Anda di halaman 1dari 20

PANDUAN PRATIKUM

UJI RESISTENSI NYAMUK AEDES AEGYPTI

OLEH : SANG GEDE PURNAMA, SKM, MSC

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

1
Nyamuk Aedes

1. Taksonomi

Genus Aedes masuk ke dalam subfamili Culicinae yang terdiri dari 33

genera yang diantaranya terdiri dari Culex, Mansonia, Haemagogus, Sabethes,

Psorophora dan Aedes itu sendiri (Service, 1993). Nyamuk Aedes tersebar di

seluruh dunia yang berjumlah sekitar lebih dari 950 spesies. Dalam dunia kedokteran

spesies Aedes yang memiliki peran penting sebagai vektor penular penyakit adalah

Ae. aegypti dan Ae. albopictus. Spesies Ae. aegypti pertama kali dideskripsikan

oleh Linnaeus (1762) sedangkan Ae. albopictus dideskripsikan oleh

Skuse (1895) (Anonim, 2007). Adapun sistematika kedua spesies ini adalah

sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Kelas : Insecta

Ordo : Diptera

Famili : Culicidae

Genus : Aedes

Spesies : Aedes aegypti; Aedes albopictus

2. Lingkaran hidup

Kehidupan spesies Ae. aegypti dan Ae. albopictus dibedakan menjadi dua

fase yaitu fase akuatik dan fase terestrial. Telur yang dihasilkan oleh nyamuk
2
betina dewasa diletakkan secara tunggal (singly) di permukaan yang lembab

sedikit di atas permukaan air pada habitat dengan volume yang selalu berubah

(naik turun). Nyamuk betina dewasa biasanya meletakkan telur pada beberapa

tempat selama satu siklus gonotropik. Perkembangan embrionik telur akan lengkap

dalam waktu 48 jam, dan setelah proses ini maka telur dapat bertahan terhadap

kekeringan selama berbulan-bulan dan akan menetas hanya jika terendam air,

walaupun tidak semua telur akan menetas dalam waktu yang sama (Clements,

1992).

Telur yang menetas akan mengeluarkan larva yang akan melalui empat

tahap perkembangan. Durasi perkembangan larva bergantung kepada suhu,

ketersediaan makanan dan kepadatan larva pada suatu kontainer. Pada kondisi

yang optimal, waktu yang dibutuhkan mulai pada saat menetas hingga munculnya

nyamuk dewasa dapat mencapai tujuh hari, termasuk dua hari pada fase pupa,

tetapi pada suhu rendah, waktu yang dibutuhkan dalam proses tersebut

berlangsung lebih lama. Stadium Ae. aegypti dan Ae. albopictus dalam siklus

hidupnya yang terdiri dari telur, larva, pupa dan nyamuk dewasa ditampilkan pada

Gambar 1 dan Gambar 2.

telur larva

3
dewasa pupa

Gambar 1. Karakter morfologi masing- masing stadium dalam siklus hidup Ae.
aegypti (sumber foto: bvsms.saude.gov.br, www.afpmb.org,
creatures.ifas.ufl.edu, www.scidev.net)

4
telur larva

dewasa pupa

Gambar 2. Karakter morfologi masing- masing stadium dalam siklus hidup Ae.
albopictus (sumber foto: www.mosquito-va.org, entoplp.okstate.edu,
creatures.ifas.ufl.edu)

Telur tidak berpelamp ung dan diletakkan satu per satu pada dinding

kontainer dan akan menjadi jentik setelah sekitar dua hari. Sekali bertelur nyamuk

betina menghasilkan 100 butir dan pada kondisi kering telur dapat tahan hingga

enam bulan. Larva memiliki sifon dengan satu kumpulan rambut, dan pada waktu

istirahat membentuk sudut dengan permukaan air. Perkembangan larva

berlangsung 6 – 8 hari sebelum menjadi pupa. Pupa berbentuk seperti terompet

panjang dan ramping, dengan sebagian kecil tubuhnya kontak dengan permukaan

air. Umur pupa berkisar 1 – 2 hari sebelum menjadi nyamuk dewasa (Anonim,

2004).

Hampir di seluruh kawasan Asia Tenggara, kebiasaan Ae. aegypti

meletakkan telurnya hampir di seluruh tempat penampungan air buatan manusia

seperti bak, pecahan botol/gelas, vas bunga, kaleng bekas, talang air dan lain

5
sebagainya, sedangkan untuk jenis habitat alaminya jarang dijumpai namun dapat

dijumpai pada lubang pohon, ketiak daun dan tempurung kelapa.

Ae. albopictus berkembangbiak pada kontainer temporer sama seperti

halnya Ae. aegypti, tetapi Ae. albopictus lebih menyukai kontainer alami seperti

lubang pada pohon, ketiak daun, kolam, tempurung kelapa, dan lebih sering

berkembangbiak di kebun-kebun dan tidak sering ditemukan pada kontainer artifisial

di dalam rumah (Rozendaal, 1997).

3. Morfologi

Ciri morfologis yang mudah dikenali untuk membedakan Ae. aegypti dan

Ae. albopictus adalah dengan mengamati stadium larva maupun dewasa. Abdomen

terakhir larva Ae. aegypti memiliki gigi sisir satu baris (comb scales) dimana tiap-

tiap gigi sisir berbentuk seperti trisula, sedangkan pada larva Ae. albopictus gigi

sisir berbentuk seperti duri lurus (Gambar 3) (Cutwa dan O’Meara, 2007).

Gambar 3. Larva Ae. aegypti (kiri) dan Ae. albopictus (kanan) (Cutwa dan O’Meara)

Perbedaan stadium dewasa antara Ae. aegypti dan Ae. albopictus terletak

pada bagian toraksnya. Toraks terdir i dari tiga ruas yaitu protoraks, mesotoraks

dan metatoraks yang tumbuh lebih menonjol dari kedua toraks lainnya. Pada

bagian mesotoraks terdapat sepasang sayap dengan gambaran lira (lyre shape

marking) berupa dua garis yang melengkung putih keperakan pada sisi lateral
6
kanan dan kiri dan dua buah garis lurus putih keperakan di garis median (WHO,

1998). Karakter toraks Ae. aegypti dan Ae. albopictus ditampilkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Bagian toraks Ae. aegypti (kiri) dan Ae. albopictus (kanan) (WHO,
1998)

4. Perilaku

Untuk dapat memberantas nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus secara

efektif diperlukan pengetahuan tentang pola perilaku nyamuk tersebut yaitu

perilaku mencari darah, istirahat dan berkembang biak, sehingga diharapkan akan

dicapai pemberantasan sarang nyamuk dan jentik nyamuk Ae. aegypti dan Ae.

albopictus yang tepat. (Rozendaal, 1997)

Setelah kawin maka nyamuk betina memerlukan darah sebagai sumber

protein untuk mematangkan telurnya. Nyamuk Ae. aegypti betina menghisap darah

manusia setiap 2 – 3 hari sekali mulai dari pagi hari hingga sore hari dan lebih

suka pada jam 08.00 – 12.00 dan jam 15.00 – 17.00 (Depkes, 2004), dan nyamuk

Ae. albopictus hampir memiliki perilaku yang sama yaitu cenderung aktif

menggigit pada pagi dan senja hari terutama di daerah yang teduh dan rindang

(Watson, 1967). Jarak terbang nyamuk Ae. aegypti lebih kurang 100 meter

(Depkes, 2004) sedangkan nyamuk Ae. albopictus memiliki jarak terbang rata-rata
7
180 meter dan laju penyebaran nyamuk ini sekitar 14 meter per hari (Watson,

1967).

Setelah kenyang menghisap darah, nyamuk betina perlu istirahat sekitar 2

– 3 hari untuk mematangkan telur. Tempat-tempat istirahat yang disukai nyamuk Ae.

aegypti adalah tempat-tempat yang lembab dan kurang terang, seperti kamar, kamar

mandi dan dapur, selain itu nyamuk ini juga menyukai berisitirahat pada baju

yang digantung, kelambu serta tirai. Tempat yang disenangi untuk beristirahat di luar

rumah adalah tanaman-tanaman yang terdapat di sekitar rumah (Depkes,

2004). Nyamuk Ae. albopictus sendiri lebih dominan memilih tempat berisitirahat

di luar rumah terutama di sekitar vegetasi (Rozendaal, 1997).

5. Peranan

Nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus dikenal sebagai vektor penyakit

DBD dan Chikungunya. Nyamuk Ae. aegypti diketahui berasal dari benua Afrika

sedangkan Ae. albopictus berasal dari daerah oriental. Dengan pesatnya

transportasi dan perdagangan, kedua spesies ini telah tersebar luas di dunia, begitu

juga dengan penyakit yang bersumber dari nyamuk ini (Eldridge dan Edman,

2000).

Selain sebagai vektor penyakit DBD dan chikungunya Ae. aegypti dan Ae.

albopictus juga berperan sebagai penular beberapa penyakit lainnya terutama yang

disebabkan oleh virus dari kelompok Flavivirus, Bunyavirus dan Alfavirus.

Penyakit-penyakit yang masuk dala m kelompok-kelompok tersebut diantaranya

Yellow fever, Rift Valley Fever, Sindbis, dan West Nile (Crans, 2006).

8
C. Insektisida

Insektisida didefinisikan sebagai bahan kimia atau non kimia atau

campuran yang digunakan untuk mencegah, merusak, menolak atau mengurangi

serangga hama. Di bidang kesehatan khususnya yang berkaitan dengan penyakit

tular serangga (seperti DBD, malaria, filariasis, dll) penggunaan insektisida

ditujukan untuk mengendalikan atau mengurangi populasi vektor sehingga

diharapkan penularan penyakit dapat ditekan seminimal mungkin. Dalam kegiatan

pengendalian vektor penggunaan insektisida harus merupakan pilihan terakhir

yang diambil untuk mengendalikan populasi vektor, terutama insektisida yang

berbahan dasar kimiawi karena dampaknya yang sedikit banyak dapat mencemari

lingkungan apalagi tanpa disertai dengan kehati- hatian dalam penerapannya

(Rozendaal, 1997).

Program pengendalian insektisida yang saat ini dilakukan umumnya masih

menggunakan 4 kelas insektisida kimiawi yaitu organofosfat, organoklorin,

karbamat dan piretroid. Penggunaan insektisida piretroid tahun-tahun belakangan

ini menunjukkan kenaikan, akan tetapi jenis organoklorin dan beberapa senyawa

organofosfat yang lebih toksik menunjukkan penurunan (WHO, 2006).

Insektisida organofosfat yang mulai diproduksi tahun 1941 umumnya

berupa ester ataupun amida (amides) dari ikatan organik asam phosphoric atau

pyrophosphoric. Senyawa ini dapat dibagi menjadi lima kelas berdasarkan

phosphorous moiety. Diantaranya ada dua kelas yaitu ester phosphorothionates

dan phosphorothiolothionate, dimana dari kedua kelas ini memiliki jenis

insektisida yang banyak digunakan dalam pengendalian vektor. Fenthion, temefos,

chloropyrifos, fenithrothion dan pirimiphos-methyl merupakan senyawa penting

9
dari phosphorothionate, sedangkan malation merupakan salah satu insektisida

yang paling penting dari kelas phosphorothiolothionate. Organofosfat yang saat ini

digunakan berupa racun kontak, racun perut, fumigan dan insektisida sistemik

(WHO, 2007).

D. Resistensi Nyamuk Terhadap Insektisida

Resistensi merupakan suatu fenomena evolusi yang diakibatkan oleh

seleksi pada serangga hama yang diberi perlakuan insektisida secara terus

menerus. Resistensi di lapangan yang kadangkala diindikasikan oleh menurunnya

efektivitas suatu teknologi pengendalian tidak terjadi dalam waktu singkat. Resistensi

insektisida berkembang setelah adanya proses seleksi yang berlangsung selama

banyak generasi (Untung, 2004).

Resistensi telah berkembang pada setiap kelas insektisida, termasuk obat

mikrobial (microbial drugs) dan pengatur pertumbuhan serangga (insect growth

regulator). Secara biokimia, terdapat dua sifat utama resistensi, yaitu resistensi

tempat sasaran (target-site resistance) yang terjadi karena insektisida tidak lagi

berikatan dengan target sasarannya, dan yang kedua adalah detoksifikasi resistensi

berbasis enzim (detoxification enzyme-based resistance) yang terjadi karena

naiknya aktivitas esterase, oxidase ataupun glutathione S-transferase (GST) yang

menghalangi insektisida mencapai target sasarannya. Target dari organofosfat

(termasuk karbamat) sendiri adalah acetylcholinesterase pada sinap saraf (nerve

synaps) (Brogdon dan McAllister, 1998).

Sejak tahun 1970-an insektisida organofosfat, yaitu malation dan temefos

digunakan dalam program nasional pengendalian wabah DBD di Indonesia, yang

vektor utamanya nyamuk Ae. aegypti (Poerwo Soedarmo, 1988 cit Mardihusodo,
10
1995). Jenis insektisida organofosfat masih sering digunakan di kota Palembang

hingga tahun 2007 yaitu malation dan temefos (Dinas Kesehatan Kota Palembang,

2007). Penggunaan insektisida secara terus menerus dalam waktu cukup lama dan

frekuensi tinggi dapat menyebabkan terjadinya penurunan kerentanan nyamuk

sasaran (WHO, 1995 cit Widiarti et al, 2004). Penggunaan pestisida secara terus-

menerus mengakibatkan jumlah individu peka dalam suatu populasi menjadi

semakin sedikit sehingga individu- individu tersisa adalah individu- individu tahan.

Individu tahan ini akan kawin satu dengan lainnya sehingga menghasilkan keturunan

yang tahan pula. Akhirnya, populasi didominasi oleh individu-individu tahan yang

dapat tetap hidup, berkembang biak, dan tahan terhadap pestisida yang diaplikasikan.

Setiap jenis serangga seperti nyamuk Ae. aegypti mampu mempertahankan dan

mewariskan sifat resistensi pada keturunannya dalam waktu yang lama (Untung,

2004).

Penelitian yang dilakukan oleh Polson et al. (2001) di kota Phnom Penh

menemukan kecenderungan terjadinya resistensi Ae. aegypti terhadap temefos.

Temefos sendiri sudah digunakan di kota Phnom Penh sejak tahun 1995. Penggunaan

temefos selama kurang lebih 30 tahun di Brazil telah menimbulkan resistensi Ae.

aegypti terhadap insektisida ini. Uji hayati terhadap larva Ae. aegypti dari 19 kota

di Brazil seluruhnya menunjukkan resistensi yang bervariasi mulai dari 4,0%

mortalitas hingga 61,9% mortalitas (Braga et al., 2004).

Penelitian di Indonesia yang dilakukan oleh Ishak et al. (2005) yang

menguji kerentanan Ae. aegypti terhadap malation di daerah yang sering

diintervensi dengan malation dan daerah yang sama sekali belum pernah

diintervensi, hasilnya menampakkan adanya kerentanan menurun (cenderung

11
resisten) yang terlihat jelas pada uji larva, meskipun tidak memperlihatkan adanya

resistensi di daerah intervensi. Kecenderungan resistensi Ae. aegypti terhadap

malation juga terjadi di beberapa kota yang diteliti di Brazil meskipun tingkat

resistensinya lebih rendah dibandingkan temefos (Lima et al., 2003).

Penentuan status resistensi vektor DBD dapat dilakukan melalui beberapa

cara diantaranya dengan uji ha yati. Uji hayati resistensi larva nyamuk terhadap

insektisida telah dibakukan oleh WHO yang menjadi metode baku di seluruh

dunia, sehingga dengan penerapan metode ini, hasil yang diperoleh dari berbagai

tempat dapat dibandingkan. Menurut acuan WHO, resistensi dapat dideteksi dan

dipantau dengan uji hayati menggunakan dua metode yaitu dosis diagnostik

(diagnostic dose) dan estimating resistance ratio (ERR). Dosis diagnostik

bertujuan untuk mendiskriminasi respon serangga, dimana serangga yang mati

setelah terpapar dengan insektisida dikategorikan rentan (susceptible) dan

serangga yang tidak mati dikategorikan resisten. Serangga yang mati dalam uji

hayati dengan kisaran 98-100% dikategorikan rentan, kisaran kematian 80-<97%

dikategorikan toleran (intermediate level), sedangkan jik a <80% dikategorikan

resisten (Davidson dan Zahar, 1973 cit Macoris et al., 2005).

Aplikasi insektisida malation terhadap nyamuk dewasa dan insektisida

temefos terhadap stadium larva yang dilakukan secara bersamaan dan dalam waktu

yang lama akan mempercepat terjadinya resistensi nyamuk, khususnya terhadap

insektisida organofosfat. Penekanan selektif terjadinya resistensi dapat

berlangsung pada saat nyamuk berada pada stadium jentik maupun dewasa

(Hemingway et al., 1986 cit Widiarti et al., 2004).

12
1. Pembuatan ovitrap

Ovitrap yang dibuat mengacu kepada desain ovitrap yang dikembangkan oleh

Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM).

Komponen-komponen ovitrap terdiri dari gelas plastik (volume 250ml) dan kertas saring.

Pada awalnya gelas plastik di cat warna hitam pada bagian luarnya, dan setelah mengering

gelas tersebut direndam dalam air selama 48 jam untuk menghilangkan aroma catnya. Pada

saat akan digunakan ovitrap diisi air bersih sebanyak setengah volume ovitrap, kemudian

pada bagian atas sisi dalam ovitrap direkatkan kertas saring dengan sepertiga bagian kertas

saring terendam

dalam air agar kertas saring berada dalam kondisi yang lembab dan cocok bagi nyamuk

Ae.aegypti dan Ae. albopictus untuk meletakkan telurnya (oviposisi).

2. Pengambilan sampel telur Ae. aegypti dan Ae. albopictus di Kecamatan

Sukarame

Pengambilan sampel telur Ae. aegypti dan Ae. albopictus dilakukan menggunakan

ovitrap di seluruh kelurahan di Kecamatan Sukarame dengan kriteria lokasi- lokasi

tersebut pernah dilakukan fogging dengan malation dan pemberian temefos (abatisasi).

Ovitrap ditempatkan di dalam rumah dekat tempat penampungan air, sedangkan untuk di

luar rumah ovitrap diletakkan di dekat vegetasi yang berada dekat rumah. Pengambilan

sampel telur dilakukan satu minggu sekali hingga minggu ketiga. Kertas saring yang

diambil dari setiap pengambilan ditempatkan terpisah dan dimasukkan ke dalam plastik

khusus untuk dibawa ke laboratorium dan dikeringkan. Sebagai pembanding dari nyamuk

lapangan, maka digunakan koleksi telur yang diperoleh dari Balai Besar Penelitian dan

Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (BBPVRP) Salatiga dan Laboratorium

Parasitologi UGM.

13
3. Kolonisasi larva Ae. aegypti dan Ae. albopictus di laboratorium

Prosedur kolonisasi larva mengacu kepada panduan yang dibuat oleh Linsuwan et al.

(Sucharit dan Supavej, 1987). Kegiatan kolonisasi larva diawali dengan merendam telur yang

menempel pada kertas saring (menurut lokasi pengambilan sampel maupun koleksi BBPVRP

Salatiga dan Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran UGM) di dalam mangkuk yang

berisi air. Penetasan diperkirakan terjadi dalam waktu 2 – 6 jam. Setelah menetas larva yang

baru menetas sebanyak 400-500 ekor dipindahkan ke nampan (tray) yang telah

beris i 2 liter air. Kepadatan larva dalam nampan diperkirakan berkisar 0,5 – 1 larva/cm2

dari permukaan air, dengan kedalaman air 2,5cm. Di hari larva menetas (hari ke-0) diberikan

pakan larva sebanyak 0,5 gram. Selanjutnya setiap hari mulai dari hari ke-1 hingga hari ke-

5 pakan larva yang diberikan sebanyak 1 gram. Kotoran yang berada dipermukaan medium

kolonisasi dibersihkan setiap hari menggunakan kertas saring sebelum pakan larva diberikan.

Nyamuk dewasa yang telah muncul selanjutnya dipisahkan ke dalam kurungan nyamuk

terpisah dengan perbandingan 2 jantan : 1 betina. Nyamuk diberi pakan larutan gula

10% dan pakan darah marmut (untuk mematangkan telur). Sebagai media telur pada saat

oviposisi, maka di dalam kurungan ditempatkan mangkuk plastik yang duapertiganya berisi

air dan pada dinding bagian atas sisi dalam mangkuk dilapisi dengan kertas saring yang

sepertiga bagiannya terendam air dalam mangkuk. Setelah nyamuk melakukan oviposisi

maka kertas saring diambil dan dikeringkan serta disimpan dalam plastik khusus. Jika telur-

telur tersebut akan ditetaskan maka dilakukan prosedur seperti yang telah dijelaskan

sebelumnya. Perkembangan larva menjadi lengkap (completed) dalam 5 – 6 hari (setelah

menetas). Larva yang dibutuhkan dalam uji resistensi berada pada stadium instar III akhir

atau instar IV awal, maka perkembangan larva pada stadium tersebut berkisar pada umur 3 –

4 hari (Mardihusodo, 1995).

4. Pembuatan larutan standar


14
Larutan standar malation dan temefos disediakan terlebih dahulu untuk

memudahkan dalam pengenceran untuk berbagai variasi konsentrasi. Kandungan bahan aktif

insektisida yang digunakan perlu diketahui untuk menentukan faktor koreksi. Penentuan bobot

insektisida (malation dan temefos) yang diperlukan

untuk membuat larutan standar dengan rumus sebagai berikut : konsentrasi

insektisida yang diperlukan x volume insektisida yang diperlukan x faktor koreksi.

5. Uji pendahuluan

Prosedur yang digunakan mengacu kepada metode yang ditetapkan WHO (2005). Uji

pendahuluan dilakukan dengan membuat variasi konsentrasi berdasarkan literatur yaitu

malation sebesar 1ppm sehingga ditentukan variasi konsentrasi yang terdiri dari 0,125ppm,

0,25ppm, 0,5ppm, 1ppm, 2ppm dan 4ppm dan satu kontrol. Larva Ae. aegypti instar III akhir

atau instar IV awal yang telah dipisahkan masing- masing sebanyak 25 ekor larva dalam tujuh

gelas plastik yang berisi air kran (ledeng) dengan volume 25ml. Larva yang digunakan berada

dalam kondisi normal berdasarkan ukuran maupun aktivitas larva. Tahap berikutnya yaitu

menyediakan gelas uji sebanyak enam buah yang masing-masing berisi 174ml air kran dan

ke dalam masing- masing gelas tersebut ditambahkan 1ml malation menurut konsentrasi

yang diinginkan dan diaduk rata dengan lidi yang berbeda untuk masing-masing gelas. Gelas

uji kontrol diisi dengan 174ml air kran dan ditambahkan 1ml alkohol 70%, kemudian

diaduk dengan sebatang lidi. Gelas uji dan gelas kontrol, masing- masing dimasukkan 25ml

air kran yang telah berisi 25 ekor larva uji. Replikasi dilakukan sebanyak empat kali dan

dilaksanakan dalam waktu yang berlainan untuk setiap perlakuan dan kontrol. Pemaparan

larva terhadap insektisida dilakukan selama 24 jam, jumlah larva mati dihitung dengan cara

menyentuh larva dengan lidi, jika larva tidak bergerak berarti sudah mati. Prosedur yang sama

dilakukan dalam pengujian menggunakan larva Ae. albopictus.

15
Uji pendahuluan untuk temefos menggunakan variasi konsentrasi yang

terdiri dari 0,0025ppm, 0,005ppm, 0,01ppm, 0,02ppm, 0,04ppm dan 0,08ppm.

Larva Ae. aegypti instar III akhir atau instar IV awal yang tela h dipisahkan

masing-masing sebanyak 25 ekor larva dalam tujuh gelas plastik yang berisi air

kran (ledeng) dengan volume 25ml. Larva yang digunakan berada dalam kondisi

normal berdasarkan ukuran maupun aktivitas larva. Tahap berikutnya yaitu

menyediakan gelas uji sebanyak enam buah yang masing-masing berisi 174ml air

kran dan ke dalam masing-masing gelas tersebut ditambahkan 1ml temefos

menurut konsentrasi yang diinginkan dan diaduk rata dengan lidi yang berbeda

untuk masing-masing gelas. Gelas uji kontrol diisi dengan 174ml air kran dan

ditambahkan 1ml alkohol 70%, kemudian diaduk dengan sebatang lidi. Gelas uji

dan gelas kontrol, masing- masing dimasukkan 25ml air kran yang telah berisi 25

ekor larva uji. Replikasi dilakukan sebanyak empat kali dan dilaksanakan dalam

waktu yang berlainan untuk setiap perlakuan dan kontrol. Pemaparan larva

terhadap insektisida dilakukan selama 24 jam, jumlah larva mati dihitung dengan

cara menyentuh larva dengan lidi, jika larva tidak bergerak berarti sudah mati.

Prosedur yang sama dilakukan dalam pengujian menggunakan larva Ae. albopictus

Pengujian harus diulangi jika ada kematian pada kelompok kontrol lebih

dari 20%. Mortalitas larva uji harus dikoreksi dengan formula Abbot jika ada

kematian pada kelompok kontrol sebesar 5 – 20% dengan rumus sebagai berikut :

% mortalitas kelompok perlakuan - % mortalitas kelompok kontrol


Formula Abbot x 100%
100 - % mortalitas kelompok kontrol

Dari hasil pengujian dengan menggunakan variasi konsentrasi tersebut dapat

diketahui LC80 dan LC20 menggunakan analisis probit. Berdasarkan nilai LC80

16
dan LC20 tersebut maka dibuat variasi konsentrasi menggunakan nilai F (faktor

increment) untuk menentukan nilai LC99.

6. Uji hayati larva Ae. aegypti dan Ae. albopictus untuk menentukan dosis

diagnostik lokal

Prosedur yang digunakan mengacu kepada metode yang ditetapkan WHO

(1981) dengan menggunakan variasi dan interval konsentrasi (malation dan temefos)

berdasarkan nilai LC80 dan LC20 yang diperoleh dari uji pendahuluan. Variasi

konsentrasi yang digunakan sebanyak lima macam konsentrasi dan satu kontrol.

Gelas uji sebanyak enam buah yang masing- masing telah berisi 174ml air

kran masing- masing ditambahkan dengan 1ml malation menurut konsentrasi yang

telah ditentukan sebelumnya dan satu gelas uji kontrol menggunakan 1ml alkohol

70% kemudian diaduk dengan lidi, setelah itu ditambahkan 25ml air kran yang

telah berisi 25 ekor larva. Replikasi dilakukan sebanyak lima kali dan uji hayati ini

dilakukan sebanyak tiga kali dalam waktu yang berlainan. Paparan larva terhadap

insektisida dilakukan selama 24 jam. Jumlah larva mati dihitung dengan cara

menyentuh larva dengan lidi, jika larva tidak bergerak berarti sudah mati. Uji

hayati terhadap Ae. albopictus dilakukan menggunakan cara kerja yang sama

dengan pengujian terhadap Ae. aegypti tersebut.

Uji hayati larva menggunakan temefos dilakukan dengan menyediakan

gelas uji sebanyak enam buah yang masing- masing telah berisi 174ml air kran

masing- masing ditambahkan dengan 1ml temefos menurut konsentrasi yang telah

ditentukan sebelumnya dan satu gelas uji kontrol menggunakan 1ml alkohol 70%

kemudian diaduk dengan lidi, setelah itu ditambahkan 25ml air kran yang telah

17
berisi 25 ekor larva. Replikasi dilakukan sebanyak lima kali dan uji hayati ini

dilakukan sebanyak tiga kali dalam waktu yang berlainan. Paparan larva terhadap

insektisida dilakukan selama 24 jam. Jumlah larva mati dihitung dengan cara

menyentuh larva dengan lidi, jika larva tidak bergerak berarti sudah mati. Uji

hayati larva Ae. albopictus terhadap temefos dilakukan menggunakan cara kerja

yang sama dengan pengujian terhadap Ae. aegypti.

Dari hasil pengujian dengan menggunakan variasi konsentrasi tersebut

dapat diketahui LC99 menggunakan analisis probit. Berdasarkan ketentuan WHO

maka nilai LC99 dikalikan dua sehingga akan didapatkan dosis diagnostik lokal

untuk strain larva susceptible yang diujikan.

7. Uji hayati larva Ae. aegypti terhadap malation dan temefos dengan dosis

diagnostik WHO

Uji hayati larva Ae. aegypti yang berasal dari lapangan terhadap malation

dan temefos menggunakan dua macam dosis diagnostik yaitu dosis diagnostik

lokal yang diperoleh dari uji pendahuluan sebelumnya dan dosis diagnostik

berdasarkan ketentuan WHO (1981) masing- masing 1ppm (malation) dan 0,02ppm

(temefos).

Uji hayati larva Ae.aegypti terhadap malation 1ppm dilakukan dengan cara

menyiapkan sebanyak lima gelas plastik perlakua n dan lima gelas plastik kontrol

dan masing- masing diisi dengan 174ml air kran, selanjutnya ke dalam lima gelas

plastik perlakuan dimasukkan 1ml larutan malation sedangkan ke dalam lima gelas

plastik kontrol dimasukkan 1ml alkohol 70% kemudian diaduk denga n lidi.

Langkah berikutnya adalah menambahkan 25 ekor larva dalam gelas yang berisi

25ml air kran ke dalam masing-masing gelas uji perlakuan dan kontrol, dengan
18
demikian gelas uji perlakuan yang telah berisi 200ml air kran dan 25 ekor larva

memiliki konsentrasi malation 1ppm. Uji hayati ini dilakukan sebanyak tiga kali

dalam waktu yang berlainan. Uji hayati larva Ae. aegypti terhadap malation

dengan dosis diagnostik lokal dilakukan dengan cara yang sama.

Uji hayati larva Ae.aegypti terhadap temefos 0,02ppm dilakukan dengan

cara menyiapkan sebanyak lima gelas plastik perlakuan dan lima gelas plastik

kontrol dan masing- masing diisi dengan 174ml air kran, selanjutnya ke dalam lima

gelas plastik perlakuan dimasukkan 1ml larutan temefos sedangkan ke dalam lima

gelas plastik kontrol dimasukkan 1ml alkohol 70% kemudian diaduk dengan lidi.

Langkah berikutnya adalah menambahkan 25 ekor larva dalam gelas yang berisi

25ml air kran ke dalam masing-masing gelas uji perlakuan dan kontrol, dengan

demikian gelas uji perlakuan yang telah berisi 200ml air kran dan 25 ekor larva

memiliki konsentrasi temefos 0,02ppm. Uji hayati ini dilakukan sebanyak tiga kali

dalam waktu yang berlainan. Uji hayati larva Ae. aegypti terhadap temefos dengan

dosis diagnostik lokal dilakukan denga n cara yang sama.

8. Uji hayati larva Ae. albopictus terhadap malation dan temefos dengan

dosis diagnostik lokal

Uji hayati larva Ae. albopictus terhadap malation dan temefos hanya

menggunakan dosis diagnostik lokal yang diperoleh dari uji pendahuluan. Uji

hayati larva Ae.albopictus terhadap malation dosis diagnostik lokal dilakukan

dengan cara menyiapkan sebanyak lima gelas plastik perlakuan dan lima gelas

plastik kontrol dan masing- masing diisi dengan 174ml air kran, selanjutnya ke

dalam lima gelas plastik perlakuan dimasukkan 1ml larutan malation, sedangkan

ke dalam lima gelas plastik kontrol dimasukkan 1ml alkohol 70% kemudian
19
diaduk dengan lidi. Langkah berikutnya adalah menambahkan 25 ekor larva dalam gelas

yang berisi 25ml air kran ke dalam masing- masing gelas uji perlakuan dan kontrol,

dengan demikian gelas uji perlakuan yang telah berisi 200ml air kran dan

25 ekor larva memiliki konsentrasi malation dosis diagnostik. Uji hayati ini dilakukan

sebanyak tiga kali dalam waktu yang berlainan. Uji hayati larva Ae. albopictus terhadap

temefos dengan dosis diagnostik lokal dilakukan dengan cara yang sama.

Suhu air dalam kontainer pengujian diusahakan berkisar 25 – 28ºC dan fotoperiode

12 jam terang dan 12 jam gelap. Apabila selama pengujian terbentuk pupa maka pengujian

diulangi kembali.

20

Anda mungkin juga menyukai