Anda di halaman 1dari 27

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.........................................................................................................................1
A. SEJARAH ARSITEKTUR NUSANTARA...................................................................2
a. Pengertian sejarah....................................................................................................2
b. Pengertian Arsitektur...............................................................................................4
c. Pengertian Nusantara...............................................................................................5
d. Pengertian Sejarah Arsitektur Nusantara..............................................................7
B. ARSITEKTUR NUSANTARA PADA PROVINSI SULAWESI SELATAN..........12
1. Suku Makassar....................................................................................................13
2. Suku Bugis............................................................................................................15
3. Suku Mandar.......................................................................................................16
4. Suku Toraja.........................................................................................................16
5. Suku Duri/Enrekang/Marowangin....................................................................17
6. Suku Luwu (Palopo Raya)..................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................27

                                                               
A. SEJARAH ARSITEKTUR NUSANTARA

1. Pengertian sejarah

Sejarah secara etimologi berasal dari kata bahasa Arab syajaratun yang artinya


pohon dan dalam bahasa Arab sendiri sejarah disebut dengan tarikh. Pohon memiliki
makna percabangan geneologis suatu kelompok keluarga yang menyerupai pohon yang
penuh cabang, ranting sampai akar-akarnya. Kata syajaratun dalam bahasa Arab
kemudian berkembang dalam bahasa Melayu menjadi syajarah. 

Sampai akhirnya menjadi istilah sejarah dalam bahasa Indonesia saat ini untuk
menggambarkan silsilah atau keturunan. Pengertian kata sejarah sebenarnya lebih
sesuai dengan kata historia dalam bahasa Yunani yang artinya keilmuan, ilmu, atau
orang pandai. Kemudian dalam bahasa Inggris menjadi kata History dari
kata istoria yang artinya belajar dengan cara bertanya.  Dari kata istoria inilah istilah
sejarah kemudian berkembang menjadi sebuah kajian ilmu dan pembelajaran yang
sifatnya  kronologis atau dikaji berdasarkan dengan tempo atau urutan waktu. Sejarah
merujuk bahasa Jerman.

Dari kata Geschichte dan geschidenis atau historie dalam bahasa Belanda yang


artinya kejadian yang dibuat oleh manusia. Sejarah adalah kajian ilmu yang tidak luput
dari perhatian para ahli yang banyak mengungkapkan definisis sejarah itu senidri.
Berikut ini pengertian sejarah menurut para ahli yang perlu Grameds ketahui:

1. H. Wals , Pengertian sejarah menurut W.H Walsh adalah catatan yang penting
dan berarti bagi manusia berupa pencatatan tindakan-tindakan dan pengalaman
manusia di masa lampau. Catatan tersebut berisi hal-hal penting sehingga
menjadi cerita yang berarti bagi manusia. 
2. J.V. Bryce, bahwa sejarah adalah suatu catatan yang berisi pikiran,
perkataan, dan hal-hal lainnya yang telah diperbuat oleh manusia di masa lalu. 

3. W.J.S Poerwadarminta, Pengertian sejarah menurut W.J.S Bryce adalah


seluruh kesusastraan lama, asal usul, dan silsilah. Ia juga mengungkapkan
bahwa sejarah berkaitan dengan kejadian yang benar-benar terjadi di masa lalu
yang kemudian menjadi kajian ilmu ilmu pengetahuan sebagai ceita
pembelajaran. 
4. Norman E. Cantor , Norman E. Cantor berpendapat bahwa sejarah adalah
suatu pembelajaran atau studi tentang apa yang telah dilakukan, dikatakan, dan
dipikirkan oleh manusia di masa lalu. 
5. Moh. Ali, Menurut Moh. Ali sejarah adalah cerita tentang perubahan, peristiwa,
atau kejadian yang nyata di sekitar kita di masa lalu yang kemudian menjadi
kajian ilmu atau studi yang menyedilikinya. Pendapat Moh Ali tersebut tertaun
dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia. 
6. Patrick Gardiner, Pengertian sejarah menurut Gardiner adalah suatu kajian
ilmu atau studi untuk mempelajari apa yang telah diperbuat oleh manusia di
masa lalu. 
7. Ibnu Khaldun, Definisi sejarah menurut Ibnu Khaldun dibagi menjadi dua,
yakni susu luar dan dalam. Menurutnya sejarah ditinjau dari sisi luar adalah
rekaman proses masa dan pergantian kekuasaan tertentu yang  terjadi di masa
lalu. Dari sisi dalam, sejarah adalah kajian studi atau pembelajaran yang butuh
penalaran kritis dan usaha yang cermat untuk mencari kebenaran di masa
lalu. Kesimpulannya, sejarah menurut Ibnu Khaldun adalah suatu penjelasan
yang cerdas dan logis tentang sebab dan asal usul sesuatu dengan pengetahuan
dasar bagaimana dan mengapa peristiwa tersebut bisa terjadi. Ia lebih
menekankan kepada pencarian kebenaran dan keabsahan dari suatu penelitian
sejarah sehingga tidak hanya melihat dari kumpulan fakta saja tetapi juga
penalaran fakta yang ada tersebut. 
8. Edward Hallet Carr, Edward Hallet Carr berpendapat bahwa sejarah adalah
proses interaksi secara terus – menerus antara sejarawan dengan fakta 
melakukan dialog dengan masa lalu dan masa sekarang. Edward lebih
menekankan adanya kesinambungan dan kontinuitas antara masa yang satu
dengan masa yang lain. Kontinuitas tersebut harus terjadi di masa sekarang
yang merupakan kelanjutan dari apa yang pernah terjadi di masa sebelumnya
2. Pengertian Arsitektur

Merupakan Seni yang dilakukan seseorang di dalam berimajinasi menurut mereka


serta ilmu di dalam merancang bangunan. Pengertian arsitektur secara lebih luas adalah
merancang serta membangun seluruh lingkungan yang ada di dalam cakupannya, mulai
dari level makro ialah seperti perencanaan kota, perencanaan perkotaan, arsitektur
lankap sampai pada level mikro seperti pada desain bangunan, desain perabot serta
juga desain produk. Mangunwijaya serta Wastu Citra (1995: 12) kemudian mengatakan
arsitektur tersebut berasal dari bahasa Yunani “archee” serta juga “tectoon”. Archee
artinya yang asli, yang awal dan yang utama. Sementara Tectoon itu artinya adalah
kokoh, tidak roboh atau juga stabil. Maka archeetectoon tersebut adalah orisinal serta
kokoh.

Dari pengertian etimologi itu kemudian kita dapat menarik kesimpulan bahwa
arsitektur tersebut setidaknya harus memenuhi dua kriteria, diantaranya harus unik atau
indah serta juga kuat. Berbicara mengenai kretiria, Vitruvius (31 SM – 14 M) yang
merupakan seorang old master arsitek di dalam buku Ten Books of Architecture
kemudian mengatakan hal sama, bahwa terdapat tiga kriteria yang kemudian harus
dipenuhi sebuah bangunan, diantaranya : Utilitas (fungsi), Firmitas(ketahanan) serta
juga Venustas (keindahan). Untuk dapat mengerti lebih dalam lagi mengenai
Pengertian Arsitektur ini maka kita dapat merujuk pada beberapa pendapat para ahli,
diantaranya sebagai berikut :

1. Marcus Pollio Vitrovius, Arsitektur ini merupakan suatu kekuatan/kekokohan


(virmitas), keindahan/estetika (venustas) serta kegunaan/fungsi (utilitas)
Arsitektur ini merupakan ilmu yang timbul dari ilmu -ilmu lainnya dan juga
melengkapi dengan proses belajar.
2. Robert Gutman, Arsitektur ini merupakan lingkungan produksi yang tak
hanya menjembatani manusia serta juga lingkungannya, tapi juga menjadi
wahana ekspresi kultural di dalam mengatur kehidupan jasmaniah serta
psikologis.
3. Van Romondt, Arsitektur ini merupakan ruang hidup yang kemudian menjadi
bagian tempat manusia. Ruang yang terjadi yakni dengan sendirinya atau juga
alami, seperti di gua, pohon serta lain sebagainya.
4. Francis DK Ching (1979), Arsitektur ini merupakan hasil persepsi serta
penghargaan manusia pada ruang dan juga bentuknya.
5. Amos Rappoport (1981), Arsitektur ini merupakan ruang tempat hidup
manusia, yang lebih dari hanya sekedar fisik, namun juga menyangkut pada
pranata budaya dasar. Pranata tersebut kemudian meliputi seperti tata atur
kehidupan sosial serta juga budaya masyarkat, yang kemudian diwadahi serta
sekaligus memperngaruhi arsitektur.
6. Djauhari Sumintardja, Arsitektur ini adalah sesuatu yang dibangun manusia
yakni untuk kepentingan badannya (seperti melindungi diri dari gangguan)
serta juga kepentingan jiwanya( yakni kenyamanan, ketenangan, dll.
7. J.B. Mangunwijaya (1992), Arsitekturialah sebagai vastuvidya (wastuwidya)
yang artinya adalah ilmu bangunan. Di dalam pengertian wastu terhitung juga
tata bumi, tata lalu lintas (harsya, dhara, yana), tata gedung, . Seni ini ialah
suatu ilmu di dalam merancang bangunan. Arsitektur tersebut juga dapat atau
bisa merujuk kepada hasil dari proses perancangan tersebut.

3. Pengertian Nusantara

Nusantara merupakan istilah yang dipakai untuk menggambarkan wilayah


kepulauan yang membentang dari Sumatera hingga Papua, yang sekarang beberapa
akbar merupakan wilayah negara Indonesia. Kata ini tercatat pertama kali dalam
literatur berbahasa Jawa Pertengahan (abad ke-12 hingga ke-16) untuk
menggambarkan konsep kenegaraan yang dianut Majapahit. Setelah sempat terlupakan,
pada awal zaman ke-20 istilah ini dihidupkan kembali oleh Ki Hajar Dewantara[1] sbg
keliru satu nama alternatif untuk negara merdeka pelanjut Hindia Belanda yang belum
terwujud. Ketika penggunaan nama "Indonesia" (berarti Kepulauan Hindia) disetujui
untuk dipakai untuk ide itu, kata Nusantara tetap dipakai sbg sinonim untuk kepulauan
Indonesia. Pengertian ini hingga sekarang dipakai di Indonesia.

Dampak perkembangan politik akhir, istilah ini akhir dipakai pula untuk
menggambarkan kesatuan geografi-antropologi kepulauan yang terletak di selang
benua Asia dan Australia, termasuk Semenanjung Malaya namun biasanya tidak
mencakup Filipina. Dalam pengertian terakhir ini, Nusantara merupakan padanan
untuk Kepulauan Melayu (Malay Archipelago), suatu istilah yang populer pada
kesudahan zaman ke-19 hingga awal zaman ke-20, terutama dalam literatur berbahasa
Inggris. Adapun pengertian nusantara menurut pendapat para ahli yaitu sebagai berikut:

1. Munadjat Danusaputro, Wawasan Nusantara yaitu suatu cara pandang


Bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya dalam eksistensi yang serba
terhubung serta pemekarannya di tengah-tengah lingkungan tersebut
berdasarkan asas nusantara.
2. Akhadiah MK, Wawasan Nusantara yakni sebuah cara pandang Bangsa
Indonesia tentang diri dan lingkungannya sesuai dengan ide nasionalnya, yaitu
Pancasila dan UUD 1945, sebagai aspirasi suatu bangsa yang merdeka,
berdaulat dan bermartabat di tengah-tengah lingkungannya, yang menjiwai
tindak kebijaksanaan dalam mencapai berbagai tujuan perjuangan bangsa.
3. M. Panggabean, Wawasan Nusantara adalah salah satu doktrin politik
bangsa Indonesia untuk mempertahankan kelangsungan hidup Negara Republik
Indonesia, yang didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 dengan
memperhitungkan pengaruh geografi, ekonomi, demografi, teknologi dan
kemungkinan strategik yang tersedia.
4. Prof. Wan Usman, Wawasan Nusantara merupakan berbagai cara pandang
bangsa Indonesia mengenai diri dan tanah airnya sebagai Negara kepulauan
dengan semua aspek kehidupan yang beragam.
5. Sumarsono, Wawasan Nusantara ialah salah satu nilai yang menjiwai segenap
peraturan perundang-undangan yang berlaku pada setiap strata di seluruh
wilayah negara, sehingga menggambarkan sikap dan perilaku, paham serta
semangat kebangsaan atau nasionalisme yang tinggi yang merupakan identitas
atau jati diri Bangsa Indonesia.
6. Samsul Wahidin, Wawasan Nusantara yaitu semua cara pandang, cara
memahami, cara menghayati, cara bersikap, bertindak, berpikir dan bertingkah
laku bagi Bangsa Indonesia sebagai hasil interaksi proses-proses psikologis,
sosiokultural dalam arti yang luas dengan aspek-aspek asta grata
4. Pengertian Sejarah Arsitektur Nusantara

Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki sejarah dan perjuangan yang
tidak boleh dilupakan. Mulai dari sejarah nusantara, hingga zaman reformasi seperti
sekarang ini. Semuanya telah melalui waktu yang cukup panjang. Sejarah yang telah
dialami oleh negara ini, tentunya menjadi saksi bisu perjuangan para pahlawan yang
telah membawa Indonesia menuju kebebasan dari penjajahan. Sebelum adanya
Republik Indonesia, Nusantara telah dijajah oleh beberapa negara. Berkat persatuan
dan kesatuan yang dijunjung tinggi, Indonesia menjadi negara merdeka yang
independen. Perkembangan arsitektur nusantara telah melewati masa yang panjang.
Setiap era melahirkan gaya arsitektur yang sangat spesifik dengan membawa ciri khas
dan keunikan sesuai tren dan pengaruh di zaman tersebut.

Menariknya, arsitektur nusantara mempunyai sejarah dan perkembangan dari masa


ke masa yang patut diketahui agar lebih paham mengenai alasan mendasar
terbentuknya arsitektur nusantara masa kini. Sebagai negara besar yang telah melewati
sejarah yang Panjang, Indonesia sangat kaya akan seni arsitektur dari berbagai jaman.
Mulai dari bangunan rumah adat yang beraneka ragam, monument-monumen megah
peninggalan purbakala, Gedung-gedung tua jaman kolonial sampai bangunan-
bangunan modern kekinian. Semua dapat kita saksikan dan kita banggakan sebagai
kekayaan seni dan budaya bangsa. Berikut penjelasan perjalanan Arsitektur
Nusantara sebagai berikut:

a) Arsitektur Nusantara Era Vernakular

Sebelum terpengaruh dengan budaya luar, arsitektur nusantara di era ini sangat
menonjolkan kearifan lokal. Setiap daerah di Indonesia memiliki arsitektur khas
melalui penggabungan adat istiadat, tradisi, budaya dan seni sehingga menghasilkan
gaya arsitektur yang mewakili identitas dari daerah tersebut. Adapun, era arsitektur
nusantara vernakular ini dapat dilihat pada desain beberapa rumah adat, seperti Rumah
Gadang khas masyarakat Minangkabau, Rumah Joglo khas suku Jawa, Rumah Honai
khas Papua, hingga Rumah Tongkonan yang sangat identik dengan suku Tana
Toraja.Arsitektur vernacular adalah arsitektur yang tumbuh dan berkembang dari
arsitektur rakyat yang lahir dari masyarakat etnik dan berakar pada tradisi etnik, serta
dibangun oleh masyarakat berdasarkan pengalaman, menggunakan teknik dan material
lokal serta merupakan jawaban atas pengaruh lingkungan tempat bangunan tersebut
berada. Menurut Paul Oliver dalam Encyclopedia of Vernacular Architecture of the
World adalah terdiri dari rumah-rumah rakyat dan bangunan lain, yang terkait dengan
konteks lingkungan mereka dan sumber daya tersedia yang dimiliki atau dibangun,
menggunakan teknologi tradisional. Semua bentuk arsitektur vernakular dibangun
untuk memenuhi kebutuhan spesifik untuk mengakomodasi nilai-nilai, ekonomi dan
cara hidup budaya yang berkembang.

Sebenarnya, istilah arsitektur vernacular dan arsitektur tradisional memiliki akar


yang hampir sama, namun tetap memiliki perbedaan. Arsitektur vernacular merupakan
bentuk karya yang orisinal dan sangat spesifik dengan filosofi lokal yang sangat kuat,
bersifat konteksktual sesuai dengan zamannya. Sedangkan arsitektur tradisional adalah
mahakarya vernacular yang diakui secara aklamaasi dan dilestarikan secara turun
temurun dala waktu yang lama.

b) Arsitektur Nusantara Era Hindu-Budha

Masuknya ajaran Hindu dan Budha juga memberikan pengaruh kuat terhadap
perkembangan arsitektur nusantara. Di era tersebut, terdapat banyak sekali bangunan
candi dan pura yang memanfaatkan material batu alam serta dihiasi dengan relief yang
sangat khas. Saat ini, sisa peninggalan arsitektur nusantara era Hindu dan Budha bisa
kamu lihat pada sejumlah bangunan bersejarah seperti Candi Prambanan di
Yogyakarta, Candi Borobudur di Magelang, serta Pura Taman Ayun yang berlokasi di
Bali.

c) Arsitektur Nusantara Era Islam

Setelah ajaran Hindu dan Budha, ajaran Islam mulai memasuki Indonesia. Pada
awalnya, ciri khas arsitektur nusantara era kerajaan Islam belum banyak mengalami
perkembangan sehingga terdapat banyak desain masjid kuno yang masih mengadopsi
arsitektur khas Hindu-Budha. Namun, banyaknya musafir dari Timur Tengah yang
menyebarkan ajaran Islam membawa pengaruh pada perkembangan arsitektur sehingga
mulai mengadopsi elemen dekorasi dan ornamen khas Timur Tengah.

d) Arsitektur Nusantara Era Kolonial

Babak baru sejarah arsitektur nusantara kembali dimulai saat masuknya bangsa
Portugis dan Belanda ke Indonesia. Kependudukan Belanda yang mencapai lebih dari
350 tahun sangat memengaruhi arsitektur nusantara yang sangat menonjolkan gaya
arsitektur Eropa dengan sejumlah penyesuaian mengingat Indonesia beriklim tropis.
Sementara itu, bekas peninggalan arsitektur nusantara di era kolonial bisa kamu lihat
pada megahnya Gedung Sate dan Gedung Merdeka di Bandung, Istana Kepresidenan
Indonesia di Bogor, Lawang Sewu di Semarang, serta berbagai bangunan yang berada
di kawasan Kota Tua, Jakarta. Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia dalam
perkembangannya terbagi menjadi tiga periode yaitu Indische Empire style (Abad 18-
19); Arsitektur Transisi (1890-1915) dan Arsitektur Kolonial modern (1915-1940).

1. Gaya Arsitektur Indische Empire Style (Abad 18-19)

Dalam arsitektur ini diperkenalkan oleh Herman Willen Daendels saat


bertugas sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda (1808-1811). Indische Empire
Style (gaya Imperial) merupakan gaya arsitektur yang berkembang pada
pertengahan abad ke-18 sampai akhir abad ke-19. Gaya arsitektur ini dimulai di
daerah pinggiran kota Batavia (Jakarta). Munculnya gaya tersebut akibat
percampuran kebudayaanBelanda, Indonesia dan sedikit kebudayaan China. Ciri-
ciri bangunannya adalah pertama; denah berbentuk simetris. Bentuk ini
memungkinkan di tengah bangunan terdapat ruang utama yang terdiri dari kamar
tidur utama dan kamar tidur lainnya yang berhubungan langsung dengan teras
depan dan teras belakang. Kedua, teras yang sangat luas dan diujungnya terdapat
barisan kolom yang bergaya Yunani (Doric, Ionic dan Corinthian). Ketiga, dapur,
toilet dan gudang yang merupakan bagian terpisah dari bangunan utama, letaknya
ada di1 bagian belakang. Keempat, di samping bangunan utama terdapat paviliun
yang digunakan sebagai kamar tidur tamu.
2. Gaya Arsitektur Kolonial Transisi (1890-1915)

Arsitektur transisi di Indonesia berlangsung sangat singkat yaitu pada akhir


abad 19 sampai awal abad 20 antara tahun 1890 sampai 1915. Peralihan dari abad
19 ke abad 20 di Hindia Belanda dipenuhi oleh perubahan dalam masyarakatnya
dikarenakan modernisasi pada penemuan baru dalam bidang teknologi dan
kebijakan pemerintah kolonial. Ciri-ciri bangunannya, denah masih sama seperti
dengan gaya arsitektur Indische Empire, gevel-gevel, aksen berkesan romantis, dan
terdapat menara pada pintu masuk utama.Kemudian, bentuk atap pelana dengan
penutup genteng masih banyak dipakai dan perisai memakai konstruksi tambahan
sebagai ventilasi pada atap (dormer).

3. Gaya Arsitektur Kolonial Modern (1915- 1940)

Arsitektur kolonial modern merupakan sebuah bentuk protes yang dilontarkan


oleh arsitek Belanda setelah tahun 1900 atas gaya Empire Style. Arsitek Belanda
yang berpendidikan akademis mulai berdatangan ke Hindia Belanda, mereka
mendapatkan suatu gaya arsitektur yang cukup asing, karena gaya arsitektur
Empire Style yang berkembang di Perancis tidak mendapatkan sambutan di
Belanda. Gaya baru ini, semula masih memegang unsur-unsur mendasar bentuk
klasik, memasukkan unsur-unsur yang terutama dirancang untuk mengantisipasi
matahari hujan tropis yang lebat. Selain unsur-unsur arsitektur tropis, juga
memasukkan unsur-unsur arsitektur tradisional asli Indonesia.

Ciri-ciri bangunannya adalah, denah lebih bervariasi sesuai kreatifitas dalam


arsitektur modern, namun bentuk simetri banyak dihindari, dan teras keliling
bangunan sudah tidak digunakan lagi. Sebagai gantinya sering digunakan elemen
penahan sinar, serta tampak bangunan lebih mencerminkan Form Follow Function
atau Clean Design.Kemudian, bentuk atapnya masih didominasi oleh atap pelana
atau perisai, dengan bahan penutup genting sirap. Pada masa ini konstruksi beton
sudah mulai digunakan dengan atap datar dari bahan beton yang belum pernah ada
pada zaman sebelumnya.
4. Arsitektur Nusantara Era Kemerdekaan

Saat Indonesia merdeka pada tahun 1945, pembangunan infrastruktur mulai


dilakukan secara masif. Saat itu, pemerintah Indonesia membongkar bangunan
lama dan mendirikan bangunan baru dengan mengutamakan fungsi, kenyamanan,
Selama 4 windu sejak merdeka perkembangan arsitektur Indonesia, seakan-akan
terpusat di Jakarta. Boleh kita pandang, bahwa pangkal perkembangan arsitektur
tersebut dimulai tahun 1948 ketika kota satelit Kebayoran Baru menjadi kenyataan.
Pembangunna kota baru di selatan Jakarta itu sangat penting artinya dari segi
arsitektur karena perluasan kota tersebut menumbuhkan berbagai gaya bangunan
rumah, gedung-gedung umum dan sebagainya.

Gaya-gaya yang dikembangkan bertitik berat pada ‘meng-Indonesia-kan’


sebagai identitas baru Indonesia Merdeka, berlangsung di segala bidang
kehidupan masyarakat Indonesia. Para perencana rumah dan bangunan-bangunan,
kebanyakan masih angkatan yang berlatar belakang pendidikan Belanda, bahkan
banyak arsitek-arsitek Belanda yang turut aktif dalam proyek pembangunan
tersebut.

Peng-Indonesiaan gaya arsitektur dapat kita lihat pada bangunan tahun 50-
an yang umumnya menonjolkan bentuk atap yang ‘khas’ Indonesia dengan
bentuknya yang lebih sederhana dibanding gaya arsitektur Belanda. Contoh karya
sekitar tahun 1950-an ini antara lain kantor pusat Bank Pembangunan Industri di
Jakarta dan sekitar tahun 1960-an dibangun kantor Pusat Bank Indonesia di jalan
Thamrin Jakarta.
B. ARSITEKTUR NUSANTARA PADA PROVINSI SULAWESI SELATAN

Sekitar 30.000 tahun silam pulau ini telah dihuni oleh manusia. Penemuan tertua
ditemukan di gua-gua dekat bukit kapur dekat Maros, sekitar 30 km sebelah timur laut
dan Makassar sebagai ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan. Kemungkinan lapisan
budaya yang tua berupa alat batu Pebble dan flake telah dikumpulkan dari teras sungai
di lembah Walanae, di antara Soppeng dan Sengkang, termasuk tulang-tulang babi
raksasa dan gajah-gajah yang telah punah. Selama masa keemasan perdagangan
rempah-rempah, pada abad ke-15 sampai ke-19, Sulawesi Selatan berperan sebagai
pintu Gerbang ke kepulauan Maluku, tanah penghasil rempah. Kerajaan Gowa dan
Bone yang perkasa memainkan peranan penting didalam sejarah Kawasan Timur
Indonesia di masa Ialu.

Pada sekitar abad ke-14 di Sulawesi Selatan terdapat sejumlah kerajaan kecil, dua
kerajaan yang menonjol ketika itu adalah Kerajaan Gowa yang berada di sekitar
Makassar dan Kerajaan Bugis yang berada di Bone. Pada tahun 1530, Kerajaan Gowa
mulai mengembangkan diri, dan pada pertengahan abad ke-16 Gowa menjadi pusat
perdagangan terpenting di wilayah timur Indonesia. Pada tahun 1605, Raja Gowa
memeluk Agama Islam serta menjadikan Gowa sebagai Kerajaan Islam, dan antara
tahun 1608 dan 1611, Kerajaan Gowa menyerang dan menaklukkan Kerajaan Bone
sehingga Islam dapat tersebar ke seluruh wilayah Makassar dan Bugis. Perusahaan
dagang Belanda atau yang lebih dikenal dengan nama VOC (Vereenigde Oost-Indische
Compagnie) yang datang ke wilayah ini pada abad ke-15 melihat Kerajaan Gowa
sebagai hambatan terhadap keinginan VOC untuk menguasai perdagangan rempah-
rempah di daerah ini. VOC kemudian bersekutu dengan seorang pangeran Bugis
bernama Arung Palakka yang hidup dalam pengasingan setelah jatuhnya Bugis di
bawah kekuasaan Gowa.

Belanda kemudian mensponsori Palakka kembali ke Bone, sekaligus


menghidupkan perlawanan masyarakat Bone dan Sopeng untuk melawan kekuasaan
Gowa. Setelah berperang selama setahun, Kerajaan Gowa berhasil dikalahkan. Dan
Raja Gowa, Sultan Hasanuddin dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Bungaya
yang sangat mengurangi kekuasaan Gowa. Selanjutnya Bone di bawah Palakka
menjadi penguasa di Sulawesi Selatan.
Persaingan antara Kerajaan Bone dengan pemimpin Bugis lainnya mewarnai
sejarah Sulawesi Selatan. Ratu Bone sempat muncul memimpin perlawanan menentang
Belanda yang saat itu sibuk menghadapi Perang Napoleon di daratan Eropa. Namun
setelah usainya Perang Napoleon, Belanda kembali ke Sulawesi Selatan dan membasmi
pemberontakan Ratu Bone. Namun perlawanan masyarakat Makassar dan Bugis terus
berlanjut menentang kekuasaan kolonial hingga tahun 1905-1906. Pada tahun 1905,
Belanda juga berhasil menaklukkan Tana Toraja, perlawanan di daerah ini terus
berlanjut hingga awal tahun 1930-an.

Sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI, Sulawesi Selatan, terdiri atas sejumlah


wilayah kerajaan yang berdiri sendiri dan mendiami empat etnis yaitu: Bugis,
Makassar, Mandar, dan Toraja. Ada tiga kerajaan besar yang berpengaruh luas yaitu
Luwu, Gowa, dan Bone, yang pada abad ke XVI dan XVII mencapai kejayaannya dan
telah melakukan hubungan dagang serta persahabatan dengan bangsa Eropa, India,
China, Melayu, dan Arab. Setelah kemerdekaan, dikeluarkan UU Nomor 21 Tahun
1950 di mana Sulawesi Selatan menjadi provinsi Administratif Sulawesi dan
selanjutnya pada tahun 1960 menjadi daerah otonomi Sulawesi Selatan dan Tenggara
berdasarkan UU Nomor 47 Tahun 1960. Pemisahan Sulawesi Selatan dari daerah
otonomi Sulawesi Selatan dan Tenggara ditetapkan dengan UU Nomor 13 Tahun 1964,
sehingga menjadi daerah otonomi Sulawesi Selatan. Berikut suku bahasa yang ada di
Sulawesi Selatan, jika diklasifikasikan dari jumlah penduduk terbanyak, kabupaten
yang mendiami, tokoh yang terkenal, hingga kebudayaan suku tersebut:

5. Suku Makassar

Tari Tradisional pakarena


Sumber: https://id.pinterest.com/
Makassar adalah sebuah nama kota di provinsi Sulawesi Selatan saat ini.
Kota ini didiami oleh orang-orang Suku Makassar yang terkenal dengan panggilan
“daeng”. Selain itu, Makassar terkenal dari beberapa sisi, mulai dari sejarahnya
yang panjang, budayanya yang beragam, kulinernya yang membuat tenggorakan
ngiler, pemandangan pantainya yang indah, hingga kebrutalan mahasiswa dan
tingkat kekerasannya yang tinggi. Inilah yang membuat kota Makassar terkenal,
setidaknya menjadi stereotip.

Suku Makassar, sebagai suku terbesar di Sulawesi Selatan, menyimpang


sejarah yang sangat panjang. Dalam catatan sejarah yang tertulis dalam “lontara”,
suku Makassar sudah menguasai Pulau Sulawesi sejak abad ke-16. Bahkan
kekuasaan orang-orang Suku Makassar saat itu meliputi Seluruh pulau Sulawesi,
Sebagian Kalimantan, Sebagian Pulau Maluku, Nusa Tenggara, Hingga Timor-
Timur (Timor Leste saat ini). Menurut sejarah, kekuasaan orang-orang Suku
Makassar ditandai dengan adanya pohon Lontara. Dimana ada pohon lontara,
maka disitulah batasnya kekuasaan orang Makassar.

Suku Makassar sendiri terdiri dari beberapa sub suku yang tersebar luas di
selatan pulau Sulawesi, tersebar dari Kota Makassar, Kabupaten Gowa, Takalar,
Je’neponto, Bantaeng, Bulukumba, Selayar, Maros, dan Pangkep. Sub suku itu
seperti, suku Makassar Lakiung, Turatea (Suku Je’neponto dan Bantaeng), Suku
Konjo (Bulukumba dan Sebagian Maros), dan Suku Selayar. Sub suku ini
memiliki dialek bahasa yang berbeda-beda, tetapi masih dalam rumpun bahasa
Makassar. Di perkirakan jumlah populasi orang suku Makassar sekitar 1,8 juta
jiwa.

Masih banyak sisi-sisi keunikan dari suku Makassar yang belum sempat
diulas, seperti keunikan sisi kulinernya (pisang ijo, pisang efek, pallu butung,
pallu basa, pallu konro, kacipo, dumpi eja, dan lain-lain) dari segi pemadangan
alam pantai yang terkenal (Pantai Losari, tanjung Bayam, tanjung Bunga, Pasir
putih/pantai Bira di Bulukumba dan lain-lain). Selain itu, masih banyak
peninggalan budaya, teknologi dan bangunan kuno seperti benteng, istana, tarian,
kesenian daerah, perahu kora-kora, perahu pinisi dan lain-lain.
6. Suku Bugis

Upacara Adat Suku Bugis


Sumber: http://sukubugisbone.blogspot.com/

Ugi bukanlah sebuah kata yang memiliki makna. Tapi merupakan


kependekan dari La Satumpugi, nama seorang raja yang pada masanya menguasai
sebagian besar wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. La Satumpugi terkenal baik
dan dekat dengan rakyatnya. Rakyatnya pun menyebut diri mereka To Ugi, yang
berarti Orang Ugi atau Pengikut Ugi.

Dalam perjalanannya, seiring gerakan ke-Indonesiaan, Ugi dibahasa-


Indonesiakan menjadi Bugis dan diidentifikasikan menjadi salah satu suku resmi
dalam lingkup negara Republik Indonesia. Maka muncul dan terkenallah Suku
Bugis di Indonesia; bahkan di seluruh dunia. Wilayah Wilayah utama Suku Bugis
di Sulawesi Selatan adalah Barru, Sidrap, Pinrang, Parepare, Soppeng, Bone,
Wajo, dan Palopo. Wilayah-wilayah tersebut berkembang melalui tiga kerajaan
besar Suku Bugis, yaitu Kerajaan Bone, Kerajaan Soppeng, dan Kerajaan Wajo.
Ditambah beberapa kerajaan kecil lainnya.

7. Suku Mandar

Pakaian Adat Mandar: Busana Pattuqdu Towaine


Sumber: http://kacomandar.blogspot.com/
Suku Mandar merupakan suku asli yang berada di Sulawesi Barat  (dulunya
bagian dari Propinsi Sulawesi Selatan).Wilayah utama Suku mandar mendiami
kabupaten Polewali, Mandar dan Majene. Penyebaran suku Mandar ini juga
berada di provinsi Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur..
Populasi suku Mandar di Sulawesi Barat diperkirakan lebih dari 260.000 orang
dan di Kalimantan Selatan 29.322 orang pada sensus tahun 2000.

Suku Mandar masih berkerabat dengan suku Bugis dan Makassar, karena
terdapat kedekatan dalam segi asal-usul sejarah, budaya dan bahasa. Suku Mandar
ini termasuk salah satu suku yang suka hidup di laut, termasuk salah satu suku
bahari, tapi mereka berbeda dengan suku Bajo dan suku-suku laut. Pemukiman
mereka kebanyakan berhadapan langsung dengan laut lepas. Mereka menganggap
lautan sebagai rumah dan ladang untuk mencari sumber kehidupan.

8. Suku Toraja

Tari Marendeng Marampa

Sumber: https://www.kompasiana.com/

Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti “orang yang


berdiam di negeri atas”. Pemerintah kolonial Belanda menamai suku
ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah
adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan
peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan
berlangsung selama beberapa hari
Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka
masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun
1900-an, misionaris Belandadatang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah
semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja
menjadi lambang pariwisata Indonesia.
Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh
antropolog. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi
budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi
masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan
sektor pariwisata yang terus meningkat.

9. Suku Duri/Enrekang/Marowangin

Dangke Makanan Khas Enrekang

Sumber: https://agusmanhidayat44.files.wordpress.com/

Di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, bermukim tiga suku: Enrekang,


Duri, dan Marowangin. Ke-3 suku itu membentuk kesatuan yang dinamakan suku
Masserrempulu. Masserempulu, secara bahasa Enrekang, berarti melekat seperti
beras ketan. Kata yang digunakan untuk menunjukkan kesatuan dari ke-3 suku itu.
Didalam bahasa Bugis, Masserempulu disebut Masserembulu, yang artinya
jajaran gunung-gunung. Suku Masserempulu memang bermukim di wilayah yang
terdiri dari jajaran gunung-gunung. Gunung yang sangat dikenal dan selalu
didatangi oleh pendaki-pendaki yaitu gunung Latimojong.
Di wilayah pegunungan banyak terdapat desa-desa suku Duri; suku
Marowangin banyak bermukim di desa-desa yang berbatasan dengan Kabupaten
Sidrap, dan suku Enrekang banyak bermukim di kota Enrekang. Selain berbeda
wilayah mayoritas, bahasa suku Enrekang, Duri, dan Marowangin juga berbeda
dialeknya, namun tetap akan bertemu dalam pengertian dan pengartian yang sama.
Banyak yang mengatakan, suku Masserempulu merupakan kombinasi antara
dua suku: Bugis dan Toraja. Namun, untuk membuktikan hal tersebut, dibutuhkan
penelitian lebih mendalam. Yang jelas, suku Masserempulu tidak memiliki adat
yang macam-macam: kematian, pernikahan, pakaian, dan lainnya. Sangat berbeda
dengan suku Bugis dan Toraja.

10. Suku Luwu (Palopo Raya)

Rumah Adat Suku Luwu


Sumber: https://israilrahmatullah.files.wordpress.com/

Orang Luwu merupakan penduduk asal yang berdiam dalam wilayah


Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Timur dan Kabupaten Luwu Utara, Provinsi
Sulawesi Selatan. Daerah kediaman orang Luwu ini biasa disebut ‘Tana Luwu’
yang berada di daerah pantai, dan orangnya sendiri dinamakan ‘To Luwu’,
dimana ‘to’ berarti ‘orang’, dan ‘Luwu’ berasal dari kata ‘loo’ atau ‘lau’ yang
berarti ‘laut’.
Orang Luwu merupakan sebagian dari suku bangsa Bugis. Namun, Luwu
konon menjadi asal negeri-negeri dan kerajaan-kerajaan orang Bugis. Luwu, juga
Bone dan Gowa merupakan kerajaan tertua di Sulawesi Selatan, yang dianggap
sebagai peletak dasar adat-istiadat orang Bugis dan Makassar. Kerajaan Luwu
berdiri sebelum abad ke-8 yang didirikan oleh Batara Guru yang dianggap
keturunan Dewa. Kini bekas istana raja Datu Luwu dijadikan museum yang
dinamakan museum Batara Guru.
Kini Daerah Luwu ini menjadi telah menjadi 3 buah Kabupaten yang
dinamakan Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Timur dan Kabupaten Luwu
Utara. Kabupaten Luwu berbatasan dengan Kabupaten Luwu Utara dan Tana
Toraja bagian utara, di bagian selatan berbatasan dengan Kabupaten Sidrap dan
Wajo, di bagian Timur berbatasan dengan Teluk Bone dan Provinsi Sulawesi
Tenggara, di bagian barat berbatasan dengan Kabupaten tana Toraja dan
Enrekang.
Dari sekian banyak suku yang terdapat pada Provinsi Sulawesi Selatan yang
akan di bahas adalah Suku Bugis :
a) Arsitektur Rumah Adat Suku Bugis

Acara Adat Pernikahan


Sumber: indephedia.com

Suku Bugis adalah suku yang banyak mendiami Pulau Sulawesi. Kebanyakan
tersebar di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah. Di luar
pulau ini juga tersebar di Jambi, Riau, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, DKI
Jakarta, Papua, dan Kepulauan Riau. Yang mana Suku Bugis ini juga dikenal
sebagai Bugis Melayu.
Kata "Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan
"ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana,
Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi
menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki
dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La
Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu,
ayahanda dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan
melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar
di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio.
Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang
tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah
Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan
beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton. Komunitas ini berkembang dan
membentuk beberapa kerajaan. Masyarakat ini kemudian mengembangkan
kebudayaan, bahasa, aksara, dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan
Bugis klasik antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng
dan Rappang.
Meski tersebar dan membentuk suku Bugis, tapi proses pernikahan
menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar. Saat ini orang
Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo, Soppeng,
Sidrap, Pinrang, Sinjai, Barru. Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar
adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis
dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang. Kerajaan Luwu adalah
kerajaan yang dianggap tertua bersama kerajaan Cina (yang kelak menjadi
Pammana), Mario (kelak menjadi bagian Soppeng) dan Siang (daerah di
Pangkajene Kepulauan) Masa Kerajaan Kerajaan Bone Di daerah Bone terjadi
kekacauan selama tujuh generasi, yang kemudian muncul seorang To Manurung
yang dikenal Manurungnge ri Matajang. Tujuh raja-raja kecil melantik
Manurungnge ri Matajang sebagai raja mereka dengan nama Arumpone dan
mereka menjadi dewan legislatif yang dikenal dengan istilah ade pitue.
Kerajaan Makassar Di abad ke-12, 13, dan 14 berdiri kerajaan Gowa,
Soppeng, Bone, dan Wajo, yang diawali dengan krisis sosial, dimana orang saling
memangsa laksana ikan. Kerajaan Makassar kemudian terpecah menjadi Gowa dan
Tallo. Tapi dalam perkembangannya kerajaan kembar ini kembali menyatu menjadi
kerajaan Makassar. Kerajaan Soppeng Di saat terjadi kekacauan, di Soppeng
muncul dua orang To Manurung. Pertama, seorang wanita yang dikenal dengan
nama Manurungnge ri Goarie yang kemudian memerintah Soppeng ri Aja. dan
kedua, seorang laki-laki yang bernama La Temmamala Manurungnge ri Sekkanyili
yang memerintah di Soppeng ri Lau. Akhirnya dua kerajaan kembar ini menjadi
Kerajaaan Soppeng. Kerajaan Wajo Sementara kerajaan Wajo berasal dari komune-
komune dari berbagai arah yang berkumpul di sekitar danau Lampulungeng yang
dipimpin seorang yang memiliki kemampuan supranatural yang disebut puangnge
ri lampulung. Sepeninggal beliau, komune tersebut berpindah ke Boli yang
dipimpin oleh seseorang yang juga memiliki kemampuan supranatural. Datangnya
Lapaukke seorang pangeran dari kerajaan Cina (Pammana) beberapa lama
setelahnya, kemudian membangun kerajaan Cinnotabi. Selama lima generasi,
kerajaan ini bubar dan terbentuk Kerajaan Wajo.
Konflik antar Kerajaan Pada abad ke-15 ketika kerajaan Gowa dan Bone
mulai menguat, dan Soppeng serta Wajo mulai muncul, maka terjadi konflik
perbatasan dalam menguasai dominasi politik dan ekonomi antar kerajaan.
Kerajaan Bone memperluas wilayahnya sehingga bertemu dengan wilayah Gowa di
Bulukumba. Sementara, di utara, Bone bertemu Luwu di Sungai Walennae. Sedang
Wajo, perlahan juga melakukan perluasan wilayah. Sementara Soppeng
memperluas ke arah barat sampai di Barru. Perang antara Luwu dan Bone
dimenangkan oleh Bone dan Luwu kemudian mempersaudarakan kerajaan mereka.
Sungai Walennae adalah jalur ekonomi dari Danau Tempe dan Danau Sidenreng
menuju Teluk Bone. Untuk mempertahankan posisinya, Luwu membangun aliansi
dengan Wajo, dengan menyerang beberapa daerah Bone dan Sidenreng. Berikutnya
wilayah Luwu semakin tergeser ke utara dan dikuasai Wajo melalui penaklukan
ataupun penggabungan. Wajo kemudian bergesek dengan Bone. Invasi Gowa
kemudian merebut beberapa daerah Bone serta menaklukkan Wajo dan Soppeng.
Untuk menghadapi hegemoni Gowa, Kerajaan Bone, Wajo dan Soppeng membuat
aliansi yang disebut “tellumpoccoe”.
Penyebaran Islam Pada awal abad ke-17, datang penyiar agama Islam dari
Minangkabau atas perintah Sultan Iskandar Muda dari Aceh. Mereka adalah Abdul
Makmur (Datuk ri Bandang) yang mengislamkan Gowa dan Tallo, Suleiman
(Datuk Patimang) menyebarkan Islam di Luwu, dan Nurdin Ariyani (Datuk ri Tiro)
yang menyiarkan Islam di Bulukumba.[2] Kolonialisme Belanda Pertengahan abad
ke-17, terjadi persaingan yang tajam antara Gowa dengan VOC hingga terjadi
beberapa kali pertempuran. Sementara Arumpone ditahan di Gowa dan
mengakibatkan terjadinya perlawanan yang dipimpin La Tenri Tatta Daeng Serang
Arung Palakka. Arung Palakka didukung oleh Turatea, kerajaaan kecil Makassar
yang tidak sudi berada dibawah Gowa. Sementara Sultan Hasanuddin didukung
oleh menantunya La Tenri Lai Tosengngeng Arung Matowa Wajo, Maradia
Mandar, dan Datu Luwu. Perang yang dahsyat mengakibatkan benteng Somba Opu
luluh lantak. Kekalahan ini mengakibatkan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya
yang merugikan kerajaan Gowa.
Pernikahan Lapatau dengan putri Datu Luwu, Datu Soppeng, dan Somba
Gowa adalah sebuah proses rekonsiliasi atas konflik di jazirah Sulawesi Selatan.
Setelah itu tidak adalagi perang yang besar sampai kemudian di tahun 1905-6
setelah perlawanan Sultan Husain Karaeng Lembang Parang dan La Pawawoi
Karaeng Segeri Arumpone dipadamkan, maka masyarakat Bugis-Makassar baru
bisa betul-betul ditaklukkan Belanda. Kosongnya kepemimpinan lokal
mengakibatkan Belanda menerbitkan Korte Veklaring, yaitu perjanjian pendek
tentang pengangkatan raja sebagai pemulihan kondisi kerajaan yang sempat lowong
setelah penaklukan. Kerajaan tidak lagi berdaulat, tapi hanya sekedar perpanjangan
tangan kekuasaaan pemerintah kolonial Hindia Belanda, sampai kemudian muncul
Jepang menggeser Belanda hingga berdirinya NKRI. Masa Kemerdekaan Para raja-
raja di Nusantara bersepakat membubarkan kerajaan mereka dan melebur dalam
wadah NKRI. Pada tahun 1950-1960an, Indonesia khususnya Sulawesi Selatan
disibukkan dengan pemberontakan.
Pemberontakan ini mengakibatkan banyak orang Bugis meninggalkan
kampung halamannya. Pada zaman Orde Baru, budaya periferi seperti budaya di
Sulawesi benar-benar dipinggirkan sehingga semakin terkikis. Sekarang generasi
muda Bugis-Makassar adalah generasi yang lebih banyak mengkonsumsi budaya
material sebagai akibat modernisasi, kehilangan jati diri akibat pendidikan pola
Orde Baru yang meminggirkan budaya mereka. Seiring dengan arus reformasi,
munculah wacana pemekaran. Daerah Mandar membentuk propinsi baru yaitu
Sulawesi Barat. Kabupaten Luwu terpecah tiga daerah tingkat dua. Sementara
banyak kecamatan dan desa/kelurahan juga dimekarkan. Namun sayangnya tanah
tidak bertambah luas, malah semakin sempit akibat bertambahnya populasi dan
transmigrasi.
Mata Pencaharian masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur
dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan
nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain
itu masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang
pendidikan. Bugis Perantauan Kepiawaian suku Bugis-Makasar dalam mengarungi
samudra cukup dikenal luas, dan wilayah perantauan mereka pun hingga Malaysia,
Filipina, Brunei, Thailand, Australia, Madagaskar dan Afrika Selatan. Bahkan, di
pinggiran kota Cape Town, Afrika Selatan terdapat sebuah suburb yang bernama
Maccassar, sebagai tanda penduduk setempat mengingat tanah asal nenek moyang
mereka.
Penyebab Merantau Konflik antara kerajaan Bugis dan Makassar serta
konflik sesama kerajaan Bugis pada abad ke-16, 17, 18 dan 19, menyebabkan tidak
tenangnya daerah Sulawesi Selatan. Hal ini menyebabkan banyaknya orang Bugis
bermigrasi terutama di daerah pesisir. Selain itu budaya merantau juga didorong
oleh keinginan akan kemerdekaan. Kebahagiaan dalam tradisi Bugis hanya dapat
diraih melalui kemerdekaan. Bugis di Kalimantan Selatan Pada abad ke-17
datanglah
Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk
beberapa kerajaan. Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa,
aksara, dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik antara
lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang. Meski
tersebar dan membentuk suku Bugis, tapi proses pernikahan menyebabkan adanya
pertalian darah dengan makassar mandarSaat ini orang Bugis tersebar dalam
beberapa Kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap,Pinrang, Barru.
Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros,
Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten
Polmas dan Pinrang. Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang dianggap tertua bersama
kerajaan Cina (yang kelak menjadi Pammana), Mario (kelak menjadi bagian
Soppeng) dan Siang (daerah di Pangkajene Kepulauan).
1. Konsep Kosmogoni Orang Bugis
Pada postingan kemarin mengenai Budaya Bugis dalam La Galigo : Alur Teks
Dalam Epik La Galigo terdapat 3 tempat yang menjadi cerita utama pada epos la
galigo ini. Ketiga tempat mencakup: 1.Boting Langiq (Perkawinan Di langit yang
Dilakukan Oleh We Tenriabeng) 2.Ale Kawaq (Di bumi. Keadaan-keadaan yang
terjadi Dibumi) 3.Buri Liu (Peretiwi/Dunia Bawah Tanah/Laut) Ternyata tempat
tersebut bukan hanya sekedar menjadi dekor termpat berlangsungnya para tokoh
didalam epos la galigo.
Tetapi tempat-tempat tersebut juga mempunyai fungsi-fungsi indeksikal bagi
aktifitas kehidupan manusia bugis Dunia Makro-Mikrokosmos Orang Bugis Dari
bagan diatas terlihat bagaimana posisi ketiga dunia makro-mikrokosmos diatas tertata
dalam bentuk bersusun tiga. Itu berarti eksistensi keberadaan mikrokosmos berada
ditengah-tengah yang diatur dan di Kontrol oleh dunia atas dan dunia bawah. Agar
dunia atas dan dunia bawah dapat memberikan kemakmuran bagi dunia tengah, maka
manusia yang menghuni dunia tersebut harus tunduk dan patuh terhadap tatanan yang
ada dalam dunia makrokosmos. Dari sinilah berpangkal pandangan makro-
mikrokosmos orang bugis yang memandang dunia ini menjadi 3 lapiran. Konsep
tersebut berada dalam kesatuan kosmos yang stukturan dan fungsional.

2. Konsep Sulapaq Eppaq Wola Suji Orang Bugis


Pandangan kosmogoni orang bugis ini dengan apa yang disebut konsep Sulapaq
Eppaq Wola Suji (Segi Empat Belah Ketupat). Konsep Sulapaq Eppaq adalah filsafat
tertinggi orang bugis yang menjadi seluruh wujud kebudayaan dan sosialnya. Wujud
Konsep Sulapaq Eppaq juga dapat dilihat dalam bentuk manusia Rumah bugis
memiliki keunikan tersendiri, dibandingkan dengan rumah panggung dari suku yang
lain ( Sumatera dan Kalimantan ).Bentuknya biasanya memanjang ke belakang,
dengan tanbahan disamping bangunan utama dan bagian depan [orang bugis
menyebutnya lego lego]. Bagaimana sebenarnya arsitektur dari rumah panggung khas
bugis ini ?. Berikut adalah bagian - bagiannya utamanya :
1) Tiang utama ( alliri ). Biasanya terdiri dari 4 batang setiap barisnya.
jumlahnya tergantung jumlah ruangan yang akan dibuat. tetapi pada
umumnya, terdiri dari 3 / 4 baris alliri. Jadi totalnya ada 12 batang alliri.
2) Fadongko’, yaitu bagian yang bertugas sebagai penyambung dari alliri di
setiap barisnya.
3) Fattoppo, yaitu bagian yang bertugas sebagai pengait paling atas dari alliri
palin tengah tiap barisnya.

Dalam pandangan kosmologis Bugis, rumah tradisional mereka adalah


'mikro kosmos' dan juga merupakan refleksi dari 'makro kosmos' dan 'wujud
manusia'. Tradisi Bugis menganggap bahwa Jagad Raya (makro kosmos) bersusun
tiga, yaitu Boting langi (dunia atas), Ale-kawa (dunia tengah), dan Buri-liung
(dunia bawah). Ketiga susun dunia itu tercermin pada bentuk rumah tradisional
Bugis,yaitu:
1) Rakkeang: loteng di atas badan rumah merupakan simbol 'dunia atas',
tempat bersemayam Sange-Serri (Dewi Padi). Ruangan ini digunakan
khusus untuk menyimpan padi.
2) Watang-pola (badan rumah) simbol 'dunia tengah'. Ruangan ini merupakan
tempat tinggal. Terdiri atas tiga daerah, yaitu: (a) Ruang Depan: untuk
menerima tamu, tempat tidur tamu, dan tempat acara adat dan keluarga; (b)
Ruang Tengah: untuk ruang tidur kepala keluarga, isteri dan anak-anak yang
belum dewasa, tempat bersalin, dan ruang makan keluarga; (c) Ruang
Dalam: untuk ruang tidur anak gadis dan nenek-kakek. Ada bilik tidur untuk
puteri, ruang yang paling aman dan terlindung dibanding ruang luar dan
ruang tengah.
3) Awa-bola: kolong rumah tidak berdinding, simbol 'dunia bawah'. Tempat
menaruh alat pertanian, kuda atau kerbau, atau tempat menenun kain sarung,
bercanda, dan anak-anak bermain. Ukuran panjang, lebar dan tinggi rumah
ditentukan berdasarkan ukuran anggota tubuh - tinggi badan, depa dan siku -
suami-isteri pemilik rumah. Dengan demikian, proporsi bentuk rumah
merupakan refleksi kesatuan wujud fisik suami-isteri pemilik rumah.

Arsitektur rumah tradisional bangsawan suku Bugis di Sulawesi Selatan


merupakan unsur kebudayaan nasional yang memiliki karakter bentuk fisik, fungsi
dan style serta sangat erat kaitannya dengan sejarah kerajaan Bugis pada masa lalu
dimana wujud fisik rumah tradisional bangsawan Bugis sangat dipengaruhi
stratafikasi derajat sosial yang berlaku dimasyarakatnya. Tujuan penelitian ini
mendapatkan gambaran faktor-faktor pembentuk yang berpengaruh terhadap
karakter arsitektur rumah tradisional bangsawan Bugis dan ditinjau berdasarkan
Spatial system, Phisical system,dan Stylistic system. Lingkup penelitian ini
mencakup basis kerajaan suku Bugis di Kota Adiministratif Bone, Kabupaten
Sidrap dan Kabupaten Wajo.

Pada tata ruang dalam yang juga luas dengan pengelompokan ruang
berdasarkan perbedaan tinggi lantai ditandai dengan adanya tamping dan pembatas
dinding yang tegas, pola tersebut tidak terdapat pada konsep tata ruang dalam
rumah Bugis. Dalam sistim fisik konstruksi dan bahan bangunan yang digunakan
terdapat suatu keragaman kerumitan alami dalam suatu hubungan yang saling
berpengaruh serta membentuk keseimbangan dalam satu kesatuan sistem komposisi
fasadnya.
DAFTAR PUSTAKA

https://taufikhidayah21.wordpress.com/2015/05/13/sejarah-arsitektur-nusantara/

https://israilrahmatullah.wordpress.com/2013/06/19/sembilan-suku-di-sulawesi-
selatan/

https://www.google.co.id/amp/s/amp.kompas.com/skola/read/
2020/03/18/210000769/pengertian-sejarah

https://id.scribd.com/doc/213933795/Makalah-Sejarah-Indonesia

http://p2k.unkris.ac.id/id3/1-3065-2962/Nusantara_16693_p2k-unkris.html

https://www.qubisa.com/article/mengenal-sejarah-nusantara#showContent

https://www.qubisa.com/article/mengenal-sejarah-nusantara#showContent

https://tambahpinter.com/suku-di-sulawesi/

https://antariksagroup.com/sejarah-arsitektur-nusantara/

https://www.msn.com/id-id/berita/other/menilik-gaya-arsitektur-kolonial-di-
indonesia/ar-AAOB94u

https://id.wikipedia.org/wiki/Sulawesi_Selatan

https://archzal.blogspot.com/2011/02/arsitektur-rumah-adat-bugis-sulawesi.html

Anda mungkin juga menyukai