Anda di halaman 1dari 14

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT. karena berkat rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penulisan makalah ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya. Adapun judul dari makalah ini yaitu “KONSUMSI ISLAM” yang
merupakan salah satu tugas dari mata kuliah KONSUMSI ISLAM.
Kami berharap makalah ini dapat digunakan sebagai awal pembelajaran
untuk menambah spirit dalam mencari pengetahuan yang luas dimana saja
dan  memberi manfaat bagi kita semua yaitu dapat menambah wawasan kita.
Kami menyadari betul bahwa isi maupun penyajian makalah ini masih
jauh dari sempurna, untuk itu kami mengharapkan adanya kritik dan saran sebagai
penyempurna makalah ini demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.
Kami mengucapkan terimakasih kepada dosen mata kuliah Sejarah
Perkembanga Ekonomi Islam  atas bimbingan dan arahan dalam pembuatan
makalah ini. Tanpa bimbingan dari beliau mungkin kami tidak  akan  dapat 
menyelesaikan tugas ini.

Bangko Maret 2022


                                                                            PENULIS
DAFTAR ISI

Halaman Depan.......................................................................................i
Kata Pengantar........................................................................................ii
Daftar Isi..................................................................................................iii

BAB I  PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................9
C. Tujuan Penelitian................................................................................9
D. Manfaat Penelitian..............................................................................9
         
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Perkembangan Ekonomi Islam.............................................2
2.2 Perkembangan Pemikiran Teori Ekonomi Islam..............................3
2.3 Perkembangan Praktik Ekonomi Islam.............................................7
2.4 Gerakan Ekonomi Islam Di Indonesia..............................................8

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan........................................................................................10
3.2 Saran..................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................11
BAB I
PENDAHULUAN
1.1         LATAR BELAKANG
Islam adalah satu-satunya agama yang sempurna yang mengatur seluruh
sendi kehidupan manusia dan alam semesta. Kegiatan perekonomian manusia juga
diatur dalam Islam dengan prinsip illahiyah. Harta yang ada pada kita,
sesungguhnya bukan milik manusia, melainkan hanya titipan dari Allah swt agar
dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kepentingan umat manusia yang pada akhirnya
semua akan kembali kepada Allah swt untuk dipertanggungjawabkan.

Islam adalah sistem kehidupan (way of life). Islam menyediakan berbagai


perangkat aturan yang lengkap bagi kehidupan manusia, termasuk dalam bidang
ekonomi. Ekonomi Islam dibangun atas dasar agama Islam, sehingga ekonomi
Islam bagian tak terpisahkan (integral) dari agama Islam. Sebagai derivasi dari
agama Islam, ekonomi Islam akan mengikuti agama Islam dalam berbagai
aspeknya. Ciri khas ekonomi Islam adalah tidak memisahkan antara norma dan
fakta, serta konsep yang rasional.

1.2         RUMUSAN MASALAH

1.      Bagaimana Sejarah Perkembangan Ekonomi Islam?


2.      Bagaimana Perkembangan Pemikiran Teori Ekonomi Islam?
3.      Bagaimana Perkembangan Praktik Ekonomi Islam?
4.      Bagaimana  Gerakan Ekonomi Islam Di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1     SEJARAH PERKEMBANGAN EKONOMI ISLAM


Perkembangan ekonomi Islam adalah wujud dari upaya menerjemahkan visi
Islam rahmatan lil ‘alamin, kebaikan, kesejahteraan dan kemakmuran bagi alam
semesta, termasuk manusia di dalamnya. Tidak ada penindasan antara pekerja dan
pemilik modal, tidak ada eksploitasi sumber daya alam yang berujung pada
kerusakan ekosistem, tidak ada produksi yang hanya berorientasi untung semata,
jurang kemiskinan yang tidak terlalu dalam, tidak ada konsumsi yang berlebihan
dan mubadzir, tidak ada korupsi dan mensiasati pajak hingga trilyunan rupiah, dan
tidak ada tipuan dalam perdagangan dan muamalah lainnya. Dalam kondisi
tersebut, manusia menemukan harmoni dalam kehidupan, kebahagiaan di dunia
dan insya Allah di kehidupan sesudah kematian nantinya.
Ekonomi Islam yang ada sekarang, teori dan praktik, adalah hasil nyata dari
upaya operasionalisasi bagaimana dan melalui proses apa visi Islam tersebut dapat
direalisasikan. Walau harus diakui bahwa yang ada sekarang belum merupakan
bentuk ideal dari visi Islam itu sendiri. Bahkan menjadi sebuah ironi, sebagian
umat Islam yang seharusnya mengemban visi tersebut, saat ini distigmakan
sebagai teroris, koruptor, munafik, pembalak. Dan sebagian umat Islam yang lain
tidak henti-hentinya saling mencurigai, berburuk sangka, berperang dan bahkan
saling mengkafirkan antarsesama mereka.
Perkembangan ekonomi Islam adalah salah satu harapan untuk mewujudkan
visi Islam tersebut. Hal ini karena ekonomi Islam adalah satu bentuk integral
dalam mewadahi, sebagaimana dinyatakan  Masrhal[1], dua kekuatan besar yang
mempengaruhi kehidupan dunia, yaitu ekonomi dan agama. Terintegrasikannya
dua kekuatan ini dalam satu wadah ekonomi Islam adalah merupakan penyatuan
kembali bahwa kehidupan ini berhulu dan bermuara pada satu, yaitu Allah SWT
(tawhīd). Secara prinsip tauhid adalah menekankan kesatuan alam semesta,
kesatuan kebenaran dan pengetahuan serta kesatuan hidup atas dasar dan menuju
Allah SWT. Dalam pemahaman Islam seharusnya tidak ditemukan kontradiksi
antara dua hal, yang apalagi mempengaruhi pribadi-pribadi muslim menjadi
pribadi yang pecah (split personality).
Prinsip-prinsip ekonomi dalam Islam berasal dari ayat Al-Qur’an: “Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi
dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagimana Allah telah berbuat baik
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”[2]
Ekonomi Islam adalah salah satu jawaban dari bagaimana visi Islam
direalisasikan, proses realisasi visi Islam adalah mewujudkan ekonomi Islam
dalam bentuk realitas. Proses mewujudkan ekonomi Islam menjadi sebuah realitas
dapat dilihat dari dua wujud yang saat ini sudah berkembang, yaitu wujud teori
ekonomi Islam dan praktik ekonomi Islam.
2.2     PERKEMBANGAN PEMIKIRAN TEORI EKONOMI ISLAM
Perkembangan teori ekonomi Islam dimulai dari diturunkannya ayat-ayat
tentang ekonomi dalam al-Qur’an, seperti: QS. Al-Baqarah ayat ke 275 dan 279
tetang jual-beli dan riba; QS. Al-Baqarah ayat 282 tentang pembukuan transaksi;
QS. Al-Maidah ayat 1 tentang akad; QS. Al-A’raf ayat 31, An-Nisa’ ayat 5 dan 10
tentang pengaturan pencarian, penitipan dan membelanjakan harta. Ayat-ayat ini,
menurut At-Tariqi[3] menunjukkan bahwa Islam telah menetapkan pokok
ekonomi sejak pensyariatan Islam (Masa Rasulullah SAW) dan dilanjutkan secara
metodis oleh para penggantinya (Khulafaur Rosyidin). Pada masa ini bentuk
permasalaan perokonomian belum sangat variatif, sehingga teori-teori yang
muncul pun belum beragam. Hanya saja yang sangat subtansial dari
perkembangan pemikiran ini adalah adanya wujud komitmen terhadap realisasi
visi Islam rahmatan lil ‘alamin. Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam dari
sejak masa nabi sampai sekarang dapat dibagi menjadi 6 tahapan.[4]
Tahap Pertama (632-656M), Masa Rasulullah SAW. Tahap Kedua (656-
661M), pemikiran ekonomi Islam di Masa Khulafaur Rosyidin. Tahap
Ketiga atau Periode Awal (738-1037), Pemikir Ekonomi Islam periode ini
diwakili Zayd bin Ali (738M), Abu Hanifa (787 M), Awzai (774), Malik (798),
Abu Yusuf (798 M), Muhammad bin Hasan Al Syaibani (804), Yahya bin Dam
(818 M), Syafi’I (820 M), Abu Ubayd (838 M), Amad bin Hambal (855 M),
Yahya bin Hambal (855 M), Yahya bin Umar (902 M), Qudama bin Jafar (948
M), Abu Jafar al Dawudi (1012 M), Mawardi (1058 M), Hasan Al Basri (728 M),
Ibrahim bin Dam (874 M) Fudayl bin Ayad (802 M), Makruf Karkhi (815 M),
Dzun Nun Al Misri (859), Ibn Maskawih (1030 M), Al Kindi (1873 M), Al Farabi
(950 M), Ibnu Sina (1037).
Tahap Keempat atau Periode Kedua (1058-1448 M). Pemikir Ekonomi
Islam Periode ini Al Gazali (1111 M), Ibnu Taymiyah (1328 M), Ibnu Khaldun
(1040 M), Syamsuddin Al Sarakhsi (1090 M), Nizamu Mulk Tusi (1093 M), Ibnu
Masud Al kasani (1182 M), Al-Saizari (1993), fakhruddin Al Razi (1210 M),
Najnudin Al Razi (1256 M), Ibnul Ukhuwa (1329 M), Ibnul Qoyyim (1350 M),
Muhammad bin Abdul rahman Al Habshi (1300 M), Abu Ishaq Al Shatibi (1388
M), Al Maqrizi (1441 M), Al Qusyairi (857), Al Hujwary (1096), Abdul Qadir Al
Jailani (1169 M), Al Attar (1252 M), Ibnu Arabi (1240), Jalaluddin Rumi (1274
M), Ibnu Baja (1138 M), Ibnulk Tufayl (1185 M), Ibnu Rusyd (1198 M).
Tahap Kelima atau Periode Ketiga (1446-1931 M). Shah Walilullah Al
Delhi (1762 M), Muhammad bin Abdul Wahab (1787 M), Jamaluddin Al Afghani
(1897 M), Mufti Muhammad Abduh (1905 M), Muhammad Iqbal (1938 M), Ibnu
Nujaym (1562 M), Ibnu Abidin (1836), Syeh Ahmad Sirhindi (1524M).
Tahap Keenam atau Periode Lanjut (1931 M – Sekarang). Muhammad
Abdul Mannan (1938), Muhammad Najatullah Siddiqi (1931 M), Syed Nawad
Haider Naqvi (1935), Monzer Kahf, Sayyid Mahmud Taleghani, Muhammad
Baqir as Sadr, Umer Chapra.
Hasil pemikiran ekonomi Islam dari beberapa pemikir di atas sebagai
berikut :
1.             Zaid bin Ali (80-120H./699-738M), adalah pengagas awal penjualan suatu
komoditi secara kredit dengan harga yang lebih tinggi dari harga tunai.[5]
2.             Abu Hanifah (80-150H/699-767M), Abu Hanifah lebih dikenal sebagai imam
madzhab hukum yang sangat rasionalistis, Ia juga menggagas keabsahan dan
kesahihan hukum kontrak jual beli dengan apa yang dikenal dewasa ini
dengan bay’ al-salām dan ah%al-murābah.[6]
3.             Al-Awza’i (88-157H./707-774M.). Nama lengkapnya Abdurahman al-Awza’i
yang berasal dari Beirut, Libanon dan hidup sezaman dengan Abu Hanifah. Ia
adalah pengagas orisinal dalam ilmu ekonomi syariah. Gagasan-gagasanya, antara
lain, kebolehan dan kesahihan sistem muzara’ah sebagai bagian dari bentuk
mura`bahah dan membolehkan peminjaman modal, baik dalam bentuk tunai atau
sejenis.[7]
4.             Imam Malik Bin Anas (93-179H./712-796M.).  Imam Malik lebih dikenal
sebagai penulis pertama kitab hadis al-Muwatha’, dan Imam Madzhab hukum.
Namun, ia pun memiliki pemikiran orisinal di bidang ekonomi, seperti: Ia
menganggap raja atau penguasa bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyatnya.
Para pengusaha harus peduli terhadap pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Teori
istislah dalam ilmu hukum Islam yang diperkenalkanya mengandung analisis nilai
kegunaan atau teori utility dalam filsafat Barat yang di kemudian hari
diperkenalkan oleh Jeremy Benthan dan John Stuart Mill. Di samping itu, ia pun
tokoh hukum Islam yang mengakui hak negara Islam untuk menarik pajak demi
terpenuhinya kebutuhan bersama.[8]
5.             Abu Yusuf (112-182H./731-798H.). Abu Yusuf adalah seorang hakim dan
sahabat Abu Hanifah. Ia dikenal dengan panggilan jabatanya (akīm%al-Qadli H)
Abu Yusuf Ya’qub Ibrahim dan dikenal perhatianya atas keuangan umum serta
perhatianya pada peran negara, pekerjaan umum, dan perkembangan pertanian.
[9] Ia pun dikenal sebagai penulis pertama buku perpajakan, yakni Kitab al-
Kharaj. Karya ini berbeda dengan karya Abu ‘Ubayd yang datang kemudian.
Kitab ini, sebagaimana dinyatakan dalam pengantarnya, ditulis atas permintaan
dari penguasa pada zamanya, yakni Khalifah Harun al-Rasyid, dengan tujuan
untuk menghindari kedzaliman yang menimpa rakyatnya serta mendatangkan
kemaslahatan bagi penguasa. Oleh karena itu, buku ini mencakup pembahasan
sekitar jibayat al-kharaj, al-‘usyur, al-shadaqat wa al-jawali (al-jizyah).
[10] Sedangkan pemikiran kontroversialnya ada pada pandanganya yang
menentang pengendalian harga atau tas’ir, yakni penetapan harga oleh penguasa.
Sedangkan Ibn Taymiyyah memperjelas secara lebih rinci dengan menyatakan
bahwa tas’ir dapat dilakukan pemerintah sebagai bentuk intervensi pemerintah
dalam mekanisme pasar. Hanya saja, ia mempertegas, kapan tas’ir dapat
dilakukan oleh pemerintah dan kapan tidak, dan bahkan kapan pemerintah wajib
melakukanya.[11]
6.             Al-Farabi (260-339 H/870-950 M). Al Farabi mengemukakan tentang tingkat-
tingkat pertumbuhan ekonomi manusia, yaitu 1) Madinatu an Nawabit,
masyarakat kayu-kayuan atau negara liar; 2) Madinatu al Bahimiyyah, masyarakat
binatang atau negara primitif; 3) Madinatu adl-dlaruroh, negara kebutuan; 4)
Madinatu al hissah wa as-saqro, negara keinginan; 5) Madinatu A-Tabadul auw
al-badalah, negara bertukar kebutuhan; 6) Madinatu An-Nadzalah, negara
kapitalis; 7) Madinatu al-Jama’iyyah, negara anarki atau masyarakat komunis;
Madinatu al fadhilah, Negara utama.[12]
7.             Abu ‘Ubayd al-Qasim bin Sallam (157-224H/774-738M). Pembahasan
ekonomi syariah dalam karya Abu ‘Ubayd, al-Amwa’l, diawali dengan enam
belas buah hadis di bawah judul haqq al-ima`m ‘ala` al-ra’iyyah, wa haqq al-
ra’iyyah ala al-ima`m (hak pemerintah atas rakyatnya dan hak rakyat atas
pemerintahnya). Buku ini dapat digolongkan sebagai karya klasik dalam bidang
ilmu ekonomi syariah karena sistimatika pembahasanya dengan merekam
sejumlah ayat Al-Quran dan Hadis di bidangnya. Bab pertama buku ini,
umpamanya, diawali dengan mengutip hadis yang menyatakan bahwa agama itu
adalah kritik: al-din al-nshihat; disusul hadis yang menyatakan bahwa setiap orang
adalah “penggembala” yang bertanggungjawab atas gembalaanya yang secara
tegas dicontohkan: seorang pemimpin adalah penggembala rakyatnya dan
bertanggung jawab atasnya; seorang suami bertanggung jawab atas gembalanya,
yakni keluarganya; seorang isteri adalah penggembala dan bertanggung jawab atas
rumah suaminya dan anak-anaknya; seorang pekerja penggembala harta tuannya
dan bertanggung jawab atasnya.
8.             Ibnu Sina (270-428 H/980-1037). Ia mengemukakan pendapatnya antara lain:
a.       manusia adalah makhluk berekonomi;
b.      ekonomi membutukan negara;
c.       perkembangan ekonomi melalui perkembangan ekonomi keluarga ekonomi
masyarakat, dan ekonomi negara;
d.      ekonomi negara ia berpendapat bahwa  tujuan politik negara harus diarahkan
kepada keseragaman seluruh masyarakat dalam mewujudkan perekonomian dan
kestabilan ekonomi harus dijaga;
e.       Prinsip yang lain adalah arta milik berasal dari warisan dan hasil kerja;
f.       wajib bekerja untuk mendapatkan harta ekonomi menurut jalannya yang sah;
g.      pengeluaran dan pemasukan harus diatur dengan anggaran;
h.      pengeluaran wajib atau nafaqah yang sifatnya konsumtif harus dikeluarkan
sehemat mungkin, pengeluaran untuk kepentingan umum (masyarakat dan negara)
yang sifatnya wajib juga harus dicukupkan dengan hati yang iklas;
i.        setiap orang harus mempunyai rencana simapanan yang menjadi jaminan
baginya pada saat kesukaran atau saat diperlukan.[13]
9.             Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H/1058-1111). Tokoh yang lebih dikenal
sebagai sufi dan filosof serta pengkritik filsafat terkemuka ini melihat bahwa:
a)      perkembangan ekonomi bertolak dari hd) akikat dunia terdiri dari 3 unsur, yaitu
materi, manusia dan pembagunan. Ketiga unsur ini interdependence;
b)      perkembangan ekonomi perlu adanya transportasi;
c)      uang bukanlah komoditi, melainkan alat tukar;  
d)     perkembangan ekonomi meningkat menjadi ekonomi Jasa, yaitu hubungan jasa
di antara manusia;
e)      perlu adanya pemerintah;
f)       mata uang negara Islam;
g)      perlunya institut perbankan; h) hati-hati terhadap riba;
h)      Dua jalur transaksi perbankan, pribadi dan negara.[14]

10.          Al-Mawardi (w. 450 H.). Penulis al-Ahkam al-Sulthaniyyah,[15] adalah pakar


dari kubu Syafi’iyyah yang menyatakan bahwa institusi negara dan pemerintahan
bertujuan untuk memelihara urusan dunia dan agama atau urasan spiritual dan
temporal (li hara`sat al-di`n wa al-umur al-dunyawiyyah). Jika kita amati,
persyaratan-persyaratan kepala negara dalam karyanya, maka akan segera nampak
bahwa tugas dan fungsi pemerintah dan negara yang dibebankan di atas pundak
kepala negara adalah untuk mensejahterakan (al-falah) rakyatnya, baik secara
spiritual (ibadah), ekonomi, politik dan hak-hak individual (privat: hak Adami)
secara berimbang dengan hak Allah atau hak publik. Tentu saja termasuk di
dalamnya adalah pengelolaan harta, lalu lintas hak dan kepemilikan atas harta,
perniagaan, poduksi barang dan jasa, distribusi serta konsumsinya yang
kesemuanya adalah obyek kajian utama ilmu ekonomi.
11.          Tusi (1201-1274). Tusi adalah penulis buku dalam bahasa Persia, Akhlaq
Nasiri yang menjelaskan bahwa: Apabila seseorang harus tetap menghasilkan
makanan, pakaian, rumah, dan alat-alatnya sendiri, tentu dia tidak akan dapat
bertahan hidup karena tidak akan mempunyai makanan yang cukup untuk jangka
lama.
12.         Ibnu Taymiyyah (1262-1328). Ibnu Taymiyyah dalam kitabnya, al-Siyasat al-
Syar’iyyah fi` Ishlah al-Ra’iy wa al-Ra’iyyah menegaskan tugas, fungsi dan peran
pemerintah sebagai pelaksana amanat untuk kesejahteraan rakyat yang ia sebut
ada al-amanat ila hliha. Pengelolaan negara serta sumber-sumber pendapatanya
menjadi bagian dari seni oleh negara (al-siyasat l-syariyyah) pengertian al-siyasah
al-dusturiyyah maupun al-siyasat al-maliyyah (politik hukum publik dan privat).
[16]
13.         Ibn Khaldun (1332-1406). Cendekiawan asal Tunisia ini lebih dikenal sebagai
Bapak ilmu sosial. Namun demikian, ia tidak mengabaikan perhatianya dalam
bidang ilmu ekonomi. Walaupun kitabnya, al-Muqaddimah,[17] tidak membahas
bidang ini dalam bab tertentu, namun ia membahasnya secara berserakan di sana
sini. Ia mendefinisikan ilmu ekonomi jauh lebih luas daripada definisi TusiDi
Indonesia, Secara informal ilmu ekonomi islam dikembangkan oleh elemen
masyarakat mulai dari mahasiswa, akademisi maupun para profesional.
Diantaranya adalah Internasional Institute of Islamic Thougt yang telah
menyelenggarakan Kuliah Informal ekonomi Islam di beberapa perguruan tinggi
terkemuka di Indonesia. Kuliah Informal Ekonomi Islam telah diselenggarakan di
Universitas Indonesia, Universitas Islam Negeri, Universitas Gajah Mada dan
Universitas Brawijaya.[18]
Para pemikir ekonomi Islam diwakili oleh tokoh-tokoh yang menulis buku
ekonomi Islam dan banyak dijadikan rujukan (dengan tidak mengesampingkan
pemikir ekonomi Islam yang lain) antara lain: Syafi’i Antonio, Dawan Rahardjo,
Adiwarman Karim, Suroso Imam Zadjuli, M. Akhyar Adnan, Muhammad. Seiring
dengan perkembangan pemikiran ekonomi Islam tersebut, beberapa perguruan
tinggi yang mengawali membuka pendidikan tinggi ekonomi Islam adalah
UNAIR dengan S-3 ekonomi Islam, UII dengan Ekonomi Islam di Magister Studi
Islamnya (1997), Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Islam Tazkia, Sekolah Tinggi
Ilmu Syariah dengan Jurusan Muamalahnya (1997).

2.3     PERKEMBANGAN PRAKTIK EKONOMI ISLAM


Praktek perbankan di zaman Rasulullah dan Sahabat telah terjadi karena
telah ada lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi-fungsi utama opersional
perbankan, yakni:
1)            menerima simpanan uang;
2)            meminjamkan uang atau memberikan pembiayan dalam bentuk mudharabah,
musyarakah, muzara’ah dan musaqah;
3)            memberikan jasa pengiriman atau transfer uang.
Istilah-istilah fiqh di bidang ini pun muncul dan diduga berpengaruh pada
istilah teknis perbankan modern, seperti istilah qard yang berarti pinjaman atau
kredit menjadi bahasa Inggris credit dan istilah suq jamaknya suquq yang dalam
bahasa Arab harfiah berarti pasar bergeser menjadi alat tukar dan ditransfer ke
dalam bahasa Inggris dengan sedikit perubahan menjadi check atau cheque dalam
bahasa Prancis.
Fungsi-fungsi yang lazimnya dewasa ini dilaksanakan oleh perbankan telah
dilaksanakan sejak zaman Rasulullah hingga Abbasiyah. Istilah bank tidak dikenal
zaman itu, akan tetapi pelaksanaan fungsinya telah terlaksana dengan akad sesuai
syariah. Fungsi-fungsi itu di zaman Rsulullah dilaksanakan oleh satu orang yang
melaksanakan satu fungsi saja. Sedangkan pada zaman Abbasiyah, ketiga fungsi
tersebut sudah dilaksanakan oleh satu individu saja. Perbankan berkembang
setelah munculnya beragam jenis mata uang dengan kandungan logam mulia yang
beragam. Dengan demikian, diperluan keahlian khusus bagi mereka yang bergelut
di bidang pertukaran uang. Maka mereka yang mempunyai keahlian khusus itu
disebut naqid, sarraf, dan jihbiz[19] yang kemudian menjadi cikal bakal praktek
pertukaran mata uang atau money changer.
Peranan bankir pada masa Abbasiyah mulai populer pada pemerintahan
Khalifah al-Muqtadir (908-932).[20] Sementara itu, suq (cek) digunakan secara
luas sebagai media pembayaran. Sejarah pebankan Islam mencatat Saefudaulah
al-Hamdani sebagai orang pertama yang menerbitkan cek untuk keperluan kliring
antara Bagdad, Iraq dengan Alepo (Spanyol).[21]
Mengingat penting dan strategisnya institusi dan sistem perbankan untuk
menggerakan roda perekonomian, maka berbagai upaya dilakukan ahli ekonomi
Islam. Pertengahan tahun 1940-an Malaysia mencoba membuka bank non bunga,
namun tidak sukses. Akhir tahun 1950-an Pakistan mencoba mendirikan lembaga
perkreditan tanpa bunga di pedesaan. Sedangkan uji coba yang relatif sukses
dilakukan oleh Mesir dengan mendirikan Mit Ghamr Local Saving Bank  tahun
1963 yang disambut baik oleh para petani dan masyarakat pedesaan. Namun,
keberhasilan ini terhenti karena masalah politik, yakni intervensi pemerintah
Mesir. Dengan demikian, operasional Mit Ghamr diambil alih oleh National Bank
of Egypt dan Bank Sentral Mesir (1967). Baru pada masa rezim Anwar Sadat
(1971) sistim nirbunga dihidupkan kembali dengan dibukanya Nasser Social
Bank. Keberhasilan di atas mengilhami para petinggi OKI hinga akhirnya
berdirilah Islamic Development Bank (IDB) bulan Oktober 1975
2.4     GERAKAN EKONOMI ISLAM DI INDONESIA
Akar sejarah pemikiran dan aktivits ekonomi Islam Indonesia tak bisa lepas
dari awal sejarah masuknya Islam di negeri ini. Bahkan aktivitas ekonomi syariah
di tanah air tak terpisahkan dari konsepsi lingua franca. Menurut para pakar,
mengapa bahasa Melayu menjadi bahasa Nusantara, ialah karena bahasa Melayu
adalah bahasa yang populer dan digunakan dalam berbagai transaksi perdagangan
di kawasan ini. Para pelaku ekonomi pun didominasi oleh orang Melayu yang
identik dengan orang Islam. Bahasa Melayu memiliki banyak kosa kata yang
berasal dari bahasa Arab. Ini berarti banyak dipengaruhi oleh konsep-konsep
Islam dalam kegiatan ekonomi. Maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas ekonomi
syariah tidak dalam bentuk formal melainkan telah berdifusi dengan kebudayaan
Melayu sebagaimana terceriman dalam bahasanya. Namun demikian, penelitian
khusus tentang institusi dan pemikiran ekonomi syariah nampaknya belum ada
yang meminatinya secara khusus dan serius. Oleh karena itu, nampak kepada kita
adalah upaya dan gerakan yang dominan untuk penegakan syariah Islam dalam
kontek kehidupan politik dan hukum. Walaupun pernah lahir Piagam Jakarta dan
gagal dilaksanakan, akan tetapi upaya Islamisasi dalam pengertian penegakan
syariat Islam di Indonesia tak pernah surut.
Pemikiran dan aktivitas ekonomi syariah di Indonesia akhir abad ke-20
lebih diorientasikan pada pendirian lembaga keuangan dan perbankan syariah.
Salah satu pilihanya adalah gerakan koperasi yang dianggap sejalan atau tidak
bertentangan dengan syariah Islam. Oleh karena itu, gerakan koperasi mendapat
sambutan baik oleh kalangan santri dan pondok pesantren. [22]
Kelahiran bank Islam di Indonesia hari demi hari semakin kuat karena
beberapa faktor:
1)      adanya kepastian hukum perbankan yang melindunginya;
2)      tumbuhnya kesadaran masayarakat manfaatnya lembaga keuangandanperbankan
syariah;
3)      dukungan politik atau political will dari pemerintah.
Akan tetapi, kelahiran bank syariah di Indonesia tidak diimbangi dengan
pendirian lembaga-lembaga pendidikan perbankan syariah. Sejak tahun 1990-an
ketika Dirjen Bimbaga Islam Depag RI melakukan posisioning jurusan-jurusan di
lingkungan IAIN, penulis pernah mengusulkan kepada Menteri Agama dan para
petinggi di Depag RI agar mempersiapkan institusi untuk mengkaji
kecenderungan dan perkembangan ekonomi syariah di tanah air. Usaha maksimal
saat itu ialah memilah jurusan Muamalat/Jinayat pada Fakultas syariah IAIN
menjadi dua, yakni Jurusan Muamalat dan Jurusan Jinayah-Siyasah.
Maraknya perbankan syariah di tanah air tidak diimbangi dengan lembaga
pendidikan yang memadai. Akibatnya, perbankan syariah di Indonesia baru pada
Islamisasi nama kelembagaanya. Belum Islamisasi para pelakunya secara
individual dan secara material. Maka tidak heran jika transaksi perbankan syariah
tidak terlalu beda dengan transaksi bank konvensional hanya saja ada konkordansi
antra nilaisuku bungan dengan nisbah bagihasil. Bahkan terkadang para pejabat
bank tidak mau tahu jika nasabahnya mengalami kerugian atau menurunya
keuntungan. Mereka “mematok” bagi hasil dengan rate yang benar-benar
menguntungkan bagi pihak bank secara sepihak. Di lain pihak, kadangkala ada
nasabah yang bersedia mendepositkan dananya di bank syariah dengan syarat
meminta bagi hasilnya minimal sama dengan bank konvensional milik
pemerintah.[23]  Terlepas dari kekurangan dan kelebihan perbankan syariah, yang
pasti dan faktual adalah bahwa ia telah memberikan konstribusi yang berarti dan
meaningfull bagi pergerakan roda perekonomian Indonesia dan mengatasi krisis
moneter.
DSN-MUI sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 2005 telah banyak
mengeluarkan fatwa-fatwa tentang ekonomi Islam (mu’amalah maliyah) untuk
menjadi pedoman bagi para pelaku ekonomi Islam khususnya perbankan syari’ah.
Dalam metode penerbitan fatwa dalam bidang mu’amalah maliyah diyakini
menggunakan kempat sumber hukum yang disepakati oleh ulama suni; yaitu Al-
Quran al Karim, Hadis Nabawi, Ijma’ dan Qiyas, serta menggunakan salah satu
sumber hukum yang masih diperselisihkan oleh ulama; yaitu istihsan, istishab,
dzari’ah, dan ‘urf.
Dalam proses penerbitan fatwa diperkirakan mempelajari empat mazhab
suni, yaitu imam mazhab yang empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali
disamping pertimbangan lain yang bersifat temporal dan kondisional. Oleh karena
itu, perlu mengkaji secara seksama dan perlu dilakukan penelitian untuk
mengetahui sifat fatwa-fatwa MUI dalam bidang ekonomi Islam dari segi metode
perumusannya, sisi ekonomi di sekelilingnya dan respons masyarakat terhadap
fatwa-fatwa itu.[24]
Di Indonesia, atas prakarsa Majelis Ulama Indonesia bersama kalangan
pengusaha muslim sejak 1992 telah beroperasi sebuah bank syari’ah, yaitu Bank
Muamalat Indonesia (BMI) yang sistem operasionalnya mengacu pada No. 72
tahun 1992 tentang bank bagi Hasil. Pada tahun 1998, disahkan Undang-undang
RI No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1992 tentang
perbankan. Secara legal, perbankan syari’ah telah diakui sebagai subsistem
perbankan nasional.
Di tengah dinamika tumbuh dan berkembangnya lembaga keuangan
syari’ah, pada tahun 1997 krisis ekonomi datang menerjang memporak-
porandakan sistem perbankan nasional. Sebagaimana diungkap oleh Warkum,
mulai bulan Juli 1997 sampai dengan 13 Maret 1999 pemerintah menutup 55
bank, mengambil alih 11 bank (BTO) dan 9 bank lainnya dibantu melakukan
rekapitalisasi. Pada Oktober 2001, sebagaimana laporan Majalah Investasi[1][1]
terjadi lagi satu bank konvensional yang dibekukan atau Bank Beku Kegiatan
Usaha (BBKU). Dari 240 bank sebelum krisis, kini hanya tinggal 73 bank swasta
yang dapat bertahan tanpa bantuan pemerintah.[1][2]
Di antara lembaga keuangan syari’ah yang berkembang secara pesat di
tengah sistem perbankan yang sedang sakit adalah antara lain bank syari’ah,
BPRS dan BMT. Bank Syari’ah berkembang berdampingan dengan bank-bank
konvensional. Hal tersebut dibuktikan dengan munculnya Bank BNI Syari’ah,
Bank Mandiri Syari’ah, Bank Bukopin Syari’ah, Bank Danamon Syari’ah, BII
Syariah. Di samping itu berkembang juga lembaga keuangan syari’ah yang
bersifat mikro, yang bergerak di kalangan ekonomi bawah, yaitu BMT (Baitul
Maal wat-Tamwil).
BAB III
PENUTUP
3.1     KESIMPULAN
Baru tiga dasawarsa menjelang abad 21, muncul kesadaran baru umat Islam
untuk mengembangkan kembali kajian ekonomi syari’ah. Ajaran Islam tentang
ekonomi, kembali mendapat perhatian serius dan berkembang menjadi disiplin
ilmu yang berdiri sendiri. Pada era tersebut lahir dan muncul para ahli ekonomi
syariah yang handal dan memiliki kapasitas keilmuan yang memadai dalam
bidang mu’amalah. Sebagai realisasi dari ekonomi syariah, maka sejak tahun 1975
didirikanlah Internasional Development Bank ( IDB ) di Jeddah. Setelah itu, di
berbagai negara, baik negeri- negeri muslim maupun bukan, berkembang pula
lembaga – lembaga keuangan syariah.
Momentum Indonesia Syariah Expo hendaknya bisa menyentakkan dan
membuka mata pemerintah untuk melirik dan menerapkan ekonomi syariah
sebagai solusi perekonomian Indonesia.  Pemerintah harus melihat ekonomi
syari’ah dalam konteks penyelamatan ekonomi Nasional. Sehubungan dengan itu,
pembentukan Dewan Ekonomi Nasional (DEN) perlu kembali diwujudkan dengan
memasukkan para pakar ekonomoi syariah di dalamnya. Ekonomi syariah di
Indonesia telah menunjukkan ketangguhannya di masa krisis dan lagi pula dalam
praktek perekonomian di Indonesia selama ini, Indonesia sudah menerapkan  dual
system, yakni konvensional dan sistem ekonomi syari’ah, terutama yang berkaitan
dengan lembaga perbankan dan keuangan.

3.2   SARAN
1)             Semoga makalah yang dibuat oleh penyusun ada manfaatnya bagi pembaca
khususnya bagi penulis.
2)             Ekonomi syariah islam telah terbukti dalam membangun ekonomi nasional
jadi pemerintah harus segera mempergunakan system ekonomi islam untuk
mencapai keadilan dan kemakmuran bagi rakyat.
3)             Pemerintah jangan menghilangkan system ekonomi islam pada era sekarang
ini melainkan harus terus menjaga ekonomi syariah islam.  
DAFTAR PUSTAKA
Abu ‘Ubayd al-Qasim bn Sallam. 1981. Al-Amwa’l.  Beirut Libanon. Mu’assassat al-
Nashir.
Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Bashriy al-Bagdady al-Mawardy,
t.t. al-Ahkam al-Sulthaniyyah, Dar al-Fikr, Beirut.
Adiwarman A. Karim, Refleksi dan Proyeksi Ekonomi Islam Indonesia. At-Tariqi,
Abdullah Abdul Husain. Ekonomi Islam: Prinsip, Dasar dan Tujuan. (Yogyakarta:
Magistra Insania Press, 2004)
Cf. The Muqaddimah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dri bhasaArab oleh
Franz Rosenthal (3 jilid) diterbitkan oleh Bollingen Foundation Inc., New York
Dawam Raharjo, Menegakan Syariat Islam di Bidang Ekonomi, dalam Adiwarman
Karim, Bank Islam: analisis fiqh dan Keuangan, IIIT Indonesia, Jakarta, 2003
Fakta penerimaan kalangan santri, antara lain, berdirinya Induk Koperasi Pondok
Pesantren (INKOPONTREN) di Jakarta tahun 1996 oleh Puskopontren Jawa
Barat, DKI, DI Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Perkembangan
Kopontren semakin menjamur setelah digulirkanya proyek P2KR (Proyek
Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (baca:Pessantren) oleh BAPPENAS, 1998
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Ekonisia,
2002), hal. 149. Penulis buku ini menkompilasi dari Sumber M. Najatullah
Siddiqi (1995), M. Aslam Hannaef (1995), dan A. Karim (2001).
Ibn Taymiyyah, al-Hisbah fi al-Islam, [nd.] Cf. Juhaya S Praja, al-Hisbah  sebagai
Bentuk Intervensi Pemerintah dalam Mekanisme Pasar, makalah disajikan dalam
Seminar Nasional yang diselenggarakan bersama oleh Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dengan BAPPEBTI Deperindag RI
Jakarta, di Hotel Radison Yogyakarta, November, 1999.
M Cholil Nafis. Corak Pemikiran Hukum Ekonomi Islam di Indonesia. Diakses dari
http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?
mid=5&id=245626&kat_id=105&kat_id1=147&kat_id2=217 tanggal 30 Nov
2006.

[1] mūd Abū Su’ūd, Marshal sebagaimana dikutip oleh Mah ād al-Islāmiyy%ut


Ra’isiyyah fī al-Iqtis Khut, (Maktabat al-Manār al-Islāmiyyah, Kuwait,1968), hal.
56.
[2] Al-Qur’an Surat 28: ayat 77.
[3] At-Tariqi, Abdullah Abdul Husain. Ekonomi Islam: Prinsip, Dasar dan Tujuan.
(Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004), hal. 26
[4] Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam: Suatu Pengantar, (Yogyakarta:
Ekonisia, 2002), hal. 149. Penulis buku ini menkompilasi dari Sumber M.
Najatullah Siddiqi (1995), M. Aslam Hannaef (1995), dan A. Karim (2001).
[5] Ibid., hal. 5-7.
[6] Muhammad Abu Zahrah, Abu`Hani`fah, Cairo, Dar al-Fikr al-‘Araby [nd].,
hal. 404-410, 432-442, 539.
[7] Shobhi Mahmashani, al-Awza’i: Ta’limuhu al-Insaniyyah wa al-Qa`nuniyyah,
Beirut, Dar al- ‘Ilmli al-Mala’in, 1978, hal. 426, 314-318, 447.
[8] Muhammad Abu Zahrah, Ma`lik, Cairo, Dar al-Fikr al-‘Araby, 1952, hal. 73-
74, 335-383, 432.
[9] Muhammad Abdul Mannan, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek, h. 24
[10] al-Qadli AbuYusuf Ya’qub Ibrahim (112-182H), Kitab al-Kharaj, Muhib al-
Din al-Khatib, [nd.]
[11] Ibn Taymiyyah, al-Hisbah fi al-Islam, [nd.] Cf. Juhaya S Praja, al-
Hisbah sebagai Bentuk Intervensi Pemerintah dalam Mekanisme Pasar, makalah
disajikan dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan bersama oleh Fakultas
Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dengan BAPPEBTI
Deperindag RI Jakarta, di Hotel Radison Yogyakarta, November, 1999.
[12]
[13] Zainal Abidin Ahmad, Dasar-dasar Ekonomi Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1979), hal. 242-250.
[14] Abu ‘Ubayd al-Qasim bn Sallam (157-224H/774-738M) dalam kitabnya, al-
Amwa’l, Mu’assassat al-Nashir, Beirut, Libanon, cet.i, 1981
[15] Zainal Abidin Ahmad, Dasar., hal.251-274.
[16] Ibid., hal. 275-300.
[17] Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Bashriy al-Bagdady al-
Mawardy, al-Ahka`m al-Sultha`niyyah, Dar al-Fikr, Beirut [nd].
[18] Ibn Taymiyyah, al-Hisbah fi al-Islam,
[19] Adiwarman A. Karim, Refleksi dan Proyeksi Ekonomi Islam Indonesia. Diakses
dari http://www.dilibrary.net/images/topics/Materi%20-%20Adiwarman.pdf.
Tanggal 30 Januari 2007.
[20] Istilah jihbiz mulai dikenal pada masa Muawiyah (661-680M). Istilah ini
dipinjam dari bahasa Persia kahbad atau kihbud. Pada masa pemerintahan
Sasanid, istilah jihbiz digunakan untuk orang yang melaksanakan fungsi dan tugas
mengumpulkan pajak tanah.
[21] Pada masa ini setiap wazir (menteri) mempunyai bankirnya masing-masing.
Misalnya: Ibnu Furat menunjuk Harun Ibnu Imran dan Josep Ibnu Wahab sebagai
bankirnya.
[22] Fakta penerimaan kalangan santri, antara lain, berdirinya Induk Koperasi
Pondok Pesantren (INKOPONTREN) di Jakarta tahun 1996 oleh Puskopontren
Jawa Barat, DKI, DI Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Perkembangan
Kopontren semakin menjamur setelah digulirkanya proyek P2KR (Proyek
Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (baca:Pessantren) oleh BAPPENAS, 1998
[23] Data diperoleh dari nasabah dan investigasi penulis terhadap Bank Syariah
Lembur Kuring (nama samaran)
[24] M Cholil Nafis. Corak Pemikiran Hukum Ekonomi Islam di Indonesia. Diakses
dari

Anda mungkin juga menyukai