intrakranial  akibat ruptur pembuluh darah dan
pembengkakan
2.    Foto rontgen kranium dapat memperlihatkan fraktur
3.    Pungsi lumbal merupakan kontraindikasi jika terdapat lesi yang luas
Sinar x kepala dan servikal untuk mendeteksi lokasi dan parahnya fraktur
CT Scan untuk mengenali adanya hematoma intracranial
Pungsi lumbal untuk memastikan adanya meningitis bila pasien memperlihatkan tanda-tanda iritasi
meningeal (demam, rigiditas nukal, kejang)

2.10 Prognosis Trauma Kepala


Prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama pada pasien
dengan cedera berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki nilai prognostic yang besar: skor
pasien 3-4 memiliki kemungkinan meninggal 85% atau tetap dalam kondisi vegetatif, sedangkan
pada pasien dengan GCS 12 atau lebih kemungkinan meninggal atau vegetatif hanya 5-10 %.
Sindrom pascakonkusi berhubungan dengan sindrom kronis nyeri kepala, keletihan, pusing,
ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas, dan perubahan kepribadian yang berkembang pada
banyak pasien setelah cedera kepala. Seringkali bertumpang-tindih dengan gejala depresi.(arif
mansjoer, dkk) (Corwin, 2009).

BAB III
KONSEP KEPERAWATAN TRAUMA KEPALA

3.1 Pengkajian
3.1.1 Identitas
Meliputi nama, jenis kelamin (laki-laki beresiko dua kali lipat lebih besar daripada risiko pada
wanita), usia (bisa terjadi pada anak usia 2 bulan, usia 15 hingga 24 tahun, dan lanjut usia), alamat,
agama, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, golongan darah, no. register, tanggal MRS, dan
diagnosa medis.     
                                                                                                                                      
3.1.2 Riwayat Kesehatan
1.    Keluhan Utama
Biasanya terjadi penurunan kesadaran, nyeri kepala, adanya lesi/luka dikepala
2.    Riwayat Kesehatan Sekarang
Biasanya pasien datang dengan keadaan penurunan kesadaran, konvulsi, adanya akumulasi sekret
pada saluran pernafasan, lemah, paralisis, takipnea.
3.    Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Biasanya klien memiliki riwayat jatuh.
4.    Riwayat Kesehatan Keluarga
Biasanya ada salah satu keluarga yang menderita penyakit yang sama sebelumnya.

3.1.3 Pemeriksaan Primer
1.    Airway management/penatalaksanaan jalan napas:
a.    Kaji obstruksi dengan menggunakan tangan dan mengangkat dagu (pada pasien tidak sadar).
b.    Kaji jalan napas dengan jalan napas orofaringeal atau nasofaringeal (pada pasien tidak sadar).
c.    Kaji adanya obstruksi jalan nafas antara lain suara stridor, gelisah karena hipoksia, penggunaan oto
bantu pernafasan, sianosis.
d.   Kaji jalan napas definitive (akses langsung melalui oksigenasi intratrakeal).
e.    Kaji jalan napas dengan pembedahan (krikotiroidotomi).
2.    Breathing/pernapasan:
a.    Kaji pemberian O2.
b.    Kaji nilai frekuensi napas/masuknya udara (simetris)/pergerakan dinding dada (simetris)/posisi
trakea.
c.    Kaji dengan oksimetri nadi dan observasi.
3.    Circulation/sirkulasi:
a.    Kaji frekuensi nadi dan karakternya/tekanan darah/pulsasi apeks/JVP/bunyi jantung/bukti hilangnya
darah.
b.    Kaji darah untuk cross match, DPL, dan ureum + elektrolit.
c.    Kaji adanya tanda-tanda syok seperti: hipotensi, takikardi, takipnea, hipotermi,pucat, akral dingin,
kapilari refill>2 detik, penurunan produksi urin.

3.1.4 Pemeriksaan Sekunder
1.    Penampilan atau keadaan umum
Wajah terlihat menahan sakit, tidak ada gerakan, lemah, lemas.
2.    Tingkat kesadaran
Kesadaran klien mengalami penurunan GCS <15.
3.    Tanda-Tanda Vital
u Tubuh         : Biasanya meningkat saat terjadi benturan (Normalnya 36,5-37,5°C)
anan Darah    : Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg (Normalnya
110/70-120/80 mmHg)
i                    : Biasanya cepat dan lemah pada keadaan kesakitan dan TIK meningkat (Normalnya 60-100 x/menit)
RR                       : Biasanya menurun saat TIK meningkat (Normalnya 16-22)
4.    Pemeriksaan Nervus Cranial
a.    Nervus I                    : Penurunan daya penciuman.
b.    Nervus II                  : Pada trauma frontalis terjadi penurunan penglihatan karena edema pupil.
c.    Nervus III, IV, VI    : Penurunan lapang pandang, reflex cahaya menurun, perubahan ukuran pupil,
bola mata tidak dapat mengikuti perintah, anisokor.
d.   Nervus V                  : Gangguan mengunyah karena terjadi anastesi daerah dahi.
e.    Nervus VII, XII       : Lemahnya penutupan kelopak mata, hilangnya rasa pada 2/3 anterior lidah.
f.     Nervus VIII              : Penurunan pendengaran dan keseimbangan tubuh.
g.    Nervus IX, X, XI     : Jarang ditemukan.
h.    Nervus XII               : Jatuhnya lidah kesalah satu sisi, disfagia dan disartia.
5.    Pemeriksaan Head to Toe
a.    Pemeriksaan Kepala
Tulang tengkorak : Inspeksi (bentuk mesocepal, ukuran kranium, ada deformitas, ada luka, tidak ada
benjolan, tidak ada pembesaran kepala) Palpasi (ada nyeri tekan, ada robekan)
Kulit kepala : Inspeksi (kulit kepala tidak bersih, ada lesi, ada skuama, ada kemerahan)
Wajah : Inspeksi (ekspresi wajah cemas dan menyeringai nyeri, keadaan simetris, tidak ada lesi)
Palpasi : (tidak ada kelainan sinus)
Rambut : Inspeksi (rambut tidak bersih, mudah putus, ada ketombe, ada uban) Palpasi (rambut mudah
rontok)
Mata : Inspeksi (simestris, konjungtiva warna pucat, sclera putih, pupil anisokor, reflex pupil tidak
teratur, pupil tidak bereaksi terhadap rangsangan cahaya, gerakan mata tidak normal, banyak
sekret) Palpasi (bola mata normal, tidak ada nyeri tekan)
Hidung : Inspeksi (keadaan kotor, ada rhinorhoe (cairan serebrospinal keluar dari hidung), ada
pernafasan cuping hidung, tidak ada deviasi septum) Palpasi sinus (ada nyeri tekan)
Telinga : Inpeksi (Simetris, kotor, fungsi pendengaran tidak baik, ada otorrhoe (cairan serebrospinal
keluar dari telinga), battle sign (warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid),
dan memotipanum (perdarahan di daerah membrane timpani telinga)) Palpasi (tidak ada
lipatan, ada nyeri)
Mulut : Inspeksi (keadaan tidak bersih, tidak ada stomatitis, membran mukosa kering pucat, bibir
kering, lidah simetris, lidah bersih,  gigi tidak bersih, gigi atas dan bawah tanggal 3/2, tidak goyang,
faring tidak ada pembekakan, tonsil ukuran normal, uvula simetris, mual-muntah) Palpasi (tidak ada
lesi, lidah tidak ada massa)
Leher dan Tenggorok : Inspeksi dan Palpasi (Tidak ada pembesaran jvp, tidak ada pembesaran limfe,
leher tidak panas, trakea normal, tidak ditemukan kaku kuduk)
b.    Pemeriksaan Dada dan Thorak
      Paru-paru  :
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, tidak ada batuk, nafas dada cepat dan dangkal,sesak
nafas,  frekuensi nafas <16 x/menit.
Palpasi : Suara fremitus simetris, tidak ada nyeri tekan.
Perkusi : Sonor pada kedua paru.
Auskultasi : Suara nafas tidak baik, ada weezing.
      Jantung     :
Inspeksi : Bentuk simetris, Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba pada V±2cm, tidak ada nyeri tekan, denyut nadi Bradikardia
Perkusi : Pekak, batas jantung  kiri  ics 2 sternal kiri dan ics 4 sternal kiri, batas kanan ics 2 sternal
kanan dan ics 5 axilla anterior kanan
Auskultasi    : BJ I-II tunggal, tidak ada gallop, ada murmur, Irama nafas tidak teratur, tekanan darah
menurun
c.    Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Permukaan simetris, warna cokelat, permukaan normal
Auskultasi : Bising usus normal
Palpasi : Tidak ada nyeri, tidak ada benjolan, kulit normal, Hepar tidak teraba, limpa
tidak teraba, Ginjal tidak teraba, tidak ada ascites, tidak ada nyeri pada Titik Mc.
Burney.
Perkusi : Tidak ada cairan atau udara suara redup
d.   Pemeriksaan Genetalia
Inspeksi : Terjadi penurunan jumlah urin dan peningkatan cairan
e.    Pemeriksaan Ekstremitas
Inspeksi : Adanya perubahan-perubahan warna kulit, kelemahan otot, adanya sianosis
Palpasi : Turgor buruk, kulit kering
6.    Pemeriksaan Penunjang
a.    CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan
ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia
jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
b.    MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
c.    Pungsi lumbal untuk memastikan adanya meningitis bila pasien memperlihatkan tanda-tanda iritasi
meningeal (demam, rigiditas nukal, kejang).
d.   Cerebral Angiography : Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak
sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
e.    Serial EEG : Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis.
f.     X-Ray : Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema), fragmen tulang.
g.    BAER : Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil.
h.    PET : Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak.
i.      CSF, Lumbal Punksi : Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
j.      ABGs : Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi
peningkatan tekanan intracranial.
k.    Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan
intrkranial.
l.      Screen Toxicologi : Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan
kesadaran.

3.2 Diagnosa Keperawatan
1.      Ketidakefektifan pola napas b.d gangguan neurologis (mis., trauma kepala).

2.      Kekurangan volume cairan b.d gangguan mekanisme regulasi.

3.      Penurunan curah jantung b.d perubahan frekuensi jantung.

4.      Gangguan rasa nyaman nyeri b.d agen cedera fisik.

5.      Gangguan eliminasi urine b.d penyebab multipel.

6.      Intoleran aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen

  

3.3 Intervensi Keperawatan
Diagnose Rencana keperawatan
No
keperawatan Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
1 Ketidakefektifan NOC NIC
pola napas b.d Tujuan: Manajemen jalan napas
gangguan Setelah dilakukan tindakan 1.    O : Observasi TTV
neurologis (mis., keperawatan selama 2x24 2.    O : Monitar aliran oksigen
trauma kepala) diharapkan pola napas 3.    N : Buka jalan napas dengan
kembali efektif tekhnik chin lift atau jaw thrust
Dengan KH: 4.    N : Posisikan pasien untuk
1.   Kedalaman inspirasi dalam memaksimalkan ventilasi
kisaran normal (RR : 16-24 5.    N : Masukkan alat
x/menit) nasoparyngeal airway atau
2.   Kepatenan jalan napas oropharyngeal airway
dalam kisaran normal, klien6.    E : Informasikan pada pasien
tidak merasa tercekik, tidak dan keluarga tentang teknik
ada suara nafas abnormal relaksasi untuk memperbaiki
3.   Frekuensi dan irama pola nafas
pernapasan dalam keadaan 7.    C : Kolaborasi dengan dokter
normal dalam pemberian terapi obat dan
pemberian oksigen
2 Kekurangan Tujuan: Manajemen cairan
volume cairan b.d Setelah dilakukan tindakan 1.   O : Obsersavi TTV
gangguan keperawatan selama 1x24 2.   O : Monitor status hidrasi (mis.,
mekanisme jam diharapkan kekurangan membrane mukosa lembab
regulasi volume cairan teratasi. denyut nadi adekuat, dan
Dengan KH: tekanan darah ortostatik)
1.   Mempertahankan urine 3.   N : Berikan cairan IV
output sesuai dengan usia 4.   N : Pertahankan catatan intake
dan BB dan output yang akurat
2.   Tidak ada tanda-tanda 5.   E : Dorong pasien dan keluarga
dehidrasi, elastisitas turgor untuk menambah intake oral
kulit baik, membran misalnya minum
mukosa lembab, tidak rasa 6.   C : Kolaborasi pemberian cairan
haus yang berlebihan IV
3.   TTV dalam batas normal
3 Penurunan curah Setelah dilakukan tindakan Perawatan jantung
jantung b.d keperawatan selama …. 1.    O : Monitor EKG, adakah
perubahan diharapkan penurunan curah perubahan segmen ST
frekuensi jantung jantung teratasi 2.    O : Monitor TTV
Dengan KH: 3.    N : Atur periode latihan dan
1.      Tekanan darah sistol dan istirahat untuk menghindari
diastol dalam kisaran kelelahan
normal (110/70-120/80 4.    N : Evaluasi adanya nyeri dada
mmHg) 5.    O : Anjurkan untuk
2.      Denyut nadi perifer dalam menurunkan stress
kisaran normal (60-100 6.    C : Kolaborasi untuk
x/menit) menyediakan terapi antiaritmia
3.      Denyut jantung apikal sesuai kebijakan unit (mis., obat
dalam kisaran normal (16- antiaritmia, kardioversi, atau
24 x/menit) defibrilasi)
4.      Tidak ada penurunan
kesadaran
4 Gangguan rasa Setelah dilakukan tindakan Manajemen nyeri
nyaman nyeri b.d keperawatan selama …. 1.    O : Lakukan pengkajian nyeri
gejala terkait Diharapkan rasa nyaman secara komprehensif
penyakit kembali 2.    N : Tingkatkan istirahat
Dengan KH: 3.    N : Kontrol lingkungan yang
1.    Mengontrol nyeri dapat mempengaruhi nyeri
(mengetahui penyebab seperti suhu ruangan,
nyeri, mengetahui cara pencahayaan, dan kebisingan
mengurangi nyeri) 4.    E : Ajarkan tentang teknik non
2.   Rasa nyaman tidak farmakologi
terganggu 5.    C : Kolaborasi dengan dokter
3.   Mengontrol gejala nyeri pemberian analgetik
5 Gangguan Setelah dilakukan tindakan Irigasi kandung kemih
eliminasi urine b.d keperawatan selama …. 1.   O : Lakukan penilaian kemih
penyebab multipel diharapkan gangguan yang komprehensif
eliminasi urine teratasi 2.   N : Siapkan peralatan irigasi
Dengan KH: yang steril, dan pertahankan
1.      Jumlah urin tidak terganggu tekhnik steril setiap kali
2.      Warna urin tidak terganggu tindakan
3.      Tidak ada darah dalam urin 3.   N : Bersihkan sambungan
4.      Intake cairan dalam rentang kateter atau ujung Y dengan
normal kapas alcohol
4.   N : Catat jumlah cairan yang
digunakan, karakteristik cairan,
jumlah cairan yang keluar
5.   E : Ajarkan pasien atau
keluarga  untuk mencatat urin
6.   C : Kolaborasi dengan dokter
dengan penberian obat
6 Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan tindakan Terapi aktivitas
b.d keperawatan selama …. 1.   O : Monitor respon fisik, emosi,
ketidakseimbangan diharapkan intoleransi social dan spiritual
antara suplai dan aktivitas teratasi 2.   N : Bantu klien untuk
kebutuhan oksigen Dengan KH: mengidentifikasi aktivitas yang
1.  Berpartisipasi dalam mampu dilakukan
aktivitas fisik tanpa disertai 3.   E : Bantu pasien dan keluarga
peningkatan ttv untuk mengidentifikasi
2.  Hemoglobin, hematocrit, kekurangan dalam beraktivitas
glukosa darah, serum 4.   C : Kolaborasi dengan Tenaga
elektrolit darah tidak Rehabilitasi Medik dalam
terganggu merencanakan program terapi
3.  Mampu melakukan yang tepat
aktivitas sehari-hari secara
mendiri

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Trauma kepala adalah trauma pada otak, yang menimbulkan perubahan fisik, intelektual,
emosi, sosial, ataupun vokasional (pekerjaan) yang menimbulkan perdarahan yang berasal dari
vena menyebabkan lambatnya pembentukan hematoma. Penyebab dari trauma kepala yaitu
Kecelakaan kendaraan atau transportasi, Kecelakaan terjatuh, Kecelakaan yang berkaitan dengan
olahraga, dan Kejahatan dan tindak kekerasan. Manifestasi klinis dari trauma kepala yang umum
yaitu terjadi penurunan kesadaran, nyeri hebat, dan adanya lesi. Komplikasi yang dapat terjadi
diantaranya Meningkatnya tekanan intrakraial (TIK), Perdarahan, Kejang, Infeksi (trauma terbuka),
Depresi pernapasan dan gagal napas, dan Herniasi otak.
          Penatalaksanan secara medis yaitu diantaranya dengan ABC untuk mempertahankan jalan
nafas, Pemberian obat-oabatan, dapat dilakukan pembedahan, dan immobilisasi. Sedangkan
penatalaksanaan keperawatan yaitu memantau ttv, adanya perdarahan, riwayat cidera, rehidrasi
cairan, serta mencegah infeksi akibat pembedahan.
          Asuhan keperawatan yang dapat dilakukan pada klien trauma kepala mulai dari pengkajian
misalnya biodata, riwayat kesehatan, pengkajian primer, pengkajian sekunder, dan pemeriksaan
penunjang. Setelah itu ditentukan diagnosa keperawatan dan dilanjut dengan intervensi
keperawatan.
                                                                               

4.2 Saran
Diharapkan para pembaca memperbanyak literatur dalam pembuatan makalah agar dapat
membuat makalah yang baik dan benar. Terutama litelatur yang berhubungan dengan
penatalaksaan yang lebih efektif mengenai trauma kepala karena di dalam makalah ini
penatalaksaannya masih banyak kekurangan.

DAFTAR PUSTAKA
Batticaca, F. (2008). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba
Medika.
Corwin, E. J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Engram, B. (2007). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta: EGC.
Hidayat, & Alimul, A. A. (2007). Pengantar Konsep Dasar Keperawatan, Edisi 3. Jakarta: Salemba Medika.
Kowalak, J. P. (2011). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Muttaqin, A. (2008). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: EGC.
Oman, K. S. (2008). Panduan Belajar Keperawatan Emergensi. Jakarta: EGC.
Wilkinson, J. M. (2011). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai