Anda di halaman 1dari 126

SKRIPSI

PENGEMBANGAN PRODUK PANGAN BERBAHAN DASAR JAGUNG

QUALITY PROTEIN MAIZE (Zea mays L.) DENGAN MENGGUNAKAN

TEKNOLOGI EKSTRUSI

Oleh
GUMILAR SANTIKA ATMADJA
F24102032

2006
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Gumilar Santika Atmadja. F24102032. Pengembangan Produk Pangan
Berbasis Jagung Quality Protein Maize (Zea mays L.) dengan Menggunakan
Teknologi Ekstrusi. Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir Deddy Muchtadi, MS dan
Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc.

RINGKASAN

Tujuan penelitian ini adalah menentukan formula produk ekstrusi


berbahan dasar jagung Quality Protein Maize dengan faktor perlakuan suhu
pemansan awal alat ekstruder dan komposisi formula bahan, sehingga
menciptakan produk ekstrusi dengan karakteristik organoleptik yang optimal serta
dapat diterima oleh konsumen.
Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap. Pertama persiapan bahan
baku yang dilakukan sebelum proses ekstruksi. Kedua penentuan formula
dilakukan dengan menggunakan software statistik yaitu Design Expert version 7.
Penentuan karakteristik produk yang dihasilkan pada penelitian ini yaitu
berdasarkan uji fisik produk yang terdiri dari uji kekerasan, derajat pengembangan
dan uji organoleptik, kemudian dianalisis statistik dengan menggunakan SPSS 12
serta Design Expert version 7. Formula terpilih ditentukan oleh proses optimasi
dengan mengunakan program Design Expert version 7. Setelah mendapatkan
produk terpilih, produk dianalisis proksimat, derajat gelatinisasi dan uji fisik
(kekerasan dan derajat pengembangan) pada produk terpilih. Bahan yang utama
pada penelitian ini adalah jagung Quality Protein Maize, dengan bahan campuran
kacang hijau varietas betet yang berasal dari Balai Penelitian Biji-Bijian dan
Umbi, Malang.
Beberapa perlakuan yang diujikan pada pembuatan produk ekstrusi yaitu
memformulasikan produk dengan menggunakan software statistik DX7 (version 7
of Design-Expert software). Faktor perlakuan pada penelitian ini adalah komposisi
dari bahan jagung dan kacang hijau dengan komposisi 0% – 100% serta suhu
yang digunakan pada mesin ekstruder 60 °C - 70 °C. Selanjutnya menentukan
respon atau parameter kualitas produk seperti fisik, kimia dan organoleptik dari
produk tersebut.
Hasil analisis sidik ragam oleh SPSS12 menunjukkan bahwa uji hedonik
dari tekstur, hedonik kelengketan, kekerasan produk dan derajat pengembangan
signifikan (p< 0.05) artinya bahwa semua parameter produk berbengaruh nyata
terhadap formula yang dibuat. Sementara analisis sidik ragam yang dilakukan
program Design Expert version 7 dari respon hedonik tekstur, hedonik kekerasan
dan derajat pengembangan yaitu berbeda nyata (p<0.05) artinya bahwa formula
yang dibuat berpengaruh nyata terhadap ketiga respon tersebut kecuali kekerasan
produk tidak berpengaruh nyata (p>0.05), sehingga ketiga respon tersebut dapat
digunakan untuk proses optimasi.
Hasil optimasi didapatkan produk dengan komposisi 50% jagung dan 50%
kacang hijau dengan pemanasan awal pada suhu 60 ºC yang diolah pada putaran
ulir 1400 rpm sebagai produk terpilih. Dengan memiliki karakteristik skor
hedonik untuk tekstur 6 (suka) skor hedonik untuk kelengketan 5 (agak suka)
kekerasannya 0.231 Kgf dan mempunyai derajat pengembangan 487%. Semua
karakteristik tersebut mempunyai tingkat desirability 0.811, artinya produk
tersebut dapat mencapai nilai skor tekstur 5.53, skor kelengketan 4.9 dan derajat
pengembangan 487.028% sebesar 80.1% terhadap seluruh respon tersebut dapat
dilaksanakan. Hasil analisis proksimat dan nilai energi pada produk ekstrusi
terpilih pada formula jagung : kacang hijau = 50: 50 adalah; protein: 15.50%;
lemak: 1.00%; karbohidrat : 76.61%; abu : 2.54%, air : 4.35% dan memiliki nilai
energi sebesar 391.49 kkal/g. Analisis fisik meliputi kekerasan, derajat
pengembangan dan derajat gelatinisasi berturut-turut adalah 2.13 Kgf, 500% dan
67.22%.
PENGEMBANGAN PRODUK PANGAN BERBAHAN DASAR JAGUNG

QUALITY PROTEIN MAIZE (Zea mays L.) DENGAN MENGGUNAKAN

TEKNOLOGI EKSTRUSI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh
GUMILAR SANTIKA ATMADJA
F24102032

2006
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

PENGEMBANGAN PRODUK PANGAN BERBAHAN DASAR JAGUNG


QUALITY PROTEIN MAIZE (Zea mays L.) DENGAN MENGGUNAKAN
TEKNOLOGI EKSTRUSI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh
GUMILAR SANTIKA ATMADJA
F24102032

Dilahirkan pada tanggal 22 Januari 1983 di Ciamis


Tanggal Lulus : November 2006

Menyetujui,
Bogor, November 2006

Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi M.S Dr. Ir Feri Kusnandar M.Sc
Pembimbing I Pembimbing II

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc


Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ciamis pada tanggal 22 Januari


1983. Penulis merupakan putra pertama dari pasangan
Hermana dan N Kartiah. Penulis memulai pendidikannya
pada tahun 1987 di TK Al Hidayah kemudian pada tahun
1989 melanjutkan pendidikan di SDN Imbanagara 1 dan
menyelesaikan studinya di SMPN 1 Cimaragas.
Pada tahun 1995-1998 penulis melanjutkan pendidikan di SMPN 1
Cimaragas dan pada rentang waktu tahun 1998-2002 penulis menamatkan
pendidikannya di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Banjar. Tahun 2002 penulis
diterima sebagai mahasiswa jurusan Ilmu Teknologi Pangan Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor, melalui jalur USMI. Selain itu penulis juga
ikut mengenyam pendidikan non formal di Lembaga Bahasa Inggris LIA BBS
selama 1 semester.
Selama menjalani pendidikan, penulis ikut terlibat aktif dalam berbagai
kegiatan organisasi. Penulis pernah menjadi anggota PASKIBRA selama di SMP.
Selama di SMU penulis aktif dikegiatan kerohanian, menjadi anggota Ikatan
Remaja Mesjid. Selama kuliah penulis pernah terlibat aktif di beberapa kegiatan
organisasi diantaranya : IAAS, Food Processing Club (FPC), Brigade Santri Al
Inayah 2, Organisasi Mahasiswa Daerah dan aktif di kegiatan kepanitiaan serta
menjadi peserta pada berbagai seminar, baik seminar nasional maupun
Internasional.
Dan sebagai salah satu syarat kelulusan kuliah dan memperoleh gelar
sarjana Ilmu dan Teknologi Pangan, penulis melakukan penelitian yang tertuang
dalam skripsi ini.
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil alamin. Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat


Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufiq, hidayah dan karunia-Nya
kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang
berjudul “Pengembangan Produk Pangan Berbasis Jagung Quality Protein
Maize (Zea mays L.) dengan Menggunakan Teknologi Ekstrusi”. Penelitian
ini dilaksanakan atas kerjasama antara Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
dengan Departemen Pertanian dalam rangka Riset Unggul Nasional. Adapun
kegiatan ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA
TEKNOLOGI PERTANIAN pada departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada berbagai pihak, karena penulis sadar bahwa dalam
menyelesaikan studi ini penulis banyak mendapat bantuan dan dorongan, terutama
pada :
1. Ibu dan Bapak tercinta atas ketegaran dan dukungannya mendidik penulis
hingga saat ini, juga kepada seluruh keluarga besar dan adik tercinta Nenden
Srinadanti mudah-mudahan Allah mengaruniakan kebarokahan bagi kita.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS, atas bimbingan dan motivasinya
yang diberikan, baik selama menjadi pembimbing saya maupun ketika dalam
menyelesaikan tugas akhir.
3. Bapak Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc, atas bimbingan dan motivasinya serta
kesempatan yang diberikan selama penulis menyelesaikan penelitian ini.
4. Ibu Dr. Ir. Dede R. Adawiyah M.Si sebagai dosen penguji dan masukkannya
dalam skripsi saya.
5. Bapak Juanedi, Bapak Deni, Mbak Febri, Mbak Rinrin, Mbak Emi, dan seluruh
karyawan PT.Fits Mandiri serta seluruh staf SEAFAST atas segala bantuan dan
kemudahan yang diberikan selama melakukan kegiatan penelitian.
6. Bapak Sobirin, Bapak Rojak, Bapak Wahid, Bapak Sidik, Bapak Koko, Bapak
Edi, Ibu Rubiah dan Teh Ida seluruh karyawan Departemen Ilmu dan

i
Teknologi Pangan atas segala bantuan dan kemudahan yang diberikan selama
melakukan kegiatan penelitian.
7. Ust Jaenuri doa, serta Dandan, Khasbi, Arip, dan teman-teman seperjuangan di
Alinayah 2 sekarang Assalam dorongan dan nasihatnya selama mencari ilmu di
gudang ilmu (IPB) ini.
8. Rekan-rekan ITP angkatan 39 pada umumnya, khususnya Eko, Fahrul, Iqbal,
Heru, Fajar, Samsul yang selalu memotivasi saya dan temen-temen
sebimbingan Tina, Nui, dan Risna, juga buat sahabat-sahabatku kelompok B1
Evrin, Fatimah dan Alina atas nasihat-nasihat merekalah saya menjadi
termotivasi untuk selalu memperbaiki diri dan anak-anak golongan B terima
kasih atas kebersamaannya.
9. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan namanya, mudah-mudahan Allah
membalas semua kebaikan yang telah diberikan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Namun
mudah-mudahan keterbatasan ini tidak mengurangi hakikat kebenaran ilmiah
laporan ini, dan dapat berguna bagi pihak-pihak yang memerlukan.

Bogor, 21 November 2006

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... v
DAFTAR TABEL ........................................................................................ vii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ viii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................. 1
B. Tujuan ............................................................................................... 2
C. Manfaat Penelitian ............................................................................. 2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Jagung ................................................................................................ 3
B. Kacang Hijau .................................................................................... 12
C. Pati .................................................................................................... 14
D. Ekstrusi .............................................................................................. 19
E. Perubahan Bahan Selama Proses Ekstrusi ......................................... 24
F. Makanan Snack .................................................................................. 27
G. Design Expert Version 7 .................................................................... 27
H. Reponse Surface Methodology……………………………………… 28
III. BAHAN DAN METODE
A. Bahan dan Alat .................................................................................. 30
B. Metodologi Penelitian ........................................................................ 31
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Persiapan Bahan ................................................................................ 43
B. Penentuan Komposisi Bahan dan Suhu Awal Proses ......................... 43
C. Penentuan Formula Awal ...................................... ............................. 44
D. Pembuatan Produk Ekstrusi................................................................. 46
E. Analisis Uji Organoleptik ................................................................... 47
F. Analisis Uji Fisik................................................................................. 59
G. Analisis Produk Terbaik dengan Design Expert V.7.......................... 67

iii
H. Analisis Derajat Gelatinisasi .............................................................. 70
I. Analisis Kimia ................................................................................... 71
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ....................................................................................... 74
B. Saran ................................................................................................. 74
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 75
LAMPIRAN ................................................................................................... 82

iv
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1. Bentuk jagung dari beberapa jenis jagung: kiri ke kanan: flint,
dent, dan yellow flour.................................................................. 4

Gambar 2. Penampang melintang dan penampang membujur biji jagung .. 7

Gambar 3. Bagian-Bagian Penting Alat Ekstruder


Tunggal....................................................................................... 23

Gambar 4. Single Extruder........................................................................... 31

Gambar 5. Skema alur metode penelitian .................................................. 32

Gambar 6. Jagung Quality Protein Maize ……………………………….. 33

Gambar 7. Skema alur pembuatan produk ekstrusi .................................... 35

Gambar 8. Produk ekstrusi dengan formula 100% jagung QPM dan 0%


kacang hijau............................................................................... 48

Gambar 9. Kurva Skor Tekstur Terhadap Produk...................................... 53

Gambar 10. Kurva Skor Kelengketan Terhadap Produk ............................. 57

Gambar 11. Kurva Derajat Pengembangan Terhadap Produk............. 67

Gambar 12. Kurva Desirebility Produk Terhadap Formulasi .................... 68

Gambar 13. Produk Terpilih Formula Jagung : Kacang Hijau = 50 : 50 ... 69

Gambar14. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 100 : 0, dengan


suhu pemanas 60 °C ................................................................. 105

Gambar 15. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 50 : 50, dengan


suhu pemanas 60 °C .............................................................. 105

Gambar 16. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 100 : 0, dengan


suhu pemanas 62.5 °C .......................................................... 106

Gambar 17. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 75 : 25, dengan suhu
pemanas 67.5 °C ..................................................................... 106

Gambar 18. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 100 : 0, dengan suhu
107
pemanas 65 °C ........................................................................

v
Gambar 19. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 50 : 50, dengan suhu
pemanas 65 °C ........................................................................ 107

Gambar 20. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 75 : 25, dengan suhu
pemanas 67.5 °C ......................................................................... 108

Gambar 21. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 100 : 0, dengan suhu
pemanas 70 °C............................................................................. 108

Gambar 22. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 50 : 50, dengan suhu
pemanas 70 °C ........................................................................... 109

Gambar 23. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 0 : 100, dengan suhu
pemanas 60 °C ........................................................................... 109

Gambar 24. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 25 : 75, dengan suhu
pemanas 62.5 °C ........................................................................... 110

Gambar 25. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 0 : 100, dengan suhu
pemanas 65 °C ....................................................................... 110

Gambar 26. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 25 : 75, dengan suhu
pemanas 67.5 °C .......................................................................... 111

Gambar 27. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 0 : 100, dengan suhu
pemanas 70 °C .......................................................................... 111

vi
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Jenis atau Tipe Jagung dan Sifat-sifatnya ...................................... 3

Tabel 2. Bagian-bagian anatomi biji jagung ................................................ 6

Tabel 3. Komposisi kimia rata-rata biji jagung dan bagian-bagiannya


.................................................................................................... 9

Tabel 4 Deskripsi singkat varietas unggul jagung Srikandi Putih-1 dan Sri-
kandi Kuning-1, dilepas tahun 2004.............................................. 11

Tabel 5. Klasifikasi Ekstruder Ulir Tunggal .............................................. 22

Tabel 6. Spesifikasi Alat Ekstruder............................................................. 30

Tabel 7.Formula Awal Produk Ekstrusi...................................................... 45

Tabel 8. Hasil uji hedonik tekstur.............................................................. 49

Tabel 9. Hasil uji hedonik kelengketan..................................................... 56

Tabel 10. Hasil uji kekerasan ................................................................... 67

Tabel 11. Hasil uji derajat pengembangan produk ................................... 64

Tabel 12. Analisis Proksimat Bahan Baku dan Pati ................................ 71

Tabel 13. Analisis Proksimat Produk Terpilih......................................... 71

vii
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Worksheet uji organoleptik ..................................................... 75

Lampiran 2. Form uji organoleptik snack (1)................................................ 84

Lampiran 3. Form uji organoleptik snack (2)................................................ 85

Lampiran 4. Data hasil penilaian tekstur....................................................... 86

Lampiran 5. Data hasil penilaian kelengketan............................................... 87

Lampiran 6. Prosedur pengujian organoleptik ............................................. 88

Lampiran 7. Hasil Analisis Sidik Ragam Untuk Tekstur ……………….... 89

Lampiran 8. Hasil Analisis Sidik Ragam Untuk Kelengketan …………… 70

Lampiran 9. Hasil Analisis Sidik Ragam Untuk Kekerasan………………. 91

Lampiran 10. Hasil Analisis Sidik Ragam Untuk Derajat Pengembangan.. 92

Lampiran 11. Ringkasan penelitian ............................................................... 94

Lampiran 12. Hasil ringkasan model analisis DX 7 skor tekstur .................. 95

Lampiran 13. Hasil annova analisis DX 7 skor tekstur ................................. 96

Lampiran 14. Model matematika dari skor tekstur ....................................... 97

Lampiran 15. Hasil ringkasan model analisis DX 7 skor kelengketan ...... 98

Lampiran 16. Hasil analisis annova DX 7 skor kelengketan dengan ftware


DX 7....................................................................................... 99
.
Lampiran 17. Model matematika dari skor kelengketan............................. 99

Lampiran 18. Hasil ringkasan model analisis DX 7 kekerasan................... 101

Lampiran 19. Hasil annova analisis DX 7 kekerasan (tekstur) .................. 92

Lampiran 20. Hasil Analisis Respon Derajat Pengembangan …............... 102

Lampiran 21. Model matematika dari derajat pengembangan..................... 103

viii
Lampiran 22. Hasil proses optimalisasi ............................... ..................... 104

Lampiran 23. Gambar produk formula 100 : 0, suhu 62.5 °C dan formu-
la 50 : 50, suhu 60 °C ...................................................... 105

Lampiran 24. Gambar produk formula 100 : 0, suhu 62.5 °C dan formu-
la 75 : 25, suhu 67.5 °C ...................................................... 106

Lampiran 25. Gambar produk formula 100 : 0, suhu 65 °C dan formu-


la 50 : 50, suhu 65 °C ........................................................ 107

Lampiran 26. Gambar produk formula 75 : 25, suhu 67.5 °C dan formu-
la 100 : 0, suhu 70 °C ....................................................... 108

Lampiran 27. Gambar produk formula 50 : 50, suhu 70 °C dan formu-


la 0 : 100, suhu 60 °C ...................................................... 109

Lampiran 28. Gambar produk formula 25 : 75, suhu 62.5 °C dan formu-
110
la 0 : 100, suhu 65 °C ......................................................

Lampiran 29. Gambar produk formula 25 : 75, suhu 67.5 °C dan formu- 111
la 0 : 100, suhu 70 °C ........................................................

ix
I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki ketahanan


pangan kurang stabil, dimana persediaan bahan pangan di Indonesia
khususnya beras jumlahnya tidak tetap. Ketika jumlah produksi beras turun
dan ketergantungan bangsa Indonesia terhadap beras begitu tinggi, maka
pemerintah Indonesia harus mengimpornya dari luar negeri. Untuk mengatasi
masalah tersebut, diperlukan upaya untuk mengurangi ketergantungan
terhadap beras dan bahan pangan impor lainnya dengan mencari alternatif
bahan pangan lainnya yang dapat tumbuh di Indonesia. Kegiatan tersebut
dikenal dengan usaha diversifikasi pangan.
Salah satu bahan pangan alternatif yang berpotensi dikembangkan
adalah jagung. Jagung memiliki nilai gizi yang cukup memadai dan di
beberapa daerah di Indonesia digunakan sebagai makanan pokok. Selain itu
jagung juga dapat dimanfaatkan sebagai tepung komposit, bahan utama bagi
industri produk ekstruksi. Bahkan pada saat ini ada varietas jagung yang
mempunyai kandungan protein yang tinggi, sehingga berpotensi untuk
dijadikan sumber protein selain kacang-kacangan.
Pengembangan produk berbasis jagung merupakan salah satu upaya
dalam pelaksanaan diversifikasi pangan. Namun dalam upaya
pengembangannya terdapat beberapa kendala, antara lain akses transportasi ke
beberapa sentra produksi jagung yang sulit dan kendala cuaca yang sering
menyebabkan pengeringan jagung terhambat terutama di musim hujan
(Hardinsyah et al., 2002). Untuk mengatasi masalah ini dibutuhkan teknologi
pengolahan yang cepat dan tepat.
Teknologi pengolahan yang cepat, efisien serta mempunyai hasil
samping produk yang kecil adalah teknologi ekstrusi. Melalui teknologi
ekstrusi tersebut diharapkan produk yang dihasilkan menjadi salah satu
produk pangan yang memiliki kualitas protein yang baik, sehingga dapat
menjadikan sebagai sumber protein.

1
Beberapa jenis pangan telah yang dikembangankan yaitu pangan yang
siap saji atau ready to serve, pangan siap masak (ready to cook), dan pangan
siap makan (ready to eat). Pada dasarnya kata cereal identik dengan produk
yang diolah dan cocok dikonsumsi oleh manusia dengan atau tanpa
pemasakan dahulu di rumah dan juga biasanya dimakan pada saat sarapan pagi
(Fast, 1990).
Dengan adanya teknologi ekstrusi, para peneliti di dalam bidang ilmu
dan teknologi pangan yang berada di Indonesia melakukan suatu penelitian
tentang pangan ready to eat untuk bahan pangan dan jenis makanan yang
cocok dan sesuai dengan kebudayaan Indonesia sendiri. Melalui
pengembangan produk ekstrusi berbahan dasar jagung Quality Protein Maize
diharapkan dapat dihasilkan produk yang bermutu, aman, relatif murah, serta
dapat berkontribusi pada pengembangan bahan pangan yang ada di dalam
negeri, sehingga dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat Indonesia.

B. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan formulasi produk ekstrusi


berbahan dasar jagung Quality Protein Maize dengan faktor perlakuan suhu
dan komposisi formula bahan, sehingga menciptakan produk ekstrusi dengan
karakteristik produk ekatrusi yang optimal serta dapat diterima oleh
konsumen.

C. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini bermanfaat dalam mendorong pengembangan dan


penerapan teknologi ekstrusi dalam upaya diversifikasi pangan berbasis
jagung Quality Protein Maize.

2
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. JAGUNG

1. Tanaman Jagung

Tanaman jagung (Zea mays L) adalah salah satu jenis tanaman biji-
bijian dari keluarga rumput-rumputan (Graminaceae) yang sudah populer
di seluruh dunia. Menurut sejarahnya tanaman jagung berasal dari
Amerika dan menyebar ke daerah subtropis dan tropis termasuk Indonesia
(Warisno, 1998). Berdasarkan bentuk biji dan kandungan endospermanya,
jagung dibedakan atas dent, flint, pop, flour, sweet, pod. Bentuk beberapa
jagung tersebut dapat dilihat pada Gambar 1. Jenis-jenis jagung dan sifat-
sifatnya disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Jenis atau tipe jagung dan sifat-sifatnya


Jenis jagung Sifat-sifat
Jagung gigi kuda Biji berbentuk gigi, pati yang keras menyelubungi
(Zea mays pati yang lunak sepanjang tepi biji tetapi tidak
identata) sampai ke ujung.
Jagung mutiara Biji sangat keras, pati yang lunak sepenuhnya
(Zea mays diselubungi pati yang keras, tahan terhadap
indurata) serangan hama gudang.
Jagung bertepung Endosperm hampir seluruhnya berisi pati yang
(Zea mays lunak, biji mudah dibuat tepung, biji yang sudah
amylacea) kering permukaannya berkerut.
Jagung berondong Butir biji sangat kecil, keras seperti pada tipe
(Zea mays evertia) mutiara, proporsi pati lunak lebih kecil
dibandingkan pada tipe mutiara
Jagung manis Endosperm berwarna bening, kulit biji tipis,
(Zea mays kandungan pati sedikit, pada waktu masak biji
saccharata) berkerut
Jagung berlilin Biji berwarna buram, endosperm lunak, pati
(Zea mays mengandung amilopektin, merupakan sumber
ceratina) energi terbaik untuk makanan ternak
Jagung polong Tiap butiran biji diselubungi oleh kelobot,
(Zea mays membentuk tongkol yang juga diselubungi
tunicata) kelobot, merupakan keajaiban genetik, dan jagung
ini tidak digunakan untuk produksi
Sumber: Jugenheimer (1976)

3
Gambar 1. Bentuk jagung dari beberapa jenis jagung: kiri ke kanan: flint, dent,
dan yellow flour. (Anonima, 2006)

Menurut Suprapto (1992), jagung yang banyak yang ditanam di


Indonesia adalah tipe mutiara (flint) dan setengah mutiara (semiflint),
seperti Jagung Arjuna (mutiara), Jagung Harapan (setengah mutiara),
Pioneer-2 (setengah mutiara), Hibrida C-1 (setengah mutiara), dan lain-
lain. Selain jagung tipe mutiara dan setengah mutiara, di Indonesia
terdapat juga jagung tipe berondong (pop corn), jagung gigi kuda (dent
corn), dan jagung manis (sweet corn).
Klasifikasi botani tanaman Jagung adalah sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Keluarga : Grasminales (Graminaeae)
Genus : Zea
Spesies : Zea mays L

2. Sejarah dan Perkembangan Jagung Di Indonesia

Jagung dikenal oleh masyarakat Indonesia pada waktu awal abad


ke 16 yang dibawa dari benua Amerika khususnya daerah tropis, oleh
Portugis dan Spanyol berlayar melalui Eropa, India dan Cina. Sejak itulah

4
produksi jagung mengalami peningkatan sampai pertengahan abad 20
(Sarono, Subiyanti dan Cherng-liang , 2001).
Produksi jagung nasional meningkat setiap tahun, namun hingga
kini belum mampu memenuhi kebutuhan domestik sekitar 11 juta ton per
tahun, sehingga masih mengimpor dalam jumlah besar yaitu hingga 1 juta
ton (Subandi et al., 2003). Sebagian besar kebutuhan jagung domestik
untuk pakan atau industri pakan (57%), sisanya sekitar 34% untuk pangan,
dan 9% untuk kebutuhan industri lainnya. Selain untuk memenuhi
kebutuhan dalam negeri, produksi jagung nasional juga berpeluang besar
untuk memasok sebagian pasar jagung dunia yang mencapai sekitar 80
juta ton per tahun (Mejaya, Marsum dan Marcia, 2005).
Di Indonesia, jagung dibudidayakan pada lingkungan yang
beragam. Kini dalam setahun luas areal panen jagung sekitar 3,3 juta ha.
Hasil survei yang dilakukan tahun 1999, sekitar 80% dari areal pertanaman
jagung di Indonesia ditanami varietas unggul yang terdiri atas jagung
bersari bebas (komposit) dan hibrida masing-masing 56% dan 24%,
sedang sisanya 20% varietas lokal (Mejaya et al., 2006). Pada tahun 2000,
sekitar 75% dari areal pertanaman jagung di Indonesia telah ditanami
varietas unggul terdiri atas 28% jenis hibrida dan 47% jenis komposit,
sisanya 25% varietas komposit lokal (Mejaya et al., 2006).
Daerah-daerah di Indonesia yang menjadi penghasil utama
tanaman jagung yaitu di pulau Jawa, Madura, Daerah Istimewa
Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan
Maluku. Khusus untuk Jawa Timur dan Madura, tanaman jagung
dibudidayakan cukup intensif karena selain tanah dan iklimnya sangat
mendukung untuk pertumbuhan tanaman jagung, di daerah tersebut,
jagung banyak dimanfaatkan sebagai makanan pokok (Warisno, 1998).

3. Morfologi Jagung

Jagung tongkol lengkap terdiri dari kelobot, tongkol jagung, biji


jagung, dan rambut. Kelobot merupakan kelopak atau daun buah yang
berguna sebagai pembungkus dan pelindung biji jagung. Jumlah kelobot

5
dalam satu tongkol jagung pada umumnya 12-15 lembar. Semakin tua
umur jagung, semakin kering kelobotnya. Tongkol jagung merupakan
simpanan makanan untuk pertumbuhan biji jagung selama melekat pada
tongkol. Panjang tongkol jagung bervariasi antara 8-12 cm (Effendi dan
Sulistiati, 1991).
Pada umumnya satu tongkol jagung mengandung 300-600 biji
jagung. Biji jagung berbentuk bulat dan melekat pada tongkol jagung.
Susunan biji jagung pada tongkolnya berbentuk spiral. Biji jagung selalu
terdapat berpasangan, sehingga jumlah baris atau deret biji selalu genap.
Warna biji jagung bervariasi dari putih, kuning, merah, dan ungu sampai
hitam. Rambut merupakan tangkai putik yang sangat panjang yang keluar
ke ujung kelobot melalui sela-sela deret biji. Rambut mempunyai cabang-
cabang yang halus, sehingga dapat menangkap tepung sari pada saat
pembuahan (Effendi dan Sulistiati, 1991).

4. Anatomi Biji Jagung

Menurut Hoseney (1998), jagung terdiri dari empat bagian pokok


yaitu embrio, endosperma, aleuron, dan kulit (perikarp) dapat dilihat pada
(Gambar 2). Bagian-bagian anatomi jagung dapat dilihat pada Tabel 2.
Perikarp merupakan lapisan pembungkus seluruh biji (kernel) dan
berfungsi sebagai pelindung bagi bagian dalam biji. Bagian terakhir ini
terdiri dari dua lapis sel yaitu spermoderm dan periperm yang
mengandung lemak.

Tabel 2. Bagian-bagian anatomi biji jagung


Bagian anatomi Jumlah (%)
Pericarp 5
Endosperma 82
Lembaga 12
Tipcap 1
Sumber: Inglett (1970)

6
Bagian terbesar dari biji jagung yaitu endosperma. Lapisan pertama
dari endosperma yaitu lapisan aleuron yang merupakan pembatas antara
endosperma dengan kulit (perikarp). Lapisan aleuron merupakan lapisan
yang menyelubungi endosperma dan lembaga. Lapisan aleuron terdiri dari
1-7 lapis sel sedangkan untuk jagung hanya terdiri dari satu lapis sel,
demikian juga untuk gandum.

Gambar 2. Penampang melintang dan penampang membujur biji jagung


(Hoseney, 1998)

Endosperma jagung terdiri dari dua bagian yaitu endosperma keras


(horny endosperm) dan endosperma lunak (floury endosperm). Bagian
keras tersusun dari sel-sel yang lebih kecil dan tersusun rapat, demikian
juga susunan granula pati yang ada di dalamnya. Bagian endosperma lunak

7
mengandung pati yang lebih banyak dan susunan pati tersebut tidak
serapat pada bagian keras (Muchtadi dan Sugiyono, 1990).
Lembaga terletak pada bagian dasar sebelah bawah dan
berhubungan erat dengan endosperma. Lembaga tersusun atas dua bagian
yaitu skutelum dan poros embrio. Skutelum berfungsi sebagai tempat
penyimpanan zat-zat gizi selama perkecambahan biji (Muchtadi dan
Sugiyono, 1990). Tudung pangkal biji (tip cap) merupakan bekas tempat
melekatnya biji jagung pada tongkol jagung. Tip cap dapat tetap ada atau
terlepas dari biji selama proses pemipilan jagung (Hoseney, 1998).

5. Komposisi Kimia Biji Jagung

Jagung mengandung lemak dan protein yang jumlahnya tergantung


umur dan varietas jagung tersebut. Pada jagung muda, kandungan lemak
dan proteinnya lebih rendah bila dibandingkan dengan jagung yang tua.
Selain itu, jagung juga mengandung karbohidrat yang terdiri dari pati,
serat kasar, dan pentosan (Muchtadi dan Sugiyono, 1990).
Pati jagung terdiri atas amilosa dan amilopektin sedangkan
gulanya berupa sukrosa. Lemak jagung sebagian besar terdapat pada
lembaganya. Asam lemak penyusunnya terdiri atas lemak jenuh yang
berupa palmitat dan stearat serta asam lemak tak jenuh seperti oleat,
linoleat dan linolenat. Kandungan asam lemak terbanyak pada jagung
adalah asam lemak tidak jenuh yaitu linoleat dengan jumlah 59.7% dari
total asam lemak. Kemudian asam lemak terbanyak ke dua adalah asam
lemak jenuh yaitu oleat dengan jumlah 25.2 % (White dan Lawrence,
2003). Vitamin yang terkandung dalam jagung terdiri atas tiamin, niasin,
riboflavin, dan piridoksin. Komposisi kimia dari biji jagung dapat dilihat
pada Tabel 3.
Protein terbanyak dalam jagung adalah zein dan glutelin. Zein
diekstrak dari gluten jagung. Zein merupakan prolamin yang tak larut
dalam air. Ketidaklarutan dalam air disebabkan karena adanya asam amino
hidrofobik seperti leusin, prolin, dan alanin. Ketidaklarutan dalam air juga
disebabkan karena tingginya proporsi dari sisi rantai grup hidrokarbon dan

8
tingginya persentase grup amida yang ada dengan jumlah grup asam
karboksilat bebas yang relatif rendah (Lorenz dan Karel, 1991).
Zein merupakan protein dengan BM rendah yang larut pada
etilalkohol dan alkohol-alkohol tertentu seperti isopropanol. Walaupun
tidak umum digunakan, zein juga larut dalam pelarut organik seperti asam
asetat glasial, fenol, dan dietilen glikol. Zein memiliki dua jenis komponen
yaitu α-zein (larut pada 95% etanol) dan ß-zein (larut dalam 60% etanol).
Pada α-zein, kandungan asam amino histidin, arginin, proline, dan
metionin lebih banyak dibandingkan yang terkandung pada ß-zein
(Laztity, 1986).

Tabel 3. Komposisi kimia rata-rata biji jagung dan bagian-bagiannya


Jumlah (%)
Komponen Pati Protein Lemak Serat Lain-lain
Endosperma 86.4 8.0 0.8 3.2 0.4
Lembaga 8.0 18.4 33.2 14.0 26.4
Kulit 7.3 3.7 1.0 83.6 4.4
Tip cap 5.3 9.1 3.8 77.7 4.1
Lorenz dan Karel (1991)

Glutelin merupakan protein berberat molekul tinggi yang larut


dalam alkali. Fraksi glutelin adalah protein endosperma yang tersisa
setelah ekstraksi protein larut garam dan alkohol (zein). Fraksi glutelin
juga terdiri dari beberapa protein struktural seperti protein membran atau
protein komplek dinding sel. Glutelin memiliki jumlah asam amino lisin,
arginin, histidin, dan triptofan yang lebih tinggi daripada zein tetapi
kandungan asam glutamatnya lebih rendah (Laztity, 1986).
Selain dua protein utama tersebut, protein jagung juga
mengandung protein sitoplasma yang berperan dalam metabolisme aktif.
Protein tersebut yaitu albumin, globulin, dan beberapa enzim. Protein ini
merupakan protein yang larut air atau larutan garam. Protein yang
termasuk dalam kelompok ini antara lain nukleoprotein, glikoprotein,
protein membran, dan lain-lain (Laztity, 1986). Pemakaian jagung sebagai

9
bahan dalam pembuatan ekstruksi bertujuan agar diperoleh tekstur produk
yang baik, dimana sebagian besar produk ekstruksi dari jagung
mempunyai tekstur yang renyah atau mudah mengalami puffing
(Muchtadi, Haryadi dan Basuki, 1988).

6. Jagung Jenis Quality Protein Maize

Balai Penelitian Tanaman Serealia telah menyeleksi dua jagung


berprotein tinggi atau lebih populer disebut jagung QPM, masing-masing
dilepas dengan nama Srikandi Kuning-1 dan Srikandi Putih-1. Hasilnya
berkisar antara 7,9-8,1 ton per hektar, setara dengan hasil jagung hibrida.
Selain untuk pangan, jagung juga banyak digunakan untuk pakan. Data
menunjukkan sekitar 60% jagung di Indonesia digunakan sebagai bahan
baku industri, 57% di antaranya untuk pakan. (Anonima, 2004).
Hal ini merupakan tantangan dan sekaligus peluang bagi
pengembangan jagung di dalam negeri. Departemen Pertanian terus
mendorong upaya peningkatan produksi jagung, baik melalui program
intensifikasi maupun perluasan areal tanam. Badan Litbang Pertanian terus
pula berupaya menghasilkan teknologi yang diperlukan untuk
meningkatkan produksi jagung, sebagaimana halnya teknologi produksi
untuk komoditas pertanian lainnya (Anonima, 2004).
Badan Litbang Pertanian senantiasa berupaya menghasilkan
varietas unggul jagung yang sesuai dengan permintaan, baik dari segi
produksi maupun nutrisi. Jenis jagung yang telah berkembang di petani
selama ini sebenarnya masih memiliki beberapa kelemahan, terutama dari
segi nutrisi. Padahal aspek nutrisi juga perlu mendapat perhatian yang
lebih besar bila dikaitkan dengan upaya perbaikan gizi masyarakat.
Kandungan lisin dan triptofan jagung umumnya rendah, masing-masing
hanya 0,28% dan 0,06% dari total protein biji. Angka ini kurang dari
separuh konsentrasi yang disarankan oleh Badan Kesehatan se-Dunia
(WHO) dan Badan Pangan dan Pertanian se-Dunia (FAO) (Anonima,
2004).

10
Jika jagung berkadar lisin dan triptofan rendah digunakan untuk
pakan maka protein ternak juga akan kekurangan kedua zat yang penting
bagi perbaikan gizi. Melalui kerja sama dengan Pusat Penelitian Jagung
Internasional, Centro Internacional de Mejoramiento de Maiz Yiel Trigo
(CIMMYT), Badan Litbang Pertanian mengintroduksi bahan genetik
jagung berprotein tinggi atau lebih populer disebut jagung QPM (Quality
Protein Maize). Setelah melalui serangkaian penelitian oleh Balitsereal
yang berkedudukan di Maros, Sulawesi Selatan, dua di antara sejumlah
galur jagung QPM yang diintroduksi itu telah dilepas oleh Departemen
Pertanian pada tahun 2004 ini, masing-masing dengan nama Srikandi
Kuning-1 dan Srikandi Putih-1 (Anonima, 2004).

Tabel 4. Deskripsi singkat varietas unggul jagung Srikandi Putih-1 dan


Srikandi Kuning-1, dilepas tahun 2004.
Kakteristik Sri Kandi Kuning 1 Sri Kandi Putih 1
Tinggi Tanaman (cm) 185 195
Umur panen (hari) 105 – 110 105 – 110
Bobot 1000 biji (g) 275 325
Warna Biji Kuning Putih
Potensi Hasil (ton/ ha) 7.9 8.1
(Anonimb, 2004).

Varietas Srikandi Kuning-1 berdaya hasil 7,9 ton per hektar dan
bijinya berwarna kuning, sesuai dengan namanya. Berbiji putih, varietas
Srikandi Putih-1 mampu berproduksi 8,1 ton per hektar. Kedua varietas
unggul ini tahan penyakit hawar daun, karat, dan hama penggerek batang.
Deskripsi singkat dari kedua jagung tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.
Dibandingkan dengan Srikandi Kuning-1, biji Srikandi Putih-1 lebih besar
masing-masing dengan bobot 275 g dan 325 g per 1.000 biji. Kadar
protein biji Srikandi Kuning-1 dan Srikandi Putih-1 masing-masing 10,3%
dan 7,8% dengan kandungan lisin dan triptofan 0,46% dan 0,09% untuk
Srikandi Kuning-1 serta 0,36% dan 0,07% untuk Srikandi Putih-1
(Anonima, 2004). Jagung QPM juga mempunyai kandungan amilosa
29.52% (b/k) dari kadar pati jagung QPM sebesar 77.95%. Sementara

11
kandungnan amilosa 54.94% (Tabel 12). Dari kandungan amilosa dan
amilopektin tersebut dapat dinyatakan bahwa jagung QPM dapat
digunakan sebagi produk ekstrusi. Postur tanaman jagung Srikandi
Kuning-1 relatif lebih pendek dari Srikandi Putih-1 dan keduanya dapat
dipanen pada umur 105-110 hari yaitu mulai dari penanaman benih jagung
sampai bulir jagung pada tongkol jagung dalam keadaan matang. Srikandi
Kuning-1 dapat dikembangkan di dataran rendah maupun dataran tinggi
(1.000 m dpl), sedangkan Srikandi Putih-1 sesuai untuk dataran rendah
dan medium dengan ketinggian tempat kurang dari 700 m dpl (Anonima,
2004).
Sementara jagung varietas hibrida adalah suatu turunan F1 dari
persilangan dua varietas. Varietas dengan galur atau galur dengan galur.
Hal tersebut bertujuan untuk menghasilkan varietas jagung yang
mempunyai hasil panen yang lebih tinggi dari varietas awal (Baco et al.,
2000).

B. KACANG HIJAU

Kacang hijau (Vigna radiata (L). Wilezek) termasuk dalam famili


Leguminoceae, sub famili Papilionidae, dan genus Vigna (Allen dan Allen,
1981). Kacang hijau merupakan salah satu tanaman yang cukup penting di
Indonesia. Posisi kacang hijau menduduki tempat ketiga setelah kedelai dan
kacang tanah. Klasifikasi botani tanaman kacang hijau adalah sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Keluarga : Leguminoceae (Fabaceae)
Genus : Vigna
Spesies : Vigna radiatus
Perhatian masyarakat di Indonesia terhadap kacang hijau masih
kurang, karena disebabkan oleh hasil yang dicapai per hektarnya masih
rendah. Kebanyakan petani menanam kacang hijau memiliki produktivitas
panen yang rendah yaitu 500 kg per Ha (Suprapto, 1998). Di samping itu,

12
panen kacang ini harus dikerjakan beberapa kali. Biji kacang hijau berukuran
2.5 – 5 x 3 – 4 mm2, berbentuk elips sampai bulat. Warna biji hijau, coklat,
abu-abu, dan hijau kehitaman. Dua jenis kacang hijau yang terkenal adalah
Golden Gram dan Green Gram (Kay, 1979). Kacang hijau merupakan salah
satu jenis kacang-kacangan yang dapat dijadikan sebagai sumber protein yang
cukup baik dan memiliki kandungan karbohidrat yang cukup tinggi.
Komposisi gizi kacang hijau terdiri dari karbohidrat (56,7%), protein
(24%), lemak (1.3%), mineral (3.5%), serat (4.1%), Ca (124 mg), P (326 mg)
dan Fe (7.3 mg) per 100 gram. Kandungan karbohidrat kacang hijau terdiri
dari 38.8% pati yang tersusun atas 28.8% amilopektin dan 71.2% amilosa
(Kay, 1979). Menurut Kay (1979), tepung kacang hijau sangat kaya akan
protein terutama lisin, sehingga cocok untuk sumber protein. Asam amino
terbanyak adalah leusin yang diikuti arginin dan lisin.
Varietas yang digunakan pada penelitian ini adalah varietas betet
merupakan verietas yang termasuk varietas kacang hijau dengan produktivitas
yang cukup tinggi yaitu sekitar 1200-1600 kg/ha. Karakteristik yang lain yaitu
batangnya berwarna hijau dengan tinggi 45 cm. Varietas ini berbunga pada
umur 35 hari dan dapat dipanen pada umur 60 hari yang terhitung mulai dari
penanaman benih (Suprapto, 1998).
Proses penyosohan yang bisa dilakukan pada kacang hijau adalah
dengan melembabkan biji terlebih dahulu dengan perendaman pada air.
Selanjutnya digiling basah dengan Grinder lalu dikeringkan pada oven.
Perlakuan penyosohan menyebabkan penurunan kadar lemak, serat kasar,
kalsium dan karoten namun menaikkan kadar karbohidrat dan protein
(Thirumaran dan Sralthan, 1987).
Kacang-kacangan pada umumya mengandung zat toksik seperti
flavonoid, alkaloid dan asam amino non protein. Zat tersebut dapat
mengganggu pencernaan protein dengan cara menghambat kerja enzim
pencernaan protein (inhibitor enzim), membentuk kompleks dengan protein
yang sulit dicerna atau pun menghambat pencernaan asam-asam amino pada
usus. Namuan zat tersebut dapat dinetralkan dengan perlakuan perendaman,

13
pemanasan, fermentasi dan dengan zat kimia seperti asam, basa atau sodium
bikarbonat (Anonim, 1973).
Penambahan kacang hijau pada pembuatan produk ekstruksi
diharapkan dapat meningkatkan kandungan protein produk ekstruksi.
Suplementasi kacang hijau dan jagung dapat meningkatkan kandungan lisin,
sehingga tujuan perbaikan mutu dapat tercapai (Muchtadi et al., 1988). Selain
itu kacang hijau dapat dijadikan pangan alternatif selain kacang kedelai karena
kandungan proteinnya mendekati kedelai dan juga mempunyai kandungan
lisin yang lebih tinggi. Pertimbangan lain yaitu kacang hijau termasuk bahan
pangan domestik yang sebagian besar produksinya masih diproduksi di dalam
negeri.

C. PATI

a. Karakteristik Pati

Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik,


yang banyak terdapat pada tumbuhan terutama pada biji-bijian, dan
umbi-umbian. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari
panjang rantai atom karbonnya, serta lurus atau bercabang. Dalam
bentuk aslinya secara alami pati merupakan butiran-butiran kecil yang
sering disebut granula. Bentuk ukuran granula merupakan karakteristik
setiap jenis pati, karena itu digunakan untuk identifikasi. Selain ukuran
granula karakteristik lain adalah bentuk, keseragaman granula, lokasi
hilum, serta permukaan granulanya (Hodge dan Osman, 1976).
Pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen utama yaitu
amilosa, amilopektin, dan protein serta lemak (Banks dan Greenwood,
1975). Umumnya pati mengandung 12 – 30% amilosa, 75 – 80%
amilopektin dan 5 – 10% meliputi lemak dan protein. Struktur dan jenis
material antara tiap sumber pati berbeda tergantung sifat-sifat botani
sumber pati tersebut. Secara umum dapat dikatakan pati biji-bijian
mengandung protein yang lebih besar dibandingkan pati batang dan pati
umbi (Greenwood, 1979). Kandungan amilosa pada umumnya untuk
jagung adalah 24% dan jumlah amilopektin 76%. Sementara kandungan

14
amilosa dan amilopektin pada kacang hijau berturut-turut adalah 28.2%
dan 71.8% (Muchtadi dan Sugiono, 1973).
Pati mempunyai sifat dapat merefleksikan cahaya terpolarisasi,
sehingga dibawah mikroskop akan terlihat hitam putih. Sifat ini disebut
sifat birefringence. Pada waktu granula mulai pecah sifat birefrengence
ini akan hilang. Kisaran suhu yang menyebabkan 90% butir pati dalam
air panas membengkak sedemikian rupa, sehingga tidak kembali ke
bentuk normalnya disebut birefrengence end point temperature atau
disingkat BEPT (Winarno, 1997).
Dalam keadaan murni granula pati berwarna putih, mengkilat,
tidak berbau dan tidak berasa. Secara mikroskopik terlihat granula pati
dibentuk oleh molekul-molekul yang membentuk lapisan tipis yang
tersusun terpusat. Granula pati bervariasi dalam bentuk tidak beraturan
demikian juga umurnya, mulai kurang dari 1 mikron sampai 150 mikron
ini tergantung sumber patinya. Untuk pati jagung memiliki diameter
berkisar antara 21 – 96 μm, kentang 15 – 10 μm, ubi jalar 15 – 55 μm,
tapioka 6 – 36 μm, gandum 3 – 38 μm, dan beras 3 – 9 μm (Fennnema,
1976). Sementara untuk diameter pati kacang hijau berkisar antara 6 –
16 μm (Muchtadi dan Sugiono, 1973).

b. Granula Pati

Pati dalam jaringan tanaman mempunyai bentuk granula (butiran)


yang berbeda-beda. Penampakan mikroskopik dari granula pati seperti
bentuk, ukuran, keseragaman letak hilum seperti bersifat khas untuk
setiap jenis pati, oleh karena itu dapat digunakan untuk identifikasi, dan
demikian juga sifat birefringencenya masing-masing pati berbeda.
Secara mikroskopik, dalam granula pati campuran molekul
berstruktur linier dan bercabang tersusun membentuk lapisan-lapisan
tipis yang berbentuk cincin atau lamela, dimana lamela tersebut tersusun
terpusat mengelilingi titik awal yang disebut hilus atau hilum
(Bouwkamp, 1985). Penampakan cincin atau lamela pada granula pati
adalah akibat dari pengendapan lapisan molekul pati yang terjadi pada

15
waktu yang berlainan dan tidak sama kadarnya (Hodge et al., 1976).
Menurut Hodge et al., (1976) ikatan paralel yang terbentuk antara
molekul linier yang berdekatan atau dengan cabang yang terluar dari
molekul bercabang. Ikatan ini dihubungkan dengan ikatan hidrogen,
menghasilkan daerah kristalisasi atau misela. Daerah yang kurang padat
yang disebut daerah amorf yang mudah dimasuki air. Misela
menyebabkan granula pati memiliki sifat birefringence, yaitu sifat yang
dapat merefleksikan atau memantulkan cahaya terpolarisasi, sehingga
akan tampak seperti susunan kristal hitam putih di bawah mikroskop
(Whistler et al., 1984).
Letak hilum dalam granula pati ada yang ditengah dan ada yang
ditepi. Granula pati dari golongan tanaman Graminae (beras, jagung, dan
gandum) mempunyai hilum yang terletak ditengah, sedangkan pada
granula pati kentang dan sagu mempunyai letak hilum di tepi. Bentuk
butir pati secara fisik berupa semikristalin yang terdiri dari unit kristal
dan unit amorf (Banks dan Greenwood, 1975). Unit kristal lebih tahan
terhadap perlakuan asam kuat dan enzim sedangkan amorf sifatnya labil
terhadap asam kuat dan enzim. Bagian amorf dapat menyerap air dingin
sampai 30% tanpa merusak struktur pati secara keseluruhan (Hodge dan
Osman, 1976). Sampai saat ini diduga amilopektin merupakan
komponen yang bertanggung jawab terhadap sifat-sifat kristal dari
granula pati (Banks et al., 1975).

c. Amilosa

Amilosa merupakan homoglikan D-glukosa dengan ikatan α-(1,4)


dari struktur cincin piranosa, yang membentuk rantai lurus umumnya
dikatakan sebagai linier dari pati. Meskipun sebenarnnya jika amilosa
dihidrolisa dengan β-amilase pada beberapa jenis pati tidak diperoleh
hasil hidrolisis yang sempurna (Banks et al., 1975). β-amilase
menghidrolisa amilosa menjadi unit-unit residu glukosa dengan
memutuskan ikatan α-(1,4) dari ujung non pereduksi rantai amilosa
menghasilkan maltosa (Muchtadi at al., 1988).

16
Suatu karakteristik dari amilosa dalam suatu larutan adalah
kecenderungan membentuk struktuk koil yang sangat panjang dan
fleksibel yang selalu bergerak melingkar. Struktur ini yang mendasari
terjadinya interaksi iod-amilosa membentuk warna biru, dan ini dapat
ditentukan kadarnya dengan mengunakan spektrofotometer pada panjang
gelombang 625 – 660 nm (Manner, 1979 di dalam La Ega, 2002).

d. Amilopektin

Amilopektin seperti amilosa juga mempunyai ikatan α-(1,4) pada


rantai lurusnya, serta ikatan β-(1,6) pada titik percabangannya. Ikatan
percabangan tersebut berjumlah sekitar 4% – 5% dari seluruh ikatan
yang ada pada amilopektin (Hodge dan Osman, 1976 ; Fennema, 1976).
Biasanya amilopektin mengandung 1000 atau lebih unit molekul
glukosa untuk setiap rantai. Berat molekul bervariasi tergantung
sumbernya. Amilopektin pada pati umbi-umbian mengandung sejumlah
kecil ester fosfat yang terikat pada atom karbon yang ke 6 dari cincin
glukosa (Greenwood dan Munro, 1979).
Dalam produk makanan amilopektin bersifat merangsang
terjadinya proses mekar (puffing) dimana produk makanan yang berasal
dari pati yang kandungan amilopektinnya tinggi akan bersifat ringan,
porus, garing dan renyah. Kebalikannya pati yang mengandung amilosa
yang tinggi, cenderung menghasilkan produk yang keras, pejal karena
proses mekarnya terjadi secara terbatas (Muchtadi at al., 1988).

e. Gelatinisasi

Menurut Winarno (1995) peningkatan volume granula pati yang


terjadi di dalam air pada suhu 55 °C – 65 °C merupakan pembengkakan
yang sesungguhnya dan setelah pembengkakan ini granula pati dapat
kembali pada kondisi semula. Granula pati dapat dibuat membengkak
luar biasa tetapi bersifat tidak dapat kembali pada kondisi semula.
Perubahan tersebut dinamakan gelatinisasi. Suhu pada saat granula pati
pecah disebut suhu gelatinisasi.

17
Pada proses gelatinisasi terjadi pengrusakan ikatan hidrogen
intramolekuler. Ikatan hidrogen ini berfungsi untuk mempertahankan
struktur integritas granula. Terdapatnya gugus hidroksil yang bebas akan
menyerap molekul air, sehingga selanjutnya terjadi pembengkakan
granula pati (Greenwood dan Murno, 1979). Winarno (1995)
menambahkan karena jumlah gugus hidroksil dari molekul pati sangat
besar maka kemampuan menyerap air juga sangat besar. Terjadinya
peningkatan viskositas disebabkan oleh air yang sebelumnya berada di
luar granula pati dan bebas bergerak sebelum suspensi dipanaskan, kini
berada dalam granula dan tidak dapat bergerak bebas lagi. Kenaikan dan
penurunan viskositas selama gelatinisasi dapat diikuti dengan
menggunakan Brabender amilograph.
Mekanisme gelatinisasi terdiri dari tiga tahap (Fennema, 1996).
Tahap pertama air berpenetrasi secara bolak-balik ke dalam granula,
kemudian pada suhu 60 – 85 °C granula akan mengembangkan dengan
cepat dan polimer yang lebih pendek akan larut, sehingga pati
kehilangan sifat birefrigentnya. Keperluan air pada suhu awal
gelatinisasi tergantung pada jenis patinya. Proses pembengkakan granula
oleh pemanasan akan menyebabkan perubahan yang nyata dalam
viskositas dan sifat reologi dari pasta. Hal tersebut merupakan
karakteristik dari masing-masing jenis pati (Damardjati, 1987).
Sedangkan pada pati mentah, jika dimasukan ke dalam air dingin,
granula pati akan menyerap air dan membengkak. Namun demikian
jumlah air yang terserap dan pembengkakannya terbatas. Pembengkakan
granula tersebut dapat kembali ke pada kondisi semula (Winarno, 1997).
Pada tahap kedua, jika suhu tetap naik, maka molekul-molekul pati
akan terdifusi keluar granula (Fennema, 1996). Selama gelatinisasi
suspensi yang tadinya menyerupai susu menjadi berkurang daya tembus
sinarnya dan berubah menjadi transparan. Pembengkakan menyebabkan
hilangnya birfringence dan menstimulasi terbentuknya larutan yang
kental. Meskipun pati telah kehilangan birefringence dan telah terjadi

18
pembengkakan maksimum, tetapi tingkat pengentalan belum sempurna,
karena penambahan panas akan meningkatkan kekentalan.
Pada tahap ketiga pengembangan granula-granula terjadi secara
cepat akibat dari molekul-molekul pati yang terdispersi keluar granula
(McCormick et al., 1991). Suhu gelatinisasi tergantung pada konsentrasi
pati. Semakin kental larutan, suhu tersebut semakin lambat tercapai,
sampai suhu tertentu kekentalan tidak bertambah, bahkan kadang-kadang
turun (Winarno, 1997). Schoch (1969) mengemukakan mekanisme
pembentukan gel dan retrogradasi diakibatkan oleh terbentuknya ikatan
hidrogen antara gugus OH terutama pada rantai amilosa dengan molekul
amilosa yang lain. Pada proses oksidasi gugus OH ini mencegah ikatan
hidrogen mengisi rantai polimer dan gel yang dihasilkan mempunyai
konsistensi lembek dan tekstur yang lunak dibandingkan pati alami.
Pati dengan amilopektin yang tinggi akan lebih sukar membentuk
gel, karena percabangan amilopektin akan mencegah terjadinya ikatan
antar molekul yang dibutuhkan utuk pembentukan gel, sedangkan pati
dengan amilosa tinggi pembentukan ikatan antar molekul lebih mudah,,
sehingga terbentuklah struktur dua dimensi yang disebut gel (Osmon,
1972). Terjadinya struktur dua dimensi akan mengakibatkan air bebas
akan terperangkap dalam jaringan tersebut.
Selain konsentrasi, pembentukan gel dipengaruhi oleh pH larutan.
Pembentukan gel optimum pada pH 4 – 7. pada pH yang terlalu tinggi
pembentukan gel berlangsung dengan cepat tetapi juga cepat menurun.
Sedangkan bila pH terlalu rendah, gel terbentuk secara lambat dan
apabila pemanasan diteruskan viskositas akan kembali turun.

D. EKSTRUSI

1. Proses Ekstrusi

Ekstrusi bahan pangan adalah suatu proses dimana bahan pangan


dipaksa mengalir di bawah pengaruh suatu lebih kondisi operasi seperti
pencampuran (mixing), pemanasan dengan suhu tinggi dan pemotongan
(shear) melalui suatu cetakan yang dirancang untuk membentuk hasil

19
ekstrusi yang bergelembung kering (puff dry) dalam waktu singkat. Fungsi
pengekstrusi meliputi gelatinisasi atau pemasakan, pemotongan molekuler,
pencampuran, sterilisasi, pembentukan dan penggelembungan atau
pengeringan (puffing atau drying) (Muchtadi et al., 1988).
Sementara fungsi dari ekstrusi meliputi gelatinisasi/pemasakan,
pemotongan molekuler, pencampuran, sterilisasi, pembentukan, dan
pengembungan (puffing atau drying). Kombinasi satu atau lebih fungsi-
fungsi tersebut di atas merupakan hal yang tidak terpisahkan dalam proses
ekstrusi. Proses keseluruhan pada ekstrusi tidak dapat dipisahkan karena
adanya sejumlah interaksi yang saling berkaitan antara kondisi yang akan
terjadi sebelum dan sesudah ekstrusi (Muchtadi et al., 1988).
Alat pemasak ekstruder umumnya terdiri atas tiga bagian yaitu
bagian pengisian, kompresi dan pengemasan. Mekanisme alat tersebut
sangat sederhana dimana bahan dimasukan ke dalam bagian pengisi, pada
tahap ini udara didorong keluar dan bahan dimampatkan hingga masif, dan
mengisi seluruh ruangan screw dan barrel. Kemudian bahan didorong ke
dalam bagian kompresi. Di tempat ini bahan mendapat tekanan cukup
tinggi. Tekanan timbul karena terjadi penyempitan ruangan, sehingga
energi mekanis dan gaya geser terhadap bahan meningkat. Keadaan
demikian berakibat pada suhu bahan mulai naik. Di bagian dalam alat
pemanasan, kecepatan geser (shear rate) sangat tinggi yang disertai
kenaikan suhu yang cepat. Suhu mencapai maksimum sebelum bahan
disemprotkan melalui lubang kecil atau lubang pelepas di ujung selubung
(die). Kenaikan suhu yang cukup tinggi dapat menyebabkan bahan
mengalami perubahan fisiko kimia (Dixon, 1981).
Bahan yang telah mengalami pemasakan didorong keluar melalui
die. Pada saat terlepasnya bahan di ujung die, bahan mengalami perubahan
tekanan yang demikian besar dalam waktu yang singkat. Keadaan
demikian menyebabkan bahan menjadi mekar, kering dengan tekstur
produk yang berongga. Pemotongan dan pembentukan makanan dilakukan
segera pada saat bahan keluar dari ujung die (Muchtadi et al, 1988).

20
Dalam proses ekstrusi, adanya aliran adonan adalah karena
pengaruh tekanan shear. Tekanan shear tersebut tergantung pada
kecepatan shear dan viskositas bahan. Pada bahan pangan, karena
mengandung senyawa-senyawa biopolimer seperti pati dan protein, sifat
alirannya mengikuti kaedah non-newtonian (Harper, 1981). Selanjutnya
disebutkan ekstrusi biopolimer sangat dipengaruhi oleh komposisi dan
jenis biopolimernya.
Menurut Harper (1981), agar diperoleh kerenyahan dan
pengembangan produk yang relatif lebih baik, ekstrusi bahan yang berasal
dari pati-patian dilakukan pada suhu optimum 170°C dengan tekanan 438
kPa (70 psi) sampai 5516 kPa (800 psi). Kecepatan ulir digunakan
sebaiknya 300 rpm dalam waktu sekitar 10 detik. Tekanan pada proses
ekstrusi bervariasi antara 70-800 psi atau lebih, sesuai dengan keperluan.
Tekanan ini dipengaruhi oleh bentuk ulir pada ekstruder, jumlah dan tipe
kepala ekstruder, kecepatan berputarnya ulir dan arus listrik (Smith, 1981).
Bahan yang digunakan pada proses ekstrusi berbentuk butiran kecil
yang berukuran 1-3 mm. untuk bahan yang berbentuk tepung, hasilnya
kurang memuaskan karena jika ukuran partikel terlalu halus produk yang
dihasilkan hangus dan partikel bahan tidak mengalami pemadatan yang
sempurna serta kurang mengembang (Ang et al., 1980). Hasil pemasakan
proses ekstrusi adalah gelatinisasi pati, denaturasi protein, serta inaktivasi
enzim yang terdapat pada bahan mentah (Harper, 1981). Proses ini diikuti
oleh pengembangan eksotermik yang dibentuk pada cetakan (Smith,
1981).
Kadar air bahan baku memegang peranan penting pada proses
ekstrusi, karena menentukan sifat plastisitas dan elastisitas produk, yang
merupakan ukuran mutu hasil olahan. Biasanya kadar air bahan baku
berkisar antara 10% - 40% (Harper, 1981).

2. Ekstruder

Ekstruder adalah alat untuk melakukan proses ekstrusi (Harper,


1981). Alat ekstrusi dapat digolongkan menurut penggunaannya yang

21
umum seperti pengekstrusi pasta dan collet (snack, makanan kecil). Jenis
alat ekstrusi dapat digolongkan menurut kelembaban selama processing.
Ekstrusi dapat dibagi menjadi tiga golongkan berdasarkan kadar air bahan
yang dimasukan. Ketiga jenis ekstruder tersebut adalah low ekstruder
dengan kadar air bahan sampai 20%, intermediet ekstruder dengan kadar
air bahan 20-30%, dan high ekstruder dengan kadar air bahan 30-40%
(Muchtadi et al., 1988). berdasarkan jumlah ulirnya, ekstruder terbagi atas
ekstruder berulir tunggal dan ekstruder berulir ganda.
Ekstruder berulir tunggal banyak digunakan dalam pengembangan
produk baru seperti makanan ringan, makanan bayi, makanan ternak,
breakfast cereal, atau produk modifikasi pati (Mercier dan Feillet, 1975).
Selain itu, juga digunakan untuk menghasilkan produk pasta, cookies, atau
permen (Linko et al., 1981).
Harper (1981) membagi ekstruder berulir tunggal yang biasa
digunakan dalam industri pangan ke dalam lima kelompok, yaitu : (1)
ekstruder pasta yang biasa digunakan dalam pembuatan macaroni ; (2)
ekstruder pembentuk dengan tekanan dengan tekanan tinggi untuk
membentuk adonan dan memadatkan adonan yang telah digelatinisasi ; (3)
ekstruder pemasak dengan shear rendah untuk adonan dengan kadar air
tinggi ; (4) ekstruder collet untuk membuat pangan berbentuk butiran yang
bergelembung kering ; (5) ekstruder pemasak dengan shear tinggi serupa
dengan ekstruder collet, hanya pemakaiannya lebih luas untuk cereal
bergelembung, dan pakan ternak.
Menurut Smith (1981) ekstruder berulir tunggal dibagi atas tiga
bagian yaitu Low Shear, Medium Shear, High Shear. Jenis-jenis ekstruder
tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.

22
Tabel 5. Klasifikasi Ekstruder Ulir Tunggal
Kategori Low Shear Medium Shear High Shear
Kadar Air Produk (%) 25 – 75 15 – 30 5–8
Densitas produk (g/ 100ml) 32 – 80 16 – 51 3.2 – 20
Suhu barrel maksimum (°C) 20 – 65 55 – 145 110 – 180
Tekanan barrel maksimum 6 – 63 21 – 42 42 – 84
(kg / cm2)
Kecepatan ulir (rpm) 100 200 200
Produk khas Produk pasta Roti, makanan Snack,
daging ternak breakfast
cereal
(Smith, 1980)
Ekstruder ulir tunggal tidak memiliki sumber panas berupa steam
(uap panas) untuk memanaskan jaket pemanas, dan semua produk
dipanaskan dengan gaya friksi secara mekanik atau gaya gesek (Harper,
1981). Ekstruder tunggal ini bisa memproses bahan-bahan baku yang
mempunyai kadar airnya 10% - 40%, tergantung pada campuran dari
formula bahan.

Gambar 3. Bagian-Bagian Penting Alat Ekstruder Ulir Tunggal

Gambar 3. Bagian-Bagian Penting Alat Ekstruder Tunggal


(Muchtadi et al., 1988)

Ekstruder kering adalah salah satu ekstruder single screw (dengan


ulir tunggal) yang tidak memperhatikan pengkondisian pada bahan awal.
Semua panas yang dihasilkan pada ekstruder kering adalah berasal dari

23
energi mekanik yang disalurkan kepada bahan mentah melalui ulir, panas
yang terperangkap di dalam barrel dan dinding barrel ekstruder (Buhler,
2006).
Pada bagian ulir yang bertekanan masuk ke dalam tengah barrel
terdapat besi yang menekan dan mengisi ruangan pada barrel. Hal tersebut
akan meningkatkan gesekan sepanjang ulir dan menyebabkan berputarnya
produk ke bawah saluran pada barrel. Perputaran tersebut dikombinasikan
dengan gesekan yang dibentuk antara bahan yang melewati daerah celah
yang kosong diantara besi (plate) yang menekan dan permukaan dalam
pada barrel, hal tersebut akan meningkatkan suhu di dalam barrel. Selama
proses ekstrusi selama 20 sampai 30 detik, bahan dimasak dengan suhu
yang tinggi dan gesekan yang kuat, sehingga struktur biopolimer pada
bahan terdenaturasi membentuk pasta kental yang bergerak keluar menuju
die (Buhler, 2006).
Ketika bahan keluar pada die ekstruder, tekanan secara langsung
muncul di dalam produk, menyebabkan air dalam produk berubah menjadi
steam (udara panas) dan membuat produk mengembang. Ekstruder yang
digunakan pada penelitian kali ini dapat dilihat pada Gambar 3.

E. PERUBAHAN BAHAN SELAMA PROSES EKSTRUSI

Selama proses ekstrusi berlangsung, terjadi perubahan-perubahan sifat


bahan baku, seperti perubahan fisiko kimia, nilai gizi dan organoleptiknya,
khususnya pada karbohidrat dan protein. Perubahan sifat–sifat lemak kurang
mendapat perhatian karena kadar lemak bahan baku yang diolah ekstrusi
umumnya sangat kecil. Namun, pengaruh lemak terhadap hasil ekstrusi sangat
besar (Faubion et al., 1982). Perubahan struktur akibat pengolahan secara
ekstrusi dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti suhu, kadar air, amilosa dan
lemak dalam butiran pati.

a. Ekstrusi Pati

Dalam pengolahan produk-produk ekstrusi sering dilakukan


penambahan pati dalam bentuk tepung, baik itu pati segar maupun pati

24
yang telah mengalami berbagai modifikasi. Pati yang masih segar
cenderung untuk mengembang atau mekar dengan mudah, sehingga
menghasilkan produk ekstrusi yang mempunyai struktur lebih terbuka,
porus dan bestruktur garing (Muchtadi et al., 1988).
Pada proses ekstrusi, komponen pati mengalami gelatinisasi.
Tingkat gelatinisasinya tergantung pada sumber bahan baku dan kondisi
proses ekstrusi. Gelatinisasi pati disebabkan oleh suhu, tekanan dan
gesekan. Tingkat gelatinisasi meningkat pada kadar air bahan yang rendah,
dan gesekan yang semakin tinggi serta waktu dan suhu proses yang
semakin tinggi (Smith, 1981). Pati yang mengalami gelatinisasi akan
mudah cepat terdekstrusi akibat tekanan dan gaya geser yang cukup tinggi
(Williams, 1977).
Pati mempunyai peranan penting bagi produk-produk ekstrusi,
selain karena berpengaruh pada tekstur juga pada daya awetnya. Pengaruh
itu terutama disebabkan rasio amilosa dengan amilopektin dalam pati.
Amilopektin diketahui bersifat merangsang terjadinya proses mekar
(puffing), sehingga produk ekstrusi yang berasal dari pati-patian dengan
kandungan amilopektin yang tinggi akan berifat ringan, porus, garing, dan
renyah. Sedangkan pati dengan amilosa tinggi seperti pati yang berasal
dari umbi-umbian cenderung menghasilkan produk yang keras dan pejal
karena proses pengembangan terbatas (Muchtadi et al., 1988).
Tekstur garing atau renyah pada produk ekstrusi dipengaruhi oleh
berbagai faktor. Jika kita ibaratkan ekstruder merupakan suatu reaktor
dengan aliran tidak terputus (kontinyu) serta mempunyai kelembaban yang
rendah. Molekul-molekul makanan yang besar seperti karbohidrat dan
protein mengalami denaturasi dan menyusun diri sepanjang aliran laminar
yang terjadi di dalam ulir pengekstrusi dan cetakan. Pada suhu semakin
tinggi, molekul-molekul ini membentuk ikatan silang menjadi struktur
yang telah berubah yang dapat mengembang bila dikeluarkan dari cetakan.
Suatu sifat molekul terdenaturasi yang linier akan menambah
kemampuannya untuk disusun dan dibentuk menjadi struktur yang berlapis
(Muchtadi et al., 1988).

25
Pengikatan silang antara molekul-molekul yang berdapingan
mempengaruhi daya tahan strukrtur yang telah dibentuk degradasi lainnya
selama proses atau bila produk tersebut dikonsumsi. Ikatan hidrogen dan
hidrofobik yang lemah dapat pecah dengan mudah oleh air, sedangkan
ikatan kovalen dan ionik yang lebih kuat mengebabkan produk lebih tahan
terhadap perpecahan, sehingga mampu mempertahankan teksturnya.
Kerusakan molekul-molekul makan yang besar disebabkan oleh
pemotongan dapat mengurangi kemampuan untuk mengembang, menaikan
kelarutannya dalam air dan membentuk tekstur yang lebih lunak. Tekstur
yang dibentuk dari proses ekstrusi dipengaruhi oleh kondisi pemotongan
di dalam ulir pengekstrusi dan di dalam cetakan, jenis bahan mentah juga
membutuhkan waktu dan suhu untuk menyusun molekul-molekul dengan
ikatan-ikatan kimia yang saling bersilang (Muchtadi et al., 1988).

b. Protein

Proses ekstrusi dengan suhu tinggi dapat menyebabkan denaturasi


protein. Akibat denaturasi, ikatan peptide lebih mudah dihidrolisis oleh
proteolitik, sehingga kelarutan protein akan tinggi (Smith, 1981). Setelah
proses ekstrusi protein tidak berbentuk butiran lagi karena pecah dan
berdifusi dengan pati selama pemanasan. Dari hasil pengamatan
mikroskopis terlihat protein mempengaruhi kerenyahan karena
terbentuknya matriks protein. Dari hasil penelitian Faubion dan Hoseney
(1982), terlihat dengan pengembangan produk menjadi rendah. Namun
demikian pengaruh protein tergantung pada tipe dan konsentrasinya.
Semakin besar ukuran diameter cetakan, indeks kelarutan protein
meningkat sedangkan nilai nutrisi protein menurun (Linko et al., 1981).
Menurut Bjorck dan Asp (1982) faktor yang dapat menurunkan kandungan
protein adalah semakin tinggi suhu pemasakan dan akibat dari penurunan
kadar air pada saat pemasakan (proses ekstrusi).
Perubahan nilai gizi melalui proses ekstrusi mendapat perhatian para
ahli karena nilai gizi protein nabati dapat ditingkatkan melalui proses
ekstrusi. Zat-zat anti gizi seperti tripsin inhibitor, saponim dan urease

26
dapat dihilangkan jika diproses dengan ekstrusi (Smith, 1981). Protein
yang menyususn enzim dari inhibitor tersebut akan mengalami denaturasi
selama pemanasan.

c. Lemak

Umumnya peranan lemak dalam proses ekstrusi kurang dapat


perhatian para peneliti. Hal ini mungkin disebabkan karena bahan baku
makanan ekstrusi pada umumnya memiliki kadar lemak yang rendah.
Kandungan lemak yang tinggi dapat mempengaruhi pengembangan
produk yang dihasilkan. Lemak akan berikatan dengan molekul amilosa
atau amilopektin, sehingga dapat mengambat pengembangan (puffing) dan
mengurangi sifat renyah dari produk (Muchtadi et al., 1988). Namun
lemak akan berkurang pada proses pemasakan karena adanya peningkatan
suhu pemasakan.

d. Vitamin

Penurunan kadar vitamin terutama vitamin B dan vitamin C yang


peka terhadap pemanasan pasti terjadi pada proses ekstrusi (Winarno,
1997). Salah satu metode yang baik untuk memproduksi produk ekstruder
dengan kaya vitamin adalah dengan cara fortifikasi vitamin setelah produk
ekstrusi tersebut selesai dibuat (Bjorck dan Asp, 1982).

F. MAKANAN SNACK

Nama dari snack adalah nama lain dari produk makanan ringan yang
sering dikonsumsi pada saat waktu luang. Sedangkan makanan ringan menurut
SNI 01-2886-2000 adalah produk pangan yang dibuat melalui proses ekstrusi
dari bahan baku tepung dan atau pati produk pangan dengan penambahan
bahan makanan lain serta bahan tambahan makanan lain yang diizinkan
dengan atau tanpa melalui proses penggorengan. Berbagai jenis snack yang
berkembang yaitu snack manis (Sweet Snacks), snack asin (Salted Snacks),
Snack yang dikenal menyehatkan (Trends in Healthy Snacking) , Snack yang

27
dikenal oleh anak-anak dan remaja (Trends in Kids and Teen Snacks)
(Anonimd, 2006).

G. DESIGN EXPERT VESRSION 7 (Design of Experiment Softwarwe)

Program ini adalah suatu program rancangan penelitian yang bertujuan


untuk membantu dalam suatu rancangan penelitian. Program ini sering
digunakan untuk mengolah data statistik sekaligus mempermudah rancangan
metodologi atau perlakuan pada penelitian, sehingga menemukan suatu
produk atau kondisi proses yang optimal.
Program Design Expert version 7 ini adalah suatu program yang
mempunyai berbagai metode rancangan percobaan dan analisis untuk data
statistik. Metode rancangan penelitian tersebut terdiri dari desain faktorial,
Response surface Methods (RSM), Mixture design techniques, dan Combined
designs. Desain faktorial merupakan suatu rancangan percobaan untuk
mengidentifikasi faktor perlakuan yang penting sekali dan berpengaruh pada
suatu penelitian. Response surface Methods (RSM) yaitu suatu metode
rancangan percobaan untuk menemukan rancangan proses yang ideal.
Mixture design techniques yaitu untuk mencari formulasi yang optimal pada
berbagai formula yang dibuat, D-optimal Combine design yaitu suatu metode
pada program DX 7 yang bertujuan untuk menggabungkan (combine)
variabel-variabel proses, campuran komponen dan faktor yang berpengaruh
dalam satu desain, sehingga dapat menghasilkan suatu kondisi proses dan
formula yang optimal (Anonim c, 2005).
Metode rancangan percobaan D-Optimal Combine yaitu gabungan
antara RSM (Response Surface Methodology) dengan Optimal Combine. Pada
rancangan RSM D-Optimal Cobine ini berfungsi untuk menemukan kondisi
proses ideal dan formula yang optimal. Untuk mecapai kondisi tersebut harus
memperkirakan respon produk atau parameter produk yang menjadi ciri yang
penting serta dapat meningkatkan mutu produk. Respon yang dipilih tersebut
akan dijadikan input data yang selanjutnya diproses oleh program rancangan
RSM D-Optimal Cobine, sehingga membentuk gambaran dan kodisi proses
yang optimal (Anonim c, 2005).

28
H. RESPONSE SURFACE METHODOLOGY

Response Surface Methodology (RSM) adalah suatu metode statistik


yang digunakan oleh peneliti untuk membantu dalam memecahkan beberapa
masalah yang berhubungan dengan proses yang ilmiah atau ketehnikan.
Aplikasi RSM telah banyak digunakan dalam berbagai penelitian di dunia
industri. RSM juga digunakan dalam berbagai bidang penelitian seperti dalam
bidang kimia, tehnik, biologi, agronomi, tekstil, industri pangan, pendidikan,
psikologi dan lain sebagainya (Myers, 1971).
Pada racangan penelitian yang menggunakan metode RSM faktor
perlakuan pada penelitian dibuat menjadi variabel yang dapat mempengaruhi
karakteristik hasil penelitian. Semua karakteristik yang dapat menentukan
keberhasilan penelitian disebut respon. Prinsip dari RSM adalah penggunaan
perhitungan matrik matematika untuk menenetukan persamaan matematika
setiap respon (Myers, 1971).

29
III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

1. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jagung


jenis QPM (Quality Protein Maize) varietas Srikandi Putih 1 dengan umur
panen 105 – 110 hari dan kacang hijau varietas betet dengan umur panen 60
hari yang diperoleh dari Balai Penelitian Biji-bijian dan Umbi-umbian
Malang serta jagung hibrida varietas A4 sebagai pembanding. Bahan-bahan
yang digunakan untuk analisis kimia produk diperoleh dari stok
laboratorium di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB dan toko
kimia di sekitar Bogor.

2. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Mesin


Ekstruder buatan lokal dengan spesifikasi alat pada Tabel 7 dan dilihat pada
Gambar 4, baskom, oven, hammer mill, cawan alumunium, plastik
Polypropilene tebal dengan ketebalan 2.8 ×10-2 mm, silica gel, cawan
porselen, desikator, neraca analitik, labu kjeldahl, pipet mohr, pipet tetes,
botol akuades, batu didih, tissue, petroleum eter, kertas saring, kapas bebas
lemak, alat sokhlet, labu lemak, gelas ukur, gelas pengaduk, tabung reaksi,
spektrofotometer UV-Vis, Texture Analyzer, sentrifus dan alat-alat untuk uji
organoleptik.

Tabel 6. Spesifikasi Alat Ekstruder


Jenis Ekstruder Single extruder
Barrel material Stainless less
Motor Teco 25 HP for Screw
Vema 1 HP for knife
Baldor 0.25 HP for material feeding
Kapasitas 65 sampai 75 kg/jam
Elemen pemanas Heater 1250 watt (60 °C - 80 °C)
Panel SS 430 automatic
Putaran Ulir 1400 rpm

30
Gambar.5 Single Ekstruder

Gambar 4. Single Extruder

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini terdiri dari enam tahap, yaitu tahap persiapan bahan,
penentuan rancangan penelitian, formulasi (penentuan formula awal),
pembuatan produk awal, analisis mutu produk awal, pengujian statistik dengan
menggunakan uji Anova, Duncan, dan Response Surfase Methodology D-
Optimal Combine, pemilihan produk yang terbaik dan tahap analisis fisik serta
kimia produk terbaik. Tahapan penelitian tersebut dapat dilihat pada Gambar
5.
Tahap persiapan bahan baku meliputi persiapan bahan baku utama
yaitu jagung Quality Protein Maize dan kacang hijau varietas betet. Persiapan
bahan baku utama yaitu jagung kering dengan kadar air 12% digiling,
sehingga menjadi grits sedangkan untuk kacang hijau dilakukan perendaman,
penyosohan, pengeringan dan penggilingan.

31
Persiapan Bahan Baku

Ditentukan faktor perlakuan penelitian

Penentuan formula awal (formulasi) menggunakan


Design Expert V.7

Dibuat produk ekstrusi hasil formula yang direkomendasikan oleh


program Design Expert V.7

Diuji organoleptik (uji hedonik skor tekstur dan kelengketan)


dan fisik (uji tekstur dan derajat pengembangan)

Data diuji statistik dengan uji Anova,


dan uji Duncan

Data diuji Anova untuk proses optimasi


oleh program Design Expert V.7

Dianalisis hasil (Out put) data analisis


dari program Design Expert V.7

Dioptimasi dengan program Design Expert V.7


dan pemilihan formula optimal

Produk terpilih

Dianalisis kimia, fisik dan derajat pengembangan pada


produk yang terpilih (optimal)

Gambar 5. Skema alur metode penelitian

32
a. Proses Persiapan Bahan Baku

Tahap persiapan bahan meliputi sortasi dari bahan utama yaitu


jagung dan kacang hijau, kemudian penggilingan bahan utama, sehingga
bahan berbentuk grits dengan menggunakan alat hammer mill. Jagung
digiling dengan menggunakan hammer mill, sehingga berbentuk grits.
Sementara kacang hijau sebelum dihancurkan oleh hammer mill, terlebih
dahulu direndam dengan air selama satu malam, sehingga aleuronnya
mudah terkelupas, kemudian digiling basah menggunakan alat penggiling
grinder. Setelah itu dilakukan pemisahan kulit ari. Untuk kacang hijau
yang sudah terpisah dengan kulit ari dilanjutkan kepada proses
pengeringan menggunakan oven dengan suhu 50 °C selama 6 jam. Kacang
hijau kering digiling dengan Hammer mill, sehingga didapatkan butiran
(grits) kacang hijau. Jagung Quality Protein Maize yang digunakan pada
penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Jagung Quality Protein Maize

b. Penentuan Komposisi Formula dan Suhu Awal Proses

Faktor utama yang menjadi dasar serta sekaligus menjadi faktor


perlakuan dan menjadi kendala (batasan) pada penelitian ini adalah
komposisi bahan atau formula bahan yang dicampur dan suhu awal proses.
Komposisi bahan untuk jagung yang dilakukan yaitu mulai 0% sampai
100%, begitu juga kacang hijau yaitu sebesar 0% sampai 100%. Setiap

33
formula dibuat dalam satu kilogram. Sedangkan untuk faktor pengaturan
suhu pemanas atau heater ekstruder dibatasi yaitu berkisar antara 60 ºC –
70 ºC.

c. Penentuan Formula Awal (Formulasi)

Proses formulasi yaitu menggunakan program Design Expert


version 7 dengan metode rancangan percobaan RSM (Response Surface
Methodology) D-optimal combined. Metode ini akan diperoleh suatu
formula optimal yang sesuai dengan optimasi yang diinginkan pada
penelitian kali ini. Sebelum mendapatkan formula terpilih atau optimal
program DX 7 ini secara otomatis memformulasikan formula awal yang
digunakan sebagai dasar dari proses optimasi, maka dihasilkan empat
belas formula. Rentang atau jarak antar formula awal yang dihasilkan
yaitu disesuaikan secara otomatis dengan batasan yang diberikan pada
saat input variabel yang tersedia pada pada program Design Expert
version 7.
Kempat belas formula tersebut dipilih oleh program Design Expert
version 7 secara acak sesuai dengan metode statistik atau rancangan
penelitian yang digunakan pada penelitian ini. Rancangan penelitian ini
menggunakan metode RSM D-Optimal Combine.

d. Pembuatan Produk Ekstrusi

Pertama kali semua bahan baik jagung dan kacang hijau ditimbang
sesuai dengan hasil formulasi awal yang dilakukan oleh program Design
Expert 7. Di samping itu mempersiapkan mesin ekstruder yaitu dengan
mengatur suhu aktual pada pemanas ekstruder sesuai dengan suhu setiap
formula yang disarankan yaitu antara 60 °C – 70 °C. Setelah suhu mesin
untuk proses sesuai dengan diharapkan, adonan dimasukan ke dalam
hoper (tempat masuknya bahan) lalu bahan atau adonan diproses di
dalam ulir ekstruder.
Berikut Gambar alur proses pembuatan produk ekstrusi pada
penelitian ini.

34
Kacang Hijau var betet
Jagung QPM kering dengan
kadar air 12% (d/b)
Direndam dengan air
(satu malam)

Digiling dengan
Dibersihkan grinder

Dipisahkan kulit
kacang hijau

Dikeringkan kacang
hijau tanpa kulit

Digiling dengan
hammer mill 10 mesh

FORMULASI

Proses Ekstrusi

Produk

Analisis fisik dan kimia

Gambar 7. Skema alur pembuatan produk ekstrusi

e. Pengujian Pada Setiap Produk Hasil dari Formulasi

Parameter mutu produk sekaligus menjadi respon data bagi data


statistik yang digunakan untuk menentukan rancangan model
matematika. Juga sekaligus memilih produk yang optimal. Respon atau
parameter mutu produk yang diujikan pada penelitian ini adalah nilai
hedonik terhadap tekstur dan kelengketan, kekerasan produk, dan derajat
pengembangan.

35
1. Uji Hedonik Tekstur dan Uji Hedonik Kelengketan Produk

Produk-produk yang dihasilkan setelah proses produksi pada


formulasi awal sejumlah 14 formula tanpa ulangan yang dapat dilihat
pada Tabel 7, dilanjutkan dengan uji organoleptik. Formula yang
dibuat dan diuji organoleptik sejumlah 14 formula. Uji organolepik
dilakukan dengan menggunakan uji hedonik tekstur dan hedonik
kelengketan dengan menggunakan taraf kesukaan 7, mulai dari
sangat tidak suka (1) sampai dengan sangat suka (7) dan dilakukan
oleh 32 orang panelis semi terlatih, work sheet yang digunakan dapat
dilihat pada Lampiran 1 dan Sheet yang dipakai untuk organoleptik
dapat dilihat pada Lampiran 2 dan Lampiran 3. Contoh yang diuji
adalah produk ekstrusi dengan tidak ditambahi bumbu atau flavour.

2. Uji Kekerasan Produk

Uji Kekerasan produk dilakukan dengan menggunakan


Texture Analyzer dengan 3 kali ulangan, pada setiap sampel produk.
Salah satu sampel diletakkan di bawah lengan penekan dengan berat
beban 25 kg. Produk berbentuk silinder, dan diletakkan pada posisi
horizontal dengan posisi produk tepat pada tengah-tengah probe
(ujung penekan) dengan probe berbentuk spherical dan ditekan
secara vertikal. Ketika bahan ditekan selama beberapa saat, sehingga
terbentuk grafik pada layar komputer. Melalui grafik selanjutnya
dilakukan perhitungan tingkat kekerasan bahan. Tingkat
kekerasan/tekstur produk dinyatakan dalam kg/mm/g atau kgf.
Texture Analayzer (TA.X2i) untuk pengukuran kekerasan
produk ekstrusi dengan pengaturan alat :
Pre Test Speed : 1 mm/s
Test Speed : 1 mm/s
Post Speed : 10 mm/s
Distance : 7.5 mm
Force : 100 g, Time = 5 s.

36
3. Derajat Pengembangan (Zullichem, 1975, dalam Linko et al.,
1981)

Pertama-tama diukur diameter dari die yang digunakan pada


mesin ekstruder, lalu diukur diameter produk yang dihasilkan.
Berikutnya data dimasukan ke dalam formula rumus yang ditentukan
dengan rumus :

Derajat pengembangan (%) = diameter produk (mm) x 100%


Diameter cetakan/die ekstruder (mm)
f. Optimasi Produk

Optimasi produk dilakukan setelah mendapatkan hasil analisis


awal yang diproses oleh program Design Expert 7 dengan rancangan
statistik RSM-D Optimal Combine. Hasil dari proses tersebut adalah
model matematika pada setiap respon. Model matematika tersebut akan
dijadikan dasar untuk optimasi poduk yang diinginkan.
Proses optimasi produk pada penelitian ini dilakukan dengan
melihat kecenderungan data hasil analisis awal dari mutu produk.
Namun, sebelum melihat data hasil analisis awal tersebut. Setiap respon
harus diseleksi dari terlebih dahulu melalui hasil analisis dari uji anova
oleh program DX7. Apakah berbeda nyata atau tidak, jika berbeda nyata
respon tersebut dapat dijadikan sebagai respon untuk optimasi. Nilai
komposisi bahan, suhu pada proses pengolahan, nilai hedonik dari
tekstur dan kelengketan, kekerasan dan derajat pengembangan produk
adalah sebagai dasar optimasi.
Sesuai dengan tema dari penelitian ini adalah pengembangan
produk berbasis jagung Quality Protein Maize. Maka kriteria produk
untuk penelitian ini adalah komposisi Jagung target minimal 50% dan
maksimal 100% dengan peringkat optimasi 5, komposisi kacang hijau
pada rentangan 0% sampai 50% dengan peringkat optimasi 3, suhu
proses 60 °C sampai 70 °C dengan peringkat optimasi 3, skor tekstur
maksimal pada rentang 3 untuk batas bawah dan nilai 6 untuk batas atas
dengan peringkat optimasi 5, skor kelengketan maksimal pada rentang 4

37
untuk batas bawah dan nilai 6 untuk batas atas dengan peringkat
optimasi 5, kekerasan dalam rentang 1523.7 kgf sampai 2500 kgf dengan
peringkat optimasi 5, dan derajat pengembangan 367.3% sampai 541%
dengan peringkat optimasi 3.

g. Analisis Sifat Fisik dan Kimia Produk Terbaik

Satu produk atau sampel terbaik yang ditentukan dari hasil


optimasi. Analisis yang dilakukan meliputi analisis proksimat (kadar air,
protein, lemak, abu, karbohidrat), derajat pengembangan dan derajat
gelatinisasi.

1. Kadar Air Metode Oven (AOAC, 1995)

Cawan alumunium dikeringkan dalam oven pada suhu 100 °C


selama ± 15 menit. Kemudian dinginkan dalam desikator selama 10
menit. Setelah didinginkan timbang dengan timbangan analitik, catat
beratnya (a gram). Sampel ditimbang ± 5 gram (x gram), lalu
dimasukan ke dalam cawan dan keringkan dalam oven pada suhu
1000C selama 3 jam, kemudian dinginkan (desikator) dan timbang
sampai beratnya tetap (y gram).

Kadar air (basis basah) = x – (y – a) x 100%


x

Kadar air (basis kering) = x – (y – a) x 100%


y–a

2. Kadar Abu Metode Pengabuan Kering (AOAC, 1995)

Cawan porselin dikeringkan pada temperatur 500 °C selama 1


jam dalam tanur, dinginkan dalam desikator kemudian timbang
secara analitik (w gram) dimasukan dalam cawan, panaskan / bakar
dengan pemanas listrik dalam ruang asap sampai dengan sampel
tidak berasap dan menjadi arang, Kemudian arang diabukan dalam
tanur sampai menjadi abu berwarna putih ± 500 °C selama 3 jam,

38
dinginkan dalam desikator selama 10 – 15 menit, timbang (x gram).
Pekerjaan dilakukan duplo.

Kadar abu (% basis basah) = (x – a) x 100%


w

3. Kadar Protein Metode Mikro-Kjedahl (AOAC, 1995)

Mula-mula bahan ditimbang dalam labu Kjedahl kemudian


ditambahkan 1.9 ± 0.1 g K2SO4, 40 ± 10 mg HgO, 2.0 ± 0.1 ml
H2SO4. Selanjutnya dengan penambahan batu didih, larutan
didihkan 1-1.5 jam sampai cairan menjadi jernih. Setelah larutan
didinginkan dan diencerkan dengan akuades, sampel didestilasi
dengan penambahan 8-10 ml larutan NaOH-Na2S2O3. Hasil
destilasi ditampung dengan erlenmeyer yang telah berisi 5 ml
H3BO3 dan 2-4 tetes indikator (merah metil dan alkohol dengan
perbandingan 2 : 1). Destilat yang diperoleh kemudian dititrasi
dengan larutan HCl 0.02 N hingga terjadi perubahan warna dari
hijau menjadi abu-abu. Hasil yang diperoleh adalah dalam total N,
yang kemudian dinyatakan dalam faktor konversi 6.25.

% Protein = (ml HCl x ml Blanko )N HCl x 14,007 x 100 x 6.25


mg sampel

4. Kadar Lemak Metode Soxhlet (AOAC, 1995)

Prosedur kerja yaitu menggunakan 5 g sampel yang sudah


dibungkus dengan kertas saring di alat Soxhlet, kemudian dietil
eter dituang ke dalam labu lemak. Selanjutnya direfluks selama 5
jam sampai pelarut yang turun kembali ke dalam labu lemak
berwarna jernih. Pelarut yang ada pada labu lemak didestilasi, labu
yang berisi hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 100
ºC sampai pelarut menguap semua (biasanya 1 jam). Setelah
didinginkan dalam desikator, labu lemak tersebut ditimbang
sampai memperoleh berat yang konstan. Berat lemak dapat
dihitung dengan rumus :

39
% Lemak = Bobot lemak (g) x 100%
Bobot sampel

5. Kadar Karbohidrat (by difference)

Penentuan kadar karbohidarat dilakukan secara by difference,


yaitu berat total produk dikurangi kadar air, kadar abu, kadar
protein dan kadar lemak
Kadar karbohidrat (%) = 100 % - (air + protein + abu + Lemak) %

6. Kadar Pati Metode Hidrolisis Asam (Apriyantono et al., 1989)

Prosedur penentuan kadar pati pertama 2 – 5 g sampel


(berupa bahan padat yang telah dihaluskan atau bahan cair) dalam
gelas piala 250 ml. Tambahkan 50 ml akohol 80% dan aduk selama
1 jam. Saring suspensi tersebut dengan kertas saring dan cuci
dengan air sampai volume filtrat 250 ml. Filtrat ini mengandung
karbohidrat yang terlarut dan dibuang.
Untuk bahan yang mengandung lemak, pati yang terdapat
sebagai residu pada kertas saring dicuci 5 kali dengan 10 ml eter.
Biarkan eter menguap dari residu, kemudian cuci kembali dengan
150 ml alkohol 10% untuk membebaskan lebih lanjut karbohidrat
yang terlarut.
Pindahkan residu secara kuantitatif dari kertas saring ke
dalam erlemeyer dengan cara pencucian dengan 200 ml air dan
tambahkan 20 ml HCl 25%. Tutup dengan pendingin balik dan
panaskan di atas penangas air sampai mendidih selama 2.5 jam.
Biarkan dingin dan netralkan dengan larutan NaOH 45% dan
encerkan sampai volume 500 ml. Saring kembali campuran di atas
pada kertas saring. Tentukan kadar gula yang dinyatakan sebagai
glukosa dan filtrat yang diperoleh. Penentuan glukosa seperti pada
penetapan atau penentuan pada gula pereduksi.

40
7. Derajat Gelatinisasi (Wooton et al., 1971)

Derajat gelatinisasi didefinisikan sebagai rasio antar pati


tergelatinisasi dengan total pati dari produk yang dihitung dengan
metode spektrofotometri dengan total pati dari produk yang
dihitung dengan metode spektrofotometri dengan mengukur
kompleks pati-iodin yang terbentuk dari suspensi contoh sebelum
dan sesudah dilarutkan dalam alkali.
Persiapan contoh dilakukan dengan menghaluskan produk
sampai 60 mesh, ditimbang sebanyak 1 gram dan didispersikan
dalam 100 ml air dalam waring blender selama 1 menit. Suspensi
ini kemudian disentrifus pada suhu ruang selama 15 menit dengan
kecepatan 3500 rpm. Supernatan diambil 0.5 ml secara duplo, lalu
masing-masing ditambah 0.5 HCl 0.5 M dan dijadikan 10 ml
aquades. Pada salah satu tabung duplo tersebut ditambahkan 0.1 ml
larutan iodium. Kemudian contoh diukur dengan spektrofotometer
pada panjang gelombang 600 nm.
Suspensi lain disiapkan dengan cara mendispersikan 1 gram
produk yang sudah dihaluskan pada 95 ml air dan ditambah 5 ml
NaOH 10 M. Suspensi dikocok selama 5 menit kemudian
disentrifus pada suhu ruang selama 15 menit dengan kecepatan
3500 rpm. Supernatan diambil 0.5 ml secara duplo, lalu masing-
masing ditambah 0.5 ml HCl 0.5 M dan dijadikan 10 ml oleh
aquades. Pada salah satu tabung duplo tersebut ditambahkan 0.1 ml
larutan iodium. Kemudian contoh diukur dengan spektrofotometer
pada panjang gelombang 600 nm. Sampel dibuat dua kontrol
sebagai perbandingan yaitu jagung QPM yang dijadikan sebagai
perbandingan dengan pati yang tergelatinisasi dengan pati bahan
yang tidak tergelatinisasi.
Pengamatan dilakukan sebagai berikut : (1) larutan bahan
yang ditambah HCl digunakan sebagai blanko untuk pati yang
tergelatinisasi; (2) Larutan bahan yang ditambah HCl dan larutan
iodium, digunakan sebagai larutan pati yang tergelatinisasi ; (3)

41
Larutan bahan yang ditambah KOH dan HCl sebagai blangko
untuk larutan total pati ; (4) Larutan yang ditambah KOH, HCl dan
Iodium sebagai larutan total pati.
Derajat gelatinisasi dapat dihitung dengan menggunakan
rumus :

X(%) = nilai absorbansi pati tergelatinisasi x 100 %


Nilai absorbansi total pati

Jadi derajat gelatinisasi adalah X%.

8. Analisis Nilai Energi (Almatsier dan Lisdiana, 2001)

Penentuan nilai energi maksimum melalui perhitungan


dapat dilakukan dengan menggunakan faktor Atwater (faktor
koreksi) menurut komposisi karbohidrat, lemak, protein, serta
nilai energi faal makanan tersebut.
Nilai energi = faktor Atwater × kandungan gizi bahan pangan

Energi = (4 kkal/g × kandungan karbohidrat) + (9 kkal/g ×


kandungan lemak ) + (4 kkal/g × kandungan
protein)

h. Uji Statistik

Uji data statistik dilakukan dengan pengujian anova beserta uji


lanjut Duncan mengunakan SPSS 12 dan uji RSM (response surface
methodology) D-Optimal Combine beserta optimasi menggunakan
program Design Expert version 7.

42
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PERSIAPAN BAHAN

Persiapan bahan yang baik untuk proses pembuatan ekstrusi merupakan


salah satu tahapan penelitian yang penting sekali. Jagung dan kacang hijau
digiling menjadi grits dengan menggunakan hammer mill, sehingga
menghasilkan bahan dalam bentuk butiran dengan ukuran 1 – 5 mm. Pada
proses ekstrusi, bahan yang digunakan berbentuk butiran kecil dengan
diameter 1 – 5 mm. Sementara bahan yang berbentuk tepung, hasilnya kurang
mengembang dibandingkan dengan bahan berbentuk grits. Ukuran partikel
yang terlalu halus seperti tepung dengan ukuran 60 mesh, menyebabkan
produk yang dihasilkan akan hangus dan partikel bahan tidak mengalami
proses pemadatan yang sempurna sehingga kurang mengembang (Ang et al.,
1980). Sementara perendaman pada kacang hijau dengan air bertujuan untuk
memudahkan dalam mengupas kulit ari dari kacang hijau tersebut. Proses alur
pembuatan produk dapat dilihat pada Gambar 7.

B. PENENTUAN FAKTOR PERLAKUAN PENELITIAN

Perlakuan yang menjadi dasar pembuatan produk ekstrusi pada


penelitian ini adalah komposisi campuran kedua bahan yaitu bahan utama
jagung QPM (Quality Protein Maize) dan kacang hijau varietas betet serta
kondisi proses atau suhu pemanas dari ekstruder (Heater Electric). Proses
formulasi dilakukan sesuai dengan tujuan dari penelitian ini yaitu
mendapatkan suatu produk ekstrusi campuran dari bahan jagung dan kacang
hijau dengan memiliki karakteristik organoleptik yang dapat diterima oleh
konsumen. Perlakuan proses formulasi pada penelitian ini salah satunya yaitu
formula produk dicampur dengan kacang hijau. Pencampuran tersebut
dikarenakan kacang hijau mempunyai kandungan pati yang cukup tinggi
dibandingkan kacang-kacang lainnya (Muchtadi dan Sugiyono, 1989),
sehingga dapat membantu pada proses karakterisasi produk ekstrusi atau

43
memberikan sifat puffing pada produk serta dapat menambah kerenyahan
(Muchtadi et al., 1988).

C. PENENTUAN FORMULA AWAL (FORMULASI)

Rancangan formulasi dibuat menurut rancangan metode penelitian yang


disarankan oleh metode RSM D-optimal combine. Pada program tersebut
dibutuhkan suatu batasan atau kendala yang menjadi dasar pembuatan formula
yang mewakili seluruh formula yang harus dibuat. Adapun kendala yang
digunakan pada penelitian ini disebut juga sebagai faktor perlakuan. Kendala
yang terdiri dari komposisi bahan dan suhu awal proses diduga dapat
mempengaruhi karakteristik produk yang diinginkan serta juga mempengaruhi
nilai dari semua respon (karakteristik) yang diujikan pada produk, sehingga
dapat mencapai nilai dari semua respon yang optimum (desirability yang
optimum).
Kendala tersebut juga akan menjadi variabel dari persamaan model
matematika yang didapat dari analisis anova atau uji sidik ragam serta
diharapkan semua model matematika dari semua uji respon yang dilakukan
dapat berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap formula yang dibuat, sehingga
dapat menentukan nilai salah satu respon atau parameter tertentu pada produk
terpilih.
Faktor perlakuan yang digunakan pada penelitian ini adalah formula
bahan yang terdiri dari bahan utama yaitu jagung Quality Protein Maize dan
kacang hijau varietas betet serta pengaturan suhu pemanas ekstruder atau suhu
awal proses pemasakan. Semua faktor perlakuan tersebut dibuat dalam
variabel tertentu yang disesuaikan secara otomatis oleh program Design
Expert version 7. Untuk komposisi jagung digunakan variabel A, kacang hijau
digunakan variabel B dan suhu digunakan variabel suhu atau C.
Gambaran dan hasil evaluasi rancangan formulasi dari desain rancangan
penelitian dengan menggunakan program Design Expert 7 dapat dilihat pada
Lampiran 11. Menunjukkan jenis rancangan statistik yang digunakan adalah
Combined dan menggunakan rancangan penelitian D-optimal. Proses ekstrusi

44
yang harus dilakukan 14 kali proses dengan 14 formula dan diatur pada suhu
awal pemanasan ekstruder antara 60 °C - 70 °C.
Ke empat belas formula tersebut digunakan sebagai wakil dari
keseluruhan formula yang harus dibuat, dimana jumlah formula tersebut
merupakan jumlah formula paling minimum yang digunakan untuk
mendapatkan satu formula produk ekstrusi yang optimum. Hasil rancangan
formula dapat dilihat pada Tabel 7. Sesuai dari tujuan penelitian ini adalah
untuk menghasilkan formula yang optimum dari produk ekstrusi di dalam
aspek skor tekstur, skor kelengketan, kekerasan (tekstur), dan derajat
pengembangan, sehingga dapat diterima oleh konsumen.
Hasil dari semua respon yang berpengaruh nyata terhadap formua awal
yang dibuat dan yang diujikan pada produk ekstrusi tersebut selanjutnya
dioptimasi, sehingga menghasilkan formula optimal. Hal tersebut karena
respon yang diujikan merupakan karakteristik yang terdapat pada produk
ekstrusi. Menurut Guy (2001) karakteristik produk ekstrusi dari snack adalah
tekstur yaitu renyah. Karakteristik produk ekstrusi tersebut akan memberikan
gambaran seberapa besar tingkat penerimaan konsumen.

Tabel 7. Formula Awal Produk Ekstrusi


Suhu Awal
Pemanasan
Kacang
Formula Jagung Ekstruder
Hijau
(%) (Heater
(%)
Electric)
( °C)
1. 100 0 60
2. 50 50 60
3. 100 0 62.5
4. 75 25 62.5
5. 100 0 65
6. 50 50 65
7. 75 25 67.5
8. 100 0 70
9. 50 50 70
10. 0 100 60
11. 25 75 62.5
12. 0 100 65
13. 25 75 67.5
14. 0 100 70

45
Out put dari proses analisis untuk uji organoleptik dan uji fisik produk
yang diolah oleh rancangan statistik RSM D-Optimal Combine adalah suatu
model matematika berbentuk polinomial yang menunjukkan hasil analisis
respon produk. Gambaran model persamaan matematika yang didapatkan oleh
setiap respon dengan ditunjukkan dengan variabel tertentu. Variabel tersebut
menjadi penentu suatu rancangan model matematika, yang digunakan untuk
faktor perlakuan pada penelitian, sehingga didapatkan respon yang
mendukung terciptanya produk optimal (produk terpilih) (Anonimc, 2005).

D. PEMBUATAN PRODUK EKSTRUSI

Penentuan formula yang terbaik pada penelitian ini dibuat sesuai dengan
rancangan penelitian yang ditentukan oleh Design Expert Version 7. Alat
ekstruder yang digunakan pada penelitian ini tidak dilengkapi dengan unit-unit
injeksi air maupun uap. Oleh karena itu, pengaturan alat ekstruder yang
dilakukan sebelum proses pemasakan, pertama kali dilakukan yaitu
pengaturan suhu pemanasan awal.
Kecepatan dan bentuk ulir sangat mempengaruhi spesifikasi produk
ekstrusi yang dihasilkan. Putaran ulir yang relatif lebih cepat menyebabkan
produk yang dibuat relatif mekar. Putaran ulir untuk mesin single extruder
yang digunakan pada penelitian ini yaitu 1400 rpm. Bentuk cetakan yang
digunakan akan mempengaruhi tekstur dan bentuk potongan produk akhir.
Cetakan yang dipakai pada proses pembuatan ekstruder pada penelitian ini
berbentuk silinder dengan diameter 3 mm, sehingga produk yang dihasilkan
berbentuk silinder atau tabung. Menurut Muchtadi et al., (1988) lubang
cetakan yang runcing akan mengurangi kebutuhan tekanan balik dan
menghasilkan permukaan produk yang licin
Suhu pengaturan pemanas pada alat ekstruder yang dilakukan pada
penelitian ini yaitu berkisar 60 °C – 70 °C. Suhu tersebut akan memanaskan
barrel cepat dan secara otomatis ulir akan menekan bahan (Guy, 2001). Selain
itu juga pengaturan suhu dari pemanas ekstruder tunggal tersebut yaitu
maksimal pada suhu 80 °C. Menurut Muchtadi et al (1988), proses teksturisasi
atau pemasakan di dalam alat pengekstrusi dibutuhkan panas yang tinggi yaitu

46
lebih dari 150 °C. Suhu tersebut dapat dihasilkan oleh pelepasan energi
mekanik yang dipakai oleh pemutar ulir. Suhu akan naik dengan cepat ketika
putaran ulir yang digerakan oleh pemutar ulir pertama kali. Suhu meningkat
antara 80 – 150 °C (Guy, 2001).

E. ANALISIS UJI ORGANOLEPTIK

Uji organoleptik yang dilakukan pada penelitian ini adalah uji hedonik
dari atribut tekstur dan kelengketan. Hal tersebut bermaksud untuk menilai
seberapa jauh preferensi atau kesukaan konsumen terhadap atribut tekstur dan
kelengketan dari produk tersebut. Karakteristik produk pangan yang
dikehendaki dari produk ekstrusi khususnya snack adalah tekstur yang renyah,
mempunyai derajat pengembangan yang tinggi, mengembang dengan densitas
yang rendah (ringan), dan tekstur rapat (Baik, Joseph dan Linhda, 2004).
Menurut Guy (2001) salah satu aspek yang utama dalam memasarkan produk
snack ke pasar adalah aspek tekstur dan flavor yang digunakan dalam produk
akhir. Berbagai atribut tekstur yang ada dalam penilaian organoleptik terhadap
produk pangan.
Setiap produk pangan memiliki jenis atau atribut tekstur yang berbeda-
beda. Tekstur pada produk pangan menurut International Organization for
Standardization adalah sebagai suatu aspek keseluruhan atribut dari sifat
reologi dan struktural (geometrik dan permukaan) produk pangan yang dapat
digambarkan dengan jelas secara mekanik, tactile (dapat dirasakan atau
diraba), dengan visual dan suara (auditory texture) (ISO, 1981).
Menurut Gimeno, Moraru dan Kokini (2004), sifat yang dimiliki oleh
produk ekstruder khususnya snack adalah renyah dan memiliki sifat
crunchiness (sifat garing) serta mempunyai sifat mengembang, sehingga akan
menimbulkan sifat crisp (renyah). Volume pengembangan adalah parameter
kualitas yang utama yang mempengaruhi kerenyahan dan sifat crunchiness
(Ali et al., 1996). Pengembangan produk tergantung pada komposisi bahan,
kualitas pemasakan dan laju bahan yang meleleh pada saat keluar dari die
(Desrumaux et al., 1998) pengembangan produk juga yang paling utama
tergantung pada kadar air bahan dan suhu proses ekstrusi (Ilo et al., 1996).

47
Contoh produk ekstrusi hasil dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar
berikut.

Gambar 8. Produk ekstrusi dengan formula 100% jagung QPM


dan 0% kacang hijau

a. Uji Hedonik

1. Tekstur Produk

Hasil analisis sidik ragam atau uji anova dapat dilihat pada
Lampiran 7 menunjukkan formula yang dibuat berpengaruh nyata
(p<0.05) terhadap skor tekstur yang diuji pada uji hedonik dengan
selang 95%. Analisis sidik ragam yang dilakukan oleh program Design
Expert version 7 pada nilai respon hedonik tekstur terhadap formula
yang dibuat, menunjukkan model yang dibuat adalah signifikan
(p<0,05), pada selang kepercayaan 95% dengan nilai p = 0.0036 dapat
dilihat pada Lampiran 12, artinya formula yang dibuat berpengaruh
nyata terhadap respon uji skor tekstur, sehingga nilai respon tersebut
dapat digunakan untuk proses optimasi yaitu untuk mendapatkan
produk dengan karakteristik yang optimum.
Kandungan amilopektin dan amilosa berpengaruh besar dalam
menentukan sifat atau karakteristik produk ekstuder. Menurut Wang

48
(1997) amilopektin dapat meningkatkan sifat pengembangan produk
dan kerenyahan (crispness), sedangkan amilosa dapat meningkatkan
sifat kering (crunchiness) dan kekuatan tekstur produk.

Tabel 8. Hasil uji hedonik tekstur


Formula Komposisi Formula Rata-rata
1 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 5.0
hijau = 100 : 0, suhu 60
2 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 5.5
hijau = 50 : 50, suhu 60
3 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 4.8
hijau = 100 : 0, suhu 62.5
4 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 5.1
hijau = 75 : 25, suhu 62.5
5 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 3.7
hijau = 100 : 0, suhu 65
6 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 5.1
hijau = 50 : 50, suhu 65
7 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 4.4
hijau = 75 : 25, suhu 67.5
8 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 3.2
hijau =100 : 0, suhu 70
9 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 4.9
hijau = 50 : 50, suhu 70
10 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 5.8
hijau = 0 : 100, suhu 60
11 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 2.3
hijau = 25 : 75, suhu 62.5
12 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 5.3
hijau = 0 : 100, suhu 65
13 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 5.6
hijau = 25 : 75, suhu 67.5
14 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 3.7
hijau = 0 : 100, suhu 70

Hasil uji Duncan terhadap uji hedonik tekstur dengan selang


kepercayaan 95% (Lampiran 7), menunjukkan subset 1 dengan
formula 8, 5 dan 14 berbeda nyata dengan formula yang lainnya,
karena formula tersebut memiliki perbedaan yang signifikan pada suhu
awal pemanasan, sehingga menimbulkan pengaruh tekstur yang
berbeda. Pada subset 2 menunjukkan formula 7, 3, 9, 1, 6 dan 4 tidak
berbeda nyata berbeda nyata serta pada subset 3 dengan formula 3, 9,

49
1, 6, 4, 11, 12, 2 dan 13 juga tidak berbeda nyata, tetapi formula 7
berbeda nyata dengan formula 2, 11, 12 dan 13. Formula 7 berbeda
dengan formula 2 karena formula memiliki suhu awal yang optimal
dalam gelatinisasi pati.
Suhu awal pemanasan berpengaruh pada proses gelatinisasi pati.
Serta berpengaruh pada sifat bahan pada waktu pemasakan dan juga
berpengaruh pada pengembangan produk ekstrusi (Guy, 2001). Suhu
terendah pada penelitian ini adalah 60 °C dan tertinggi adalah 70 °C.
Oleh karena itu, dapat diperkirakan gelatinisasi pada suhu 60 °C akan
lebih optimal daripada suhu yang lainnya, dengan kandungan air bahan
yang sama.
Pada umumnya suhu gelatinisasi pati pada saat ekstrusi akan
meningkat seiring dengan meningkatnya kandungan amilosa
(Chinnaswamy dan Hanna, 1990). Sementara kandungan amilosa dan
amilopektin bahan utama yaitu jagung QPM serta bahan campuran
yaitu kacang hijau yang digunakan pada penelitian ini pada umumnya
memiliki kandungan amilopektin yang lebih besar dari pada
kandungan amilosanya (Muchtadi dan Sugiono, 1989), sehingga dapat
menurunkan suhu gelatinisasi bahan pada saat ekstruder
(Chinnaswamy dan Hanna, 1990).
Sementara formula 7 jika dibandingkan dengan 11, 12 dan 13
berbeda karena komposisi kacang hijau pada formula tersebut semakin
tinggi. Kandungan protein pada kacang hijau dapat berpengaruh pada
pengembangan produk. Sementara kandungan protein pada kacang
hijau lebih tinggi dari pada jagung QPM. Pada formula 2 komposisi
kacang hijau lebih banyak dari formula 7. Kacang hijau varietas betet
yang digunakan pada penelitian ini mempunyai kandungan protein
yang tinggi dibandingkan dengan jagung QPM (Tabel 12). Menurut
Gimeno et al., (2004) protein dapat meningkatakan derajat
pengembangan dan juga berpengaruh pada tekstur. Meningkatnya
derajat pengembangan akan meningkatkan kerenyahan pada produk

50
dan meningkatkan daya terima produk bagi konsumen (Moraru dan
Kokini, 2003).
Pada subset 4 formula 6, 4, 11, 12, 2, 13 dan 10 tidak berbeda
nyata, tetapi formula 3, 9 dan 1 berbeda nyata dengan formula 10.
Produk formula 10 memberikan nilai kesukaan tekstur yang tinggi dari
yang lain karena selain diproses dengan suhu gelatinisasi yang optimal
juga jika dilihat dari kandungan protein hasil dari analisis protein pada
kacang hijau lebih banyak dibandingkan dengan kandungan protein
pada jagung (Tabel 12). Formula 10 dengan komposisi jagung 0% dan
100% kacang hijau yang diolah pada suhu awal proses 60 °C
memberikan nilai tertinggi (5.81).
Protein dapat menaikan derajat pengembangan yaitu dengan
mengontrol pendistribusian air pada matriks bahan (bahan pada saat
pemasakan) serta menguatkan interaksi antara amilopektin yang sudah
terpotong-potong karena proses pelelehan yaitu dengan membentuk
ikatan kovalen maupun interaksi non ikatan (tarik-menarik antar
molekul), sehingga dapat meningkatkan kekuatan polimer amilopektin
untuk mengembang tanpa putus (Gimeno et al., 2004).
Menurut Monaru dan Kokini (2003) pati yang kaya akan
amilopektin akan menyebabkan lebih mengembang dibandingkan
dengan pati yang kaya akan amilosa, karena rantai amilosa akan
berikat satu sama lain pada proses pemasakan, sehingga proses saling
terikatnya amilosa tersebut akan menyebabkan polimer-polimer
amilosa tersebut sulit tertarik pada saat proses pengembangan (pada
saat produk keluar dari die) yang menyebabkan produk ekstrusi kurang
mengembang. Pada bahan yang mempunyai kadungan air yang sama
amilopektin lebih mudah mengembang dari pada amilosa (Monaru dan
Kokini, 2003). Pengembangan produk akan berdampak positif
terhadap sifat kerenyahan produk (Wang, 1997).
Gelatinisasi yang optimal akan menghasilkan viskositas bahan
yang optimal yaitu dengan viskositas yang tinggi, karena amilopektin
dan amilosa terpecah, sehingga dapat meningkatkan viskositas bahan

51
dan suhu proses pemasakan hingga dua kali lipatnya (Kokini, Tangho
dan Karwe, 1991). Kondisi pemasakan pada ekstruder yang terjadi
pada alat ekstruder pada penelitian ini yaitu dalam kondisi kering atau
kandungan air yang rendah. Kondisi tersebut dapat menyebabkan
gesekan antara bahan dengan barrel akan meningkat, sehingga dapat
meningkatkan suhu barrel ektruder secara keseluruhan (Chinnaswamy
dan Hanna, 1990).
Menurut Ozcan dan David (2005) proses ekstrusi dengan kadar
air rendah terjadi pada suhu tinggi serta putaran ulir yang medium,
menyebabkan pati tergelatinisasi dan meleleh, sehingga pati termasak
seluruhnya dan berubah menjadi berbentuk amorph. Dengan kondisi
tersebut tekstur akan lebih renyah dan mengembang (Chinnaswamy
dan Hanna, 1988). Bahan yang sudah meleleh tersebut bersifat amorph
(Wang, 1993), sehingga produk ketika keluar dari die memiliki sifat
higroskopis yang tinggi (Adawiyah, 2002).
Persamaan model matematika untuk respon skor tekstur pada
saat kondisi bahan yang nyata dan ketika suhu diatur pada kondisi
tertentu. Dapat dilihat pada persamaan matematika sebagai berikut.

Skor Tekstur = -3097.39A + 3588.40B + 3665.34A B + 145.10AC -


167.16 BC -170.04ABC - 2.26AC2 + 2.60 BC2 + 2.62ABC2 +
0.012 AC3 - 0.013 BC3 - 0.013 ABC3

Komponen yang paling besar berkontribusi terhadap skor tekstur


adalah interaksi antara komponen A (jagung) dan B (kacang hijau),
kemudian di ikuti oleh kacang hijau (B) serta interaksi A dengan C.
Hal ini disebabkan koefisien AB paling tinggi nilainya (3665.34) bila
dibandingkan dengan komponen lainnya. Persamaan linear ini
memiliki nilai R2 dan Adjusted R2 masing masing 0.9950 dan 0.9767.
Oleh karena nilai R2 dan Adjusted R2 skor tekstur lebih besar dari 0.75,
maka ketepatan model untuk memprediksi nilai tekstur sangat baik.
Gambar 9 menunjukkan hasil uji skor tekstur terhadap 14 formula
ekstrusi bentuk dua dimensi. Persamaan matematika untuk skor tekstur
selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 14.

52
Design-Expert® Sof tware Two Component Mix
Skor Tekstur 5.5
DesignPoints
X1 = A: A
X2 = B: B

Actual Factor 5.05


C: Suhu = 65.00

Skor Tekstur
4.6

4.15

3.7

Ac tual A 0 25 50 75 100
Ac tual B 100 75 50 25 0

Gambar 9. Kurva Skor Tekstur Terhadap Produk

Hasil uji sidik ragam juga menunjukkan interaksi antara


komponen A (jumlah jagung) dengan B (jumlah kacang hijau) secara
berpengaruh nyata terhadap respon skor tekstur. Selain itu juga
terdapat beberapa interaksi yang berpengaruh nyata yaitu interaksi
antara komponen B (jumlah kacang hijau) dengan C (suhu) dan
interaksi antara konponen A (jumlah jagung) dengan C (suhu proses)
dikuadratkan (AC2). Oleh karena itu, faktor-faktor tersebut perlu
diperhatikan dalam penambahan dan pengurangan nilai atau jumlah
dari perlakuan pada penelitian ini.
Komponen jagung dan kacang hijau berpengaruh nyata karena
kandungan amilopektinnya dari ke dua bahan tersebut yang berperan
dalam membentuk struktur produk yang renyah (Wang 1997).
Selanjutnya suhu awal pemanasan barrel akan berpengaruh pada
komponen biopolimer yang ada pada kacang hijau. Kacang hijau
memiliki kandungan protein yang tinggi (Tabel 12), sehingga dapat
membantu kekuatan ikatan antara amilopektin yang terdegradasi atau
terpecah-pecah (pelelehan) (Guy, 2001) dan akan membentuk tekstur
pengembangan produk yang juga mengakibatkan produk renyah

53
(Wang, 1997). Suhu yang optimum dibutuhkan untuk memperoleh
gelatinisasi yang optimum (Chinnaswamy dan Hanna, 1990), sehingga
membentuk viskositas bahan yang optimal yang mengkibatkan suhu
pelelehan tinggi dan membentuk bahan yang bersifat amorph (Ozcan
dan David, 2005), mengembang serta renyah (chrispy) (Chinnaswamy
dan Hanna, 1988).
Berdasarkan tema pada penelitian ini yaitu pengembangan
produk ekstruder berbasis jagung QPM. Maka formula yang dipilih
adalah formula dengan komposisi jagung paling kecil 50%, sehingga
didapatkan produk ekstruder berbasis jagung QPM yang mempunyai
karakteristik yang optimal.

2. Kelengketan Produk

Kelengketan menurut Ana (2003) mempunyai arti mudah ditelan


atau tidaknya produk pada saat dikunyah di mulut (tidak menempel di
gigi dan langit-langit). Menurut Rosenthal (1999) jika suatu produk
pangan memiliki tekstur yang sangat kering berada di dalam mulut,
maka produk tersebut akan sulit ditelan karena membutuhkan banyak
kelenjar mulut atau saliva karena fungsi saliva pada mulut yaitu untuk
membasahi produk supaya produk tersebut mudah ditelan. Oleh karena
itu, dibutuhkan waktu untuk membasahi produk.
Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 8) pada uji hedonik yang
dilakukan pada atribut kelengketan terhadap ke empat belas formula.
Menunjukkan formula yang dibuat berpengaruh nyata (p<0.05)
terhadap skor kelengketan pada selang kepercayaan 95%.
Analisis sidik ragam yang dilakukan oleh program Design Expert
version 7 pada nilai respon hedonik kelengketan terhadap formula
yang dibuat, menunjukkan model yang dibuat adalah signifikan
(p<0,05), pada selang kepercayaan 95% dengan nilai p = 0.0001
(Lampiran 15), artinya formula yang dibuat berpengaruh nyata
terhadap respon uji skor kelengketan, sehingga nilai respon tersebut

54
dapat digunakan dalam proses optimasi yaitu untuk mendapatkan
produk dengan karakteristik yang optimum.
Hasil uji Duncan terhadap uji hedonik kelengketan dengan selang
kepercayaan 95% (Lampiran 8), menunjukkan pada subset 1 formula
8, 5 dan 14 tidak berbeda nyata serta pada subset 2 formula 14, 5, 1, 3,
dan 7 tidak berbeda nyata, tetapi formula 8 berbeda nyata dengan
formula 5, 1, 3 dan 7. Perbedaan tersebut karena pada formula 7
mempunyai suhu awal pemanasan yang tinggi. Jika suhu awal
pemanasan tinggi dan juga kandungan amilopektin pada bahan yang
tinggi, maka proses gelatinisasi kurang optimal (Chinnaswamy dan
Hanna, 1990), sehingga menurunkan viskositas bahan ketika
pemasakan. Viskositas turun menyebabkan gesekan antara bahan
dengan barrel turun yang dapat menurunkan suhu untuk pelelehan
bahan menurun, sehingga pelelehan bahan tidak optimum
(Chinnaswamy dan Hanna, 1990).
Pelelehan tidak optimum menyebabkan berat molekul dari
amilopektin tinggi, sehingga menurunkan laju pendistribusian uap air
dalam bahan dan menurunkan pengembangan (Guy, 2001). Produk
yang dihasilkan akan tidak kokoh (kempes atau mengkerut) karena
rendahnya tekanan pada bahan setelah keluar dari die rendah (Guy,
2001). Hal tersebut menyebabkan produk kurang garing atau kering,
sehingga mudah ditelan. Namun panelis lebih menyukai produk yang
garing.
Pada subset 3 formula 5, 1, 3, 7, 12, 11, 13 dan 9 tidak berbeda
nyata, tetapi formula 14 berbeda nyata dengan formula 12, 11, 13, dan
9 karena suhu gelatinisasi yang tidak optimal yang menyebabkan
produk kurang disukai oleh panelis. Pada subset 4 formula 1, 3, 7, 12,
11, 13, 9, 6 dan 4 tidak berbeda nyata, tetapi formula 5 berbeda nyata
dengan formula 6 dan 4. Hal tersebut, karena formula 6 dan 4
mempunyai tambahan protein dari kacang hijau, sehingga dapat
meningkatkan daya terima produk (Moraru dan Kokini, 2003).

55
Formula 12, 11, 13, 9, 6, 4 dan 2 tidak berbeda nyata pada subset
5, namun formula 1, 3, dan 7 berbeda nyata dengan formula 2, karena
formula 2 memiliki suhu pemanasan awal yang optimal untuk
gelatinisasi, sehingga dapat meningkatkan kulitas tekstur dari produk
ekstrusi (Chinnaswamy dan Hanna, 1988). Berikut Tabel 9
menunjukkan hasil uji hedonik kelengketan

Tabel 9. Hasil uji hedonik kelengketan


Formula Komposisi Formula Rata-rata
1 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 4.1
hijau = 100 : 0, suhu 60
2 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 5.0
hijau = 50 : 50, suhu 60
3 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 4.1
hijau = 100 : 0, suhu 62.5
4 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 4.8
hijau = 75 : 25, suhu 62.5
5 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 3.9
hijau = 100 : 0, suhu 65
6 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 4.7
hijau = 50 : 50, suhu 65
7 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 4.3
hijau = 75 : 25, suhu 67.5
8 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 3.1
hijau =100 : 0, suhu 70
9 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 4.6
hijau = 50 : 50, suhu 70
10 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 5.8
hijau = 0 : 100, suhu 60
11 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 4.5
hijau = 25 : 75, suhu 62.5
12 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 4.4
hijau = 0 : 100, suhu 65
13 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 4.5
hijau = 25 : 75, suhu 67.5
14 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 3.6
hijau = 0 : 100, suhu 70

Oleh karena itu, dapat disimpulkan formula 8 berbeda dengan


formula 5, 1, 3, dan 7, formula tersebut juga berbeda dengan formula
12, 11, 13 dan 9, juga akan berbeda dengan formula 6 dan 4 serta
berbeda dengan formula 2 dan berbeda dengan formula 10. Untuk nilai

56
hedonik kelengketan tertinggi dimiliki oleh formula 10 dengan nilai
5.78 dan pada subset 6 berbeda nyata dengan formula yang lain, karena
formula tersebut mempunyai suhu pemanasan awal yang optimal dan
kandungan protein pada bahan yang optimal. Uji hedonik untuk atribut
kelengketan dapat disimpulkan panelis lebih menyukai produk yang
kering dan kelengketan yang tinggi.
Persamaan model matematika untuk respon skor kelengketan
pada saat kondisi bahan yang nyata dan ketika suhu diatur pada kondisi
tertentu. Dapat dilihat pada persamaan matematika sebagai berikut.

Skor Kelengketan = +10.56A + 19.17B - 28.44AB - 0.11AC - 0.22B C


+ 0.47ABC + 71.23AB(A-B) - 1.07ABC(A-B)

Persamaan matematika untuk skor kelengketan selengkapnya


dapat dilihat pada Lampiran 17. Kurva skor hedonik kelengketan
dengan suhu dan formulasi dapat dilihat pada Gambar 8.

Design-Expert® Sof tware Two Component Mix


Skor Kelengketan 4.7
DesignPoints
X1 = A: A
X2 = B: B

Actual Factor 4.455


C: Suhu = 65.00
Skor Kelengketan

4.21

3.965

3.72

Actual A 0 25 50 75 100
Actual B 100 75 50 25 0

Gambar 10. Kurva Skor Kelengketan Terhadap Produk

Komponen yang paling besar berkontribusi terhadap skor


kelengketan adalah interaksi A (komponen jagung) B (kacang hijau)
(A-B), kemudian diikuti oleh kacang hijau (B), dan komponen A

57
(jagung). Hal ini disebabkan koefisien AB(A-B) paling tinggi nilainya
(71.23) bila dibandingkan dengan komponen lainnya. Persamaan linear
ini memiliki nilai R2 dan Adjusted R2 masing masing 0.9756 dan
0.9511. Oleh karena nilai R2 dan Adjusted R2 skor tekstur lebih besar
dari 0.75, maka ketepatan model untuk memprediksi nilai kelengketan
sangat baik. Gambar 10 menunjukkan hasil uji skor kelengketan
terhadap 14 formula ekstrusi bentuk dua dimensi.
Hasil uji sidik ragam juga menunjukkan interaksi antara
komponen A (jumlah jagung) dengan B (jumlah kacang hijau) secara
berpengaruh nyata terhadap respon skor kelengketan. Selain itu juga
terdapat beberapa interaksi yang berpengaruh nyata yaitu interaksi
antara komponen A (jumlah jagung) dengan C (suhu), B (jumlah
kacang hijau) dengan C (suhu), interaksi antara konponen A (jumlah
jagung) serta B (jumlah kacang hijau) dengan C (suhu proses) (ABC),
A (jumlah jagung) dengan B (jumlah kacang hijau) yang
diinteraksikan dengan (A – B) dan interaksi antara konponen A
(jumlah jagung) serta B (jumlah kacang hijau) dengan C (suhu proses)
(ABC) juga diinteraksikan dengan (A – B). Oleh karena itu, faktor
penelitian ini serta interaksi antara faktor-faktor tersebut perlu
diperhatikan dalam penambahan dan pengurangan nilai atau jumlah
dari perlakuan pada penelitian ini.
Kelengketan juga dipengaruhi oleh kandungan amilosa dan
amilopektin dari kedua bahan jagung dan kacang hijau. Kedua
biopolimer tersebut sangat berpengaruh bagi kelengketan diakibatkan
oleh suhu awal pemanasan yang berdampak pada suhu pelelehan bahan
yang tidak optimum jika suhu awal gelatinisasi tidak optimum
(Chinnaswamy dan Hanna, 1988). Kejadian tersebut menimbulkan
struktur yang tidak stabil, sehingga produk tidak kokoh setelah
mengembang dan mengkerut yang menyebabkan menurunkan kualitas
produk, sehingga produk kurang kering.
Namun menurut Rosenthal (1999) suatu produk pangan memiliki
tekstur yang sangat kering dan produk tersebut berada di dalam mulut,

58
produk tersebut akan sulit ditelan karena membutuhkan banyak
kelenjar mulut atau saliva karena digunakan untuk membasahi produk
supaya produk tersebut mudah ditelan, sehingga membutuhkan waktu
untuk membasahi produk tersebut. Oleh karena itu, dapat diperkirakan
panelis memilih produk yang dapat menimbulkan kelengketan apabila
produk dikunyah dalam mulut.

F. ANALISIS UJI FISIK

1. Tekstur (Kekerasan)

Hasil uji sidik ragam menunjukkan hasil uji kekerasan produk


signifikan (p<0.05) (Lampiran 9) artinya perlakuan pada formula atau
fomulasi berpengaruh nyata terhadap kekerasan produk. Kekerasan produk
ekstrusi dipengaruhi oleh kandungan amilopektin dan amilosa.
Amilopektin dapat meningkatkan kerenyahan, sedangkan amilosa dapat
meningkatkan kekuatan kekerasan produk (Gimeno et al., 2004).
Analisis sidik ragam yang dilakukan oleh program Design Expert
version 7 pada respon kekerasan terhadap formula yang dibuat,
menunjukkan formula yang dibuat tidak berpengaruh nyata terhadap
respon kekerasan (p>0.05), pada selang kepercayaan 95% dengan nilai p
= 0.1026 (Lampiran 18), artinya formula yang dibuat tidak berpengaruh
nyata terhadap kekerasan produk apabila dinilai secara obyektif dengan
menggunakan Texture Analyzer, sehingga untuk respon tekstur
(kekerasan) tidak dipakai dalam proses optimasi untuk mendapatkan
produk terpilih.
Hasil uji Duncan terhadap uji kekerasan dengan selang kepercayaan
95% (Lampiran 9), menunjukkan pada subset 1 formula 7, 10 dan 8 tidak
berbeda nyata serta pada subset 2 formula 10, 8, 11 dan 14 tidak berbeda
nyata, tetapi formula 7 berbeda nyata dengan formula 11 dan 14. Pengaruh
protein terhadap teksturisasi produk ekstruder, yaitu protein yang berasal
dari bahan produk (sayuran atau kacang-kacangan) telah dipelajari melalui
TVP (Textured Vegetable Protein) (Riaz, 2004). Ketika energi panas dan
mekanik dialirkan melalui barrel selama proses ekstrusi, makromolekul

59
protein yang ada pada bahan mengalami kondisi strukutur kimia yang
tidak stabil kemudian struktur protein menyusun kembali dan terbentuk
secara kontinyu membentuk suatu zat yang bersifat elastis. Barrel, screw,
dan die ekstruder mengumpulkan molekul protein dalam aliran bahan
secara langsung (Kearns, Rokey dan Huber, 2004). Protein dapat
membantu pengembangan produk, serta menjadikan produk lebih renyah.
Berikut merupakan hasil uji kekerasan.

Tabel 10. Hasil uji kekerasan


Formula Komposisi Formula Rata-rata
1 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 2281.1
hijau = 100 : 0, suhu 60
2 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 2258.9
hijau = 50 : 50, suhu 60
3 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 2024
hijau = 100 : 0, suhu 62.5
4 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 2087
hijau = 75 : 25, suhu 62.5
5 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 2034.8
hijau = 100 : 0, suhu 65
6 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 2103.9
hijau = 50 : 50, suhu 65
7 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 1609
hijau = 75 : 25, suhu 67.5
8 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 1818
hijau =100 : 0, suhu 70
9 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 2876.3
hijau = 50 : 50, suhu 70
10 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 1759.3
hijau = 0 : 100, suhu 60
11 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 1868.1
hijau = 25 : 75, suhu 62.5
12 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 2828.9
hijau = 0 : 100, suhu 65
13 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 2315.4
hijau = 25 : 75, suhu 67.5
14 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 1886.2
hijau = 0 : 100, suhu 70

Pada uji kekerasan produk secara obyektif (mengunakan alat),


pengukuran diukur secara empiris, yaitu berdasarkan resistensi sampel
atau produk terhadap tekanan yang dapat merubah bentuk produk tersebut

60
(Lawless dan Heymann, 1999). Pengukuran tersebut tidak dapat
memberikan suatu keputusan yang benar dan pengujian pada pengukuran
tersebut tidak mempunyai hubungan kolerasi yang tinggi dengan
pengukuran yang dilakukan secara organoleptik (sensory) (Lawless dan
Heymann, 1999). Proses tersebut mengakibatkan protein dapat menyusun
kembali dengan membuka ikatan antar protein, sehingga mudah berikatan
silang antara molekul yang lain dan memberikan struktur yang
mengembang serta membentuk tekstur produk bersifat chewy atau kenyal
(Kearns et al., 2004).
Pada subset 3 formula 8, 11, 14, 3, dan 5 tidak berbeda nyata, tetapi
formula 10 berbeda nyata dengan formula 3 dan 5. Formula 10
memberikan kekerasan yang lebih rendah dari formula 3 dan 5, karena
pada formula 10 merupakan formula kacang hijau 100%, sehingga
kandungan protein pada bahan akan lebih tinggi dari formula 3 dan 5.
Protein dapat meningkatkan pengembangan produk ekstrusi dan
menciptakan tekstur yang renyah (Moraru dan Kokini, 2003).
Formula 11, 14, 3, 5 dan 4 tidak berbeda nyata pada subset 4,
namun formula 8 berbeda nyata dengan formula 4. Kekerasan pada
formula 8 lebih rendah dibandingkan dengan formula 4, karena faktor suhu
awal pemanasan yang terlalu tinggi, sehingga gelatinisasi kurang optimal
(Chinnaswamy dan Hanna, 1990). Hal tersebut akan berpengaruh pada
kekerasan tekstur, sehinga menjadi kurang terbentuk serta rapuh (Guy,
2001). Formula 14, 3, 5, 4 dan 6 tidak berbeda nyata pada subset 5, tetapi
formula 11 berbeda nyata dengan formula 6. Perbedaan tersebut dapat
terjadi karena komposisi formula 11 mempunyai komposisi kacang hijau
yang lebih daripada formula 11, sehingga protein pada bahan akan
mempengaruhi kekerasan tekstur (Moraru dan Kokini, 2003). Subset 6
formula 1, 2, 4, dan 6 tidak berbeda nyata, namun formula 14, dan 3
berbeda dengan formula 2 dan 1. Formula 1 dan 2 mempunyai suhu awal
pemanasan yang optimal untuk proses gelatinisasi. Formula 1 lebih keras
dari formula 14 dan 3 karenakan komposisinya tidak dicampur dengan
kacang hijau, sehingga protein bahan kurang berpengaruh pada kekerasan

61
produk. Untuk formula 2 proses gelatinisasi yang optimal akan
mengembangkan produk, sehingga dapat meningkakan kerenyahan dari
segi organoleptik. Jika dilihat nilai kekerasan dari formula hasil uji
Duncan menunjukkan formula 2 lebih keras dari formula jika
dibandingkan dengan formula 14 dan 3. Hal tersebut dikarenakan adanya
perbedaan antara pengujian secara subyektif atau instrumental.
Pengukuran kekerasan secara obyektif yaitu berdasarkan resistensi sampel
atau produk terhadap tekanan yang dapat merubah bentuk produk tersebut,
sehingga produk cenderung keras jika lebih mengembang (Lawless dan
Heymann, 1999).
Formula 6, 2, 1, dan 13 tidak berbeda nyata pada subset 7, tetapi
formula 4 berbeda nyata dengan formula 13. Perbedaan tersebut karena
formula 4 memiliki suhu optimal untuk gelatiniasi, sehingga dapat
meningkatkan pengembangan produk dan mengakibatkan kekerasan
produk rendah (Chinnaswamy dan Hanna, 1990). Sementara nilai
kekerasan tertinggi terdapat pada formula 9 dan tidak berbeda nyata
dengan formula 12, namun berbeda nyata dengan formula 6, 2 dan 1
dengan nilai kekerasan 2876.3. Kekerasan pada formula 9 memiliki suhu
awal gelatinisasi yang tidak optimal, sehingga produk kurang
mengembang (Chinnaswamy dan Hanna, 1990).
Oleh karena itu, dapat disimpulkan formula 7 berbeda dengan
formula 11 dan 14, formula tersebut juga berbeda dengan formula 3 dan
14, juga akan berbeda dengan formula 4, berbeda dengan formula 6,
berbeda dengan formula 2 dan 1, berbeda dengan 13 serta berbeda dengan
formula 12 dan 9.

2. Derajat Pengembangan

Hasil uji sidik ragam menunjukkan hasil derajat pengembangan


produk signifikan (<0.05) (Lampiran 10) artinya perlakuan pada formula
atau fomulasi berpengaruh nyata terhadap kekerasan produk.
Pengembangan produk dipengaruhi oleh amilopektin dan amilosa, serta
komponen kecil pada bahan yaitu protein, lemak dan serat. Serta faktor

62
eksternal yaitu suhu barrel, putaran ulir, tekanan di dalam barrel. Derajat
pengembangan produk ekstrusi akan menurun seiring dengan
meningkatnya jumlah protein (Chinnaswamy dan Hanna, 1990).
Analisis sidik ragam yang dilakukan oleh program Design Expert
version 7 pada respon derajat pengembangan terhadap formula yang
dibuat, menunjukkan formula yang dibuat berpengaruh nyata terhadap
respon derajat pengembangan (p<0,05), pada selang kepercayaan 95%
dengan nilai p = 0.0110 dapat dilihat pada Lampiran 19, artinya formula
yang dibuat mempunyai pengaruh yang nyata terhadap derajat
pengembangan produk, sehingga nilai respon tersebut dapat digunakan
untuk proses optimasi yaitu untuk mendapatkan produk dengan
karakteristik yang optimum.
Hasil uji Duncan terhadap uji hedonik kekerasan dengan selang
kepercayaan 95% (Lampiran 10), menunjukkan formula 1, 7 dan 14 pada
subset 1 tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan formula yang
lainnya. Formula 1 kurang mengembang karena komposisinya jagung
100%, sehingga kandungan protein pada bahan diperkirakan lebih sedikit
dibandingkan formula yang lain, sedangkan pada formula 7 dan 14
disebabkan oleh suhu pemanasan yang tidak optimal, sehingga kurang
mengembang (Chinnaswamy dan Hanna, 1988). Pada subset 2 formula 5
dan 3 tidak berbeda nyata serta pada subset 3 formula 3 dan 4 tidak
berbeda nyata, tetapi formula 5 berbeda nyata dengan formula 4. Formula
4 lebih mengembang dibandingkan formula 5 karena adanya tambahan
kacang hijau yang dapat menambah kandungan protein pada bahan,
sehingga dapat mengembangkan produk (Moraru dan Kokini, 2003).
Untuk formula 4, 8, 11, dan 13 pada subset 4 tidak berbeda nyata,
namun formula 3 berbeda nyata dengan formula 11, dan 13. Formula 3
kurang pengembangannya dibandingkan formula 11 dan 13 karena
formula 3 komposisinya tidak ada tambahan kacang hijau, sehingga
produk kurang mengembang. Berikut merupakan hasil analisis derajat
pengembangan produk.

63
Tabel 11. Hasil uji derajat pengembangan produk
Formula Komposisi Formula Rata-rata
1 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 375.1
hijau = 100 : 0, suhu 60
2 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 527.9
hijau = 50 : 50, suhu 60
3 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 442.2
hijau = 100 : 0, suhu 62.5
4 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 456.8
hijau = 75 : 25, suhu 62.5
5 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 420.7
hijau = 100 : 0, suhu 65
6 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 502.9
hijau = 50 : 50, suhu 65
7 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 391.4
hijau = 75 : 25, suhu 67.5
8 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 473.8
hijau =100 : 0, suhu 70
9 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 506.9
hijau = 50 : 50, suhu 70
10 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 530.7
hijau = 0 : 100, suhu 60
11 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 474.8
hijau = 25 : 75, suhu 62.5
12 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 495
hijau = 0 : 100, suhu 65
13 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 480
hijau = 25 : 75, suhu 67.5
14 Snack dengan komposisi jagung : Kacang 380
hijau = 0 : 100, suhu 70

Pada subset 5 formula 8, 11, 13, 12 dan 6 tidak berbeda nyata.


Sementara formula 4 berbeda nyata berbeda nyata dengan formula 12 dan
6 karena komposisi kacang hijau pada formula 4 lebih kurang dari
komposisi formula 12 dan 6, sehingga produk kurang mengembang. Untuk
subset 6 formula 13, 12, 6 dan 9 tidak berbeda nyata, sementara formula 8
dan 11 berbeda nyata dengan formula 9. Formula 9 lebih mengembang
dibandingkan formula 8 karena komposisi kacang hijau yang lebih,
sehingga lebih mengembangkan. Jika dibandingkan dengan formula 11,
formula 11 kurang mengembang karena faktor selain protein yaitu
kandungan minyak pada lembaga jagung yang dapat mengembangkan
produk (Moraru dan Kokini, 2003). Interaksi antara lemak (minyak),

64
protein jagung dan karbohidrat akan terbentuk pada saat proses pemasakan
adonan bahan dalam ekstruder (Kokini, Tang Ho dan Karwe, 1991).
Persentase derajat pengembangan paling tinggi terdapat pada subset
7 yaitu formula 10 persentase derajat pengembangan 530.7% dan tidak
berbeda nyata dengan formula 6, 9 dan 2, tetapi formula 12 dan 13 akan
berbeda nyata jika dibandingkan dengan formula 2 dan 10. Perbedan
tersebut karena suhu awal pemanasan pada formula 2 dan 10 adalah suhu
yang sesuai dengan komposisi bahan paada penelitian ini yang digunakan
untuk gelatinisasi pati pada bahan, sehingga memberikan pengembangan
yang optimal. Oleh karena itu, dapat disimpulkan formula 5 berbeda
dengan formula 4 serta formula tersebut berbeda dengan formula 8, 11 dan
13, akan berbeda juga dengan formula 12 dan 6, berbeda dengan formula 9
dan berbeda dengan formula 2 dan 10.
Persamaan model matematika untuk respon derajat pengembangan
pada saat kondisi bahan yang nyata dan ketika suhu diatur pada kondisi
tertentu. Dapat dilihat pada persamaan matematika sebagai berikut

Derajat Pengembangan = -119.748A + 16013.33B + 8.73A°C –


17.19BC

Persamaan matematika untuk derajat pengembangan selengkapnya


dapat dilihat pada Lampiran 21. Kurva skor hedonik kelengketan dengan
suhu dan formulasi dapat dilihat pada Gambar 10.
Komponen yang paling besar berkontribusi terhadap derajat
pengembangan adalah B (kacang hijau), kemudian di ikuti interaksi antara
B (komponen jagung) dengan C (komponen suhu), dan interaksi antara
komponen jagung dengan suhu. Hal ini disebabkan koefisien B paling
tinggi nilainya (16013. 33) bila dibandingkan dengan komponen lainnya.
Persamaan linear ini memiliki nilai R2 dan Adjusted R2 masing masing
0.6223 dan 0.5193. Oleh karena nilai R2 dan Adjusted R2 skor tekstur
kurang dari 0.75, maka ketepatan model untuk memprediksikan derajat
pengembangan kurang sangat baik. Gambar 11 menunjukkan hasil uji
derajat pengembangan terhadap 14 formula ekstrusi berbentuk dua

65
dimensi. Persamaan matematika untuk skor tekstur selengkapnya dapat
dilihat pada Lampiran 19.
Pada pemodelan derajat pengembangan, model yang
direkomendasikan untuk digunakan adalah linear dan linear. Walaupun
kedua model tersebut mempunyai nilai adjusted R2 dan R2 prediksi yang
rendah dibandingkan dengan model Quadratic dan Cubic namun dilihat
dari nilai p (signifikansi) untuk model linear dan linear mempunyai nilai
p yang kurang dari 0.05, sehingga model tersebut berpengaruh nyata
dalam memprediksikan derajat pengembangan, sedangkan untuk model
Quadratic dan Cubic mempunyai nilai p> 0.05 (tidak signifikan).

Design-Expert® Sof tware Two Component Mix


derajat pengembangan 508
DesignPoints
X1 = A: A
X2 = B: B

Actual Factor 489.25


C: Suhu = 65.00
derajat pengembangan

470.5

451.75

433

Actual A 0 25 50 75 100
Actual B 100 75 50 25 0

Gambar 11. Respon Derajat Pengembangan Terhadap Produk

Model linear menunjukkan variabel dari formula bahan maksimum


dengan pangkat 1 dan model linear untuk variabel proses maksimum
dengan pangkat 1. Hasil uji sidik ragam juga menunjukkan interaksi antara
komponen B (jumlah kacang hijau) dengan C (suhu) berpengaruh nyata
terhadap derajat pengembangan.
Derajat pengembangan dipengaruhi oleh komponen biopolimer yang
ada pada kacang hijau yaitu pati (amilopektin) dan protein. Berdasarkan
persamaan atau model matematika untuk derajat pengembangan dapat

66
diperkirakan amilopektin pada kacang hijau memberikan kontribusi yang
cukup besar dibandingkan amilopektin pada jagung QPM. Juga dengan
kandungan protein pada kacang hijau yang cukup tinggi (22%) (Tabel
12), dapat membantu pengembangan produk dengan mengontrol
pendistribusian air pada matriks (bahan pada saat pemasakan) serta
menguatkan rantai amilosa dan amilopektin yaitu dengan membentuk
ikatan kovalen maupun interaksi non ikatan (tarik-menarik antar molekul),
sehingga dapat maningkatkan kekuatan matriks (bahan) untuk
mengembang dengan lama tanpa putus (Gimeno et al., 2004).

G. PROSES OPTIMASI DESIGN EXPERT V.7

Data hasil uji sidik ragam dari semua respon atau uji mutu awal,
kemudian dilanjutkan pada proses optimasi. Pada penelitian ini proses
optimasi dilakukan untuk mencari komposisi yang paling optimal yaitu
dengan desirability mendekati 1. Parameter yang dioptimasi pada penelitian
ini adalah komponen bahan utama yaitu jagung, kacang hijau, suhu proses,
skor hedonik tekstur, skor hedonik kelengketan dan derajat pengembangan.
Optimasi yang dilakukan pada komponen utama yaitu dengan
mengoptimalkan komposisi bahan minimal 50% dan maksimal 100% dan
target komponen jagung adalah 50% dengan tingkat rangking tertingi yaitu
dengan nilai 5, kemudian komponen kacang hijau dioptimalkan komposisinya
yaitu antara 0% sampai 50% dengan tingkat rangking 3 karena bahan utama
penelitian ini adalah jagung. Suhu dioptimasi yaitu antara 60 ºC sampai 70 ºC
dengan rangking 3 karena rentang suhu tidak begitu jauh. Skor hedonik
terhadap tekstur dimaksimalkan dengan rentang skor nilai 3.2 sampai 5.8
dengan tingkat rangking tertinggi atau 5 karena sesuai dengan mutu yang akan
dicapai oleh produk terpilih serta tekstur merupakan mutu yang utama untuk
produk snack (Guy, 2001).
Skor hedonik terhadap kelengketan dimaksimalkan dengan rentang skor
nilai 3.1 sampai 5.8 dengan tingkat rangking tertinggi atau 5, karena mutu
yang harus dicapai oleh produk adalah dengan tingkat hedonik kelengketan
yang optimal. Derajat pengembangan dioptimasi pada rentang 367.3% sampai

67
541% tingkat rangking tertinggi atau 5 karena respon dari derajat
pengembangan mempunyai peran visual atau penampakan yang utama bagi
snack. Proses optimasi ini dapat dilihat pada Lampiran 22.

Design-Expert® Sof tware Two Component Mix


Desirability 0.810
DesignPoints
X1 = A: A
X2 = B: B

Actual Factor 0.608


C: Suhu = 60.00

Desirability
0.405

0.203

0.000

Actual A 0 25 50 75 100
Actual B 100 75 50 25 0

Gambar 12. Kurva Desirability Produk Terhadap Formulasi

Produk yang terpilih dari proses optimasi adalah produk dengan


komposisi 50% jagung dan 50% kacang hijau serta diolah pada suhu 60 ºC,
dengan kadar air bahan 8 – 12% (bk) dan diproses pada kecepatan ulir 1400
rpm yang memiliki karakteristik produk yaitu skor hedonik untuk tekstur 5.53,
skor hedonik untuk kelengketan 4.9 dan mempunyai derajat pengembangan
487.028% dan memiliki desirability paling tinggi yaitu 0.801, artinya produk
tersebut dapat mencapai nilai skor tekstur 5.53, skor kelengketan 4.9 dan
derajat pengembangan 487.028% yaitu sebesar 80.1% terhadap seluruh respon
tersebut dapat dilaksanakan (Lampiran 22). Kurva desirability terhadap
formula produk dapat dilihat pada Gambar 12.
Kurva tersebut menunjukkan formula 50% jagung : 50% kacang hijau
mempunyai tingkat desirbility yang tinggi. Ringkasan optimasi secara
keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran 22. Gambaran kurva desirability baik
kurva optimasi menunjukkan hubungan antara nilai desirability terhadap

68
formula menunjukkan kencenderungan nilai desirability bila diberikan input
komponen A dan B pada jumlah tertentu dengan kombinasi suhu tertentu.
Titik pada kurva tersebut menunjukkan kurva memiliki nilai R (koefisien
kolerasi) yang cukup tinggi. Hal tersebut persamaan matematika yang didapat
menunjukkan interaksi yang tinggi antara in put atau perlakuan yang
dimasukan pada persamaan matematika tersebut, sehingga mendapatkan
kriteria atau karakteristik yang optimal.

Gambar 13. Produk Terpilih Formula Jagung : Kacang Hijau = 50 : 50

Sedangkan produk yang dipilih pada optimasi dapat dilihat pada Gambar
13 adalah komposisi 50% jagung dan 50% kacang hijau. Menunjukkan
dengan penambahan kacang hijau pada formula ekstrudat berbahan dasar
jagung memberikan pengaruh nyata pada pengembangan produk. Hal tersebut
dapat dilihat pada Tabel 6 dimana semakin tinggi jumlah substitusi kacang
hijau terhadap fomulasi produk ekstrudat berbasis jagung semakin tinggi pula
persentase derajat pengembangan produk tersebut. Hal ini karena besar
kecilnya derajat pengembangan ekstrudat ditentukan oleh jumlah pati yang
tergelatinisasi selama proses ekstrusi. Derajat gelatinisasi yang semakin tinggi
diikuti dengan derajat pengembangan yang semakin tinggi pula (Harper, 1981
dan Linko et al., 1981).

69
Derajat pengembangan ekstrudat juga tidak hanya ditentukan oleh pati
tergelatinisasi, tetapi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu ukuran dari
partikel, rasio amilosa dan amilopektin, kadar protein, kadar lemak dan serat
kasar. Faktor ukuran bahan baku grits juga mempengaruhi besarnya derajat
pengembangan. Sedangkan kadar protein, lemak dan serat kasar bahan baku
akan berpengaruh dalam menurunkan derajat gelatinisasi (Harper, 1981 dan
Linko et al., 1981).

H. ANALISIS DERAJAT GELATINISASI

Derajat gelatinisasi merupakan bagian dari evaluasi kesempurnaan


proses gelatinisasi pada bahan. Kesempurnaan gelatinisasi pati pada produk
ekstrusi perlu dievaluasi untuk mengetahui sampai sejauh mana pati siap dan
mudah dicerna oleh tubuh. Derajat gelatinisasi pada formula terpilih yaitu
jagung : kacang hijau = 50 : 50 adalah 67.22%, artinya dapat diperkirakan
terdapat 32.78% pati masih dalam bentuk granula. Menurut Muchtadi et al.,
(1988) proses gelatinisasi pati akan mudah terjadi jika rasio antara air dan pati
pada bahan tinggi. Gelatinisasi pati akan sempurna jika terdapat air yang
cukup. Pada penelitian ini kadar air pada bahan termasuk rendah, sehingga
proses yang terjadi bukan gelatinisasi melainkan proses peleburan granula pati
akibat adanya panas yang tinggi (Muchtadi et al., 1988). Suhu peleburan
granula pati biasanya sampai 140 °C, sehingga proses gelatinisasi pada
penelitian ini dapat diperkirakan terjadi hanya sebagian.
Jika nilai derajat gelatinisasi bandingkan dengan derajat pengembangan
produk. Pengembangan produk jauh lebih besar dari pada derajat gelatinisasi.
Karena kandungan protein pada bahan baku yang tinggi dapat menurunkan
derajat gelatinisasi. Pada umumnya derajat gelatinisasi akan tinggi atau
maksimum jika bahan dengan kadar air 25% pada suhu pemasakan 145 °C –
205 °C (El-dash, Ronaldo dan Marcia, 1982).

70
I. ANALISIS KIMIA

Analisis kimia yang dilakukan meliputi analisis proksimat jagung


QPM, kacang hijau varietas betet, formula bahan campuran optimal (formula
jagung QPM : Betet = 50 : 50) serta analisa proksimat produk terpilih.
Keseluruhan analisis tersebut dapat diliha pada Tabel berikut.

Tabel 12. Analisis Proksimat Bahan Baku dan Pati


Kandungan Jagung Kacang Formula
QPM Hijau (Var (QPM) :
(%) Betet) Betet
(%) 50 : 50
(%)
Air 12.20 (b/k) 6.68 8.68
Protein 8.65 22.01 16.82
Lemak 4.32 5.88 5.29
Abu 1.65 2.42 2.10
Karbohidrat 77.85 62.99 69.21
Kadar Pati 77.95 67.58 62.12
Kadar amilosaa 29.52 (b/k) - -
a
Data sekunder penelitian mi jagung QPM

Tabel 13. Analisis Proksimat Produk Terpilih


Kandungan Produk 50 : 50 Produk 50 : 50
(Jagung QPM) (Jagung
(%) Hibrida)
(%)
Air 4.35 (b/b) 1.12 (b/b)
Protein 15.50 16.54
Lemak 3.81 5.07
Abu 2.54 2.13
Karbohidrat 73.8 75.14

a. Kadar Air

Kadar air ekstrudat campuran jagung QPM dengan penambahan grits


kacang hijau pada formulasi dengan perbandingan 50% : 50% yaitu
sebesar 4.35% . Sedangkan kadar air berdasarkan SNI 01-2886-2000 yaitu
sejumlah maksimal 4 % (b/b). Menurut Muchtadi et al, (1988) kadar air
mempunyai hubungan erat dengan sifat-sifat “garing” dan kerenyahan
produk ekstrusi. Terutama produk makanan ringan kering berasal dari

71
serealia, kerenyahannya dipengaruhi oleh jumlah air yang terikat pada
matriks karbohidrat. Kadar air produk seperti keripik kentang, ekstrudat
jagung berkisar antara 4.2 – 7.0 % (b/b) (Muchtadi et al., 1989).
Kadar air terlalu tinggi akan menyebabkan tekstur menjadi kurang
garing dan renyah. Tetapi kadar air yang terlalu rendah juga kurang baik,
terutama bagi produk ekstrudat yang mengandung lemak karena dapat
mempercepat proses ketengikan (Labuza dan Katz, 1981).

a. Kadar Abu

Kadar abu prada pruduk ekstrudat terpilih untuk formulasi jagung :


kacang hijau = 50 : 50 adalah 2.54% (b/k) Kadar abu kedua produk
hampir sama, dan termasuk kategori rendah. Hal ini dikarenakan produk
berasal dari bahan-bahan organik dengan kadar yang tinggi.

b. Kadar Protein

Kadar protein pada pruduk ekstrudat terpilih untuk formulasi


jagung : kacang hijau = 50 : 50 adalah 15.50% (b/k). Sementara
kandungan protein pada produk ekstrusi yang berasal dari jagung hibrida
varietas A4 yaitu sebesar 16.54% (b/k), sehingga dapat perkirakan produk
berbahan dasar jagung QPM mempunyai kandungan protein 1.04% lebih
rendah dari produk ekstrusi yang berbahan jagung hibrida varietas A4.
Sedangkan kadar protein bahan sebelum di ekstrusi adalah 16.82%.
Hal tersebut karena hilangnya protein pada bahan ketika proses
pemasakan. Kehilangan protein pada saat pemasakan karena semakin
tingginya suhu dan juga semakin menurunnya kadar air, sehingga banyak
asam-asam amino yang hilang (lisin 30%, arginin 20%, histidin 15%,
asam aspartat 14%, dan serin 13%) yang menyebabkan penurunkan
kualitas protein (Bjorck dan Asp, 1982).

d. Kadar Lemak

Kadar lemak pada produk ekstrudat terpilih terpilih untuk


formulasi jagung : kacang hijau = 50 : 50 adalah 1.00% (b/k). Sementara

72
kadar lemak pada bahan pada formula terbaik adalah 3.81%. Kadar lemak
semakin tinggi akan menghambat proses gelatinisasi. Kadar lemak produk
terpilih sudah memenuhi standar dari SNI 01-2886-2000. Dimana kadar
lemak yang disarankan SNI jika produk tanpa proses penggorengan
maksimal 30% (b/b) dan dengan proses penggorengan adalah maksimal
38% (b/b). Jika dibandingkan dengan formula terbaik kadar lemak produk
sangat kecil sekali.

e. Kadar Karbohidrat

Kadar karbohidrat pada produk ekstrudat terpilih jagung : kacang


hijau 50 : 50 adalah 76.61% (b/k). Kadar karbohidrat tinggi seiring dengan
kadar pati yang tinggi pula. Karena pati merupakan suatu polimer yang
terdiri dari amilosa dan amilopektin.

f. Jumlah Energi

Nilai energi makanan melelui perhitungan dengan menggunakan


faktor Atwater menurut komposisi karbohidrat, lemak, protein, serta nilai
energi faal dari makanan ekstrusi tersebut adalah 391.49 kkal/g.

73
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Pengembangan produk pangan berbasis jagung QPM yang dicampur


dengan kacang hijau varietas betet dengan menggunakan teknologi ekstrusi
dapat menghasilkan produk ekstrusi dengan kualitas yang optimal. Produk
yang terpilih dari proses optimasi yaitu produk dengan komposisi 50% jagung
dan 50% kacang hijau yang diolah pada suhu 60 ºC, pada kondisi bahan
kering dengan kadar air 8 – 12% (bk), dan diproses dengan putaran ulir 1400
rpm. Produk terpilih memiliki karakteristik skor hedonik untuk tekstur 6, skor
hedonik untuk kelengketan 5, kekerasannya 0.231 Kgf dan mempunyai derajat
pengembangan 487%. Semua karakteristik tersebut mempunyai tingkat
desirability cukup tinggi yaitu 0.811 lebih tinggi dari optimasi pertama,
artinya sekitar 81% panelis memilih produk tersebut.
Analisis proksimat pada pada formula jagung : kacang hijau = 50: 50
menunjukkan komposisi kimia produk tersebut adalah; protein: 15.50%;
lemak: 1.00%; karbohidrat : 76.61%; abu : 2.54%, air : 4.35% dan mempunyai
kandungan energi sebesar 391.49 kkal/g. Analisis fisik meliputi kekerasan,
derajat pengembangan dan derajat gelatinisasi adalah 2.13 Kgf, 500% dan
67.22%.

B. SARAN

Perlunya penelitian lebih lanjut dalam upaya peningkatan kualitas dari


produk yang dihasilkan yaitu dengan mengontrol semua faktor-faktor yang
ada, baik dari faktor eksternal atau kondisi mesin ekstruder serta faktor
internal atau kualitas bahan yang baik dan penambahan flavor, sehingga dapat
meningkatkan preferensi konsumen. Penilaian uji organoleptik pada penilitian
ini perlu dispesifikasikan antara uji organoleptik secara subyektif dengn uji
organoleptik secara obyektif serta perlunya tahapan pengujian dari semua
atribut produk sebagai tahap awal sebelum dari uji organoleptik hedonik
produk. Perlunya pengecekan kembali pada pemilihan produk optimal.

74
DAFTAR PUSTAKA

Adawiyah, D. R. 2002. Efek transisi gelas terhadap tekstur bahan pangan.


Makalah falsafah sain. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.

Ali , Y., Hanna, M. A. dan Chinnaswamy, R.1996. Expansion characterstic of


extruded corn grists. Lebesnm. J Technology., 29(8): 702-707.

Almatzier, D dan Lisdiana. 1995. Memilih dan Mengolah Sayur. Penebar


Swadaya. Jakarta.

Ana, M. L. D. 2003. Food Quality and Properties of Quality Protein Maize. Tesis.
Food Science and Technology. Texas A&M University.

Anonim. 1973. Nutritional Improvement of Food Legumes by Breeding.


Proceeding a Symposium by PAG, Roma 1-5 July 1972. Protein
Advisory Group. New York.

Anonima. 2006. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Jagung.


http://www.litbang.deptan.go.id (07-2006)

Anonimb. 2004. Ini Dia Jagung Berprotein Tinggi http://www.pustaka-


deptan.go.id/publ/warta/wr264048.pdf (07-2006)

Anonimc. 2005. What’s new in version 7 (the highlights). http://www.stat-


ease.com (05-2006).

Anonimd. 2006. Snack Food Trends in the U.S.: Sweet, Salty, Healthy and Kids
Snacks. ). http://www.marketreaserch.com (28-08-2006).

Ang, H.G., C.Y., Theng dan K.K. Lim. 1980. High Protein Extruded Snack Food.
Di dalam Makalah Ekstruder Proceeding Teknologi 8th ASEAN
Workshop, 14 – 15 Januari 1980. Bangkok.

Apriyantono, A., Dedi Fardiaz., N. Puspitasari., Sedarnawati dan Slamet


Budiyanto. 1989. Analisis Pangan. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

AOAC. 1995. Official Methode of Analysis of The Association Analitical


Chemist. Inc., Washington DC.

Baco, D., M. M. Dahlan, Subandi, T. M. Dahlan, dan I. G. P Samsutha. 2000.


Teknologi produksi dan penyimpanan jagung. J Agr. I (225-251).

Banks, W. Dan C. T. Greenwood. 1975. Starch Its Component. Halsted Press,


John Willey and Sons., New York.

75
Baik, B. K., Joseph .P., dan Linhda T. N. 2004. Extrusion of Regular and Waxy
Barley Flours for Production of Expanded Cereals. J. Cereal Chemistry
81(I) : 94 – 99.

Bjorck. I dan N. G. Asp. 1982. The Effect of Extrusion on Nutritional Value- A


Literature Review. Di dalam. Roanald J. 1983. Extrusion Cooking
Techology. J. Food Engginering Vol 2. Elsevier Applied Science
Publisher. London and New York.

Bouwkamp, J. C. 1985. Sweet Potato Products: A Natural Resource for The


Topics. CRC. Oress, Inc. Boca Rato, Florida. USA

Buhler.,A.G. 2006. ExtruderSystem.http://www.buhlergroup.com/Docs/25320EN.pdf


Uzwil, Switzerland. (26-05 2006).
Cahyono, U. 1999. Karakteristik Mutu Fisiko-Kimia dan Organik Produk Sereal
Sarapan Dengan Teknologi Ekstrusi Ulir Tunggal dari Hasil Sanping
Penggilingan Padi (Menir dan Bekatul). Skripsi. Fakultas Teknologi
Pertanian. IPB, IPB. Bogor.

Chinnaswamy R., Hanna M.A. 1990. Macromolecular nad functional properties of


native and extrusion-cooked corn starch. Cereal Chem.. 67(1): 490-499.

Chinnaswamy R., Hanna M.A. 1988. Opimum extrusion-cooking condition for


maximum expansion of corn starch. J. of Food Sci., 63, 834-840

Damardjati, D. S. 1987. Amilografi Untuk Karakteristik Sifat Pati. Balitan


Sukamandi.

Desrumaux, A., Bouvier. J. M. dan Burri, J. 1998. Corn grits particle size and
distribution effects on the characteristic of expanded extrudates. Journal
of Food Science 63(5) : 857 – 863.

Dixon, R Phillips. 1981. Effect of extrusion Cooking on The Nutritional Quality


of Plant Protein. University of Georgia Agricurtural Experiment Station.
Georgia.

Effendi, S dan Sulistiati. 1991. Bercocok Tanam Jagung. CV. Yasaguna, Jakarta.

El-Dash. A A., Ronaldo Gonzales., dan Marcia Ciol. 1982. Response Surface
Methodology in The Control of Thermoplastic Extrusion of Starch. Di
dalam. Jowitt. R. 1983. Extrusion Cooking Technology. J Food
Engonering. Vol 2 ; 2 – 4.

Fast, R. B 1990 “Manufacturing Technology of Ready-to-eat Cereals”, “Breakfast


Cereals and How They Are Made” (Ed) : R. B. Fast dan E. F Caldwell,
American American Association of Cereal Chemists, Inc.

Faubion, J.M., R. C. Hoseney dan P.A. Seib. 1982. Fucntionality of Grain


Components in Extrusion. Cereal Food World 27 : 212 – 216.

76
Fennema. O. R. 1996. Food Chemistry. Third Edition. Marcell Dekker. Inc. New
York Barel. HongKong :1067p

Fennema , O. R. 1976. Principle of Food Science, Part I Food Chemistry. Marcel


Dekker, Inc. New York.

Greenwood, C. T. dan D. N. Munro. 1979. Carbohydrates di dalam. R. J. Priestly,


ed. Effect Heat on Foodstuffs. Applied Science Publ. Ltd., London.

Gimeno E., Moraru C. I., dan Lokini J. L. 2004. Effect of Xanthan Gum and CMC
on the Structure and Texture of Corn Flour Pellets Expanded by
Microwave Heating. American Association of Cereal Chemistry. J
Cereal Chem. 81(I) : 100 – 107.

Guy, R. 2001. Extrusion cooking Technologies and Aplications. Woohead


Publishing Limited Cambridge England. CRS Press. Boca Raton Boston
New York Washington DC. .

Hardinsyah, S. Madanijah, dan Y.F. Baliwati. 2002. Analisis Neraca Bahan


Makanan dan Pola Pangan Harapan Konsumen Untuk Perencanaan
Ketersedian Pangan. PSKPG-IPB dan Pusat Pengembangan Ketersedian
Pangan, Deptan. Bogor.

Harper, J. M. 1981. Ekstrussion of Food Vol II. CRC Press Inc., Boca Raton,
Florida.

Hodge, J. E, and E. M. Osman. 1976. Carbohydrates, pp. 41 – 130. In O. R.


Fennema, ed. Princple of Food Science, Part I. Food Chemstry. Mercel
Dekker, Inc. New York

Hoseney, R.C. 1998. Principle of Cereal Science and Technology, second edition.
American Association of Cereal Chemist, Inc. St. Paul, Minnesota, USA.

Ilo, I., Tomschick, E., Berghofer, E., dan Mundigle, N. 1996. The effect of
extrusion operation condition on the apparent viscosity and propertied of
extrudates in twin screw cooking of maize grits. Lebensmittel-
Wissenschaft und-Technologie. 29: 596 – 598.

ISO. 1981. Sensory analysis vocabulary, Part 4. International Organization for


Standardization. Geneva. Switzeland.

Inglett, G.E. 1970. Corn: Culture, Processing, Products. The AVI Publishing
Company, Inc. Westport, Connecticut.

Jugenheimer, R.W. 1976. Corn: Improvement, Seed Production, and Uses. John
Willey and Sons, New York.

Juliano, B. O. 1974. General Chemistry Prosedures. IRRI. Laguna., Los Banos

77
Karyadi, D. dan Muhilal, 1985. Kecukupan Gizi yang dianjurkan. PT. Gramedia,
Jakarta.

Kay, D. 1979. Food Legumes. Tropical Products Institute, Bogor

Katz, E.E. and T.P. Labuza. 1981. Effect of Water Activity on The Sensory
Cripness and Mechanical Deformation of Snack Food Producs. J. Food
Science. 46 : 403.

Kearns., J. P., Rokey., G. J dan Huber., G. R. 2004. Extrusion of Texturized


Protein. Wenger International, Inc dan Wenger Manufacturing. Kansas
City Missouri dan Sabetha Kansas. USA.

Kokini., J. L., Tang Ho., C., dan Karwe., M. V. 1999. Food Extrusion Science and
Technology. The State University of New Jersey. Marcel Dekker, Inc.

La Ega, 2002. Kajian Sifat Fisik dan Kimia Serta Pola Hidrolisis Pati Ubi Jalar
Jenis Unggul Secara Enzimatis dan Asam. Desertasi Pasca Sarjana
Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Laztity, R. 1986. The Chemistry of Cereal Protein. CRC Press Inc., USA.

Lawless., H. T. dan Heymann, H.1999. Sensory Evaluation of Food Principle and


Practies. Kluer Academic Publishers. New York .

Lorenz, K.J. and K. Karel. 1991. Handbook of Cereal Science adn Technology.
Marcell Dekker, Inc. Basel.

Linko, P. P., P. Colonna dan C. Mercier. 1981. High Temperature Short Time
Ekstrusion Cooking. Di dalam Y. Pomeraz (ed). Advace in Cereal
Science adn Technology. The AACC Inc, St. Minnesota.

McCormick, K.M., Panozzo, J.F. dan Hong, S.H. 1991. “A Swelling power test
for selecting potential noodle and mungbean starch vermicelli.” J. of
Food Sci. 53(6): 1809-1812.

Monaru., C. J and J. L Kokini. 2003. Nucleation and Expansion During Extrusion


and Microwave Heating of Cereal Food. Dept Food Science and Centre
for Advance Food Technology. Univ Brunswick.

Mejaya., M. J., Marsum D dan Marcia P. 2005. Pola Heterosis Dalam


Pembentukan Varietas Unggul Jagung Bersari Bebas dan Hibirida.
Seminar Rutin Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor.

Mercier, C. Dan P. Feillet. 1975. Modification of Cabohydrat Component by


Extrusion Cooking of Cereal Product. J. Cereal Chem. 53(3) 283-286.

Miller, R.C. 1985. Low Moisture Extrusion: Effect of Cooking Moisture in


Product Characteristic. J. Food Sci. 50 (1) : 240-253

78
Muchtadi, T.R., Purwiyatno, dan A. Basuki. 1988. Teknologi Pemasakan Ekstrusi.
LSI, IPB, Bogor.

Muchtadi, D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Pusat Antar Universitas dan Gizi
Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Muchtadi, T. R dan Sugiyono. 1989. Petunuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan


Bahan Pangan. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Muchtadi, T. R dan Sugiyono. 1990. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Pusat


Antar Universitas dan Gizi Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Muchtadi. Tien. R. dan Sugiono. 1989. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan.


Petunjuk Laboratorium. Departement Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas. Institut
Pertanian Bogor.

Moraru., C. I dan Kokini., J.L. 2003. Nucleation and Expansion During Extrusion
and Microwave Heating of Cereal Foods. Dept. of Food Science and
Center for Advanced Food Technology. J Food Science Vol 2.

Myers, Raymond H. 1971. Response Surface Methodology. Associate Professor


of Statistics Virginia Polytechnic Institute. Boston.

Osmon, E. M. 1972. Starch and Other Polysaccharides. di dalam P. J. Paul dan H.


N. Palmer, eds. Food Theory and Application. John Willey and Sons
Inc., Florida.

Ozcan, S., dan David, S. J. 2005. Functionality Behaviour of Raw and Extruded
Corn Starch Mixtures. American Association of Cereal Chemistry.
Cereal Chem, 82(2) 223 – 227.

Riaz., M. N. 2004. Texture Soy Protein and Its Uses. Head-Extrusion Technplogy
Program and Grduate Faculty, Food Sci & Tech. Program. Food Protein
R&D Center. Texas A&M University.

Rosenthal., A. J. 1999. Food Textur Measurement and Perception. Aspen


Publisher, Inc. Gaithersburg, Maryland.

Rossen, J. L. dan Miller. 1973 . Food Extrusion. Food Tech. 28:46-53.

Sarono, Subiyanti S dan Cherng-liang T. 2001. Corn Production In ASIA. Kyung-


joo Park (Ed). Food and Fertilizer Technology Center. Taiwan.

Schoch, T. J. 1969. Starch in Food. Di dalam. C. H. W. Schultz. Ed. Symposium


on Food: Carbohydrates and Their Rollse. The AVI Pub. Co., Inc.,
London.

79
Smith, O. B. 1981. Extrusion Cooking of Cereal and Fortified Food. Makalah
pada Proceeding Extruder Technology. Eight ASEAN Workshop, 14-25
Januari 1980, Bangkok, 16-20 November 1987.

SNI. 2000. Makanan Ekstrudat. Dewan Standarisasi Nasional, Jakarta.

Soekarto, S. T. 1990. Penelitian Organoleptik. Angkasa Bhatara Karya. Jakarta.

Subandi, S. Saenong, Zubachtirodin, dan F. Kasim. 2003. Perkembangan


penelitian Jagung di Indonesia. Makalah Lokakarya Bioteknologi Dalam
Pemuliaan Tanaman. Hotel Horison. 16 Juli 2003. Bandung. di dalam
Ismail, A., Firmansyah, D. A., dan D. Ruswandi (2004). Uji Daya Hasil
Pendahuluan Hibrida-Hibrida Silang Tunggal DMR x QPM di
Jatinangor .

Suprapto. 1992. Bertanam Jagung. Cetakan ke-8. Penebar Swadaya, Jakarta

Suprapto. 1998. Bertanam Kacang Hijau. Cetakan ke-13. Penebar Swadaya,


Jakarta

Thirumaran, A.S. dan M.A. Sralthan. 1987. Utilization of Mungbean. Di dala.


Mungbean Preceeding of The Second International Symposium, 16-20
Nov. 1987. Bankok, Thailand.

Tribelhorn, R.E. 1991. Breakfast Cereal. Di dalam : K.J. Lorenz dan K.Pulp (eds).
Handbook of Cereal Science and Technology. Marcel Dekker Inc. New
York, Basel, Hongkong. Hal : 259-285.

Vail, E.G., J.A. Philip, L.O. Rist, R.M. Grisworld dan M.M. Justin. 1978. Foods.
Hougton Miffihn Company. Boston.

Wang, S. W. 1997. Starches and starch derivates in expanded snacks. Cereals


Food World 42 : 743 – 745.

Wang, S. S. 1993. Gelatinization and melting of starch and tribochemistry in


extrusion. Starch 45 : 388 – 390.

Wang, S. S. Chiang, W. C., Yeh, A. L., Zao, B., and Kim, I. H. 1989. Kinetics of
phase transition of waxy corn starch at extrusion temperatures and
moisture contents. J Food Sci. 54:1298-1301.

Walpole, Ronald E. 1995. Pengantar Statistika. Edisi Ke-3. PT Gramedia Pustaka


Utama, Jakarta.

Warisno, M.A. 1998. Direct Extrusion of Convenience Foods. Cereal Food


World. 22(4) : 152
Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia, Jakarta.

80
Whistler, R.L. dan Daniel, J.R 1984. ”Molecular strukture of starch.” In R.L.
Whistler, J.N. BeMiller dan E.F. Paschall (eds). Starch Chemistry and
Technology. Academic Press, Orlando, F.L.
White, P. J and Lawrence, A. J. 2003. Corn : Chemistry and Technology. 2nd
edition. American Associaion of Cereal Chemists, Inc. St. Paul,
Minnesoata, USA.
Wooton, M.D., Weeden and N. Munk. 1971. A rapid method for Estimation of
Starch Gelatinisation in Processed Food. J. Food Tech. December. P:
612-615.

81
82
Lampiran 1. Worksheet uji organoleptik

WORKSHEET

Hari/tanggal : Selasa/24 Juli 2006


Jenis pengujian : Uji Hedonik (Rating Test)
Sampel : Snack (Produk ekstrusi)

Identifikasi Sampel Kode


Sampel
Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 100 : 0, suhu 60 862
Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 50 : 50, suhu 60 245
Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 100 : 0, suhu 62.5 458
Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 75 : 25, suhu 62.5 396
Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 100 : 0, suhu 65 522
Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 50 : 50, suhu 65 498
Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 75 : 25, suhu 67.5 298
Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau =100 : 0, suhu 70 665
Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 50 : 50, suhu 70 635
Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 0 : 100, suhu 60 223
Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 25 : 75, suhu 62.5 398
Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 0 : 100, suhu 65 183
Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 25 : 75, suhu 67.5 765
Snack dengan komposisi jagung : Kacang hijau = 0 : 100, suhu 70 138

83
Lampiran 2. Form Penilaian Uji organoleptik 1

Produk Ekstrusi
Nama panelis : __________________ Tanggal: Jumat, 28 Juli 2006
Sampel : snack (1) HP :
Instruksi:
1. Ambil sampel yang telah disediakan dan cicipilah sampel mulai dari sebelah kiri ke
kanan. Netralkan dengan menggunakan air minum yang disediakan setiap kali Anda
akan mencicipi sampel yang lain.
2. Nilailah setiap sampel yang disediakan (jangan membandingkan antar sampel).
Berilah tanda checklist (9) pada pernyataan yang sesuai dengan penilaian saudara.

1. TEKSTUR

Kode sampel
Penilaian
862 245 458 396 522 498 298
Sangat suka
Suka
Agak suka
Netral
Agak tidak suka
Tidak suka
Sangat tidak suka

Komentar:

2. KELENGKETAN DI MULUT
Kode sampel
Penilaian
862 245 458 396 522 498 298
Sangat suka
Suka
Agak suka
Netral
Agak tidak suka
Tidak suka
Sangat tidak suka

Komentar:

84
Lampiran 3. Form Penilaian Uji organoleptik 2

Produk Ekstrusi
Nama panelis : __________________ Tanggal: Jumat, 28 Juli 2006
Sampel : snack (2) HP :
Instruksi:
3. Ambil sampel yang telah disediakan dan cicipilah sampel mulai dari sebelah kiri ke
kanan. Netralkan dengan menggunakan air minum yang disediakan setiap kali Anda
akan mencicipi sampel yang lain.
4. Nilailah setiap sampel yang disediakan (jangan membandingkan antar sampel).
Berilah tanda checklist (9) pada pernyataan yang sesuai dengan penilaian saudara.

1. TEKSTUR
Kode sampel
Penilaian
665 635 223 398 183 765 138
Sangat suka
Suka
Agak suka
Netral
Agak tidak suka
Tidak suka
Sangat tidak suka

Komentar:

2. KELENGKETAN DI MULUT
Kode sampel
Penilaian
665 635 223 398 183 765 138
Sangat suka
Suka
Agak suka
Netral
Agak tidak suka
Tidak suka
Sangat tidak suka

Komentar:

85
Lampiran 4. Hasil Penilaian Tekstur Uji Organoleptik
Hasil Penilaian Tekstur
Kode Kode Kode Kode Kode Kode Kode Kode Kode Kode Kode Kode Kode Kode
No Nama Panelis 396 298
862 245 458 522 498 665 635 223 398 183 765 138
1 Eko 4 7 6 5 3 6 6 5 6 5 6 6 6 6
2 Zulkipli 6 7 5 6 5 6 6 4 6 7 6 6 7 5
3 Alik 6 6 3 6 6 7 6 1 7 7 6 6 7 2
4 Ghadi 2 7 5 6 2 6 5 2 2 7 6 7 3 1
5 Nani 2 5 2 2 3 3 6 1 2 7 5 6 7 1
6 Murhadina 6 5 3 3 2 2 2 1 5 5 5 3 6 3
7 Zikrina 5 6 4 2 3 7 1 1 7 7 5 7 6 2
8 Dian Kresna 6 6 7 6 5 5 6 5 6 3 6 3 5 3
9 Heru 6 7 4 6 2 6 7 3 7 7 4 6 7 1
10 Dhenok 3 3 4 4 4 4 3 5 3 3 6 6 3 5
11 Egis 5 3 6 5 3 4 3 2 3 2 5 6 6 6
12 Inggrid 6 7 6 7 3 5 3 1 6 7 2 4 5 1
13 Farah S 6 6 6 6 3 6 5 6 6 7 7 6 6 5
14 Iqbal 6 6 3 3 2 5 5 6 5 7 6 5 6 3
15 Adjeng 6 3 5 6 5 5 6 6 4 2 2 3 4 3
16 Tina 6 6 6 6 6 6 3 2 2 6 5 6 6 5
17 Adrinal 6 6 5 6 3 6 2 2 5 6 6 6 6 5
18 Irene 5 5 4 5 3 3 4 2 5 4 5 3 4 4
19 Didin 5 6 5 6 3 5 5 3 4 6 5 5 6 5
20 Maria 6 6 6 6 7 3 2 2 3 6 7 7 7 2
21 Anita 5 6 5 6 2 5 2 3 6 6 7 7 7 5
22 Shinta 6 7 5 6 4 5 4 2 6 7 5 5 6 3
23 Irwan 5 5 4 3 3 5 5 5 3 6 5 5 5 3
24 Samsul 4 5 4 5 6 6 6 3 6 6 5 5 4 3
25 Nanda 3 5 5 5 5 5 6 5 5 6 5 6 6 5
26 Dadik 6 7 6 5 5 6 6 2 4 6 5 6 6 3
27 Manto 6 3 7 5 2 4 3 4 5 5 2 2 1 2
28 Randy 6 7 5 5 6 6 5 5 6 7 6 6 7 6
29 Dora 6 7 5 6 3 4 4 2 3 6 5 3 4 4
30 Eva 5 4 5 6 3 6 5 3 6 6 5 5 6 3
31 Ely Fahmi 2 3 3 6 1 5 5 2 6 7 6 7 6 5
32 Beta 4 4 4 4 4 7 5 7 7 7 7 7 7 7
Rata-rata 3.03 5.5 4.78 5.13 3.66 5.13 4.44 3.22 4.91 5.81 5.25 5.34 5.56 3.66
Pembulatan 3 6 5 5 4 5 4 3 5 6 5 5 6 4

86
Lampiran 5. Hasil Penilaian Kelengketan Uji Organoleptik
Nilai Kelengketan di Mulut
Kode Kode Kode Kode Kode Kode Kode Kode Kode Kode Kode Kode Kode Kode
No Nama Panelis 396 298
862 245 458 522 498 665 635 223 398 183 765 138
1 Eko 3 4 3 4 5 5 5 5 6 6 6 6 5 5
2 Zulkipli 5 5 6 5 6 5 4 3 5 6 5 6 6 4
3 Alik 5 6 3 6 3 7 7 1 7 7 6 6 7 2
4 Gadhi 3 6 4 6 6 2 6 2 5 6 5 2 2 1
5 Nani 2 3 2 2 5 5 6 1 2 7 5 3 3 1
6 Murhadina 5 6 3 5 3 1 2 1 6 6 5 3 6 2
7 Zikrina 3 6 2 4 5 7 1 2 6 7 5 3 2 1
8 Dian Kresna 6 5 6 5 6 5 6 3 4 6 5 5 5 6
9 Heru 5 7 6 6 2 5 5 2 5 6 2 3 3 2
10 Dhenok 3 3 3 4 4 5 5 5 4 4 5 6 4 5
11 Egis 2 5 5 3 6 3 5 6 6 6 6 2 4 6
12 Inggrid 6 5 7 5 6 5 6 6 5 6 2 4 5 4
13 Farah 3 6 5 6 3 5 5 2 2 6 5 5 6 5
14 Iqbal 6 6 5 3 2 5 2 5 3 6 6 5 6 3
15 Adjeng 6 6 3 7 3 6 5 2 3 6 5 6 6 3
16 Tina 3 3 3 5 3 6 6 3 5 6 6 6 5 5
17 Adrinal 3 5 5 6 3 6 2 2 3 6 5 3 6 5
18 Irene 4 5 3 5 3 3 4 2 5 4 5 3 4 4
19 Didin 5 6 5 6 5 5 5 3 5 6 5 3 5 5
20 Maria 6 7 6 6 6 3 2 2 6 7 3 3 2 2
21 Anita 5 4 4 5 4 6 3 4 6 6 6 6 5 5
22 Shinta 4 6 4 5 3 3 5 4 4 7 3 3 6 3
23 Irwan 3 5 3 4 5 6 5 3 5 5 3 5 5 3
24 Samsul 3 5 3 5 5 6 6 4 5 5 4 4 4 3
25 Nanda 5 5 2 3 3 3 2 3 3 5 3 5 3 2
26 Dadik 5 7 6 3 2 5 4 1 3 6 5 7 3 3
27 Manto 2 4 6 6 3 6 2 2 3 5 3 5 6 4
28 Randy 5 4 5 4 4 5 4 6 5 6 6 5 6 5
29 Dora 6 5 4 6 5 4 4 2 4 4 4 1 1 2
30 Eva 4 3 5 6 3 5 3 3 6 6 5 5 6 3
31 Ely Fahmi 2 5 3 6 2 5 4 5 5 7 3 6 4 5
32 Beta 3 3 1 1 1 3 1 3 3 3 2 5 3 3
Rata-rata 4.36 5.36 4.36 5.09 4.16 5.02 4.39 3.26 4.82 6.15 4.79 4.66 4.79 3.73
Pembulatan 4 5 4 5 4 5 4 3 5 6 5 4 5 4

87
Lampiran 6. Prosedur Penilaian Uji Organoleptik

Prosedur:
1. Setiap sampel diberi kode sesuai dengan nomor panelis.
2. Sampel diletakkan sesuai dengan urutan yang telah ditentukan.
3. Sampel, scoresheet, air penetral disiapkan di dalam booth dan disajikan
kepada panelis.
4. Panelis diminta untuk mencicipi sampel dari kiri ke kanan, boleh mengulang,
dan panelis diminta untuk menilai setiap sampel yang disajikan (tidak boleh
membandingkan antar sampel), rentang: amat sangat tidak suka → amat
sangat suka.

88
Lampiran 7. Hasil Analisis Sidik Ragam Untuk Tekstur

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Skor tekstur


Type III
Sum of Mean
Source Squares df Square F Sig.
Corrected
427.339(a) 44 9.712 5.268 .000
Model
Intercept 5643.31
10404.645 1 10404.645 .000
6
FORMULA 255.199 13 19.631 10.647 .000
PANELIS 172.141 31 5.553 3.012 .000
Error 743.016 403 1.844
Total 11575.000 448
Corrected
1170.355 447
Total
a R Squared = .365 (Adjusted R Squared = .296)

Skor tekstur

Duncan
Formul
a N Subset
1 2 3 4
8 32 3.22
5 32 3.66
14 32 3.72
7 32 4.44
3 32 4.78 4.78
9 32 4.91 4.91
1 32 5.03 5.03
6 32 5.12 5.12 5.12
4 32 5.13 5.13 5.13
11 32 5.25 5.25
12 32 5.34 5.34
2 32 5.50 5.50
13 32 5.56 5.56
10 32 5.81
Sig. .166 .077 .051 .082
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum
of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.844.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 32.000.
b Alpha = .05.

89
Lampiran 8. Hasil Analisis Sidik Ragam Untuk Kelengketan

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: Skor Kelengketan


Type III
Sum of Mean
Source Squares df Square F Sig.
Corrected
338.732(a) 44 7.698 4.341 .000
Model
Intercept 4805.73
8522.580 1 8522.580 .000
7
FORMULA 178.170 13 13.705 7.728 .000
PANELIS 160.562 31 5.179 2.921 .000
Error 714.688 403 1.773
Total 9576.000 448
Corrected
1053.420 447
Total
a R Squared = .322 (Adjusted R Squared = .247)

Skor Kelengketan

Duncan
Formula N Subset
1 2 3 4 5 6
8 32 3.06
14 32 3.56 3.56
5 32 3.91 3.91
1 32 4.09 4.09 4.09
3 32 4.09 4.09 4.09
7 32 4.13 4.13 4.13
12 32 4.37 4.37 4.37
11 32 4.50 4.50 4.50
13 32 4.50 4.50 4.50
9 32 4.53 4.53 4.53
6 32 4.72 4.72
4 32 4.78 4.78
2 32 5.03
10 32 5.78
Sig. .134 .136 .113 .083 .091 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum
of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.773.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 32.000.
b Alpha = .05.

90
Lampiran 9. Hasil Analisis Sidik Ragam Untuk Kekerasan
Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig. Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III
Corrected Model 3551927.384( Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 8947.050.
13 273225.183 30.538 .000
a) a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
Intercept 126441750.0 126441750.03 b Alpha = .05.
1 14132.228 .000
36 6
FORMULA 3551927.384 13 273225.183 30.538 .000
Error 125258.700 14 8947.050
Total 130118936.1
28
20
Corrected Total 3677186.084 27

FORMU
LA N Subset
1 2 3 4 5 6 7 8
7 2 1608.9500
10 2 1759.2500 1759.2500
8 2 1818.0000 1818.0000 1818.0000
11 2 1868.1000 1868.1000 1868.1000
14 2 1886.1500 1886.1500 1886.1500 1886.1500
3 2 2024.0000 2024.0000 2024.0000
5 2 2034.8000 2034.8000 2034.8000
4 2 2086.9500 2086.9500 2086.9500
6 2 2103.9000 2103.9000 2103.9000
2 2 2258.8500 2258.8500
1 2 2281.0500 2281.0500
13 2 2315.3500
12 2 2828.8500
9 2 2876.3000
Sig. .053 .236 .056 .054 .055 .078 .057 .624

91
Lampiran 10. Hasil Analisis Sidik Ragam Untuk Derajat Pengembangan

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: DERAJAT PENGEMBANGAN


Type III Sum
Source of Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model 71681.878(a) 13 5513.991 29.819 .000
Intercept 5957689.517 1 5957689.517 32217.970 .000
FORMULA 71681.878 13 5513.991 29.819 .000
Error 2588.855 14 184.918
Total 6031960.250 28
Corrected Total 74270.733 27
a R Squared = .965 (Adjusted R Squared = .933)

DERAJAT PENGEMBANGAN

Duncan
FOR-
MULA N Subset
1 2 3 4 5 6 7
1 2 375.1000
14 2 380.0000
7 2 391.3500
5 2 420.6500
3 2 442.1500 442.1500
4 2 456.7500 456.7500
8 2 473.8000 473.8000
11 2 474.8000 474.8000
13 2 480.0000 480.0000 480.0000
12 2 495.0000 495.0000
6 2 502.8500 502.8500 502.8500
9 2 506.9000 506.9000
2 2 527.8500
10 2 530.6500
Sig. .276 .136 .301 .136 .072 .088 .079
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The
error term is Mean Square(Error) = 184.918.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
b Alpha = .05.

92
Lampiran 11. Ringkasan Rancangan Penelitian software DX 7
Design Summary

Study Type Combined Runs 15


Initial Design D-optimal Point Exchange Blocks No Blocks
Design Model Quadratic x Quadratic

Mixture Components AB
Process Factors C

Component Name Units Type Low Actual High Actual Low Coded High Coded Mean Std. Dev.
A A Persen Mixture 0.000 100.00 0.000 1.000 50.000 38.730
B B Persen Mixture 0.000 100.00 0.000 1.000 50.000 38.730
C Suhu Numeric 60.00 70.00 -1.000 1.000 65.167 3.704
L_Pseudo Coding
Total = 100.00

Response Name UnitsObs Analysis Minimum Maximum Mean Std. Dev. Ratio Trans Model
Y1 Skor Tekstur 15 Polynomial 3.20 5.80 4.75 0.79 1.81 None Quadratic x Cubic
Y2 Skor Kelengketan 15 Polynomial 3.10 5.80 4.30 0.65 1.87 None Cubic x Linear
Y3 teksturNewton 15 Polynomial 1523.70 2953.60 2091.56 357.02 1.94 None Quadratic x Quadratic
Y4 derajat pengembanganpersent 15 Polynomial 367.30 541.00 458.70 55.45 1.47 None Linear x Linear

93
Lampiran 12. Hasil Analisis Respon Skor Tekstur dengan software DX 7

Response 1 Skor Tekstur Transform: None


*** Mixture Component Coding is Real. ***

Mixture Components A B
Process Factors C

Suggested Model[s] Mix Process


Quadratic Linear
Quadratic Cubic

Order Abbreviations in Fit Summary Table


M = Mean L = Linear Q = Quadratic C = Cubic

Combined Model Mixture Process Fit Summary Table


Sequential p-value
Summary Statistics
Mix Process Mix Process Lack of Fit Adjusted Predicted
Order Order R-Squared R-Squared
M M
M L 0.0083 0.3819 0.2509
M Q 0.5812 0.3479 0.1410
M C 0.3057 0.3562 0.0815
M M
L M 0.3154 0.0064 -0.3083
L L 0.1475 0.0108 0.4843 0.1711
L Q 0.1585 0.3600 0.4977 -0.3274
L C 0.2019 0.3399 0.5255 -0.6384
L M
Q M 0.0800 0.1751 -0.1790
Q L 0.0023 0.0005 0.8365 0.6520 Suggested
Q Q 0.0174 0.3954 0.8454 -1.7977
Q C 0.0075 0.0343 0.9767 Suggested
Q M
C M 0.5283 0.1335 -0.2236
C L 0.1387 0.0008 0.8804 0.6750
C Q * 0.2208 * 0.4092 0.8910 -1.3705 Aliased
C C * 0.7198 * 0.1478 0.9678 Aliased
* The combined model is aliased

"Mixture Process Combined Model Table": Prob>F values are for Mix, Process.
Select the highest order polynomial where the additional terms are significant for
both Mixture and Process and the model is not aliased.

"Lack of Fit Tests": Want the selected model to have insignificant lack-of-fit.

"Model Summary Statistics": Focus on the model maximizing the "Adjusted R-Squared"
and the "Predicted R-Squared".

94
Lampiran 13. Hasil Anova Respon Skor Tekstur dengan software DX 7

Use your mouse to right click on individual cells for definitions.


Response 1 Skor Tekstur
ANOVA for Combined Quadratic x Cubic Model
*** Mixture Component Coding is Real. ***
Mixture Components AB
Process Factors C

Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III]


Sum of Mean F p-value
Source Squares df Square Value Prob > F
Model 9.29 11 0.84 54.31 0.0036 significant
Linear Mixture 0.72 1 0.72 46.45 0.0065
AB 4.877E-003 1 4.877E-003 0.31 0.6146
AC 0.18 1 0.18 11.46 0.0429
BC 0.068 1 0.068 4.39 0.1270
ABC 4.881E-003 14.881E-003 0.31 0.6144
AC2 0.18 1 0.18 11.59 0.0423
BC2 0.069 1 0.069 4.46 0.1250
ABC2 4.862E-003 14.862E-003 0.31 0.6151
AC3 0.18 1 0.18 11.67 0.0419
BC3 0.071 1 0.071 4.55 0.1228
ABC 3 4.811E-003 14.811E-003 0.31 0.6169
Residual 0.047 3 0.016
Lack of Fit 0.047 2 0.023
Pure Error 0.000 1 0.000
Cor Total 9.34 14

The Model F-value of 54.31 implies the model is significant. There is only
a 0.36% chance that a "Model F-Value" this large could occur due to noise.

Values of "Prob > F" less than 0.0500 indicate model terms are significant.
In this case Linear Mixture Components, AC, AC2, AC3 are significant model terms.
Values greater than 0.1000 indicate the model terms are not significant.
If there are many insignificant model terms (not counting those required to support hierarchy),
model reduction may improve your model.

Std. Dev. 0.12 R-Squared 0.9950


Mean 4.75 Adj R-Squared 0.9767
C.V. % 2.63 Pred R-Squared N/A
PRESS N/A Adeq Precision 23.369
Case(s) with leverage of 1.0000: Pred R-Squared and PRESS statistic not defined

"Adeq Precision" measures the signal to noise ratio. A ratio greater than 4 is desirable. Your
ratio of 23.369 indicates an adequate signal. This model can be used to navigate the design space.

95
Lampiran 14. Hasil Pemodelan Matematika Respon Skor Tekstur dengan software DX 7

Coefficients in Terms of Real Components and Actual Factors:


Coefficient Standard 95% CI 95% CI
Component Estimate df Error Low High VIF
A-A -3097.39 1 922.32 -6032.63 -162.14 3.282E+008
B-B 3588.40 1 1721.13 -1889.02 9065.82 1.143E+009
AB 3665.34 1 6545.85 -17166.49 24497.18 9.040E+008
AC 145.10 1 42.86 8.71 281.49 2.964E+009
BC -167.16 1 79.74 -420.94 86.62 1.067E+010
ABC -170.04 1 303.52 -1135.98 795.90 8.235E+009
AC2 -2.26 1 0.66 -4.36 -0.15 3.001E+009
BC 2 2.60 1 1.23 -1.31 6.51 1.118E+010
ABC2 2.62 1 4.68 -12.28 17.52 8.400E+009
AC3 0.012 1 3.409E-003 7.990E-004 0.022 3.404E+008
BC3 -0.013 1 6.303E-003 -0.033 6.621E-003 1.312E+009
ABC3 -0.013 1 0.024 -0.090 0.063 9.590E+008

Final Equation in Terms of Real Components and Actual Factors:

Skor Tekstur =
-3097.39 *A
+3588.40 *B
+3665.34 *A*B
+145.10 *A*C
-167.16 *B*C
-170.04 *A*B*C
-2.26 * A * C2
+2.60 * B * C2
+2.62 * A * B * C2
+0.012 * A * C3
-0.013 * B * C3
-0.013 * A * B * C3

Final Equation in Terms of Actual Components and Actual Factors:


Skor Tekstur =
-30.97388 *A
+35.88400 *B
+0.36653 *A*B
+1.45099 * A * Suhu
-1.67155 * B * Suhu
-0.017004 * A * B * Suhu
-0.022554 * A * Suhu2
+0.025971 * B * Suhu2
+2.61803E-004 * A * B * Suhu2
+1.16472E-004 * A * Suhu3
-1.34395E-004 * B * Suhu3
-1.33671E-006 * A * B * Suhu3

96
Lampiran 15. Hasil Analisis Respon Skor Kelengketan dengan software DX 7

Response 2 Skor Kelengketan Transform: None


*** Mixture Component Coding is Real. ***

Mixture Components A B Process Factors C

Suggested Model[s] Mix Process


Cubic Linear

Order Abbreviations in Fit Summary Table


M = Mean L = Linear Q = Quadratic C = Cubic

Combined Model Mixture Process Fit Summary Table


Sequential p-value
Summary Statistics
Mix Process Mix Process Lack of Fit Adjusted Predicted
Order Order R-Squared R-Squared
M M
M L 0.0058 0.4130 0.2151
M Q 0.8927 0.3651 0.0432
M C 0.3818 0.3560 0.0055
M M
L M 0.3255 0.0032 -0.3163
L L 0.0354 0.0019 0.6222 0.2760
L Q 0.0962 0.7470 0.5672 -0.1395
L C 0.1965 0.5549 0.5297 -0.3846
L M
Q M 0.1078 0.1372 -0.2401
Q L 0.0030 0.0001 0.8731 0.6666
Q Q 0.0127 0.3935 0.8802 -1.6926
Q C 0.0255 0.1630 0.9473
Q M
C M 0.7762 0.0660 -0.3194
C L 0.0147 < 0.0001 0.9511 0.8155 Suggested
C Q * 0.0029 * 0.0231 0.9903 0.5008 Aliased
C C * 0.1127 * 0.8672 0.9832 Aliased
* The combined model is aliased

"Mixture Process Combined Model Table": Prob>F values are for Mix, Process.
Select the highest order polynomial where the additional terms are significant for
both Mixture and Process and the model is not aliased.

"Lack of Fit Tests": Want the selected model to have insignificant lack-of-fit.

"Model Summary Statistics": Focus on the model maximizing the "Adjusted R-Squared"
and the "Predicted R-Squared".

97
Lampiran 16. Hasil Anova Respon Skor Kelengketan dengan software DX 7

Response 2 Skor Kelengketan


ANOVA for Combined Cubic x Linear Model
*** Mixture Component Coding is Real. ***
Mixture Components AB
Process Factors C

Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III]


Sum of Mean F p-value
Source Squares df Square Value Prob > F
Model 6.13 7 0.88 39.92 < 0.0001significant
Linear Mixture 0.47 1 0.47 21.30 0.0024
AB 0.48 1 0.48 21.73 0.0023
AC 0.61 1 0.61 27.73 0.0012
BC 3.48 1 3.48 158.96 < 0.0001
ABC 0.55 1 0.55 25.18 0.0015
AB(A-B) 0.25 1 0.25 11.43 0.0118
ABC(A-B) 0.24 1 0.24 10.82 0.0133
Residual 0.15 7 0.022
Lack of Fit 0.15 6 0.026
Pure Error 0.000 1 0.000
Cor Total 6.28 14

The Model F-value of 39.92 implies the model is significant. There is only
a 0.01% chance that a "Model F-Value" this large could occur due to noise.

Values of "Prob > F" less than 0.0500 indicate model terms are significant.
In this case Linear Mixture Components, AB, AC, BC, ABC, AB(A-B), ABC(A-B) are
significant
model terms.
Values greater than 0.1000 indicate the model terms are not significant.
If there are many insignificant model terms (not counting those required to support hierarchy),
model reduction may improve your model.

Std. Dev. 0.15 R-Squared 0.9756


Mean 4.30 Adj R-Squared 0.9511
C.V. % 3.44 Pred R-Squared 0.8155
PRESS 1.16 Adeq Precision 23.072

The "Pred R-Squared" of 0.8155 is in reasonable agreement with the "Adj R-Squared" of 0.9511.

"Adeq Precision" measures the signal to noise ratio. A ratio greater than 4 is desirable. Your
ratio of 23.072 indicates an adequate signal. This model can be used to navigate the design space.

98
Lampiran 17. Hasil Pemodelan Matematika Respon Skor Kelengketan dengan software DX 7

Coefficients in Terms of Real Components and Actual Factors:


Coefficient Standard 95% CI 95% CI
Component Estimate df Error Low High VIF
A-A 10.56 1 1.29 7.51 13.60 453.61
B-B 19.17 1 1.18 16.37 21.96 382.42
AB -28.44 1 6.10 -42.87 -14.02 557.10
AC -0.11 1 0.020 -0.15 -0.058 456.35
BC -0.22 1 0.018 -0.27 -0.18 377.60
ABC 0.47 1 0.094 0.25 0.69 555.43
AB(A-B) 71.23 1 21.07 21.40 121.05 711.99
ABC(A-B) -1.07 1 0.32 -1.83 -0.30 711.69

Final Equation in Terms of Real Components and Actual Factors:

Skor Kelengketan =
+10.56 *A
+19.17 *B
-28.44 *A*B
-0.11 *A*C
-0.22 *B*C
+0.47 *A*B*C
+71.23 * A * B * (A-B)
-1.07 * A * B * C * (A-B)

Final Equation in Terms of Actual Components and Actual Factors:

Skor Kelengketan =
+0.10559 *A
+0.19169 *B
-2.84430E-003 *A*B
-1.05121E-003 * A * Suhu
-2.24562E-003 * B * Suhu
+4.69564E-005 * A * B * Suhu
+7.12268E-005 * A * B * (A-B)
-1.06517E-006 * A * B * Suhu * (A-B)

The Diagnostics Case Statistics Report has been moved to the Diagnostics Node.
In the Diagnostics Node, Select Case Statistics from the View Menu.

99
Lampiran 18. Hasil Anova Respon Skor Kekerasan dengan software DX 7

Response 3 (Kekerasan) tekstur


ANOVA for Combined Quadratic x Quadratic Model
*** Mixture Component Coding is Real. ***
Mixture Components A B
Process Factors C

Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III]


Sum of Mean F p-value
Source Squares df Square Value Prob > F
Model 1.524E+006 8 1.905E+005 2.95 0.1026 not significant
Linier Mixture 6264.72 1 6264.72 0.097 0.7662
AB 6.789E+005 1 6.789E+005 10.50 0.0177
AC 23705.37 1 23705.37 0.37 0.5671
BC 5.876E+005 1 5.876E+005 9.09 0.0236
ABC 6.959E+005 1 6.959E+005 10.76 0.0168
AC 2 21475.53 1 21475.53 0.33 0.5854
BC2 5.866E+005 1 5.866E+005 9.07 0.0237
ABC2 7.133E+005 1 7.133E+005 11.03 0.0160
Residual 3.881E+005 6 64679.18
Lack of Fit 3.881E+005 5 77615.01
Pure Error 0.000 1 0.000
Cor Total 1.912E+006 14

The "Model F-value" of 2.95 implies the model is not significant relative to the noise. There is a
10.26 % chance that a "Model F-value" this large could occur due to noise.

Values of "Prob > F" less than 0.0500 indicate model terms are significant.
In this case AB, BC, ABC, BC2, ABC2 are significant model terms.
Values greater than 0.1000 indicate the model terms are not significant.
If there are many insignificant model terms (not counting those required to support hierarchy),
model reduction may improve your model.

Std. Dev. 254.32 R-Squared 0.7970


Mean 2091.56 Adj R-Squared 0.5264
C.V. % 12.16 Pred R-Squared -4.6768
PRESS 1.085E+007 Adeq Precision 5.873

A negative "Pred R-Squared" implies that the overall mean is a better predictor of your
response than the current model.

"Adeq Precision" measures the signal to noise ratio. A ratio greater than 4 is desirable. Your
ratio of 5.873 indicates an adequate signal. This model can be used to navigate the design space.

100
Lampiran 19. Hasil Anova Respon Derajat Pengembangan dengan software DX 7

Use your mouse to right click on individual cells for definitions.


Response 4 derajat pengembangan
ANOVA for Combined Linier x Linier Model
*** Mixture Component Coding is Real. ***
Mixture Components A B
Process Factors C

Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III]


Sum of Mean F p-value
Source Squares df Square Value Prob > F
Model 28697.59 3 9565.86 6.04 0.0110 significant
Linier Mixture 1088.34 1 1088.34 0.69 0.4247
AC 5519.48 1 5519.48 3.49 0.0888
BC 25766.67 1 25766.67 16.27 0.0020
Residual 17417.65 11 1583.42
Lack of Fit 17417.65 10 1741.76
Pure Error 0.000 1 0.000
Cor Total 46115.23 14

The Model F-value of 6.04 implies the model is significant. There is only
a 1.10% chance that a "Model F-Value" this large could occur due to noise.

Values of "Prob > F" less than 0.0500 indicate model terms are significant.
In this case BC are significant model terms.
Values greater than 0.1000 indicate the model terms are not significant.
If there are many insignificant model terms (not counting those required to support hierarchy),
model reduction may improve your model.

Std. Dev. 39.79 R-Squared 0.6223


Mean 458.70 Adj R-Squared 0.5193
C.V. % 8.68 Pred R-Squared 0.2544
PRESS 34381.89 Adeq Precision 8.365

The "Pred R-Squared" of 0.2544 is not as close to the "Adj R-Squared" of 0.5193 as one might
normally expect. This may indicate a large block effect or a possible problem with your model
and/or data. Things to consider are model reduction, response tranformation, outliers, etc.

"Adeq Precision" measures the signal to noise ratio. A ratio greater than 4 is desirable. Your
ratio of 8.365 indicates an adequate signal. This model can be used to navigate the design space.

Coefficients in Terms of Real Components and Actual Factors:


Coefficient Standard 95% CI 95% CI
Component Estimate df Error Low High VIF
A-A -119.75 1 302.54 -785.64 546.14 346.84
B-B 1601.33 1 281.17 982.49 2220.17 299.56
AC 8.73 1 4.68 -1.56 19.02 346.67
BC -17.19 1 4.26 -26.57 -7.81 299.25

101
Lampiran 20. Hasil Analisis Respon Derajat Pengembangan dengan software DX 7

Response 4 derajat pengembangan Transform: None


*** Mixture Component Coding is Real. ***

Mixture Components AB
Process Factors C

Suggested Model[s] Mix Process


Linier Linier

Order Abbreviations in Fit Summary Table


M = Mean L = Linier Q = Quadratic C = Cubic

Combined Model Mixture Process Fit Summary Table


Sequential p-value Summary Statistics
Mix Process Mix Process Lack of Fit Adjusted Predicted
Order Order R-Squared R-Squared
M M
M L 0.2575 0.0280 -0.3139
M Q 0.6572 -0.0352 -0.5900
M C 0.7904 -0.1217 -0.7642
M M
L M 0.5846 -0.0515 -0.3605
L L 0.0083 0.0054 0.5193 0.2544 Suggested
L Q 0.0348 0.7671 0.4461 -0.2466
L C 0.0410 0.2781 0.5060 -0.7239
L M
Q M 0.0725 0.1390 -0.2208
Q L 0.1163 0.0127 0.6358 0.4070
Q Q 0.2221 0.6378 0.5799 -7.3162
Q C 0.1732 0.1955 0.7899
Q M
C M 0.5647 0.0899 -0.3041
C L 0.0831 0.0066 0.7699 0.3463
C Q * 0.1360 * 0.4871 0.7676 -6.1484 Aliased
C C * 0.7077 * 0.6201 0.7118 Aliased
* The combined model is aliased

"Mixture Process Combined Model Table": Prob>F values are for Mix, Process.
Select the highest order polynomial where the additional terms are significant for
both Mixture and Process and the model is not aliased.

"Lack of Fit Tests": Want the selected model to have insignificant lack-of-fit.

"Model Summary Statistics": Focus on the model maximizing the "Adjusted R-Squared"
and the "Predicted R-Squared".

102
Lampiran 21. Hasil Pemodelan Matematika Respon Derajat Pengembangan dengan software DX 7

Final Equation in Terms of Real Components and Actual Factors:

derajat pengembangan =
-119.75 *A
+1601.33 * B
+8.73 *A*C
-17.19 *B*C

Final Equation in Terms of Actual Components and Actual Factors:

derajat pengembangan =
-1.19748 *A
+16.01328 * B
+0.087309 * A * Suhu
-0.17190 * B * Suhu

The Diagnostics Case Statistics Report has been moved to the Diagnostics Node.
In the Diagnostics Node, Select Case Statistics from the View Menu.

Proceed to Diagnostic Plots (the next icon in progression). Be sure to look at the:
1) Normal probability plot of the studentized residuals to check for normality of residuals.
2) Studentized residuals versus predicted values to check for constant error.
3) Externally Studentized Residuals to look for outliers, i.e., influential values.
4) Box-Cox plot for power transformations.

If all the model statistics and diagnostic plots are OK, finish up with the Model Graphs icon.

103
Lampiran 22. Hasil Dan Ringkasan Proses Optimasi Dengan Menggunakan software DX 7
PROSES OPTIMASI
Lower Upper Lower Upper
Name Goal Limit Limit Weight Weight Importance
A is target = 50.000 50 100 1 1 5
B is in range 0 50 1 1 3
Suhu is in range 60 70 1 1 3
Skor Tekstur maximize 3.2 5.8 1 1 5
Skor Kelengketan maximize 3.1 5.8 1 1 5
derajat pengembangan maximize 367.3 541 1 1 5

Solutions
Number A B Suhu Skor Tekstur Skor Kelengketan derajat pengembangan Desirability
1 50.000 50.000 60.00 5.52505 4.90638 487.028 0.801 Selected

104
Lampiran 23

Gambar 14. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 100 : 0, dengan suhu
pemanas 60 °C

Gambar 15. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 50 : 50, dengan suhu
pemanas 60°C

105
Lampiran 24

Gambar 16. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 100 : 0, dengan suhu
pemanas 62.5 °C

Gambar 17. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 75 : 25, dengan suhu
pemanas 67.5 °C

106
Lampiran 25

Gambar 18. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 100 : 0, dengan suhu
pemanas 65 °C

Gambar 19. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 50 : 50, dengan suhu
pemanas 65 °C

107
Lampiran 26

Gambar 20. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 75 : 25, dengan suhu
pemanas 67.5 °C

Gambar 21. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 100 : 0, dengan suhu
pemanas 70 °C

108
Lampiran 27

Gambar 22. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 50 : 50, dengan suhu
pemanas 70 °C

Gambar 23. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 0 : 100, dengan suhu
pemanas 60 °C

109
Lampiran 28

Gambar 24. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 25 : 75, dengan suhu
pemanas 62.5 °C

Gambar 25. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 0 : 100, dengan suhu
pemanas 65 °C

110
Lampiran 29

Gambar 26. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 25 : 75, dengan suhu
pemanas 67.5 °C

Gambar 27. Produk Formula Jagung : Kacang Hijau = 0 : 100, dengan suhu
pemanas 70 °C

111

Anda mungkin juga menyukai