Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

OPEN FRAKTUR 1/3 DISTAL TIBIA DEXTRA

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat pada
program studi Profesi Ners

Disusun Oleh :

Arya Aji Wijaksana – KHGD21107


Asep Dinar – KHGD21086
Dila Nurhamdilah – KHGD21099
Dina Agusti – KHGD21063
Dwi Nadya S – KHGD21046
Erlangga Surya Pratama – KHGD21106
Fitria Budi Rochmawati – KHGD21058
Mega Rahayu – KHGD21026

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KARSA HUSADA GARUT


PROGRAM STUDI PROFESI NERS
TAHUN AKADEMIK 2021/2022
LAPORAN PENDAHULUAN
OPEN FRAKTUR 1/3 DISTAL TIBIA DEXTRA

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Pengertian
Fraktur adalah patah tulang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik.
Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang dan jaringan lunak di sekitar tulang
akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap ( Nurarif, 2015 ).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnyakontinuitas jaringan tulang rawan yang
umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Lukman, 2011).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan ditentukan sesuai jenis
dan. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya
Fraktur tibia adalah terputusnya hubungan tulang tibia yang disebabkan oleh cedera
dari trauma langsung yang mengenai kaki (Muttaqin, 2013).
Fraktur ini terjadi adanya riwayat trauma langsung akibat benturan yang keras.
Benturan kerass secara langsung merupakan penyebab paling banyak fraktur tranversal,
sedangkan benturan tidak langsung berupa rotasi dan komperensi cenderung menyebabkan
tipe fraktur spiral.

2. Etiologi
1. Kekerasan Langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan.
Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah
2. Kekerasan tidak Langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang di tempat yang jauh dari tempat
kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur
hantaran vector kekerasan.
3. Kekerasan akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan dan penekanan kombinasi dari ketiganya dan penarika.
(Carpenito 2013)
3. Klasifikasi Fraktur
Fraktur dapat diklasifikasikan menjadi fraktur tertutup dan fraktur terbuka. Fraktur
tertutup memiliki kulit yang masih utuh diatas lokasi cedera, sedangkan fraktur terbuka
dicirikan oleh robeknya kulit diatas cedera tulang. Kerusakan jaringan dapat sangat luas pada
fraktur terbuka, yang dibagi berdasarkan keparahannya (Black dan Hawks, 2014) :
a. Derajat 1 : Luka kurang dari 1 cm, kontaminasi minimal
b. Derajat 2 : Luka lebih dari 1 cm, kontaminasi sedang
c. Derajat 3 : Luka melebihi 6 hingga 8 cm, ada kerusakan luas pada jaringan lunak,
saraf, tendon, kontaminasi banyak. Fraktur terbuka dengan derajat 3 harus sedera
ditangani karena resiko infeksi.
Menurut Wiarto (2017) fraktur dapat dibagi kedalam tiga jenis antara lain:
a. Fraktur tertutup
Fraktur terutup adalah jenis fraktur yang tidak disertai dengan luka pada bagian luar
permukaan kulit sehingga bagian tulang yang patah tidak berhubungan dengan bagian
luar.
b. Fraktur terbuka
Fraktur terbuka adalah suatu jenis kondisi patah tulang dengan adanya luka pada
daerah yang patah sehingga bagian tulang berhubungan dengan udara luar, biasanya
juga disertai adanya pendarahan yang banyak. Tulang yang patah juga ikut menonjol
keluar dari permukaan kulit, namun tidak semua fraktur terbuka membuat tulang
menonjol keluar. Fraktur terbuka memerlukan pertolongan lebih cepat karena
terjadinya infeksi dan faktor penyulit lainnya.
c. Fraktur kompleksitas
Fraktur jenis ini terjadi pada dua keadaan yaitu pada bagian ekstermitas terjadi patah
tulang sedangkan pada sendinya terjadi dislokasi.
Menurut Wiarto (2017) jenis fraktur berdasarkan radiologisnya antara lain:
a. Fraktur transversal
Fraktur transversal adalah frktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu
panjang tulang. Fraktur ini , segmen-segmen tulang yang patah direposisi atau
direkduksi kembali ke tempat semula, maka segmen-segmen ini akan stabil dan
biasanya dikontrol dengan bidai gips.
b. Fraktur kuminutif
Fraktur kuminutif adalah terputusnya keutuhan jaringan yang terdiri dari dua fragmen
tulang.
c. Fraktur oblik
Fraktur oblik adalah fraktur yang garis patahnya membuat sudut terhadap tulang.
d. Fraktur segmental
Fraktur segmental adalah dua fraktur berdekatan pada satu tulang yang menyebabkan
terpisahnya segmen sentral dari suplai darahnya, fraktur jenis ini biasanya sulit
ditangani.
e. Fraktur impaksi
Fraktur impaksi atau fraktur kompresi terjadi ketika dua tulang menumbuk tulang
yang berada diantara vertebra.
f. Fraktur spiral
Fraktur spiral timbul akibat torsi ekstermitas. Fraktur ini menimbulkan sedikit
kerusakan jaringan lunak dan cenderung cepat sembuh dengan imobilisasi.

4. Patofisiologi
Fraktur di bagi menjadi dua yaitu fraktur terbuka dan tertutup. Dikatakan tertutup bila
tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan di
kulit. Suwaktu tulang patah dah terjadi perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah di
dalam jaringan lunak sekitar tulang, jaringan lunak tersebut juga biasanya mengalami
kerusakan. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di
rongga medulla tulang. Jaringan tulang akan akan segera berdekatan kebagian tulang yang
patah. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan dengan
pembengkakan yang tidak di tangani dapat menurunkan asupan darah ke estermitas dan
mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan akan
mengakibatkan penekanan tekanan jaringan, oklusi darah total dan berakibat anoreksia
mengakibatkan rusaknya serabur saraf maupun jaringan otak. Komplikasi ini dinamakan
sindrom compartement ( Clevo dan Margharet 2012).
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidakseimbangan,
fraktur terjadi berupa fraktur terbuka dan tertutup. Fraktur tertutup tidak di sertai kerusakan
jaringan lunak seperti tendon, otot, ligament dan pembuluh darah (Clevo dan Margharet
2012).
Pasien harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita komplikasi antara lain
nyeri, iritasi kulit karena penekanan, hilangnya kekuatan otot. Kurang perawatan diri dapat
terjadi bila sebagian tubuh di imobilisasi, mengakibatkan berkurangnya kemampuan
perawatan diri. Reduksi terbuka dan faksasi interna (ORIF) Fragmen-fragmen tulang di
pertahankan denagan pen, plat, paku. Namun pembedahan meningkatkan kemungkinan
terjadinya infeksi. Pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak dan
struktur yang seluruhnya tidak mengalami cedera mungkin akan terpotong atau mengalami
kerusakan selama tindakan operasi.
5. Pathway

6. Manifestasi Klinis
Menurut Nurafif & Kusuma (2015), Tanda dan gejala dari fraktur antara lain :
1. Tidak dapat menggunakan anggota gerak.
2. Nyeri pembengkakan, Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai
fragmen tulang diimobilisasi, hematoma, dan edema
3. Terdapat trauma ( kecelakaan lalulintas, jatuh dari ketinggian atau jatuh dari kamar
mandi pada orang tua, penganiayaan, tertimpa benda berat, kecelakaan kerja, trauma,
olahraga).
4. Gangguan fisik anggota gerak.
5. Deformitas mengalami perubahan bentuk pada daerah fraktur.
6. Kelainan gerak.
7. Pembengkakan pada perubahan warna lokasi pada daerah fraktur.
8. Krepitasi atau dating dengan gejala-gejala lain.
Manifestasi klinis fraktur tibia adalah :
1. Nyeri hebat pada daerah fraktur, dan bertambah jika ditekan/diraba
2. Tak mampu menggerakan kaki
3. Terjadi deformitas (kelainan bentuk) diakibatkan karena perubahan posisi
fragmen tulang. Dapat membentuk sudut karena adanya tekanan penyatuan dan
tidak seimbangnya dorongan otot. Dapat pula memendek ekstermitas bawah
karena adanya tarikan dari otot ektermitas bawah saat fragmen tergelincir dan
tumpah tindih dengan tulang lainnya. Dan dapat juga terjadi rotasional karena
tarikan yang tidak seimbang oleh otot yang menempel pada fragmen tulang
sehingga fragmen fraktur berputar keluar dari sumbu longitudinal normalnya.
4. Adanya krepitus (teraba adanya derik tulang) diakibatkan karena gesekan antara
fragmen satu dengan fragmen yang lainnya.
5. Terjadi ekimosis atau perdarahan subkutan diakibatkan kerusakan pembuluh
darah sehingga darah merembes dibawah kulit sekitar area kulit.
6. Terjadi pembengkakan dan perubahan warna pada kulit diakibatkan karena terjadi
ekstravasasi darah dan cairan jaringan di sekitar area fraktur.

7. Proses Penyembuhan Tulang


Fase-fase dalam penyembuhan tulang dibagi menjadi 4 fase, yaitu fase inflamasi,
proliferasi, pembentukan kalus, dan remodelling (Helmi, 2012):
1. Inflamasi
Segera setelah terjadi patah tulang, terbentuk bekuan darah dalan subperiosteum dan
jaringan lunak. Ujung fragmen tulang mengalami devitalisasi karena terputusnya
pasokan darah. Tempat cedara kemudian akan diinvasi oleh makrofag (sel darah putih
besar) yang akan membersihkan daerah tersebut dari zat asing, pada saat ini terjadi
inflamasi dan nyeri. Fase ini merupakan neovaskularisasi dan awal pengaturan bekuan
darah. Tahap ini berlangsung hari kesatu sampai hari ketujuh dan hilang dengan
berkurangnya pembengkakan dan nyeri.
2. Proliferasi Sel
Dalam sekitar lima hari, hematoma akan megalami organisasi. Terbentuk benang-
benang fibrin pada darah dan membentuk jaringan untuk revaskularisasi, serta ivasi
fibroblast dan osteoblast. Fibroblast dan osteoblas (berkembang dari osteosit, sel
endostel, dan sel periosteum) akan menghasilkan kolagen dan proteglikan sebagai
matriks kolagen pada patahan tulang terbentuk jaringan ikat fibrus dan tulang rawan
(osteoid). Dari periosteum tampak pertumbuhan melingkar. Kalus tulang rawan
tersebur dirangsang oleh gerakan mikro minimal pada tempat patah tulang. Namun,
gerakan yang berlebihan akan merusak struktur kalus. Tulang yang sedang aktif
tumbuh menunjukkan potensial elektronegatif.
3. Pembentukan Kalus
Kalus mampu bereaksi terhadap gerakan ditempat fraktur. Kalus berfungsi
menstabilkan fragmen secepat mungkin –suatu pra syarat yang diperlukan untuk
proses pembentukan jembatan tulang. Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran
tulang rawan tumbuh mencapai sisi lain sampai celah terhubungkan. Fragmen patahan
tulang digabungkan dengan jaringan fibrus, tulang rawan, dan serat tulang imatur.
Bentuk kalus dan volume yang dibutuhkan untuk menghubungkan defek secara
langsung berhubungan dengan jumlah kerusakan dan pergeseran tulang. Perlu waktu
tiga sampai empat minggu agar fragmen tulang tergabung dalam tulang rawan atau
jaringan fibrus. Secara klinis, fragmen tulang tak bisa lagi digerakan. Pembentukan
kalus mulai mengalami penulangan dalam dua sampai tiga minggu patah tulang
melalui proses penulangan endokondrial. Mineral terusmenerus ditimbun sampai
tulang benar-benar telah bersatu dengan keras. Permukaan kalus tetap bersifat
elektronegatif. Pada patahan tulang panjang orang dewasa normal, penulangan
memerlukan waktu tiga sampai empat bulan.
4. Remodelling
Tahap akhir perbaikan patah tulang meliputi pengambilan jaringan mati dan
reorganisasi tulang baru ke susunan structural sebelumnya. Remodeling memerlukan
waktu berbulan-bulan sampai bertahun-tahun tergantung pada beratnya modifikasi
tulang yang dibutuhkan, fungsi tulang, dan stress 14 fungsional pada tulang (pada
kasus yang melibatkan tulang kompak dan kanselus). Tulang kanselus mengalami
penyembuhan dan remodelling lebih cepat dari pada tulang kortikal kompak,
khususnya pada titik kontak langsung. Ketika remodelling telah sempurna, muatan
permukaan patah tulang tidak lagi negatif.

8. Pemeriksaan Penunjang
Pada klien fraktur pemeriksaan yang di lakukan adalah sebagai berikut :
1. X-ray menentukan lokasi / luas fraktur
2. Scan tulang memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan jaringan
lunak.
3. Arteogram : dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler.
4. Hitung darah lengkap : Hemokonsentrasi mungkin meningkat, menurun pada
perdarahan, peningkat lekosit sebagai respon terhadap perdarahan.
5. Kretinin : trauma otot meningkat beban kretinin untuk klirens ginjal.
6. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi atau cedera
hati (Nurafif dan Kusuma 2015 ).

9. Penatalaksanaan
Menurut Muttaqin (2013) konsep dasar penatalaksanaan fraktur yaitu:
1) Fraktur terbuka.
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri dan disertai
perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden period). Kuman belum terlalu
jauh meresap dilakukan: Pembersihan luka, eksisi jaringan mati atau debridement,
hecting situasi dan pemberian antibiotik.
2) Seluruh fraktur.
 Rekognisi (Pengenalan). Riwayat kejadian harus jelas untuk menentukan diagnosa
dan tindakan selanjutnya.
 Reduksi (Reposisi) terbuka dengan fiksasi interna (Open Reduction and Internal
Fixation/ORIF).
o Merupakan upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimum. Dapat juga diartikan reduksi fraktur (setting
tulang) adalah mengembalikan fragmen tulang pada kesejajaran dan rotasi
anatomis.
 Reduksi tertutup dengan fiksasi eksterna (Open Reduction and Enternal
Fixation/ORIF),
o Digunakan untuk mengobati patah tulang terbuka yang melibatkan kerusakan
jaringan lunak. Ekstremitas dipertahankan sementara dengan gips, bidai atau
alat lain. Alat imobilisasi ini akan menjaga reduksi dan menstabilkan
ekstremitas untuk penyembuhan tulang. Alat ini akan memberikan dukungan
yang stabil bagi fraktur comminuted (hancur dan remuk) sementara jaringan
lunak yang hancur dapat ditangani dengan aktif (Smeltzer & Bare, 2013).
 Retensi (Immobilisasi).
o Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus
dimobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai
terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksternal
meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin, dan teknik gips, atau
fiksatoreksternal. Implant logam dapat digunakan untuk fiksasi internal yang
berperan sebagia bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
 Graf tulang, yaitu penggantian jaringan tulang untuk menstabilkan sendi, mengisi
defek atau perangsangan dalam proses penyembuhan. Tipe graf yang digunakan
tergantung pada lokasi yang terkena, kondisi tulang, dan jumlah tulang yang hilang
akibat cidera. Graft tulang dapat berasal dari tulang pasien sendiri (autograft) atau
tulang dari tissue bank (allograft) (Smeltzer & Bare, 2013)
 Rehabilitasi adalah upaya menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi.
Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler
(missal: Pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli
bedah orthopedi diberitahu segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler.
Kegelisahan ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol dengan berbagai pendekatan
(misalnya: menyakinkan, perubahan posisi, stageri peredaan nyeri, termasuk
analgetik). Latihan isometric dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi
disuse dan meningkatkan peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-
hari diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri. Pengembalian
bertahap pada aktivitas semula diusahakan sesuai batasan terapeutik.
 Artroplasti : memperbaiki masalah sendi dengan artroskop (suatu alat yang
memungkinkan ahli bedah mengoperasi dalamnya sendi tanpa irisan yang besar) atau
melalui pembedahan sendi terbuka.
 Menisektomi : eksisi fibrokartilago sendi yang telah rusak.
 Penggantian sendi : penggantian permukaan sendi dengan bahan logam atau sintetis.
 Penggantian sendi total : penggantian kedua permukaan artikuler dalam sendi dengan
logam atau sintetis.
 Fasiotomi : pemotongan fasia otot untuk menghilangkan konstriksi otot atau
mengurangi kontraktur fasia (Hamdan, 2013 )
B. Konsep Asuhan Keperawatan
I. Pengkajian
1) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, nomer register, tanggal
masuk rumah sakit, diagnosis medis (Padila, 2012).
2) Keluhan utama
Berupa rasa nyeri akut atau kronik. Selain itu klien juga akan kesulitan beraktivitas.
Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan
menurut Padila (2012) 
3) Riwayat Kesehatan Sekarang
● Provoking incident : Apakah ada peristiwa yang menjadi faktor presipitasi nyeri
● Quality of pain : Seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien.
Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk 
● Region : Radiation, relief : Apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
● Severity (scale) of pain : Seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
memepengaruhi kemampuan fungsinya.
● Time : Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada
malam hari atau siang hari 
4) Riwayat penyakit dahulu 
Hal yang dikaji seperti kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa
lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker
tulang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain
itu, penyakit diabetes dengan luka sangat beresiko terjadinya osteomyelitis akut
maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang (Padila,
2012). 
5) Riwayat penyakit keluarga 
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu
faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi
pada beberapa keturunan dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara
genetik. Selain tu, penyakit HIV/AIDS.
6) Pola aktivitas sehari-hari
● Nutrisi 
Pada klien fraktur harus mengonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya
seperti kalsium, zat besi, protein, 23 vitamin untuk membantu proses
penyembuhan tulang dan pantau keseimbangan cairan (Padila, 2012). 
● Eliminasi 
Pantau pengeluaran urine frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah
apakah terjadi retensi urine. Kaji frekuensi, konsistensi, warna, serta bau feses. 
● Tidur dan istirahat 
Kaji lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta
penggunaan obat tidur (Padila, 2012). Tidak dapat beristirahat, peningkatan
ketegangan, peka terhadap rangsang, stimulasi simpatis.
● Aktivitas 
Kaji adanya  keterbatasan gerak maka semua bentuk kegiatan klien menjadi
berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain (Padila,
2012). 
7) Data Psikologis
● Riwayat psikososial
Berupa respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien
dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan
sehari-hari (Padila, 2012).
Kecemasan akan kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping
yang ditempuh klien biasanya tidak efektif (Padila, 2012). 
● Persepsi dan konsep diri 
Dampak yang timbul pada klien adalah rasa takut akan kecacatan, rasa cemas,
rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal dan pandangan
dirinya yang salah (Padila, 2012)
8) Pemeriksaan Fisik (persistem)
a) Keadaan Umum Klien
Penampilan klien, ekspresi wajah, bicara, mood, berpakaian dan kebersihan umum,
tinggi badan, BB, gaya berjalan.
b) Tanda-tanda Vital
Pemeriksaan pada tanda-tanda vital mencakup : suhu, nadi, pernapasan dan tekanan
darah.
c) Pemeriksaan fisik
1. B1 Breathing ( Sistem Pernafasan )
Inspeksi : bentuk dada simetris (apabila tidak simetris karena adanya fraktur)
kanan dan kiri pergerakan dada mengikuti pernapasan.
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan (apabila ada nyeri tekan berarti adanya fraktur)
dan tidak ada benjolan.
Perkusi : terdengar bunyi resonan tidak ada suara tambahan, bunyi nafas
vesikuler. Pada pemeriksaan sistem pernapasan didapatkan bahwa klien fraktur
tidak mengalami kelainan pernapasan.
2. B2 Blood ( Sistem Kardiovaskuler )
Inspeksi : Kulit dan membran mukosa pucat.
Palpasi : Tidak ada peningkatan frekunsi dan irama denyut nadi, tidak ada
peningkatan JVP, CRT menurun >3detik pada ekstermitas yang mengalami
luka.
Perkusi : Bunyi jantung pekak
Auskultasi : tekanan darah normal atau hipertensi ( kadang terlihat sebagai
respon nyeri), bunyi jantung I dan II terdengar lupdup tidak ada suara tambahan
seperti mur mur atau gallop.
3. B3 Brain ( Sistem persyarafan )
Inspeksi :Tidak ada kejang, tingkat kesadaran (Composmentis, apatis, samnolen,
supor, koma atau gelisah).
Palpasi : tidak ada gangguan yaitu normal, simetris dan tidak ada benjolan dan
tidak ada nyeri kepala.
4. B4 Bledder ( Sistem Urinaria )
Inspeksi : Warna orange gelap karena obat. Memakai kateter.
5. B5 Bowel ( Sistem pencernaan )
Inspeksi : Keadaan mulut bersih, mukosa lembab, keadaan abdomen normal
tidak asites.
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan atau massa pada abdomen.
Perkusi : Normal suara tympani Auskultasi : Bising usus mengalami penurunan
karena efek anestesi total.
6. B6 Bone ( Sistem Muskuloskeletal)
Inspeksi : Aktivitas dan latihan mengalami perubahan / gangguan dari sehingga
memerlukan bantuan dalam memenuhi kebutuhan perlu dibantu baik oleh
perawat atau keluarga .Pada area luka beresiko tinggi terhadap infeksi, sehingga
tampak diperban / dibalut. Tidak ada perubahan yang menonjol pada sistem
integumen seperti warna kulit, adanya jaringan parut / lesi, adanya perdarahan,
adanya pembengkakan, tekstur kulit kasar dan suhu kulit hangat pada area
sekitar luka. Adanya nyeri , kekuatan otot pada area fraktur mengalami
perubahan akibat kerusakan rangka neuromuscular, mengalami deformitas pada
daerah trauma.
ROM menurun yaitu mengkaji dengan skala ROM :
(1)) Skala 0 : Paralisis total.
(2)) Skala 1 : Tidak ada gerakan, teraba / terlihat adanya kontraksi otot.
(3)) Skala 2 : Gerakan otot penuh menantang gravitasi dengan sokongan.
(4)) Skala 3 : Gerakan normal menentang gravitasi
(5)) Skala 4 : Gerakan normal menentang gravitasi dengan sedikit tahanan.
(6)) Skala 5 : gerakan normal penuh menentang gravitasi dengan tahanan penuh.
Palpasi : Kulit teraba Hangat.
7. B7 (Penginderaan)
Inspeksi : Pada mata terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika terjadi
perdarahan), pergerakan bola mata normal, pupil isokor.
8. B8 (Endokrin)
Inspeksi : Tidak ada pembesaran kelenjar thyroid, tidak ada pembesaran
kelenjar parotis
9) Pemeriksaan Diagnostik
Pada klien fraktur pemeriksaan yang di lakukan adalah sebagai berikut :
● Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
● MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur
● X-ray menentukan lokasi / luas fraktur
● Scan tulang memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan
jaringan lunak.
● Arteogram : dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler.
● Hitung darah lengkap : Hemokonsentrasi mungkin meningkat, menurun pada
perdarahan, peningkat lekosit sebagai respon terhadap perdarahan.
● Kretinin : trauma otot meningkat beban kretinin untuk klirens ginjal.
● Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi atau
cedera hati (Nurafif dan Kusuma 2015 ).

II. Diagnosa Keperawatan yang Sering Muncul


1. Nyeri Akut b.d Agen cedera fisik di tandai dengan pasien tampak meringgis, gelisah.
2. Gangguan Mobilitas Fisik b.d kerusakan integritas struktur tulang di tandai dengan
pasien nyeri saat bergerak.
3. Gangguan integritas kulit/jaringan b.d fraktur terbuka
4. Resiko Infeksi b.d kerusakan integritas kulit.
5. Risiko Disfungsi Neorovaskuler perifer b.d fraktur, penekanan klinis (balutan)
6. Kurang pengetahuan b.d kurang terpapar informasi di tandai dengan klien tanpak
menunjukan prilaku tidak sesuai dengan anjuran dan menunjukan prilaku berlebihan.

III. Intervensi Keperawatan


1. Nyeri Akut b.d Agen cedera fisik di tandai dengan pasien tampak meringgis,
gelisah.
Tujuan : Setelah dilakukan perawatan nyeri pasien teratasi.
Kriteria Hasil: Nyeri berkurang atau hilang skala 1-3, pasien tampak tenang/rileks, tidak
terlihat menyeringai, Klien mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi, tanda nyeri), TTV
dalam batas normal
Intervensi & Rasional:
 Kaji skala nyeri dan karakteristik alokasi termasuk kualitas frekuensi nyeri.
Rasional : untuk mengetahui tingkat nyeri dan menentukan tindakan selanjutnya.
 Monitor TTV
Rasional : nyeri dapat menyebabkan gelisah serta tekanan darah dan nadi meningkat
serta untuk mengetahui perkembangan pasien.
 Tinggikan posisi ekstremitas yang terkena.
Rasional : Meningkatkan aliran balik vena, mengurangi edema/nyeri.
 Ajarkan penggunaan teknik manajemen nyeri (latihan napas dalam, imajinasi visual,
aktivitas dipersional)
Rasional : Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, meningkatkan kontrol terhadap nyeri
yang mungkin berlangsung lama.
 Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi.
Rasional : Menurunkan nyeri melalui mekanisme penghambatan rangsang nyeri baik
secara sentral maupun perifer.

2. Gangguan Mobilitas Fisik b.d kerusakan integritas struktur tulang di tandai


dengan pasien nyeri saat bergerak.
Tujuan : Setelah dilakukan perawatan mobilitas fisik pasien teratasi
Kriteria Hasil : Klien dapat menunjukkan kemampuan untuk melakukan aktivitas
pergerakan eksremitas meningkat , nyeri menurun, kecemasan menurun, gerakan terbatas
menurun.
Intervensi :
 Observasi keterbatasan gerak klien dan catat respon klien terhadap immobilisasi.
Rasional : Dengan observasi dapat diketahui seberapa jauh tingkat perubahan fisik klien
(keterbatasan gerak) dan bagaimana respon / persepsi klien tentang gambaran dirinya.
 Anjurkan klien untuk berpartisipasi dalam aktivitas dan pertahankan stimulasi
lingkungan antara lain TV, Radio dan surat kabar.
Rasional : Dapat memberi kesempatan pasien untuk mengeluarkan energi, memfokuskan
perhatian, meningkatkan rangsangan kontrol diri pasien dan membantu dalam
menurunkan isolasi sosial.
 Ajarkan pada klien untuk berlatih secara aktif / pasif dari latihan ROM.
Rasional : Dapat menambah aliran darah ke otot dan tulang melakukan gerakan sendi
dapat mencegah kontraktur.
 Monitor tekanan darah dan catat masalah sakit kepala.
Rasional : Hipertensi postural adalah masalah umum yang mengurangi bedrest lama dan
memerlukan tindakan khusus.
 Konsultasikan dangan ahli terapi fisik / spesialis, rehabilitasi.
Rasional : Konsultasi dengan ahli terapi / spesialis rehabilitasi dapat menciptakan
program aktivitas dan latihan individu.

3. Gangguan integritas kulit/jaringan b.d fraktur terbuka


Tujuan : Setelah dilakukan perawatan gangguan integritas kulit pasien teratasi
Kriteria Hasil :
a. Integritas kulit yang baik bisa di pertahankan (sensasi, elastisitas, termperatur, hidrasi,
pigmentasi) tidak ada luka /lesi pada kulit.
b. Menunjukakan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya cidera
berulang.
c. Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan kulit
Intervensi dan Rasional :
 Monitor karakteristik luka (Warna,bau,dranase, ukuran)
Rasional : Mengetahui keadaan luka pasien
 Jaga kebersihan kulit yang luka agar tetap bersih dan kering.
Rasional : Menghindari adanya infeksi untuk menjaga kebersihan kulit.
 Monitor kulit akan adanya oedem dan kemerahan.
Rasional : Menghindari adanya infeksi dan perubahan perfusi jaringan.
 Anjurkan klien untuk melakukan gerak aktif sedikit demi sedikit.
Rasional : Mempertahankan kekuatan otot serta meningkatkan sirkulasi.
 Observasi keadaan kulit, penekanan gips/bebat terhadap kulit, insersi pen/traksi.
Rasional : Menilai perkembangan masalah klien.
 Anjurkan pada klien untuk menggunakan pakaian yang tipis dan kering yang menyerap
keringat dan bebas keriput.
Rasional : Mencegah iritasi kulit dan meningkatkan evaporasi.

4. Resiko Infeksi b.d kerusakan integritas kulit.


Tujuan : Setelah dilakukan perawatan pasien resiko infeksi pasien teratasi
Kriteria Hasil : tidak terjadi tanda-tanda infeksi
Intervensi & Rasional :
 Monitor TTV
Rasional : Mengetahui keadaan umum pasien
 Identifikasi tanda-tanda infeksi
Rasional : Mengetahui keadaan luka pasien
 Lakukan perawatan pen steril dan perawatan luka sesuai protokol
Rasional : Mencegah infeksi sekunderdan mempercepat penyembuhan luka.
 Ajarkan klien untuk mempertahankan sterilitas insersi pen.
Rasional : Meminimalkan kontaminasi.
 Anjurkan pasien diet TKTP
Rasional : Mempercepat penyembuhan luka
 Kolaborasi pemberian antibiotika dan toksoid tetanus sesuai indikasi.
Rasional : Antibiotika spektrum luas atau spesifik dapat digunakan secara profilaksis,
mencegah atau mengatasi infeksi. Toksoid tetanus untuk mencegah infeksi tetanus.
 Analisa hasil pemeriksaan laboratorium (Hitung darah lengkap, LED, Kultur dan
sensitivitas luka/serum/tulang)
Rasional : Leukositosis biasanya terjadi pada proses infeksi, anemia dan peningkatan
LED dapat terjadi pada osteomielitis. Kultur untuk mengidentifikasi organisme penyebab
infeksi.

5. Risiko disfungsi neorovaskuler perifer b.d fraktur, penekanan klinis (balutan)


Tujuan : Setelah dilakukan perawatan risiko disfungsi neorovaskuler perifer teratasi
Kriteria Hasil : Pergerakan eksremitas meningkat, Nyeri menurun, Nadi membaik, Suhu
tubuh membaik, Warna kulit membaik,penyembuhan luka membaik, nyeri ekstremitas
menurun.
Intervensi & Rasional :
 Pantau kualitas nadi perifer, aliran kapiler, warna kulit dan kehangatan kulit distal
cedera, bandingkan dengan sisi yang normal.
Rasional : Mengevaluasi perkembangan masalah klien dan perlunya intervensi sesuai
keadaan klien.
 Dorong klien untuk secara rutin melakukan latihan menggerakkan jari/sendi distal
cedera.
Rasional: Meningkatkan sirkulasi darah dan mencegah kekakuan sendi.
 Hindarkan restriksi sirkulasi akibat tekanan bebat/spalk yang terlalu ketat.
Rasional : Mencegah stasis vena dan sebagai petunjuk perlunya penyesuaian keketatan
bebat/spalk
 Pertahankan letak tinggi ekstremitas yang cedera kecuali ada kontraindikasi adanya
sindroma kompartemen
Rasional : Meningkatkan drainase vena dan menurunkan edema kecuali pada adanya
keadaan hambatan aliran arteri yang menyebabkan penurunan perfusi.
 Berikan obat antikoagulan (warfarin) bila diperlukan.
Rasional : Mungkin diberikan sebagai upaya profilaktik untuk menurunkan trombus
vena.

6. Defisit pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d


kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif,
kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada.
Tujuan : Setelah dilakukan defisit pengetahuan klien teratasi
Kriteria Hasil: Klien mengerti dan memahami tentang penyakitnya
Intervensi & Rasional :
 Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi.
Rasional : Efektivitas penerimaan informasi dipengaruhi oleh kesiapan fisik dan mental
klien untuk mengikuti program pembelajaran.
 Jadwalkan pendidikan kesehatan
Rasional : Meningkatkan informasi pada pasien mengenai penyakitnya
 Jelaskan factor resiko yang dapat mempengaruhi kesehtan.
Rasional : Meningkatkan informasi pada pasien mengenai penyakitnya
DAFTAR PUSTAKA

Black, H & Hawks (2014). Riset Keperawatan Kritis. dan Teknik Pembidaian. Jakarta:
Salemba Medika.
Carpenito (2013). Konsep Fraktur Terbuka. In Laporan Pendahuluan (1st Ed., Pp. 1–34).
Universitas Jendral Soedirman
Clevo, M. R & Margharet. (2012). Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta. PPSDM.

Nurarif dan Kusuma (2015). Keperawatan Medikal Bedah I (1st Ed.). Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia.
Helmi, A (2012). Penerapan Pembidaian Untuk Pasien dengan Fraktur Terbuka. Seminar
Kesehatan Nasional, 1(2), 1516–1523.
Lukman, D., & Pratiwi, R. D. (2011). Buku Ajar Keperawatan Kritis., Askep pada pasien
Dengan Fraktur Terbuka 1/3 Tibia (1st Ed.). Stikes Widya Dharma Husada
Tangerang.
Muttaqin, A. (2013). Gambaran Keefektifian Pembidaian Antara Dua Sendi pada Pasien
dengan Fraktur 1/3 Tibia Sinistra Di RSUP Haji Adam Malik Medan. In Politeknik
Kesehatan Medan (Vol. 8, Issue 5).
Padila (2012). Konsep dasar keperawatan Kritis Fraktur. Jakarta: Trans Info Media.
PPNI. (2016). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (SDKI) (1 Ed., Vol. 1). Jakarta: DPP
PPNI.
PPNI. (2016). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) (1 Ed., Vol. 1). Jakarta: DPP
PPNI.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) (2 Ed., Vol. 1). Jakarta: DPP
PPNI.
Smeltzer Cecily L & Linda A. Bare (2013). Evidence-Based Interventions To Reduce Open
Fraktur. Stigma: A Systematic Review. International Journal Of Kritis And Fraktur,
21(October 2016), S81–S86. Https://Doi.Org/10.5588/Ijtld.16.0788
Wiarto. (2017). Asuhan keperawatan pada pasien fraktur terbuka. Jakarta: Trans Info Media.

Anda mungkin juga menyukai