Anda di halaman 1dari 79

TESIS MAGISTER

PERBANDINGAN LUARAN KLINIS PASCA OPERASI


INSTRUMENTASI POSTERIOR PADA CEDERA TULANG
BELAKANG REGIO THORAKAL, THORAKOLUMBAL DAN
LUMBAL DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM
MALIK MEDAN TAHUN 2016-2018

Oleh:
Budi Achmad Mulia Siregar
NIM : 157041062

Pembimbing :
dr. Pranajaya Dharma Kadar, SpOT(K)
dr. Aga Shahri Putera Ketaren, SpOT(K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS


ILMU ORTHOPAEDI DAN TRAUMATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT, akhirnya saya
dapat menyelesaikan penelitian magister saya yang berjudul
“Perbandingan Luaran Klinis Pasca Operasi Instrumentasi Posterior Pada
Cedera Tulang Belakang Regio Thorakal, Thorakolumbal dan Lumbal di
Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan Tahun 2016 – 2018”.
Penelitian ini merupakan karya ilmiah saya dalam rangka
menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis di Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Kepada dr. Pranajaya Dharma
Kadar, SpOT(K) dan dr. Aga Shahri Putera Ketaren, SpOT(K) selaku
pembimbing penulisan karya ilmiah ini, saya ucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya atas bimbingan, saran dan pengarahan yang telah
membuka wawasan saya dan memacu saya dalam menyelesaikan proposal
penelitian akhir ini. Berkat bantuan berupa bimbingan, dorongan, kerja
sama, dan pengorbanan dari berbagai pihak sehingga saya dapat
menyelesaikan penelitian ini. Oleh karena itu perkenankanlah saya
mengucapkan terima kasih kepada:
Prof. dr. Hafas Hanafiah, SpB, SpOT(K) FICS sebagai Guru Besar
Ilmu Bedah Orthopaedi dan Traumatologi, saya haturkan terima kasih
yang setinggi-tingginya atas segala nasehat dan bimbingannya selama saya
dalam pendidikan.
Prof. dr. Nazar Moesbar, SpB, SpOT(K) sebagai Guru Besar Ilmu
Bedah Orthopaedi dan Traumatologi, saya haturkan terima kasih yang
setinggitingginya atas segala nasehat dan bimbingannya selama saya
dalam pendidikan.
dr. Nino Nasution, SpOT(K), Ketua Departemen Orthopaedi dan
Traumatologi, pendidik dan pengajar Ilmu Bedah Orthopaedi dan
Traumatologi, saya sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang setulus-
tulusnya atas didikan, nasehat dan bimbingan yang diberikan selama
pendidikan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


dr. Pranajaya Dharma Kadar, SpOT(K), Ketua Program Studi
Orthopaedi dan Traumatologi, pendidik dan pengajar Ilmu Bedah
Orthopaedi dan Traumatologi, saya sampaikan rasa hormat dan terima
kasih yang setulus-tulusnya atas didikan, nasehat dan bimbingan yang
diberikan selama pendidikan.
dr. Husnul Fuad Albar, SpOT, sebagai Sekretaris Departemen
Orthopaedi dan Traumatologi FK USU / RSUP HAM, saya ucapkan
terima kasih atas segala nasehat dan bimbingannya selama saya dalam
pendidikan.
dr. Aga Shahri Putera Ketaren, SpOT, Sekretaris Program Studi
Orthopaedi dan Traumatologi, pendidik dan pengajar Ilmu Bedah
Orthopaedi dan Traumatologi, saya sampaikan rasa hormat dan terima
kasih yang setulus-tulusnya atas didikan, nasehat dan bimbingan yang
diberikan selama pendidikan.
dr. Chairiandi Siregar, SpOT(K), dr. Otman Siregar, SpOT(K), dr.
Iman Dwi Winanto, SpOT(K), dr Andriandi, M.Ked(Surg) SpOT(K),
dr. Heru Ramadhany, SpOT (K) dan dr. Benny, M.Ked(Surg), SpOT
saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kesediannya
membimbing serta menjadi mentor selama pendidikan berlangsung.
Prof. DR. dr. Aznan Lelo, SpFK, saya mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya atas kesediaannya meluangkan waktu serta membimbing
saya dalam bidang statistika pada penelitian ini.
Terima kasih kepada Sdri. Soe Santi, Sdri. Evita Sari, dan Sdri.
Dinda, Sekretaris di Tata Usaha Departemen Medik Orthopaedi dan
Traumatologi FK USU / RSUP HAM, atas bantuan dan kerja samanya
selama saya menyelesaikan proposal penelitian akhir ini.

Terima kasih kepada istri saya tercinta dr. Ayu Indah Putri dan
kedua putra dan putri saya Nizam Mulia Sontang Siregar dan Alesha
Rafani Mulia Siregar, atas doa dan dukungannya selama saya
menyelesaikan proposal penelitian akhir ini.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Saya sangat menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu segala koreksi, kritik dan saran yang membangun
untuk kemajuan pengetahuan di bidang ilmu yang saya,tekuni ini, sangat
saya harapkan.

Semoga segala yang saya sampaikan dalam karya ilmiah ini dapat
bermanfaat untuk kemajuan yang kita citacitakan.

Medan, 31 Juli 2019

dr. Budi Achmad Mulia Siregar

NIM 157041062

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR ISI

Daftar Isi ……………….…….………………………………………………………………………………..….. i


Daftar Gambar ………………………………………………………………………………………………... iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................................. 2
1.4 Manfaat Penelitian ...................................................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Anatomi Tulang Belakang ............................................................................... 4
2.2 Cedera Tulang Belakang Regio Thorakolumbal ............................................ 10
2.2.1 Defenisi …………………………………................................................................... 10
2.2.2 Epidemiologi ……………………………................................................................. 11
2.2.3 Etiologi ..…………………………………................................................................. 12
2.2.4 Mekanisme Trauma ………………………………………………….……………………….…… 13
2.2.5 Gangguan Neurologik ................................................................................. 15
2.2.6 Klasifikasi ………………………………………………………………………………………………. 22
2.2.7 Pemeriksaan Penunjang …………................................................................. 34
2.2.8 Diagnosis ………........................................................................................... 37
2.2.9 Penanganan ………………………...................................................................... 38
2.2.9.1 Penanganan Non Operasi ........................................................................ 40
2.2.9.2 Penanganan Operasi ............................................................................... 41
2.3 Luaran Klinis SF36, ODI, VAS ......................................................................... 45
2.4 Kerangka Teori …..…………............................................................................... 48
2.5 Kerangka Konsep …………............................................................................... 49
2.6 Hipotesis Penelitian ...................................................................................... 49

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian .................................................................................... 50
3.2 Populasi Penelitian ........................................................................................ 50
3.3 Subyek Penelitian .......................................................................................... 50
3.4 Tempat dan Waktu Penelitian ……................................................................. 50
3.5 Metode Pengambilan Sampel Penelitian ..................................................... 51
3.6 Perkiraan Besar Sampel .…………………………….............................................. 51
3.7 Definisi Operasional ...................................................................................... 52
3.8 Alur Penelitian ............................................................................................... 53
3.9 Analisis Data .................................................................................................. 53

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian ………………………………………………………………………………………… 54


4.1.1 Karakteristik Subyek Penelitian ……………………………………………………………… 54
4.2 Pembahasan ……………………………………………………………………………………………… 58
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ………………………………………………………………………………………………. 59
5.2 Saran ……………………………………………………………………………………………………….. 59

DAFTAR PUSTAKA ………………..………………………………………………………………………… 60

LAMPIRAN

Owestry Disability Indeks


Visual Analogue Scale
SF - 36 Form

ii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi vertebra


Gambar 2. Anatomi bagian vertebra
Gambar 3. Anatom vertebra, ligament dan diskus vertebra
Gambar 4. Anatomi otot vertebra
Gambar 5. Medula spinalis vertebra
Gambar 6. Bagan etiologi trauma medulla spinalis region
torakolumbal
Gambar 7. Manifestasi plegi pada trauma medulla spinalis
Gambar 8. Level dermatom dari tubuh manusia
Gambar 9. Gambar wedge fraktur dari badan vertebra
Gambar 10. Gambar split fraktur dari badan vertebra
Gambar 11. Gambar burst fraktur dari badan vertebra
Gambar 12. Gambar fraktur horizontal pada badan vertebra
Gambar 13. Algoritma tipe fraktur AO klasifikasi
Gambar 14. Klasifikasi Fraktur AO – tipe dan grup fraktur
Gambar 15. Burst fraktur subgroup
Gambar 16. Konsep tiga kolum
Gambar 17. Penilaian Radiologis Fraktur
Gambar 18. Penilaian CT Fraktur
Gambar 19. Penilaian Fraktur pada MRI
Gambar 20. American spinal injury association (ASIA) standar klassifikasi

neurologi pada trauma spinal cord


Gambar 21. Teknik operasi reduksi dan stabilisasi dari Fraktur 2 level

iii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Klasifikasi Lesi Trauma medula spinalis

Tabel 1.2 Klasifikasi Lesi Trauma medulla spinalis inkomplit

Tabel 2 Fraktur Morphologi

Tabel 3 Status Neurologi

Tabel 4.1 TLICS dengan sub kategori dan skornya

Tabel 4.2 Pedoman perawatan TLICS untuk cedera tulang belakang

Tabel 5 Tujuan Umum Pengobatan

Tabel 6 Indikasi terapi non operatif

Tabel 7 Indikasi dilakukan tindakan operasi

Tabel 8 Pengukuran skala kwantitas nyeri visual analogue scale

iv

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Cedera tulang belakang adalah situasi yang merusak yang berhubungan
dengan cacat berat dan kematian setelah trauma.1 Dan istilah cedera tulang
belakang mengacu pada kerusakan pada sum-sum tulang belakang yang
dihasilkan dari trauma.1
Gejala cedera tulang belakang tergantung pada tingkat keparahan cedera dan
lokasinya pada sum-sum tulang belakang. Gejala dapat berupa hilangnya sebagian
fungsi sensorik sebagian atau seluruhnya atau kendali motorik lengan, kaki, dan/
atau tubuh. Cedera tulang belakang yang paling parah mempengaruhi sistem yang
mengatur kontrol usus atau kandung kemih, pernapasan, detak jantung dan
tekanan darah. Kebanyakan orang dengan cedera spinal mengalami sakit kronis
dan mengakibatkan kualitas hidup yang menurun, keputusan dokter untuk
melakukan atau tidaknya sebuah operasi sangat mempengaruhi kualitas hidup
seorang pasien.
Dalam laporannya, WHO pada tahun 2013 menyatakan tidak ada estimasi
prevalensi global yang dapat menjadi rujukan data pada cedera spinal ini, tetapi
estimasi insiden global tahunan adalah 40 hingga 80 kasus per juta
populasi. Hingga 90% dari kasus-kasus cedera tulang belakang ini disebabkan
trauma. Orang dengan cedera spinal 2 sampai 5 kali lebih mungkin meninggal
sebelum waktunya.
Cedera tulang belakang dikaitkan dengan resiko berkembang menjadi
kondisi yang makin berat dan mengancam jiwa seperti, DVT (deep vein
thrombosis), infeksi saluran kemih, osteoporosis, spasme otot, ulser dekubitus,
nyeri kronik, komplikasi respiratorik. Perawatan akut, layanan rehabilitasi, dan
pemeliharaan kesehatan berkelanjutan sangat penting untuk pencegahan dan
pengelolaan kondisi ini, tetapi pada beberapa jurnal menyatakan bahwa
penanganan cidera spinal masih dilakukan pada pasien-pasien cidera thorakal
,thoracolumbar, dan lumbal. Penanganan cidera spinal dengan operatif dan
konservatif masih dalam perdebatan untuk beberapa kasus.2

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Fraktur thorakal, thorakolumbar dan lumbal yang meliputi kerusakan
tulang dan ligamen yang menjadi stabilisator tulang belakang sering kali di iringi
dengan disfungsi neurologi
Berdasarkan uraian di atas dan dikarenakan data untuk pasien dengan
cedera tulang belakang serta luaran klinis pasien dengan cedera tulang belakang
regio Thorakal, thorakolumbal dan lumbal yang menjalani operasi instrumentasi
posterior di Medan belum ada, maka peneliti sangat tertarik untuk
membandingkan luaran klinis pasca operasi intrumentasi cedera spinal khususnya
pada bagian thorakolumbal di Rumah Sakit Adam Malik Medan.

1.2. Perumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang penelitian tersebut, maka dapat dirumuskan
suatu masalah yaitu, “Bagaimanakah luaran klinis pasien dengan pasca operasi
intrumentasi posterior pada cedera tulang belakang regio thorakal, thorakolumbal
dan lumbal di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2016-
2018”.

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1. Tujuan Umum
Untuk melihat luaran klinis pasien dengan pasca operasi intrumentasi
posterior pada cedera tulang belakang regio thorakal, thorakolumbal dan lumbal di
Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Untuk mengetahui karakteristik usia dan jenis kelamin penderita cedera
tulang belakang bagian thoracal, thorakolumbal dan lumbal di Rumah
Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.
2. Untuk mengetahui karakteristik cedera penderita tulang belakang bagian
thorakal, thorakolumbal dan lumbal menurut klasifikasi AO dan Dennis
klasifikasi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.
3. Untuk mengetahui rerata luaran klinis kualitas hidup penderita cedera
tulang belakang bagian thorakal, thorakolumbal dan lumbal berdasarakan
skoring kuesioner The Short Form 36 (SF-36), Owestry Disability Index

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(ODI), dan Visual Analogue Score (VAS) di Rumah Sakit Umum Pusat
Haji Adam Malik Medan.

1.4. Manfaat Penelitian


1. Manfaat bagi peneliti, diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis
dan pembelajaran mengenai karakteristik dan luaran penderita cedera
tulang belakang regio thorakal, thorakolumbal dan lumbal yang menjalani
operasi instrumentasi posterior di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam
Malik Medan.
2. Manfaat bagi institusi, untuk menambah ilmu pengetahuan tentang
karakteristik penderita cedera tulang belakang di Rumah Sakit Umum
Pusat Haji Adam Malik Medan.
3. Manfaat bagi program pendidikan dokter orthopaedi, hasil penelitian ini
dapat digunakan sebagai data sekunder untuk penelitian lebih lanjut.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Tulang Belakang(15,16)


Tulang belakang (vertebra) terdiri dari 33 tulang: 7 buah tulang cervical,
12 buah tulang thoracal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sacral dan 4 tulang
coccygeus. Tulang cervical, thoracal dan lumbal membentuk columna vertebralis,
sedangkan tulang sacral dan coccygeus satu sama lain menyatu membentuk dua
tulang yaitu tulang sakrum dan coccygeus. Diskus intervertebralis merupakan
penghubung antara dua korpus vertebra

Lateral (side) Posterior (back)


Spinal Column Spinal Column

Cervical 7 Ruas Tulang Leher

Thoracic 12 Ruas Tulang Punggung

Lumbar 5 Ruas Tulang Pinggang

5 Ruas Tulang Belakang


Sacrum

4 Ruas Tulang Ekor


Coccygeus

Gambar 1. Anatomi Vertebra20

Sistem otot ligamentum membentuk jajaran barisan (aligment) tulang


belakang dan memungkinkan mobilitas vertebra. Fungsi columna vertebralis
adalah menopang tubuh manusia dalam posisi tegak, yang secara mekanik
sebenarnya melawan pengaruh gaya gravitasi agar tubuh secara seimbang tetap

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


tegak. Vertebra cervical, thoracal, lumbal bila diperhatikan satu dengan yang
lainnya ada perbedaan dalam ukuran dan bentuk, tetapi bila ditinjau lebih lanjut
tulang tersebut mempunyai bentuk yang sama. Korpus vertebra merupakan
struktur yang terbesar karena mengingat fungsinya sebagai penyangga berat
badan.

Gambar 2. Anatomi Bagian Vertebra4

Prosesus transversus terletak pada ke dua sisi korpus vertebra, merupakan


tempat melekatnya otot-otot punggung. Sedikit ke arah atas dan bawah dari
prosesus transversus terdapat fasies artikularis vertebra dengan vertebra yang
lainnya. Arah permukaan facet join mencegah/membatasi gerakan yang
berlawanan arah dengan permukaan facet join. Pada daerah lumbal facet terletak
pada bidang vertical sagital memungkinkan gerakan fleksi dan ekstensi ke arah
anterior dan posterior. Bagian lain dari vertebra, adalah "lamina" dan "pedikel"
yang membentuk arkus tulang vertebra, yang berfungsi melindungi foramen
spinalis. Prosesus spinosus merupakan bagian posterior dan vertebra yang bila
diraba terasa sebagai tonjolan, berfungsi sebagai tempat melekatnya otot-otot

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


punggung. Diantara dua buah tulang vertebra terdapat diskus intervertebralis yang
berfungsi sebagai bentalan atau "shock absorbers" bila vertebra bergerak. Diskus
intervertebralis terdiri dari annulus fibrosus yaitu masa fibroelastik yang
membungkus nucleus pulposus, suatu cairan gel koloid yang mengandung
mukopolisakarida.
Fungsi mekanik diskus intervertebralis mirip dengan balon yang diisi air
yang diletakkan diantara ke dua telapak tangan. Bila suatu tekanan kompresi yang
merata bekerja pada vertebra maka tekanan itu akan disalurkan secara merata ke
seluruh diskus intervertebralis. Bila suatu gaya bekerja pada satu sisi yang lain,
nukleus polposus akan melawan gaya tersebut secara lebih dominan pada sudut
sisi lain yang berlawanan. Keadaan ini terjadi pada berbagai macam gerakan
vertebra seperti fleksi, ekstensi, laterofleksi.

Gambar 3. Anatomi Vertebra, Ligament dan Diskus Vertebra20

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Karena proses penuaan pada diskus intervebralis, maka kadar cairan dan
elastisitas diskus akan menurun. Keadaan ini mengakibatkan ruang diskus
intervebralis makin menyempit, "facet joint" makin merapat, kemampuan kerja
diskus menjadi makin buruk, annulus menjadi lebih rapuh. Akibat proses penuaan
ini mengakibatkan seorang individu menjadi rentan mengidap nyeri punggung
bawah. Gaya yang bekerja pada diskus intervebralis akan makin bertambah setiap
individu tersebut melakukan gerakan membungkuk, gerakan yang berulang-ulang
setiap hari yang hanya bekerja pada satu sisi diskus intervebralis, akan
menimbulkan robekan kecil pada annulus fibrosus, tanpa rasa nyeri dan tanpa
gejala prodromal. Keadaan demikian merupakan "locus minoris resisten" atau
titik lemah untuk terjadinya HNP (hernia nucleus pulposus). Sebagai contoh,
dengan gerakan yang sederhana seperti membungkuk memungut surat kabar di
lantai dapat menimbulkan herniasi diskus.
Ligamentum ini berfungsi membatasi gerak pada arah tertentu dan
mencegah robekan.diskus intervebralis dikelilingi oleh ligamentum anterior dan
ligamentum posterior. Ligamentum longitudinal anterior berjalan di bagian
anterior korpus vertebra, besar dan kuat, berfungsi sebagai alat pelengkap penguat
antara vertebra yang satu dengan yang lainnya. Ligamentum longitudinal posterior
berjalan di bagian posterior korpus vertebra, yang juga turut membentuk
permukaan anterior kanalis spinalis. Ligamentum tersebut melekat sepanjang
columna vertebralis, sampai di daerah lumbal yaitu setinggi L1, secara progresif
mengecil, maka ketika mencapai L5 - sakrum ligamentum tersebut tinggal
sebagian lebarnya, yang secara fungsional potensi mengalami kerusakan.
Ligamentum yang mengecil ini secara fisiologis merupakan titik lemah dimana
gaya statistik bekerja dan dimana gerakan spinal yang terbesar terjadi, disitulah
mudah terjadi cedera kinetik.
Otot punggung bawah dikelompokkan sesuai dengan fungsi gerakannya.
Otot yang berfungsi mempertahankan posisi tubuh tetap tegak dan secara aktif
mengekstensikan vertebra lumbalis adalah: m. quadratus lumborum, m.
sacrospinalis, m. Intertransversarii dan m. interspinalis. Otot fleksor lumbalis
adalah muskulus abdominalis mencakup: m. obliqus eksternus abdominis, m.
internus abdominis, m. transversalis abdominis dan m. rectus abdominis, m. psoas
mayor dan m. psoas minor.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Otot latero fleksi lumbalis adalah m.quadratus lumborum, m. Psoas mayor
dan minor, kelompok m. Abdominis dan m.intertransversarii. Jadi dengan melihat
fungsi otot di atas otot punggung di bawah berfungsi menggerakkan punggung
bawah dan membantu mempertahankan posisi tubuh berdiri.

Gambar 4. Anatomi Otot Vertebra20

Medulla spinalis dilindungi oleh vertebra. Radix saraf keluar melalui


kanalis spinalis, menyilang diskus intervertebralis di atas foramen intervertebralis.
Ketika keluar dari foramen intervertebralis saraf tersebut bercabang dua yaitu
ramus anterior dan ramus posterior dan salah satu cabang saraf tersebut
mempersarafi "facet". Akibat berdekatnya struktur tulang vertebra dengan radix
saraf cenderung rentan terjadinya gesekan dan jebakan radiks saraf tersebut.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Gambar 5. Medula Spinalis Vertebra20

Semua ligamen, otot, tulang dan facet join adalah struktur tubuh yang
sensitive terhadap rangsangan nyeri, karena struktur persarafan sensoris, kecuali
ligamentum flavum, diskus intervertebralis dan ligamentum interspinosum; karena
tidak dirawat oleh saraf sensoris. Dengan demikian semua proses yang mengenai
struktur tersebut di atas seperti tekanan dan tarikan dapat menimbulkan nyeri.
Nyeri punggung bawah sering berasal dari ligamentum longitudinalis anterior atau
posterior yang mengalami iritasi. Nyeri artikuler pada punggung bawah berasal
dari facies artikularis vertebra beserta kapsul persendiannya yang sangat peka
terhadap nyeri. Nyeri yang berasal dari otot dapat terjadi oleh karena: aktivitas
motor neuron, iskemia muscular dan peregangan miofasial pada waktu otot
berkontraksi kuat.tulang belakang mempunyai tiga lengkungan fisiologis yaitu
lordosis servikalis, kyphosis thorakalis dan lordosis lumbalis. Bila dilihat dari
samping dalam posisi tegak ketiga lengkungan fisiologis ini disebut posture atau
sikap.
9

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Postur yang baik adalah postural tidak memerlukan tenaga, tidak
melelahkan, tidak menimbulkan nyeri, yang dapat dipertahankan untuk jangka
waktu tertentu dan secara estetis memberikan penampilan yang dapat diterima,
disini terjadi keseimbangan antara kerja ligamen dan torus minimal otot. Secara
keseluruhan postur dipengaruhi oleh keadaan anatomi, suku bangsa, latar
belakang kebudayaan, lingkungan pekerjaan, sex dan keadaan psikis seseorang.
Sudut lumbo sakral adalah sudut yang dibentuk oleh permukaan os. sakrum
dengan garis horizontal. Normal besar sudut lumbosakral (sudut ferguson) 30
derajat. Rotasi pelvis ke atas memperkecil sudut lumbosakral sedangkan rotasi
pelvis ke bawah memperbesar sudut lumbosakralis. Bila seseorang membungkuk
untuk mencoba menyentuh lantai dengan jari tangan tanpa fleksi lutut, selain
fleksi dari lumbal harus dibantu dengan rotasi dari pelvis dan sendi cocsae.
Perbandingan antara rotasi pelvis dan fleksi lumbal disebut ritme lumbal-
pelvis. Secara singkat punggung bawah merupakan suatu struktur yang kompleks;
dimana tulang vertebra, diskus intervertebralis, ligamen dan otot akan akan
bekerja sama membuat manusia tegak, memungkinkan terjadinya gerakan dan
stabilitas. Vertebra lumbalis berfungsi menahan tekanan gaya statik dan gaya
kinetik (dinamik) yang sangat besar maka dari itu cenderung terkena ruda paksa
dan cedera.

2.2. Cedera Tulang Belakang Regio Thorakal,Thorakolumbal & Lumbal


2.2.1. Definisi
Suatu kerusakan pada thorakal, thorakolumbal, & lumbal yang dapat
menyebabkan terjadi nya gangguan fungsi neurologis yang disebabkan oleh
benturan pada daerah medulla spinalis. Fraktur toraks dan lumbalis merupakan
30% hingga 50% dari semua cedera tulang belakang pada korban trauma21.
Cedera pada tulang belakang adalah cedera umum yang dapat
mengakibatkan kecacatan, kelainan bentuk dan defisit neurologis yang signifikan.
Secara anatomis dan fungsional, tulang belakang bagian torakal dan lumbal dapat
dibagi menjadi tiga daerah yaitu thorakal (T1-T10), thorakolumbal (T10-L2) dan
lumbalis (L3-L5). Daerah thorakal secara fungsional bersifat kaku karena
memiliki sendi facet yang berorientasi koronal, diskus intervertebralis yang tipis
dan bersendi dengan tulang rusuk. Karena itu, dibutuhkan energi yang sangat

10

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


besar untuk menghasilkan patah tulang dan dislokasi. Kanalis spinalis yang
sempit di daerah ini merupakan predisposisi kerusakan medula spinalis yang
berakibat timbulnya defisit neurologis yang tinggi. Daerah lumbal di sisi lain
relatif fleksibel karena cakram intervertebralis yang lebih tebal, orientasi sagital
sendi facet dan tidak adanya tulang rusuk. Insiden cedera neurologis yang relatif
lebih kecil pada fraktur lumbar dapat dikaitkan dengan ukuran besar dari saluran
saraf dan ketahanan yang lebih besar dari akar saraf cauda equina. Sedangkan
daerah thorakolumbal (T10-L2) diposisikan secara unik di antara torakal yang
kaku dan tulang belakang lumbar seluler. Pada bagian transisi ini sebagian
thorakal kurang bergerak dengan tulang rusuk dan sternum, dan sebagian tulang
lumbar lebih dinamis menjadikan daerah thorakolumbar menjadi stres biomekanik
yang signifikan. Oleh karena itu, fraktur daerah thorakolumbalis adalah cedera
paling umum pada tulang belakang.
Meskipun cedera tulang belakang thorakal, thorakolumbar & lumbal
adalah cedera umum, 50% di antaranya tidak stabil dan dapat menyebabkan
kecacatan, deformitas, dan defisit neurologis yang signifikan22.

2.2.2. Epidemiologi6
Studi dilakukan di negara barat menunjukkan tipe dan data yang di
bandingkan pada insidensi, lokasi dan mekanisme cedera. Fraktur thorakal,
thorakolumbar dan lumbal lebih sering di pria daripada wanita 3:1 dan usia paling
sering 20-40 tahun. Hampir 160.000 pasien pertahun mengalami cedera pada
kolum spinalis di amerika. Lokasi tersering adalah cervical dan lumbal (L3-L5),
namun antara 15% dan 20% dari fraktur traumatik terjadi di perbatasan
thorakolumbar (T11-L2), dimana 9-16% terjadi di vertebra thorakal ( T1-T10).
Hampir 50-60 persen dari fraktur thorakolumbar mempengaruhi transisi T11-L2,
25-40% vertebra thorakal, dan 10-14% vertebra lumbal, dan sakrum. Kerentanan
dari transisi thoracolumbar disebabkan terutama oleh alasan anatomis seperti:5
1. Transisi dari yang relatif kaku dari kifosis thorakal menjadi lebih mobile dari
lordosis lumbal yang terjadi pada level T11-12.
2. Bagian paling bawah dari Iga thorakal T11-12 menyediakan stabilitas yang
lebih sedikit di area thoracolumbar di bandingkan dengan bagian thoraks dan
lumbal, karena mereka tidak terhubung dengan sternum dan melayang bebas.

11

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3. Sendi facet dari daerah thorakal berorientasi pada bidang koronal (frontal),
hambatan fleksi dan ekstensi selama memberikan resistensi substansial ke
translasi anteroposterior. Pada area lumbosacral, sendi facet berorientasi lebih
ke penyelerasan sagittal, dimana meningkatkan derajat dari fleksi dan ekstensi
dengan membatasi untuk bengkok (bending) ke lateral dan rotasi.
Cedera Saraf Spinal terjadi 10-30% pada fraktur spinal traumatik. Pada
fraktur thorakal, thorakolumbar dan lumbar di laporkan 22 % dan 35,8 % deficit
neurologis. Pada studi yang di lakukan di epidemiologi multisenter pada fraktur
transisi thorakolumbar di temukan deficit neurologis 22-51%, tergantung dari tipe
fraktur nya (menurut klasifikasi AO).
 22% pada fraktur Tipe A
 28% pada fraktur Tipe B
 51 % pada fraktur Tipe C
Paraplegia komplit di temukan pada 5% pasien dengan fraktur transisi
pada thorakolumbal.6

2.2.3. Etiologi
Penyebab trauma tulang belakang adalah kecelakaan lalu lintas (50%),
kecelakaan olah raga (8%), terjatuh dari ketinggian (22%), kecelakaan kerja
(15%), dan tumor (5%).

Penyakit
Lain
5%Olahraga
8%

Kecelakaan
lalu lintas Jatuh dari ke
tinggian
50% 22%

Korban
kekerasan
15%

Gambar 6 : bagan etiologi trauma medulla spinalis region torakolumbal6

12

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Cedera pada tulang belakang thorakolumbalis biasanya merupakan akibat
dari trauma tumpul berenergi tinggi. Cedera thorakolumbalis umumnya dikaitkan
dengan cedera lain seperti fraktur tulang rusuk, pneumo-hemothorax, dan jarang
ada cedera pada pembuluh darah, hemoperikardium dan ruptur diafragma22.
Cedera pada tulang belakang thorakolumbalis 5% di sebabkan oleh tumor,
baik tumor primer atau metastasis tumor primer ke tulang. Tulang belakang
adalah lokasi metastasis tumor yang paling sering terjadi. Diperkirakan bahwa
lebih dari 10% pasien dengan kanker memiliki gejala metastasis tumor di tulang
belakang. Ketika kanker menyebar ke tulang, itu bisa membuat tulang lebih lemah
dan bahkan menyebabkan mereka patah tanpa cedera. Saat sel kanker merusak
tulang, kalsium dilepaskan ke dalam darah. Ini dapat menyebabkan masalah yang
mengakibatkan kadar kalsium dalam darah tinggi dan kadar kalsium dalam tulang
berkurang.
Metastasis tulang juga dapat menyebabkan masalah lain yang dapat
membatasi kemampuan untuk melakukan aktivitas. Metastasis tumor ke tulang
belakang dapat menyebabkan nyeri, ketidakstabilan, cedera neurologis dengan
kehilangan kontrol sfingter urin dan rektum hingga paraplegia23.

2.2.4. Mekanisme Trauma2


Cedera vertebra umumnya di sebabkan oleh cedera berenergi tinggi,
biasanya akibat kecelakaan kendaraan bermotor atau terjatuh dari ketinggian.
Cedera ini dapat disebabkan dari kombinasi fleksi, ekstensi, kompressi, distraksi,
torsion, dan shear24.
Pada saat cedera terjadi, ada beberapa kekuatan yang bekerja bersama
untuk menghasilkan kerusakan structural pada tulang belakang. Namun paling
sering 1-2 kekuatan utama yang paling sering menghasilkan kerusakan tulang dan
ligament. Tenaga yang paling relevan adalah:1
1. Hiperekstensi (kombinasi distraksi dan ekstensi)
Hiperekstensi jarang terjadi di daerah thorakolumbal tetapi sering
pada leher, pukulan pada muka atau dahi akan memaksa kepala ke
belakang dan tanpa menyangga oksiput sehingga kepala membentur
bagian atas punggung. Ligamen anterior dan diskus dapat rusak atau

13

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


arkus saraf mungkin mengalami fraktur. cedera ini stabil karena tidak
merusak ligamen posterior.
2. Fleksi
Trauma ini terjadi akibat fleksi dan disertai kompresi pada
vertebra. Vertebra akan mengalami tekanan dan remuk yang dapat
merusak ligamen posterior. Jika ligamen posterior rusak maka sifat
fraktur ini tidak stabil sebaliknya jika ligamentum posterior tidak rusak
maka fraktur bersifat stabil. Pada daerah cervical, tipe subluksasi ini
sering terlewatkan karena pada saat dilakukan pemeriksaan sinar-x vertebra
telah kembali ke tempatnya.
3. Fleksi dan kompresi digabungkan dengan distraksi posterior
Kombinasi fleksi dengan kompresi anterior dan distraksi
posterior dapat mengganggu kompleks vertebra pertengahan di samping
kompleks posterior. Fragmen tulang dan bahan diskus dapat bergeser ke
dalam kanalis spinalis. Berbeda dengan fraktur kompresi murni,
keadaan ini merupakan cedera tak stabil dengan risiko progresi yang
tinggi.
Fleksi lateral yang terlalu banyak dapat menyebabkan kompresi
pada setengah korpus vertebra dan distraksi pada unsur lateral dan
posterior pada sisi sebaliknya. Kalau permukaan dan pedikulus remuk, lesi
bersifat tidak stabil.
4. Pergeseran aksial (kompresi)
Kekuatan vertikal yang mengenai segmen lurus pada spina servikal
atau lumbal akan menimbulkan kompresi aksial. Nukleus pulposus akan
mematahkan lempeng vertebra dan menyebabkan fraktur vertikal pada
vertebra; dengan kekuatan yang lebih besar, bahan diskus didorong masuk ke
dalam badan vertebral, menyebabkan fraktur remuk (burst fracture). Karena
unsur posterior utuh, keadaan ini didefinisikan sebagai cedera stabil.
Fragmen tulang dapat terdorong ke belakang ke dalam kanalis spinalis
dan inilah yang menjadikan fraktur ini berbahaya; kerusakan
neurologik sering terjadi.

14

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


5. Rotasi-fleksi
Cedera spinal yang paling berbahaya adalah akibat kombinasi
fleksi dan rotasi. Ligamen dan kapsul sendi teregang sampai batas
kekuatannya; kemudian dapat robek, permukaan sendi dapat mengalami
fraktur atau bagian atas dari satu vertebra dapat terpotong. Akibat dari
mekanisme ini adalah pergeseran atau dislokasi ke depan pada vertebra di
atas, dengan atau tanpa dibarengi kerusakan tulang. Semua fraktur -
dislokasi bersifat tak stabil dan terdapat banyak risiko munculnya kerusakan
neurologik.
6. Translasi Horizontal
Kolumna vertebralis teriris dan segmen bagian atas atau
bawah dapat bergeser ke anteroposterior atau ke lateral. Lesi bersifat
tidak stabil dan sering terjadi kerusakan syaraf 29 .

2.2.5. Gangguan Neurologik 25,26,27

Yang dimaksud dengan gangguan neurologik (neurologic injury) ialah


trauma yang mengenai medula spinalis, cauda equina dan radices (nerve roots).
Keadaan ini mungkin terjadi karena kompresi dari vertebra, fragmen tulang, atau
diskus terhadap struktur neurologik. Dalam hal ini semua struktur atau organ yang
dipersarafi oleh saraf yang terkena/terganggu akan kehilangan fungsinya baik
sebagaian taupun secara keseluruhan. lesi servikal dapat menyebabkan
kuadriplegia, paraplegia pada lesi torakolumbal.
Trauma pada permukaan medula spinalis dapat memperlihatkan gejala dan
tanda yang segera ataupun dapat timbul kemudian. Medula spinalis dan radiks
dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut :
1. Kompresi oleh tulang, ligamentum, herniasi diskus intervertebralis dan
hematom. Yang paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan
kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi tulang dan kompresi
oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi ke posterior dan trauma
hiperekstensi.

15

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2. Regangan jaringan yang berlebihan akan menyebabkan gangguan pada
jaringan, hal ini biasanya terjadi pada hiperfleksi. Toleransi medulla spinalis
terhadap regangan akan menurun dengan bertambahnya usia.
3. Edema medulla spinalis yang timbul segera setelah trauma menyebabkan
gangguan aliran darah kapiler dan vena.
4. Gangguan sirkulasi akibat kompresi tulang atau arteri spinalis anterior dan
posterior.

Gambar 7 : manifestasi plegi pada trauma medulla spinalis(6)

Cedera Medulla spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan tidak komplet
berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi. Terdapat 5
sindrom utama cedera medulla spinalis inkomplet menurut American Spinal Cord
Injury Associationyaitu : (1) Central Cord Syndrome, (2) Anterior CordSyndrome,
(3) Brown Sequard Syndrome, (4) Cauda EquinaSyndrome, dan (5) Conus
Medullaris Syndrome.

16

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Tabel 1.1 : klasifikasi lesi trauma medulla spinalis7

Tabel 1.2 : klasifikasi trauma medulla spinalis inkomplit7

Manifestasi lesi traumatik pada medulla spinalis


 Komosio Medula Spinalis
Komosi medulla spinalis adalah suatu keadaan dimana fungsi medulla
spinalis hilang sementara akibat suatu trauma dengan atau tanpa disertai
fraktur atau dislokasi. Sembuh sempurna akan terjadi dalam waktu
beberapa menit hingga beberapa jam / hari tanpa meninggalkan gejala sisa.

Kerusakan yang medasari komosio medulla spinalis berupa edema,


perdarahan perivaskuler kecil-kecil dan infark disekitar pembuluh darah.

 Kontusio Medula Spinalis


Berbeda dengan komosio medulla spinalis yang diduga hanya merupakan
gangguan fisiologik saja tanpa kerusakan makroskopik, maka pada
kontusio medulla spinalis didapati kerusakan makroskopik dan

17

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


mikroskopik medulla spinalis yaitu perdarahan, pembengkakan
(edema), perubahan neuron, reaksi peradangan.
 Laserasio Medula Spinalis
Pada laserasio medulla spinalis terjadi kerusakan yang berat akibat
diskontinuitas medulla spinalis. Biasanya penyebab lesi ini adalah luka
tembak atau bacok/tusukan, fraktur dislokasi vertebra.
 Perdarahan
Akibat trauma, medulla spinalis dapat mengalami perdarahan epidural,
subdural maupun hematomiella. Hematom epidural dan subdural dapat
terjadi akibat trauma maupun akibat dari sepsis. Gambaran klinisnya
adalah adanya trauma yang ringan tetapi segera diikuti paralisis flaksid
berat akibat penekanan medulla spinalis. Kedua keadaan diatas
memerlukan tindakan darurat bedah. Hematomiella adalah perdarahan di
dalam substansia grisea medulla spinalis. Perdarahan ini dapat terjadi
akibat fraktur-dislokasi, trauma Whisplash atau trauma tidak
langsung misalnya akibat gaya eksplosi atau jatuh dalam posisi
berdiri/duduk. Gambaran klinisnya adalah hilangnya fungsi medulla
spinalis di bawah lesi, yang sering menyerupai lesi transversal. Tetapi
setelah edema berkurang dan bekuan darah diserap maka terdapat
perbaikan-perbaikan fungsi funikulus lateralis dan posterior medulla
spinalis. Hal ini menimbulkan gambaran klinis yang khas hematomiella
sebagai berikut: terdapat paralisis flaksid dan atrofi otot setinggi lesi dan
dibawah lesi terdapat paresis otot, dengan utuhnya sensibilitas nyeri dan
suhu serta fungsi funikulus posterior.
 Kompresi Medula Spinalis
Kompresi medulla spinalis dapat terjadi akibat dislokasi vertebra maupun
perdarahan epidural dan subdural. Gambaran klinisnya sebanding dengan
sindrom kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista dan abses di dalam
kanalis vertebralis. Akan didapati nyeri radikuler, dan paralisis flaksid
setinggi lesi akibat kompresi pada radiks saraf tepi. Akibat hiperekstensi,
hiperfleksi, dislokasi, fraktur dan gerak lecutan (Whiplash) radiks saraf
tepi dapat tertarik dan mengalami jejas (reksis).

18

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


 Hemiseksi Medula Spinalis
Biasanya dijumpai pada luka tembak atau luka tusuk/bacok di medulla
spinalis.Gambaran klinisnya merupakan sindrom Brown Sequard yaitu
setinggi lesi terdapat kelumpuhan neuron motorik perifer (LMN)
ipsilateral pada otot-otot yang disarafi oleh motoneuron yang terkena
hemilesi.Di bawah tingkat lesi dijumpai pada sisi ipsilateral kelumpuhan
neuron motorik sentral (UMN) dan neuron sensorik proprioseptif,
sedangkan pada sisi kontralateral terdapat neuron sensorik protopatik.
 Sindrom MedulaSpinalis bagian Anterior
Sindrom ini mempunyai gambaran khas berupa: paralisis dan hilangnya
sensibilitas protopatik di bawah tingkat lesi,tetapi sensibilitas protopatik
tetap utuh.
 Sindrom Medula Spinalis bagian Posterior
Ciri khas sindrom ini adalah adanya kelemahan motorik yang lebih berat
pada lengan dari pada tungkai dan disertai kelemahan sensorik.Defisit
motorik yang lebih jelas pada lengan (daripada tungkai) dapat dijelaskan
akibat rusaknya sel motorik di kornu anterior medulla spinalis segmen
servikal atau akibat terlibatnya serabut traktus kortikospinalis yang terletak
lebih medial di kolumna lateralis medulla spinalis.Sindrom ini sering
dijumpai pada penderita spondilitis servikal.
 Transeksi Medula Spinalis
Bila medulla spinalis secara mendadak rusak total akibat lesi transversal
maka akan dijumpai 3 macam gangguan yang muncul serentak, yaitu:
1. Semua gerak otot pada bagian tubuh yang terletak di bawah lesi akan
hilang fungsinya secara mendadak dan menetap.
2. Semua sensibilitas daerah di bawah lesi menghilang
3. Semua fungsi reflektorik pada semua segmen dibawah lesi akan
hilang. Efek terakhir ini akan disebut renjatan spinal (spinal shock),
yang melibatkan baik otot tendon maupun otot otonom. Fase renjatan
spinal ini berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan (3-6
minggu).

19

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


 Syok spinal atau arefleksia
Sesaat setelah trauma, fungsi motorik dibawah tingkat lesi hilang, otot
flaksid, paralisis atonik vesika urinaria dan kolon, atonia gaster dan
hipestesia.Juga di bawah tingkat lesi dijumpai hilangnya tonus vasomotor,
keringat dan piloereksi serta fungsi seksual.Kulit menjadi kering dan pucat
serta ulkus dapat timbul pada daerah yang mendapat penekanan
tulang.Sfingter vesika urinaria dan anus dalam keadaan kontraksi
(disebabkan oleh hilangnya inhibisi dari pusat saraf pusat yang lebih
tinggi) tetapi otot detrusor dan otot polos dalam keadaan atonik. Urin akan
terkumpul, setelah tekanan intravesikuler lebih tinggi dari sfingter uretra
maka urin akan mengalir keluar (overflow incontinence). Demikian pula
terjadi dilatasi pasif usus besar, retensio alvi dan ileus paralitik.Refleks
genitalia (ereksi penis, otot bulbokavernosus, kontraksi otot dartos)
menghilang.
 Aktifitas otot yang meningkat
Setelah beberapa minggu respon otot terhadap rangsang mulai timbul,
mula-mula lemah makin lama makin kuat.Secara bertahap timbul fleksi
yang khas yaitu tanda babinski dan kemudian fleksi tripel
muncul. Beberapa bulan kemudian reflex menghindar tadi akan
bertambah meningkat, sehingga rangsang pada kulit tungkai akan
menimbulkan kontraksi otot perut, fleksi tripel, hiperhidrosis, pilo-ereksi
dan pengosongan kandung kemih secara otomatis.

Berdasarkan anamnesis, gejala dan keluhan yang sering muncul adalah


 Nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang
terkena
 Paraplegia
 Paralisis sensorik motorik total
 Kehilangan kontrol kandung kemih (retensi urine, distensi kandung
kemih)
 Penurunan keringat dan tonus vasomotor
 Penurunan fungsi pernapasan
 Gagal nafas

20

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Gambar 8 : Level dermatom dari tubuh manusia20
Penilaian terhadap gangguan motorik dan sensorik dipergunakan Frankel
Score25,26,27.
1. FRANKEL SCORE A: kehilangan fungsi motorik dan sensorik
lengkap (complete loss)
2. FRANKEL SCORE B: Fungsi motorik hilang, fungsi sensorik utuh.
3. FRANKEL SCORE C: Fungsi motorik ada tetapi secara praktis tidak
berguna (dapat menggerakkan tungkai tetapi tidak dapat berjalan).
4. FRANKEL SCORE D: Fungsi motorik terganggu (dapat berjalan
tetapi tidak dengan normal ”gait”).
5. FRANKEL SCORE E: Tidak terdapat gangguan neurologik.

21

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2.2.6. Klasifikasi
Pada fraktur ada tulang belakang terdapat beberapa klasifikasi yang sering
digunakan untuk menyamakan persepsi, diantaranya adalah:
1. Klasifikasi menurut Arbeitsgemeinschaft für Osteosynthesefragen (AO)1,2
AO Spine mengklasifikasikan patah tulang pada tulang belakang menjadi 3
variabel spesifik:
a. Klasifikasi cedera berdasarkan morfologi
b. Status Neurologik
c. Perubahan Klinis pasien yang signifikan dan spesifik
Sistem ini digunakan dari informasi berdasarkan 3 jenis cedera utama dari
konsep AO:1,2
 Cedera Kompresi
 Cedera Tension
 Cedera jenis Displacement (pergeseran)

Type Subtype
A. Compression AO. Minor Injuries
A1. Wedge Compression
A2. Split/pincer
A3. Incomplete burst
A4. Complete burst
B. Tension Band B1. Monosegment bony tension band
B2. Posterior tension band with type A
B3. Hyperextension
C. Translation/displacement

Tabel 2 ; Fraktur Morphologi 1,2,3

Karakteristik berdasarkan Morfologi ( Tabel 2.1)1,2,3


a. Tipe A : Kompresi
Cedera tipe A, cedera kompresi, terdiri dari fraktur akibat dari kompresi axial,
dengan elemen anterior jatuh dan elemen posterior tetap intact. Kategori ini
menggambarkan fraktur dari bagian anterior badan vertebra atau diskus,sama

22

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


hal nya dengan fraktur pada processus spinosus atau transversus. Tidak ada
cedera pada posterior ligamentous complex (PCL) dan tidak ada pergeseran
atau dislokasi. Jenis kompresi tipe A dibagi menjadi beberapa subtype di
bawah ini
 A0 : Cedera Minor
Jenis Subtipe ini, cedera ringan dan termasuk fraktur yang mengenai
prosesus transversus atau prosesus spinosus tanpa ekstensi ke badan
vertebra. Karena ketidakstabilan mekanis dan defisit neurologis tidak
menjadi perhatian pada cedera ini, cedera ini secara klinis di nilai tidak
signifikan.
 A1 : Kompresi Wedge
Jenis Kompresi Wedge termasuk Fraktur dari lempeng efifisis vertebra
tunggal yang merupakan hasil dari kompresi atau impaksi dari tulang
Cancellous di badan vertebra di bawah lempeng epifisis. Fraktur bisa
mengenai lempeng epifisis dari atas atau bawah tanpa mengenai dinding
posterior dari badan vertebra.

Gambar 9: A1, kompresi wedge fraktur dari anterior vertebral body tanpa keterlibatan
posterior vertebra

 A2 : Tipe Split atau Pincer( membelah atau menjepit)


Subtipe ini terdiri dari cedera yang memiliki garis fraktur melalui kedua
ujung lempeng epifisis dalam tipe split atau pincer,namun tidak termasuk
pergerakan dari badan vertebra pada dinding posterior.

23

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Gambar 10: tipe A2, Split fraktur. Dapat dilihat dari potongan koronal menembus bagian
tengah dari badan vertebra.

 A3: Incomplete Burst 6


Fraktur burst inkomplit mengenai satu ujung lempeng efisis dan meluas
sampai ke dinding posterior dari vertebra dengan resiko adanya terdorong
nya fragment tulang ke kanalis spinalis. Jenis subtype ini mengenai 1
lempeng epifisis. Integritas dari tarkan bagian posterior tetap terjaga, dan
pergeseran dari vertebra tidak ada. Fraktur lamina secara vertical sering di
temukan pada bentuk fraktur seperti ini, sebagaimana tekanan kompresif
meningkatkan jarak antara pedikel dan menghasilkan stress melalui bagian
posterior, membuat terjadi nya fraktur lamina.garis fraktur nya di tandai
dengan variasi derajat dari kominuted dan kehilangan ketinggian dari
badan vertebran tergantung dari kualitas tulang dan energi dari cedera
tersebut. Jika tension band bagian posterior rusak, cedera seharus nya di
klasifikasikan sebagai cedera tipe 2 tension band. Lebih lanjut cedera A3
menunjukkan fraktur horizontal di lapangan axial melalui bagian posterior
yang mengindikasikan cedera distraksi dan seharus nya di klasifikasikan
sebagai cedera tipe B.
 A4: Complete Burst 6
Subtype Burst komplit mengarah ke fraktur dari badan vertebra yang
mengenai dinding posterior dan juga kedua ujung lempeng
epifisis,sementara masih mempertahankan integritas dari tension band
posterior. Mirip dengan fraktur A3, subtype ini bisa juga termasuk fraktur
vertical lamina. Juga di klasifikasikan sebagai cedera A4 adalah fraktur
split( terbagi) yang mengenai badan vertebra posterior. Ada nya garis
fraktur horizontal di bidang axial mempengaruhi bagian posterior badan

24

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


vertebra dan bisa mewakili cedera distraksi dan seterusnya bisa di
pertimbangkan cedera tension-band tipe B. keterlibatan kedua ujung
lempeng epifisis pada subtype A4 memiliki potensial meningkatkan
instabilitas mekanis ketimbang dengan cedera A3, dan ini di sertai dengan
insiden tinggi cedera neurologi s pada kategori A.

Gambar 11 : Tipe A4, Burst fraktur komplit. (a) Pada potongan sagital terlihat fraktur
pada kedua endplate., dengan retropulsi ke dalam canalis spinalis (b) Pada potongan axial
tampak burst fraktur dengan fraktur di lamina.

b. Type B: Tension Band


Cedera tension band termasuk kegagalan tulang anterior-posterior atau
tulang-ligamen tension band. Posterior tension band secara umum
mempertahankan sendi Facet dan PLC. Bagian anterior tension band yang
termasuk ligament anterior longitudinal dan diskus intervertebral.
Sebbagai tambahan bagian anterior tension bisa mewakili ankylosing
tulang dalam kondisi penyakit tulang kaku. Cedera tipe B tension band di
bagi ke dalam 3 subtipe yang akan di bahas di bawah ini.6

 B1: Monosegmental Bony Posterior Tension-Band Injury


Subtipe ini melibatkan segmen tunggal dari kegagalan osseous dari tension
band posterior, yang mana meluas ke badan vertebra setinggi 1 level
vertebra. Lebih sering, jenis fraktur pada subtype ini di namai Chance
25

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Fraktur. Tipe fraktur ini memiliki potensi untuk meluas ke jaringan lunak
posterior karena meluas melalui pedicle dari pars interarticularis atau
melalui processus spinosus. Subtype ini tidak termasuk cedera tension
yang mengenai diskus intervertebral.1,2
 B2: Posterior Tension-Band Disruption
Subtype B2 tension band meliputi disrupsi posterior band melalui distraksi
yang bisa atau tidak meliputi fraktur tulang. Garis fraktur bisa terlihat pada
bagian posterior, termasuk pedicle, pars, facet, atau processus spinosus.
Fraktur yang tersering pada kategori B2 di sertai dengan fraktur pada
badan vertebra dan saat terjadi, fraktur badan vertebra harus jg di
klasifikasikan menurut subdivisi cedera kompresi tipe A. jika cedera
meliputi diskus intervertebralis atau segmen dari gerakan spinal, cedera
harus di klasifikasi berdasarkan segmen nya dan bukan setinggi level
vertebra tunggal.
 B3: Hyperextension Injury
Cedera Hiperekstensi meliputi gangguan dari ligament longitudinal
anterior dengan kegagalan dari diskus intervertebralis atau badan vertebra.
Fungsi utama dari ligament longitudinal anterior adalah untuk mencegah
hiperekstensi dengan bekerja sebagai tension band dari bagian anterior
tulang belakang. Dimana cedera Tipe B3 meliputi diskus intervertebralis
atau badan vertebra, tension band posterior terhindra, dan oleh sebab itu
tidak ada pergeseran.
c. Type C: Displacement (Pergeseran)5
Tipe C, cedera pergeseran, meliputi kegagalan dari semua elemen,
menyebabkan pergeseran atau dislokasi di semua bidang dari kolum
vertebra.Lebih jauh , disrupsi komplit dari jaringan lunak, meskipun tidak
ada translasi,tetap di kategorikan cedera pergeseran tipe C. pada kategori
ini bisa di sertai dengan cedera TIpe A atau B, dan harus di catat dan di
klasifikasikan untuk deskripsi lebih lengkap.

26

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Tipe B3 : Hiperekstensi. Pada gambar Tipe C : Pergeseran. Gambaran CT
menunjukkan garis fraktur horizontal scan sagittal menunjukkan pergeseran
melalui badan vertebra yang di sertai yang berat dan translasi bagian atas dan
dengan peningkatan tinggi dari badan bawah dari fraktur.
vertebra. Mengindikasikan tipe
ekstensi dari mekanisme cedera

Gambar 12: tipe fraktur horizontal pada badan vertebra

Status Neurologis5
Status Neurologis dari cedera tulang belakang merupakan variable yang sangat
penting untuk menuntun kita dalam pengambilan keputusan penanganan. Dalam
klasifikasi AO Spine, status neurologis di rancang jadi 1 dari 6 kategori. 5
kategori awal mewakili suatu kontinum peningkatan keparahan, sebagai berikut :
 N0 , pasien dengan neurologis intact (utuh)
 N1 , pasien dengan deficit neurologis transient yang sudah tidak lagi
terlihat
 N2 , pasien dengan gejala atay tanda dari radikulopati atau cedera akar
saraf
 N3 , pasien dengan cedera saraf tulang belakang inkomplit atau cedera
cauda equina, membuatnya menadi kategori neurologis paling “Urgensi”.
 N4 , pasien dengan cedera saraf tulang belakang komplit , pada klasifikasi
ASIA di kategorikan masuk ke tipe A.
Kategori ke 6 yaitu NX, di gunakan untuk pasien yang memiliki status tidak
meyakinkan karena ketidakmampuan mereka untuk menggambarkan status

27

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


neurologis mereka karena cedera kepala, intoksikasi, polytrauma, atau intubasi
atau sedasi.1,2

Type Status
N0 Intak
N1 Defisit Transien
N2 Radikulopati
N3 Incomplete cord / cauda equina
N4 Complete cord
NX Tidak dapat diperiksa
Tabel 3; Status Neurologis

Clinical Modifiers (Perubahan Klinis)6


Kelebihan utama dari system AO Spine adalah dia memperhitungkan pengubahan
spesifik pasien dan komorbiditas nya yang mempengaruhi pengambilan keputusan
klinis. Pengubahan ini bisa membantu ahli bedah untuk menentukan jalur
penagananan.
Subkategori M1 karakteristik fraktur dengan cedera yang tidak tent ke PLC atau
posterior tension band baik secara pemeriksaan klinis atau imaging, biasanya
MRI. Pengubahan (modifier) bisa membantu mengidentifikasi fraktur yang
kelihatan nya stabil namun memiliki komponen ligament yang mungkin membuat
nya tidak stabil, dan membutuhkan tindakan operasi.
Subkategori M2 mewakili pasien dengan komorbiditas spesifik yang bisa
memanggil atau menghambat potensi intervensi operasi. Beberapa contoh
komorbiditas M2 adalah kondisi reumatologi, luka bakar di atas tulang belakang,
ankylosing spondylitis, osteopenia/porosis, dan hyperostosis tulang idiopatik
luas.1,2

Multiple Fractures
Sitem Klasifikasi ini membutuhkan bahwa cedera multi level bisa di
klasifikasikan secara sendiri-sendiri dan kemudian di urutkan berdasarkan tingkat
keparahan dari yang paling tinggi ke rendah. Sebagai tambahan, jika cedera dari
sub tipe yang sama, fraktur harus di urutkan dari paling kranial ke kaudal.1,2

28

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Fraktur yang di klasifikasikan sebagai A ( kompresi) atau B1 ( monosegmental
osseus failure) meliputi 1 vertebra dan namanya seperti itu. Fraktur yang di
klasifikasikan sebagai B2 (posterior tension band), B3 ( hyperextension), atau C (
displacement/pergeseran) meliputi segmen dari pergerakan tulang belakang (T11-
T12) dan sesuai namanya.Klasifikasi ini sukses untuk memperkenalkan konsep
penting terhadap fraktur torakolumbar.3,4,5
Klasifikasi AO berdasarkan “ Teori 2 Kolum”
Klasifikasi AO ini mempertimbangkan tulang belakang meliputi 2 fungsi yang
terpisah untuk menopang kolum.
Kolum anterior terdiri dari badan vertebra dan diskus intervertebralis dan terisi
saat kompresi. Kolum posterior terdiri dari pedikle,lamina,sendi facet, dan
kompleks posterior ligament, dan terisi pada saat tension. Menurut system
klasifikasi AO, cedera di kategorikan berdasarkan tingkat keparahan.
 Tipe A : Cedera Kompresi
 Tipe B : Cedera Distraksi
 Tipe C : Cedera Rotasi
Tipe A adalah hasil dari kompresi dengan tekanan axial ( fraktur kompresi dan
fraktur burst)
Tipe B adalah cedera fleksi-distraksi atau hiperekstensi dan mengenai kolum
anterior dan posterion. Disrupsi bisa terjadi di struktur posterior atau anterior.
Tipe C adalah hasil dari kekuatan fleksi atau kompresi atau distraksi dalam
kombinasi dengan kekuatan rotasi di bidang horizontal. Setiap tipe di
klasifikasikan ke dalam 3 grup besar dari tingkat keparahan dan lebih jauh di bagi
ke dalam subgroup dan spesifikasi ( table 2)

29

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Anterior column
Fracture of the Distruption of the
vertebral body disc

Posterior column
Fracture
Type B 3.1.1

Rupture of the ligaments

Sign of rotation

Type A Type B Type C

Gambar 13 : Algoritma tipe fraktur AO klasifikasi

Gambar 14: Klasifikasi Fraktur AO – tipe dan grup fraktur

30

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Gambar 15 : Burst fraktur subgrup

Gejala Klinis
Gejala klinis pasien yang mengalami cedera thorakal, thorakolumbal & lumbal
biasanya jelas. Gejala kardinal nya adalah:
1. Nyeri
2. Hilang fungsi ( tidak bisa bergerak)
3. Defisiti sensorimotor
4. Disfungsi usus dan kandung kemih
Anamnesa harus termasuk penilaian detail terhadap cedera:
1. Tipe trauma ( energi tinggi atau rendah)
2. Mekanisme cedera {kompresi, fleksi/distraksi, hiperekstensi, rotasi, shear
(robek)}
Fraktur pada tulang belakang thorakal, thorakolumbal & lumbal, biasanya
akibat trauma energi tinggi seperti kecelakaan lalu linta atau jatuh dari ketinggian
tinggi.
Pada pasien dengan deficit neurologis ,riwayat harus di tanya detail mengenai:
1. Onset muncul nya
2. Perjalanan penyakit ( tidak berubah, progresif, atau membaik)
Pasien yang dengan Politrauma adan tidak sadar( cedera kepala) sanagt sulit untuk
di lakukan penilaian. Politrauma pasien membawa resiko tinggi untuk menderita
fraktur tulang belakang dan harus di teliti dengan cermat untuk cedera pada tulang
belakang nya. Menilai riwayat pada pasien yang tidak sadar sangat sulit, oleh
sebab itu diagnosis harus di dasarkan pada pemeriksaan penunjang.

31

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Pemeriksaan Fisik
Fokus awal pasien sama dengan penilaian awal pasien sama dengan pasien yang
mengalami cedera tulang belakang servikal yaitu :
1. Tanda Vital
2. Defisit Neurologis
Tujuan nya adalah untuk mengamankan dengan segera tanda vital, gangguan pada
saraf tulang belakang juga bisa berakibat Hipotensi dan oksigenasi jaringan yang
tidak adekuat dan harus di hindari dengan waktu dan penanganan yang tepat.6
Fraktur pada thoracolumbar bisa menghasilkan variasi gejala cedera neurologi,
kerusakan pada:6
 Distal dari spinal cord dengan paraplegia komplit / inkomplit
 Conus medullaris dengan malfungsi dari system vegetative
 Cauda equina
 Thoracolumbar nerve roots
Jika ada deficit neurologi, perbedaan antara paraplegia komplit dan
inkomplit penting dalam menentukan Prognosis, karena hampir 60%
pasien dengan lesi inkomplit memiliki potensi untuk kembali fungsi nya.
Inspeksi dan Palpasi dari tulang belakang harus mencari :6
 Memar di kulit, laserasi, ekimosis
 Luka terbuka
 Bengkak
 Hematoma
 Ketidaklurusan Tulang Belakang
 Gaps ( jarak )

2. . KLASIFIKASI DENIS6
Kolum tengah menjadi bagian sentral dari klasifikasi cedera spinal berdasarkan
denis, dimana dalam penggunaan luas di amerika. Kolum vertebra di bagi menjadi
3 kolum, yaitu :
 Kolum Anterior
Meliputi Ligament longitudinal anterior
Anterior annulus fibrosus

32

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


½ dari badan vertebra
 Kolum Tengah
½ dari badan vertebra
Posterior longitudinal ligament
 Kolum Posterior
Pedikle
Lamina
Sendi facet
Ligamentum flavum
Spinous procces
Posterior ligament complex

Konsep Tiga Kolum. Jika Lebih Tampak Lateral. Sendi Facet


dari 1 kolum yang terkena Lateral(Zygapophyseal) pada
fraktur,maka terjadi instabilitas kolum posterior, dengan
dari tulang belakang. Forminaa intervertebral pada
kolum tengah.

Gambar 16 : Konsep Tiga Kolum

33

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Kolum tengah memainkan peranan penting , cedera yang mengenai kolum tengah
sangat penting dalam instabilitas. Menurut klasifikasi Denis,rupture dari ligament
posterior complex hanya menghasilkan instabilitas jika ada disrupsi dari Posterior
longitudinal ligament dan dorsal annulus. Kolum tengah bagian tulang melawan
tekanan kompresi dan bagian ligament melawan tenaga distraksi.

2.2.7 Pemeriksaan Penunjang6


1. Pemeriksaan Radiografi standar
Radiografi di ambil pada pasien dengan posisi tengkurap dan bisa juga dalam
pasien posisi berdiri. Saat menganalisa gambaran foto x ray, tanda dan penunjuk
yang harus di perhatikan:
 Kehilangan tinggi dari badan vertebra lateral ( deformitas scoliosis)
 Perubahan jarak interpedicular horizontal dan vertical
 Luksasi dari sendir costotransverse
 Fraktur perpendicular atau oblique pada bagian dorsal
 Jarak yang irregular antara prosesus spinosus (equivocal sign)
Pada Lateral view, tanda yang harus di lihat :
 Profil sagittal
 Derajat kompresi badan vertebra
 Interupsi atau bulging dari garis posterior badan vertebra
 Dislokasi dari fragmen dorsoapical
 Tinggi dari sela intervertebral

34

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2. Computed Tomography6
Terutama Penanganan Politrauma , untuk menyingkirkan kemungkinan cedera
visceral dengan di lakukan CT scan pada dada, abdomen, dan pelvis. CT scan
memiliki sensitivitas dan spesifitas lebih bagus di banding dengan radiografi
standar.

3. Magnetic Resonance Imaging6


Pada deficit neurologis, MRI di rekomendasikan untuk identifikasi lesi dari saraf
atau kompresi pada serabut saraf yang bisa terjadi akibat fragment fraktur atau
karena diskus. Jika tidak ada deficit neurologis, MRI pada area thoracolumbar
biasanya tidak penting di lakukan pada fase akut. Namun MRI bisa berguna
menentukan integritas dari ligament posterior, dan dapat membedakan antara Tipe
A dan Tipe B yang tidak stabil.

Gambar 17. Penilaian Radiologis Fraktur


Gambaran Radiologis Anterior Posterior Standard menunjukkan: a. pelebaran dari jarak
interpedicular sebagai bukti adanya fraktur Burst dan kehilangan tinggi dari badan
vertebra unilateral(scoliosis); b. Garis sejajar tulang belakang yang asimetris dengan
luksasi dari persendian costotransversus. Pada gambaran standar lateral menunjukkan: c.
Perubahan gambaran sagittal dengan kyphosis segmental; d. disrupsi dari dinding badan
vertebra posterior dan dislokasi dari fragmen dorsoapikal.

35

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Gambar 18. Penilaian CT Fraktur
Gambaran CT Scan Axial menunjukkan: a. gangguan yang signifikan pada canal spinal
dengan fragment tulang yang retropulsi. Kontur ganda dari badan vertebra
mengindikasikan komponen “Burst”. b Gambaran sagittal 2D menunjukkan subluksasi
fraktur. Fragment tulang di belakang badan vertebra yang mana dapat menyebabkan
kompresi saraf saat fraktur di reduksi. c Fraktur Luksasi Berat dari Tulang belakang. d
gambaran CT 3D dengan bagus menunjukkan komponen rotasi yang mengindikasikan
lesi tipe 3C.

Gambar 19. Penilaian Fraktur pada MRI


A MRI scan T2 weighted menunjukkan fraktur subluksasi dengan bahan discus yang
keluar kebelakang di belakang badan vertebra. Perubahan intensitas signal yang berat dari
cedera medulla spinalis. b Gambaran parasagittal STIR menunjukkan Fraktur Pincer(anak
panah hitam). Efusi sendi( anak panah putih) dan perubahan signal dengan intensitas
terang pada bagian posterior yang mengindikasikan Fraktur Pincer di gabungkan dengan
cedera Posterior ( Lesi Tipe B).

36

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4. Pemeriksaan Radionuclide
Pemeriksaan ini paling jarang di lakukan untuk diagnose fraktur vertebra akut.
Namun skeletal scintigraphy bisa berguna untuk skrining fraktur pada pasien
polytrauma, pernah di temukan setelah 10-12 hari, dengan skeletal scintigraphy
ada fraktur tambahan yang di temukan pada ½ dari seluruh pasien, dan sudah di
buktikan dengan pemeriksaan radiologi.

2.2.8. Diagnosis
Setiap pasien cedera tulang belakang yang dicurigai di ruang gawat
darurat harus dievaluasi mengikuti prinsip-prinsip dasar penilaian trauma
termasuk survei primer dan sekunder. Cedera yang mengancam jiwa harus
diprioritaskan, riwayat tentang mekanisme cedera dan informasi yang berkaitan
dengan nyeri punggung atau leher dan gejala neurologis harus diperoleh dengan
cermat.
Pasien biasanya memiliki riwayat trauma setelah kecelakaan lalu lintas
jalan, jatuh dari ketinggian, pukulan langsung ke tulang belakang atau tidak jarang
luka tembak. Apabila tidak dijumpai riwayat trauma, dapat di tanyakan tentang
riwayat penyakit tumor untuk mencari kemungkinan adanya metastasis tumor.
Nyeri punggung yang tidak menjalar adalah gejala yang paling umum. Pasien
dengan cedera neurologis mengeluhkan kelemahan, paresthesia atau anestesi di
bawah level cedera dan retensi urin.
Pemeriksaan menyeluruh terhadap tulang belakang harus dilakukan,
perlu di identifikasi adanya abrasi, kyphosis local, kekakuan, dan gap yang teraba
diantara prosesus spinosus. Penilaian neurologis harus mengikuti pedoman
standar American Spinal Injury Association (ASIA ).

37

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Gambar 20 : American Spinal Injury Association (ASIA) form for standard neurologic
classification of spinal cord injury (from ASIA)

2.2.9 Penanganan
TLICS (the Thoracolumbar Injury Classification and Severity Score )
TLICS, dikembangkan oleh Spine Trauma Study Group, merupakan sistem
penilaian dan klasifikasi. Sistem ini didasarkan pada tiga kategori cedera yang
secara independen kritis dan saling melengkapi dalam membantu menentukan dan
mengelola cedera tulang belakang: (a) morfologi cedera, (b) integritas PLC, dan
(c) status neurologis pasien.

38

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Tabel 4.1 : TLICS dengan Subkategori dan Skornya

TLICS membantu mengidentifikasi fitur cedera yang penting dalam


memprediksi stabilitas tulang belakang secara biomekanik dan neurologis,
sehingga memfasilitasi rekomendasi perawatan yang tepat. TLICS membahas tiga
kategori stabilitas tulang belakang yang berbeda: (a) stabilitas mekanis segera,
disarankan oleh morfologi cedera; (B) stabilitas jangka panjang, ditunjukkan oleh
status PLC; dan (c) stabilitas neurologis, ditunjukkan oleh ada atau tidak adanya
defisit neurologis. Kategori-kategori ini membentuk dasar dari TLICS dan
memungkinkan penilaian stabilitas tulang belakang yang praktis dan relevan
secara klinis. Skor total TLICS membantu ahli bedah mengevaluasi tingkat
keparahan cedera dan memandu pengambilan keputusan tentang manajemen
bedah versus non-bedah.

39

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Tabel 4.2: Pedoman Perawatan TLICS untuk Cedera Tulang Belakang28

Di antara sistem klasifikasi ini, klasifikasi Denis, klasifikasi AO dan


klasifikasi TLICS umumnya digunakan dalam praktik klinis. Lenarz et al.
membandingkan keandalan sistem Denis, AO, dan TLICS pada 97 patah tulang
thoracolumbar. Mereka menyimpulkan bahwa TLICS adalah sistem yang dapat
diandalkan jika dibandingkan dengan sistem Denis dan AO22.

2.2.9.1. Penanganan Non Operatif 6


Penanganan awal sama dengan penanganan pada cedera cervical
Tabel 5. Tujuan Umum Pengobatan
 Mengembalikan Kesejajaran  Peningkatan / Perbaikan dari
Tulang Belakang fungsi neurologis
 Mengembalikan Stabilitas  Menghindari kerusakan
Tulang Belakang tambahan

Pengobatan harus menyediakan lingkungan biologis dan biomekanik untuk agar


tulang dan jaringan lunak sembuh. Tujuan utama adalah mencapai morbiditas
dengan resiko seminimal mungkin. Keuntungan yang di dapat dari
penatalkasanann non operasi dari fraktur thoracolumbar adalah menghindari
komplikasi akibat operasi seperti :
 Infeksi
 Cedera Neurologis iatrogenic
 Kegagalan instrumentasi
 Komplikasi anestesi

40

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Tabel 6. Indikasi terapi non operatif
 Lesi Osseus Murni  Tidak adanya malalingment
 Tidak adanya deficit neurologis  Tidak adanya destruksi tulang
yang kasar
 Hanya nyeri ringan sampai  Tidak adanya osteoporosis atau
sedang pada saat mobilisasi osteopenia

Ada 3 metode berbeda pada terapi non operatif :


1. Reposisi dan stabilisasi dengan casting
2. Terapi fungsional dan brace tanpa reposisi
3. Terapi fungsional tanpa brace

2.2.9.2 Penanganan Operasi6


Prinsip utama penanganan operasi dari fraktur yang tidak stabil kebanyakan
karena stabilisasi operasi memungkinkan untuk :
 Mobilisasi awal
 Menghilangkan nyeri
 Perawatan yang di fasilitasi
 Lebih cepat kembali bekerja
 Mencegah komplikasi neurologis lambat
Absolute Relatif
Inkomplit paraparese Lesi osseus murni
Defisit neurologis yang progresif Dapat kembali melalukan aktivitas biasa
Kompresi spinal cord dengan atau tanpa Mencegah kyphosis sekunder
defisit neurologis
Fraktur dislokasi Multiple injuri (Cerebral, thoracic)
Segmental khyposis yang meningkat (> 30°) Memfasilitasi perawatan pada pasien
lumpuh
Cedera ligament yang dominan

Tabel 7. indikasi dilakukan tindakan operasi

41

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Dekompresi Saraf
Keparahan dari cederah saraf spinal berhubugan dengan kekuatan dan durasi dari
kmpresi, pergeseran dan energi kinetic. Waktu yang paling tepat untuk di lakukan
dekompresi segera mungkin kurang dari 24 jam yang akan memberikan hasil yang
lebih baik.
Teknik Operasi 6
1. Pendekatan Posterior
a. Posterior Monosegmental Reduksi dan stabilisasi
Di lakukan pada Tipe Fraktur A dan Fraktur Tipe B

b. Posterior Bisegmental Reduksi dan Stabilisasi


Bisegmental, 2 level pendekatan posterior ( stabilisasi segmen
pendek) adalah “The Working Horse” dari Teknik posterior yang
memungkinkan fiksasi yang aman dari skrew pedikel di vertebra
yang utuh 1 level di atas dan di bawah fraktur. Dengan konstruksi
ini,maka reduksi dan fiksasi stabil bisa tercapai

Gambar 21. Teknik Operasi reduksi dan stabilisasi dari Fraktur 2 level
Teknik ini menunjukkan penggunaan dari Module fraktur dari Universal spine system (
Synthes) namun prinsip umum mirip yang di gunakan pada sistem fraktur lain. a Skrew
Schanz di masukkan ke dalam pedikle dari badan vertebra superio dan inferior ke fraktur.
b Penjepit Screw di gabungkan dengan Rods di fiksasi(anak panah). c Fraktur bisa di
reduksi dengan lordosis kedua obeng.Namun , biasanya lebih baik mengencangkan

42

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


pertama kali 2 screw bagian bawah dan reduksi fraktur secara bersamaan dengan lordosis
screw bilateral bagian cranial dengan bantuan obeng(screwdriver). d Jika manuver
reduksi ini tidak berhasil untuk mengembalikan tinggi dari badan vertebra, C-Clamp
sementara bisa di pasangkan dan fraktur di distraksi setelah screw paling atas di buka.
Hati-hati jangan terlalu jauh distraksi fraktur karena resiko neurologis. Pada akhir nya,
Screw Schanz di potong dengan pemotong screw khusus. Tergantung dari canal spinal
yang lapang dan restorasi kolum anterior vertebra, tambahan pendekatan anterior bsa di
tambahkan( di anjurkan pada stadium dua).

c. Posterior Reduksi dan Multisegmental Stabilisasi


Stabilisasi multilevel di indikasikan untuk fraktur luksasi
thoracolumbar yang sangat tidak stabil ( Lesi Tipe C) yang mana
tidak bisa di reduksi secara akurat dan di stabilisasi dengan
konstruksi 2 level yang pendek. Biasanya fiksasi 2 sampai 3
segment di atas dan di bawah cedera di rekomendasikan untuk
fiksasi yang stabil

2. Pendekatan Anterior6
Dari pandangan biomekanik, jelas bahwa kerusakan tulang belakang harus
di terapi berdasarkan mekanisme dan lokasi cedera.Biomekanik dari
kolum anterior bisa di lihat pada Burst Fraktur. Sekitar 80 % dari tekanan
axial dari tulang belakang yang utuh di topang oleh kolum anterior. Saat
kolum anterior cedera, topangan anterior menurun hampir 10%,
meninggalkan 90% bebas di tahan oleh implant dan elemen posterior.
Biomekanik ini yang mendasari penggunaan support anterior load sharing
( tricortical bone graft atau a cage)
Indikasi Utama untuk pendekatan anterior adalah:
 Dekompresi spinal yang insuffisien
 Restorasi kolum anterior yang insuffisien
Fraktur Tipe A bisa di tangani dengan Pendekatan Anterior saja, Beberapa
Fraktur Tipe B dan C bisa di terapi dengan pendekatan Anterior saja
dengan menggunakan Fiksasi anterior Rigid angle-stable

43

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3. Pendekatan Invasif Minimal6
Operasi Konvensional untuk penanganan fraktur thoracolumbar
memerlukan pembedahan yang luas dan bisa memicu nyeri post operatif
dan morbiditas yaitu Thoracoscopis spinal .
Ini merupakan pendekatan baru untuk mengurangi morbiditas dari
pendekatan operasi konvensional, namun tetap tujuan utamanya adalah
untuk mendapatkan dekompresi, rekonstruksi dan stabilisasi spinal.
4. Kombinasi Pendekatan Anterior-Posterior6
Studi pada stabiliasi posterior dari fraktur thoracolumbar menunjukkan
bahwa fraktur dengan kominutif kolum anterior biasanya mengarah ke
kegagalan awal. Untuk ini perlu di tambah dengan stabilisasi dan reposisi
2 level di bagian posterior, beberapa Teknik di perkenalkan untuk
menstabilkan kolum anterior, crista iliac anterior, dengan Inlay Teknik
atau dengan penggantian badan vertebra dengan bahan lain, ukuran,
bentuk dan konfiguasi lain nya. Ada 2 prosedur yang harus di lakukan :
a) Stage 1 : reduksi fraktur posterior dan biasanya stabilisasi 2 level
(tanpa dekompresi tergantung dari ketahanan syaraf neural).
b) Stage 2 : tunda operasi anterior tergantung dari kondisi pasien
Rekonstruksi anterior mengizinkan dekompresi efektif dari kanalis
spinalis dan menawarkan stabilitas mekanik yang baik di bandingkan
dekompresi secara tidak langsug dan stabilisasi bagian posterior.

44

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2.3. Luaran Klinis
2.3.1. SF-36
Suatu paket penilaian dari kualitas hidup yang mudah, koheren, dan
generik.37

2.3.2. Oswestry Disability Index (ODI) 38


ODI merupakan alat ukur yang berisi daftar pertanyaan atau
kuesioner yang dirancang untuk memberikan informasi seberapa besar tingkat
disabilitas nyeri punggung bawah (NPB) dalam melakukan aktifitas sehari-hari.
ODI pertama kali dikembangkan oleh Fairbanks dan kawan-kawan pada tahun
1980 dan telah dimodifikasi beberapa kali. Modifikasi pertama mengganti item
tentang penggunaan obat pengurang nyeri dengan item intensitas nyeri. Dalam
perkembangan selanjutnya pada versi asli, dilaporkan hampir 20% responden
tidak mengisi item tentang kehidupan seks mereka terkait nyeri punggung bawah
khususnya di negara-negara timur. Karena itu, versi terakhir mengganti item
tentang kehidupan seks dengan pekerjaan/aktifitas di rumah, selain itu ODI juga
disarankan digunakan pada kondisi disabilitas berat.
Secara teknis pasien diinstruksikan untuk menjawab dengan memberi
tanda centang atau tanda silang pada salah satu kotak tiap bagian yang paling
sesuai dengan keadaan dan yang dirasakannya pada saat itu. Selanjutnya,
dilakukan perhitungan skor yang diperoleh dan dicatat untuk mengetahui
kemajuan intervensi selanjutnya. Prosedur pengukuran ODI sebagai berikut:
a. Membuat lembar pengukuran ODI yang dimodifikasi, dengan berbagai
macam kondisi yang dapat mengintepretasikan tingkat disabilitas pasien.
Terdapat 10 pertanyaan yang tercantum dalam kuesioner. Dari setiap
pertanyaan terdapat 5 pilihan jawaban yang menggambarkan disabilitas
pasien. Masing-masing jawaban memiliki nilai yang berbeda, dimulai dengan
nilai 0 untuk menyatakan tidak ada disabilitas, nilai 1 untuk disabilitas yang
sangat ringan, sampai dengan nilai 5 untuk disabilitas yang paling berat.

45

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


b. Cara penghitungan menggunakan ODI :
1) Dalam ODI, tercantum 10 pertanyaan yang menggambarkan kondisi
disabilitas pada pasien pasien NPB. Masing-masing kondisi memiliki nilai
0 sampai nilai 5, sehingga jumlah nilai maksimal secara keseluruhan
adalah 50 poin.
2) Jika 10 kondisi dapat diisi, maka cukup langsung menjumlah seluruh skor.
3) Jika suatu kondisi dihilangkan, maka penghitungannya adalah skor poin
total dibagi dengan jumlah kondisi yang terisi, lalu dikalikan 5.

Jumlah kondisi yang terisi X 5

Berikut ini adalah rentang penilaian ODI serta klasifikasi tingkat disabilitas yang
dialami pasien:
a) Disabilitas minimal, merupakan ketidakmampuan pada tingkat minimal yaitu
dengan angka 0%-20%. Pasien dapat melakukan sebagian besar aktifitas
hidupnya. Biasanya tidak ada indikasi untuk pengobatan terlepas dari nasihat
untuk mengangkat dan duduk dengan cara yang benar agar tidak bertambah
parahnya tingkat disabilitas pasien.
b) Disabilitas sedang, merupakan ketidakmampuan pada tingkat sedang yaitu
dengan angka 21%-40%. Pasien merasa lebih sakit dan mengalami kesulitan
dalam melakukan aktifitas duduk, mengangkat, dan berdiri. Untuk berpergian
dan kehidupan sosial akan lebih dihindari. Sedangkan untuk perawatan pribadi
dan tidur tidak terlalu terpengaruh.
c) Disabilitas parah, merupakan ketidakmampuan pada tingkat yang parah, yaitu
dengan angka 41%-60%. Rasa sakit dan nyeri tetap menjadi masalah
utamanya sehingga mengganggu aktifitas sehari-hari.
Skor poin total jumlah kondisi yang terisi X 5 X 100 =…….%
d) Disabilitas sangat parah, merupakan ketidakmampuan yang sangat –parah
dengan angka 61% ̶80%, sehingga sangat mengganggu seluruh aspek
kehidupan pasien.
e) Angka tertinggi untuk tingkat keparahan disabilitas adalah 81% ̶100%,
dimana pasien tidak dapat melakukan aktifitas sama sekali dan hanya
tergolek ditempat tidur.

46

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2.3.3. Visual Analogue Scale (VAS) 36

Visual Analogue Scale (VAS) telah digunakan sangat luas dalam beberapa
dasawarsa belakangan ini dalam penelitian terkait dengan nyeri dengan hasil yang
handal, valid dan konsisten. VAS adalah suatu instrumen yang digunakan untuk
menilai intensitas nyeri dengan menggunakan sebuah tabel garis 10 cm dengan
pembacaan skala 0–100 mm dengan rentangan makna:

Tabel 2.4 Pengukuran skala kuantitas nyeri visual analogue scale


Dikutip dari : Pengukuran Kuantitas Nyeri. Universitas Hasanudin.39

Cara penilaiannya adalah penderita menandai sendiri dengan pensil pada nilai
skala yang sesuai dengan intensitas nyeri yang dirasakannya setelah diberi
penjelasan dari peneliti tentang makna dari setiap skala tersebut. Penentuan skor
VAS dilakukan dengan mengukur jarak antara ujung garis yang menunjukkan
tidak nyeri hingga ke titik yang ditunjukkan pasien.

Gambar 22; Alat bantu ukur Visual Analog Scale.


Dikutip dari : Pengukuran Kuantitas Nyeri. Universitas Hasanudin.39

47

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2.4. Kerangka Teori
Fraktur thorakal, thorakolumbar & lumbar lebih sering dialami pria dari pada wanita 3:1
dan usia paling sering 20-40 tahun. Hampir 160.000 pasien pertahun mengalami cedera
pada kolum spinalis di amerika6

Kelemahan kedua tungkai

Pemeriksaan klinis motoric dan sensorik

dari tungkai bawah

Cedera tulang belakang regio thorakal, thorakal, thoracolumbal, lumbal

Pemeriksaan Radiologi ,CT-Scan Atau MRI

Penilaian luaran klinis (SF-36, ODI,


VAS) cedera tulang belakang
sebelum tindakan operasi
instrumentasi posterior

Tindakan
instrumentasi
posterior

Penilaian luaran klinis (SF-36, ODI,


VAS) cedera tulang belakang sesudah
tindakan operasi instrumentasi
posterior

48

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2.5. Kerangka Konsep

Variabel Bebas Variabel Tergantung

• Tindakan operasi • Penilaian fungsi klinis


instrumentasi sebelum, dan sesudah
posterior operasi (SF-36, ODI,
VAS)

2.6. Hipotesis
Luaran klinis pasien cedera tulang belakang thorakal, thorakolumbal dan
lumbal yang sudah dilakukan tindakan operasi instrumentasi
posterior hasilnya lebih baik dibandingkan sebelum operasi

49

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian


Studi yang dilakukan adalah studi analitik observasional tidak berpasangan
retrospektif dengan pendekatan crossectional yang bertujuan untuk mengetahui
luaran klinis pasien cedera tulang belakang regio thorakal, thorakolumbal dan
lumbal yang menjalani operasi instrumentasi posterior di Rumah Sakit Umum
Pusat Haji Adam Malik Medan Januari 2016 sampai dengan Desember 2018 ”.

3.2. Populasi Penelitian


Populasi target dari penelitian adalah pasien yang mengalami cedera
tulang belakang bagian thorakal, thorakolumbal dan lumbal yang menjalani
operasi instrumentasi posterior di RSUP. Haji Adam Malik Medan.

3.3. Subyek Penelitian


Subyek yang diinginkan untuk penelitian diambil dari seluruh populasi
yang memenuhi kriteria inklusi.
a. Kriteria inklusi
1. Semua pasien dengan cedera tulang belakang pada bagian thorakal,
thorakolumbal dan lumbal.
2. Bersedia ikut dalam penelitian dengan menandatangani informed
consent.
b. Kriteria eksklusi
1. Pasien dengan penyakit tulang belakang degeneratif
2. Pasien dengan infeksi penyakit tulang belakang

3.4. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilaksanakan di rumah sakit yaitu RSUP Haji Adam Malik.
Penelitian ini dilaksanakan setelah ethical clearance dikeluarkan Komite Etik
Fakultas Kedokteran USU, dimana sampel penelitian ini diambil berdasarkan data
dari bulan Januari 2016 sampai dengan bulan Desember 2018. Rumah sakit
tersebut merupakan rumah sakit tipe A.

50

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3.5. Metode Pengambilan sampel Penelitian
Metode pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif, yaitu
berdasarkan kontinue pada pasien yang datang ke rumah sakit sampai jumlah
sampel minimal terpenuhi. Sampel penelitian diperoleh dari data pasien.34
1) Alokasi subyek
Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dicatat usia, jenis kelamin, dan jenis
cedera.
2) Cara kerja penelitian
(1) Data pasien diperoleh dari data primer pasien mulai dari bulan Januari
2016 sampai dengan bulan Desember 2018 yang berobat ke RSUP H.
Adam Malik Medan.
(2) Pasien yang masuk dalam kriteria inklusi dilakukan penghitungan luaran
klinis dengan menggunakan SF 36, ODI, VAS

3.6. Perkiraan Besar Sampel


Besarnya sampel dihitung berdasarkan rumus analitik tidak berpasangan
numerik kategorikal:

2( )
(zα + zβ) s
n= x1 – x2

 Kesalahan tipe I ditetapkan sebesar 90%, sehingga Zα = 1.64


 Kesalahan tipe II ditetapkan dengan power 84%, maka Zß = 1.41
 Dengan s = standar deviasi gabungan sebesar 4,1 ; yang didapat
dari rumus :

dimana nilai n1 = 61, n2 = 57, s1 = 0,6 dan s2= 1,333


 Dengan X1 sebesar 4,1 dan X2 sebesar 1,5 menurut studi terdahulu
yang dilakukan oleh peneliti pada 46 pasien.33

51

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3.7. Definisi Operasional
a. Pasien dengan cedera tulang belakang adalah cedera umum yang dapat
mengakibatkan kecacatan, kelainan bentuk dan defisit neurologis yang
signifikan. Secara anatomis dan fungsional, tulang belakang bagian
torakal dan lumbal dapat dibagi menjadi tiga daerah yaitu torakal (T1-
T10), torakolumbal (T10-L2) dan lumbalis (L3-L5).
b. Instrumentasi fusi posterior tulang belakang
Instrumentasi fusi posterior tulang belakang adalah tindakan
memasukkan instrumen ke bagian belakang dari tulang belakang dengan
tujuan supaya terjadi fusi.31
c. Short form-36 (SF-36)43
Suatu paket penilaian dari kualitas hidup yang mudah, koheren, dan
generik yang diukur dengan observasi menggunakan data rekam medik,
dan penggunaan skala rasio. (terlampir)
d. Oswestry Disability Index (ODI)32
ODI adalah kuesioner untuk menilai disabilitas pada nyeri tulang
belakang yang diukur dengan observasi menggunakan data rekam
medik, dan penggunaan skala rasio. (terlampir)
e. Visual Analogue scale (VAS) 30
VAS adalah suatu instrumen yang digunakan untuk menilai intensitas
nyeri dengan menggunakan sebuah tabel garis 10 cm dengan pembacaan
skala 0–100 mm pada data rekam medik. (terlampir)
f. Usia
Usia adalah lama waktu hidup sejak dilahirkan yang diukur dengan
observasi menggunakan rekam medic.
g. Jenis kelamin
Jenis kelamin adalah perbedaan sifat, bentuk biologis dan tanda fisik
yang diobservasi menggunakan data rekam medik.

52

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3.8. Alur Penelitian
Luaran klinis berdasarkan
penilaian
Cedera tulang belakang regio SF-36, ODI, VAS
thorakal, thorakolumbal & Sesudah dilakukan
lumbal tindakan operasi
instrumentasi posterior

Operasi
Instrumentasi
Posterior

3.9. Analisa Data


Data dikumpulkan dalam bentuk data mentah, lalu diurutkan secara
sistematis dengan berbasis komputer. Hasilnya akan dinarasikan dan diperjelas
dalam benutk table dan grafik. Nilai Numerik hasil pemeriksaan luaran klinis akan
dibuat rerata dan SD. Data akan dilakukan uji normalitas dengan uji Saphiro-
Wilk. Analisis statistik yang digunakan apabila didapatkan data berdistribusi
normal adalah T-Test berpasangan, namun jika data distribusi yang didapat tidak
normal maka analisis yang digunakan adalah uji Wilcoxon. Tingkat kemaknaan
yang akan digunakan adalah 1% (0,01) dan tingkat kemaknaan kecenderungan
10%(0,1). Suatu perbedaan dianggap bermakna apabila nilai P <0,05.

53

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian


Seluruh data diolah dan disajikan dalam bentuk tabel kemudian selanjutnya
diklasifikasikan menjadi 1) gambaran umum, 2) luaran klinis subyek cedera
tulang belakang regio torakal, torakolumbal dan lumbal sebelum dan sesudah
operasi instrumentasi posterior, 3) uji normalitas data demografi subyek pada
cedera tulang belakang regio thorakal, thorakolumbal dan lumbal sebelum dan
sesudah operasi instrumentasi posterior, 4) analisa statistik luaran subyek pada
cedera tulang belakang regio torakal, torakolumbal dan lumbal sebelum dan
sesudah operasi instrumentasi posterior

Gambaran Umum Subyek Penelitian


a. Pengumpulan dan pengolahan sampel penelitian mulai dilaksanakan dari
bulan April 2019 sampai dengan bulan Mei 2019 di RSUP H. Adam Malik,
Medan
b. Didapatkan jumlah pasien cedera tulang belakang sejak bulan Januari 2016
sampai dengan Desember 2018 dengan total 48 pasien yang menjalani
tindakan operasi instrumentasi posterior.
c. Dari total 48 subyek sebagai minimal sampel, didapatkan 48 subyek yang
diteliti sampai analisa akhir. Pengambilan data dan penghitungan ODI, SF-36,
VAS, frankel, dilakukan secara bertahap dengan tahap awal melakukan
pemilihan sampel subyek yang masuk kedalam kriteria inklusi. Kemudian
setelah jumlah sampel mencukupi, pasien yang masuk kedalam kriteria inklusi
dilakukan wawancara dan penghitungan ODI, SF-36, VAS, frankel, sesudah
tindakan instrumentasi posterior.

4.1.1. Karakteristik Subyek Penelitian


Seluruh gambaran karakteristik subyek penelitian ditampilkan dengan
sistematika 1) distribusi karakteristik demografi subyek cedera tulang belakang

54

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


regio thorakal, thorakolumbal dan lumbal yang menjalani instrumentasi fusi
posterior, 2) deskripsi luaran klinis subyek cedera tulang belakang regio thorakal,
thorakolumbal dan lumbal yang menjalani instrumentasi fusi posterior.

1. Distrbusi karakteristik demografi subjek cedera tulang belakang regio


thorakal, thorakolumbal dan lumbal yang menjalani instrumentasi fusi
posterior:
Variabel Total
Perempuan n(%) 24 (50%)
Laki-laki n(%) 24 (50%)
Usia termuda 13 tahun
Usia tertua 88 tahun
Rerata usia 48,94 tahun
Standar devisasi usia 18,494 tahun

Tabel 1 menunjukan bahwa distribusi jumlah sampel yang menjalani


tindakan instrumentasi posterior adalah sebanyak 48 dengan perempuan
sebanyak 24 orang dan laki – laki sebanyak 24 orang. Usia termuda dari
subjek penelitian adalah 13 tahun, usia tertua dari subjek penelitian adalah
88 tahun dengan rerata usia adalah 48,94 tahun dengan standar deviasi
18,494 tahun.

55

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2. Uji normalitas dan uji statistik pasien dengan cedera tulang belakang
regio thorakal, thorakolumbal dan lumbal yang dilakukan tindakan
instrumentasi posterior sebelum dan sesudah operasi menurut ODI dan
VAS

Variabel Shapiro-wilk Uji Normalitas Uji Statistik


(p-value) Data
ODI 0,958 Normalitas T tes
berpasangan
VAS 0,905 Normalitas T tes
berpasangan
PF 0,002 Tidak Normalitas Wilcoxon
PH 0,284 Normalitas T tes
berpasangan
EP 0,001 Tidak Normal Wilcoxon
ENE 0,079 Normalitas T tes
berpasanga
EMO 0,001 Tidak Normal Wilcoxon
SF 0,001 Tidak Normal Wilcoxon
Pain 0,021 Tidak Normal Wilcoxon
GH 0,001 Tidak Normal Wilcoxon
HC 0,001 Tidak Normal Wilcoxon

56

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Uji statistik pasien dengan cedera thorakal, thorakolumbal dan
lumbal sebagai berikut:
Variabel P-value
ODI 0,001

VAS 0,001

PF 0,001
PH 0,001
EP 0,010
ENE 0,001
EMO 0,047
SF 0,002
Pain 0,001
GH 0,001
HC 0,001

3. Deskripsi luaran klinis subjek cedera tulang belakang regio thorakal,


thorakolumbal dan lumbal sebelum dan sesudah menjalani instrumentasi
fusi posterior menurut frankle
Frankel Jumlah(persentase) Preop Jumlah(persentase) Postop
A 6(12,5%) 3 (6,2%)
B 6(12,5%) 3 (6,2%)
C 11(22,9%) 4 (8,3%)
D 15(31,3%) 13 (34,2%)
E 10(20,8%) 25 (52,1%)

Tabel di atas menunjukkan distribusi pasien menurut frankle baik preoperatif


maupun pasca operasi, dimana pasien dengan frankle A preoperasi ada 6 orang,
frankle B ada 6 orang, frankle C ada 11 orang, frankle D ada 15 orang, dan frankle
E ada 10 orang. Pasca operasi, terdapat 3 orang dengan frankle A, 3 orang dengan
frankle B, 4 orang frankle C, 13 orang frankle D dan 25 orang dengan frankle E.

57

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4. Deskripsi luaran klinis subjek cedera tulang belakang regio thorakal,
thorakolumbal dan lumbal sebelum dan sesudah menjalani instrumentasi
fusi posterior

VARIABEL LUARAN KLINIS


ODI VAS SF 36
PF PH EP ENE EMO SF PAIN GH HC
Pre operatif 75,93±6,75 4,75±0,9 72,9±16,5 58±23,1 63,1±21,8 62,5±12,0 84,1±14,8 79,6±23,5 62,0±125, 49,5±3,4 72,0±7,8
8 3
Post operatif 10,75±3,29 1,77±0,7 94,5,±6,7 100,0±0 79,9±32,9 88,6±13,7 92,3±1,7 100,0±0,0 99,9±10,4 89,3±14, 92,4±9,7
2 9
P- Value 0,001 0,001 0,001 0,001 0,010 0,001 0,047 0,002 0,001 0,001 0,001

ODI, Oswestry Disability Index, VAS, Visual Analog Scale, PF, Physical
Functioning, PH, Physical Health, EP, Emotional Problem, ENE, Energi/Fatique,
EMO, Emotional Well Being, SF, Social Functioning, GH, General Health, HC,
Health Change

4.2 Pembahasan
Berdasarkan karakteristik pasien dalam penelitian ini di mana umur yang sering
antara 30-40 tahun, sesuai dengan penelitian Hao et al dimana rerata pasien yang
mengalami cedera thorakolumnal yang berusia 30-40 tahun. Dalam penelitian ini,
pasien-pasien cedera thorakal, thorakolumbal dan lumbal yang menjalani operasi
mengalami perbaikan yang signifikan dalam hal kualitas hidup. Hal ini
ditunjukkan melalui perbedaan skor ODI, VAS, dan SF-36 yang signifikan antara
sebelum dan setelah operasi. Hal ini juga didukung oleh nilai uji statisik yang
signifikan (<0,05). Nilai ODI yang menurun pasca operasi tindakan instrumentasi
posterior, juga nilai SF 36 yang mengalami perrbaikan. Hasil penelitian ini sesuai
dengan penelitian lain yang dilakukan oleh Hao et al, yang menunjukkan terdapat
perbaiikan kualitas hidup pasien setelah dilakukan tindakan operasi.

58

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil uji analisis statistik tentang luaran fungsi klinis pasien dengan
cedera tulang belakang regio thorakal, thorakolumbal dan lumbal yang dilakukan
operasi dan dinilai dengan ODI dan VAS, hal ini ditunjukan dengan nilai p value
= 0,001 (<0,005). Dimana luaran klinis pasca operasi lebih baik dibandingkan
dengan pre operasi.

5.2 Saran
a. Membandingkan teknik yang berbeda untuk melihat hasil luaran klinis
pasca operasi
b. Melakukan follow up berkala dan membandingkan dengan non operatif

59

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR PUSTAKA

1. Kaveh Haddadi, Farzaneh Yosefzadeh, 2016, Epidemiology of Traumatik


Spinal Injury in North of Iran: A Cross-Sectional Study, IrJNS. 2015;1(4):
11-14
2. World Health Organization 2013, Epidemology Of the Thoracolumbar
Fracture and its Characteristic, WHO jurnal, 2017. USA.
3. Martini f.h., welch k. Fundamentals of anantomy and physiology. 5th ed.
Newjersey: upper saddle river, 2001: 132,151PG
4. Anatomi fungsional vertebra, accessed on 24 January, available from
http://fisiosby.com/anatomi-fungsional-vertebra
5. Schreiber D. Spinal Cord Inuries, eMedicine Journal, April, 2002
6. Braken MB. Steroid For Acute Spinal Cord Injury (Cochrane Review):
Cochrane Library, Issue 3, 2002
7. The Danger of Spinal Cord Injury.2009.accessed on 2019 Mar 26,
available from:http://www.nutritionalsupplementproduct.com/1381/spinal-
cord-injury/
8. Hurlbert RJ. Methylprednisolone for Acute Spinal Cord Injury: An
Inappropriate Standard of Care. J Neurosurg (Spine). 2000;93: 1-7
9. Adams RD, Victor M, Ropper AH. Disease of Spinal Cord in Principles of
Neurology, 7th ed. McGraw-Hill, New York, 2001.
10. Trauma Vertebra. 2018. accessed on 2019 Mar 26, available from: http://
www.maitriseorthop.com/korpusmaitri/orthopaedic/102_duquennoy/pec_t
rauma_med_us.shtml
11. Anil K jain, Sudhir Kumar: Neglected Musculoskeletal Injuries, jaypee
brother medical publisher, New Delhi 2010, 437:142-160.
12. Kavin Khatri, Kamran Farooque, Vijay Sharma, Babita Gupta, Shivanand
Gamanagatti, 2016, Neglected Thoraco Lumbar Traumatik Spine Injuries,
Asian Spine J 2016;10(4):678-684.
13. Dilip K. Sengupta, MD, Dr. Med, Neglected Spinal Injuries, clinical
orthopaedics and related research, Number 431, pp. 93–103
14. Goodrich J Allan MD, Goldsten Jeffrey A , September 2016, Chance
fraktur,

60

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


15. Vaccaro AR, Oner C, Kepler CK, et al; AOSpine Spinal Cord Injury &
Trauma Knowledge Forum. AOSpine thoracolumbar spine injury
classification system: fracture description, neurological status, and key
modifiers. Spine 2013;38:2028–2037.
16. Reinhold M, Audigé L, Schnake KJ, Bellabarba C, Dai LY, Oner FC. AO
spine injury classi cation system: a revision proposal for the thoracic and
lumbar spine. Eur Spine J 2013;22:2184–2201.
17. Patel AA, Vaccaro AR. Thoracolumbar spine trauma classi cation. J Am
Acad Orthop Surg 2010;18: 63–71.
18. Vaccaro AR, Lehman RA Jr, Hurlbert RJ, et al. A new classi cation of
thoracolumbar injuries: the impor- tance of injury morphology, the
integrity of the po- sterior ligamentous complex, and neurologic status.
Spine 2005;30:2325–2333.
19. Heinzelmann M, Wanner Guido A. Thoracolumbar Spinal Injuries.2nd
Volume.Boos,N. Springer,2008.1165
20. Thompson Jon C. Netter’s Concise Orthopaedic Anatomy. 2nd.ed. Craig
John A.Philadelphia: Saunders Elsevier, 2010.
21. Rockwood&Green’s,2001. Fractures in adult. 8th.ed. Philadelphia: Wolters
Kluwer, 2015. 1651p.
22. Rajasekaran S, Kanna RM, Shetty AP. Management of thoracolumbar
spine trauma: An overview. Indian journal of orthopaedics. 2015
jan;49(1):72.
23. Maccauro G, Spinelli MS, Mauro S. Physiopathology of Spine Metastasis.
International Journal of Surgical Oncology.2011 June 1; 2011:1.
24. Egol Kenneth A, Koval Kenneth J. Handbook of Fractures. 4th. Ed.
Zuckerman Joseph D. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2010.
119p.
25. Brunette D, Rockswold G. Neurologic Recovery Following Rapid Spinal
Realignment for Complete Cervical Spinal Cord Injury. J Trauma
1987;27:445-447.
26. Fenstermaker RA. Acute Neurologic Management of the Patient with
Spinal Cord Injury. Urologic Clinic of North America 1993;20:413-421.

61

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


27. Podolsky S.et al. Neurologic Complication Following Immobilization of
Cervical Spine Fracture in a Patient with Ankylosing Spondilytis. Ann
Emerg Med 1983;12:578-580.
28. Khurana B, Sheehan SE, Sodickson A. Traumatic Thoracolumbar Spine
Injuries: What the Spine Surgeon Wants to Know. RSNA. 2013 Nov
1;33(7):2034.
29. Fraktur Vertebra.2009. accessed on 2019 Mar 26, available from:
http://bedahumum-fkunram.blogspot.com/2009/02/fraktur-
vertebra.html
30. Pengukuran Kuantitas Nyeri. Universitas Hasanudin. Available from :
med.unhas.ac.id/fisioterapi/wp-content. Accessed October 12, 2017.
31. D’Souza AR, Mohapatra B, Bansal ML, Das K. Role of posterior
stabilization and transpedicular decompression in the treatment of thoracic
and thoracolumbar TB. Clin Spine Surg. 2017;00:000-000.
32. Wahyuddin. Adaptasi lintas budaya modifikasi kuesioner disabilitas untuk
nyeri punggung bawah (modified Oswestry low back pain disability
questionnaire/ODI) versi Indonesia. 2016. Available at
http://ejurnal.esaunggul.ac.id/index.php/Fisio/article/view/1708. Accessed
October 12, 2017.
33. Hao D, Wang, et all. Two tear up evaluation of surgical treatment
Thoracolumbar Fracture Dislocation, SPINE Volume 39 , Number 21 , pp
E1284 - E1290
34. Notoadmodjo S, Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta
2010.
35. Kimura T. Multidisciplinary Approach for Bone Metastasis: A Review.
Cancers 2018; 10(1): 1-10.
36. Rose PS, Buchowski JM. Metastatic Disease in the Thoracic and Lumbar
Spine: Evaluation and Management. J Am Acad Orthop Surg. 2011; 19(1):
37-48
37. Salim S, Yamin M, Alwi I, Setiati S. Validity and reliability of the
Indonesian version of SF-36 quality of life questionnaire on patients with
permanent pacemakers. Acta Medica Indonesia. Indonesia Journal
International Medicine. 2017 : 49 : 1.

62

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


38. Wahyuddin. Adaptasi lintas budaya modifikasi kuesioner disabilitas untuk
nyeri punggung bawah (modified Oswestry low back pain disability
questionnaire/ODI) versi Indonesia. 2016. Available at
http://ejurnal.esaunggul.ac.id/index.php/Fisio/article/view/1708. Accessed
October 12, 2017.
39. Pengukuran Kuantitas Nyeri. Universitas Hasanudin. Available from :
med.unhas.ac.id/fisioterapi/wp-content. Accessed October 12, 2017.

63

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Anda mungkin juga menyukai