Deskripsi Kasus
Kerja Jurnalis dan Kebebasan Pers di Masa Pandemi
04/05/2020
Nurhadi Sucahyo
Hari Kebebasan Pers Sedunia yang diperingati setiap tanggal 3 Mei mengingatkan
tentang hak-hak kebebasan berpendapat wartawan di mana pun, kapan pun juga,
termasuk dalam era pandemi virus corona. Ironisnya di saat publik paling membutuhkan
informasi, kebebasan wartawan pun diberangus.
VOA —
Pandemi membangun batasan dalam berinteraksi, tak terkecuali bagi jurnalis. Dalam
bencana lain seperti banjir, gempa bumi, hingga tsunami, jurnalis relatif masih bebas
bergerak di lapangan untuk mengumpulkan data. Di tengah pandemi virus corona,
sebagian besar kebebasan itu terenggut. Wawancara telepon, konferensi pers melalui
media poll, hingga diskusi atau seminar yang harus diselenggarakan lewat aplikasi.
Padahal di sisi lain, pemerintah melalui gugus tugas menjadi sumber utama informasi
dasar terkait perkembangan pandemi ini. Pemerintah memiliki struktur hingga ke bawah
untuk pengumpulan data dan menyajikannya sebagai satu-satunya data resmi yang harus
dikutip media. Begitupun di daerah, data menjadi wilayah yang sepenuhnya dikuasai
Pemda.
Kondisi ini mendorong Haris Firdaus, jurnalis koran Kompas di Yogyakarta, menjalin
kolaborasi peliputan kasus virus corona dengan jurnalis dari 7 media berbeda.
“Kolaborasi ini lahir karena kami melihat penanganan COVID-19 di Yogyakarta yang
lamban. Juga karena soal keakuratan data. Kita harus menyadari, data yang tidak akurat
bisa menyebabkan penanganan yang lamban atau tidak sesuai dengan yang dibutuhkan,”
kata Haris.
Kolaborasi jurnalis Yogyakarta sudah melahirkan dua seri tulisan. Seri pertama tentang
kecepatan penanganan dan wacana status PSBB. Sedangkan seri kedua adalah telaah data
yang simpang siur, terutama terkait kematian yang tidak tercatat. Dalam kolaborasi ini,
jurnalis intensif mengulik data, menggelar diskusi, dan melakukan wawancara bersama
sejumlah pakar, pejabat pemerintah dan warga untuk keseimbangan informasi.
Laporan-laporan yang dihasilkan kolaborasi jurnalis tersebut bertujuan untuk
mengimbangi informasi tunggal dari pemerintah. Data dari gugus tugas, tidak dilihat
sebagai satu-satunya sumber data yang harus menjadi acuan, karena ada banyak hal yang
masih harus diperbaiki.
Data Pembanding Skala Nasional
Di tingkat nasional, kekhawatiran kalangan jurnalis terkait data pemerintah seputar kasus
virus corona juga muncul. Situasi ini mendorong Ahmad Arif, Ketua Jurnalis Bencana
dan Krisis (JBK) Indonesia menginisiasi berdirinya laporcovid19.org.
“Sebenarnya awalnya dimulai karena kita melihat data-data yang disampaikan oleh
pemerintah, terutama waktu itu terkait kematian korban, kita menduga terjadinya
underreporting sebenarnya. Antara yang dilaporkan tiap hari dengan yang terjadi di
masyarakat kita melihat ada gap. Itu yang kemudian mendasari kita untuk pentingnya,
mencoba membuat sistem pelaporan tapi berbasis informasi warga dari bawah,” papar
Arif.
Selain Arif, mereka yang terlibat dalam pengelolaan laporcovid19.org adalah Irma
Hidayana, Konsultan Independen Kesehatan Masyarakat, Asfinawati (YLBHI), Budi
Setyarso (Tempo), Cholil Mahmud (Efek Rumah Kaca), Danang Widoyoko
(Transparency International Indonesia), Eryanto Nugroho (Lokataru), Haris Azhar
(Hakasasi.id), Hilman Arioaji (U-Inspire), Inayah Assegaf (STH Jentera), Irendra
Radjawali (U-Inspire), Zen, R.S (NarasiTV). Mereka didukung tim developer Sonny
Prayogo, Fakhriy Fathur, Fikry Nashiruddin, Iban Aso (U-inspire), dan Bari Asunka.
Awalnya, laporcovid19.org mendorong masyarakat untuk aktif memberikan data
kematian terkait virus corona di lingkungan mereka. Dalam perjalanannya, perjalanan,
pelaporan juga didorong terkait kondisi warga sendiri, jika merasa kesehatannya
terganggu dan ada hubungannya dengan virus corona. Langkah ini menjadi bagian upaya
penyadaran masyarakat agar tidak takut menyampaikan kondisinya. Di sisi lain, juga
menjadi dorongan masyarakat luas agar tidak memberikan stigma kepada mereka yang
menyandang status ODP, PDP maupun positif virus corona.
Ahmad Arif dan relawan laporcovid19.org terus melakukan pengumpulan data hingga
saat ini. Arif memberi contoh, data kematian PDP sebenarnya tercatat dengan baik di
tingkat Kabupaten atau Kota. Namun, angka total tidak pernah muncul di tingkat
nasional. Sehingga sampai saat ini, tidak diketahui dengan pasti jumlah kematian di
kelompok ODP dan PDP. Padahal organisasi kesehatan dunia (WHO) telah
merekomendasikan pencatatan kematian kelompok ini. Langkah itu akan memberikan
gambaran yang lebih nyata, seberapa besar kasus kematian akibat virus corona di
Indonesia.
“Data yang kita kumpulkan misalnya, kalau kita memasukkan PDP maupun ODP yang
meninggal, itu sudah lebih dari 3 kali lipat sebenarnya, sekitar 3,4 kali lipat dari angka-
angka yang setiap hari dilaporkan itu. Padahal gambaran yang sesungguhnya mengenai
jumlah kematian penting sekali untuk mengetahui skala sesungguhnya dari COVID ini.
Kita mendorong pemerintah melengkapi laporannya,” kata Arif.
Ahmad Arif menegaskan, transparansi data akan mendorong kepercayaan terhadap
kebijakan yang diambil pemerintah. Di sisi lain, data yang terbuka juga membuat para
pakar bisa menyusun penelitian lebih tepat, sebagai salah satu acuan penyusunan
kebijakan. Jika masyarakat menilai ada data-data terkait virus corona yang ditutupi,
respon masyarakat terhadap langkah yang diambil pemerintah tidak akan maksimal.
Jurnalis Hadapi Tantangan Baru
Pengamat media dari Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Gadjah Mada, Gilang Desti Parahita melihat kondisi pandemi
berpengaruh bagi kerja jurnalis dan media.
“Saya melihat memang ini ada sesuatu guncangan ke dunia komunikasi publik kita ya
tidak hanya dampaknya ke jurnalisme melainkan juga bagaimana pemerintah yang juga
masyarakat berkomunikasi sebetulnya. tidak hanya jurnalis yang terkena dampaknya
mereka juga pemerintah dan masyarakat,” kata Desti.
Jika sebelumnya jurnalis bertemu langsung dengan narasumber, saat ini komunikasi
digantikan oleh aplikasi. Selain itu, upaya penelusuran data dan informasi lapangan juga
terhambat oleh situasi pandemi.
Desti merekomendasikan beberapa hal bagi jurnalis untuk menghadapi situasi ini.
Pertama, jurnalis harus lebih akrab dengan teknologi media baru dalam berinteraksi.
Kedua, jurnalis juga harus lebih sering memanfaatkan media sosial untuk mencari
informasi awal dari masyarakat. Jika dahulu mengutip pernyataan narasumber di media
sosial dianggap sebuah kemalasan, dalam situasi pandemi virus corona langkah itu tidak
dapat dihindari. Bagaimanapun, mayoritas narasumber kini menggunakan media sosial
untuk menyampaikan pendapatnya.
Ketiga, jurnalis dan media dapat menyusun survei online kecil untuk mengetahui
kecenderungan masyarakat terkait isu-isu apa yang menjadi perhatian mereka di tengah
pandemi. Keempat, perusahaan media sebaiknya mulai memanfaatkan big data bekerja
sama dengan pihak ketiga untuk memperkuat kemampuan mengumpulkan data. Kelima,
jurnalis harus lebih banyak meluangkan waktu menyisir pernyataan-pernyataan pers dan
data yang dirilis setiap departemen atau lembaga terkait isu virus corona. Data itu penting
untuk disandingkan dengan data yang dikeluarkan gugus tugas pemerintah.
Jurnalis, kata Desti tidak boleh begitu saja menerima data yang dipublikasikan
pemerintah tanpa mengkritisinya. Tanpa sikap kritis terhadap data, jurnalis hanya akan
menjadi kepanjangan tangan pemerintah, dan gagal menjalankan fungsi sebagai
watchdog.
“Walaupun kita bergantung kepada pemerintah terkait dengan data, kita bisa
mempertanyakan datanya itu sendiri. Saya harap jurnalis di Indonesia mengkitisi hal itu.
Tentang bagaimana data itu cukup reliable dan valid, untuk dikatakan bahwa telah terjadi
peningkatan atau penurunan. Menghitungnya itu bagaimana,” ujar Desti.
Selalu muncul kemungkinan ada kesenjangan data di lapangan dan apa yang dilaporkan
pemerintah. Salah satu tugas jurnalis dan media, adalah memperkecil kesenjangan data
riil dan data formal.“Penting bagi pemerintah untuk bersikap terbuka, terkait dengan
pengelolaan data dan penanganan krisis COVID-19 ini secara umum. Bersikap terbuka di
sini dalam arti, dalam sikap politik dan juga pengelolaan informasi kesehariannya,”
tambah Desti.
Desti juga merekomendasikan lebih banyak jurnalis dan perusahaan media melakukan
kolaborasi untuk mengatasi keterbatasan kerja jurnalistik di era pandemi. Sikap bersaing
terkait kecepatan dan eksklusifitas informasi akan terasa kuno saat ini. Justru yang
dibutuhkan adalah kerja sama, terutama dalam pembuatan laporan mendalam. Media juga
perlu menyertakan masyarakat penikmat media dalam penyusunan laporan di tengah
pandemi. Prinsipnya, tambah Desti, alih-alih kompetisi, kolaborasi jauh lebih penting
dalam situasi saat ini.
Laporan IFJ
Federasi Jurnalis Internasional (IJF) telah menggelar survei terhadap 1.300 jurnalis dari
77 negara terkait pandemi virus corona pada 26-28 April 2020. IFJ adalah organisasi
jurnalis profesional terbesar di dunia yang beranggotakan 600.000 jurnalis dari 146
negara.
Ketika ditanya mengenai kebebasan pers di negara mereka saat ini, sebagian besar
jurnalis melaporkan kondisi yang semakin buruk. Dalam laporannya, IFJ
menyatakan,dari Yunani hingga Indonesia, dan dari Chad sampai ke Peru, Jurnalis
menggambarkan situasinya dengan menggunakan istilah seperti genting, bermasalah,
mengerikan, lebih buruk, semakin menurun dan penuh pembatasan untuk
menggambarkan kebebasan media.
Tiga dari empat jurnalis dalam survei mengatakan mengalami pembatasan resmi, upaya
penghalangan atau intimidasi dalam pelaporan terkait Covid-19.
Menurut survei itu, satu dari empat jurnalis mengatakan mereka menghadapi kesulitan
yang semakin besar dalam mengakses informasi dari sumber resmi pemerintah. Banyak
yang melaporkan mengalami serangan verbal dari politisi. Banyak pula jurnalis yang
mengeluhkan keterbatasan mengajukan pertanyaan saat konferensi pers. Begitu pula
praktik pembatasan aktivitas jurnalis selama krisis.
“Hasil survei ini menunjukkan tren yang mengkhawatirkan dari penurunan kebebasan
media dan pembatasan jurnalisme, pada saat dimana akses informasi dan jurnalisme yang
berkualitas, sangat dibutuhkan. Jurnalisme adalah kepentingan publik, dan layak
mendapat dukungan publik untuk mengakhiri gangguan dan campur tangan politik,” kata
Sekretaris Jenderal IFJ, Anthony Bellanger dalam laporan yang dipublikasikan pada 30
April 2020. [ns/em]