Anda di halaman 1dari 14

ANALISIS KELAYAKAN PANGAN SEBAGAI HASIL HUTAN

(Feasibility Analisys of Food as Forest Products)

Triyono Puspitojati
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim,
Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor 16610, Indonesia
e-mail: tp_jati@yahoo.co.id

Diterima 11 April 2015, direvisi 12 November 2015, disetujui 20 November 2015

ABSTRACT

Food plants have been cultivated in various types of forest estates. However, contribution of forestry to support food security
had been less recognized because foods derived from forests were not recorded as forest products. The objective of this literature
reviewwasto analyze the feasibility of food obtained from forests as forest products. Sustainable use of forests as a source of food was
used as a criteria to determine the feasibility. The results showed that the use of forests as a source of food has been practiced well in five
periods of human life interacted with forests. In Period I and II, forests become a major or sole source of food. In Period III, forests
become a starting place of the food plant development. In Period IV, food plants are cultivated during forest regeneration. In Period V,
food plants in the category of tree, palm, shrub and seasonal plant are cultivated in forest areas of industrial forest estate, rural forest
estate, village forest, community forestry and NWFP-forest estate. Based on comprehensive literatures on scientific as well as legal
literatures, food derived from forests was proper to be determined as forest products.

Keywords: Forest, food, forest product.

ABSTRAK

Tanaman pangan telah dibudidayakan di beragam jenis hutan tanaman. Namun kontribusi kehutanan
dalam mendukung ketahanan pangan tidak terlihat nyata karena pangan yang diperoleh dari hutan tidak dicatat
sebagai hasil hutan. Tujuan review litertur ini adalah menganalisis kelayakan pangan yang diperoleh dari hutan
sebagai hasil hutan. Keberlanjutan pemanfaatan hutan sebagai sumber pangan digunakan dalam telaahan pustaka
ini sebagai kriteria untuk menentukan kelayakan. Hasil review menunjukkan bahwa pemanfaatan hutan sebagai
sumber pangan berlangsung secara berkelanjutan dalam lima periode kehidupan manusia berinteraksi dengan
hutan. Pada Periode I dan II, hutan menjadi sumber pangan utama atau satu-satunya. Pada Periode III, hutan
menjadi tempat awal berkembangnya budi daya tanaman pangan. Pada Periode IV, tanaman pangan
dibudidayakan pada saat permudaan hutan. Pada Periode V, tanaman pangan dalam kategori pohon, palem, perdu
dan tanaman semusim dibudidayakan di areal: hutan tanaman industri, hutan tanaman rakyat, hutan desa, hutan
kemasyarakatan dan hutan tanaman HHBK. Berdasarkan telaahan berbagai sumber pustaka ilmiah dan
peraturan-peraturan yang cukup lengkap, dapat disimpulkan bahwa pangan yang diperoleh dari hutan layak
ditetapkan sebagai hasil hutan.

Kata kunci: Hutan, pangan, hasil hutan

249
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan
Vol. 12 No. 3, Desember 2015: 249 - 262

I. PENDAHULUAN sebagai tanaman PHBM. Meskipun demikian,


kontribusi kehutanan dalam mendukung keta-
Indonesia belum mandiri dalam memenuhi hanan pangan tidak terukur secara pasti karena
kebutuhan pangan. Sebagian kebutuhan pangan pangan yang diperoleh dari hutan tidak dicatat
masih dipenuhi dari impor. Dalam lima tahun sebagai hasil hutan (Puspitojati, 2013).
terakhir (2008-2012), impor pangan yang berupa Jika pangan yang diperoleh dari hutan dicatat
komoditas tanaman pangan (beras, gandum, sebagai hasil hutan maka budidaya tanaman
jagung, kedelai, ubi, dan lain-lain), komoditas pangan di hutan akan berkembang dan kontribusi
hortikultura (buah-buahan dan sayur-sayuran) dan kehutanan dalam mendukung ketahanan pangan
komoditas peternakan (bibit ternak, daging, telur akan lebih terukur. Penelitian ini mempelajari
dan susu) rata-rata 13,43 juta ton/tahun senilai pemanfaatan hutan sebagai sumber pangan dalam
USD8,13 milyar/tahun. Rataan defisit perda- lima periode kehidupan manusia berinteraksi
gangan pangan tersebut 12,11 juta ton/tahun dengan hutan (Suhendang, 2002). Tujuan
senilai USD6,72 milyar karena ekspor pangan penelitian adalah menganalisis kelayakan pangan
hanya 1,32 juta ton/tahun senilai USD1,41 milyar. yang diperoleh dari hutan sebagai hasil hutan.
Pada tahun 2012, defisitperdagangan pangan
mencapai 16,49 juta tonsenilai USD9,31 milyar,
atau lebih tinggi dibanding rataan defisit tahun II. METODE PENELITIAN
2008-2012(Kementerian Pertanian, 2013). Keter-
gantungan pangan pada impor tersebut harus A. Kerangka Pendekatan
diatasi. Hal ini menjadi tanggung jawab berbagai
Budidaya tanaman pangan di kawasan hutan
pihak, termasuk Kementerian Kehutanan
terkendala oleh pemilahan yang tegas antara
(Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 2002).
tanaman/hasil hutan (bukan kayu) dan tanaman/
Sebagai salah satu lembaga pelaksana
hasil pertanian (Foresta dan Michon, 2000).
kebijakan ketahanan pangan, Kementerian
Tanaman hutan (selain kayu) adalah tanaman yang
Kehutanan diharapkan berkontribusi dalam
tumbuh alami dan hasil hutan (HHBK) adalah
mendukung ketahanan pangan (Peraturan
hasil pemungutan, sedangkan tanaman pertanian
Pemerintah Nomor 68 tahun 2002). Sebagai
adalah tanaman budidaya dan hasil pertanian
anggota Dewan Ketahanan Pangan, Menteri
adalah hasil pemanenan (Nair, 1993;Vantomme,
Kehutanan diharapkan membantu merumuskan
2007). Hal ini menempatkan budidaya hutan
kebijakan untuk mewujudkan ketahanan pangan
sebagai bagian hulu dari budidaya pertanian
(Peraturan Presiden Nomor 83 tahun 2006).
(Puspitojati, 2011; Puspitojati, 2013).
Sehubungan dengan hal tersebut, Kementerian
Kendala lain terkait dengan perbedaan
Kehutanan mengkaji kebijakan kehutanan, yang
pandangan para pakar kehutanan, pertanian, dan
ternyata mendukung kebijakan ketahanan pangan.
lingkungan mengenai budidaya tanaman pangan
Hutan dapat dimanfaatkan sebagai penghasil
di hutan. Sebagian pakar berpendapat bahwa
pangan (Anonim, 2009; Nurrochmat et al., 2012).
budidaya tanaman pangan di hutan perlu
Saat ini, tanaman pangan dalam kategori
dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan
pohon, palem, perdu dan tanaman semusim telah
masyarakat dan mendukung keberhasilan
dibudidayakan di areal: hutan tanaman industri
pengelolaan hutan. Sebagian lainnya berpendapat
(HTI), hutan tanaman rakyat (HTR), hutan desa,
bahwa tanaman pangan seharusnya tidak
hutan tanaman hasil hutan bukan kayu (HHBK)
dibudidayakan di kawasan hutan karena
dan hutan kemasyarakatan (Hkm). Tanaman
menurunkan manfaat hutan sebagai penghasil
penghasil pangan tersebut dikenal dalam banyak
barang dan jasa (Belcher, 2003; Rachjal, 2008).
istilah, seperti: tanaman kehidupan, tanaman
Sementara itu, kebijakan kehutanan
serba guna, tanaman budi daya tahunan berkayu,
mendukung budidaya tanaman pangan di hutan
tanaman tumpang sari dan beragam jenis tanaman
namun hanya untuk tujuan subsisten dan semi-
yang dibudidayakan dalam Pengelolaan Hutan
komersial sehingga hasilnya tidak dicatat dalam
Bersama Masyarakat (PHBM) sehingga dikenal

250
Analisis Kelayakan Pangan sebagai Hasil Hutan
Triyono Puspitojati

statistik kehutanan (Puspitojati, 2013). Lebih pemanfaatan areal hutan tanaman untuk budidaya
lanjut, tanaman pangan semusim direkomen- tanaman pangan (Permenhut Nomor P.23 tahun
dasikan ditanam pada saat permudaan hutan 2007; Permenhut Nomor P.49 tahun 2008;
(Permenhut Nomor P.23 tahun 2007; Permenhut Permenhut Nomor P.36 tahun 2008; Permenhut
Nomor P.49 tahun 2008; Permenhut Nomor P.36 Nomor P.55 tahun 2011; Permenhut Nomor P.19
tahun 2008; Permenhut Nomor P.55 tahun 2011; tahun 2012; Kepmenhut Nomor P.70 tahun
Permenhut Nomor P.19 tahun 2012;Kepmenhut 1995). Pangan yang diperoleh dari hutan dinilai
Nomor P.70 tahun1995). layak ditetapkan sebagai hasil hutan jika (1)
Budidaya tanaman pangan di hutan pemanfaatan hutan sebagai sumber pangan
seharusnya juga dapat diusahakan untuk tujuan berlangsung secara berkelanjutan dalam lima
komersial, atau pangan yang diperoleh dari hutan periode interaksi manusia dan hutan dan (2)
seharusnya dicatat sebagai hasil hutan,karena: (1) sebagian areal hutan tanaman dialokasikan untuk
pemilahanyang tegas antara hasil hutan dan hasil budidaya tanaman pangan. Pangan yang diperoleh
pertanian tidak berdasar pada pertimbangan dari hutan dinilai tidak layak ditetapkan sebagai
ilmiah (Foresta dan Michon, 2000), (2) hutan hasil hutan jika tidak memenuhi kedua hal
dapat dimanfaatkan sebagai penghasil pangan tersebut.
(Anonim, 2009; Nurrochmat et al., 2012), (3)
kebijakan kehutanan mendukung pengembangan
pangan di hutan, dan (4) budi daya tanaman III. HASIL DAN PEMBAHASAN
pangan di hutan tidak mengubah fungsi hutan
sebagai penghasil jasa lingkungan (Puspitojati, A. Gambaran Umum Interaksi Manusia dan
2011; Puspitojati, 2013). Penelitian ini diharapkan Hutan
menghasilkan informasi yang memperkuat
Hutan mempunyai peran penting dalam
pertimbangan dalam menetapkan pangan yang
menunjang kehidupan dan perkembangan
diperoleh dari kawasan hutan sebagai hasil hutan.
peradaban manusia. Peran penting tersebut
tercermin dalam bentuk interaksi manusia dan
B. Pengumpulan Data hutan yang berlangsung sejak awal peradaban
Pengumpulan data dilakukan pada tahun hingga saat ini dandiperkirakan terus berlangsung
2012-2013. Data yang dikumpulkan adalah data di masa mendatang. Secara fungsional, interaksi
sekunder, antara lain: Undang-Undang Nomor 41 manusia dan hutan dapat dikelompokkan dalam
tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan lima periode: (1) periode kehidupan manusia
Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata sepenuhnya bergantung pada hutan, (2) periode
Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan kehidupan manusia memungut hasil hutan secara
Hutan serta Pemanfaatan Hutan,Peraturan terkendali, (3) periode kehidupan manusia
Pemerintah Nomor 68 tahun 2002 Tentang merusak hutan, (4) periode kehidupan manusia
Ketahanan Pangan dan Peraturan Menteri yang memerlukan hutan dan (5) periode kehidupan
terkait dengan hutan tanaman, serta pustaka yang manusia mendambakan hutan (Suhendang, 2002).
terkait dengan pemanfaatan hutan sebagai sumber Dalam perkembangan peradaban manusia,
pangan dalam lima periode kehidupan manusia hutan senantiasa mampu memberikan perannya,
berinteraksi dengan hutan. dalam bentuk yang berbeda untuk setiap periode
kehidupan. Hutan seakan menjadi media yang
C. Analisis Data mengantarkan kehidupan manusia pada tingkat
Kelayakan pangan sebagai hasil hutan peradaban yang lebih maju. Di masa mendatang,
dianalisis secara kualitatif indikatif. Analisis peran hutan dalam menunjang kehidupan dan
dilakukan dengan mempelajari (1) pustaka yang perkembangan peradaban manusia diperkirakan
terkait dengan pemanfaatan hutan sebagai sumber akan semakin besar, karena, hutan menghasilkan
pangan dalam lima periode kehidupan manusia beragam jenis barang dan jasa yang dibutuhkan
berinteraksi dengan hutan dan (2) kebijakan manusia (Suhendang, 2002).

251
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan
Vol. 12 No. 3, Desember 2015: 249 - 262

Periode interaksi manusia dan hutan tidak hutanuntuk memenuhi kebutuhan sandang dan
terbagi dalam periode waktu yang jelas. Di negara- pangan tidak menimbulkan kerusakan hutan.
negara maju, saat ini, sebagian besar masya- Secara alami, hutan mampu memulihkan bagian-
rakatnya ada dalam periode kehidupan manusia bagian hutan yang rusak akibat pemungutan hasil
mendambakan hutan. Sementara itu, dalam hutan (Suhendang, 2002).
periode waktu yang sama, saat ini, di Indonesia Saat ini, sebagian masyarakat Indonesia
diperkirakan sedang berlangsung interaksi diperkirakan masih hidup dalam periode ini.
manusia dan hutan pada Periode I sampai V secara Mereka adalah masyarakat primitif yang hidup di
serempak (Suhendang, 2002). Dalam kondisi yang hutan dan menganut kepercayaan animisme dan
demikian, peran hutan dalam menunjang dinamisme (DepartemenKehutanan, 1986).
kehidupan masyarakat Indonesia dapat diharap-
kan lebih beragam, termasuk dalam memenuhi 2. Periode kehidupan manusia memungut hasil
kebutuhan pangan. hutan secara terkendali
Pada periode ini, manusia telah mem-
B. Pemanfaatan Hutan sebagai Sumber punyaitempat tinggal atau rumah sederhana di
Pangan dalam atau di luar hutan,yang dibangun dengan
Pemanfaatan hutan sebagai sumber pangan menggunakan bahan-bahan yang berasal dari
berbeda antar negara, khususnya antara negara hutan. Bahan makanan sehari-hari diperoleh dari
maju dengan negara berkembang, seperti Indo- memungut hasil hutan. Pemungutan hasil hutan
nesia. Di negara-negara maju yang mengkonversi seperti buah-buahan, umbi-umbian, pati-patian
sebagian besar hutannya untuk lahan pertanian dan getah-getahan diakukan tanpa menebang
dan kegiatan lain, hutan yang tersisa tidak lagi pohon atau penebangan pohon dilakukan secara
dimanfaatkan sebagai sumber pangan. Sementara terkendali. Hutan justru dijaga untuk menopang
itu, di Indonesia, yang memiliki lahan pertanian kehidupan mereka. Masyarakat pada periode ini
terbatas, hutan terus menjadi salah satu sumber belum mengenal teknik budi daya tanaman atau
pangan bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan telahmengenalnya namun kegiatan bercocok
sekitar hutan. tanam dilakukan tanpa mer usak hutan
(Suhendang, 2002).
1. Periode kehidupan manusia sepenuhnya Di Indonesia, kelompok masyarakat dengan
bergantung pada hutan pola interaksi seperti ini dapat ditemui di berbagai
daerah, seperti: Lampung, Banten (Suhendang,
Pada periode ini, manusia menyatu dengan
2002) dan Papua (Rachman et al., 2000), yang
hutan sehingga manusia dapat dipandang sebagai
hutannya luas dan penduduknya terbatas. Di
bagian dari ekosistem hutan. Semua kebutuhan
Papua, hutan sagu menyediakan pangan yang
manusia yang berupa sandang, pangan dan papan
memadai kepada masyarakat yang tinggal di dalam
disediakan oleh hutan. Buah-buahan, umbi-
dan sekitar hutan. Hal ini berlangsung dari
umbian, daun-daunan, ikan-ikan sungai dan
generasi ke generasi sehingga terbentuk masyara-
satwaliar adalah sumber makanan sehari-hari yang
kat adat yang mempunyai aturan tentang
tersedia melimpah di hutan. Kulit pohon, daun
pemungutan sagu yang berkelanjutan.
pohon dan kulit binatang tertentu adalahbahan
Masyarakat Meikari yang tinggal di Kabupa-
yang tersedia untuk membuat pakaian. Gua-gua
ten Jayapura, sebagai contoh, memiliki aturan adat
yang ada di dalam hutan dan dahan-dahan pohon
yang mengatur:(a) pemungutan sagu, (b) kewa-
yang cukup besar menyediakan tempat tinggal
jiban memelihara hutan sagu dan(c) sangsi
atau tempat berlindung dari serangan binatang
pelanggaran (Rachman et al., 2000). Setiap
buas (Suhendang, 2002).
keluarga hanya boleh menebang satu batang
Pada periode ini, populasi masyarakat yang
pohon sagu yang telah masak dalam kurun waktu
tinggal di hutan sangat rendah, sedangkan hasil
±3 bulan sekali. Mereka tidak boleh melubangi
hutan yang tersediasangat melimpah. Dalam
pohon sagu untuk mengecek isinya dan tidak
kondisi yang demikian, pengambilan hasil

252
Analisis Kelayakan Pangan sebagai Hasil Hutan
Triyono Puspitojati

boleh menebang pohon sagu jika masih memiliki Dalam kaitannya dengan pangan, periode ini
persediaan sagu yang cukup. ditandai berkembangnya budi daya tanaman
Sanksi yang diberikan kepada penduduk yang pangan di hutan, yang pada tahap selanjutnya
melakukan pelanggaran pertama adalah teguran berkembang menjadi pertanian menetapdi lahan
dan penjelasan bahwa sagu adalah milik bersama. pertanian dan pertanian menetap dikawasan
Sanksi pelanggaran kedua adalah hukuman fisik hutan.
(badan disulut api) di muka umum, disaksikan Budi daya tanaman pangan di hutan berawal
oleh anggota masyarakat adat. Hukuman yang dari kegiatan perladangan berpindah. Hutan
diberikan kepada penduduk yang berkali-kali dibuka untuk ladang, ditanami tanaman pangan
melakukan pelanggaran adalah hukuman mati. selama beberapa tahun dan ditinggalkan setelah
Setelah menebang pohon sagu, penduduk kesuburan lahannya menurun. Perladangan
wajib memelihara rumpun sagu di sekitar pohon dilanjutkan ke areal baru dan terus dilakukan
yang ditebang. Pemeliharaan dilakukan dengan secara berpindah sampai kembali ke areal awal.
menebas dan membakar pelepah kering, Rotasi perladangan dapat lebih dari 30 tahun atau
melakukan penyiangan dan mengurangi atau sesuai dengan kemampuan alam mengembalikan
memindahkan anakan sagu yang tumbuh kesuburan lahan (Anonim, 2001; Warner, 1991).
berdekatan agar tumbuh lebih cepat. Melalui Sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan
aturan ini, hutan sagu dimanfaatkan secara meningkatnya kebutuhan akan lahan, semakin
berkelanjutan. terbatas hutan yang tersedia untuk berladang.
Petani terpaksa melakukan perladangan pada areal
3. Periode kehidupan manusia merusak hutan yang lebih sempit atau dengan rotasi yang lebih
Pada periode ini, manusia membuka hutan pendek. Akibatnya, ketika perladangan kembali ke
untuk memenuhi kebutuhan hidup, seperti: areal awal, kesuburan tanahnya belum
pemukiman, lahan untuk bercocok tanam dan sepenuhnya pulih dan hasil ladang lebih rendah
peternakan, serta pengambilan berbagai hasil dari sebelumnya. Untuk mendapat hasil yang
hutan. Hutan berubah menjadi lahan non hutan sama, petani memperluas ladang garapan, yang
dan sebagian lainnyarusak akibat pengambilan pada waktunya berdampak pada rotasi
hasil hutan yang berlebihan (Suhendang, 2002; perladangan yang semakin pendek. Kelanjutan
Departemen Kehutanan, 1986). dari proses ini adalah hutan yang rusak (Anonim,
Ker usakan hutan untuk memenuhi 2001; Warner, 1991).
kebutuhan manusia diperkirakan telah terjadi Menurut Anonim (2001), melalui proses
sejak masa prasejarah, yang mana suku Indian yang panjang, petani akhirnya mampu mengatasi
menggunakan api untuk membakar hutan agar masalah tersebut melalui tiga cara, yaitu: (a)
menjadi padang rumput untuk memperluas areal meningkatkan efektivitas lahan bera (more effective
perburuan satwaliar. Bangsa-bangsa di Asia fallows), (b) meningkatkan produktivitas lahan
Tenggara membakar hutan sebagai bagian dari bera (more productive fallows) dan (c) kombinasi
kegiatan bercocok tanam. Bangsa-bangsa di keduanya. Efektivitas pemberaan ditingkatkan
Eropa dan Timur Tengah diperkirakan juga dengan menanam tanaman penyubur lahan pada
menghabiskan sebagian besar hutannya melalui ladang yang akan ditinggalkan. Cara ini dilakukan
pola interaksi seperti ini. Kerusakan hutan oleh petani di daerah di mana bahan makanan
meningkat sejalan dengan perkembangan pokok menjadi tujuan utama perladangan.
peradaban manusia, seperti: meningkatnya Dengan pengetahuan yang dimiliki, petani
perdagangan produk pertanian antar bangsa, mulai menyeleksi dan mencoba beragam jenis
meningkatnya kebutuhan perahu kayu sebagai tanaman yang dapat mempercepat pemulihan
sarana transportasi mengarungi samudra dan kesuburan lahan. Pada awalnya, petani meman-
meningkatnya kebutuhan kayu bakar sebagai faatkan pepohonan untuk mengembalikan
sumber energi pembuatan kerajinan logam kesuburan lahan. Upaya ini memberi solusi yang
perunggu, besi, tembaga dan emas (Suhendang, memadai dalam mengatasi menurunnya rotasi
2002; Departemen Kehutanan, 1986). perladangan. Ketika tekanan penduduk ber-

253
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan
Vol. 12 No. 3, Desember 2015: 249 - 262

tambah dan rotasi perladangan bertambah mungkin masih dilakukan untuk memenuhi
pendek, mereka mengetahui bahwa pepohonan sebagian kebutuhan pangan atau untuk
penyubur lahan tidak cukup cepat mengem- memanfaatkan lahan terbuka setelah penebangan
balikan kesuburan lahan dan mereka menemukan pohon yang kayunya dijual. Perkembangan
bahwa tanaman perdu lebih dapat memulihkan produktivitas lahan bera yang berjalan terus
kesuburan lahan. Pada akhirnya, mereka menemu- menerus bermuara pada kegiatan pertanian
kan bahwa tanaman herba legum lebih mampu menetap dikawasan hutan dalam bentuk
mempercepat pemulihan kesuburan lahan. agroforestry kompleks atau yang dikenal sebagai
Dalam perkembangan selanjutnya yang agroforestry (Forestra dan Michon, 2000; Wibawa et
menurunkan rotasi perladangan menjadi sangat al., 2005).
pendek (kurang dari lima tahun), petani tidak Lebih lanjut, kombinasi peningkatan
dapat lagi hanya mengandalkan tanaman untuk efektivitas dan produktivitas lahan bera dilakukan
memulihkan kesuburan lahan. Mereka perlu dengan membagi lahan bera menjadi dua bagian.
tambahan input eksternal (pupuk, pestisida dan Sebagian lahan bera ditanami tanaman bernilai
lainnya) untuk terus dapat menanam tanaman ekonomi dan sebagian lainnya ditanami tanaman
pangan. Perkembangan peningkatan efektivitas penyubur lahan. Cara ini dilakukan oleh petani
lahan bera yang terjadi secara terus menerus yang tinggal di daerah yang cukup maju di mana
menjadi titik awal pertanian menetap di lahan kegiatan ekonomi telah berkembang namun
pertanian. sebagian kebutuhan pangan harus dipenuhi
Sementara itu, peningkatan produktivitas sendiri (Anonim, 2001). Selain melakukan per-
lahan bera dilakukan dengan menanam beragam ladangan, petani memelihara tanaman komersial
jenis tanaman komersial (pohon dan bukan di lahan bera. Hal ini dilakukan pada semua lahan
pohon) pada ladang yang akan ditinggalkan bera sehingga semakin lama, semakin luas ladang
(Anonim, 2001; Warner, 1991; Wibawa et al., bera yang produktif. Dalam kondisi yang
2005). Cara ini digunakan oleh petani di daerah demikian, hasil yang diperoleh petani tidak hanya
yang kegiatan ekonominya terkait dengan pasar, dari ladang garapan namun juga dari lahan bera
baik dalam negeri maupun ekspor. Selain produktif.
melakukan perladangan di areal yang baru, petani Setelah perladangan pada areal yang terakhir,
juga memelihara tanaman yang tumbuh di lahan petani dapat meneruskan perladangan pada areal
bera. Hal ini terus dilakukan pada semua ladang awal, dengan menebang bagian ladang yang
yang ditinggalkan sehingga semakin lama, ditumbuhi tanaman penyubur lahan dan
semakin luas ladang bera yang ditumbuhi tanaman selanjutnya menanami lahan tersebut dengan
komersial. Dalam kondisi yang demikian, hasil tanaman pangan. Sementara itu, bagian ladang
yang diperoleh petani tidak hanya dari ladang yang ditumbuhi tanaman komersial dipelihara.
garapan namun juga dari tanaman komersial yang Perkembangan produktivitas dan efektivitas lahan
tumbuh di lahan bera. Hasil tanaman komersial bera, yang berjalan seiring dengan peningkatan
terus meningkat sejalan dengan meningkatnya pengetahuan petani tentang pemeliharaan ternak,
luas lahan bera produktif. pemupukan, pengolahan lahan dan penyiangan
Setelah melakukan perladangan pada areal rumput gulma, menjadi titik awal budi daya
yang terakhir, petani dapat terus melakukan menetap yang dikenal sebagai agroforestry
perladangan berpindah (kembali ke areal awal dan sederhana, yaitu budi daya yang mengombinasi-
seterusnya) atau melakukan pertanian menetap kan pepohonan atau tanaman berkayu dengan
dengan mengelola lahan bera yang ditumbuhi beragam jenis tanaman selain pohon dan
tanaman komersial. Jika kegiatan perdagangan pemeliharaan ternak.
terus berkembang maka petani akan memelihara Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa
lahan bera lebih intensif, dengan menanam lebih hutan adalah tempat awal berkembangnya budi
banyak pohon dan tanaman lain yang bernilai daya tanaman pangan dan non pangan, yang
ekonomi tinggi. Perladangan secara terbatas dalam perkembangan selanjutnya bermuara pada

254
Analisis Kelayakan Pangan sebagai Hasil Hutan
Triyono Puspitojati

kegiatan pertanian menetap. Di negara-negara Pada periode ini, kelangkaan kayu terjadi di
beriklim sedang, yang mengonversikan hutannya berbagai negara, khususnya negara-negara di
dalam skala luas untuk usaha pertanian, pertanian daerah beriklim sedang. Di Inggris, sebagai
menetap (pangan dan non pangan) hanya dilaku- contoh, kelangkaan kayu sangat terasa sehingga
kan di lahan pertanian. Hutan dikelola hanya menimbulkan kekawatiran akan keberlangsungan
untuk mendapatkan kayu. Hal ini memisahkan masa depan masyarakat Inggris. Oleh karenanya,
tanaman pangan dari hutan (Foresta dan Michon, penasehat raja mengusulkan agar raja Inggris
2000). mempopulerkan moto: “No Wood No Kingdom”
Negara-negara tropis seperti Indonesia juga kepada masyarakat (Suhendang, 2002).
mengikuti langkah negara-negara beriklim sedang Kelangkaan kayu yang melanda banyak
tanpa mempertanyakan kesesuaiannya dengan negara pada saat itu menyebabkan kayu dianggap
kondisi setempat. Hutan alam dan hutan tanaman sebagai hasil hutan yang paling penting. Oleh
dikelola dengan fokus untuk menghasilkan kayu. karenanya, konsep pengelolaan hutan yang
Akibatnya, di negara berkembang juga terjadi pertama kali muncul adalah konsep pengaturan
pemisahan yang tegas antara tanaman pertanian hasil hutan kayu atau konsep kelestarian hasil
dan tanaman kehutanan. Lebih jauh, pemisahan kayu. Konsep ini menjadi cikal bakal konsep
yang tegas tersebut lebih berdasar pada alasan pengelolaan hutan lestari, yang berkembang pada
historis dari pada alasan ilmiah. Akan tetapi karena saat ini (Suhendang, 2002).
telah mapan, pemisahan ini dianggap wajar dan Konsep kelestarian hasil kayu berkembang
masuk akal (Foresta dan Michon, 2000). dalam praktek pengelolaan hutan di Eropa, yang
Meskipun demikian, pemisahan yang tegas kemudian menyebar ke seluruh dunia. Konsep ini
antara tanaman pertanian dan tanaman kehutanan masuk ke Indonesia melalui Pemerintah Hindia
tidak berlaku bagi masyarakat pedesaan, Belanda yang kemudian diimplementasikan dalam
khususnya yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. pembangunan hutan jati di Jawa mulai tahun 1850
Mereka tetap membudidayakan beragam jenis (Simon, 2006; Departemen Kehutanan, 1986).
tanaman kayu-kayuan, tanaman pangan dan non Di negara-negara maju, yang kebutuhan
pangan di hutan (Puspitojati et al., 2014). pangannya dapat sepenuhnya dipenuhi dari lahan
Agroforestry seperti: damar mata kucing di pertanian, periode pembangunan hutan tanaman
Lampung, karet campuran di Sumatera Selatan, ditandai oleh absennya tanaman pangan di hutan.
tembawang di Kalimantan Barat dan kebun Hutan tanaman dikelola secara eksklusif untuk
campuran di Jawa Barat adalah budi daya tanaman kayu, tidak ada hasil lainnya. Hal serupa juga
di hutan yang menghasilkan beragam jenis produk terjadi negara-negara berkembang, yang
pangan dan non pangan (Foresta dan Michon, membangun hutan tanaman dengan fokus untuk
2000; Wibawa et al., 2005). kayu (Foresta dan Michon, 2000).
Di Indonesia khususnya Jawa, tanaman
4. Periode kehidupan manusia memerlukan hutan pangan secara periodik tetap dibudidayakan di
Pada periode ini, manusia menyadari bahwa areal hutan tanaman, yang dibangun dengan
pembabatan hutan dan pengambilan hasil hutan sistem tumpang sari. Dalam sistem ini,
yang berlebihan menyebabkan terjadinya penanaman tanaman kayu-kayuan dilakukan oleh
kerusakan hutan. Di dalam hutan, persediaan hasil petani (disebut pesanggem) yang bekerja tanpa
hutan semakin berkurang dan bahkan menjadi upah namun diperkenankan menanam tanaman
langka atau tidak tersedia. Lebih jauh, hilangnya pangan di antara tanaman kayu-kayuan dan
hutan menimbulkan beragam bencana, seperti: memanen hasilnya untuk mereka sendiri.
erosi, banjir, longsor dan lahan kritis. Hal ini Tanaman pangan seperti: padi, jagung dan kacang-
menimbulkan kesadaran perlunya menjaga kacangan diusahakan oleh petani selama dua
keberadaan hutan serta menanami dan memeli- tahun, sambil memelihara tanaman kayu-kayuan.
hara hutan yang rusak (Suhendang, 2002). Setelah itu, hutan tanaman dikelola sepenuhnya
untuk kayu (Simon, 2006; Departemen Kehu-
tanan, 1986).

255
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan
Vol. 12 No. 3, Desember 2015: 249 - 262

Melalui sistem tumpang sari, pembangunan menunjukkan kemajuan yang berarti. Jenis
hutan tanaman skala luas di Jawa berhasil tanaman pangan yang dibudidayakan tetap
diwujudkan. Sampai tahun 1950-an, keberhasilan tanaman tumpang sari, namun tanaman pangan
pembangunan hutan tanaman masih tinggi lebih lama dibudidayakan di hutan. Pada akhir
namun mulai tahun 1960-an, keberhasilannya tahun 1980-an, mulai dibudidayakan pohon buah-
mulai mengalami penurunan. Hal ini sejalan buahan yang ditanam sebagai tanaman pengisi,
dengan meningkatnya jumlah penduduk, menu- sela dan tepi dalam pengelolaan hutan jati
runnya luas lahan yang dimiliki petani, dan me- (Kartasubrata, 1991).Lebih lanjut, pada per-
ningkatnya jumlah pesanggem atau menurunnya tengahan tahun 1990-an, mulai dibudidayakan
lahan garapan di hutan, yang berdampak pada tanaman pangan yang disebut sebagai “tanaman
menurunnya pangan yang diperoleh setiap petani kehidupan”, yaitu pohon penghasil buah-buahan,
dari hutan. Kegagalan permudaan hutan terjadi biji-bijian atau getah-getahan yang diusahakan
karena petani lebih memperhatikan tanaman dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
pangan (Simon, 2006). masyarakat sekitar hutan (Kepmenhut Nomor
Gangguan hutan yang berupa pencurian kayu P.70 tahun 1995).
juga terus menunjukkan peningkatan. Sampai Perkembangan budidaya tanaman pangan di
tahun 1950-an, pencurian kayu masih bersifat hutan mengalami kemajuan yang berarti sejak awal
musiman, yaitu: (a) pada saat petani kehabisan tahun 2000-an, setelah diluncurkan UU Nomor
modal setelah selesai menanam padi dan (b) pada 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Peraturan
saat petani memerlukan modal untuk hajatan. Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata
Sejak tahun 1960-an, pencurian kayu terjadi Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan
sepanjang tahun sejalan dengan semakin Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan
banyaknya pengangguran di pedesaan (Simon, Kawasan Hutan, serta peraturan-peraturan yang
2006). menjabarkannya. Peraturan perundangan ter-
Upaya mengatasi gangguan hutan tersebut sebut memungkinkan hutan dimanfaatkan
dilakukan melalui banyak cara, antara lain dengan sebagai penyedia pangan (Anonim, 2009).
memodifikasi sistem tumpang sari. Modifikasi
dilakukan dengan memperlebar jarak tanam 5. Periode kehidupan manusia mendambakan
tanaman kayu-kayuan dan membudidayakan hutan
tanaman pangan lebih intensif (menggunakan Pada periode ini, manusia tidak sekedar
bibit unggul, pupuk dan obat-obatan). Tujuannya memerlukan hutan namun mereka mendambakan
adalah meningkatkan pendapatan petani dan keberadaan hutan dalam luasan yang cukup di
memberi waktu yang lebih lama kepada mereka muka bumi. Manusia mendambakan hutan karena
untuk membudidayakan tanaman pangan di hutan menghasilkan beragam barang dan jasa,
hutan. Dengan cara ini, partisipasi masyarakat yang sebagian diantaranya, tidak mungkin
dalam pengelolaan hutan diharapkan meningkat digantikan oleh barang dan jasa yang bersifat
dan hutan lestari (Simon, 2006; Kartasubrata, buatan, atau hasil rekayasa teknologi manusia.
1991). Contoh jasa hutan yang tidak tergantikan adalah
Modifikasi sistem tumpang sari merupakan kemampuan hutan dalam (a) menyediakan udara
titik awal era perhutanan sosial atau social forestry, bersih, sehat dan segar, (b) menyerap emisi gas
atau awal dari perubahan sistem pengelolaan rumah kaca (emisi karbon), (c) memelihara
hutan dari sistem pengaturan hasil kayu yang keragaman hayati dan (d) mengkonservasi tanah
mementingkan kelestarian produksi kayu menjadi dan air (Suhendang, 2002; Murdiyarso, 2003).
sistem perhutanan sosial yang mementingkan Di Indonesia, periode kehidupan manusia
kelestarian fungsi dan manfaat hutan bagi mendambakan hutan terjadi pada saat periode
masyarakat (Puspitojatiet al., 2012). Dalam tiga kehidupan manusia memerlukan hutan dan
dekade pertama perhutanan sosial, perkembangan periode-periode sebelumnya masih berlangsung
budi daya tanaman pangan di hutan belum (Suhendang, 2002). Dalam kondisi demikian,

256
Analisis Kelayakan Pangan sebagai Hasil Hutan
Triyono Puspitojati

Tabel 1. Tipe-tipe hutan tanaman dan hasil hutan tanaman


Table 1. Forest estates types and their products
Landasan peraturan
Item (Items) Uraian (Description)
(Laws bases)
A. Kategori Tanaman Pohon, perdu, palem, bambu, tanaman semusim · UU Nomor 41 tahun
(Plants Category) 1999;
· Permenhut Nomor P.35
tahun 2007
B. Hutan Tanaman 1. Hutan tersusun terutama dari pepohonan yang · FAO ( 2010);
(Forest Estate) dibangun melalui penanaman dan atau penyemaian, · Permenhut Nomor P.03
luas > 0,25 ha, penutupan tajuk ≥ 40% dan tinggi tahun 2004;
pohon> 5 m. · Permenhut Nomor P.14
2. Maksimum jarak tanam: 4mX4m untuk pohon lebar tahun 2004; dan
tajuk 3 m sampai 11m X 11m untuk pohonlebar tajuk 8
· Puspitojati (2011)*
m.
1. Monokultur 1. Hutan tanaman penghasil satu jenis kayu · Permenhut Nomor P.23
(Monoculture) tahun 2007;
2. Hutan tanaman penghasil satu jenis HHBK · Permenhut Nomor P.36
tahun 2008
2. Campuran (Mixed) 1. Hutan tanaman penghasil 2 atau lebih jenis kayu · PP Nomor 6 tahun 2007
2. Hutan tanaman penghasil 2 atau lebih jenis HHBK jo PP Nomor 8 tahun
(produk pohon selain kayu) 2008;
3. Hutan tanaman penghasil kayu dan HHBK · Permenhut Nomor 614
tahun 1999;
· Permenhut Nomor 36
tahun 2008;
· Permenhut Nomor 23
tahun 2007
3. Polikultur/Agroforestri 1. Hutan tanaman polikultur (agroforestry) adalah hutan · PP Nomor 6 tahun 2007
(Polyculture/Agroforestry) tanaman yang ditumbuhi tanaman hutan yang berupa jo PP Nomor 8 tahun
pohon dan bukan pohon. 2008;
· Permenhut Nomor P.7
2. Hutan tanaman yang menghasilkan produk dari pohon tahun 2007;
dan bukan pohon. · PermenhutNomor P. 49
tahun 2008;
· PermenhutNomor P. 28
tahun 2011;
· PermenhutNomorP. 19
tahun 2012;
· Puspitojati (2011)*
C. Produk HutanTanaman 1. Hasil hutan flora dan fauna, dan turunan serta budi daya · UU Nomor 41 tahun
(Products of Forest Estate) yang diperoleh dari hutan. 1999;
· Permenhut Nomor P.35
2. Hasil dari pohon (kayu dan HHBK), serta hasil dari tahun 2007
tanaman perdu, palem, bambu dan tanaman semusim
dan hewan)
Sumber (Sources): Puspitojati (2013)

Keterangan (Remarks): Puspitojati, T. (2011). Persoalan definisi hutan dan hasil hutan bukan kayu (HHBK) dalam
hubungannya dengan pengembangan HHBK melalui hutan tanaman.Jurnal Analisis Kebijakan
Kehutanan, 8(3), 210-227.

257
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan
Vol. 12 No. 3, Desember 2015: 249 - 262

pengelolaan hutan di Indonesia tidak hanya dan biji-bijian, seperti: nangka, mangga, alpukat,
dilakukan untuk menghasilkan jasa lingkungan manggis, melinjo, petai dan jengkol, sampai (c)
yang dibutuhkan oleh masyarakat dunia melain- tanaman industri, seperti: kopi dan vanili (Perum
kan juga untuk menghasilkan beragam jenis hasil Perhutani KPH Bandung Selatan, 2011;
hutan lainnya, yang dibutuhkan oleh masyarakat Dwiprabowo et al., 2011; Ediningtyas, 2007;
Indonesia. Rachmawati, 2008; Anonim, 2009; BPPT, 2011;
Dalam hubungannya dengan pangan, Puspitojati dan Idin, 2012). Tanaman pangan
periode ini ditandai oleh dua hal. Pertama, tersebut dibudidayakan di areal hutan tanaman,
Kementerian Kehutanan diharapkan berkontri- yaitu: HKm, HTI, HTR, hutan tanaman HHBK
busi dalam penyediaan pangan (Peraturan dan Hutan Desa (Permenhut Nomor P.23 tahun
Pemerintah Nomor 68 tahun 2002) dan Menteri 2007; Permenhut Nomor P.49 tahun 2008;
Kehutanan diharapkan membantu merumuskan Permenhut Nomor P.36 tahun 2008; Permenhut
kebijakan untuk mewujudkan ketahanan pangan Nomor P.55 tahun 2011; Permenhut Nomor P.19
(Peraturan Presiden Nomor 83 tahun 2006). tahun 2012; Kepmenhut Nomor P.70 tahun
Kedua, tersedia landasan kebijakan yang men- 1995). Hal ini menunjukkan bahwa hutan
dorong budidaya tanaman pangan di hutan. Tabel tanaman telah dirancang agar dapat dikelola untuk
1 menunjukkan bahwa tanaman pangan dapat pangan, baik secara berkala maupun berkelan-
dibudidayakan secara monokultur, campuran dan jutan, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
agroforestri. Selanjutnya, Tabel 2 menunjukkan masyarakat sekitar hutan dan keberhasilan
persentase areal hutan tanaman yang dialokasikan pengelolaan hutan.
untuk budi daya tanaman pangan. Di beberapa daerah, khususnya Jawa,
Saat ini, beragam jenis tanaman pangan telah pengelolaan hutan untuk pangan (dalam arti luas)
dibudidayakan di hutan, mulai dari (a) tanaman tidak hanya melibatkan pengusaha kehutanan,
penghasil karbohidrat dan protein, seperti: padi, masyarakat dan instansi kehutanan namun juga
jagung, singkong, sagu, kedelai, porang dan pemangku kepentingan lain yang sebelumnya
kacang tanah, (b) tanaman penghasil buah-buahan kurang berpartisipasi dalam pengelolaan hutan.

Tabel 2. Areal hutan tanaman yang dialokasikan untuk tanaman pangan (dan tanaman HHBK lain)
Table 2. Forest estate areas alocated for food plants (and other NWFP plants)
Hutan tanaman Areal yang dialokasikan untuk Tanaman pangan yang dibudi dayakan
tanaman pangan
(Forest Estate) (Food plants cultivated)
(Areas alocated for food plants)
HTI (Industrial forest estate) Sekitar 5% Tanaman kehidupan dan tanaman tumpang
sari
HKm yang dikelola Perum Sesuai kesepakatan perusahaan dan Tanaman PHBM dan tanaman tumpang sari
Perhutani (Community forestry masyarakat
managed by Perum Perhutani)
HTR (Rural forest estate) < 40% Tanaman budi daya tahunan berkayu dan
tanaman tumpang sari
Hutan Desa(Village forest) Tidak ditentukan Tanaman pangan yang berupa pohon,
palem, perdu dan tanaman semusim
HT-HHBK (NWFP-forest 100% Semua tanaman penghasil pangan
estate)

Sumber (Sources): Permenhut Nomor P.23 tahun 2007; Permenhut Nomor P.49 tahun 2008; Permenhut Nomor P.36 tahun
2008; Kepmenhut Nomor P.70 tahun 1995; Perum Perhutani (2001)

258
Analisis Kelayakan Pangan sebagai Hasil Hutan
Triyono Puspitojati

Di Jawa Barat, kopi dibudidayakan di hutan (Periode I) dan terus berlanjut hingga periode
lindung oleh masyarakat dan perusahaan. Budi kehidupan manusia mendambakan hutan atau saat
daya kopi berkembang dengan cepat karena ini (Periode V). Pada periode I dan II, hutan
mendapat dukungan,baik langsung maupun tidak menjadi sumber pangan utama atau satu-satunya.
langsung, dari Pemerintah Daerah, Dinas Pada Periode III, hutan menjadi tempat awal
Perkebunan, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao berkembangnya budi daya tanaman pangan. Pada
Jember dan Asosiasi Pedagang dan Eksportir Periode IV, tanaman pangan dibudidayakan pada
Kopi Jawa Barat. Melalui budi daya kopi di bawah saat permudaan hutan. Pada Periode V, atau saat
tegakan hutan tersebut, 2.637 ha areal hutan ini,tanaman pangan yang berupa pohon, palem,
lindung di KPH Bandung Selatan yang rusak perdu dan tanaman semusim dibudidayakan di
(akibat perambahan hutan untuk usaha pertanian) areal-areal: hutan tanaman industri, hutan tanam-
dapat dipulihkan (Puspitojati dan Idin, 2012). an rakyat, hutan desa, hutan kemasyarakatan dan
Di Jawa Timur, Kementerian Pertanian hutan tanaman HHBK. Oleh karena itu, pangan
bekerjasama dengan Perum Perhutani dan yang diperoleh dari hutan seharusnya dicatat
masyarakat, membudidayakan kedelai di bawah secara formal dan ditetapkan sebagai hasil hutan.
tegakan jati umur 1–4 tahun pada tahun 2012. Penetapan pangan yang didapat dari areal
Produksi kedelai dari kawasan hutan adalah 1,9 – hutan sebagai hasil hutan akan mendorong
2,0 ton per ha, atau lebih tinggi dibanding rata-rata pengembangan tanaman pangan di dalam
produksi kedelai nasional yang hanya mencapai kawasan hutan, yang berdampak positif terhadap
1,2 ton per ha. Kegiatan ini direncanakan akan pembangunan kehutanan dan pembangunan
diperluas dalam rangka mendukung swasembada nasional. Pengembangan tanaman pangan di
kedelai pada tahun 2014. Untuk mewujudkan dalam kawasan hutan akan meningkatkan
rencana tersebut, Kementerian Pertanian telah kesempatan kerja di dalam kawasan hutan, yang
menginventarisasi ribuan hektar lahan hutan yang berdampak pada meningkatnya partisipasi
sesuai untuk tanaman kedelai dan akan masyarakat dalam pengelolaan hutan dan
meluncurkan varietas kedelai tahan naungan pada keberhasilan pengelolaan hutan. Lebih lanjut,
tahun 2013 (Badan Litbang Pertanian, 2012 ; Ozal, pengembangan tanaman pangan di hutan akan
2012). meningkatkan kontribusi kehutanan dalam
Meskipun tanaman pangan telah dibudi- mendukung ketahanan pangan, yang berdampak
dayakan di hutan dalam luasan yang berarti, pada pada meningkatnya dukungan berbagai pihak
umumnya kontribusi kehutanan dalam dalam pembangunan kehutanan.
mendukung penyediaan pangan secara formal Mengingat hutan memiliki potensi besar
tidak diakui karena tidak tercatat dalam statistik dalam menghasilkan pangan maka pengembangan
perusahaan maupun statistik kehutanan (Anonim, tanaman pangan di hutan perlu dikoordinasikan
2009). Perusahaan yang mencatat hasil pangan dengan pengembangan tanaman pangan di lahan
dari hutan hanya Perum Perhutani, yaitu pertanian.
perusahaan yang mengelola hutan negara di Jawa
dan Madura. Pada tahun 2011, perusahaan ini
menghasilkan pangan sebanyak 13,5 juta ton IV. KESIMPULAN DAN SARAN
senilai Rp 9 trilyun. Bahan pangan yang dihasilkan
adalah gabah 856.802 ton, jagung 7 juta ton, A. Kesimpulan
kacang-kacangan 638.441 ton dan bahan pangan
Pemanfaatan hutan sebagai sumber pangan
lain 5 juta ton (Anonim, 2012).
terus berlangsung dalam lima periode kehidupan
manusia berinteraksi dengan hutan. Saat ini,
C. Rekomendasi Kebijakan
tanaman pangan dalam kategori pohon, palem,
Pemanfaatan hutan sebagai sumber pangan perdu dan tanaman semusim telah dibudidayakan
telah berlangsung sejak periode kehidupan di areal-areal: hutan tanaman industri, hutan
manusia sepenuhnya bergantung pada hutan tanaman rakyat, hutan desa, hutan tanaman

259
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan
Vol. 12 No. 3, Desember 2015: 249 - 262

HHBK dan hutan kemasyarakatan. Berdasarkan Departemen Kehutanan. (1986). Sejarah kehutanan
realitas tersebut, pangan yang diperoleh dari hutan Indonesia I: Periode pra sejarah – 1942. Jakarta:
layak ditetapkan sebagai hasil hutan. Departemen Kehutanan.
Dwiprabowo, H., Effendi, R., Hakim, I., &
B. Saran Bangsawan, I. (2011). Kontribusi kawasan
Pangan yang diperoleh dari hutan seharusnya hutan dalam menunjang ketahanan pangan:
ditetapkan sebagai hasil hutan dan secara formal Studi kasus propinsi Jawa Barat. Jurnal
dicatat dalam statistik lingkungan hidup dan Analisis Kebijakan Kehutanan, 8(1),41-67.
kehutanan. Ediningtyas, D. (2007). Kemandirian masyarakat desa
sekitar hutan dalam melakukan usaha agroforestri:
Studi kasus usaha agroforestri tanaman kopi di
UCAPAN TERIMA KASIH BKPH Pangalengan, KPH Bandung Selatan,
Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten.
Terima kasih saya sampaikan kepada Kepala (Thesis). Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial,
Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim, dan FAO. (2010). Global forest resource assessment 2010:
Dewan Redaksi atas kesempatan dan bantuannya Terms and definitions. Working paper 144/E.
menerbitkan karya tulis ilmiah ini. Rome: Forestry Department Food and
Agriculture Organization of The United
Nations.
DAFTAR PUSTAKA Foresta, H. dan G. Michon. (2000). Agroforestry
Indonesia: Beda sistem beda pendekatan
Anonim. (2012). Hutan untuk pangan. Majalah Dalam Foresta, H.,et al. (Eds). (2000). Ketika
Kehutanan Indonesia Edisi IV Tahun 2012. kebun berupa hutan: Agroforestri khas
Anonim. (2009). Pangan dari hutan: Kontribusi sektor Indonesia. Jakarta: SMT Grafika Desa
kehutanan dalam mendukung ketahanan pangan Putera.
nasional. Makalah disampaikan dalam Seminar Kartasubrata, J. (1991). Kehutanan masyarakat
Nasional Hari Pangan Sedunia, 12 Oktober dalam menunjang pengadaan dan peng-
2009. Diunduh 10 Januari 2013 dari anekaragaman pangan. Dalam: Kartasubrata,
www.dephut.go.id. J. (Ed). (2003). Social forestry dan
agroforestrydi Asia (Buku I). Bogor: Fakultas
Anonim. (2001). Shifting cultivation toward
Kehutanan IPB.
sustainability and resource conservation in Asia.
Cavite: International Institute of Recons- Kementerian Pertanian. (2013). Statistik makro
truction. sektor pertanian 2013. Jakarta: Pusat Data dan
Sistem Informasi Pertanian, Sekretariat
Badan Litbang Pertanian. (2012). Pengembangan Jenderal-Kementerian Pertanian.
kedelai di kawasan hutan jati: Upaya konkrit
mendukung swasembada kedelai 2014. Diunduh Keputusan Menteri Kehutanan Nomor P.70/
15 Mei 2012 dari www.litbang.go.id. Menhut-II/1995 tentang Pengaturan Tata
Ruang Hutan Tanaman Industri.
Belcher, B.M. 2003. Comment: What isn't an
NTFP? International Forestry Review, 5(2), 161- Murdiyarso, D. (2003). Protokol Kyoto: Implikasi bagi
168. negara berkembang. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas.
BPPT. (2011). Seratus ribu bibit sagu ex-vitro BPPT
ditanam di Riau. Diunduh 12 april 2012 dari Nair, C.S.T. (1993). Status of research on non
www.bppt.go.id. wood forest products: The Asia Pacific
Situation. Forestry Paper Appendix 4.4.3. Rome:
FAO.

260
Analisis Kelayakan Pangan sebagai Hasil Hutan
Triyono Puspitojati

Nurrochmat, D.R., Hasan, M.F., Suharjito, D., …, Perum Perhutani KPH Bandung Selatan. (2011).
& Ryandi, E.D. (2012). Hutan sebagai sumber Rekapitulasi hasil hutan bukan kayu 2011.
pangan dan obat bahan alam. Dalam (Laporan, Tidak diterbitkan). Bandung:
Nurrochmat, D.R & Hasan, M.F. (Eds.). Perum Perhutani KPH Bandung Selatan.
Ekonomi politik kehutanan:Mengurai mitos dan
fakta pengelolaan hutan. (Cetakan Kedua, Edisi Puspitojati, T. (2011). Persoalan definisi hutan dan
Revisi). Jakarta: INDEF. hasil hutan bukan kayu (HHBK) dalam
hubungannya dengan pengembangan
Ozal, D. (2012). Mentan optimis swasembada kedelai HHBK melalui hutan tanaman.Jurnal Analisis
2014 tercapai. Diunduh 31 Januari 2013 dari Kebijakan Kehutanan, 8(3), 210-227.
kompas.com.
Puspitojati, T. (2013). Kajian kebijakan
Peraturan Menteri Kehutanan No. P.23/Menhut- pengembangan pangan di areal hutan
II/2007 tentang Hutan Tanaman Rakyat. tanaman dalam rangka mendukung swasem-
Peraturan Menteri Kehutanan No. P.49/Menhut- bada pangan. Jurnal Analisis Kebijakan
II/2008 tentang Hutan Desa. Kehutanan,10(2), 134-148.

Peraturan Menteri Kehutanan No.P.36/Menhut- Puspitojati, T. dan Idin Saefudin. (2012). Kajian
II/2008 tentang Izin Usaha Pemanfaatan pengelolaan hutan lindung bersama dengan
Hasil Hutan Bukan Kayu dalam Hutan Alam masyarakat. Makalah disampaikan dalam
(IUPHHBK-HA) atau dalam Hutan Seminar Agoforestri III di Yogyakarta
Tanaman (IUPHHBK-HT). Tanggal 29 – 30 Mei 2012.

Peraturan Menteri Kehutanan No.P.55/Menhut- Puspitojati, T., Mile, Y., Fauziah, E., dan
II/2011 tentang Tata Cara Pemanfaatan Izin Darusman, D. (2014). Hutan Rakyat:
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Sumbangsih Masyarakat Pedesaan untuk
Hutan tanaman Rakyat dalam Hutan Hutan Tanaman. Yogyakarta: Penerbit PT
Tanaman. Kanisius.

Peraturan Menteri Kehutanan No.P.19/Menhut- Puspitojati, T., Darusman, D., Tarumengkeng, R.,
II/2012 tentang Perubahan Kedua atas dan Purnama, B. (2012). Preferensi
Peraturan Menteri Kehutanan No.P.62/ pemangku kepentingan dalam pengelolaan
Menhut-II/2008 tentang Rencana Kerja hutan produksi: Studi kasus di KPH Bogor.
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 9(2), 96-
Tanaman Industri dan Hutan Tanaman 113.
Rakyat. Rachman, E., Alhamid, H, dan Leppe, D. (2000).
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 Manajemen tradisional dan pemanfaatan
tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana jenis-jenis tanaman pangan kehutanan di
Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan wilayah Jayapura Irian Jaya. Buletin Penelitian
Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. Kehutanan Manokwari, 5(2),1-12.

Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 Rachmawati, E. (2008). Kemitraan antara Perum
tentang Ketahanan Pangan. Perhutani dengan petani vanili dalam upaya
meningkatkan pendapatan petani: Studi kasus
Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2006 pengelolaan hutan bersama dengan masyarakat di
tentang Dewan Ketahanan Pangan. Desa Padasari, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten
Perum Perhutani. (2001). Pedoman penelolaan Sumedang. (Thesis). Bogor: Sekolah Pasca-
sumberdaya hutan bersama dengan masyarakat sarjana IPB.
(PHBM). Jakarta: Direksi Perum Perhutani.

261
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan
Vol. 12 No. 3, Desember 2015: 249 - 262

Rajal, R. 2006. Analitical Review of the Definition of with particular emphasis on NWFP from
Non Timber Forest Products. Diunduh 10 Mediterranean. Diakses 10 Oktober 2010 dari
Oktober 2010 dari www.forestrynepal.org. resource.ciheam.org.
Simon, H. (2006). Hutan jati dan kemakmuran: Warner, K. (1991). Shiftingcultivators: Local technical
Problema dan strategi pemecahannya. Yogyakarta: knowledge and natural resource management in the
Pustaka Pelajar. humid tropics. Rome: FAO.
Suhendang, E. (2002). Pengantar ilmu kehutanan. Wibawa, G., Hendratno, S., dan van Noordwijk,
Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan M. (2005). Permanent smallholder rubber
IPB. agroforestry system in Sumatera, Indonesia.
Dalam Cheryl, et al. (Eds.). (2005). Slash and
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
burn agriculture: The search for alternatives.
Kehutanan.
New York: Colombia University Press.
Vantomme, P. 2007. FAO's global programme on the
development of non wood forest products (NWFP),

262

Anda mungkin juga menyukai