Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada umumnya fraktur disebebkan karena trauma atau aktivitas fisik yang terjadi
tekanan berlebih pada tulang. Umur dibawah 45 tahun fraktur sering terjadi pada laki-
laki dibandingkan dengan perempuan yang disebabkan oleh kecelakann lalu lintas
(Lukman & Nurna, 2009). Pada seseorang yang mengalami fraktur akan kesulitan gerak,
tidak bisa melakukan aktivitas, tidak bisa memenuhi kebutuhan fisik sehingga mobilitas
fisik terganggu (Sylvia, 2006).
Menurut peneliti sebelumnya oleh Erwand Bagus, S (2016) Badan kesehatan dunia
WHO (2013-2014) mencatat 1,3 juta orang mengalami fraktur akibat kecelakaan lalu
lintas. Menurut DepKes RI (2007), dari 20.829 kasus kecelakaan lalu lintas ada 1.770
orang (8,5%) yang mengalami faktur, dari 45.987 peristiwa terjatuh yang mengalami
fraktur sebanyak 1.775 orang (3,8%), dari 14.127 trauma benda tajam atau benda
tumpul yang mengalami fraktur sebanyak 236 orang (1,7%). Di jawa timur angka
kejadian fraktur sebanyak 6,0% (RIKESDAS, 2013).
Fraktur merupakan gangguan pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma yaitu,
gangguan fisik patologik. Terjadinya fraktur dapat mengakibatkan adanya kerusakan
saraf dan pembuluh darah. Kemampuan otot mendukung tulang turun, baik yang terjadi
pada fraktur terbuka atau tertutup. Fraktur tertutup akan mengenai tulang dan dapat
terjadi neurovaskuler yang menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik terganggu
(Sylvia, 2006). Pada saat tulang patah dan mengalami perdarahan biasanya terjadi
disekitar tempat patah dan kedalama jaringan lunak disekitae tulang tersebut. Biasanya
jaringan lunak juga mengalami kerusakan (Corwin, 2000). Fraktur juga bisa
menyebabkan seseorang mengalami kesulitan bergerak secara leluasa sehingga
mobilitas fisiknya terganggu.
Penanganan pada fraktur penting diakukan imobilisasi daerah yang cedera. Klien
yang mengalami cedera dapat dilakukan pembidaian untuk mencegah gerakan pada
tulang yang mengalami fraktur selain itu pembidaian sangat penting untuk mencegah
terjadinya kerusakan jaringan lunak oleh fragmen tulang. Setelah dilakukan operasi
penyambungan tulang dapat dilakukan Range OF Motion atau sering diartikan mobilisasi
atau latihan gerak. Rasa nyeri pasti dialami oleh klien fraktur baik sebelum atau sesudah
operasi sehingga perlu diajarkan teknik relaksasi untuk mengurangi rasa nyeri tersebut
(Lukman & Nurna, 2009).

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan berbagai hal yang sudah dijelaskan di atas, dapat dikatakan bahwa
penyakit fraktur radius ulna yang sering dialami banyak orang diakibatkan oleh
kecelakaan kendaraan bermotor dan terbentur, selain karena kekerasan.
Adapun rumusan masalah dalam penelitan ini adalah untuk “mengetahui pengertian,
peyebab, pencegahan dan Asuhan Keperawatan Pemenuhan Mobilisasi pada pasien
fraktur radius ulna”.

1.3 Tujuan Studi Kasus


1.3.1 Tujuan umum dalam laporan ini untuk “mengetahui asuhan keperawatan
kebutuhan mobilisasi pada pasien fraktuk radius ulna di Rumah Sakit Umum Kota
Langsa”.

1.3.2 Tujuan Khusus


Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
a. Mengetahui pengkajian keperawatan pada pasien fraktuk radius ulna di rumah sakit
umum Kota Langsa.
b. Mengetahui diagnosa keperawatan hubungan pada pasien fraktuk radius ulna di
rumah sakit umum Kota Langsa.
c. Mengetahui intervensi keperawatan pada pasien fraktuk radius ulna di rumah sakit
umum Kota Langsa.
d. Mengetahui implementasi keperawatan pada pasien fraktuk radius ulna di rumah
sakit umum Kota Langsa. .
e. Mengetahui evaluasi keperawatan pada pasien fraktuk radius ulna di rumah sakit
umum Kota Langsa.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
BAB IV

PEMBAHASAN

1. Pengkajian
Menurut Doengoes (2019), pengkajian pasien dengan cedera kepala akan di
dapatkan data pasien mengalami penurunan kesadaran sementara. Hasil pengkajian
pada pasien, pasien memiliki kesadaran composmentis dan glasglow coma scale
(GCS) 15.
Maka ada kesenjangan antara kasus Ny.N dengan teori karena pada saat
pengkajian pasien sudah mendapatkan penangan sebelumnya, sehingga tidak
didapatkan penurunan kesadaran dan pasien hanya mengalami pusing.

2. Diagnosis Keperawatan
Berdasarkan konsep teori yang disadur dari NANDA (2016), diagnosis
keperawatan yang muncul pada pasien dengan cedera kepala adalah : (10
Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan
peningkatan tekanan intracranial, (2) Gangguan pola nafas berhubungan dengan
obstruksi trakeobronkial, neurovaskuler, kerusakan medula oblongata
neuromaskuler, (3) Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan
dengan pengeluaran urine dan elektrolit meningkat, (4) Pemenuhan nutrisi kurang
dari kebutuhan berhubungan dengan melemahnya otot yang digunakan untuk
mengunyah dan menelan, (5) Gangguan rasa nyeri berhubungan dengan cedera
psikis, alat traksi, (6) Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan
persepsi sensori dan kognitif, penurunan kekuatan dan kelemahan, (7) Perubahan
persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kesadaran, peningkatan tekanan
intra cranial, (8) Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak dan
penurunan keseadaran, dan (9) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan jaringan
trauma, kerusakan kulit kepala.
Pada konsep teori terdapat sembilan masalah keperawatan pada pasien
dengan cedera kepala. Pada kasus di lapangan hanya ditemukan satu diagnosa

Anda mungkin juga menyukai