FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
1
Nyamuk Aedes
1. Taksonomi
Psorophora dan Aedes itu sendiri (Service, 1993). Nyamuk Aedes tersebar di
seluruh dunia yang berjumlah sekitar lebih dari 950 spesies. Dalam dunia kedokteran
spesies Aedes yang memiliki peran penting sebagai vektor penular penyakit adalah
Ae. aegypti dan Ae. albopictus. Spesies Ae. aegypti pertama kali dideskripsikan
Skuse (1895) (Anonim, 2007). Adapun sistematika kedua spesies ini adalah
sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Diptera
Famili : Culicidae
Genus : Aedes
2. Lingkaran hidup
Kehidupan spesies Ae. aegypti dan Ae. albopictus dibedakan menjadi dua
fase yaitu fase akuatik dan fase terestrial. Telur yang dihasilkan oleh nyamuk
2
betina dewasa diletakkan secara tunggal (singly) di permukaan yang lembab
sedikit di atas permukaan air pada habitat dengan volume yang selalu berubah
(naik turun). Nyamuk betina dewasa biasanya meletakkan telur pada beberapa
tempat selama satu siklus gonotropik. Perkembangan embrionik telur akan lengkap
dalam waktu 48 jam, dan setelah proses ini maka telur dapat bertahan terhadap
kekeringan selama berbulan-bulan dan akan menetas hanya jika terendam air,
walaupun tidak semua telur akan menetas dalam waktu yang sama (Clements,
1992).
Telur yang menetas akan mengeluarkan larva yang akan melalui empat
ketersediaan makanan dan kepadatan larva pada suatu kontainer. Pada kondisi
yang optimal, waktu yang dibutuhkan mulai pada saat menetas hingga munculnya
nyamuk dewasa dapat mencapai tujuh hari, termasuk dua hari pada fase pupa,
tetapi pada suhu rendah, waktu yang dibutuhkan dalam proses tersebut
berlangsung lebih lama. Stadium Ae. aegypti dan Ae. albopictus dalam siklus
hidupnya yang terdiri dari telur, larva, pupa dan nyamuk dewasa ditampilkan pada
telur larva
3
dewasa pupa
Gambar 1. Karakter morfologi masing- masing stadium dalam siklus hidup Ae.
aegypti (sumber foto: bvsms.saude.gov.br, www.afpmb.org,
creatures.ifas.ufl.edu, www.scidev.net)
4
telur larva
dewasa pupa
Gambar 2. Karakter morfologi masing- masing stadium dalam siklus hidup Ae.
albopictus (sumber foto: www.mosquito-va.org, entoplp.okstate.edu,
creatures.ifas.ufl.edu)
Telur tidak berpelamp ung dan diletakkan satu per satu pada dinding
kontainer dan akan menjadi jentik setelah sekitar dua hari. Sekali bertelur nyamuk
betina menghasilkan 100 butir dan pada kondisi kering telur dapat tahan hingga
enam bulan. Larva memiliki sifon dengan satu kumpulan rambut, dan pada waktu
panjang dan ramping, dengan sebagian kecil tubuhnya kontak dengan permukaan
air. Umur pupa berkisar 1 – 2 hari sebelum menjadi nyamuk dewasa (Anonim,
2004).
seperti bak, pecahan botol/gelas, vas bunga, kaleng bekas, talang air dan lain
5
sebagainya, sedangkan untuk jenis habitat alaminya jarang dijumpai namun dapat
halnya Ae. aegypti, tetapi Ae. albopictus lebih menyukai kontainer alami seperti
lubang pada pohon, ketiak daun, kolam, tempurung kelapa, dan lebih sering
3. Morfologi
Ciri morfologis yang mudah dikenali untuk membedakan Ae. aegypti dan
Ae. albopictus adalah dengan mengamati stadium larva maupun dewasa. Abdomen
terakhir larva Ae. aegypti memiliki gigi sisir satu baris (comb scales) dimana tiap-
tiap gigi sisir berbentuk seperti trisula, sedangkan pada larva Ae. albopictus gigi
sisir berbentuk seperti duri lurus (Gambar 3) (Cutwa dan O’Meara, 2007).
Gambar 3. Larva Ae. aegypti (kiri) dan Ae. albopictus (kanan) (Cutwa dan O’Meara)
Perbedaan stadium dewasa antara Ae. aegypti dan Ae. albopictus terletak
pada bagian toraksnya. Toraks terdir i dari tiga ruas yaitu protoraks, mesotoraks
dan metatoraks yang tumbuh lebih menonjol dari kedua toraks lainnya. Pada
bagian mesotoraks terdapat sepasang sayap dengan gambaran lira (lyre shape
marking) berupa dua garis yang melengkung putih keperakan pada sisi lateral
6
kanan dan kiri dan dua buah garis lurus putih keperakan di garis median (WHO,
1998). Karakter toraks Ae. aegypti dan Ae. albopictus ditampilkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Bagian toraks Ae. aegypti (kiri) dan Ae. albopictus (kanan) (WHO,
1998)
4. Perilaku
Untuk dapat memberantas nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus secara
perilaku mencari darah, istirahat dan berkembang biak, sehingga diharapkan akan
dicapai pemberantasan sarang nyamuk dan jentik nyamuk Ae. aegypti dan Ae.
protein untuk mematangkan telurnya. Nyamuk Ae. aegypti betina menghisap darah
manusia setiap 2 – 3 hari sekali mulai dari pagi hari hingga sore hari dan lebih
suka pada jam 08.00 – 12.00 dan jam 15.00 – 17.00 (Depkes, 2004), dan nyamuk
Ae. albopictus hampir memiliki perilaku yang sama yaitu cenderung aktif
menggigit pada pagi dan senja hari terutama di daerah yang teduh dan rindang
(Watson, 1967). Jarak terbang nyamuk Ae. aegypti lebih kurang 100 meter
(Depkes, 2004) sedangkan nyamuk Ae. albopictus memiliki jarak terbang rata-rata
7
180 meter dan laju penyebaran nyamuk ini sekitar 14 meter per hari (Watson,
1967).
– 3 hari untuk mematangkan telur. Tempat-tempat istirahat yang disukai nyamuk Ae.
aegypti adalah tempat-tempat yang lembab dan kurang terang, seperti kamar, kamar
mandi dan dapur, selain itu nyamuk ini juga menyukai berisitirahat pada baju
yang digantung, kelambu serta tirai. Tempat yang disenangi untuk beristirahat di luar
2004). Nyamuk Ae. albopictus sendiri lebih dominan memilih tempat berisitirahat
5. Peranan
Nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus dikenal sebagai vektor penyakit
DBD dan Chikungunya. Nyamuk Ae. aegypti diketahui berasal dari benua Afrika
transportasi dan perdagangan, kedua spesies ini telah tersebar luas di dunia, begitu
juga dengan penyakit yang bersumber dari nyamuk ini (Eldridge dan Edman,
2000).
Selain sebagai vektor penyakit DBD dan chikungunya Ae. aegypti dan Ae.
albopictus juga berperan sebagai penular beberapa penyakit lainnya terutama yang
Yellow fever, Rift Valley Fever, Sindbis, dan West Nile (Crans, 2006).
8
C. Insektisida
berbahan dasar kimiawi karena dampaknya yang sedikit banyak dapat mencemari
(Rozendaal, 1997).
ini menunjukkan kenaikan, akan tetapi jenis organoklorin dan beberapa senyawa
berupa ester ataupun amida (amides) dari ikatan organik asam phosphoric atau
9
dari phosphorothionate, sedangkan malation merupakan salah satu insektisida
yang paling penting dari kelas phosphorothiolothionate. Organofosfat yang saat ini
digunakan berupa racun kontak, racun perut, fumigan dan insektisida sistemik
(WHO, 2007).
seleksi pada serangga hama yang diberi perlakuan insektisida secara terus
efektivitas suatu teknologi pengendalian tidak terjadi dalam waktu singkat. Resistensi
regulator). Secara biokimia, terdapat dua sifat utama resistensi, yaitu resistensi
tempat sasaran (target-site resistance) yang terjadi karena insektisida tidak lagi
berikatan dengan target sasarannya, dan yang kedua adalah detoksifikasi resistensi
vektor utamanya nyamuk Ae. aegypti (Poerwo Soedarmo, 1988 cit Mardihusodo,
10
1995). Jenis insektisida organofosfat masih sering digunakan di kota Palembang
hingga tahun 2007 yaitu malation dan temefos (Dinas Kesehatan Kota Palembang,
2007). Penggunaan insektisida secara terus menerus dalam waktu cukup lama dan
sasaran (WHO, 1995 cit Widiarti et al, 2004). Penggunaan pestisida secara terus-
semakin sedikit sehingga individu- individu tersisa adalah individu- individu tahan.
Individu tahan ini akan kawin satu dengan lainnya sehingga menghasilkan keturunan
yang tahan pula. Akhirnya, populasi didominasi oleh individu-individu tahan yang
dapat tetap hidup, berkembang biak, dan tahan terhadap pestisida yang diaplikasikan.
Setiap jenis serangga seperti nyamuk Ae. aegypti mampu mempertahankan dan
mewariskan sifat resistensi pada keturunannya dalam waktu yang lama (Untung,
2004).
Penelitian yang dilakukan oleh Polson et al. (2001) di kota Phnom Penh
Temefos sendiri sudah digunakan di kota Phnom Penh sejak tahun 1995. Penggunaan
temefos selama kurang lebih 30 tahun di Brazil telah menimbulkan resistensi Ae.
aegypti terhadap insektisida ini. Uji hayati terhadap larva Ae. aegypti dari 19 kota
diintervensi dengan malation dan daerah yang sama sekali belum pernah
11
resisten) yang terlihat jelas pada uji larva, meskipun tidak memperlihatkan adanya
malation juga terjadi di beberapa kota yang diteliti di Brazil meskipun tingkat
cara diantaranya dengan uji ha yati. Uji hayati resistensi larva nyamuk terhadap
insektisida telah dibakukan oleh WHO yang menjadi metode baku di seluruh
dunia, sehingga dengan penerapan metode ini, hasil yang diperoleh dari berbagai
tempat dapat dibandingkan. Menurut acuan WHO, resistensi dapat dideteksi dan
dipantau dengan uji hayati menggunakan dua metode yaitu dosis diagnostik
serangga yang tidak mati dikategorikan resisten. Serangga yang mati dalam uji
temefos terhadap stadium larva yang dilakukan secara bersamaan dan dalam waktu
berlangsung pada saat nyamuk berada pada stadium jentik maupun dewasa
12
1. Pembuatan ovitrap
Ovitrap yang dibuat mengacu kepada desain ovitrap yang dikembangkan oleh
Komponen-komponen ovitrap terdiri dari gelas plastik (volume 250ml) dan kertas saring.
Pada awalnya gelas plastik di cat warna hitam pada bagian luarnya, dan setelah mengering
gelas tersebut direndam dalam air selama 48 jam untuk menghilangkan aroma catnya. Pada
saat akan digunakan ovitrap diisi air bersih sebanyak setengah volume ovitrap, kemudian
pada bagian atas sisi dalam ovitrap direkatkan kertas saring dengan sepertiga bagian kertas
saring terendam
dalam air agar kertas saring berada dalam kondisi yang lembab dan cocok bagi nyamuk
Sukarame
Pengambilan sampel telur Ae. aegypti dan Ae. albopictus dilakukan menggunakan
tersebut pernah dilakukan fogging dengan malation dan pemberian temefos (abatisasi).
Ovitrap ditempatkan di dalam rumah dekat tempat penampungan air, sedangkan untuk di
luar rumah ovitrap diletakkan di dekat vegetasi yang berada dekat rumah. Pengambilan
sampel telur dilakukan satu minggu sekali hingga minggu ketiga. Kertas saring yang
diambil dari setiap pengambilan ditempatkan terpisah dan dimasukkan ke dalam plastik
khusus untuk dibawa ke laboratorium dan dikeringkan. Sebagai pembanding dari nyamuk
lapangan, maka digunakan koleksi telur yang diperoleh dari Balai Besar Penelitian dan
Parasitologi UGM.
13
3. Kolonisasi larva Ae. aegypti dan Ae. albopictus di laboratorium
Prosedur kolonisasi larva mengacu kepada panduan yang dibuat oleh Linsuwan et al.
(Sucharit dan Supavej, 1987). Kegiatan kolonisasi larva diawali dengan merendam telur yang
menempel pada kertas saring (menurut lokasi pengambilan sampel maupun koleksi BBPVRP
Salatiga dan Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran UGM) di dalam mangkuk yang
berisi air. Penetasan diperkirakan terjadi dalam waktu 2 – 6 jam. Setelah menetas larva yang
baru menetas sebanyak 400-500 ekor dipindahkan ke nampan (tray) yang telah
beris i 2 liter air. Kepadatan larva dalam nampan diperkirakan berkisar 0,5 – 1 larva/cm2
dari permukaan air, dengan kedalaman air 2,5cm. Di hari larva menetas (hari ke-0) diberikan
pakan larva sebanyak 0,5 gram. Selanjutnya setiap hari mulai dari hari ke-1 hingga hari ke-
5 pakan larva yang diberikan sebanyak 1 gram. Kotoran yang berada dipermukaan medium
kolonisasi dibersihkan setiap hari menggunakan kertas saring sebelum pakan larva diberikan.
Nyamuk dewasa yang telah muncul selanjutnya dipisahkan ke dalam kurungan nyamuk
terpisah dengan perbandingan 2 jantan : 1 betina. Nyamuk diberi pakan larutan gula
10% dan pakan darah marmut (untuk mematangkan telur). Sebagai media telur pada saat
oviposisi, maka di dalam kurungan ditempatkan mangkuk plastik yang duapertiganya berisi
air dan pada dinding bagian atas sisi dalam mangkuk dilapisi dengan kertas saring yang
sepertiga bagiannya terendam air dalam mangkuk. Setelah nyamuk melakukan oviposisi
maka kertas saring diambil dan dikeringkan serta disimpan dalam plastik khusus. Jika telur-
telur tersebut akan ditetaskan maka dilakukan prosedur seperti yang telah dijelaskan
menetas). Larva yang dibutuhkan dalam uji resistensi berada pada stadium instar III akhir
atau instar IV awal, maka perkembangan larva pada stadium tersebut berkisar pada umur 3 –
memudahkan dalam pengenceran untuk berbagai variasi konsentrasi. Kandungan bahan aktif
insektisida yang digunakan perlu diketahui untuk menentukan faktor koreksi. Penentuan bobot
5. Uji pendahuluan
Prosedur yang digunakan mengacu kepada metode yang ditetapkan WHO (2005). Uji
malation sebesar 1ppm sehingga ditentukan variasi konsentrasi yang terdiri dari 0,125ppm,
0,25ppm, 0,5ppm, 1ppm, 2ppm dan 4ppm dan satu kontrol. Larva Ae. aegypti instar III akhir
atau instar IV awal yang telah dipisahkan masing- masing sebanyak 25 ekor larva dalam tujuh
gelas plastik yang berisi air kran (ledeng) dengan volume 25ml. Larva yang digunakan berada
dalam kondisi normal berdasarkan ukuran maupun aktivitas larva. Tahap berikutnya yaitu
menyediakan gelas uji sebanyak enam buah yang masing-masing berisi 174ml air kran dan
ke dalam masing- masing gelas tersebut ditambahkan 1ml malation menurut konsentrasi
yang diinginkan dan diaduk rata dengan lidi yang berbeda untuk masing-masing gelas. Gelas
uji kontrol diisi dengan 174ml air kran dan ditambahkan 1ml alkohol 70%, kemudian
diaduk dengan sebatang lidi. Gelas uji dan gelas kontrol, masing- masing dimasukkan 25ml
air kran yang telah berisi 25 ekor larva uji. Replikasi dilakukan sebanyak empat kali dan
dilaksanakan dalam waktu yang berlainan untuk setiap perlakuan dan kontrol. Pemaparan
larva terhadap insektisida dilakukan selama 24 jam, jumlah larva mati dihitung dengan cara
menyentuh larva dengan lidi, jika larva tidak bergerak berarti sudah mati. Prosedur yang sama
15
Uji pendahuluan untuk temefos menggunakan variasi konsentrasi yang
Larva Ae. aegypti instar III akhir atau instar IV awal yang tela h dipisahkan
masing-masing sebanyak 25 ekor larva dalam tujuh gelas plastik yang berisi air
kran (ledeng) dengan volume 25ml. Larva yang digunakan berada dalam kondisi
menyediakan gelas uji sebanyak enam buah yang masing-masing berisi 174ml air
menurut konsentrasi yang diinginkan dan diaduk rata dengan lidi yang berbeda
untuk masing-masing gelas. Gelas uji kontrol diisi dengan 174ml air kran dan
ditambahkan 1ml alkohol 70%, kemudian diaduk dengan sebatang lidi. Gelas uji
dan gelas kontrol, masing- masing dimasukkan 25ml air kran yang telah berisi 25
ekor larva uji. Replikasi dilakukan sebanyak empat kali dan dilaksanakan dalam
waktu yang berlainan untuk setiap perlakuan dan kontrol. Pemaparan larva
terhadap insektisida dilakukan selama 24 jam, jumlah larva mati dihitung dengan
cara menyentuh larva dengan lidi, jika larva tidak bergerak berarti sudah mati.
Prosedur yang sama dilakukan dalam pengujian menggunakan larva Ae. albopictus
Pengujian harus diulangi jika ada kematian pada kelompok kontrol lebih
dari 20%. Mortalitas larva uji harus dikoreksi dengan formula Abbot jika ada
kematian pada kelompok kontrol sebesar 5 – 20% dengan rumus sebagai berikut :
diketahui LC80 dan LC20 menggunakan analisis probit. Berdasarkan nilai LC80
16
dan LC20 tersebut maka dibuat variasi konsentrasi menggunakan nilai F (faktor
6. Uji hayati larva Ae. aegypti dan Ae. albopictus untuk menentukan dosis
diagnostik lokal
(1981) dengan menggunakan variasi dan interval konsentrasi (malation dan temefos)
berdasarkan nilai LC80 dan LC20 yang diperoleh dari uji pendahuluan. Variasi
konsentrasi yang digunakan sebanyak lima macam konsentrasi dan satu kontrol.
Gelas uji sebanyak enam buah yang masing- masing telah berisi 174ml air
kran masing- masing ditambahkan dengan 1ml malation menurut konsentrasi yang
telah ditentukan sebelumnya dan satu gelas uji kontrol menggunakan 1ml alkohol
70% kemudian diaduk dengan lidi, setelah itu ditambahkan 25ml air kran yang
telah berisi 25 ekor larva. Replikasi dilakukan sebanyak lima kali dan uji hayati ini
dilakukan sebanyak tiga kali dalam waktu yang berlainan. Paparan larva terhadap
insektisida dilakukan selama 24 jam. Jumlah larva mati dihitung dengan cara
menyentuh larva dengan lidi, jika larva tidak bergerak berarti sudah mati. Uji
hayati terhadap Ae. albopictus dilakukan menggunakan cara kerja yang sama
gelas uji sebanyak enam buah yang masing- masing telah berisi 174ml air kran
masing- masing ditambahkan dengan 1ml temefos menurut konsentrasi yang telah
ditentukan sebelumnya dan satu gelas uji kontrol menggunakan 1ml alkohol 70%
kemudian diaduk dengan lidi, setelah itu ditambahkan 25ml air kran yang telah
17
berisi 25 ekor larva. Replikasi dilakukan sebanyak lima kali dan uji hayati ini
dilakukan sebanyak tiga kali dalam waktu yang berlainan. Paparan larva terhadap
insektisida dilakukan selama 24 jam. Jumlah larva mati dihitung dengan cara
menyentuh larva dengan lidi, jika larva tidak bergerak berarti sudah mati. Uji
hayati larva Ae. albopictus terhadap temefos dilakukan menggunakan cara kerja
maka nilai LC99 dikalikan dua sehingga akan didapatkan dosis diagnostik lokal
7. Uji hayati larva Ae. aegypti terhadap malation dan temefos dengan dosis
diagnostik WHO
Uji hayati larva Ae. aegypti yang berasal dari lapangan terhadap malation
dan temefos menggunakan dua macam dosis diagnostik yaitu dosis diagnostik
lokal yang diperoleh dari uji pendahuluan sebelumnya dan dosis diagnostik
berdasarkan ketentuan WHO (1981) masing- masing 1ppm (malation) dan 0,02ppm
(temefos).
Uji hayati larva Ae.aegypti terhadap malation 1ppm dilakukan dengan cara
menyiapkan sebanyak lima gelas plastik perlakua n dan lima gelas plastik kontrol
dan masing- masing diisi dengan 174ml air kran, selanjutnya ke dalam lima gelas
plastik perlakuan dimasukkan 1ml larutan malation sedangkan ke dalam lima gelas
plastik kontrol dimasukkan 1ml alkohol 70% kemudian diaduk denga n lidi.
Langkah berikutnya adalah menambahkan 25 ekor larva dalam gelas yang berisi
25ml air kran ke dalam masing-masing gelas uji perlakuan dan kontrol, dengan
18
demikian gelas uji perlakuan yang telah berisi 200ml air kran dan 25 ekor larva
memiliki konsentrasi malation 1ppm. Uji hayati ini dilakukan sebanyak tiga kali
dalam waktu yang berlainan. Uji hayati larva Ae. aegypti terhadap malation
cara menyiapkan sebanyak lima gelas plastik perlakuan dan lima gelas plastik
kontrol dan masing- masing diisi dengan 174ml air kran, selanjutnya ke dalam lima
gelas plastik perlakuan dimasukkan 1ml larutan temefos sedangkan ke dalam lima
gelas plastik kontrol dimasukkan 1ml alkohol 70% kemudian diaduk dengan lidi.
Langkah berikutnya adalah menambahkan 25 ekor larva dalam gelas yang berisi
25ml air kran ke dalam masing-masing gelas uji perlakuan dan kontrol, dengan
demikian gelas uji perlakuan yang telah berisi 200ml air kran dan 25 ekor larva
memiliki konsentrasi temefos 0,02ppm. Uji hayati ini dilakukan sebanyak tiga kali
dalam waktu yang berlainan. Uji hayati larva Ae. aegypti terhadap temefos dengan
8. Uji hayati larva Ae. albopictus terhadap malation dan temefos dengan
Uji hayati larva Ae. albopictus terhadap malation dan temefos hanya
menggunakan dosis diagnostik lokal yang diperoleh dari uji pendahuluan. Uji
dengan cara menyiapkan sebanyak lima gelas plastik perlakuan dan lima gelas
plastik kontrol dan masing- masing diisi dengan 174ml air kran, selanjutnya ke
dalam lima gelas plastik perlakuan dimasukkan 1ml larutan malation, sedangkan
ke dalam lima gelas plastik kontrol dimasukkan 1ml alkohol 70% kemudian
19
diaduk dengan lidi. Langkah berikutnya adalah menambahkan 25 ekor larva dalam gelas
yang berisi 25ml air kran ke dalam masing- masing gelas uji perlakuan dan kontrol,
dengan demikian gelas uji perlakuan yang telah berisi 200ml air kran dan
25 ekor larva memiliki konsentrasi malation dosis diagnostik. Uji hayati ini dilakukan
sebanyak tiga kali dalam waktu yang berlainan. Uji hayati larva Ae. albopictus terhadap
temefos dengan dosis diagnostik lokal dilakukan dengan cara yang sama.
Suhu air dalam kontainer pengujian diusahakan berkisar 25 – 28ºC dan fotoperiode
12 jam terang dan 12 jam gelap. Apabila selama pengujian terbentuk pupa maka pengujian
diulangi kembali.
20