Anda di halaman 1dari 15

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum secara umum memiliki sifat mengatur dan memaksa, yaitu mengatur
kehidupan masyarakat dengan menuangkan dalam peraturan-peraturan yang telah
ditetapkan oleh pemerintah, kemudian peraturan itu dapat dipaksakan oleh setiap orang
yang melanggar peraturan yang telah ditetapkan tersebut dengan memberikan sanksi yang
tepat. Adapun tujuan hukum itu sendiri yaitu memberi ketentraman kepada masyarakat,
memberi kepastian hukum dan perlindungan terhadap kepentingan manusia agar
kepentingan-kepentingan itu terlindungi, guna menghindari suatu tindak kejahatan di
masyarakat.

Kejahatan adalah suatu tindakan atau perbuatan yang sengaja dan melanggar
hukum pidana yang akan merugikan orang lain. Di indonesia masih banyak kasus-kasus
kejahatan yang sering terjadi, seperti halnya pencurian, pembunuhan, penganiayaan dan
lain sebagainya. Berbagai macam kejahatan terhadap tubuh dan kejahatan terhadap nyawa
biasanya disekenal dengan penganiayaan dan pembuuhan. Tindakan penganianyaan
menjadi salah satu fenomena yang sulit dihilangkan dari kehidupan bermasyarakat.
Penganiayaan itu sendiri yaitu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk
menimbulkan rasa sakit atas luka pada tubuh orang lain. Tindak pidana penganiayaan
sendiri diatur dalam pasal 351 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Berbagai tindak pengaiayaan yang sering terjadi seperti pemukulan, dan kekerasan
fisik seringkali mengakibatkan luka pada bagian tubuh atau anggota tubuh korban,
bahkan bisa membuat korban menjadi cacat fisik seumur hidup atau bahkan kematian.
Dalam beberapa kasus, tindak penganiayaan sering kali dilakukan orang dalam keaadaan
yang memaksa untuk melindungi dirinya dari acaman yang dihadapinya. Namun dalam
penyelesaian perkara perlindungan hukum terhadap hak-hak korban dalam usaha
membela diri dengan perlawanan dinilai sebagai kejahatan.

Korban sebagai pihak yang menderita akibat suatu tindak pidana, perlu mendapat
perlindungan hukum terhadap hak-haknya. Pengaturan hak-hak korban secara sederhana
diatur dalam KUHP dan KUHAP yang terbatas pada hak atas ganti kerugian, namun
seiring perkembangannya hak-hak korban menjadi lebih luas dan dapat diberikan dalam
setiap tahapan peradilan pidana, mulai dari tingkat penyidikan.

Namun dalam praktiknya korban sulit untuk mengakses haknya tersebut, hal
tersebut disebabkan banyak faktor misalya, kekurangan pengetahuan korban dalam
mengakses hak tersebut, ketakutan warga untuk berurusan dengan hukum karena nantinya
hasil yang didapat tidak seimbang dengan biaya yang telah dikeluarkan, serta kurangnya
aparat hukum yang memberitahukan akses hak tersebut seperti adanya Lembaga
Perlindungsn Saksi dan Korban (LPSK) untuk menangani ganti kerugian bagi korban.

Sistem peradilan pidana yang sekarang ada tidak memikirkan bagaimana cara
pemulihan dampak dari kejahatan yang dialami yang diderita korbannya. Mungkin ini
merupakan suatu aib untuk bangsa jika dalam setiap hari ada ribuan warga negara yang
menjadi korban dari suatu kejahatan dan terlanggar akan hak-hak asasinya yang
ditelantarkan, sementara mereka sibuk untuk memikirkan perlindungan hukum,
konstitusional, dan hak-hak asasi untuk orang yang telah melanggar hukum pidana,
meskipun dalam hal ini juga sangat diperlukan. Polisi dan jaksa yang sebagai bagian sub-
sistem pada peradilan pidana yang sebagai pintu gerbang dalam masuknya perkara pidana
ke pengadilan yang menunjukkan sikap sebagaimana yang kurang peduli terhadap
korban/pelopor. Negara, yang dalam hal ini polisi dan jaksa yang mempunyai
kewenangan dan peran yang berhak untuk dominan dan memonopoli reaksi terhadap
suatu pelanggaran hukum pidana adalah wakil yang sah bagi masyarakat dan kepentingan
publik, sesungguhnya telah mengambil alih bagaimana peran korban sebagai pihak yang
menderita karena suatu kejahatan.

Dalam hal ini peran negara tidak diikut sertakan untuk penegakan hukum yang
jelas mengenai hubungan hukum antara korban sebagai pihak yang menderita karena
kejahatan. Keadaan ini menjadi teori kausalitas conditio sine qua non teori dari Von Buri
ini telah meniadakan perbedaan antara pengertian syarat dengan pengertian penyebab.
Setiap faktor yang tidak mungkin bisa ditiadakan tanpa meniadakan akibatnya itu sendiri,
seharusnya ini dianggap sebagai salah satu penyebab dari akibat yang bersangkutan.
Menurut Buri, dalam rangkaian syarat yang turut menimbulkan akibat, karena dari
penghapusan satu syarat dari rangkaian yang menggoyahkan rangkaian syarat yang secara
keseluruhan sehingga dari akibat yang tidak terjadi. Karena dalam kesetaraan kedudukan
sehingga akibat yang tidak terjadi. Suatu tindakan bisa dikatakan akan menimbulkan
akibat tertentu, sepanjang dari akibat tidak bisa dipikirkan terlepas dari tindakan tersebut.
Karena itu, pada tindakan tersebut harus conditio sine qua non untuk menemukan
keberadaan pada akibat tertentu. Akan tetapi pada syarat tersebut harus dipandang setara.1

Dalam hal ini hubungan antara korban kejahatan dengan polisi yang digambarkan
sebagai suatu hubungan yang tidak langsung (indirect) yang tidak bisa menimbulkan
akibat hukum. Hal ini berbeda dengan hubungan hukum antara tersangka dengan
penasehat hukumnya (direct) yang murni sebagai suatu hubungan hukum antara kedua
subjek hukum yang menimbulkan akibat hukum.2 Peradilan pidana yang selama ini lebih
mementingkan dan mengutamakan kepentingan pelaku kejahatan (offender centered)
yang dilatarbelakangi dari pandangan jika sistem peradilan pidana yang diselenggarakan
untuk mengadili tersangka dan bukam untuk melayani kepentingan korban kejahatan,
karena :

“Crime is regarded as an offence against the state. The


damage to the individual victim is incidental and its redress is not
longer regarded as a function of the criminal justice process. The
victim is told that if he want to recover his losses he should hire a
lawyer and sue in civil court. The criminal justice system is not for the
community’s. Its purpose are to deter crime, rehabilitate – criminals,
punishment criminal, and do justice, but not to restore victims to their
wholeness or to vindicate them”.3

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian terkait


dengan korban yang dijadikan tersangka, atas latar belakang tersebut penulis mengambil
judul “Perlindungan Hukum terhadap hak-hak korban dalam usaha membela diri
atau perlawanan kejahatan sesuai dengan KUHP atau KUHAP”.

B. Rumusan Masalah
1
Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia Sebagai Pengantar, 2014, Bandung: Refika Aditama, hlm. 205
2
Hubungan antara penjual jasa hukum dengan penggunaan jasa hukum. Terdakwa dapat memilih ahli hukum
yang sebagai penasehat hukum yang benar-benar dapat memperjuangkan kepentingan-kepentingan yang
sewaktu-waktu dapat mencabut kuasanya bila penasehat hukum tidak melaksanakan tugasnya dengan baik
dan memuaskan. Sebaliknya korban tidak bisa memperlakukan polisi seperti halnya terdakwa terhadap
penasehat hukumnya. Hubungan antara korban kejahatan dengan polisi dan jaksa adalah hubungan yang
bersifat unik dan simbolik, karena korban tidak memiliki hak terhadap polisi dan jaksa seperti halnya terdakwa
dengan penasehat hukum.Hubunga
3

William F. McDonald, “The Role Of The Victim In America” di dalam Rendy E. Barnett dan John Hegel III, edst.,
1977, Assessing The Criminal : Restitution, and The Legal Process, Cambridge : Ballinger Publishing Company,
hlm. 29-296.
a. Bagaimana bentuk pembelaan atau perlindungan hukum pada hak-hak korban dalam
usaha membela diri?
b. Apakah dalam setiap putusan telah mempertimbangkan adanya unsur-unsur
pembelaan diri atau daya paksa dari terdakwa (korban yang diputus tersangka)?
C. Metode penelitian

Penelitian merupakan suatu saran pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan


maupun teknologi. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat case study dengan
menggunakan case approach. Penelitian ini yang bersifat prespektif yang dimana dalam
tujuan memberikan suatu solusi terhadap permasalahan yang ada sehingga diperlukan
pisau analisa dan kemampuan indetifikasi yang tajam terhadap suatu masalah agar bias
memberikan suatu solusi yang efektif. Bahan hokum yang digunakan dengan
menggunakan metode analisa normative.

a. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang berfokus dengan
norma-norma hukum yang berlaku dalam pengkajian atas norma-norma hukum yang
dilakukan dengan cara meneliti dari data sekunder sebagai data yang utama,
sedangkan data primer sebagai data penunjang.

b. Sumber Data

Data sekunder dalam penelitian ini yang bersumber dari :

1. Bahan Hukum Primer, yaitu berupa bahan-bahan hukum positif yang mengikat
dan terdiri dari peraturan perundang-undangan, sebagai berikut :
a) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;
b) Undang-Undang Nomor
c) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang digunakan sebagau suatu
penjelasan yang mengenai bahan hukum primer yang terdiri dari literatur-literatur
yang berisi mengenai pendapat-pendapat tentang hukum.
c. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, akan diteliti data sekunder. Dengan demikian kegiatan
utama yang dilakukan dalam melaksanakan penelitian ini, yaitu studi kepustakaan.
Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui kepustakaan, dengan mengkaji,
menelaah dan mengolah literatur, peraturan perundangan-undangan, artikel-artikel
atau tulisan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti.

d. Metode Analisis

Pengolahan data penelitian dilakukan dengan taraf sinkronisasi dari peraturan


perundang-undangan, dapat dilakukan dengan dua titik tolak taraf, yaitu taraf
sinkronisasi secara vertikal dan secara horizontal. Apabila dilakukan dengan cara titik
tolak vertikal, maka yang diteliti adalah tarah sinkronisasi peraturan perundang-
undangan yang mengatur berbagai bidang yang mempunyai hubungan fungsionil
adalah konsisten.4 Sebagai dasar dari penelitian taraf sinkronisasi secara vertikal dapat
diambil beberapa asas dari perundang-undangan.

Sedangkan dalam penelitian taraf sinkronisasi horizontal, dilakukan dengan


cara menentukan terlebih dahulu bidang yang akan diteliti, setelah itu kemudian
dicarilah peraturan perundang-undangan yang sederajat yang mengatur segala aspek
yang berkaitan dengan bidang yang diteliti. Berdasarkan dua taraf pengolahan diatas,
maka terhadap penulisan ini pengolahan data dilakukan dengan taraf sinkronisasi
horizontal dari berbagai peraturan perundang-undang yang mengatur bidang wakaf
secara umum, dan wakaf dengan obyek tanah secara khusus. Kecuali mendapatkan
data tentang peraturan perundang-undangan secara lengkap dan menyeluruh, maka
kegiatan ilmiah semacam ini juga menghasilkan kelemahan-kelemahan yang ada pada
peraturan perundang-undangan yang megatur bidang-bidang tertentu tersebut. Hasil-
hasil tersebut tidak hanya berguna bagi para penegak hukum, tetapi juga kalangan
ilmuwan dan pendidikan hukum.5 Setelah data terkumpul baik yang diperoleh dari
pencarian sumber data dan studi kepustakaan dalam melakukan perbandingan hukum,
maka data-data tersebut diolah dengan cara sebagai berikiut:

a) Penyusunan data

Data yang sudah ada perlu dikempulkan semua agar mudah untuk
mengecek apakah semua data yang dibutuhkan seudah lengkap semua.
Penyusunan data harus dipilih data yang relevan dengan penelitian.

b) Klasifikasi data

4
Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, 2014, Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada, hlm. 256
5
Ibid., 257
Klasifikasi data merupakan usaha menggolongkan, mengelompokkan ,dan
memilih data berdasarkan pada klasifikasi tertentu yang telah dibuat dan
ditentukan oleh peneliti.

D. Pembahasan
a. Bentuk pembelaan atau perlindungan hukum pada hak-hak korban

Perlindungan korban yang dimaksud dalam hal ini adalah suatu perlindungan
hukum yang diberikan kepada korban dengan tetap mendudukan kepentingan korban
sebagai salah satu bagian mutlak yang harus dipertimbangkan dalam proses
penyelesaian perkara pidana. Perlindungan tersebut dapat dilihat dalam Pasal 77 jo.
Pasal 80 KUHAP. Undang-undang memberikan hak kepada korban kejahatan untuk
melakukan kontrol terhadap penyidik dan penuntut umum, yaitu untuk mengajukan
keberatan terhadap tindakan penghentian penyidikan atau penuntutan dalam
kapasitasnya sebagai pihak ketiga yang berkepentingan. Atau dapat juga melakukan
upaya pra-peradilan manakala suatu perkara dihentikan penyedikan atau
penuntutannya. Keduanya merupakan salah satu bentuk perlindungan terhadap pihak
korban karena dengan diberikannya hak kontrol ini, terdapat jaminan bahwa proses
perkara pidana tersebut dapat diselesaikan berdasarkan ketentuan hukum yang
berlaku.

Kedudukan korban dalam sistem hukum pada peradilan pidana ataupun dalam
praktik peradilan relatif yang kurang diperhatikan karena dalam ketentuan hukum
yang ada di Indonesia ini masih bertumpu pada perlindungan untuk pelaku/ tersangka
(offender orientied). Padahal, melihat dari pandangan kriminologis dan hukum pidana
pada kejahatan adalah konflik antar individu yang menimbulkan berbagai macam
kerugian yang dialami oleh korban, masyarakat dan pelanggar hukum sendiri yang
dimana dari ketiga kelompok itu untuk kepentingan korban dari kejahatan adalah
bagian yang paling utama atas kejahatan yang dimana menurut Andrew Ashworth
“primary an office against the victim and only secondary an offence against the
wider community or state”.6

Secara teoritis dan praktik dari sistem peradilan pidana yang ada di Indonesia
dalam kepentingan korban dari kejahatan yang diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum
(JPU) itu sebagai bagian dari perlindungan terhadap masyarakat yang sesuai dengan

6
Andrew Ashworth, Victim Impact Statement and Sentencing, The Criminal Law Review, 1993, hlm. 503
teori kontrak sosial (social contract argument) dan teori solidaritas sosial (social
solidary argument).7 Menurut padangan secara umum dalam teori ini dikenal yang
dikenal ada dua model perlindungan, yaitu : pertama, model hak-hak prosedural (the
procedural rights model) yang di Perancis bisa disebut dengan partie civile model
(civil action system). Secara singkat dari model ini yang menekankan dengan
kemungkinan yang berperan aktif untuk korban dalam proses peradilan pidana seperti
membantu Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dilibatkan untuk setiap tingkatan dalam
pemeriksaan perkara, wajib yang didengar bagaimana pendapatnya jika terpidana
yang dilepaskan secara bersyarat, ataupun yang lainnya. Akan tetapi, dengan adanya
keterlibatan korban yang memiliki segi positif untuk penegakan hukum, dan memiliki
segi negatif karena partisipasi aktif dari korban dalam pelaksanaan proses peradilan
pidana bisa menyebabkan kepentingan pribadi yang terletak di atas kepentingan
umum. Kedua, model pelayanan (the service model) yang menekankan pada
pemberian ganti kerugian dalam bentuk kompensasi, restitusi dalam upaya
pengambilan keputusan untuk kondisi korban yang mengalami trauma, rasa takut dan
tertekan akibat suatu kejahatan. Apabila dibandingkan, ternyata baik model hak-hak
prosedural maupun model pelayanan masing-masing memiliki kelemahan. Dalam
model hak-hak procedural ini bisa menempatkan kepentingan umum yang di bawah
kepentingan individual dari korban, di samping suasana peradilan bebas yang
dilandasi dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) bisa
terganggu dari pendapat korban tentang pemidanaan yang dijatuhkan karena
didasarkan atas pemikiran yang secara emosional sebagai upaya dalam mengadakan
pembalasan.

Sebagai lembaga yang mewakili korban kejahatan seharusnya Jaksa Penuntut


Umum (JPU) dalam tuntutan pidana yang lebih banyak untuk menguraikan
penderitaan korban akibat dari tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku sehingga
untuk pengajuan tuntutan pidana yang hendaknya berdasarkan keadilan dari segi kaca
mata korban sehingga cenderung menuntut hukuman yang relatif tinggi, sedangkan
terdakwa dan penasehat hukum berhak untuk memohon agar hukuman yang seringan-
ringannya, atau kalau memungkinkan dalam memohon agar terdakwa dibebaskan dari
segala dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan putusan Hakim yang berupa

7
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, 1992, Bandung : PT Alumni, hlm. 78
pemidanaan (veroodeling) yang harusnya pula mengandung anasir yang bersifat
kemanusiaan, edukatif dan keadilan.

Jika dilihat dan dicermati lebih terperinci ternyata perlindungan terhadap


korban kejahatan yang bersifat dalam perlindungan abstrak atau perlindungan tidak
langsung yang dirumuskan dalam kebijakan formulatif yaitu perlindungan abstrak
yang dimana cenderung mengarah pada perlindungan masyarakat dan individu.
Dalam Sistem Peradilan yang ada di Indonesia maka kesan pertama dalam
keterasingan terhadap korban juga bisa dirasakan sebagaimana dengan terlihat masih
kurangnya pembahasan terhadap korban, peraturan hukum pidana juga belum
sepenuhnya mengatur tentang korban yang beserta haknya sebagai pihak yang merasa
dirugikan dan lain sebagainya. Secara selintas maka dalam pengaturan korban dari
kejahatan dalam hukum positif menurut sistem peradilan pidana Indonesia meliputi
ketentuan Pasal 14 c ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang
berbunyi selengkapnya sebagai berikut:

“Pada perintah yang tersebut dalam Pasal 14 a kecuali dalam


hal dijatuhkan pidana denda, maka bersama-sama dengan syarat
umum, bahwa orang yang dipidana, hakim boleh mengadakan syarat
khusus bahwa orang yang dipidana itu akan mengganti kerugian yang
terjadi karena tindak pidana itu, semuanya atau sebagian saja, yang
akan ditentukan pada perintah yang ditentukan pada itu juga, yang
kurang dari masa percobaan itu.”

Ketentuan sebagaimana tersebut di atas mensiratkan bahwa ada perlindungan


abstrak atau tidak langsung yang diberikan undang-undang sebagai kebijakan
formulatif kepada korban kejahatan. Perlindungan yang meliputi penjatuhan hukuman
oleh hakim dengan penetapkan syarat umum dan syarat khusus berupa ditentukan
terpidana mengganti kerugian yang ditimbulkan kepada korban. Akan tetapi ternyata
aspek ini sifatnya abstrak atau perlindungan tidak langsung karena sifat syarat khusus
tersebut berupa penggantian kerugian adalah fakultatif, tergantung penilaian hakim.
Oleh karena itu, dengan asas keseimbangan individu dan masyarakat (asas
monodualistik) seharusnya perlindungan terhadap korban kejahatan dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sifatnya imperatif. Kemudian dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) sudah dimulai adanya perlindungan korban secara individu, dengan
tetap melakukan pembinaan kepada pelaku kejahatan. Perlindungan korban dalam
konteks ini berarti tetap menempatkan kepentingan korban sebagai salah satu bagian
mutlak yang dipertimbangkan dalam proses penyelesaian perkara pidana seperti
korban memungkinkan untuk mengontrol suatu perkara yang menempatkan dirinya
sebagai korban yaitu dapat melakukan upaya pra peradilan, jika suatu perkara
dihentikan penyidikan atau penuntutannya. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk
perlindungan karena diberikannya hak kontrol ini dapat memberi jaminan bahwa
perkara pidana dimaksud dapat diselesaikan berdasarkan ketentuan hukum yang
berlaku. Lebih jauh lagi, selain itu KUHAP juga memberi peluang kepada korban
untuk mengajukan gugatan ganti kerugian yang digabungkan dengan perkara pidana
bersangkutan sebagaimana ketentuan Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP.

Terbitnya Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi


dan Korban yang merupakan salah satu solusi yang diberikan pemerintah dalam
penyelesaian permasalahan hukum di Indonesia. Salah satunya ialah dibentuknya
lembaga khusus tersebut mempunyai tugas dan wewenang memberikan perlindungan
dan hak-hak pada saksi dan korban pada semua tahap proses peradilan pidana.
Lembaga khusus yang dimaksud oleh undang-undang adalah Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban (LPSK). LPSK berkedudukan di ibu kota negara Republik
Indonesia dan membuka kemungkinan adanya perwakilan-perwakilan di penjuru
Tanah Air sesuai dengan keperluan.

Jika menyimak dari segi sejarah perkembangan penologi, tampak bahwa


reaksi dari pelaku kejahatan yang sepenuhnya merupakan hak untuk korban. Setiap
orang (korban) yang merasa dilanggar hak-haknya berhak untuk melakukan
pembalasan secara langsung kepada yang melakukan pelanggaran atas dirinya.
Bahkan kalau mampu, mereka bisa melakukan tindakan yang lebih dahsyat daripada
yang dialaminya. Pada masa ini lebih banyak diwarnai oleh balas dendam secara fisik.
Namun, lambat laun, muncul kesadaran masyarakat untuk mengganti balas dendam
fisik ini berupa pemberian santunan atau ganti rugi oleh pelaku ke pihak korban.8

Kehadiran restorative justice pada dasarnya menjadi kunci pembuka pemikiran


kembali tentang posisi korban dalam suatu penyelesaian perkara pidana. Penanganan
8
Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, 2007, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan
dan Pengabdian Hukum, hlm. 183
perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif menawarkan pandangan dan
pendekatan berbeda dalam memahami dan menangani suatu tindak pidana. Dalam
pandangan restorative justice makna tindak pidana pada dasarnya sama seperti
pandangan hukum pidana pada umumnya. Akan tetapi, dalam pendekatan keadilan
restoratif ini, korban utama atas terjadinya suatu tindak pidana bukanlah negara,
sebagaimana dalam sistem peradilan pidana yang sekarang ada. Oleh karenanya
kejahatan menciptakan kewajiban untuk membenahi rusaknya hubungan akibat
terjadinya suatu tindak pidana. KUHAP yang menjadi dasar dari suatu sistem dalam
peradilan pidana di Indonesia, bisa dikatakan sebagai karya terbesar yang dianggap
sebagai salah satu hasil pemikiran tertinggi bangsa Indonesia dibidang hukum formil.
Secara substansi, KUHAP sudah memperhatikan hak asasi seseorang yang tersangkut
perkara pidana, mulai dari proses penyidikan, pemeriksaan di pengadilan, penjatuhan
hukuman sampai kepada pelaksanaan putusan. Di samping itu, sudah mulai terlihat
adanya perlindungan terhadap korban secara individu dengan tetap tidak
mengenyampingkan pembinaan kepada pelaku kejahatan. Kenyataan-kenyataan di
atas dapat dikategorikan sebagai bentuk kemajuan dalam bidang hukum pidana di
Indonesia.

b. Pertimbangan unsur-unsur pembelaan diri atau daya paksa dari korban


kejahatan

Hukum pidana yang mengatur beberapa alasan bisa dijadikan sebagai dasar
bagi hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman/pidana kepada para pelaku atau
terdakwa yang diajukan ke pengadilan karena telah melakukan suatu tindak pidana.
Alasan-alasan tersebut dinamakan alasan penghapus pidana. Alasan penghapus pidana
adalah peraturan yang terutama ditujukan kepada hakim. Peraturan ini menetapkan
dalam keadaan apa seorang pelaku, yang telah memenuhi perumusan delik yang
seharusnya dipidana, tidak dipidana. Hakim menempatkan wewenang dari pembuat
undang-undang untuk menentukan apakah telah terdapat keadaan khusus seperti
dirumuskan dalam alasan penghapusan pidana.

Alasan-alasan penghapus pidana adalah alasan-alasan yang memungkinkan


orang untuk melakukan perbuatan yang sebenarnya telah memenuhi rumusan delik,
tetapi tidak dipidana. Berbeda halnya dengan alasan yang dapat menghapuskan
penuntutan, alasan penghapusan pidana diputuskan oleh hakim dengan menyatakan
jika perbuatan yang sifatnya melawan hukum itu dihapus, karena dengan adanya
ketentuan undang – undang dan hukum yang membenarkan perbuatan atau yang
memaafkan pembuat. Dalam hal ini hak untuk melakukan penuntutan dari Jaksa tetap
ada, tidak hilang, namun terdakwa yang tidak dijatuhi pidana oleh hakim. Dengan
kata lain, undang-undang tidak melarang Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan
tersangka pelaku tindak pidana ke sidang pengadilan dalam hal adanya alasan
penghapusan tuntutan pidana.

Perbuatan yang umumnya dipandang sebagai perbuatan yang keliru, dalam


kejadian yang tertentu dipandang sebagai perbuatan yang dibenarkan, bukanlah
perbuatan yang keliru. Sebaliknya, apabila tidak dipidananya seseorang yang telah
melakukan perbuatan yang mencocoki rumusan delik disebabkan karena tidak
sepantasnya orang itu dicela, tidak sepatutnya dia disalahkan, maka hal-hal yang
menyebabkan dia tidak sepantasnya dicela itu disebut sebagai hal-hal yang dapat
memaafkannya, dan diperpendek dengan alasan pemaaf. Hakim yang memeriksa,
mengadili, dan memutuskan dalam suatu perkara yang dihadapkan kepadanya, yang
pertama yaitu harus menggunakan hukum tertulis terlebih dahulu, yaitu peraturan
perundang-undangan, tetapi jika peraturan perundang-undangan tersebut ternyata
tidak cukup atau tidak tepat dengan permasalahan dalam suatu perkara, maka barulah
hakim akan mencari dan menemukan sendiri hukumnya dari sumber-sumber hukum
yang lain seperti yurisprudensi, doktrin, traktat, kebiasaan atau hukum tidak tertulis.
Karena dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
dinyatakan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat.

Di antara para penulis hukum pidana dapat dikatakan ada kesatuan pendapat
bahwa suatu pembelaan hanya dapat dikatakan sebagai terpaksa (noozakelijke)
apabila memenuhi 4 (empat) unsur-unsur pembelaan diri atau daya paksa dari korban
kejahatan Menurut Andi Hamzah.9 Unsur-unsur suatu pembelaan terpaksa
(noodweer) adalah:

1. Pembelaan itu bersifat terpaksa.


2. Yang dibela ialah diri sendiri, orang lain, kehormatan kesusilaan, atau harta benda
sendiri atau orang lain.
3. Ada serangan sekejap atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu.
9
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, 1994, Jakarta : PT Rineka Cipta, hlm. 158
4. Serangan itu melawan hukum

Sebagaimana yang sudah disarikan, menjelaskan menjelaskan jika dalam


pembelaan harus seimbang dengan serangan atau ancaman. Serangan tidak boleh
melampaui batas keperluan dan keharusan. Asas ini disebut sebagai asas subsidiaritas
(subsidiariteit). Harus seimbang antara kepentingan yang dibela dan cara yang
dipakai di satu pihak dan kepentingan yang dikorbankan. Jadi, harus proporsional.
Menurut Pompe, jika ancaman dengan pistol, dengan menembak tangannya sudah
cukup maka jangan ditembak mati. Pembelaan terpaksa juga terbatas hanya pada
tubuh, kehormatan kesusilaan, dan harta benda. Tubuh meliputi jiwa, melukai dan
kebebasan bergerak badan. Kehormatan kesusilaan meliputi perasaan malu seksual.

Terkait pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces), menurut


Andi Hamzah10, ada persamaan antara pembelaan terpaksa (noodweer) dengan
pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces), yaitu keduanya
mensyaratkan adanya serangan yang melawan hukum, yang dibela juga sama, yaitu
tubuh, kehormatan kesusilaan, dan harta benda, baik diri sendiri maupun orang lain.
Perbedaannya ialah:

1. pada pembelaan terpaksa yang melampau batas (noodweer exces), pembuat


melampaui batas karena keguncangan jiwa yang hebat. Oleh karena itu maka
perbuatan membela diri melampaui batas itu tetap melawan hukum, hanya
orangnya tidak dipidana karena guncangan jiwa yang hebat. Lebih lanjut maka
pembelaan terpaksa yang melampaui batas menjadi dasar pemaaf.
2. pembelaan terpaksa (noodweer) merupakan dasar pembenar, karena melawan
hukumnya tidak ada.

Perbuatan yang maksudkan dalam pembelaan terpaksa ini dasarnya adalah


tindakan yang menghakimi terhadap orang yang berbuat melawan hukum terhadap
diri orang itu atau orang lain. Berhubung dalam hal seseorang mendapat serangan atau
ancaman serangan dari pelaku tindak pidana, negara tidak mampu/tidak dapat berbuat
banyak melindungi penduduk negara, maka orang yang menerima serangan atau
ancaman serangan seketika itu diperkenankan melakukan perlawanan walaupun
perlawananan yang dilakukan pada dasarnya dilarang oleh hukum. Penyerangan yang
dilakukan untuk melawan hukum seketika itu melahirkan hukum darurat yang

10
Ibid., 159-160
membolehkan si korban melindungi dan mempertahankan kepentingan hukumnya
atau kepntingan hukum orang lain oleh dirinya sendiri. Ini lah yang dimaksud sebagai
dasar dalam filosofi pembelaan terpaksa. Pandangan legal murni tentang kejahatan
yang mendefinisikan tentang kejahatan sebagai pelanggaran terhadap hukum pidana.
Bagaimanapun kejinya dan tidak bisa diterimanya suatu perbuatan secara moral, itu
bukan kejahatan kecuali dinyatakan demikian oleh hukum pidana. Kejahatan
merupakan suatu perbuatan sengaja atau pengabaian dalam melanggar hukum pidana
(hukum yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi),
dilakukan bukan untuk pembelaan diri dan tanpa pembenaran, ditetapkan oleh negara
sebagai kejahatan baik serius ataupun ringan. Pembelaan terpaksa yang dirumuskan
dalam pasal 49 ayat 1 sebagai berikut: “Tidak dipidana, yang barangsiapa melakukan
perbuatan untuk pembelaan terpaksa untuk diri atau orang lain, kehormatan
kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena adanya serangan atau
ancaman serangan yang melawan hukum pada ketika itu juga, contohnya sebagai
berikut:

1. Serangan terhadap badan

Seseorang yang ingin balas dendam mendatangi orang lain dengan


memegang tongkat karena berniat ingin memukul, maka orang yang ingin dipukul
tersebut mengambil tongkat dan memukul si orang yang ingin membalas dendam
tersebut.

2. Serangan terhadap barang/ harta benda

Terhadap benda yang bergerak dan berwujud dan yang melekat hak
kebendaan

3. Serangan terhadap kehormatan

Serangan yang berkaitan erat dengan masalah seksual: seorang laki-laki


hidung belang meraba buah dada seorang perempuan yang duduk disebut taman,
maka dibenarkan jika serangan berlangsung memukul tangan laki-laki itu. Tetapi
sudah tidak dikatakan suatu pembelaan terpaksa jika laki-laki tersebut sudah
pergi, kemudian perempuan tersebut mengejarnya dan memukulnya, karena
bahaya yang mengancam telah berakhir.11

11
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana II, 2002, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. Ke1, hlm. 43
E. Kesimpulan

Pengaturan pembelaan terpaksa (noodweer) dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP


sebagai suatu alasan penghapus pidana merupakan pembelaan menghadapi serangan
melawan hukum terhadap diri, kehormatan kesusilaan, atau harta benda sendiri maupun
orang lain; dengan tidak memasukkan kehormatan dalam arti nama baik dan
ketenteraman rumah (huisvrede) ke dalam kepentingan yang dapat dibela dengan
pembelaan terpaksa. Perlindungan hukum yang diberikan terhadap tindak pidana daya
paksa dan pembelaan terpaksa Tentunya didalam keadaan darurat hukum sangat
menjunjung kepentingan hukum yang lebih tinggi yang ditentukan secara konkrit dengan
mempertimbangkan keadaan-keadaan yang menyertai perbuatan, dalam konteks tersebut
diberikan otonomi sebagai pengemban hak dan kewajibanya untuk menentukan pilihan
hukumnya. Adapun perlindungan hukum sebagai korban diatur didalam pasal 3 dan pasal
5 dan pasal 6 UU PSK yang mengalami perbuatan pelanggaran HAM berat akan
mendapatkan bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial.

Unsur-unsur dalam pembelaan diri atau upaya daya paksa. Pengaturan jenis-jenis
alasan pemaaf tindak pidana daya paksa dan pembelaan terpaksa dibagi menjadi dua
antara lain, Alasan pembenar menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan,
meskipun perbuatan ini telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Kalau
perbuatannya tidak melawan hukum maka tidak mungkin ada pemidanaan. Alasan
pembenar yang terdapat dalam KUHP ialah pasal 48 (daya paksa), pasal 49 ayat (1)
(pembelaan terpaksa) pasal 49 ayat (2) (pembelaan terpaksa yang melampaui batas).
Alasan pemaaf menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang ini tidak dapat
dicela (menurut hukum) dan tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya
bersifat melawan hukum.

F. Saran

KUHP mengatur mengenai alasan penghapus pidana pada pembelaan terpaksa


(noodweer), sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP. Akan tetapi
terdapat tiga syarat untuk dapat melakukan hal tersebut. Pertama ada serangan secara
mendadak yang menyebabkan upaya pembelaan diri secara mendadak (sepontan), kedua
serangan tersebut melawan hukum yang menyebabkan korban merasa terancam
posisinya, ketiga pembelaan merupakan keharusan untuk menghindari kejahatan, dan
keempat cara pembelaan adalah patut karena dalam posisi korban tidak bersalah. Maka
diperbolehkan untuk membela dan mempertahankan kepentingan hukumnya. Selama ini
jika terdapat kasus mengenai pembelaan terpaksa, proses peradilan yang digunakan
melalui proses persidangan di pengadilan, yang otomatis hakim menentukan dan menilai
terdapat pembelaan terpaksa atau tidak. Oleh sebab itu, jika dari awal terdapat indikasi
bahwa hal tersebut merupakan pembelaan terpaksa, maka tidak bisa dipidana sesuai
amanat undang-undang serta untuk menjunjung tinggi asas peradilan cepat, sederhana,
dan biaya ringan.

Anda mungkin juga menyukai