Anda di halaman 1dari 7

AKU MENGETAHUINYA

Dengan lisan yang masih bergerak mengaminkan doa Ibu Nyai,


hatiku berharap, semoga Allah mengabulkannya. Saat ini, ada
banyak hal yang Aku inginkan. Apalagi, di bulan suci ramadan
yang penuh keberkahan ini. Dimana, Allah mengabulkan doa
hamba-Nya yang mau mengangkat kedua tangan ke atas dan
berharap kepada-Nya.

Ada sedikit rasa bangga yang menyelinap di hati. Aku bisa


mengikuti salat sunah tarawih dan witir pertama malam ini
dengan khusyuk, tidak bolong lagi. Bolehkan aku bangga?
Mengingat, beberapa tahun yang lalu, Aku masih menganggap
sepele ibadah sunah ini. Salat di saf belakang, tiduran, kadang
bermain dengan teman-teman yang membuat suasana mushola
menjadi gaduh. Tapi, itu hanya kenangan yang tidak pernah
terulang lagi. Karena, Lail sudah berbeda. Lail sekarang sudah
menjadi santri di salah satu pesantren di Jawa Tengah.

***

Memasuki bulan puasa, ada banyak kegiatan di pesantren. Kami


biasanya mengkhatamkan beberapa kitab dalam waktu 15 hari
atau satu bulan. Waktu mengaji kami dilaksanakan setelah
selesai salat lima waktu, kecuali waktu maghrib. Karena
waktunya yang sangat minim. Selain itu, bagi santri yang masih
duduk di bangku Pendidikan, juga diwajibkan sekolah. Kadang
Aku berfikir, dengan kegiatan sebanyak itu apakah Aku bisa
melakukannya? Karena saat di rumah, Aku lebih
memperbanyak waktu tidur. Bukankah tidurnya orang puasa
dihitung ibadah? Tapi kekhawatiranku salah, karena dilakukan
bersama-sama semuanya terasa lebih mudah. Seperti sekarang
ini, setelah selesai mengkaji kitab tafsirul jalalain Aku berburu
makanan bersama dua temanku.

“Lail, kamu mau beli apa?” tanya Saudah, temanku. Aku


melihat di sekitar, banyak pedagang yang menjual menu untuk
berbuka puasa. Beberapa wanita berjilbab yang tak lain teman-
temanku, juga sudah memenuhi lapak-lapak pedagang. “Aku
manut sampean lah, Dah.” Aku menyengir mendengar Saudah
hanya bergumam menjawabku. Kemudian mereka berdua,
Saudah dan Nia sibuk memilih beberapa makanan, sedangkan
Aku membawa kitab mereka. Inilah hal yang Aku suka saat di
pesantren. Walaupun tidak berbuka dengan masakan Ibu, kami
disini bisa memilih ingin berbuka dengan rasa masakan yang
enak. Yah, meskipun hanya saat kantong penuh. Hehe. Selain
itu, jika orang-orang di luar sana merencanakan untuk buka
bersama. Kami para santri sudah setiap hari melakukannya
bahkan saat sahur juga.

“Eh, biasanya jadwal pulang tanggal 15 ramadhan, kan?” tanya


Nia, sembari duduk di depanku membantu menyiapkan tempat
berbuka. “Iya Ni. Katanya kamu mau lebaran disini?” jawabku
dengan menatap wajahnya yang menurutku seperti bakpau.

“Nggak deh, kamu aja Lail yang nggak pulang. Aku mau
bantuin mamak di rumah.” Ah, pertama kali lebaran nggak
bareng keluarga. Memikirkannya saja sedih. Bisa nggak ya?

“Tenang aja Lail,” Saudah menghampiriku, tangan kecilnya


mengusap-usap kedua pundakku. “Aku mau pulang juga
maksudnya.” Mereka berdua tertawa. Aku memajukan bibirku
memasang wajah sebal kepada mereka. Terutama ke Saudah,
karena sudah membuatku berharap. Memang benar, kita hanya
boleh berharap kepada-Nya
***

Aku berlari menuju aula dengan membawa kitab Arba’in


Nawawi. Sembari melirik jam yang ada di pergelangan
tanganku.

“Mbak ngajinya sudah mulai, ya?” tanyaku kepada Mbak Nana,


yang sedang menjaga toko kitab milik abah.

“Wes ket mau Lail, habis tidur kamu ya?” Aku nyengir
membalas Mbak Nana. Karena tidur terlalu malam dan
mengerjakan tugas sekolah yang menumpuk, Aku tertidur
setelah jamaah salat dzhuhur. Heh, mereka meninggalkanku.
Padahal aku sudah berpesan untuk membangunkanku kalau
mereka mau berangkat mengaji. “Ya wes mbak. Aku mau ke
aula dulu,” pamitku kepada Mbak Nana, yang dibalas anggukan
olehnya.

Aula terlihat penuh, tapi masih bisa untuk satu dua orang.
Terdengar suara Bu Nyai yang sedang menerangkan isi kitab.
Aku melihat Saudah dan Nia sedang duduk di barisan depan
sembari diam memperhatikan penjelasan Ibu. Mengapa mereka
tidak membangunkanku? Kalau marah bilang dong, jangan
kayak gini. Kitabku kan jadi kosong. Ah.sudahlah. Aku
membuka kitab, siap mencatat penjelasan dari Ibu Nyai.
Namun,,,

“Waallaahu a’lam bisshowaab, wassalamu’alaikum


warahmatullahi wabarakatuh.” Ibu mengakhiri kajiannya.
Semua santri menjawab salam beliau. Kemudian dilanjutkan
membaca doa kaffaratul majlis. Setelah Bu Nyai masuk ke
ndalem. Aku langsung berjalan pulang ke kamar. Berada di
barisan belakang membuatku mudah untuk keluar dari aula.
Namun, alas kaki yang aku pakai sudah tidak ada di tempatnya.
Karena malas mencari dan masih banyak orang yang akan
keluar dari aula, Aku berjalan tanpa sandal.

“Padahal baru kemarin Aku membelinya. Hmm, kuatkan hati


hambamu ini Ya Allah.” Gumamku.

“Eh, sudah bangun Lail,” kata Saudah, yang sudah berjalan


disampingku. Dia tersenyum seperti meledekku.

“Kamu tadi dimana? Kok nggak kelihatan. Padahal aku sudah


menunggu sama Saudah,” sahut Nia sembari membenarkan
jilbabnya yang tertiup angin.

“Ada kok, Aku duluan ya. Mau telfon Bapak.” Aku berjalan
lebih cepat dari mereka. Aku harus menahannya

“Kenapa mereka tidak minta maaf kepadaku?” Tanyaku dalam


hati.

***

“Kamu beneran nggak mudik, Nduk?” tanya mamak kepadaku.


Ini sudah kesekian kalinya mamak bertanya tentang
kepulanganku. Padahal masih tanggal lima ramadhan.

“Nggih, Mak. Lail kemarin sudah pulang lama di rumah. Kalau


sekarang mau mudik, kayaknya juga sulit. Karena masih
pandemi. Lail disini juga mau fokus ke hafalan dulu Mak. Ada
target yang harus Lail selesaikan.” Terdengar suara mamak
menghembuskan nafas di telfon. Seperti menyerah untuk
membujukku pulang. Sebenarnya Aku ingin pulang, namun
membayangkan perjalanan yang tidak dekat antara Banyumas
dengan Palembang. Membuat hatiku mantap ingin lebaran di
pesantren. Selain itu, Aku ingin melakukan beberapa hal
sebelum menyesal di kemudian.

“Yo wes. Kamu hati-hati di sana. Jaga kesehatan, belajar yang


rajin, manut sama guru-guru kamu. Kalau uangnya habis bilang
ya? Nanti Bapak kirim. Mamakmu pengen ke kamar mandi, jadi
tadi di kasih ke Bapak HP nya. Sudah dulu ya, Nduk.?”

“Nggih, Pak. Assalamu’alaikum.” Bapak menjawab salam,


kemudian sambungan panggilan kami terputus.

Maafkan anakmu ini ya Pak, Mak. Masih belum bisa


membahagiakan kalian. Lail janji akan menjadi anak yang
sholehah.

***

Pukul 9 pagi semua santri sedang melaksanakan KBM di kelas


masing-masing. Sedangkan Aku tidur di kamar. Entah kenapa
Aku malas mengikuti jam pelajaran di sekolah. Padahal baru
kemarin Aku berjanji kepada Bapak dan Mamak, tapi sekarang
Aku malah mengingkarinya. Ada apa dengan diriku sekarang?
Dari tadi malam Aku hanya diam ketika Saudah dan Nia
mengajakku bicara. Melihatnya saja membuatku ingin marah,
apalagi berbicara dengannya. Tapi membaca surat yang di tulis
mereka, membuatku mengerti bahwa tidak seharusnya Aku
bersikap seperti itu. Disini Aku yang salah, tapi Aku malah
marah.

Suasana kamar sangat sepi, hanya Aku yang ada disini. Saat
Aku ingin bangun mengambil kasur di pojok kamar, Saudah
dan Nia masuk kamar kemudian menghampiriku. Mereka
duduk di depanku lalu memelukku sembari mengucap kata
maaf. Aku tidak bisa menahannya. Air mataku menetes
perlahan. Tanganku membalas pelukan mereka. Kata maaf juga
terucap dari bibirku. Benar kata Abah, ‘Puasa tidak hanya
menahan kita untuk tidak makan dan minum. Tapi juga
menahan kita dari segala hawa nafsu. Seperti marah,
berbohong, rasa malas dan lain-lain.’ Aku jadi teringat kisah
seorang wanita yang sedang marah saat puasa, lalu Rasulullah
menyuruh wanita tersebut untuk makan. Lalu bagaimana
dengan diriku saat ini? Apakah Aku benar-benar berpuasa?
Ada hikmah di balik semuanya. Aku jadi mengetahui makna
puasa yang sesungguhnya.

“Walaupun sampean nangis, Lail. Aku akan tetap pulang. Jadi,


kamu lebarannya tetap sendiri ya. Hahaha.” Ledek Saudah.

Aku ikut tertawa mendengar perkataan wanita mungil yang ada


di hadapanku. Terima kasih untuk kalian yang selalu
mengajakku dalam kebaikan. Aku yakin ada tawa setelah air
mata.

END
Profil Penulis

Ida Lailatin adalah salah satu siswi kelas XII MA


Takhossus Miftahul Huda Pesawahan, Rawalo,
Banyumas. Dia lahir di Oku Timur, Sumatra
selatan. Setelah selesai menempuh pendidikan di
bangku SD, Ida memutuskan untuk belajar ilmu
agama di Pondok Pesantren Miftahul Huda
Rawalo.

Santri yang hobi membaca ini ingin mengamalkan salah satu


kata mutiara ‘Ikatlah ilmu dengan menulis.’ Jika kalian ingin
memberikan kritik/saran atau berkenalan dengannya bisa di
akun IG @idaalmansyuri.

Anda mungkin juga menyukai