Anda di halaman 1dari 17

PERJANJIAN BAKU ERA SERBA DIGITAL

DOSEN PEMBIMBING
Dr. Raffles, S.H., M.H

DISUSUN OLEH

Zevia gustira

NIM: P2B221013

UNIVERSITAS JAMBI

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN

2021
BAB I
PENDAHULUAN
1) Latar belakang masalah
Keterbatasan bergerak dan interaksi pada era pandemic yang melanda dunia
saat ini, setidaknya telah berlangsung 2 tahun lebih bencana yang tak terduga ini
menggukung kebebasan masyarakat dunia. Tetapi ini tidak menghalangi interaksi
antar ruang maya, yang berkembang pesat sebelum bencana ini mewabah.
Kemajuan teknologi saat ini justru menolong sebagian bahkan semua masyarakat
dunia yang berdampak akibat bencana ini.
Kemajuan teknologi ini menolong banyak orang yang dimasa-masa ini
dibatasi geraknya akibat, lockdown yang menjadi keputusan bagi setidaknya
semua pemerintah dunia untuk menguranggi penyebaran wabah ini. Maka
internetlah menjadi penolong, banyaknya kegiatan online yang beragam, bisa
merupakan transaksi, bahkan segala sektor. Indonesia sebagai Negara ke-3
terbanyak menggunakan internet setidaknya 202 juta pengguna internet yang
berasal dari Indonesia.
Serba digital inilah yang mewabah saat ini, bahkan suatu hal yang dianggap
tabuh atau nyeleneh sebelum era pandemic ini mewabah menjadi hal yang umum.
banyak hal yang harus dibuat secara langsung seperti pembuatan akta notaris,
sebagaimana kita ketahui akta notaris dibuat secara langsung dihadapan seorang
notaris, nyatanya beberapa notaris justru mau tidak mau melakukan penghadapan
dengan kliennya secara zoom. Aneh pada saat pandemic belum menyebar, tapi tak
asing pada era ini.
Kegiatan jual beli secara online dapat terlihat dengan banyaknya e-commerce
yang dapat diakses oleh penduduk Indonesia. Masyarakat Indonesia sepertinya
sangat aneh jika tidak tahu Tokopedia, shopee, lazada, DLL yang mana
keberadaannya selalu membantu dengan banyak penawaran untuk mengaet
pembeli untuk menggunakan app’s mereka. Penawaran seperti Shopee Paylater,
dimana proses penalangan biaya untuk sementara akan dikembalikan bulan depan
dengan waktu tempo yang telah ditentukan oleh pihak shopee, yang tanpa disadari
oleh pengguna mereka telah menjalankan suatu tindakan hukum berupa
pembuatan perjanjian.
Perjanjian pada umumnya menjujung tinggi asas konsensualisme suatu
keabsahan perjanjian, harus dilihat dari asas ini. Setidaknya menurut asas ini
terdapat 4 poin penting suatu perjanjian dianggap sah;
1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya,
2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian,
3) Suatu hal tertentu,
4) Suatu sebab yang halal. 1
Sebagaimana menurut asas ini, suatu perjanjian dinyatakan mengikat para
pihaknya apa bila consensus tercapai mengenai esensialia dalam perjanjian
tersebut. Akibat hukum dari pembuatan perjanjian tersebut lahirlah hak dan
kewajiban para pihak
Sebagaimana asas konsensualisme, perjanjian juga menggunakan asas
kebebasan berkontrak dimana para pihak bebas mengikatkan dirinya pada suatu
perjanjian. Di Indonesia, sebagaimana kita ketahui sebagai Negara dengan sistem
hukum civil law, sistem ini memberikan pengelompokan atas asas kebebasan
berkontrak;
 Kebebasan untuk membuat perjanjian atau tidak membuat perjanjian,
 Kebebasan untuk memilih dengan pihak mana akan membuat perjanjian,
 Kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian,
 Kebebasan untuk menentukan bentuk perjanjian,
 Kebebasan untuk menentukan cara pembuatan perjanjian.
Terlepas masih banyak asas yang menjadi pondasi dalam pembutan suatu
perjanjian, namun jika membicarakan perjanjian jual beli asas ini akan selalu
diperhatikan dan menjadi syarat subjektif dalam pembuatan perjanjian, tetapi akan
beda halnya jika membicarakan perjanjian baku.
1
Perjanjian baku, hidup berdampingan dengan masyarakat luas, kedua asas
yang dijelaskan pada awal latar belakang ini menjadi poin penting, yang kerap di
sepelehkan dalam pembuatan perjanjian ini. Seperti asas kebebasan berkontrak,
dimana para pihak secara bersama berlandaskan kesepakatan bersama dalam
menentukan isi perjanjian. Nyatanya ini tidak akan berlaku didalam perjanjian
baku. Dimana pihak yang memiliki kedudukan yang lebih tinggilah yang
menentukan isi, bentuk dan cara pembuatan perjanjian. Pihak yang lainnya hanya
menyetujui perjanjian tersebut namun tidak ada paksaan terhadap pihak lainnya
untuk menerima perjanjian itu atau tidak sebagaimana kita ketahui sifat dari
perjanjian ini take it or leave it.
Pelaku usaha yang menggunakan perjanjian baku tak memaksa pihak lain
untuk mengikatkan diri atas perjanjian tersebut. Sayangnya pelanggaran masih
kerap terjadi asas kebebasan dalam pembuatan perjanjian justru membuat pelaku
usaha seenaknya dalam menentukan isi yang diperjanjiakan. Maka didalam KHU
Perdata lebith tegasnya ada pembatasan terhadapat asas kebebasan dalam
membuat perjanjian.
Dengan latar belakang tersebut penulis menyusun rumusan permasalahan
dalam makalah ini apakah adanya pembedaan didalam ketentuan perjanjian
baku di era digital saat ini?
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian perjanjian baku


Perjanjian pada umumnya ditentukan oleh para pihak dalam bentuk serta isi,
ada mufakat dan kebulatan keputusan. Namun akan berbeda jika membicarakan
perjanjian baku, dimana perjanjian tersebut merupakan sebuah dokumomen yang
isi, bentuk serta cara penutupannya telah dibakukan secara sepihak oleh salah satu
pihak, kemudian perjanjian tersebut digandakan secara massal tanpa membedakan
kondisi yang dimiliki para pihak.
Dangan begitu Nampak dengan jelas pihak yang membuat perjanjian tersebut
merupakan orang yang memiliki kedudukan yang lebih dominan serta dapat
dipastikan memperoleh keuntungan yang lebih banyak dibandingkan dengan
pihak yang lainnya. kalau begitu dapat dipastikan perjanjian ini telah berjalan
berbeda dengan asas kesepakatan bersama yang pada awal makalah ini sudah
dijelaskan, bahwa asas ini merupakan pilar dari keadilan dalam perjanjian bagi
para pihak.
Keadilan dalam pembuatan perjanjian sebagaimana telah dijelaskan oleh
filosof yang bernama Reinhold Zippelius; “jika ada orang yang memecahkan
jambang bunga di toko, dia harus mengganti harganya, tidak peduli apakah
hartwan atau orang miskin”. Maka itulah yang oleh Reinhold sebagai gambaran
dari keadilan. Keadilan menjadi masalah pokok didalam pembuatan perjanjian
baku.
Perjanjian yang adil menepatkan para pihak dalam pembuatan perjanjian
tersebut, dimana para pihak tersebutlah merumuskan hak dan kewajiban yang
timbal balik diantara mereka. Menjalankan perjanjian berdasarkan kesepakatan,
namun ada kalanya perjanjian tersebut salah satu pihak melakukan wan prestasi
yang merugikan, maka didalam perjanjian tersebutlah mereka telah berkesepakat
bersama dalam membuat perjanjian. Dengan bergitu maka jelas bahwa perjanjian
dilakukan dengan unsur keadilan. Berbeda halnya jika kita membicarakan
perjanjian baku.
2. keabsahan dalam perjanjian umum dan perjanjian baku.
Keabsahan suatu perjanjian dpat dilihat didalm pasal 1320 KHU Perdata,
dimana didalamnya terdapat 4 syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh setiap
pihak untuk membuat suatu perjanjian, agar perjanjian tersebut dinyatakan sah ;
a) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya,
b) kecakapan untuk membuat suatu perjanjian,
c) suatu hal tertentu,
d) suatu sebab yang halal.
Dari ke-empat asas ini lah kita pasti telah mengenal syarat subjektif dan syarat
objektif. Tanpa adanya kedua syarat tersebut maka perjanjian tersebut batal demi
hukum atau dianggap tidak pernah ada. Ketika para pihak telah memenuhi syarat
tersebut maka perjanjian yang mereka buat telah menjadi undang-undang bagi
para pihak.

 perjanjian baku (standard agreement) sebagai suatu perjanjian yang berbagai


ketentuannya dibuat secara sepihak oleh suatu pihak tertentu, yang akan dia
gunakan untuk bertransaksi dengan banyak pihak lain yang berkepentingan dengan
pokok yang sama dari perjanjian yang pihak tertentu itu menawarkannya, selagi
“the other party has little or no ability to negotiate more favorable terms and is
thus placed in a “take it or leave it” position.” Sulit disangkal, bahwa pembuat
perjanjian baku adalah pihak yang daya-tawarnya lebih kuat atau jauh lebih
kuat daripada pihak (atau para pihak) yang dia tawari perjanjian baku itu. Para
pihak yang potensial ditawari perjanjian baku itu umumnya disebut “konsumen”,
yang biasanya memang merupakan anggota masyarakat biasa yang berurusan
misalnya dengan bank atau asuransi, tetapi bisa juga merupakan para pemasok di
kalangan industri atau para petani dan peternak yang memasok produknya
kepada pabrik pengolahan.

Perjanjian baku pada umumnya memuat klausula baku, untuk mana


Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen (UUPK) menetapkan rumusannya sebagai
berikut: “Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan
syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu
secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu
dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi
oleh konsumen.” Artinya, UUPK mengisyaratkan bahwa perjanjian
baku memang merupakan tawaran yang bersifat “take it or leave
it” dari pelaku usaha kepada para calon konsumen.

Pelaku usaha sebagai pembuat perjanjian baku sudah tahu betul apa
yang hendak dia tawarkan, maupun apa yang hendak dia dapatkan
sebagai kontra-prestasi dari konsumen. Dan biasanya tidak
demikianlah halnya dengan konsumen. Konsumen akan memerlukan
usaha ganda untuk memahami rumusan dari ketentuan mengenai hak
dan kewajiban timbal- balik dalam perjanjian baku.

 Keadilan merupakan masalah potensial yang besar dalam perjanjian baku,


terutama karena faktor konstitutif utama dalam setiap perjanjian adalah
persetujuan para pihak untuk menerima ketentuan yang merumuskan
perangkat hak dan kewajiban timbal-balik di antara mereka, dan
kesepakatan bersama untuk melaksanakannya. Setiap orang membuat
perjanjian dengan satu motivasi dasar yang sama, yaitu melalui perjanjian
dengan pihak lain, dia akan mendapatkan apa yang dia perlukan atau
dapat mencapai tujuannya dengan lebih mudah, atau lebih efisien, atau
lebih baik, pokoknya secara lebih menguntungkan, ketimbang jika dia
harus mengusahakannya sendiri.
Dalam perjanjian yang didasarkan pada asas kebebasan berkontrak, para
pihak akan merumuskan perangkat ketentuanmengenai hak dan kewajiban
mereka secara timbal-balik. Selama masing-masing pihak menjalankan
hak dan kewajiban masing-masing sesuai dengan perjanjian, tidak ada
masalah. Masalah akan timbul, jika salah satu pihak gagal menjalankan
salah satu atau salah banyak kewajibannya, dan pihak lainnya merasa
dirugikan. Jika pihak yang dirugikan mengajukan gugatan ke pengadilan
atau arbitrase, dia akan menuntut untuk mendapatkan ganti-rug

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang dan permasalahan

Perubahan terbesar masyarakat Dunia, yang hidup ditengah pandemic yang


mewabah seluruh pelosok dunia. Membuat banyaknya urusan sehari-hari yang
biasa dilakukan di dengan bebas di luar menjadi terbatas. Tak terhitung berapa
kali pemerintah Indonesia sendiri melakukan lock down untuk beberapa wilayah
yang terjangkit virus corona, yang menurut pemerintah lock down dilakukan
untuk merendam penyebaran virus tersebut.
Berjalan 2 tahun sejak pandemic mewabah, masyarakat mulai melakukan
segalanya dirumah dari bersekolah, berkerja serta belanja. Ini pun juga tak
menjadi halangan untuk masyarakat saat ini dimana kemajuan teknologi ditambah
keadaan pandemic saat ini membuat E-commerce yang ada menjadi salah satu
tempat untuk membantu masyarakat saat ini yang sangat kesulitan untuk
memperoleh kebutuhan primer dan sekunder dikarenakan lockdown yang
diberlakukan oleh pemerintah.

Indonesia dengan jumlah penduduk terbanyak ke 4 setelah Amerika serikat ini


menepatkan Indonesia menjadi peringkat 1 sebagai Negara dengan pengguna
internet yang memakai e-commerce sebagai tempat untuk membeli produk, yang
mana peringkat 2 dan 3 di duduki Inggris dan Filipina, dimana survei ini
dilakukan oleh WE ARE SOCIAL pada april 2021.

Kemudahan dan diskon pada tanggal tertentu yang ditawarkan oleh e-


commerce inilah yang menjadikan beberapa nama besar seperti Tokopedia,
Shopee, Bukalapak DLL. Menjadi tempat pilihan sebagian besar penduduk
Indonesia berbelanja ditengah pandemic yang mewabah saat ini. Tak hanya
menjadi tempat membeli, tetapi juga menjadi tempat banyak UKM-UKM yang
memiliki keterbatasan dalam menyebarluaskan jualannya, maka e-commerce ini
lah menjadi tempat yang bagus untuk memajukan usaha mereka.

Berbeda dengan pembayaran yang digunakan didalam transaksi pada


umumnya dimana para pembeli dan penjual secara langsung melakukan
pembayaran, pada tahapan ini pembeli dapat memastikan produk yang dibelinya
memiliki cacat tersembunyi yang dengan sengaja atau tanpa sepengetahuan
penjual. Ada banyak pilihan pembayaran disetiap e-commerc, tetapi pembayaran
elektronik menjadi salah satu pilihan terbanyak yang dilakukan oleh pembeli.
transaksi e-commerce ini dilakukan berdasarkan asas kebebasan berkontrak yang
terdapat dalam pasal 1338 KUHPerdata. Selain dalam KUHPerdata, perangkat
hukum yang dapat digunakan dalam aktivitas e-commerce adalah Undang-Undang
Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) yang
mulai berlaku atau disahkan oleh DPR, pada hari Selasa tanggal 25 Maret 2008
lalu.

Mengingat bahwa perjanjian yang dibuat melalui media internet adalah


perjanjian standar atau perjanjian baku, maka adanya juga harus memenuhi
persyaratan yang telah ditentukan dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu terkait dengan ketentuan
pencantuman klausula baku dalam suatu perjanjian standar. Perjanjian baku selalu
dipersiapkan oleh pihak kreditur secara sepihak, yang di dalamnya biasanya
memuat syarat-syarat yang membatasi kewajiban kreditur. Syarat- syarat tersebut
dikenal dengan klausula eksenorasi, yang memiliki konsekuensi yuridis bahwa
pihak debitur hanya memiliki dua alternatif, yaitu menerimanya atau menolaknya

B. Rumusan masalah
a) Apa yang menjadikan tolak ukur keabsahan perjanjian baku dalam jual
beli melalui e-commerce?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian perjanjian e-commerce


perjanjian jual beli online (E- commerce) adalah suatu transaksi komersial
yang dilakukan antara penjual dan pembeli atau dengan pihak lain dalam suatu
hubungan perjanjian yang sama untuk mengirimkan sejumlah barang, jasa, dan
peralihan hak6. Pada transaksi jual beli melalui internet, para pihak yang terkait di
dalamnya melakukan hubungan hukum yang diruangkan melalui suatu bentuk
perjanjian atau kontrak yang dilakukan secara elektronik.
Pengertian kontrak elektronik dijelaskan dalam Pasal 1 angka 17 UU ITE
yang berbunyi sebagai berikut: “Kontrak elektronik adalah perjanjian para pihak
yang dibuat melalui sistem elektronik.” Sedangkan pengertian dari sistem
elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi
mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan,
menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan atau menyebarkan Informasi
Elektronik.
Berdasarkan pengertian diatas, dapat ditarik beberapa unsur dari E- commerce,
yaitu:
a. Ada kontrak dagang
b. Kontrak itu dilaksanakan dengan media elektronik
c. Kehadiran fisik dari pihak tidak diperlukan
d. Kontrak itu terjadi dalam jaringan public
e. Sistemnya terbuka, yaitu dengan internet atau WWW
f. Kontrak itu terlepas dari batas yuridiksi nasiona

Transaksi online melibatkan beberapa pihak, baik yang terlibat secara

langsung maupun tidak langsung, tergantung kompleksitas transaksi yang

dilakukan. Artinya apakah semua proses transaksi dilakukan secara online atau

hanya beberapa tahap saja yang dilakukan secara online.

Pihak-pihak yang terlibat dalam jual beli online terdiri dari:

a. Penjual (merchant), yaitu perusahaan/produsen yang menawarkan

produknya melalui internet. Untuk menjadi merchant, maka

seseorang harus mendaftarkan diri sebagai merchant account pada

sebuah bank, tentunya ini dimaksudkan agar merchant dapat

menerima bayaran dari customer dalam bentuk credit card.

b. Konsumen/card holder, yaitu orang-orang yang ingin memperoleh

produk (barang/jasa) melalui pembelian secara online. Konsumen


yang akan berbelanja di internet dapat berstatus perorangan atau

perusahaan. Apabila konsumen merupakan perorangan, maka yang

perlu diperhatikan dalam transaksi online adalah bagaimana sistem

pembayaran yang digunakan, apakah pembayaran dilakukan dengan

mempergunakan credit card (kartu kredit) atau dimungkinkan

pembayaran dilakukan secara manual/cash.

c. Acquirer, yaitu pihak perantara penagihan (antara penjual dan

penerbit) dan perantara pembayaran (antara pemegang dan penerbit).

Perantara penagihan adalah pihak yang meneruskan penagihan

kepada

Pada dasarnya syarat sahnya perjanjian jual beli yakni sudah tertuang di
dalam Pasal 1320 KUH Perdata, hal ini juga dapat menjadi acuan syarat sahnya
suatu perjanjian jual beli melalui E-commerce/online. Oleh karenaE-commerce
juga merupakan kegiatan jual beli yang perbedaannya dilakukan melalui media
online. Hanya saja dalam jual beli memalui ecommerce dilakukan melalui media
internet yang bisa mempercepat, mempermudah dan transaksi jual beli tersebut.27
Dalam UU ITE juga menambahkan beberapa persyaratan lain, misalnya:
a) Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik
dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum,
manfaat,kehatihatian, itikad baik, dan kebebasan memilih teknologi
atau netral teknologi.
b) Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik
harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan
dengan syarat kontrak/perjanjian, produsen, dan produk yang
ditawarkan.
c) Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik sebagaimana
dimaksud yaitu wajib beritikad baik dalam melakukan interaksi dan
atau pertukaran Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik
selama transaksi berlangsung. Ketentuan mengenai waktu pengiriman
dan penerimaan informasi dan atau transaksi elektronik.
a. Menggunakan sistem elektronik yang handal dan aman serta
bertanggung jawab.
b. Kecuali ditentukan lain oleh para pihak, Transaksi Elektronik
terjadi pada transaksi yang dikirim pengirim telah diterima dan
disetujui penerima.
c. Persetujuan atas penawaran Transaksi Elektronik sebagaimana
dimaksud harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan
secara elektronik.

B. KEABSAHAN PERJANJIAN BAKU


Keabsahan suatu perjanjian baku dapat diliaht didalam;
1) Persyaratan materiil sahnya perjanjian baku
Dalam hal perjanjian baku yang dibuat terdapat klausula yang tidak wajar dan
tidak seimbang dapat merugikan satu pihak dalam perjanjian baku, maka pasal
1337 dan pasal 1339 KHU Perdata dapat menjadi rujukan. Kedua pasal tersebut
terdapat asas-asas hukum yang menentuksan sahnya suatu perjanjian baku.
Ketentuan limitative yang terkadung didalam pasal 1337 KHU Perdata melarang
terjadinya klausula yang dilarang oleh undang-undang, sebagaimana berkaitan
dengan bertentangan dengan ketertiban umum dan atau kesusilaan.
Sementara didalam pasal 1339 KHU Perdata, perjanjian baku tidak hanya
mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga
untuk segala sesuatu yang menurut sifat dan kontrak itu diharuskan oleh
kepatutan, kebiasan atau undang-undang. Maka dapat ditafsirkan bahwa apa yang
disebutkan kepatutan, kebiasaan atau undang-undang adalah syarat materil yang
harus dipenuhi didalam pembuatan perjanjian.
Dalam pembuatan perjanjian baku tidak dapat memasukkan syarat-syarat dan
ketentutan-ketentuan yang bertentangan dengan hukum ke dalam suatu perjanjian.
Dimana ketentuan-ketentuan hukum merupakan bagian yang integral dari seriap
perjanjian.
Persyaratan materil untuk dijadikan penilaian sahnya suatu perjanjian baku
adalah kepatutan. Sebagaimana yang di jelaskan Sutan Remy sjahdeini, kepatutan
itu mempunyai isi yang luas dari ketertiban umum dan kesusilaan. Dalam pasal
1337 dan pasal 1339 KHU Perdata, menyebutkan ketertiban umum dan kesusilaan
selain kepatutan, maka kepatutan harus diartikan secara sempit, yaitu tidak
termasuk ketertiban umum dan kesusilaan. Selain dari ketertiban umum dan
kesusialaan, adalah keadilan yang dapat dimasukkan dalam kepatutan. Jadi,
sesuatu yang tidak adil berati tidak patut. Maka substansi atau isi klausula-
klausula suatu perjanjian tidak boleh tidak adil, termasuk tidak boleh
memberatkan pihak lain karena bertentangan dengan keadilan.
Kebiasaan dapat juga digunakan sebagai persyaratan materi untuk menilai
sahnya suatu perjanjian baku. Kebiasaan mengarahkan suatu perjanjian tidak
dapat hanya mengikat untuk hal-hal yang diatur secara tegas dalam undang-
undang, yurisprudensi dan sebagainya, tetapi juga hal-hal yang menjadi kebiasaan
yang diikuti masyarakat umum.

2) Persyaratan formal sahnya kontrak baku


Keabsahan perjanjian baku sebagaimana dijelaskan oleh Sutan Remy
sjahdeini, bahwa keabsahan berlakunya perjanjian baku tidak perlu lagi
dipersoalkan, karena eksitensinya sudah merupakan kenyataan yang meluas dalam
dunia bisnis, dan lahir dari kebutuhan masyarakat sendiri. Terdapat 3 masalah
hukum, yang dapat melemahkan keabsahaan perjanjian baku;
a) Perjanjian baku yang sudah dicetak oleh satu piha, sedangakan pihak
lain, tidak mempunyai kesempatan untuk bernegoisasi terhadap
klausula-klausulanya
b) Perjanjian menjadi samar artinya satu pihak atau kedua belah piihak
tidak benar-benar menyadari bahwa mereka sebenarnya telah masuk
dan menyetujui perjanjian, yang isinya sering kali tidak dibaca
c) Perjanjian berat sebelah, dimana sangat menguntungkan pihak
pengelola tempat, karena banyak berisikan klausula-klausula eksemi,
yakni klausula yang membebaskan tanggung jawab pihak pengelola
tempat tersebut.
Sebagaimana kita ketahui untuk mengakhiri suatu pembuatan perjanjian dan
menyatakan perjanjian tersebut telah memenuhi kesepakatan oleh kedua belah
pihak, penandatangan suatu perjanjian merupakan tahapan terakhir tersebut.
Untuk berada pada tahapan tersebut maka para pihak perlu membaca isi dari
klausula perjanjian baku tersebut, yang mana merupakan asas kewajiban
membaca perjanjian. Didalam praktiknya para pihak akan tetap terikat dalam
suatu perjanjian baku, walaupun pihak tersebut tidak membaca klausula pada
perjanjian tersebut. Bahkan dalam hal tersebut, tidak dapat dijadikan alasan untuk
mengajukan pemohonan pembatalan perjanjian, kecuali dinyatakan bahwa terjadi
penipuan dan kekhilafan, sehingga pihak lain mendapat pemahaman yang salah
dan keliru tentang perjanjian tersebut.
Perjanjian baku yang samar artinya perjanjian tersebut tidak jelas kelihatan
dan tidak disadari sepenuhnya oleh satu di antara dua pihak bahwa sebenarnya ia
telah membuat perjanjian.
Jika perjanjian baku hanya ditandatangani oleh satu pihak saja atau bahkan
tanpa tandatangan sama sekali, bahkan pernyataan tersebut tidak ada aturan
didalam hukum positif, yang dapat menentukan sahnya perjanjian baku sah jika
ditandatangani oleh kedua belah pihak. Namun secara yuridis perjanjian baku
yang ditandatangani oleh satu pihak saja atau tanpa tandatangan sama sekali dapat
dibenarkan .
Secara prinsip ada 4 metode agar pihak-pihak terikat dalam perjanjian baku;
1) Dengan menandatangani perjanjian
2) Dengan pemberitahuan melalui dokumen/brosur/surat-surat
3) Dengan menunjuk kepada syarat-syarat umum dalam dokumen tertentu.
4) Pemberitahuan/ pengumuman pada papan pengumuman.

Mesekipun pada prisipnya perjanjian baku yang tidak ditandatangainii oleh


kedua belah pihak dianggap sah, banyak hal dan fakta yang dapat menyebabkan
perjanjian baku yang ditangani satu pihak saja atau keduanya dapat dinyatakan
tidak atau diragukan. Ada beberapa cara dapat mengikat para pihak;
a) Perumusan dan kata-kata dalam dokumen harus jelas
b) Dokumen harus dapat dibaca
c) Dokumen harus cukup menarik perhatian pihak tersebut
d) Isi dokumen tidak boleh berat sebelah

BAB III

Kesimpulan

Asas kebebasan membuat perjanjian menjadi dasar dalam membuat


perjanjian, Negara menjamin kebebasan tersebut. Namun pada prakteknya asas
kebebasan dalam membuat perjanjian justru kerap kali digunakan para pihak
untuk menyalahgunakan kedudukannya. Ini pun dapat di lihat dalam perjanjian
baku. Dimana kedudukan pihak yang berkuasa yang menentukan klausula dalam
perjanjian yang dibuat, bahkan tak jarang pihak yang lemah tidak dapat
membaca terlebih dahulu perjanjian tersebut.
Keabsahan suatu perjanjian baku dapat dilihat dalam persyaratan materil dan
formil. Didalam persyaratan materiil perjanjian baku tak hanya mengikat hal-hal
dengan tegas dinyatakan didalamnya. Tetapi juga untuk segala sesuatu yang
menurut sifat dari kontrak itu diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau
undnag-undang. Sementara syarat formill keabsahan perjanjian baku, bahwa
keabsahan berlakunya perjanjian baku tidak perlu lagi mempersoalkan esistensi
sudah merupakan kenyataan yang meluas dalam dunia bisnis dan lahir dalam
kebutuhan masyarakat sendiri.

Anda mungkin juga menyukai