Anda di halaman 1dari 5

Bhatara Brahma berjinak-jinak dengan Ken Ndok di lading Lalateng, kemudian berpesan agar Ken Ndok

jangan lagi berkumpul dengan suaminya. Larangan Dewa Brahma itu mengakibatkan perceraian dengan
suaminya Ken Ndok, Gajah Para. Ken Ndok pulang ke Desa Pangkur, diseberang utara sungai; Gajah Para
kembali ke Desa Campara, di seberang selatan. Lima hari kemudian, Gajah Para meninggal, konon
karena ia melanggar larangan Dewa Brahma dan karena anak yang masih di dalam kandungan. Setelah
sampai bulannya, Ken Ndok melahirkan bayi laki-laki, yang segera dibuang di kuburan akibat
menanggung malu. Pada malam harinya, seorang pencuri bernama Lembong tercengang melihat sinar
berpancaran di kuburan tersebut. Saat sinar itu didekatinya nampaklah seorang bayi sedang menangis.
Karena kasihan maka bayi tersebut dibawanya pulang. Segera tersiar kabar bahwa Lembong mempunyai
anak pungut berasal dari kuburan. Mendengar kabar itu, Ken Ndok dating mengunjungi Lembong dan
mengaku bayi itu anaknya, lahir dari kekuasaan Bhatara Brahma. Anak itu diberi nama Ken Arok.

Ken Arok tinggal di desa Pangkur sampai dapat menggembalakan kerbau, namun ia suka berjudi. Harta
kekayaan Ayah pungutnya habis diperjudikan. Ketika ia disuruh menggembalakan kerbau kepala desa
Lebak, kerbau itupun diperjudikannya juga. Akibatnya ayah pungutnya harus membayar uang ganti rugi.
Karena kesal, Ken Arok pun diusir dari rumah. Ditengah jalan ia bertemu dengan Bango Samparan,
penjudi dari Desa Karuman. Ken Arok dibawa ke tempat perjudian. Pada waktu itu Bango Samparan
menang; menurut anggapannya berkat kehadiran Ken Arok. Oleh karena itu Ken Arok diajaknya pulang
dan dijadikan anak pungut istri tua Bango Samparan yang kebetulan mandul.  Di Karuman, Ken Arok
merasa kesepian, karena ia tidak dapat bergaul dengan anak-anak Tirtaja, istri muda Bango Samparan.
Kemudian ia pergi dan bertemu dengan Tita, anak Sahaja, kepala desa Siganggeng dan belajar bersama
pada seorang guru bernama Janggan. Di rumah Janggan, ia menunjukkan kenakalannya. Buah jambu
milik Janggan yang masih mentah diambil dan diruntuhkan. Melihat perbuatan itu, Janggan marah. Ken
Arok tidak berani masuk rumah, lalu tidur di luar di atas timbunan jerami kering. Ketika Janggan keluar di
malam hari, ia terkejut melihat sinar berpancaran dari timbunan jerami. Ketika didekatinya, ternyata
sinar itu berasal dari Ken Arok. Sejak saat itu Janggan sangat menyayangi Ken Arok.

Ken Arok dan Tita tinggal di sebuah pondok di sebelah timur Siganggeng untuk menghadang para
pedangang yang lewat, namun kenakalannya tidak sampai disitu saja. Ia berani pula merampok dan
merogol gadis penyadap di Desa Kapundungan. Ken Arok menjadi perusuh yang mengganggu keamanan
wilayah Tumapel dan menjadi buruan Akuwu (Penguasa daerah). Ken Arok lari dari satu tempat ke
tempat lain. Tiap tempat yang didatanginya menjadi tidak aman, namun ia selalu dapat lolos dari bahaya
berkat perlindungan Bhatara Brahma.

Ketika Ken Arok berguru kepada Mpu Palot di Turnyatapada, ia diutus untuk mengambil emas pada
kepala desa Kabalon. Orang-orang Kabalon tidak percaya bahwa ia adalah utusan Mpu Palot. Karena
marah, salah seorang diantara mereka ditikamnya, lalu ia lari ke rumah kepala desa. Segenap penduduk
Desa Kabalon mengejarnya, masing-masing bersenjatakan golok atau palu. Sekonyong-konyong
terdengar suara dari langit yang berkata: “Jangan kau bunuh orang itu. Ia adalah puteraku. Belum selesai
tugasnya di dunia!”. Mendengar suara itu para pengejarnya berhenti, lalu bubar.

Sementara itu, diketahui oleh orang-orang Daha (Kediri) bahwa Ken Arok bersembunyi di Turnyatapada.
Dalam kejaran orang-orang Daha, Ken Arok lari ke Desa Tugaran, dari Tugaran ke Gunung Pustaka dan
dari situ mengungsi ke Desa Limbahan; dari Desa Limbahan ke Desa Rabut, akhirnya sampai Panitikan.
Atas nasihat seorang nenek ia bersembunyi di Gunung Lejar. Dalam persembunyiannya di Gunung Lejar,
ia mendengar keputusan para Dewa bahwa ia telah ditakdirkan menjadi raja yang akan menguasai Pulau
Jawa.

Brahmana Lohgawe datang dari India ke Pulau Jawa menumpang di atas tiga helai daun kakatang, diutus
oleh Bhatara Brahma untuk mencari orang yang bernama Ken Arok. Ciri-cirinya: tanganya panjang
melebihi lutut; rajah telapak tangan kanannya ialah cakra, rajah telapak tangan kirinya bertanda
cangkang kerang. Kata Bhatara Brahma, ia adalah titisan Dewa Wisnu di suatu candi. Dengan jelas
diberitahukan kepadanya, Dewa Wisnu tidak ada lagi di candi pemujaan, karena telah menitis pada
orang yang bernama Ken Arok di Pulau Jawa. Ia diperintahkan mencarinya di perjudian. Oleh karena itu,
sesampainya Brahmana Lohgawe di Pulau Jawa, ia segera menuju Desa Taloka bertemu dengan Ken
Arok.

Ken Arok dibawanya menghadap Akuwu Tumapel bernama Tunggul Ametung. Setelah mendengar
uraian pendeta Lohgawe bahwa ia baru saja dating dari Jambudwipa dan maksud kedatangannya ialah
untuk menitipkan anak angkatnya, Ken Arok diterima oleh Tunggul Ametung sebagai pembantu.

Istri Tunggul Ametung sangat cantik bernama Ken Dedes, anak tunggal seorang pendeta Budha di
Panawijen bernama Mpu Purwa. Konon ketika Tunggul Ametung datang di Panawijen untuk meminang
Ken Dedes, kebetulan Mpu Purwa sedang bertapa di tegal. Karena tidak dapat menahan nafsunya, Ken
Dedes dilarikan ke Tumapel dan dikawininya. Ketika Mpu Purwa pulang dari pertapaan, mendapatkan
rumahnya kosong, lalu menjatuhkan kutuk: “Semoga yang melarikan anak saya tidak akan selamat
hidupnya; semoga ia mati kena tikaman keris. Semoga sumur dan sumber air di Panawijen semuanya
kering sebagai hukuman kepada para penduduknya, karena mereka itu segan memberitahukan
penculikan anak saya. Semoga anak saya yang sudah mendapat wejangan karma amamadangi  tetap
selamat dan mendapat bahagia!”.
Ketika Ken Arok datang di Tumapel, Ken Dedes telah hamil. Bersama suaminya, ia naik kereta berpesiar
ke taman Baboji. Pada waktu Ken Dedes turun dari kereta, tersingkap kain dari betis sampai pahanya.
Ken Arok terpesona melihatnya karena rahasia Ken Dedes berpancaran sinar. Sepulangnya dari taman,
peristiwa itu diceritakan oleh Ken Arok kepada pendeta Lohgawe. Jawab Lohgawe: “Wanita yang
rahasianya menyala, adalah wanita nareswari. Betapapun nestapanya lelaki yang menikahinya, ia akan
menjadi raja besar.” Mendengar ujaran itu, Ken Arok terdiam. Timbul niatnya untuk membunuh Tunggul
Ametung, namun Lohgawe tidak setuju.

Ken Arok meminta izin untuk mengunjungi ayah angkatnya Bango Samparan di Desa Karuman.
Sesampainya disana, ia menceritakan pengalamannya di taman Baboji kepada Bango Samparan dan
menegaskan niatnya untuk membunuh Tunggul Ametung serta kemudian mengawini Ken Dedes. Bango
Samparan member nasihat agar Ken Arok sebelum melaksanakan niatnya supaya pergi dulu ke
Lulumbang menemui pandai keris bernama Mpu Gandring, ia adalah kawan karib Bango Samparan.
Konon barang siapa kena tikam keris buatannya pasti mati. Nasihatnya, supaya Ken Arok memesan keris
kepadanya. Hanya setelah keris pesanan itu selesai ia baru boleh melaksanakan niatnya. Ken Arok
berangkat ke Lulumbang dan memesan keris kepada Mpu Gandring. Dalam waktu lima bulan, keris itu
supaya sudah selesai. Namun jawab Mpu Gandring, supaya ia diberi waktu setahun agar matang
pembuatannya. Ken Arok tetap pada permintaannya, lalu ia pergi. Lima bulan kemudian, Ken Arok
kembali ke Lulumbang untuk mengambil keris pesanannya, namun keris itu sedang digerinda. Karena
marahnya, keris itu direbut dan ditikamkan pada Mpu Gandring, kemudian dilemparkan ke lumpang
pembebekan gerinda. Lumpang pun pecah terbelah. Dilemparkan lagi ke landasan, namun landasan pun
pecah berantakan. Ken Arok yakin bahwa keris itu benar-benar ampuh. Sementara itu, Mpu Gandring
yang sedang berlelaku, mengumpat: “Hei Arok! Kamu dan anak cucumu sampai tujuh keturunan akan
mati karena keris itu juga!” setelah menjatuhkan umpat itu, ia pun mati. Pikir Ken Arok: “Kalau kelak
saya benar jadi orang besar, anak cucu Gandring akan mendapat balas jasa,” lalu, Ken Arok pun pulang
tergesa-gesa ke Tumapel.

Di Tumapel, Ken Arok memiliki seorang sahabat karib bernama Kebo Hijo. Kebo Hijo sangat dipercaya
oleh Tunggul Ametung, tetapi wataknya suka pamer. Ketika ia melihat keris Ken Arok yang berukiran
kayu cangkring, ia meminta Ken Arok untuk meminjamkan kepadanya. Memang itulah maksud Ken Arok,
keris kemudian dipinjamkan lalu dipamer-pamerkan Kebo Hijo kepada orang banyak, sehingga segenap
orang Tumapel tahu bahwa Kebo Hijo mempunyai keris baru. Ken Arok menduga bahwa saat yang
dinanti-nantikannya telah tiba. Keris diambil oleh Ken Arok tanpa sepengetahuan Kebo Hijo. Pada
malam hari waktu telah sepi, Ken Arok masuk ke rumah Tunggul Ametung, ia langsung menuju tempat
tidur Tunggu Ametung yang sedang tidur nyenyak, segera ditikamnya dengan keris Gandring. Baru
keesokan harinya diketahui bahwa Tunggul Ametung telah mati ditusuk dengan keris milik Kebo Hijo
yang masih tertancap di dadanya. Dengan serta merta, Kebo Hijo disergap oleh sanak saudara Tunggul
Ametung, dikeroyok dan ditusuki dengan keris Gandring. Anaknya Kebo Randi menangisi kematian
ayahnya. Melihat peristiwa itu, iba hati Ken Arok dan berjanji akan mengambilnya sebagai pekatik (abdi).

Sepeninggal Tunggul Ametung, Ken Arok menjadi akuwu di Tumapel dan mengawini Ken Dedes. Di
antara warga Tumapel, tidak ada seorangpun yang berani menentang. Pada waktu itu Tumapel adalah
daerah bawahan Daha (Kediri), yang diperintah oleh Raja Kertajaya. Konon Raja Kertajaya juga disebut
sebagai Dandang Gendis. Ia sedang berselisih dengan para pendeta Siwa-Budha, karena keinginannya
untuk disembah sebagai Dewa. Keinginan itu ditolak, karena belum pernah terjadi pendeta menyembah
raja. Untuk memperlihatkan kemampuannya, Kertajaya menancapkan tombaknya di tanah dan duduk
diatas ujungnya. Namun, para pendeta tetap pada pendiriannya. Beberapa pendeta meninggalkan Daha
dan pergi mencari perlindungan di Tumapel. Hal ini menambah jumlah pengikut Ken Arok yang sudah
agak besar. Keturunan dan kerabat yang pernah berbuat baik kepada Ken Arok dipanggil ke Tumapel
untuk menerima balas jasa dan diminta untuk menetap disana. Oleh para pengikutnya, Ken Arok
diangkat sebagai raja dan mengambil nama abhiseka sebagai Rajasa Sang Amurwabhumi. Sejak saat itu,
Ken Arok tidak lagi menghadap Raja Kertajaya di Daha. Hal itu menimbulkan rasa curiga pada Kertajaya.
Ken Arok diduga akan memberontak. Kertajaya bersumbar bahwa Daha tidak akan dapat ditundukkan
oleh siapa pun, kecuali oleh Bhatara Guru (Dewa Siwa). Mendengar sesumbar itu, Ken Arok memanggil
para pendeta dan rakyatnya untuk menyaksikan bahwa ia mengambil nama sebagai Bhatara Guru dan
memerintahkan tentara Tumapel untuk bergerak menyerbu Daha. Pertempuran sengit antara tentara
Tumapel dan Daha berkobar di sebelah utara Desa Ganter. Dalam pertempuran itu, Mahisa Walungan
dan Gubar Baleman, hulubalang Daha, tewas. Sehingga bala tentara Daha terpukul mundur dan lari
mencari perlindungan. Raja Kertajaya pun melarikan diri mencari perlindungan di dalam candi. Daha pun
jauh dalam kekuasaan Tumapel pada tahun 1222 Masehi.

Dari perkawinannya dengan Ken Dedes, Ken Arok memperoleh tiga orang putera dan seorang puteri,
yaitu Mahisa Wunga Teleng, Panji Saprang, Agnibaya dan Dewi Rimbu. Dan perkawinan keduanya
dengan Ken Umang, Ken Arok juga mempunyai tiga putera dan seorang puteri yaitu Panji Tohjaya, Panji
Sudatu, Tuan Wregola dan Dewi Rambi. Putera sulung Ken Dedes keturunan Tunggul Ametung bernama
Anusapati.

Bertahun-tahun lamanya kisah pembunuhan Tunggul Ametung dirahasiakan oleh Ken Dedes terhadap
Anusapati. Namun, ketika Anusapati telah remaja dan ia merasa diperlakukan lain daripada saudara-
saudaranya oleh Sang Amurwabhumi, muncullah rasa curiga di dalam hati Anusapati. Atas desakan
pengasuhnya, Anusapati bertanya kepada Ken Dedes, mengapa Sang Amurwabhumi bersikap demikian.
Jawab Ken Dedes, “Jika engkau ingin tahu, ayahmu yang sebenarnya ialah mendiang Tunggul Ametung.
Ayahmu telah mati, ketika engkau masih di dalam kandungan. Pada waktu itu aku dikawini oleh Sang
Amurwabhumi.” Anusapati bertanya lagi, “Apa sebabnya ayah meninggal?” Jawab Ken Dedes, “Dibunuh
oleh Sang Amurwabhumi”. Pada saat itu Ken Dedes terdiam, merasa telah membocorkan rahasia.
Anusapati bertanya lagi:”Ibunda, bolehkan saya melihat keris Gandring pusaka Sang Amurwabhumi?”
Keris pun diperlihatkan Ken Dedes kepada Anusapati.

Anusapati mempunyai seorang pengalasan berasal dari Desa Batil. Pengalasan itu segera dipanggil dan
diberi perintah untuk membunuh Sang Amurwabhumi dengan keris Gandring. Tanpa membantah,
pengalasan itu pun pergi untuk membunuh Ken Arok. Dengan serta merta, Sang Amurwabhumi yang
sedang bersantap ditikam dari belakang, mati seketika itu juga. Ketika itu hari Kamis Pon, wuku Landep,
waktu senja  matahari baru saja tenggelam, tahun Saka 1169 (1297 Masehi). Setelah menikam,
pengalasan itu pun lari untuk member laporan kepada Anusapati. Anusapati kemudian memberinya
hadiah imbalan. Katanya:”Telah mati terbunuh, oleh hamba, ayah paduka!” Dengan serta merta pula,
pengalasan itu dihabisi hidupnya oleh Anusapati. Karenanya tersiar kabar: “Sang Prabu mati kena amuk
orang dari Desa Batil. Anusapati telah membalaskan dendam dengan membunuh pengalasan itu:. Rajasa
Sang Amurwabhumi pun dicandikan di Kagenengan.

Anusapati mempunyai seorang pengalasan berasal dari Desa Batil. Pengalasan itu segera dipanggil dan
diberi perintah untuk membunuh Sang Amurwabhumi dengan keris Gandring. Tanpa membantah,
pengalasan itu pun pergi untuk membunuh Ken Arok. Dengan serta merta, Sang Amurwabhumi yang
sedang bersantap ditikam dari belakang, mati seketika itu juga. Ketika itu hari Kamis Pon, wuku Landep,
waktu senja  matahari baru saja tenggelam, tahun Saka 1169 (1297 Masehi). Setelah menikam,
pengalasan itu pun lari untuk member laporan kepada Anusapati. Anusapati kemudian memberinya
hadiah imbalan. Katanya:”Telah mati terbunuh, oleh hamba, ayah paduka!” Dengan serta merta pula,
pengalasan itu dihabisi hidupnya oleh Anusapati. Karenanya tersiar kabar: “Sang Prabu mati kena amuk
orang dari Desa Batil. Anusapati telah membalaskan dendam dengan membunuh pengalasan itu:. Rajasa
Sang Amurwabhumi pun dicandikan di Kagenengan.

Anda mungkin juga menyukai