Anda di halaman 1dari 44

Airway Breathing Circulation

MANAGEMENT

1
JALAN NAFAS (AIRWAY)

TUJUAN PEMBELAJARAN :

1. Memahami anatomi jalan nafas


2. Memahami dan mampu melakukan tatalaksana jalan nafas dasar
3. Memahami indikasi dan mampu melaksanakan tatalaksana jalan
nafas definitif

PENDAHULUAN

Tindakan resusitasi pada pasien manapun, tatalaksana jalan nafas


merupakan prioritas utama. Tatalaksana pernafasan (breathing) atau
sirkulasi (circulation) tidak dapat dilanjutkan jika pasien tidak memiliki jalan
nafas yang paten. Meskipun tatalaksana jalan nafas telah dilakukan di awal,
pada pasien yang tidak ada perkembangan atau mengalami pemburukan,
harus selalu dimulai lagi dengan penilaian dan tatalaksana jalan nafas.

ANATOMI FUNGSIONAL JALAN NAFAS

Jalan Nafas Atas

Jalan nafas atas didefinisikan sebagai ruangan yang membentang dari


hidung hingga ke mulut dan turun ke kartilago krikoid, sedangkan jalan
nafas bawah mengacu pada struktur trakeobronkial.

Kavitas Nasal

Saat melakukan pernafasan normal pada kondisi sadar, udara yang dihirup
bergerak melalui dan dilembabkan oleh kavitas nasal. Kavitas nasal dibatasi
oleh tulang di lateral termasuk oleh tiga turbin (konka) dan di medial oleh
septum nasal. Deviasi septum sering terjadi dan mengganggu pada
pemasangan tube endotrakeal via nasal. Ruang di antara turbin inferior dan
dasar dari kavitas nasal disebut jalan nafas nasal utama dengan orientasi

2
sedikit mengarah ke bawah. Pada prosedur nasal intubasi, tube harus
diarahkan lurus ke arah belakang dan sedikit ke inferior. Dengan teknik ini
akan membantu melewati area terlebar dari jalan nafas di nasal, tepat di
bawah konka inferior. Kavitas nasal memiliki banyak vaskularisasi, terutama
di area anterior dari septum nasal. Beberapa literature menyarankan agar
mengarahkan bevel dari endotracheal tube menyusuri septum untuk
meminimalisir potensial perdarahan akibat rusaknya pleksus Kiesselbach.

Anatomi jalan nafas atas:


A. Konka Inferior
B. Jalan nafas nasal utama
C. Vallecula
D. Epiglottis
E. Tulang hyoid
F. Ligamen hypoepiglottic
G. Kartilago thyroid
(laring)
H. Kartilago krikoid

Naso-, Orofaring dan Mandibula

Kavitas nasal berakhir di posterior pada akhir dari septum nasal. Ruangan
dari struktur ini hingga ke palatum disebut nasofaring. Orofaring meluas ke
belakang dari lipatan palatoglossus, turun ke epiglottis. Orofaring dan
nasofaring merupakan area yang umumnya mengalami penyempitan atau

3
sumbatan total jalan nafas pada pasien yang penurunan kesadaran, dimana
hilangnya tonus otot yang berperan dalam menjaga patensi jalan nafas
mengakibatkan pergeseran ke posterior dari palatum, lidah dan epiglottis.
Ilmu klasik yang diajarkan adalah jatuhnya lidah ke dinding faring posterior
mengakibatkan terjadinya sumbatan jalan nafas pada pasien penurunan
kesadaran, namun faktanya, sumbatan jalan nafas dapat terjadi pada ketiga
lokasi struktur yang disebutkan di atas.

A. Jalan nafas paten pada


pasien dalam kondisi
sadar
B. Jalan nafas pada pasien
dengan penurunan
kesadaran, terjadi
obstruksi jalan nafas
fungsional oleh
palatum,lidah dan
epiglottis yang jatuh ke
dinding posterior faring

Bentuk mandibula yang menonjol berfungsi mengurangi obstruksi jalan


nafas yang terjadi. Bentuknya yang menyerupai tapal kuda membentang ke
arah superior melalui dua ramus dan berakhir di prosesus koronoid dan
caput condylus. Caput condylus berartikulasi dengan tulang temporal pada
sendi temporomandibular (temporomandibular joint/TMJ). Pergerakan

4
kondilus ke arah anterior dari TMJ membolehkan mandibula digeser ke
depan. Hal ini sangat penting untuk dua alasan:

 Dikarenakan inferior dari lidah melekat pada mandibula,


pergerakan ke arah anterior dari rahang dapat mengelevasi lidah
menjauhi dinding posterior faring, dan membantu membebaskan
jalan nafas pada pasien dengan penurunan kesadaran
 Pada saat dilakukan laringoskopi, bilah laringoskop akan
menggerakkan mandibula ke arah depan, membantu menggeser
lidah dan membebaskan lapang pandang ke inlet laring

Laringofaring

Struktur laringofaring terletak dari epiglottis turun hingga ke batas inferior


dari kartilago krikoid. Pada kedua sisi laring, terdapat recessus piriformis,
sedangkan esophagus terletak di posterior laring. Laring yang terletak tepat
pada pintu masuk dari trakea berada setinggi vertebra servikal IV, V dan VI,
menyerupai sebuah struktur berbentuk kotak yang kompleks dan terdiri
dari berbagai sendi kartilago, ligamen dan otot. Kartilago utama yang
terlibat antara lain kartilago krikoid, thyroid dan epiglottis. Terletak paling
anterior di garis tengah adalah kartilago thyroid dihubungkan ke tulang
hyoid oleh membrane thyrohyoid dan berartikulasi di inferior dengan
kartilago krikoid. Kartilago krikoid merupakan batas terbawah dari struktur
laring. Tulang hyoid dan kartilago thyroid dan krikoid dapat dipalpasi di
anterior leher. Pita suara terletak tepat di belakang dari kartilago thyiroid
dan kartilago arytenoid. Kartilago krikoid berperan penting dalam
manajemen jalan nanfas dikarenakan:

 Sifatnya yang kaku, dengan memberikan tekanan ke arah posterior


pada kartilago krikoid dapat menutup jalur dari esophagus,
membantu mencegah regurgitasi pasif dari isi lambung
 Area tersempit dari jalan nafas pada pasien pediatrik dan
merupakan area yang potensial terjadinya sumbatan akibat edema

5
atau terjadinya kongenital stenosis subglotik. Penyempitan di area
subglotik ini juga dapat menghambat masuknya tube endotrakeal
 Kartilago krikoid, bersama dengan kartilago thyroid merupakan
penunjuk penting untuk menentukan membrane krikothyroid,
dalam penanganan jalan nafas surgikal

Jalan Masuk Laring (Laryngeal Inlet)

Klinisi harus cukup fasih dengan bagian-bagian dari jalan masuknya laring
saat melakukan visualisasi laringoskopi. Sepasang pita suara merupakan
target visualisasi dan diidentifikasi berdasarkan warnanya yang putih dan
membentuk bangunan segitiga.

Anatomi laryngeal inlet: (dilihat


dengan laringoskopi)
A. Lipatan glossoepiglottic
medial dan lateral
B. Vocal folds (True cords)
C. Vestibular folds (false
cords)
D. Aryepiglottic folds
E. Kartilago posterior
F. Interarytenoid notch
G. Esophagus
H. Recessus piriformis
I. Vallecula
J. Epiglottis

Untuk mengekspose pita suara, tip lengkung dari laringoskop (Macintosh)


dimajukan perlahan menuju vallecula hingga menyentuh ligament
hipoepiglottik. Tekanan pada ligament ini dengan bilah tip akan membantu
mengangkat epiglottis sehingga didapatkan pandangan langsung ke dalam
laring. Usaha mengangkat lidah sebelum mencapai ligament hipoepiglottik

6
sering berakibat sulitnya lapang pandang ke glottik. Epiglottis merupakan
penanda utama pada manajemen jalan nafas, patokan telah menemukan
awal dari jalan masuk laring.

Sumbu Jalan Nafas

Pada posisi anatomis, sumbu kavitas oral membentuk sudut tegak lurus
terhadap faring dan trakea. Agar dapat mendapatkan visualisasi yang bebas
dengan laringoskopi, sudut ini harus ditingkatkan membentuk sudut 180 o.
Sumbu faring dan trakea dapat disejajarkan dengan cara fleksi pada spina
servikalis terendah pada pertemuan servikothroraks, sedangkan sumbu
oral dan faring/trakea disejajarkan dengan cara ekstensi pada pertemuan
atlantooccipital. Visualisasi akhir dilakukan dengan laringoskopi dengan
cara mengangkat mandibula ke arah anterior dan menggeser lidah.
Pensejajaran sumbu dengan pengaturan posisi yang tepat dapat
mengurangi kebutuhan menggeser lidah saat laringoskopi, dan mengurangi
tenaga yang dibutuhkan untuk mengekspose pita suara. Jika tidak ada
trauma servikal, sumbu jalan nafas dapat disejajarkan dengan meletakkan
selimut yang dilipat untuk mengekstensikan kepala dengan melakukan
posisi “sniffing”.

Jalan Nafas Bawah

Trakea membentang dari batas inferior kartilago krikoid hingga ke batas


dari vertebra thoraks VI, kemudian membagi menjadi bronkus kanan dan
kiri. Trakea memiliki panjang sekitar 12 hingga 15 cm pada orang dewasa
dan terdiri dari kartilago yang berbentuk huruf C tersusun secara vertikal
oleh jaringan fibroelastik dan dibatasi di posterior oleh otot vertikal trakea.
Bronkus kanan lebih pendek dan lebih vertikal dibanding bronkus kiri,
sehingga sering sekali tube endotrakeal yang dimasukkan terlalu dalam
mengarah ke bronkus kanan. Cara menghindari terjadinya intubasi ke
bronkus kanan dengan memastikan ETT masuk tidak melebihi 23 cm pada
sudut gigi dewasa pria 21 cm pada dewasa wanita, dimana ukuran ini

7
menggambarkan rata-rata jarak gigi ke carina sebesar 27 dan 23 cm pada
dewasa pria dan wanita.

Kesejajaran sumbu oral dan


faringeal/trakeal

A. sebelum
B. sesudah meletakkan
pasien dalam posisi
“sniffing”

Kesejajaran terakhir dari


semua sumbu jalan nafas
setelah penggeseran dari
lidah dan mandibula diangkat
ke depan dengan laringoskop

8
MENILAI JALAN NAFAS

Sebelum memulai tatalaksana jalan nafas pada pasien manapun, sangat


penting untuk menilai secara cepat dan mengidentifikasi pasien yang
kemungkinan sulit untuk dilakukan ventilasi dan atau intubasi. Jika ada,
mintalah bantuan.

Beberapa prediktor kunci jalan nafas sulit antara lain :

Sulit melakukan Ventilasi dengan Bag Valve Mask (BVM) – “MOANS”

 M = Mask Seal (kumis, darah atau vulnus di daerah wajah yang


mempersulit pemakaian mask seal)
 O = Obesitas
 A = Age (lebih sulit melakukan ventilasi pada pasien lansia)
 N = No teeth (Jika menggunakan gigi palsu jangan dicopot atau
berikan sumpalan beberapa buah kasa dalam rongga mulut)
 S = Stiff Lungs/Snoring (mis. COPD/Asthma)

Sulit intubasi – “LEMON” law

 Look Externally – misalkan, trauma maksillofasial, trauma


penetrasi ke leher, trauma tumpul ke leher, dan identifikasi
kesulitan-kesulitan untuk ventilasi.
 Evaluate 3-3-2
 3 yang pertama – jarak 3 jari yang dapat dicapai pada
pembukaan mulut
 3 yang kedua – jarak 3 jari dari mentum ke tulang hyoid
 2 – jarak 2 jari dari batas atas kartilago thyroid dan batas
dalam mentum (thyromental)
 Mallampati score – berkorelasi dengan visualisasi laring
 Obstruction – adanya benda-benda asing di jalan nafas, rusaknya
struktur jalan nafas

9
 Neck Mobility – untuk keberhasilan ventilasi, leher pasien harus
diposisikan “sniffing morning air position” yaitu fleksi pada servikal
dan ekstensi pada sendi atlantooccipital. Adanya hambatan
mobilitas leher pada pasien traumatic yang harus diimobilisasi
servikal dan pasien dengan arthritis sitemik.

Diagram Mallampati Score

TEKNIK MEMPERTAHANKAN JALAN NAFAS

Menggunakan Alat Bantu Jalan Nafas Tambahan

 Chin lift / jaw thrust untuk membuka jalan nafas. Tips : tidak
boleh dilakukan ekstensi leher pada pasien dengan kecurigaan
cedera tulang leher

Manuver jaw thrust dengan


menggunakan dua tangan

10
 Ventilasi dengan Bag Valve Mask – merupakan teknik terpenting,
namun kurang dikuasai pada manajemen jalan nafas. Teknik
ventilasi dengan menutup rapat masker wajah hanya dapat
dicapai dengan menggunakan dua tangan pada masker, dan selalu
menggunakan orofaringeal tube.
 Suction atau singkirkanlah benda-benda asing di jalan nafas
dengan teknik finger swap
 Orofaringeal tube – membantu pada ventilasi peri-intubasi, tidak
disarankan digunakan pada pasien dengan reflek menelan yang
masih intak

Memilih ukuran oropharyngeal


yang tepat

1 2 3

Secara bertahap pemasangan oropharingeal tube 1. Memasukkan dengan posisi


menghadap ke atas, 2. OPA diputar, 3. Posisi terakhir OPA

11
 Nasofaringeal tube – umumnya lebih ditolerir pada pasien yang
mengalami penurunan kesadaran sementara (mis. post ictal, post
procedural sedasi, intoksikasi)

1 2

3 4

Secara bertahap pemasangan NPA : 1. Memberi pelumas pada NPA, 2.


Memasukkan NPA ke hidung dengan posisi bevel menyusuri septum, 3. Setengah
masuk; NPA diputar diantara jari, 4. Posisi akhir NPA

 Laryngeal mask airway (LMA) – alat bantu ini dimasukkan melalui


mulut dan mempunyai cuff yang dapat menutup hipofaring. LMA
mempunyai sebuah saluran yang memungkinkan ventilasi. Variasi
lainnya adalah Intubating LMA – dimana alat ini memungkinkan
pemasangan endotrakeal tube melalui saluran ventilasinya. LMA
digunakan sebagai “rescue device” pada gagal intubasi dan
sebagai alat bantu jalan nafas primer.

12
1 2

3 4

Secara bertahap pemasangan LMA : 1. Memulai memasukkan LMA dengan lengkungan


menghadap ke bawah, 2. Masukkan hingga mencapai batas tangan, 3. Dengan tangan lainnya
mendorong LMA lebih lanjut hingga terasa tahanan, 4. Mengembangkan balon pengunci LMA

Jalan Nafas Definitif

Jalan nafas definitif adalah penempatan endotrakeal tube di saluran trakea


dengan cuff yang telah dikembangkan sebagai pengunci. Endotrakeal tube
dengan cuff tidak menjamin tidak terjadinya aspirasi namun menurunkan
resiko tersebut. Jalan nafas definitif dapat dicapai melalui intubasi
nasotrakeal atau endotrakeal dan melalui krikotiroidotomi surgikal atau
perkutan

INDIKASI MELAKUKAN INTUBASI

13
Indikasi untuk melakukan intubasi – “ABC” :

 A – Failure of maintenance or protection of Airway


Patensi jalan nafas dikonfirmasi dengan meminta pasien untuk
berbicara. Kemungkinan tidak patennya jalan nafas bila suara
parau, stridor dan penurunan kesadaran. Refleks muntah tidak
sensitif dan tidak spesifik sebagai indikator hilangnya kemampuan
menjaga jalan nafas. Adanya sekresi saliva yang berkumpul dalam
rongga mulut diakibatkan ketidakmampuan untuk menelan
merupakan indikator yang lebih sensitif untuk mengevaluasi
patensi jalan nafas
GCS yang rendah bukanlah merupakan indikasi untuk melakukan
intubasi orotrakeal
 B – Failure of Breathing (providing ventilation or oxygenation)
Ketidakmampuan pada pasien untuk melakukan ventilasi mis.
status asthmaticus dan oksigenasi mis. edema paru akut.
Dibutuhkannya ventilasi tekanan positif untuk mengkoreksi
kondisi-kondisi tersebut.
 C – Predicted or anticipated deterioration in Clinical course
Pada beberapa kasus dimana intubasi dini dilakukan untuk
mencegah penurunan kondisi lebih lanjut saat pasien menjalani
tindakan dimana akan sulit untuk melakukan intubasi mis. Pasien
cedera kepala yang mengalami penurunan saat sedang CT-Scan
atau pasien dengan trauma inhalasi yang mengalami edema
hebat, pasien dengan cedera maksilofasial.

PERTIMBANGAN KHUSUS DI UNIT GAWAT DARURAT

Tatalaksana jalan nafas di unit gawat darurat biasanya terjadi pada kondisi
mendesak. Beberapa hal ini harus diingat pada saat penanganan, karena
dapat mempengaruhi rencana tatalaksana jalan nafas:

14
 Waktu yang sempit untuk menilai jalan nafas, mengumpulkan data
mengenai penyakit penyulit dan riwayat pasien
 Kendali yang kurang dibandingkan kondisi elektif
 Pasien umumnya dengan kondisi hemodinamik tidak stabil
 Semua pasien dipertimbangkan dalam kondisi gaster masih terisi,
sehingga meningkatkan resiko aspirasi
 Pasien biasanya mengalami penurunan kesadaran, dari apatis
hingga yang agitatif akibat pengaruh alcohol, obat-obatan dan
cedera kepala
 Cedera dan instabilitas pada trauma spinal harus diprediksi terjadi
pada pasien dengan trauma mayor
 Pertimbangan ini mengharuskan adanya modifikasi pada
tatalaksana jalan nafas tingkat dasar maupun lanjut
 Ketika melakukan intubasi pada pasien dengan
kecurigaan cedera servikal, lepaskan bagian depan
cervical collar dan stabilisasi secara manual pada leher
oleh asisten (in-line manual stabilization). Cervical collar
dapat dipasang kembali begitu tube telah terpasang.

15
Algoritme Manajemen Jalan Nafas

TEKNIK LARINGOSKOPI

1. Pastikan persiapan yang tepat sudah dilakukan dan pasien


diletakkan pada posisi yang tepat “sniffing position”.
2. Laringoskop dipegang oleh tangan kiri dan dimasukkan perlahan-
lahan ke dalam mulut dengan menyusuri sudut kanan lidah pasien
dan menggeser lidah ke sebelah kiri pasien.
3. Majukan laringoskop perlahan-lahan ke dasar lidah.

16
4. Identifikasi epiglottis merupakan point penting. Kesalahan yang
sering terjadi adalah memasukkan dengan cepat dan terlalu dalam
bilah laringoskop, sehingga gagal mengidentifikasi epiglottis.
5. Setelah epiglottis dapat teridentifikasi, dudukkan tip laringoskop di
valecula.
6. Angkatlah laringoskop sesuai dengan sumbu handle laringoskop.
Jangan mengungkit laringoskop ke belakang ke arah operator.
7. Setelah epiglottis terangkat, seharusnya pita suara juga dapat
langsung teridentifikasi.
8. Tanpa mengalihkan perhatian dari pita suara, mintalah asisten
untuk memberikan tube endotracheal ke tangan kanan operator.
9. Tube dimasukkan dari sebelah kanan mulut pasien menyusuri
bilah laringoskop dan pastikan jalan masuknya tidak menutupi
pandangan ke pita suara.
10. Sangat penting sekali memvisualisasi tanda tip pada tube
endotrakeal saat melalui pita suara.
11. Setelah tanda tip tube endotrakeal telah diyakinkan melewati pita
suara, mintalah asisten untuk menarik stylet dan pastikan
kedalaman tube terakhir.
12. Kembangkan cuff dan konfirmasi dengan auskultasi paru dan
dengan end-tidal CO2.
13. Lanjutkan penanganan post intubasi yaitu konfirmasi tube dengan
rontgen dada, analgesik dan sedasi dan lanjutkan resusitasi.

TIPS BILA LARINGOSKOPI SULIT ATAU TIDAK BERHASIL

 Apakah posisi pasien sudah cukup optimal? Ketepatan kesejajaran


3 sumbu yaitu sumbu kavitas oral, faring dan trakea sangat
penting untuk memfasilitasi intubasi yang lancer dan atraumatik.
Pertimbangkan menggunakan konsep tragal line untuk
menentukan posisi yang tepat dari kepala dan leher pasien yaitu

17
memastikan tragus terletak anterior dari garis imajiner yang
ditarik ke bahu atau setingkat dengan dinding anterior pasien

 Gunakan bilah lurus bila epiglottis panjang dan datar (long and
floppy)
 Apakah asisten yang melakukan Sellick maneuver menekan jalan
nafas dan mengganggu visualisasi titik-titik penting
 BURP (Backward, Upward, Rightward, Pressure) terhadap
pergeseran dari laring.

18
RAPID SEQUENCE INTUBATION (RSI)

Menurut sejarahnya, RSI berasal dari Rapid Sequence Intubation


(anesthesia) dan digunakan untuk meminimalisir resiko aspirasi pada
pasien surgikal yang belum sempat puasa. Di emergency medicine, RSI
mengacu pada Rapid Sequence Intubation. Perbedaan yang bersifat
semantik hanya pada lokasi dan tujuannya, di ruang operasi dilakukannya
intubasi untuk memberikan anestesi sedangkan di IGD dilakukannya
anestesi untuk memfasilitasi intubasi endotrakeal.

RSI adalah pemberian agen induksi poten setelah preoksigenasi yang


segera diikuti oleh pemberian neuromuskuler relaksan onset cepat untuk
menginduksi penurunan kesadaran dan paralisis motorik sebagai fasilitasi
untuk intubasi endotrakeal.

RSI semakin sering dan secara luas digunakan dalam setting


kegawatdaruratan. Advanced Trauma Life Support (ATLS) saat ini juga
mendukung penggunaan RSI untuk fasilitasi tatalaksana jalan nafas pada
pasien trauma. RSI memiliki keuntungan sebagai berikut:

 RSI tidak bergantung pada respon dan kerjasama pasien, dengan


persiapan yang tepat dapat terlaksana secara efisien
 Relaksasi otot-otot skeletal memfasilitasi kondisi yang tepat untuk
laringoskopi dan intubasi
 Penggunaan obat-obatan selama RSI dapat membantu mengatasi
repson fisiologis terhadap laringoskopi dan intubasi seperti reflek
muntah dan peningkatan tekanan intracranial (ICP), nadi jantung
dan tekanan darah
 RSI memiliki tingkat kesuksesan cukup tinggi pada mereka yang
berpengalaman dengan teknik tersebut

Kerugian yang ditimbulkan oleh RSI, terutama jika diterapkan pada pasien
yang salah dan operator yang tidak berpengalaman adalah kondisi tidak

19
dapat diintubasi dan tidak dapat diventilasi (can’t intubate, can’t
ventilate). Penggunaan obat dan dosis premedikasi, induksi dan muskuler
relaksan yang salah juga dapat menimbulkan morbiditas.

RSI merupakan suatu proses yang melibatkan beberapa tahapan (7P)

I. Preparation
II. Preoxygenation
III. Pre-Treatment
IV. Paralysis with induction
V. Protection and Positioning
VI. Placement and Proof
VII. Postintubation Management

PREPARATION

1. Pasien harus ditangani di ruang resusitasi


2. Monitor: EKG, pulse oksimetri, tanda-tanda vital tiap 5 menit
3. Siapkan agen sedasi dan paralisis
4. Siapkan peralatan tatalaksana jalan nafas seperti stylet, beberapa
ukuran bilah laringoskop, orofaringeal tube atau peralatan
krikotiroidotomi harus tersedia segera
5. Siapkan rencana cadangan bila kamu gagal mengintubasi
6. Asisten yang handal
7. Siapkan 2 jalur akses intravena
8. Selalu siap mengantisipasi muntah pada semua pasien. Jika pasien
muntah, ada 3 manuver untuk menanganinya:
a. Suction segera dengan Yankeur suction
b. Putar posisi pasien ke lateral atau posisi recovery
(kontraindikasi pada pasien dengan cedera spinal)
c. Tempatkan pasien dalam posisi Tredelenburg (jika
memungkinkan)

20
9. Penilaian jalan nafas yang sulit harus dilakukan. Ingat “LEMON”
law

PREOXYGENATION

1. Preoksigenasi adalah usaha untuk membentuk reservoir oksigen


dalam paru-paru dan tingkat jaringan sehingga membolehkan
terjadinya apnoea selama beberapa menit tanpa mengakibatkan
desaturasi oksigen.
2. Pemberian oksigen 100% dengan NRM selama 5 menit akan
mengganti nitrogen dari kapasitas residual fungsional dalam paru-
paru dengan oksigen, sehingga memungkinkan beberapa menit
apnoea sebelum SpO2<90% (dewasa muda 70 kg, waktu apnoea
dapat mencapai 8 menit). Jika pasien tidak dapat mencapai SpO 2
>95%, maka CPAP dengan NIV dapat digunakan (diset pada 5-15
cm H2O)
3. Jika pasien tidak dapat dilakukan preoksigenasi selama 5 menit
sebelum pemberian muscle relaksan, maka berikan oksigenasi
sebanyak 3 hingga 5 kali kapasitas vital pasien dengan cepat
dengan menggunakan sumber oksigen 100%
4. Pasien sebaiknya dilakukan preoksigenasi dalam kondisi elevasi
kepala (sekitar 20%) bila memunngkinkan. Pada pasien trauma
spinal dapat dioksigenasi dalam posisi reverse Tredelenburg.
5. Apnoeic Oxygenation dapat memperpanjang waktu apnoea yang
aman selama percobaan intubasi. Teknik ini menggunakan nasal
canul yang diset pada 15 L/min, dan terpasang hingga selesai
memfiksasi tube. Perlu diperhatikan, bahwa meskipun oksigenasi
dapat dilakukan tanpa ventilasi namun kadar karbondioksida akan
terus meningkat selama periode apnoea.

21
PRE-TREATMENT

1. Langkah ini adalah pemberian obat-obatan unutk memitigasi efek


samping yang berhubungan dengan intubasi
2. Diberikan lebih kurang 3 menit sebelum intubasi

Obat-obatan pretreatment untuk RSI


Lignocaine Untuk penyakit jalan nafas yang reaktif
(1.0 – 1.5 mg/kb) (“tight lungs”) atau dengan
peningkatan tekanan intracranial
(“tight brain”)
Fentanyl Ketika harus menumpulkan respon
(2 mcg/kg diberikan dalam 30-60 detik simpatik (TIK yang tinggi, aorta diseksi,
rupture aorta, penyakit jantung
iskemik)

PARALYSIS WITH INDUCTION

1. Langkah ini merupakan langkah paling vital dari seluruh rentetan


2. Pemberian obat-obatan induksi dengan bolus cepat diikuti bolus
cepat obat-obatan muscle relaksan

Catatan tentang obat-obatan induksi


Nama obat Onset Durasi Keuntungan Kerugian Penggunaan
(Dosis) khusus
Midazolam 120–180 dtk 0.5–2 jam Sedatif amnestik Hipotensi
(0.2-0.3 Supresi napas
mg/kg)
Etomidate 15–30 dtk 15–30 mnt Serebroprotektif Kemungkinan Cedera kepala
(0.3 Stabil adrenal supresi Pasien
mg/kg) hemodinamik hipotensif
Ketamin 15–30 dtk 15–30 mnt Pelepasan Peningkatan PAsien
(2 mg/kg) katekolamin TIK bronkospastik
Analgesik Pasien
Amnestik hipotensif
tanpa
peningkatan
TIK

22
PROTECTION AND POSITIONING

1. Manuver Sellick atau melakukan tekanan pada kartilago krikoid


saat ini bukan merupakan keharusan.
2. Pasien sudah diposisikan untuk melakukan laringoskopi

PLACEMENT AND PROOF

1. Penempatan tube di dalam trakea harus dikonfirmasi dengan


monitor end tidal CO2
2. Tekanan krikoid dilepaskan setelah dikonfirmasi letak tube yang
tepat dan tube sudah difiksasi

POSTINTUBATION MANAGEMENT

1. Fiksasi tube endotrakeal


2. Hubungkan ke ventilator mekanik
3. Lakukan rontgen dada untuk memastikan kedalaman posisi tube.
Cara paling cepat mengetahui ketepatan kedalaman tube adalah
memastikan ujung proksimal cuff berada 2-3 cm distal dari pita
suara atau tepat berada pada garis hitam penanda pada tube
4. Periksa tekanan darah. Perhatian kejadian hipotensi pasca intubasi
5. Filosofinya adalah ‘analgesia always, sedation often , paralysis
sometimes’. Nyeri post intubasi dan pasien terbangun harus
dihindari. Infus fentanyl atau propofol akan memfasilitasi kondisi
post intubasi yang adekuat. Fentanyl lebih stabil secara
hemodinamik dibandingkan propofol. Pertimbangkan penggunaan
fentanyl pada pasien yang mungkin akan mengalami hipotensi
oleh propofol.

23
URUTAN RSI DALAM HITUNGAN MUNDUR

Waktu (menit) :

-5.00: Preparation
-5.00: Preoxygenation
-3.00: Pretreatment (Pertimbangkan menggunakan lignocaine dan
fentanyl)
0.00: Paralysis with induction
+0.30: Protection
+0.45: Placement and proof
+1.00: Postintubation management
+10.00: CXR to check depth of ETT placement

24
PERNAFASAN (BREATHING)

TUJUAN PEMBELAJARAN :

1. Memahami dan mengembangkan pola pendekatan yang


terstruktur terhadap penanganan masalah pernafasan
2. Memahami dan menggunakan pemeriksaan fisik terfokus dan alat-
alat bantu lainnya untuk mengidentifikasi masalah pernafasan
3. Memahami dan dapat menggunakan modalitas yang ada terkait
penanganan masalah pernafasan

PENDAHULUAN

Setelah jalan nafas (airway), maka prioritas berikutnya dalam resusitasi


(ABC) adalah penilaian dan tatalaksana permasalahan pernafasan.
Permasalahan ‘breathing’ meliputi semua hal yang berhubungan dengan
sesak nafas hingga disfungsi respirasi, dimana hal-hal ini merupakan
permasalahan umum yang sering ditemui di Instalasi Gawat Darurat.

Permasalahan airway dan breathing sangat sulit dibedakan satu dan lainnya
dan biasanya penilaian dilakukan secara bersamaan. Tentu saja tatalaksana
jalan nafas dilakukan terlebih dulu kemudian pernafasan dan yang terakhir
adalah sirkulasi dalam resusitasi karena tidak mungkin memperbaiki pompa
kecuali pompa tersebut dapat mentransportasikan darah yang
teroksigenasi ke jaringan.

PENDEKATAN

Penyebab dari distress nafas dan dyspneu sangat banyak. Disarankan untuk
melakukan penanganan dengan pendekatan terbaik melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik daripada mempelajari daftar panjang penyakit-penyakit
yang mungkin dapat menjadi diagnosanya. Berikut ini merupakan daftar
dari penyebab yang bersifat mengancam nyawa dan harus segera
teridentifikasi dan ditangani :

25
 Emboli paru
 Edema paru
 Eksaserbasi akut dari COPD
 Asthma berat yang akut
 Tension Pneumothoraks

Setelah mempertimbangkan dan menyingkirkan kemungkinan diagnosa


yang mengancam nyawa barulah dilakukan pendekatan secara anatomi
untuk mengidentifikasi penyebab dari gangguan nafas.

PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik melalui komponen klasik pemeriksaan fisik yaitu:


inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.

Setelah problem jalan nafas telah tertangani, frekuensi dan pola


pernafasan merupakan petunjuk penting dari penyakit yang mendasari.
Takipneu terjadi pada hamper semua kondisi penyakit – baik intrapulmoner
maupun ekstrapulmoner. Bradypneu klasik terhadap intoksikasi opiate atau
problem cranial. Beberapa pola penting misalny Kussmaul atau pernafasan
apneustik merupakan indikator problem metabolik atau neurogenik. Baik
hipoksia dan hiperkarbia dapat menyebabkan agitasi, anxietas dan
penurunan kesadaran. Perhatikan dengan seksama mekanika pernafasan
seperti ekspansi dada, penggunaan otot pernafasan aksesori, pernafasan
paradoksikal, retraksi dan kemampuan menyebut kata-kata. Tanda-tanda
ini mengindikasikan disfungsi pernafasan yang signifikan dan perlunya
penanganan segera. Sianosis adalah tanda bahaya dan kondisi yang muncul
terakhir (kecuali pada kondisi intrapulmoner kronik atau shunt
intrakardiak). Lihatlah adanya bekas operasi di area dada sebagai petunjuk
penyakit atau gangguan paru.

Dengan palpasi kita dapat menemukan emfisema subkutis di area sekitar


leher atau dada, yang mengindikasikan pneumomediastinum atau

26
pneumothoraks. Periksalah posisi trakea apakah berada di tengah, jika
tidak berarti sesuatu mengakibatkan pergeseran seperti udara, cairan atau
lesi massa pada paru. Perkusi dapat membantu menentukan, hiperresonan
akibat adanya udara atau pneumothoraks sebagai penyebabnya. Perkusi
yang redup bisa akibat adanya efusi pleura atau hemothoraks.

Auskultasi yang dilakukan normal, hilangnya atau menurunnya suara


pernafasan dapat mengarahkan ke penyebab disfungsi pernafasan.
Wheezing diakibatkan adanya bronkospasme sekunder dari asthma, COPD,
CHF atau aspirasi benda asing. Crackles mengindikasikan CHF, pneumonia
atau penyebab patologis kronis dari paru. Pleural friction rubs
mengindikasikan pneumonia atau emboli paru.

Meskipun penilaian klinis mengenai fungsi pernafasan cukup membantu,


tes tambahan juga masih dibutuhkan. Tes ini antara lain pulse oximetry,
analisa gas darah dan tes fungsi paru.

PULSE OXIMETRY

Pulse oksimetri memberikan data oksigenasi arterial secara


berkesinambungan, segera dan non invasive. Merupakan tes bedside yang
penting karena dapat dengan segera menentukan status oksigenasi pasien
dan mengindikasikan perlunya dilakukan analisa gas darah atau tidak. Pulse
oksimetri mengukur saturasi hemoglobin bukan pO2, melalui
spektrofotometrik yang menggambarkan perbandingan oksigenasi versus
deoksigenasi hemoglobin dalam darah melalui aliran darah aksesibel dan
pulsatil. Dengan menggunakan kurva dissosiasi oksihemoglobin dapat
memperkirakan pO2 pada nilai saturasi berapapun. Pada SaO2 90% sama
dengan pO2 sekitar 60 mmHg. Di bawah level saturasi ini maka memasuki
kurva curam dan pO2 akan segera turun dengan drastis. Oleh karena alasan
inilah mengapa saturasi oksigen dipertahankan di atas angka 90%.

27
Ketepatan pulse oksimetri bergantung pada aliran darah pulsatil yang
adekuat. Oleh karena itu, kondisi syok, anemia berat, hypothermia dan
penggunaan vasopressor dapat mengganggu pengukuran. Ikterus,
pigmentasi kulit dan pewarna kuku dapat mempengaruhi hasil bacaan.

ANALISA GAS DARAH ARTERIAL ATAU VENA

Analisa gas darah merupakan tes yang berguna karena memberikan


penilaian yang akurat dari fungsi respirasi, informasi yang diberikan
meliputi kecukupan oksigenasi alveolar (pO2), ventilasi (pCO2), dan status
asam basa pasien, termasuk apakah kondisi pernafasan dalam keadaan
akut atau kronik. Analisa gas darah vena memberikan penilaian yang
mendekati penilaian dari analisa gas darah arterial yaitu pH, CO2 dan
bikarbonat. Meskipun analisa gas darah cukup akurat, namun
menyebabkan kesakitan yang luar biasa pada pasien saat pengambilan
sampel. Oleh karena itu analisa gas darah vena dapat diukur terlebih
dahulu dan cukup untuk penilaian klinis.

GAGAL NAFAS AKUT

Gagal nafas akut adalah kegagalan dari paru-paru untuk melakukan


oksigenasi dan/atau mengeluarkan karbondioksida dengan adekuat.

 Gagal nafas akut tipe 1 yaitu keadaan dimana tekanan oksigen


parsial arterial (pO2) < 60 mmHg
 Gagal nafas akut tipe 2 yaitu keadaan dimana tekanan
karbondioksida parsial arterial (pCO2) > 55 mmHg dengan atau
tanpa kegagalan oksigenasi

Pasien dengan gagal nafas akut tipe 2 akan tampak tenang dan nyaman
sekali dan tidak selalu takipneu. Jika pasien hiperkarbia tampak lemas maka
pasien yang hipoksik sering agitasi dan kadang-kadang melawan. Jangan
pernah memperbaiki PaCO2 yang tinggi pada pasien dengan gagal nafas
akut tipe 2 yang terkompensasi jika mereka mempunyai pH normal. Jangan

28
sering memberikan sodium bikarbonat pada pasien dengan pH yang rendah
akibat retensi karbondioksida, karena akan memperparah asidosis
respiratori yang terjadi. Selalu memberikan oksigen sebanyak yang
dibutuhkan untuk mengkoreksi hipoksia (SaO2 di atas 90-92%) pada COPD
tanpa takut menghilangkan hypoksik drive dikarenakan hipoksia akan
membunuh lebih dulu daripada hyperkarbia.

MODALITAS TERAPI

Hipoksemia bersifat merusak jaringan dan dapat fatal bila tidak terkoreksi.
Perbaikan segera hipoksemia sangat penting. Hipoksemia dapat ditangani
dengan suplementasi oksigen. Beberapa metode pemberian oksigen yang
ada antara lain dengan menggunakan alat yang memberikan oksigen dalam
konsentrasi yang tetap dan yang memberikan oksigen dalam konsentrasi
yang bervariasi. (lihat tabel)

Peralatan yang digunakan untuk terapi oksigen


Nama alat Karakteristik Keuntungan Kerugian Indikasi
Nasal canul  Aliran rendah  Mudah  FiO2 tidak akurat  Pasien hipoksia
(1-6L/min) digunakan  Maks FiO2 <40% ringan
 FiO2 0.24-0.40  Nyaman bila  Pasien dengan
pasien ingin riwayat retensi CO2
bicara atau
makan
Simple mask  Aliran rendah  Memberikan  Kurang nyaman  Pasien dengan
(5-10L/min) oksigen lebih  Mengganggu bicara hipoksia moderat
 FiO2 0.35-0.50 tinggi atau makan yang tidak memiliki
dibandingkan  Dapat terjadi inhalasi riwayat COPD
nasal canul CO2 bila aliran terlalu
rendah
Venturi mask  Aliran tinggi  FiO2 yang  Membutuhkan dua  Pasien yang
hingga 60 L/min diberikan lebih kali pengaturan dan membutuhkan terapi
 FiO2 0.24-0.50 akurat beresiko bila salah oksigen terkontrol
 Maks FiO2 50% diaplikasikan mis. pasien COPD
 Komplians rendah
 Sulit makan dan bicara
 Dapat terjadi inhalasi
CO2 bila aliran terlalu
rendah
Non-rebreather  Aliran rendah  Maks FiO2 80%  Komplians rendah  Membutuhkan FiO2
mask (6-15L/min)  Obstruksi jalan nafas tinggi untuk
 FiO2 0.50-0.80 bila ada muntahan mengkoreksi
 Clautrophobia hipoksia

29
Bag Valve Mask (BVM)

Alat ini dapat digunakan untuk memberikan suplementasi oksigen secara


manual kepada pasien yang dapat bernafas secara spontan namun
membutuhkan bantuan pernafasan. Ada berbagai variasi jenis yang paling
sering digunakan ‘AMBU BAG’. BVM terdiri dari masker wajah dari plastic
atau karet yang dapat dikembangkan, sebuah kantung konektor yang
mengandung O2 dan cadangan (reservoir O2) terhubung ke kantung
tersebut dank e sumber O2. BVM dapat memberikan O2 100% dengan
aliran yang tinggi O2 dan prosedur memompa yang tepat. Sebuah alat
bantu jalan nafas oral atau nasal dapat dipakai untuk memfasilitasi ventilasi
jika dapat ditoleransi oleh pasien.

Teknik ventilasi BVM satu orang,


ibu jari dan telunjuk membentuk
huruf C dan menekan masker
sedangkan jari tengah, manis
dan kelingking membentuk huruf
E dan mengangkat mandibula

Teknik ventilasi BVM dua orang


lebih meyakinkan masker
menutup rapat wajah dan
mencegah bocornya udara

30
Alternatif teknik ventilasi BVM
dua orang dimana bagian tangan
yang menekan masker adalah
thenar, dengan teknik ini dapat
melakukan ventilasi dalam waktu
yang lebih lama

Teknik ventilasi BVM dua orang


dengan maneuver jaw thrust
dilakukan untuk pasien dengan
curiga trauma spinal

BVM juga digunakan pada pasien yang mengalami gagal nafas hingga
modalitas terapi lainnya dapat diterapkan. Namun sebagian besar pasien
yang menggunakan modalitas terapi ini biasanya membutuhkan intubasi
dan ventilasi mekanik. Keputusan untuk melakukan ventilasi mekanik
berdasarkan pada kondisi klinis pasien. Pada pasien dengan distress nafas
berat, jangan menunggu analisa gas darah untuk mengkonfirmasi tindakan
yang harus dilakukan.

CPAP Mask / BIPAP Mask

CPAP (continuous positive airway pressure) adalah modalitas terapi lainnya


yang akhir-akhir ini sering digunakan untuk penanganan pasien dengan
distress nafas. Yang paling sering digunakan adalah untuk penanganan
pasien dengan CHF dan COPD berat. Jenis ventilasi mekanik yang non

31
invasif ini dapat menunda kebutuhan intubasi bahkan dapat menurunkan
insidensi pasien yang membutuhkan dukungan ventilasi mekanik invasif.

MODALITAS TERAPI LAINNYA

Needle thorakostomi dapat meringankan gejala tension pneumothoraks


hingga dilakukannya pemasangan chest tube. Tube thorakostomi
merupakan penanganan pada pneumo atau hemothoraks dan mengalirkan
efusi pleura.

TERAPI FARMAKOLOGIS

Beberapa terapi medis yang diterapkan pada penyakit spesifik. Misalnya


pemakaian bronkodilator pada asthma/COPD, diuretik pada CHF, antibiotik
pada pneumonia, antikoagulasi/trombolitik pada emboli paru.

32
SIRKULASI (CIRCULATION)

TUJUAN PEMBELAJARAN :

1. Mengidentifikasi shock menggunakan pemeriksaan fisik


2. Memahami penyebab-penyebab shock
3. Memahami manajemen dari berbagai tipe shock

PENDAHULUAN

Sistem sirkulasi bekerja memastikan sel-sel tubuh tersuplai oleh darah yang
kaya oksigen dan nutrisi, dan membuang produk akhir. Shock didefinisikan
sebagai abnormalitas sirkulasi yang menyebabkan terjadinya hipoperfusi
jaringan yang jika tidak dikoreksi maka berakibat kematian sel. Hipotensi
adalah keadaan dimana tekanan darah yang rendah. Meskipun hipotensi
sering digunakan untuk menggambarkan keadaan shock, orang yang
terbiasa hipotensi belum tentu dalam kondisi shock dan orang dengan tensi
normal dapat berada dalam kondisi shock.

Komponen penyebab shock Gangguan


Pompa Jantung kanan Obstruksi inflow  Tamponade cordis
(Kardiogenik)  Tension Pneumothoraks
Bilik jantung Gagal jantung kanan (iskemik,
sekunder terhadap gagal
jantung kiri)
Obstruksi Emboli paru
outflow
Jantung kiri Bilik jantung Gagal jantung kiri (iskemi,
kardiomiopati)
Katup Ruptur muskulus papillaris
Arrhytmia  Bradikardi
 Takikardi
Pembuluh darah  Shock septic
(Vasogenik, Distributif)  Shock anafilaktik
 Shock neurogenik
Darah Shock hipovolemik
(Hipovolemik, Distributif) (perdarahan, dehidrasi)
Toksin (karbonmonoksida,
sianida)

33
PENYEBAB-PENYEBAB SHOCK

Sistem sirkulasi terdiri dari dua pompa yang terhubung dengan jantung
kanan dan jantung kiri, sebuah sistem saluran pembuluh darah dan cairan
yang bersirkulasi yaitu darah. Penyebab shock dapat dimengerti dengan
menilai berbagai komponen dari sistem sirkulasi dan gangguan yang
mempengaruhinya. Berikut ini kondisi yang menggambarkan gangguan
sirkulasi sebagai penyebab shock (lihat tabel)

MENGIDENTIFIKASI SHOCK

Shock memiliki banyak penyebab, dan berbagai presentasi klinis. Namun,


banyak gambaran hipoperfusi yang dapat dikenali secara mudah dengan
pemeriksaan fisik langsung.

Status Kesadaran

Tanda awal : agitasi akibat naiknya tonus simpati, tanda telat : lemas
hingaa adanya gangguan perfusi ke saraf sentral

Nadi

Takikardi secara umum sensitif terhadap kehilangan akut dari volume


darah sekitar 12-15%. Kecuali pada kondisi seperti bradikardi primer,
pasien yang mengkonsumsi beta bloker dan pada beberapa kasus
perdarahan intraperitoneal.

Adanya pulsasi yang teraba dapat memberikan perkiraan kasar terhadap


tekanan darah sistol. Jika pulsasi radial teraba, tekanan sistol melebihi 80
mmHg. Jika pulsasi femoral teraba, tekanan sistol melebihi 70 mmHg. Jika
nadi karotis teraba, tekanan sistol melebihi 60 mmHg

Tekanan darah

34
Hipotensi merupakan penanda yang kurang sensitif terhadap kondisi
hipoperfusi jaringan. Pada kasus shock hemoragik, penurunan tekanan
darah belum terjadi hingga kehilangan darah mencapai 30% dari total
volume darah. (Sebaliknya, hipotensi juga dapat terjadi tanpa adanya
shock)

Tanda-tanda vital orthostatik

Penilaian perubahan nadi dan tekanan darah pada pasien yang berubah
dari posisi supine ke posisi duduk atau berdiri digunakan untuk
mengidentifikasi hipovolemia ringan. Tidak ada kesepakatan terhadap
perubahan yang dianggap sebagai respon positif dan test ini bersifat
insensitif dan nonspesifik terhadap penilaian status volume. Pengukuran
tanda-tanda vital orthostatik tidak boleh dilakukan pada pasien yang
hemodinamiknya potensial tidak stabil.

Frekuensi Pernafasan

Takipneu terjadi sebagai respon terhadap peningkatan tonus simpatik dan


asidosis metabolik. Ini merupakan tanda-tanda awal dari shock
hipovolemik. Respon takipneu mungkin dapat tidak terjadi sebagai respon
terhadap depressan sistem saraf sentral atau trauma kepala.

Kulit

Kulit akan tampak pucat dan dingin sesegera mungkin ketika terjadinya
shunting ke organ vital. Sianosis perifer baru akan muncul kemudian.
Pengecualian terhadap aturan ini adalah pada shock vasogenik, ketika kulit
akan teraba hangat akibat vasodilatasi perifer. Pada tahap lanjut dari shock
vasogenik sudah terjadi depresi output jantung sehingga terjadi perubahan
hipoperfusi ke kulit.

Capillarey Refill Time : hasil positif terjadi bila kuku jari yang ditekan
membutuhkan waktu > 2 detik untuk kembali ke warna merah muda dan

35
dikatakan terjadi pada kondisi kehilangan darah akut sebanyak 15% dari
total volume darah

Suara Jantung

Suara jantung muffles dapat ditemukan pada pasien dengan tamponade


cordis

Tekanan Vena Jugular

Rendah : Hipovolemik, Sepsis

Tinggi : Gagal jantung kiri, Permasalahan pompa jantung kanan

ULTRASONOGRAFI BEDSIDE

Pencitraan ultrasonografi yang dikerjakan di Unit Gawat Darurat adalah alat


bantu yang penting dalam mengidentifikasi penyebab shock. Ultrasonografi
dapat segera mendeteksi perdarahan intraabdominal, hipovolemia
(pengisian IVC), tamponade pericardial atau disfungsi ventrikel kanan
(emboli paru).

PENANGANAN UMUM

ABC + Monitoring

 Penilaian jalan nafas dan pernafasan terlebih dahulu


 Monitor oksigen dan saturasi
 Monitor jantung
 Akses intravena dan mengirim darah ke lab (crossmatch jika
perdarahan); laktat
 Mengontrol perdarahan eksternal yang terjadi dengan cara
menekan langsung pada luka
 Pemasangan kateter foley – monitor urine output
 Penilaian dari parameter klinis perfusi jaringan meliputi:

36
o Tekanan darah, nadi, respirasi, tingkat kesadaran, kulit
o Monitor invasive: Pengukuran CVP, arterial line, ScvO2

PENANGANAN SPESIFIK DARI SHOCK HEMORAGIK

 ABC
 Jika dibutuhkan kontrol aktif perdarahan internal, segeralah
konsulkan ke bedah sambil melakukan resusitasi – jangan
menunggu hingga pasien stabil atau hasil lab darah jadi
 Isi kembali volume darah yang bersirkulasi. Pengisian segera
volume sirkulasi darah merupakan faktor kritis untuk menangani
shock. Pada shock perdarahan, begitu juga tipe shock lainnya,
resusitasi cairan dimulai dengan pemberian cairan infus kristaloid
yang dihangatkan. Pergunakan sekurang-kurangnya dua buah
kateter yang besar dan pendek (kecepatan aliran berbanding
terbalik terhadap panjang kateter dan sebanding dengan ukuran
diameter kateter)

Akses perifer (yang dianjurkan):


Peralatan : abocath no 16 atau lebih besar
Lokasi : lengan bawah atau cubiti

Akses sentral:
Peralatan : introducer 8FR yang dipasang dengan teknik Seldinger
Lokasi : vena femoral, vena jugularis interna, vena subclavia

Cairan :
 Ringer laktat atau normal salin
 1-2 liter diberikan dengan cepat (20ml/kg BB)
 Perkiraan membutuhkan sekitar 3 kali volume jumlah darah
yang hilang

Darah (packed RBC)


 Jika tidak ada respon atau respon sementara terhadap 2-3L
cairan

37
Platelet dan FFP
 Pada pasien dengan kehilangan darah yang signifikan,
pemberian transfusi platelet dan FFP sedini mungkin dapat
memperbaiki outcome. Beberapa institusi memiliki protocol
transfuse darah massif
Kecukupan resusitasi cairan dinilai dengan parameter klinis dari perfusi
jaringan seperti output urine. Pengukuran dari tekanan vena sentral
cukup menolong. Penggantian volume cairan yang adekuat sangat
penting, namun pemberian yang berlebihan dari kebutuhan adalah
berbahaya. Awasi tanda-tanda timbulnya edema paru akut
(kardiogenik dan non-kardiogenik)

PENANGANAN SPESIFIK DARI SHOCK NON HEMORAGIK

Shock Anafilaktik

Epinefrin (IM, IV jika terjadi kolaps kardiovaskular)


Kristaloid intravena
Antihistamin (H1 dan H2 blocker)
Kortikosteroid
Wheezing : Nebul dengan beta 2 agonis
Stridor : Nebul epinefrin

Shock kardiogenik

Inotrop, intra-aortik balon, angioplasty emergency

Tension Pneumothoraks

Thorakostomi dengan jarum dilanjutkan dengan chest tube

Shock septik
Kristaloid intravena
Antibiotik

38
Goal directed therapy di IGD menurunkan mortalitas pada pasien
sepsis:
Output urine > 0.5 mL/kg/jam
CVP 8 hingga 12 mmHg
MAP 65 hingga 90 mmHg
ScvO2 > 70%
Terapi definitif (darinase infeksi yang berada di ruang tertutup,
pembedahan)

Tamponade kordis

Kristaloid intravena, perikardiosintesis

Emboli Pulmoner Massif

Kristaloid intravena, inotrop, thrombolysis atau pembedahan

Arrhytmia

Terapi spesifik anti aritmia

39
TERAPI CAIRAN

Terapi cairan adalah terapi yang menggunakan cairan infus untuk


menggantikan kehilangan abnormal cairan tubuh yang menimbulkan fungsi
vital. Terapi cairan dibedakan 2 jenis, namun diberikan secara bersamaan:

1. Cairan maintenance
 Diberikan terbagi merata 24 jam, berisi air, elektrolit dan
kalori
2. Cairan replacement
 Diberikan dengan cepat untuk mengembalikan intravaskuler
mendekati normal kembali
 Secara bertahap lebih lambat mengembalikan cairan intrasel
 Berisi air, elektrolit dan dalam kasus khusus dapat disertai
albumin, plasma substitute, eritrosit

Penggantian diutamakan komponen mayor yang mengalami kehilangan


akut, penggantinya tidak harus sama dalam komposisinya. Komponen
minor dapat disusulkan kemudian. Pemantauan dan evaluasi periodic harus
terus dilakukan selama proses penggantian.

DEHIDRASI DAN MAINTENANCE

Tanda-tanda klinis tingkat dehidrasi atau kehilangan cairan:

 Dehidrasi ringan (tanda-tanda interstisiel/jaringan)  sedang


(<5%)
 Haus
 Mata cowong
 Turgor turun
 Mukosa mulut dan lidah kering
 oliguria
 Dehidrasi sedang (tanda-tanda plasma)  berat (5-10%)
 Perfusi lambat

40
 Nadi naik
 Tekanan darah turun (hipotensi orthostatic)
 Anuria

CONTOH KASUS :

Pasien GEA (BB = 50kg) dengan oliguria, tidak mengalami shock  deficit
5%

 Total deficit 2500 ml + Maintenance 2000 ml


 50% diberikan dalam 8 jam
 1250 ml dalam 8 jam = 150 ml/jam
 700 ml maintenance = 90 ml/jam
 Kecepatan pemberian = 250 ml/jam
 50% diberikan dalam 16 jam
 1250 ml dalam 16 jam = 75 ml/jam
 1300 ml maintenance = 90 ml/jam
 Kecepatan pemberian = 150-200 ml/jam

Pasien peritonitits (BB = 50kg), oliguria, tidak shock, perlu segera operasi 
deficit 5%

 Total deficit 2500 ml + Maintenance 2000 ml


 50% diberikan dalam 2 jam
 1250 ml dalam 2 jam = 600 ml/jam
 50% diberikan dalam 22 jam
 1250 ml dalam 22 jam = 60 ml/jam
 2000 ml maintenance = 90 ml/jam
 Kecepatan pemberian = 150-200 ml/jam

Pasien GEA (BB = 50kg) dengan shock  deficit 10%

 Total deficit 5000 ml + Maintenance 2000 ml


 Untuk mengatasi shock dengan cepat:

41
 Bolus 20 ml/kg = 1000 ml diguyur 30-60 menit
 Bila shock belum hilang diulang bolus 1000 ml lagi
 Sisanya 50% diberikan dalam 8 jam
 1500 ml dalam 8 jam = 200 ml/jam
 700 ml maintenance = 90 ml/jam
 Kecepatan pemberian = 300 ml/jam
 50% diberikan dalam 16 jam
 1500 ml dalam 16 jam = 100 ml/jam
 1300 ml maintenance = 90 ml/jam
 Kecepatan pemberian = 200ml/jam

Pasien peritonitis (BB=50kg), shock, perlu segera operasi  deficit 10%

 Total deficit 5000 ml + Maintenance 2000 ml


 Untuk mengatasi shock dengan cepat :
 Sisa 50% diberikan dalam 2 jam
 1500 ml dalam 2 jam = 750 ml/jam
 50% diberikan dalam 22 jam
 1500 ml dalam 22 jam = 70 ml/jam
 2000 ml maintenance =90 ml/jam
 Kecepatan pemberian = 160 ml/jam

SHOCK HEMORAGIK

Pada shock hemoragik, komposisi cairan yang hilang antara lain sodium,
albumin, eritrosit, thrombosit dan faktor koagulasi lainnya. Replacement
dilakukan pada pasien yang perdarahannya sudah berhenti.

Urutan terapi shock hemoragik:

1. Hentikan perdarahan jika bisa dilakukan


2. Posisi shock
3. Infus cairan elektrolit dulu untuk mengatasi shock
4. Plasma substitute boleh disusulkan

42
5. Transfusi dipertimbangkan kemudian jika setelah cairan cukup dan
ternyata Hb < 7-8g/dl

Penilaian Shock Hemoragik Berdasarkan Kondisi Klinis


Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV
Kehilangan darah (ml) < 750 750-1500 1500-2000 > 2000
Kehilangan darah (%BV) < 15% 15-30% 30-40% > 40%
Nadi < 100 > 100 > 120 > 140
Tekanan darah (mmHg) Normal Normal Hipotensi Hipotensi
Tekanan nadi (mmHg) Normal Berkuran Berkurang Berkurang
g
CRT Normal Positif Positif Positif
Pernafasan 14-20 20-30 30-40 >35
Output urine (ml/jam) > 30 20-30 5-15 Tidak ada
output
Status kesadaran Tenang Gelisah Delirium Letargi
Penggantian cairan yang Kristaloid Kristaloid Kristaloid + Kristaloid +
direkomendasikan Darah Darah

Cara pemberian cairan :

1. Guyur 1000 cc RL dengan cepat (30 menit)


2. Jika T < 100, N > 100 dan penyebabnya memang
perdarahan/diduga perdarahan, berikan 1000 cc lagi dengan cepat
(30 menit)
3. Jika T < 100, N > 100 dan penyebabnya memang perdarahan
berikan 1000 cc lagi yang ketiga, dengan cepat (30 menit)
4. Pertimbangkan pemberian plasma substitute atau transfuse
5. Evaluasi berkala parameter-parameter fisiologi pasien

43
DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeons Committee on Trauma. Advanced Trauma


Life Support.9th edition. Chicago, IL: American College of Surgeons
Committee on Trauma; 2012.

Kovacs G, Law J A. Airway Management in Emergencies. McGraw Hill;


2008.

Nutbeam T,Daniels R. ABC of Practical Procedures. Wiley-Blackwell; 2010.

Ooi S, Manning P. Guide to the Essentials in Emergency Medicine. 2nd


edition. McGraw Hill; 2015.

Tintinalli EJ. Emergency Medicine: A Comprehensive Study Guide 7th


edition. McGraw Hill; 2012.

Walls RM, Murphy MF. Manual of Emergency Airway Management. 3rd


edition. Lipincott; 2008.

44

Anda mungkin juga menyukai