Dosen Pengampuh :
Dr.Adnan,M.Ag
Di susun oleh :
Cindrawati .A. Mohi
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pada masa Dinasti Abbasyiah umat islam mengalami pekembangan dalam
berbagai bidang. Dinasti ini mengalami masa kejayaan intelektual, seperti halnya
dinasti lain dalama sejarah islam, tidak lama setelah dinasti itu berdiri. Kekhalifan
Baghdad mencapai masa keajayaannya antara khalifa ke tiga, al-mahdi (775-785 M),
dan kesembilan, al-athiq (842-847 M), lebih khusu lagi pada masa harun al-rasyid
(786-809 M), dan al-makmun (813-833 M), anaknya terutama, karena dua khalifah
yang hebat itulah dinasti abbasyiah memiliki kesan dan ingatan publik, dan menjadi
dinasti hebat dalam sejarah islam dan diindetikkan dengan istilah “the golden age of
islam” tanpa meniadakan tatanan yang telah ditinggalkan oleh dinasti ummayah, baik
dalam ilmu pengetahuan dan pemerintahan, Abbasyiah mampu mengembangkan dan
memanfaatkan lembaga yang sudah pernah ada pada masa umayyah.
Kemajuan lain yang tak kala penting adalah dalam bidang peradilan dimana
pada masa Abbasyiah sistem administrasi peradilan pada masa ini sudah tersusun
dengan rapi. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya lembaga-lembaga peradilan yang
terbentuk, pada masa ini. Makalah ini akan mencoba memaparkan lebih jauh sejarah
peradilan di masa Dinasti Abbasyiah.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana masa Dinasti Abbasyiah?
2. Bagaimana peradilan pada masa Bani Abbasyiah pertama dan kedua?
3. Siapa saja hakim
BAB II
PEMBAHASAN
Adapun badan peradilan pada zaman Abbasiyah ada tiga macam, yaitu sebagai
berikut:
Pengangkatan qadhi di lakukan oleh khalifah, misalnya, Abi Laila adalah qadhi yang di
angkat oleh khalifah al Mansur. Namun pada masa Harun ar Rasyid, khalifah hanya
mengangkat sesorang yang di anggap cakap dan mampu sebagai qadhi sekaligus qadhi al
qudhah, yang selanjutnya berwenang mengangkat qadhi pada peradilan kota dan provinsi.
Orang yang pertama mendapat kesempatan sebagai qadhi al qudha adalah Abu Yusuf,
muridnya Imam Abu Hanifah. Ini menunjukan bahwa system pengangkatan dilakukan oleh
khalifah baik qadhi al qudha di pusat maupun di daerah. Wewenang tersebut ada delapan,
yaitu sebagai berikut:
a. Mengangkat qadhi.
b. Memecat qadhi.
Ide ini di centuskan oleh Ibnu Muqaffa (w.144 H), beliau mengirim surat kepada
Khalifah Abu Ja’far al Mansur, memohon agar di buat satu UU yang di ambil dari Al
quran dan as Sunnah untuk seluruh rakyat, dan bagi yang perkaratidak ada ketentan
nashnya maka di ambil dari pendapat yang memenuhi tuntutan keadilan dan
kemashlahatan umat. Hal ini di tanggapioleh khalifah dan meminta agar Imam Malik
menolak dan berkata, “Sesungguhnya setiap umat memilki ikatan ulama-ulama salaf
dan mazhab-mazhab”.
Pada tahun 163 H, khalifah sekali lagi mengajukannya kepada Imam Malik. Namun
tetap di tolak dan berkata “Sesungguhnya sahabat Nabi berbeda dalam furu’ dan
berserakan di berbagai negeri dan masing-masing dari mereka adalah benar”
b. Hakim Muqallid
Pada masa ini hakim tidak lagi berijtihad. Ini berarti menyalahi syarat bahwaa hakim
harus seorang mujtahid. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat, ulama-ulama
Hanafiyah menetapkan bahwa hakimboleh memutuskan perkara dengan pendapat
yang Dho’if dari mazhab yang di anutnya. Golongan Malikiyah mengatakan bahwa
seorang muqallid harus berpegang kepada pendapat imam yang di ikutinya. Ia tidak
boleh menggunakan ijtihadnyakarena hal ini bisa di capai oleh orang-orang yang
berepengetahuan cukup.
Urutan di atas menunjukan bahwa hakim di utamakan seorang mujtahid, bila tidak
ada atau sedikit din peroleh maka boleh seorang muqallid dengan syarat dalam
memutuskan perkara mempunyai peganga, baik itu mazhab ataupun undang-undang
yang berlaku.
Beberapa qadhi yang terkenal pada masa Abbasiyah adalah sebagai berikut.
1. Abu Yusuf, Ya’qub bin Ibrahim (Lahir tahun 131 H/731 M)- WAFAT
Tahun 182 H/789 M) beliau adalah qadhi al qudha’ Harub al Rasyid.
2. Yahya bin Aksam (Lahir tahun 159 H/755 M- wafat tahun 242 H/857 M)
Beliau adalah seorang Qadhi al Qudha’ al Makmun.
3. Ahmad bin Abu Daud (Lahir tahun 160 H/777 m- Wafat tahun 240 H/854
M) beliau adalah qadhi’ al Mu’tashim.
4. Sahnunal Maliki (Lahir tahun 160 H/777 M-Wafat tahun 240 H/854 M)
beliau adalah Qadhi Maghrib.
5. Al ‘Izz bin Abd. As Salam (Lahir tahun 578 H/1181 M- wafat tahun 660
H/1282 M) beliau adalah qadhi Mesir.
6. Ibnu Khillikan (Lahir tahun 625 H/1211 M- wafat tahun 660 H/1282 M)
beliau adalah Qadhi Damaskus.
7. Ibnu Daqiqi ‘Ied (Lahir tahun 625 H/1228 M- wafat tahun 702 H/1302 M)
beliau adalah qadhi Mesir dan Sha’id.
Inilah sebagian dari qadhi-qadhi besar yang banyak mendspst perhstisn umum terkenal dalam
masyarakat fikih dan di pandang sebagai pemimbing ilmu al furu’ dalam periode kedua dari
Bani Abbasiyah.
BAB III
PENUTUP
G. Kesimpulan
Pemerintahan Abbasiyah berlangsung selama 524 tahun (132-656 H/750-1261 M). Masa
Daulah Bani Abbasiyah berpusat di Baghdad selama lima setengah abad dengan 37 khalifah.
Abu Abbas ash Shaffah adalah khalifah pertama dan Abu Ahmad Abdullah al Musta’shim
sebagai khalifah terakhir.
Pada zaman Abbasiyah pertama yang menjadi sumber hukum adalah Al quran dan As sunnah
dan pada masa Abbasiya pertama lembaga peradilan di kenal dalam organisasi kehakiman
dengan empat lembaga, yaitu sebagai berikut. Iwan Qadhi al-Qudhat (Ibu Kota), Qudhah al
Aqali (Provinsi), Qudhat al Amsar, yaitu al qadha dan al Hisbah (Kota dan Kabupaten), As
Sulthah al Qadhaiyah (Ibu kota dan kota-kota).
Pada masa ini orgasnisai peradilan, khususnya qadhi al qudha, sudah mengalami perubahan.
Qadhi al qudha tidak hanya di pusat pemerintahan (Baghdad), tetapi juga di daerah-daerah.
Hal ini terjadi karena banyak daerah yang memisahkan diri dari pusat pemerintaha, Baghdad.
Istilah qadhi al qudha tidak sama di tiap negeri di Andalusia di sebut Qadhi al Jama’ah.
Beberpa Hakim yang terkenal adalah: Abu Yusuf, Ya’qub bin Ibrahim, Yahya bin Aksam,
Ahmad bin Abu Daud, Sahnunal Maliki, Al ‘Izz bin Abd. As Salam, Ibnu Khillikan, Ibnu
Daqiqi ‘Ied.