Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH PENGATURAN DAN PENGAWASAN BANK OLEH BANK

INDONESIA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Perbankan di Indonesia

Dosen Pengampu : Ika Atikah, S.H., M.H

Disusun Oleh:

Kelompok 11

Achmad Fachri Zidane (201130214)

Silvi Fitriani (191130224)

JURUSAN HUKUM EKONOMI ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN MAULANA HASANUDIN BANTEN

TAHUN AKADEMIK 2021/2022


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul “Pengaturan Dan Pengawasan Bank oleh Bank Indonesia” ini dengan tepat waktu.
Sholawat beriring salam selalu terlimpah curahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad
SAW sang suri tauladan bagi seluruh umat. Alhamdulillahirrobil’aalamiin makalah ini
dapat disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Hukum Perbankan Indonesia
pada program studi Hukum Ekonomi Syariah. Penyusun berharap makalah ini dapat
memberikan informasi serta manfaat yang berlimpah mengenai pengaturan dan
pengawasan bank oleh bank Indonesia Dalam penulisan makalah ini, penyusun
mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Ika Atikah, S.H., M.H Selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum perbankan
Indonesia

2. Teman-teman yang mengikuti mata perkuliahan Hukum perbankan Indonesia, dan

3. Semua rekan yang saling membantu dalam proses penulisan makalah ini.

Dalam penulisan makalah ini, penyusun menyadari bahwa makalah ini tidak sepenuhnya
sempurna baik dalam teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang
dimiliki penyusun masih terbatas. Tapi penyusun berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembacanya dan menjadi pengalaman yang berharga bagi penyusun
dalam pembuatan makalah ini. Oleh karea itu, baik kritik dan saran yang membangun
sangat penyusun harapkan.

Wassalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Serang, 1 Desember 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................II

DAFTAR ISI......................................................................................................................III

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1

A. Latar Belakang.........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................................1
C. Tujuan......................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengaturan dan pengawasan bank secara umum.....................................................2


B. Tugas pengaturan dan pengawasan bank menurut UU No. 23 tahun 1999 jo. UU No.
3 tahun 2004 tentang bank Indonesia serta UU No. 7 tahun 1992 jo. UU No. 10
tahun 1998...............................................................................................................
C. Prinsip kehati-hatian pada bank konvensional dan bank syariah............................
D. Perwujudan prinsip kehati-hatian pada kegiatan usaha perbankan.........................

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan..............................................................................................................
B. Saran........................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peranan perbankan dalam lalu lintas bisnis, dapatlah dianggap sebagai kebutuhan
yang mutlak diperlukan oleh hampir semua pelaku bisnis. Berdasarkan Pasal 1 angka 2
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan “Bank adalah badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”. Hal ini merupakan bukti bahwa lembaga
perbankan merupakan salah satu pilar utama bagi pembangunan ekonomi nasional yang
menggerakkan roda perekonomian negara.

Demi pencapaian sistem perbankan yang sehat dan stabil, bank dalam
melaksanakan tugasnya tidak luput dari pengawasan Bank Indonesia yang bertindak selaku
bank sentral. Kedudukan Bank Indonesia sebagai bank sentral, mempunyai tujuan untuk
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Demi mewujudkan tujuannya tersebut,
Bank Indonesia memiliki tugas sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 8 Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1999, yaitu sebagai berikut :

a. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter;

b. Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran;

c. Mengatur dan mengawasi bank.

Berdasarkan apa yang diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan Bank
Indonesia untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah tersebut harus ditopang
dengan pilar utama, yaitu kebijakan moneter dengan prinsip kehati-hatian, system
pembayaran yang cepat, tepat, dan andal, serta sistem perbankan dan keuangan yang sehat.
Namun, pada saat sekarang ini tugas pengaturan dan pengawasan perbankan tidak lagi
menjadi tugas Bank Indonesia, melainkan menjadi tugas sebuah lembaga pengawas sektor
jasa keuangan baru yang dinamakan dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan. OJK
tidak hanya mengatur dan mengawasi lembaga keuangan bank akan tetapi juga lembaga
keuangan non-bank. Terlihat jelas bahwa OJK memiliki kewenangan yang sangat luas.
Bukan hanya itu, OJK juga memiliki kewenangan untuk melakukan pungutan dari lembaga
keuangan yang diawasinya. Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011
Tentang OJK menyebutkan bahwa : “Anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa
keuangan.” Dimana anggaran OJK tersebut dipergunakan untuk membiayai kegiatan
operasional, administratif, pengadaan aset dan kegiatan pendukung lainnya.

B. Rumusan Masalah
1.

C. Tujuan

BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGATURAN DAN PENGAWASAN BANK SECARA UMUM

Secara umum, peranan bank sentral sangat penting dan strategis dalam upaya
menciptakan sistem perbankan yang sehat dan efesien. Perlu diwujudkannya sistem
perbankan yang sehat dan efesien itu, karena dunia perbankan adalah salah satu pilar
utama dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Adapun secara khusus, bank sentral
mempunyai peranan yang penting dalam mencegah timbulnya risiko kerugian yang
diderita oleh bank itu sendiri, masyarakat penyimpan dana, dan merugikan secara
membahayakan kehidupan perekonomian.1

Sebelum berdirinya otoritas jasa keuangan (OJK), tujuan pengawasan bank yang
dilakukan oleh bank indonesia yaitu untuk menciptakan perbankan yang sehat yang
dapat memenuhi tiga aspek, pertama memelihara kepentingan masyarakat, beroperasi
dengan sehat dan efisien dan mampu memenuhi kewajibannya terhadap masyarakat
penyimpan dana, kedua berkembang secara wajar dan mampu memberikan pelayanan
yang diperlukan masyarakat Indonesia dan ketiga bermanfaat bagi perkembangan
ekonomi Indonesia serta dapat menunjang pengendalian moneter dalam rangka
menunjang pembangunan enonomi dan tercapainya kestabilan moneter.2

Berkaitan dengan itu, bahwa dunia perbankan memiliki hubungan yang sangat erat
dengan maju mundurnya perekonomian suatu negara. Apabila sistem perbankan suatu
negara sehat, maka ia akan menunjang perkembangan ekonomi. Sebaliknya, jika sistem
perbankan suatu negara tidak sehat akan berdampak tidak baik bagi pembangunan
enonomi

Oleh karena itu, terwujudnya suatu sistem perbankan yang sehat perlu terus
dilakukan secara keseimbangan. Lembaga yang bertanggung jawab dalam mewujudkan
sistem perbankan yang sehat itu adalah bank sentral.

Kewenangan bank sentral dalam melakukan pengaturan dan pengawasan bank


adalah sebagai alat saran untuk mewujudkan sistem perbankan yang sehat, yang
menjamin dan memastikan dilaksanakannya segala peraturan perundang-undangan
yang terkait dalam penyelenggaraan usaha bank oleh bank yang bersangkutan.3

B. TUGAS PENGATURAN DAN PENGAWASAN BANK MENURUT UU NO.


23 TAHUN 1999 JO. UU NO. 3 TAHUN 2004 TENTANG BANK INDONESIA
SERTA UU NO. 7 TAHUN 1992 JO. UU NO. 10 TAHUN 1998

pokoknya, kedudukan dari Bank Indonesia sebagai lembaga pengawasan


perbankan dimana dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Bank
Indonesia dimana tugas dari Bank Indonesia yaitu menetapkan dan melaksanakan
1
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta Kencana : 2005)
2
Maqdir Ismail, 2007, BANK INDONESIA Independensi, Akuntabilitas dan Transparansi, Fakultas Hukum
Universitas Al-Azhari Indonesia (UAI), helm.20
3
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia Edisi ketiga, (Jakarta Kencana : 2005), hlm 142
kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, mengatur
dan mengawasi bank. Dalam rangka tugas mengatur dan mengawasi perbankan, Bank
Indonesia memiliki kewenangan mengatur, memberikan dan mencabut izin atas bank,
dan menjatuhkan sanksi terhadap bank sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.4

Bahwa dalam rangka melaksanakan tugas mengatur dan mengawasi bank, menurut
ketentuan Pasal 24 UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, bahwa Bank
Indonesia menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan
kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan bank, dan mengenakan
sanksi terhadap bank sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Dalam hal ini,
tentu pengaturan dan pengawasan bank mengacu pada UU No. 7 Tahun 1992 tentang
perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No 10 Tahun 1998.

Pengawasan terhadap bank oleh bank Indonesia sebagai bank sentral dapat bersifat
pengawasan langsung atau pengawasan tidak langsung. Menurut penjelasan ketentuan
pasal 27 UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, bahwa yang dimaksud dengan
pengawasan langsung adalah dalam bentuk pemeriksaan yang disertai dengan tindakan-
tindakan perbaikan. Adapun yang dimaksud dengan pengawasan tidak langsung
terutama dalam bentuk pengawasan dini melalui penelitian, analisis, evaluasi laporan
bank.5

Pada dasarnya pembinaan dan pengawasan bank oleh bank Indonesia, dilaksanakan
oleh otoritas pengawasan melalui empat kewenangan, yaitu kewenangan memberikan
izin (power to license), kewenangan untuk mengatur (power to regulate), kewenangan
untuk mengendalikan (power to control) dan kewenangan untuk mengenakan sanksi
(power to impose sanction).6

Adapun keempat kewenangan yang diberikan kepada otoritas pengawasan bank


tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Kewenangan memberikan izin (power to license)


Melalui kewenangan ini memungkinkan ditetapkannya ketentuan dan persyaratan
pendirian sebuah bank oleh otoritas pengawas. Kewenangan pemberian izin ini
merupakan seleksi paling awal terhadap kehadiran sebuah bank dengan menetapkan
tata cara perizinan dan pendirian suatu bank. Pada umumnya, persyaratan pendirian
bank menyangkut tiga aspek, yaitu: (a) akhlak dan moral calon pemilik dan
pengurus bank; (b) kemampuan menyediakan dana dalam jumlah tertentu untuk
modal bank; dan (c) kesungguhan dan kemampuan dari para calon pemilik dan
pengurus bank dalam melakukan kegiatan usaha bank. Kewenangan dalam
pemberian izin tersebut juga memungkinkan otoritas pengawas Bank mencegah
4
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, op.cit, h.621
5
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia Edisi Kedua, (Jakarta Kencana:2005), hlm.175
6
Marulak Pardede, 2009, Aspek Hukum Pemisahan Pembinaan Dan Pengawasan Perbankan, Jakarta: Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum Dan HAM-RI, helm.17
terjadinya pendirian bank yang tidak didukung dengan modal yang cukup, yang
kurang dipersiapkan dengan baik atau yang dapat digunakan untuk kepentingan
pribadi pemilik atau pengurus tanpa mengindahkan kepentingan masyarakat.
2. Kewenangan untuk mengatur (power to regulate)
Kewenangan untuk mengatur ini memungkinkan otoritas pengawasan bank untuk
menetapkan ketentuan yang menyangkut aspek kegiatan usaha perbankan dalam
rangka menciptakan adanya perbankan yang usaha perbankan yang sehat dan
mampu memenuhi jasa perbankan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Ketentuan
yang dapat ditetapkan antara lain mencakup pengaturan likuiditas dan solvabilitas
bank, jenis usaha yang dapat dilakukan, dan risiko, atau exposure yang dapat
diambil oleh bank
3. Kewenangan untuk mengendalikan/mengawasi (power to control)
Kewenangan untuk mengendalikan atau mengawasi ini adalah kewenangan yang
paling mendasar yang diperlukan oleh otoritas pengawas Bank
Pengawas Bank dilaksanakan melalui pengawasan tidak langsung (off site
supervision), yaitu pengawasan yang dilakukan melalui alat pantau seperti laporan
berkala yang disampaikan bank, laporan hasil pemeriksaan, dan informasi lainnya.
Dengan data yang diperoleh melalui alat tersebut, 7otoritas pengawasan melalui
penilaian terhadap keadaan usaha dan kesehatan bank.
4. Kewenangan untuk mengenakan sanksi (power to impose sanction)
Kewenangan yang keempat ini merupakan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi
apabila sebuah bank kurang atau tidak memenuhi hal-hal yang diatur atau
dipersyaratkan dalam kewenang-wenangan tersebut diatas. Pengenaan sanksi ini
dimaksud agar bank melakukan perbaikan atas kelemahan dan penyimpangan yang
dilakukannya. Dengan perkataan lain, dalam pengenaan sanksi oleh otoritas
pengawas Bank tersebut mengandung unsur pembinaan agar suatu bank sungguh-
sungguh taat dalam menerapkan peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip
perbankanb yang sehat.

Berkaitan dengan tugas mengatur dan mengawasi bank, Bank indonesia sebagai
bank sentral berwenang:

1. Menetapkan peraturan perbankan termasuk ketentuan-ketentuan perbankan yang


memuat prinsip kehati-hatian.
2. Memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari
bank, termasuk memberikan dan mencabut izin usaha bank, memberikan izin
pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank, memberikan persetujuan atas
kepemilikan dan kepengurusan bank, memberikan izin kepada bank untuk
menjalankan kegiatan usaha tertentu8

7
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta Kencana:2005), hlm.143
8
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia Edisi Kedua, ( Jakarta Kencana: 2005), hlm.177
3. Melaksanakan pengawasan bank secara langsung dan tidak langsung melalui
penyampaian laporan, keterangan oleh bank serta hasil pemeriksaan terhadap bank,
secara berkala ataupun setiap waktu jika diperlukan.
4. Menugaskan kepada pihak lain untuk dan atas nama Bank Indonesia dalam
melaksanakan pemeriksaan. Pihak lain yang melaksanakan pemeriksaan wajib
merahasiakan keterangan dan data yang diperoleh.
5. Memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian untuk seluruh
kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian Bank Indonesia terhadap suatu
transaksi patut diduga merupakan tindakan pidana di bidang perbankan.
6. Melakukan tindakan sebagai akibat dari penilaian Bank indonesia terhadap suatu
bank atas kegiatan yang dapat membahayakan usaha bank tersebut dan/atau sistem
perbankan secara keseluruhan.
7. Tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa
keuangan yang independent, dan dibentuk dengan undang-undang.
8. Mengatur dan mengembangkan sistem informasi antarbank. Sistem informasi dapat
dilakukan oleh bank Indonesia dan/atau oleh pihak lain dengan persetujuan Bank
Indonesia.
9. Mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Di Indonesia, berdasarkan undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank


Indonesia dan Undang-Undang No 3 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-
Undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, ditentukan bahwa Bank Indonesia
sebagai otoritas pembina dan pengawas perbankan di Indonesia mempunyai wewenang
melakukan pembinaan dan pengawasan bank. Pelaksanaan pengawasan oleh Bank
Indonesia tersebut meliputi keempat aspek kewenangan sebagaimana telah diuraikan di
atas.9

Berkaitan dengan itu, menurut Marulak Pardede bahwa untukenciptakan perbankan


yang efisien, maka Bank Indonesia perlu mendorong terciptanya sarana yang dapat
menunjang kelancaran dalam pemberian jasa perbankan kepada masyarakat. Sarana
tersebut berupa sarana penunjang kegiatan operasional bank, yaitu:

1. Lembaga kliring, yang memungkinkan bank melayani transaksi pembayaran


nasabahnya dengan mudah, cepat, dan aman.
2. Pasar uang antarbank dan pengembangan surat-surat berharga pasar uang, yang
memungkinkan bank memperoleh pinjaman jangka pendek secara mudah, efisien,
dan aman dalam rangka pengelolaan likuiditas yang lebih baik.
3. Fasilitas discount window, yang memungkinkan bank mendapatkan dana sementara
untuk keperluan likuiditasnya dalam keadaan, di mana bank tersebut sudah tidak
mampu memperolehnya dari pasar.

9
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia Edisi Kedua, (Jakarta Kencana:2005), hlm.178
4. Sistem informasi kredit, yang memungkinkan bank memperoleh dan saling menukar
informasi tentang keadaan debiturnya.

Sejalan dengan Undang-Undang No.23 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 3


Tahun 2004 tersebut di atas, maka Undang-Undang No.10 Tahun 1998 memberikan
wewenang dan kewajiban bagi Bank Indonesia, untuk membina serta melakukan
pengawasan terhadap bank dengan menempuh upaya-upaya, baik yang bersifat
preventif dalam bentuk ketentuan-ketentuan, petunjuk dan nasihat, bimbingan dan
pengarahan, maupun secara represif dalam bentuk pemeriksaan yang disusul dengan
tindakan-tindakan perbaikan, sehingga pada akhirnya Bank Indonesia dapat
menetapkan arah pembinaan dan pengembangan bank, baik secara individual maupun
secara keseluruhan.10

C. PRINSIP KEHATI-HATIAN PADA BANK KONVESIONAL DAN BANK


SYARI’AH

pelaksanaan prinsip kehati-hatian merupakan hal penting guna mewujudkan sistem


perbankan yang sehat, kuat dan kokoh.Hal ini sangat mungkin mengingat bank sebagai
institusi yang telah diatur sedemikian kompleksnya (the most related industry in the
world). Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas perbankan harus mampu melakukan
penilaian dan penindakan terhadap pelaksanaan prinsip kehati-hatian bank (Prudential
banking principle).

Diabaikannya penerapan prinsip kehati-hatian tersebut oleh bank, baik oleh bank
konvesional maupun oleh bank syariah tentu akan berdampak pada kerugian dan resiko
terhadap bank itu sendiri. Pada bank yang menjalankan kegiatan berdasarkan prinsip
syariah, dampak kerugian yang ditimbulkan akibat mengabaikan prinsip kehati-hatian
jauh lebih besar dari kerugian yang mungkin dialami oleh bank konvesional. Hal ini
dapat dilihat dalam hal pembiayaan pada bank syariah, dimana dalam pembiayaan
berprinsip syariah tidak mewajibkan agunan dari nasabah yang diberikan pembiayaan.
Bank syariah semata-mata hanya mengandalkan first way out sebagai sumber
pengembalian dana yang diinvestasikan bank dalam bentuk pembiayaan Mudharabah.
Dengan demikian, maka pihak bank syariah dituntut untuk selektif dan berhati-hati
dalam menyalurkan dana dengan memperhatikan prospek pembiayaan, kelayakan usaha
nasabah dang pengawasan pembinaan yang berkesinambungan dan aspek lain yang
dipandang perlu untuk menghindari adanya pembiayaan yang tidak lancar atau kredit
macet.

Pengertian prinsip kehati-hatian, oleh undang-undang perbankan sama sekali tidak


dijelaskan, baik pada bagian ketentuan maupun dalam penjelasannya. Undang-undang
Perbankan hanya menyebutkan istilah dan ruang lingkupnya saja sebagaimana
dijelaskan dalam pasal 29 ayat (2), (3), dan (4). Semua bank, baik bank syariah maupun

10
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia Edisi Ketiga,(Jakarta Kencana:2005), hlm.146
bank konvesional tanpa terkecuali dalam melakukan kegiatan usahanya, wajib
menerapkan prinsip kehati-hatian (Prudential banking principle) yang lebih lanjut
dijabarkan dalam bentuk rambu-rambu kesehatan bank atau Prudential standard.
Pelanggaran terhadap rambu-rambu tersebut diancam sanksi, bukan saja berupa sanksi
administratif yang dapat dijatuhkan oleh bank indonesia terhadap banknya maupun
terhadap pengurus dan pemiliknya, namun juga diancam sanksi pidana penjara dan
denda serta sanksi perdata bagi pengurus bank syariah yang bersangkutan.11

Pada dasarnya prinsip kehati-hatian yang berlaku di Bank Syariah sama seperti yang
berlaku di Bank Konvesional, sebagaimana penjelasan peraturan Bank Indonesia
nomor:: 5/7/PBI/2003.12

Pasal 2 ayat (1) yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian dalam penanaman dana
antara lain berdasarkan:

1. kelayakan usaha dengan memperhatikan sekurang-kurangnya 5 C (Carakter, Capital,


Capacity, Conduction of Economi dan Collateral).

2. Penilaian terhadap aspek prospek usaha, kondisi keuangan dan kemampuan


membayar.

Ayat (2) yang dimaksud dengan memantau adalah mengawasi perkembangan kinerja
usaha nasabah dari waktu ke waktu yang dimaksud dengan mengambil langka-langka
antisipasi adalah melakukan tindakan dan upaya pencegahan atas kemungkinan
timbulnya kegagalan dalam penanaman dana.

“Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan Hukum Islam antara bank dan
pihak lain untuk menyimpan dana / atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan
lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan
bagi hasil (Mudharabah).13

D. PERWUJUDAN PRINSIP KEHATI-HATIAN PADA KEGIATAN USAHA


PERBANKAN

Menurut ketentuan pasal 2 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 dikemukakan,


bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan Demokrasi
Ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian.14 Prinsip kehati-hatian atau
dikenal juga dengan Prudential banking merupakan suatu prinsip yang penting dalam
praktek dunia perbankan di Indonesia sehingga wajib diterapkan atau dilaksanakan oleh
bank dalam menjalankan kegiatan usahanya. Istilah prudent sangat terkait dengan
pengawasan dan manajemen bank. Kata prudent itu sendiri secara harafiah dalam

11
Warjiyo. Perry,Ed. Bank Indonesia (Bank Sentral Republik Indonesia) Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat
Pendidikan dan Studi Kebanksentralan. 2004.
12
Ahmad Kamil. M. Fauzan, op.cit, hlm 223
13
Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, Jakarta
kencana 2006, hlm 71
14
Hermansyah, Op.Cit,hlm.134
bahasa Indonesia berarti bijaksana, namun dalam dunia perbankan istilah itu digunakan
untuk asas kehati-hatian.15

Prinsip kehati-hatian tersebut mengharuskan pihak bank selalu berhati-hati dalam


menjalankan kegiatan usahanya, dalam arti harus selalu konsisten dalam melakukan
praturan perundang-undangan di bidang perbankan berdasarkan profesionalisme dan
itikad baik.16 Pengertian prinsip kehati-hatian sendiri adalah prinsip pengendalian risiko
melalui penerapan peraturan perundang-undangan ketentuan yang berlaku secara
konsisten.17Tujuan dari penerapan prinsip kehati-hatian ini adalah untuk menjaga
keamanan, kesehatan, dan kestabilan sistem perbankan peraturan perundang-undangan
ketentuan yang berlaku secara konsisten.18Sedangkan dalam penjelasan pasal 4 ayat 1
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai
Tukar, dinyatakan bahwa prinsip kehati-hatian adalah salah satu upaya untuk
meminimalkan risiko usaha dalam pengelolaan bank, baik melalui ketentuan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia maupun ketentuan intern bank yang bersangkutan.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Pasal 25 ayat 1


mengatur mengenai wewenang Bank Indonesia untuk mengatur mengenai prinsip
kehati-hatian bagi usaha bank dengan menyatakan bahwa “Dalam rangka melaksanakan
tugas mengatur bank, Bank Indonesia berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan
perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian.” Dalam penjelasan Pasal 25 ayat 1
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia tersebut dijelaskan
bahwa ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian bertujuan
untuk memberikan rambu-rambu bagi penyelenggaraan kegiatan usaha perbankan guna
mewujudkan sistem perbankan yang sehat. Mengingat pentingnya tujuan tersebut maka
peraturan-peraturan mengenai prinsip kehati-hatian yang ditetapkan Bank Indonesia
harus disesuaikan dengan standar internasional dan harus didukung dengan sanksi-
sanksi yang adil.

Meskipun Undang-Undang perbankan tidak menjelaskan secara pasti mengenai


pengertian prinsip kehati-hatian namun pengaturan mengenai prinsip kehati-hatian
(Prudential banking) secara eksplisit tersirat pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
yaitu pada pasal 29 ayat 2, 3, dan 4 yang menyatakan.19

a. Ayat 2 : Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bang sesuai dengan


ketentuan kecukup modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas,

15
Permadi Gandapradja, Dasar dan Prinsip Pengawasan Bank, PT. Gramedia Pustaka Utara, Jakarta, 2004,
hlm 21
16
Hermansyah, Op. Cit, hlm. 135
17
H.R. Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 293
18
Ibid, hlm. 294
19
Lihat Undang Nomor 10 Tahun 1998 sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan yaitu pada pasal 29 ayat 2,3, dan 4.
rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank,
dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.
b. Ayat 3 : Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah
dan melakukan kegiatan usaha lainnya, Bank wajib menempuh cara-cara yang
tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang memercayakan dananya
kepada bank.
c. Ayat 4 : untuk kepentingan nasabah, Bank wajib menyediakan informasi
mengenai kemungkinan terjadinya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi
nasabah yang dilakukan melalui bank.

Berdasarkan ketentuan pasal 29 ayat 2 diatas, maka tidak ada alasan apapun juga
bagi pihak bank untuk tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan
kegiatan usahanya dan wajib menjujung tinggi prinsip kehati-hatian.20Ini
mengandung arti, bahwa segala perubahan dan kebijakan yang dibuat dalam rangka
melakukan kegiatan usahanya harus senantiasa berdasarkan kepala peraturan
perundang-undangan yang berlaku sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara
hukum.21Selanjutnya dalam ketentuan pasal 29 ayat 3 terkandung arti perlunya
diterapkan prinsip kehati-hatian dalam rangka penyaluran kredit atau pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah kepada nasabah debitor.

Sedangkan ketentuan pasal 29 ayat 4 sangat erat kaitannya dengan dua pasal
sebelumnya menyangkut perlindungan bagi kepentingan nasabah penyimpan dan
simpanannya. Hal menarik dalam ketentuan prinsip kehati-hatian bank adalah
kewajiban bagi Bank menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya
risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank
sebagaimana dinyatakan dalam pasal 29 ayat 4 diatas, penyediaan informasi
tersebut dimaksudkan agar akses untuk memperoleh informasi mengenai bank
menjadi lebih terbuka.

20
Hermansyah, Op. Cit, hlm. 135
21
Ibid, 134
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Fungsi pengaturan dan pengawasan yang dilakukan Bank Indonesia dengan
hadirnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) secara yuridis tetaplah ada. Hal ini
dikarenakan, Pengawasan macroprudential tetap saja menjadi kewenagnan Bank
Indonesia. Sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 7 Undang-Undang OJK
tentang tugas dan wewenang Bank Indonesia meliputi lingkup pengaturan dan
pengawasan macroprudential, yakni pengaturan dan pengawasan selain hal yang
diatur dalam pasal ini, merupakan tugas dan wewenang Bank Indonesia. Dalam
rangka pengaturan dan pengawasan macroprudential, OJK membantu Bank
Indonesia untuk melakukan himbauan moral (moral suasion) kepada Perbankan.
Secara yuridis, fungsi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah penyelengaraan
sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan
di sector keuangan termasuk pada sektor perbankan. Oleh karena itu maka,
keseluruhan kegiatan jasa keuangan yang dilakukan oleh Lembaga-lembaga
keuangan termasuk perbankan harus tunduk pada sistem pengaturan dan
pengawasan Otoritas Jasa Keuangan. Hal ini sebagaimana di tegaskan dalam Pasal 6
Undang-Undang tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan menyebutkan bahwa
Otoritas Jasa Keuangan adalah melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan
salah satunya adalah kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan.

B. Saran
Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas
Jasa Keuangan diharapkan mampu memberikan kepastian hukum dan meningkatkan
potensi perbankan yang sehat dengan mengembangkan system perbankan yang
efektif sehingga dapat mengatasi krisis kepercayaan masyarakat terhadap perbankan
Indonesia. Dalam menjalankan tugas pengawasan terhadap lembaga keuangan
diharapkan koordinasi antara Bank Indonesia dengan OJK dapat terjalin dengan
baik. Untuk itu perlu adanya revisi terhadap Undang-Undang Bank Indonesia
mengenai tugas pengaturan dan pengawasan perbankan yang telah beralih kepada
OJK. Kemudian OJK dalam menjalankan tugasnya berdasarkan asas-asas
independensi, kepastian hukum, kepentingan umum, keterbukaan, profesionalitas,
integritas, dan akuntabilitas diharapkan asas-asas tersebut bukan hanya sekedar
formalitas, namun benar-benar diterapkan dalam praktiknya. Mengingat luasnya
wewenang dan tanggungjawab OJK, yang membuat OJK menjadi elemen penting
dalam perekonomian nasional. Efektif atau tidaknya kinerja OJK menentukan
perkembangan perekonomian nasional kedepannya. OJK juga harus mengadakan
unit atau direktorat perbankan syariah dalam struktur organisasi OJK. Akan tetapi
penulis lebih menyarankan, agar tugas pengaturan dan pengawasan perbankan
sebaiknya tetap berada di tangan Bank Indonesia, sedangkan OJK melakukan
pengaturan dan pengawasan lembaga keuangan non-bank saja.
DAFTAR PUSTAKA

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta Kencana : 2005)
Maqdir Ismail, 2007, BANK INDONESIA Independensi, Akuntabilitas dan Transparansi, Fakultas Hukum
Universitas Al-Azhari Indonesia (UAI), helm.20
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia Edisi ketiga, (Jakarta Kencana : 2005), hlm 142
Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, op.cit, h.621
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia Edisi Kedua, (Jakarta Kencana:2005), hlm.175
Marulak Pardede, 2009, Aspek Hukum Pemisahan Pembinaan Dan Pengawasan Perbankan, Jakarta: Badan
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum Dan HAM-RI, helm.17
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta Kencana:2005), hlm.143
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia Edisi Kedua, ( Jakarta Kencana: 2005), hlm.177
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia Edisi Kedua, (Jakarta Kencana:2005), hlm.178
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia Edisi Ketiga,(Jakarta Kencana:2005), hlm.146
Warjiyo. Perry,Ed. Bank Indonesia (Bank Sentral Republik Indonesia) Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat
Pendidikan dan Studi Kebanksentralan. 2004.
Ahmad Kamil. M. Fauzan, op.cit, hlm 223
Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, Jakarta
kencana 2006, hlm 71
Hermansyah, Op.Cit,hlm.134
Permadi Gandapradja, Dasar dan Prinsip Pengawasan Bank, PT. Gramedia Pustaka Utara, Jakarta, 2004, hlm
21
Hermansyah, Op. Cit, hlm. 135
H.R. Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 293
Ibid, hlm. 294
Lihat Undang Nomor 10 Tahun 1998 sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan yaitu pada pasal 29 ayat 2,3, dan 4.
Hermansyah, Op. Cit, hlm. 135
Ibid, 134

Anda mungkin juga menyukai